Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MATERI EDISI CETAK

MATERI EDISI AKTUAL

SWOLLEN HEAD SYNDROME (SHS)

SWOLLEN HEAD SYNDROME (SHS)
SALAH SATU PENYAKIT IMMUNOSUPRESI
PEMICU TIMBULNYA GANGGUAN PERNAFASAN KOMPLEKS
PADA AYAM


Kejadian penyakit pernafasan, baik bersifat ringan atau cukup berat hampir selalu terjadi pada setiap periode pemeliharaan ayam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, dan dari banyak faktor yang ada tersebut, kebanyakan disebabkan oleh masih lemahnya paraktek manajemen dan upaya pengamanan biologis ditingkat peternak. Daya dukung lingkungan peternakan yang kurang memadai, menjadi salah satu faktor pendukung mudahnya ayam terinfeksi agen penyakit pernafasan tertentu yang bersifat immunosupresi, dimana penyakit pernafasan yang bersifat immunosupresi tersebut dapat memicu timbulnya infeksi penyakit pernafasan lain, sehingga gangguan pernafasan pada ayam yang terinfeksi cenderung menjadi lebih kompleks.
Salah satu penyakit dengan gejala kebengkaan pada kepala ayam, yang sering diistilahkan dengan “Swollen Head syndrome”, merupakan salah satu penyakit pernafasan yang disebabkan oleh virus jenis “Avian pneumovirus”. Pada dasarnya infeksi dari virus itu sendiri tidak menimbulkan adanya gejala kebengkaan pada daerah kepala dari ayam yang terinfeksi, akan tetapi adanya kebengkaan pada daerah kepala ayam yang terinfeksi, disebabkan oleh adanya infeksi sekunder dari kuman lain, seperti; Pasteurella, E.coli, Mycoplasma atau Haemophillus. Penyakit SHS sendiri digolongkan kedalam salah satu penyakit penyebab immunosupresi (lokal immunosupresi).
Pola kejadian penyakit SHS di lapangan kebanyakan bersifat musiman dan selalu muncul pada lokasi peternakan ayam dengan kondisi manajemen dan sistem pemeliharaanya yang kurang memadai. Belakangan ini kejadian penyakit SHS di lapangan, baik pada peternakan komersial broiler maupun layer serta pada beberapa breeding farm, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Data mengenai kecenderungan meningkatnya kejadian SHS belakangan ini di lapangan, dapat penulis peroleh dari banyaknya laporan para “technical service” (TS), disamping juga pengamatan langsung di lapangan, serta didukung dengan data hasil pemeriksaan serologis terhadap SHS pada kelompok ayam dari lokasi peternakan yang tidak pernah divaksinasi terhadap SHS sebelumnya. Dimana hampir pada sebagian besar peternakan ayam yang diperiksakan titer antibodinya, sering mengeluhkan adanya gangguan penyakit pernafasan dan adanya sejumlah kegagalan vaksinasi terhadap Coryza yang sudah diberikan pada ayamnya (pada layer maupun beberapa pada breeder).
Meningkatnya kejadian SHS di lapangan, tidak terlepas dari masih lemahnya praktek manajemen, pengamanan biologis yang dijalankan peternak dan pola pemeliharaan ayam dengan banyak variasi umur dalam satu lokasi peternakan, serta kebanyakan peternak belum merasa perlu untuk melakukan vaksinasi terhadap SHS pada ayam yang dipeliharanya. Berkaitan dengan tidak diprogramkannya vaksinasi SHS oleh sebagian besar peternak, disebabkan masih adanya anggapan dari sebagian besar peternak, bahwa penyakit SHS tersebut merupakan penyakit yang bersifat musiman, tidak terlalu ganas dan tidak menimbulkan kematian yang tinggi, serta kurangnya pemahaman peternak, bahwa penyakit SHS dapat menjadi pemicu infeksi agen penyakit pernafasan lainnya.

Gejala klinis dan lesi-lesi dari ayam yang terserang SHS

Pada ayam broiler penyakit ini umumnya menyerang dan sering ditemukan pada umur antara 2 – 6 minggu. Faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya SHS lebih banyak disebabkan oleh daya dukung lingkungan peternakan yang kurang memadai, seperti sirkulasi udara yang kurang baik, kepadatan ayam cukup tinggi dan kandang yang pengap, serta tingginya kadar ammonia dalam kandang.
Gejala awal dari ayam yang terserang penyakit pernafasan secara umum hampir sama, yakni mulai dari adanya kelesuan, menurunnya tingkat konsumsi pakan, serta adanya gejala bersin-bersin dan mata berair. Namun ada gejala yang bersifat khas untuk ayam yang terserang SHS yakni adanya kebengkaan kelenjar air mata dan bila disertai adanya infeksi sekunder oleh kuman E.coli atau kuman lainnya dapat menyebabkan terjadinya “oedema subcutan” pada daerah kepala bagian atas sampai pada daerah 1/3 leher bagian atas. Kebengkakan biasanya mulai dari daerah sekitar kelopak mata bagian atas, kepala bagian atas, kemudian berlanjut ke jaringan “intermandibular” dan pial. Mata dari ayam yang menunjukkan kebengkaan di daerah fascialnya hampir tertutup, dengan pupil nampak mengalami dilatasi, sehingga nampak seperti melotot. Terkadang disertai adanya leleran pada mata dan hidung, bila diikuti oleh infeksi sekunder dari kuman penyebab penyakit Coryza atau CRD.
Pada ayam yang kepalanya bengkak tersebut, sering nampak lesu dengan meletakan kepalanya di lantai kandang, sehingga akan memperparah keadaanya. Pada ayam broiler, bila murni terinfeksi virus penyebab SHS kematiannya tergolong rendah berkisar antara 1 - 5%, kematian yang lebih tinggi dapat terjadi bila diikuti infeksi sekunder oleh kuman seperti E. coli atau Mycoplasma serta kuman atau virus yang bersifat ganas lainnya.
Pada ayam broiler yang terserang SHS, dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dari penambahan bobot badannya. Bahkan pada kondisi yang sangat parah dapat menyebabkan terjadinya penyusutan bobot badan dibandingkan dengan berat badan sebelum terjadinya serangan. Pada ayam petelur, kebanyakan menyerang pada ayam pullet menjelang produksi atau ayam masa puncak produksi. Kematian dari ayam yang terserang SHS pada ayam tipe petelur sangat rendah, berkisar 0,1% - 0,5%, namun kerugian ekonomis yang cukup tinggi disebabkan oleh adanya gangguan produksi telur antara 5 – 30%, tergantung ada atau tidaknya infeksi sekunder serta daya dukung lingkungan peternakan.
Sesuai dengan target infeksi dari virus penyebab SHS, sangat terbatas jaringan atau organ tubuh ayam yang dapat diamati mengalami perubahan atau lesi-lesi. Bagian yang mengalami lesi sebagian terbesar ditemukan pada sistem pernafasan bagian atas dan daerah sekitar kepala bagian atas. Pada daerah kepala yang mengalami kebengkaan, ditemukan adanya “oedema” dan peradangan pada jaringan “subcutan” serta adanya timbunan eksudat mukus sampai mukopurulen, tergantung jenis kuman yang menjadi agen infeksi sekundernya. Pada bawah kulit kepala bagian belakang atau disekitar “kranium”, sering ditemukan adanya peradangan dan timbunan eksudat mukopurulen.

SHS salah satu pemicu timbulnya gangguan penyakit pernafasan

Swollen Head Syndrome sebagai salah satu penyakit pernafasan yang bersifat infeksius, dapat memicu timbulnya infeksi sekunder dari agen penyakit pernafasan lain, sehingga gangguan pernafasan yang timbul pada ayam yang terinfeksi SHS tersebut menjadi lebih kompleks. Hal ini dapat terjadi didasarkan atas sifat immunosupresi dan stress yang ditimbulkan oleh infeksi virus penyebab SHS tersebut. Penyakit SHS dinyatakan bersifat immunosupresi, karena infeksi yang ditimbulkan pada saluran pernafasan bagian atas, menyebabkan juga terjadinya kerusakan pada sistem dan kelenjar pertahanan lokal yang ada dalam saluran pernafasan bagian atas tersebut. Sehingga dengan adanya kelainan pada sistem pertahanan lokalnya tersebut, pada saat yang bersamaan akan memicu kuman lain yang ada dalam tubuh ayam mudah menjadi ganas dan menimbulkan infeksi serta kerusakan jaringan yang lebih luas dan parah. Dengan adanya infeksi sekunder pada ayam yang terinfeksi virus penyebab SHS tersebut dapat terlihat adanya gejala gangguan pernafasan yang lebih kompleks serta seringkali dibarengi dengan adanya gejala kebengkaan pada kepalanya.
Kelompok ayam yang sebelumnya tidak pernah diberikan vaksinasi terhadap SHS, dimana dari hasil pemeriksaan secara serologis terdeteksi adanya titer antibodi terhadap SHS serta didukung dengan adanya gejala klinis yang dapat diamati, seringkali pada kelompok ayam yang terinfeksi virus SHS tersebut, diikuti oleh adanya infeksi penyakit pernafasan lain, seperti CRD, Kolibasilosis atau Coryza.
Adanya infeksi sekunder menyebabkan ayam mengalami gangguan pernafasan yang lebih kompleks. Sehingga seringkali upaya pengobatan yang dilakukan di lapangan tidak membuahkan hasil memuaskan. Sebagai contoh yang sering dialami oleh peternak, bila ayamnya terserang SHS dimana terkomplikasi dengan Kolibasilosis, setelah dilakukan pengobatan ayam tersebut nampak sembuh, namun selang beberapa lama gejala yang sama kambuh kembali. Hal ini dapat terjadi, karena obat atau antibiotika yang diberikan sebagai pengobatannya, hanya menyembuhkan terhadap infeksi kuman penyebab Kolibasilosisnya saja, bukan terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus penyebab SHS-nya. Sehinga seringkali kesan yang timbul pada para peternak, menyatakan obat yang digunakan untuk pengobatan terhadap SHS kualitasnya kurang baik.
Dari ayam yang terinfeksi virus SHS, problem gangguan pernafasannya menjadi lebih kompleks dan cenderung jadi lebih parah serta sulit diatasi, bila pada saat bersamaan kondisi lingkungan peternakannya kurang mendukung, seperti kepadatan ayam dalam kandang cukup tinggi, kandang yang lembab dan pengap, atau sangat berdebu, sirkulasi udara yang kurang baik serta tingginya kadar ammonia dalam kandang.
Pada beberapa lokasi sentra peternakan ayam petelur, cukup banyak peternak melaporkan dan mengeluhkan terjadinya kebocoran vaksinasi terhadap Coryza yang telah dilakukannya. Dimana kebanyakan dari mereka menduga vaksin Coryza yang diberikan pada ayamnya sudah tidak protektif lagi. Sehingga kebanyakan dari mereka mencoba beralih menggunakan vaksin Coryza merk lain dari yang biasanya mereka sering pakai, bahkan mereka juga mencoba menggunakan vaksin Coryza dengan kandungan antigen-nya lebih lengkap, yakni mengandung 3 jenis antigen (serotipe A, B dan C), namun kenyataan yang dialaminya masih saja ditemukan adanya kebocoran terhadap Coryza dari vaksinasi yang telah dilakukannya tersebut.
Kasus SHS yang terjadi pada peternakan ayam petelur tersebut disinyalir sebagai pemicu terjadinya kegagalan vaksinasi terhadap Coryza yang telah dilakukan oleh peternak. Hal ini didukung dengan data hasil pemeriksaan kasus di lapangan dan hasil pemeriksaan serologis terhadap kelompok ayam yang mengalami kebocoran dari vaksinasi terhadap Coryza. Dimana kelompok ayam yang mengalami kegagalan vaksinasi terhadap Coryza tersebut, sebelumnya tidak pernah dilakukan vaksinasi terhadap SHS, akan tetapi dari hasil pemeriksaan serologisnya terkandung titer antibodi terhadap SHS pada serum darahnya.

Penanggulangan SHS di Lapangan.

Untuk menghindari ancaman atau gangguan terhadap penyakit apapun, pertahanan yang paling utama adalah dengan menjalankan praktek manajemen yang baik dibarengi dengan upaya sanitasi dan desinfeksi serta pengamanan biologis lainnya secara ketat, disamping juga memberikan program kesehatan dan vaksinasi secara memadai pada ayam yang dipelihara, tentunya disesuaikan dengan tingkat tantangan kuman atau virus penyakit yang ada dimasing-masing lokasi peternakan. Sanitasi dan desinfeksi dengan GLUTAMAS atau BIODES-100 sangat penting untuk dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan secara lebih ketat guna mengurangi atau menekan tingkat keganasan agen penyakit yang ada di lapangan.
Untuk ayam broiler yang dipelihara pada daerah resiko tinggi dan sering terjadi infeksi virus SHS perlu dipertimbangkan untuk diprogramkan vaksinasinya. Pada ayam broiler umumnya diberikan vaksin aktif dengan vaksin HIPRAVIAR-SHS pada umur antara 4 – 14 hari, tergantung situasi dan kondisi lingkungan di masing-masing peternakan. Vaksinasi pada ayam petelur dengan HIPRAVIAR-SHS diberikan pada umur 8 – 12 minggu dan diulangi pada umur 17 - 18 minggu. Untuk ayam breeder, vaksinasi dengan HIPRAVIAR-SHS pada umur 8 – 12 minggu dan diulangi dengan pemberian vaksin HIPRAVIAR-TRT4 pada umur 16 – 18 minggu atau 4 minggu sebelum periode awal produksi.
Pengobatan terhadap SHS pada ayam yang terinfeksi, lebih ditujukan untuk mencegah dan sekaligus mengobati terjadinya infeksi bakterial seperti oleh E. coli, Pasteurell, Haemophilus atau Mycoplasma. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika seperti HIPRALONA-ENRO S atau HIPRALONA-NOR S. Suportive therapy dengan pemberian multivitamin + asam amino konsentrasi tinggi seperti HIPRACHOCK-AMINO, lebih ditujukan untuk mempercepat proses kesembuhannya.
Untuk mencegah infeksi sekunder yang lebih parah oleh kuman E. coli yang sering mengikuti infeksi virus penyebab SHS, disamping pemberian antibiotika seperti HIPRALONA-FLU S atau HIPRALONA-ENRO S sebagai pengobatan saat ayam terserang SHS, faktor kualitas air juga sangat perlu untuk diperhatikan. Air merupakan media yang sangat baik untuk berkembangbiak dan sekaligus penularan kuman E. coli, oleh karena itu sangat perlu untuk diperhatikan dan dilakukan sterilisasi, salah satunya dengan cara klorinasi untuk membunuh kuman E. coli maupun agen penyakit lainnya yang ada dalam air tersebut.



Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA – Spain
wayan@hipra.com

PENYEBAB DAN DAMPAK IMUNOSUPRESI PADA AYAM

PENYEBAB DAN DAMPAK IMUNOSUPRESI PADA AYAM

Ayam yang sehat akan menghasilkan performan produksi yang baik dan hal ini dapat dicapai apabila beberapa faktor seperti : tatalaksana peternakan, nutrisi dan program vaksinasi dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketiga faktor tersebut akan mendukung perkembangan optimal sistem kekebalan ayam. Dengan sistem kekebalan yang berkembang optimal maka kesehatan ayam akan lebih terjaga.
Secara garis besar terdapat empat hal yang dapat mempengaruhi perkembangan sistem kekebalan tubuh ayam, yaitu (1) Rusaknya organ limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi virus dan mikotoksin dan (2) Rusaknya organ limfoid sekunder karena infeksi bakterial, (3) stress yang mempengaruhi fungsi organ limfoid primer, dan (4) Suboptimalnya nutrisi dan manajemen yang mempengaruhi perkembangan organ limfoid primer maupun sekunder. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh maka organ limfoid penghasil sistem kekebalan tubuh harus dijaga.
Perkembangan organ limfoid yang subobtimal akan menyebabkan terjadinya imunosupresi. Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dalam tubuh ayam dan terjadilah infeksi. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.
Oleh sebab itu, mengendalikan keberadaan agen penyebab imunosupresi dan memonitor perkembangan sistem kekebalan ayam merupakan usaha yang harus dilakukan agar target performan produksi ayam komersial dapat tercapai.

Mengenali Gejala Imunosupresi
Memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui dan mengenali gejala terjadinya imunosupresi akan sangat bermanfaat. Dengan mengetahui gejala-gejala imunosupresi, maka penanganan kegagalan dalam mencapai target produksi dikarenakan terjadinya imunosupresi akan menjadi efektif karena tepat pada sasaran.
Terdapat beberapa cara untuk mengevaluasi apakah sistem kekebalan ayam telah berfungsi normal. Langkah awal adalah dengan menganalisa situasi peternakan ayam. Situasi yang dimaksud adalah apakah tatalaksana sudah berjalan dengan ideal dan biosekuriti sudah dilaksanakan dengan optimal. Adanya kematian yang sangat tinggi, pencapaian berat badan dan keseragaman pertumbuhan berat badan ayam yang rendah serta konversi pakan yang tinggi merupakan gejala umum terjadinya imunosupresi.
Gejala lain kasus imunosupresi adalah meningkatnya reaksi pernafasan pasca vaksinasi yang berlangsung cukup lama dan terjadinya komplikasi dengan penyakit lain. Hal ini dapat menyebabkan hasil vaksinasi menjadi suboptimal sehingga dapat mengakibatkan terjadi outbreak penyakit pada suatu peternakan.

Organ Pertahanan Tubuh.
Organ tubuh ayam yang memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh ayam adalah bursa fabricius dan thymus. Kedua organ ini merupakan organ primer atau utama dalam sistem kekebalan. Bursa fabricius akan tumbuh cepat dalam 3 minggu pertama umur ayam. Ukuran bursa akan lebih besar dari lien kurang lebih 5 minggu pertama kehidupan ayam dengan rasio ukuran bursa sebanding dengan ukuran berat badan tubuh. Bursa akan mengalami regresi dimulai pada umur 8 minggu.
Gejala Imunosupresi dapat dilihat melalui perubahan patologi anatomi pada bursa fabricius yaitu terjadi atrofi pada bursa fabricius dan rasio perbandingan ukuran antara bursa fabricius dengan limpa. Bila ukuran bursa fabricius sama atau lebih kecil dari limpa pada 5 minggu pertama umur ayam, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kasus imunosupresi.
Organ lain yang berperan dalam sistem kekebalan adalah limfa, lempeng peyer pada mukosa usus, tonsil sekalis, struktur limfoid sepanjang saluran pernafasan, kelenjar harder dan konjungtiva mata.



Penyakit Penyebab Imunosupresi
Kejadian imunosupresi disebabkan oleh kerusakan dan terjadinya gangguan fungsi organ limfoid. Penyakit yang merusak struktur dan fungsi organ limfoid primer adalah gumboro, mareks, mikotoksikosis, infeksi reovirus, infeksi chicken anemia dan infeksi ALVJ. Sedangkan penyakit yang dapat merusak struktur dan fungsi organ limfoid sekunder adalah Newcastle disease, Avian Influenza, Swollen Head Syndrome, Infeksius bronchitis, Infeksius Laryngotracheitis, pox bentuk basah, aspergillosis, koksidiosis, mikoplasmosis, snot, kolibasilosis, kolera unggas, salmonellosis dan helmintiasis.

Mikotoksikosis, Penyakit Penyebab Imunosupresi
Mikotoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin, dan penyakit tersebut timbul jika unggas mengkonsumsi pakan atau bahan yang mengandung mikotoksin. Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan jamur dan terdapat pada hampir semua jenis komoditi hasil pertanian di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 300 jenis mikotoksin telah teridentifikasi yang berasal lebih dari 100.000 spesies jamur.
Mikotoksin di sintesis dan dikeluarkan selama proses pertumbuhan jamur tertentu. Dan jika jamur mati, maka produksi mikotoksin akan berhenti, tetapi mikotoksin yang sudah terbentuk tidak akan hilang. Hal tersebut karena mikotoksin memiliki struktur kimiawi yang stabil pada berbagai kondisi lingkungan, sehingga tahan terhadap suhu panas yang ekstrim dan tahan lama pada proses penyimpanan bahan baku serta tahan terhadap berbagai proses pengolahan dalam pembuatan pakan ternak. Yang menjadikan mikotoksin menjadi ancaman yang merugikan adalah kemampuannya mengganggu dan merusak organ sistem kekebalan tubuh ayam, meskipun mikotoksin tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat rendah (nanogram sampai mikrogram per gram bahan pakan).
Berdasarkan tempat/lokasi proses pertumbuhan, jamur yang memproduksi toksin dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu Field Fungi, yaitu jamur yang tumbuh pada masa tanam di ladang pertanian (contoh : fusarium) dan Storage Fungi ,yaitu jamur yang tumbuh pada masa penyimpanan di gudang (contoh : Aspergillus sp. dan Penicillium sp.). Bila tidak dikendalikan, kandungan mikotoksin pada bahan baku pakan akan semakin meningkat karena mikotoksin dapat dihasilkan jamur sejak dari masa tanam sampai masa penyimpanan dan didukung sifat mikotoksin yang stabil terhadap lingkungan.
Pada masa tanam, produksi mikotoksin didukung oleh berbagai faktor, antara lain : kondisi iklim (temperatur >30°, dan kelembaban relatif sekitar 80% - 85%), adanya manifestasi serangga, kualitas bibit yang bervariasi dan kepadatan tanaman yang tinggi. Proses panen dapat mempengaruhi jumlah pembentukan mikotoksin, yaitu tingkat kematangan tanaman dan kadar air biji tanaman. Kemudian, pada saat penyimpanan, produksi mikotoksin dipengaruhi oleh kandungan air biji tanaman yang disimpan, efektifitas pengendalian serangga, dan efektifitas bahan pengawet yang ditambahkan. Distribusi bahan baku pakan juga berpengaruh terhadap pembentukan mikotoksin, seperti kondisi pada saat pengapalan.
Upaya untuk penanggulangan dan pengendalian mikotoksinpun telah dilakukan berbagai pihak, baik petani jagung maupun peternak. Namun terdapat berbagai hambatan dalam proses penanggulangannya, yaitu kondisi iklim saat ini yang berfluktuatif, penanganan pasca panen yang belum optimal, penyimpanan bahan baku yang belum optimal, adanya impor bahan baku pakan sehingga fungi dan mikotoksin dapat ditransfer dari negara lain, adanya pencemaran toksin yang bersifat ganda, struktur kimia mikotoksin yang sangat stabil dan kurang memadainya fasilitas pengeringan, penyimpanan dan mesin giling. Yang paling mendukung pencemaran mikotoksin adalah mikotoksin dapat ditemukan dan tumbuh secara alami pada bahan baku biji-bijian pakan.
Menurut Hamilton (1984), tidak terdapat batas kandungan yang aman untuk mikotoksin. Asupan mikotoksin sekecil apapun, akan terakumulasi. Efek yang ditimbulkan mikotoksin akan berpengaruh secara bertahap sesuai jumlah asupan mikotoksin. Mikotoksi pertama-tama akan menyebabkan penurunan daya tanggap kekebalan tubuh atau imunosupresi, kemudian gangguan metabolisme, berlanjut menimbulkan gejala klinis dan berakhir dengan kematian.
Mekanisme kerusakan jaringan akibat mikotoksikosis belum diketahui secara pasti, akan tetapi diketahui mengganggu proses sintesa protein sehingga dapat menyebabkan gangguan metabolisme. Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin. Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan ayam, gangguan produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit, kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi. Konsekuensi terjadinya penurunan daya tanggap kebal atau imunosupresi akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit, meningkatkan derajat keparahan penyakit, meningkatkan tingkat kesulitan pengobatan, respon imun yang buruk, dan mengaktivasi pembentukan tumor.
Sulit mendeteksi keberadaan mikotoksin pada bahan baku pakan karena sifat mikotoksin yang tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berasa. Toxin seperti zearalenone, akan berikatan dengan komponen nutrisi yang berbeda-beda, seperti glycosides, glocuronides, atau fatty acid esters. Bila terjadi ikatan zearalenone-glycoside, akan sulit dideteksi dengan metode konvensional, akibatnya bahan baku atau pakan dianggap tidak terkontaminasi . Kemudian ikatan zearalenone-glycoside akan terurai setelah tercampur dengan empedu pada duodenum. Zearalenone tersebut kemudian akan menjadi toksik kembali. Proses ikatan antara toksin dan komponen nutrisi disebut masked mycotoxins. Contoh masked mycotoxins yang lain adalah deoxynivalenol-glycoside (pada bijian – Sewald 1992), Hydroxylation dan glucosylation dari Ochratoxin (pada gandum – Ruhland 1994) dan fuminosin yang berikatan sebagian dengan protein nutrisi.



Gambar 1. Tingkat kejadian mikotoksin pada Bahan baku pakan – data berasal dari Biomin® Mycotoxin Survey Programme pada tahun 2005 - 2006

Beberapa tindakan pencegahan telah dilakukan petani jagung agar jagung yang dihasilkan berkualitas dan tidak berjamur. Tindakan yang telah dilakukan antara lain dengan memilih biji-bijian yang tahan jamur, mengontrol jumlah serangga, manajemen residu hasil panen dan optimalisasi kepadatan tanaman jagung. Tindakan pencegahan di ladang jagung kemudian diikuti dengan tindakan pencegahan pada proses panen, seperti : memilih waktu yang tepat dan ideal, melakukan prosedur panen yang baik, memilih peralatan yang tepat guna, membuang biji jagung yang rusak dan yang memiliki kandungan air yang tinggi.
Ternyata tindakan pencegahan pada proses tanam dan proses panen tidak cukup untuk menghilangkan tumbuhnya jamur. Proses pencegahanpun berlanjut pada proses penyimpanan, seperti : Penyimpanan tepat waktu, meningkatkan kualitas tempat penyimpanan, kontrol kadar air dan kelembaban, kontrol suhu dan serangga, penggunaan bahan pengawet dan penggunaan bahan anti jamur.
Dengan penggunaan bahan anti jamur pada proses penyimpanan disertai dengan prosedur penyimpanan yang baik ternyata dapat menurunkan kandungan jamur secara signifikan. Biotronic®Cleangrain liquid mengandung asam propionat dan sodium benzoat yang efektif untuk mencegah tumbuhnya jamur pada bahan baku pakan asal biji-bijian pada proses penyimpanan. Penggunaan Biotronic®Cleangrain liquid akan menjaga kadar nutrisi bahan baku pakan dengan cara mencegah tumbuhnya jamur dan meminimalisasi potensi merugikan yang dapat ditimbulkan oleh mikotoksin. Tidak terdapat efek samping dari penggunaan Biotronic®Cleangrain liquid yang biasa digunakan dengan dosis 1.5-7.5 liter per ton bahan baku pakan.
Namun, hal tersebut belum cukup, karena kandungan mikotoksin masih tetap ada, bahkan akan semakin meningkat apabila tidak dilakukan kontrol pertumbuhan jamur. Tindakan dekontaminasi mikotoksin harus dilakukan untuk menghilangkan pengaruh mikotoksin. Ada dua jenis dekontaminasi, yaitu dengan perlakuan fisik dan perlakuan penambahan zat kimia.
Perlakuan fisik misalnya dengan pencampuran bahan baku terkontaminasi mikotoksin dengan bahan baku yang baik. Sehingga efek yang ditimbulkan diperkirakan akan berkurang. Tindakan lain dengan pencucian, penggilingan ulang, pemisahan (dengan ayakan atau kipas), pemanasan (autoclave, panggang, microwave), dan radiasi sinar UV. Kekurangan perlakuan secara fisik adalah mahal, hasil tidak pasti dan hilangnya kandungan nutrien pakan.
Perlakuan penambahan zat kimia, misalnya dengan penambahan ozon, ammonia, ammonium hydroxide, hydrogen peroxide, calcium hydroxide dan sodium bisulfite. Namun perlakuan secara kimiawi selain mahal dan memerlukan waktu yang lama, dapat merubah palatabilitas dan kandungan nutriennya, sehingga praktek ini tidak dilakukan.

Mycofix® Plus 3.0 Solusi Mikotoksikosis
Masalah mikotoksin yang mencemari pakan harus diatasi secara serius karena sangat merugikan secara ekonomi. Alasan mengapa deaktivasi mikotoksin harus dilakukan dengan suatu sistem yang terpadu adalah adanya keanekaragam struktur dan sifat kimia mikotoksin, serta adanya kerusakan metabolisme maupun jaringan tubuh akibat efek yang ditimbulkan oleh mikotoksin.
Mycofix® Plus 3.0 mengandung synergistic blend of minerals, berupa bola mikro berpori yang diproses dan diaktivasi untuk adsorpsi selektif mikotoksin. Aflatoksin yang memiliki struktur kimia berpolar akan dideaktivasi karena ikatan spesifik yang kuat dan stabil. Hal ini tidak akan terjadi apabila menggunakan adsorben biasa seperti alumunium silikat, dimana alumunium silikat akan terurai dan mengembang apabila bercampur dengar air. Sedangkan pada penggunaan zeolit, efektifitas sifat adsorbennya akan hilang pada pH 3.
Beberapa mikotoksin tidak dapat terikat kuat oleh adsorben mikotoksin, seperti zearalenone. Namun kendala tersebut dapat diatasi dengan penggunaan Mycofix®Plus 3.0, karena mengandung Biological constituent, yang berfungsi sebagai dekomposisi ensimatik. Proses ensimatik ini, mampu mendegradasikan mikotoksin asal fusarium sp. (zearalenone) dengan menghidrolisis ikatan ester 12,13-epoxy pada kelompok fusarium menjadi non toksik dan menjadi metabolit non toksik.
Mycofix® Plus 3.0 mengandung BBSH 797, yang merupakan mikroorganisme yang dikembangkan dan dipatenkan oleh Biomin® yang berproliferasi secara cepat di saluran pencernaan. Selama pertumbuhan, mikroorganisme BBSH 797 memproduksi ensim spesifikyang mampu mendeaktivasi mikotoksin asal trichothecenes (DON, T2 toxin, DAS) dengan cara biotransformasi struktur kimia menjadi metabolit non toksik.
Mycofix®Plus 3.0 mengandung phytogenic substances, yang merupakan campuran unik ekstrak tumbuhan untuk mengatasi kondisi akibat mikotoksin, hepatotoksik dan zat penyebab radang. Efek hepato-protektive terjadi karena flavolignan menempati sel reseptor pada hati sehingga menghalangi toksin memasuki membran sel hati.
Mycofix® Plus 3.0 mengandung phycophytic substances, yang dapat memperkuat respon tanggap kebal alami dan mengkompensasi efek imunosupresi dari mikotoksin. Hal ini terjadi karena terpacunya proses sintesa asam nukleat dan katabolisme asam amino yang merupakan factor penting dalam pembelahan sel.
Berdasarkan mekanisme kerja terpadu bahan yang terkandung di dalamnya, maka Mycofix® Plus 3.0 mampu mengatasi dan mendeaktivasi mikotoksin dan mampu memperkuat dan memperbaiki fungsi hati dan meningkatkan daya tahan tubuh. Maka dengan pemberian Mycofix® Plus 3.0 masalah mikotoksin dapat teratasi.
Cara pemberian Mycofix® Plus 3.0 dicampurkan langsung pada pakan ternak pada saat pencampuran. Dosis untuk unggas dan babi 0,5 kg – 1,5 kg per ton pakan, untuk sapi perah 15 – 30 gram per sapi per hari. Variasi dosis tergantung kontaminasi mikotoksin.


Lisovit, Optimalkan Fungsi Kekebalan
Kondisi imunosupresi harus dapat diatasi dengan tuntas, karena dapat mengganggu status kesehatan ayam sehingga mengganggu pencapaian sasaran performan produksi. Selain dengan menghilangkan penyebab utama dan mengurangi faktor pendukung timbulnya kasus imunosupresi, perlu suatu upaya untuk memperkuat status kekebalan ayam, atau mempercepat status perbaikan kekebalan ayam.
Penggunaan berbagai jenis vaksin sebagai pencegahan terhadap penyakit viral yang bersifat imunosupresif yang didukung biosekuriti yang ketat dan pemberian antibiotika untuk penyebab imunosupresi asal bakteri perlu didukung dengan pemakaian Lisovit® untuk memperkuat status kekebalan ayam atau mempercepat status perbaikan kekebalan ayam.
Lisovit® memiliki kandungan ensim muramidase yang memiliki dua efek yaitu efek anti bakterial dan efek anti viral. Efek anti bakterial karena ensim muramidase mampu memecah dinding sel bakteri di saluran pencernaan ayam dan efek anti viral karena ensim muramidase mampu menstimulasi kekebalan tubuh ayam dan mampu memproduksi fragmen peptidoglikan, sehingga meningkatkan aktivitas makrofag dan menstimulasi pembentukan limfosit.
Lisovit® memiliki kandungan ensim peroksidase yang memiliki efek katalisa oksidasi dari donor hidrogen untuk mendukung proses generasi molekul oksigen reaktif yang dapat menginaktivasi substansi asing.
Lisovit® mengandung ekstrak tanaman berkhasiat (Echinaecea) yang berperan menstimulir kekebalan seluler dengan meningkatkan aktifitas phagositik dari makrofag dan kecepatan pembentukan limfosit, serta meningkatkan aktifitas Sel T sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh.
Lisovit® juga mengandung dua macam vitamin, yaitu : vitamin E sebagai antioksidan yang mampu mempengaruhi berbagai sel dari sistem kekebalan seperti limfosit dan makrofag untuk menghasilkan interferon yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Yang kedua, vitamin C yang berperan dalam proses reduksi oksidasi di dalam tubuh yang mentransfer hidrogen dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan berbagai keadaan stress.
Berdasarkan mekanisme kerja yang terdapat di dalamnya, maka Lisovit® mampu mengoptimalkan vaksinasi, meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap stress dan serangan penyakit, serta tidak kalah penting dapat meningkatkan daya kerja antibiotika golongan betalactam (amoxicillin, ampicillin, dll). Maka dengan pemberian Lisovit®, kasus-kasus imunosupresi dapat segera dipercepat pemulihannya dan dapat menstimulir timbulnya respon kekebalan sehingga konsep pengebalan ayam dan konsep optimalisasi kesehatan ayam dapat berjalan dengan baik.
Cara pemberian Lisovit® pada ayam pedaging, ayam petelur dan ayam bibit diberikan selama 3 hari berturut-turut dengan selang waktu 1 hari, pada saat vaksinasi atau kejadian stress. Dosis untuk ayam pedaging di minggu pertama 30 gram/1000 ekor, minggu kedua 50 gram/1000 ekor dan di minggu ketiga 100 gram/1000 ekor. Dosis untuk ayam petelur dan ayam bibit 100 gram/1000 ekor.



Drh Nurvidia Machdum
Technical Department Manager
PT. ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl DR Saharjo No 264
JAKARTA. Telp.021 8300300

Abstract Edisi 169 Agustus 2008

Abstract Edisi 169 Agustus 2008

5 Years of AI in Indonesia

The cases of AI (Avian Influenza) which was firstly reported in Indonesia since August 2003, and after that the disease quickly spread throughout and the provinces in Java and then most part of Indonesia.
After five years against this exotic disease, by vaccination program, sanitation as well as hygienic measures poultry farmers adapted to this kind of condition. Poultry industry is really prospective, since the product are needed by the people and the demand is continuously increasing.
To face the challenging situation to enable for survival, poultry farmers should be smart, creative, innovative and properly implementing technology development. We should be caution to AI and maximizing preventive measures, but we should not consider the disease as the constraint for developing poultry industry in Indonesia.
Some of farmers are aware that the prospect of poultry farming is still favourable, but they desperate with increasing production cost as the price of farming input specially feed is continuously increasing, higher than the increase of poultry product price.

Role of Poultry Market in the Spread of AI

Based on the WHO (World Health Organization) report up to may 2008, total cases up AI (Avian Influenza) in the world are 383 cases with totality 241 people. The cases of AI in Indonesia is the highest, as total cases reach 135 cases cause human victim, the death of 110 people.
Referring to the workshop on live bird market / traditional market, sponsored by FBPI (National Committee on Avian Influenza), USDA (United States Department of Agriculture) and CIVAS (Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies), There are four critical points in poultry distribution chain, namely poultry farming, poultry collecting places, poultry slaughter houses as well as products and live birds market.
The whole market in Asian countries is centre for social and economic activity, but the markets are also able as source of zoonotic disease spreading. The first cases of AI in Hong Kong on 1997 happened in poultry farming and poultry traditional market, it is the first reported H5N1 cases, the fatality of 6 people in 18 cases.
The condition which is found in live birds market:
- No routine animal health inspection to live birds and their products
- Poor bio security
- No program for cleaning and disinfection on transportation vehicles, equipment baskets and buildings.
- No clear border between collective places, slaughtering and selling of poultry and their product with other comodities.
- Source, origin and animal health status of poultry and their products is not clear.
- Poultry transportation vehicles (motor cycles) are not fit with animal welfare standard.
- No special door for entrance and exit of live bird.
- Collecting places and poultry slaughter houses are not fulfill hygienic standard.
- Selling of multi species of bird (native chicken, duck, commercial, chicken, etc)
- Selling of live bird, brought by consumers
- No regulation for arrangement of live bird and their product in market
- Poor personal hygiene
- Not adequate awareness of sellers and consumer to the healthy products.
If AI eradication is still to be priority, poultry market should be properly arranged to fulfill the standard through establish the models of poultry market

Chicken Egg Price

Increase of production cost, caused by higher price of feed raw materials will directly influence cost of good produced.The components to form cost of egg produced, namely: feed, operational cost, pullet depreciation, infrastructure and investment depreciation, marketing cost, medicaments and others. The problem is how poultry farmers will be able to make lower cost of egg produced in order reaching competitiveness in layer farming and to get profit.
Ideal farming in the perspective of layer farming management is “low cost – high performance”, the enterprise usually having slender organization, good team work with order job description and no interval conflict.
To reach efficiency, the ratio should be well management, namely:
- Population Ratio, comparison between productive layer and total workers, the ration should be less than 2.000 head of productive layer for each worker.
- Operational Cost Ratio, to minimize fixed cost and maximizing variable cost
- Feed Conversion Ratio, to save feed consumption without sacrificing productivity
- Layer Productivity Ratio, referring to proper and complete recording, egg production should be able to reach 20 kg/head in 76-80 weeks of age

To Minimize Meat Importation

The dependency on imported meat is a big problem in Indonesia, since local products are only able to supply 72% of the demand. According to Dr Tjeppy D Soedjana, Director General of Livestock Services (DGLS) in official opening of “Socialization on Acceleration of Meat Self Supporting Achievement” in Bandung, the desired condition in 2010 is supply of imported meat should less than 10%. The Government had allocated the fund to construct biogas, meat kiosk, integration of mixed farming, conservation of livestock farming area, conservation of river flow area, field training as well as irrigation of surface soil.
This program will be implemented in 16 districts and 2 cities in West Java province. The constraint of this program is lack of technical human resources and infrastructure in the field.

Kekuatan Kata-kata

Kekuatan Kata-kata
Bambang Suharno

Salah satu motivator yang menurut saya sangat pintar mengolah kata-kata adalah Mario Teguh. Saya mengamatinya sejak 5 tahun lalu ketika ia menjadi narasumber talkshow di Radio Bisnis PassFM, kemudian ke Radio Ramako Jakarta dan kemudian ke bebarapa radio lain, dan berikutnya tampil di acara business art di saluran televisi O-Channel. Kalimat di bawah ini saya kutip dari salah satu artikelnya mengenai anger management (pengelolaan amarah). Perhatian baik-baik olahan kata per kata. Kita akan menikmati indahnya Mario Teguh mengolah kata menjadi sebuah kesadaran dalam diri kita.

Seseorang yang tidak bisa merasa marah tidak bisa disebut penyabar; karena dia hanya tidak bisa marah. Sedang seorang lagi yang sebetulnya merasa marah, tetapi mengelola kemarahannya untuk tetap berlaku baik dan adil adalah seorang yang berhasil menjadikan dirinya bersabar.

Kata-kata yang sejatinya tak lebih dari rangkaian huruf, yang kemudian diolah menjadi kalimat, dapat merubah banyak hal dalam diri banyak orang. Kata-kata menjadi sedemikian tajam di tangan seorang yang pandai mengasahnya.

Orang-orang yang pandai berkomunikasi bukanlah orang yang pintar mengumbar kata-kata. Mereka adalah orang yang tekun menyimak, membaca dan mengolah menjadi kata-kata yang dapat diterima lawan bicara (istilah lawan bicara kelihatannya kurang pas, apakah lebih tepat istilah teman bicara?)

Makanya anggapan bahwa seorang penjual yang sukses harus pandai berbicara banyak, adalah sangat keliru.

Para negosiator hebat adalah mereka yang pintar memilih kata-kata yang baik. Begitupun dengan para pemimpin-pemimpin dunia. Untuk memilih kata-kata yang matang, diperlukan kepandaian mendengar dan merasakan apa yang ada di benak lawan bicara. Dr.Drh.Soehadji, mantan Dirjen Peternakan pernah memperkenalkan istilah ”ukuran keempat” untuk menggambarkan ukuran yang dimensinya berbeda dengan jenis ukuran lainnya. Ukuran pertama adalah panjang atau lebar (satu dimensi dengan ukuran meter), ukuran kedua adalah luas (dua dimensi, menggunakan meter persegi), ukuran ketiga adalah isi (3 dimensi, dengan meter kubik) dan ukuran keempat adalah perasaan (dimensi kompleks). Mereka yang hebat dalam penjualan, negosiasi ataupun dalam memimpin pandai menggunakan ukuran yang abstrak ini. Kita mengenal istilah empati, yakni bagaimana memposisikan perasaan kita pada posisi lawan bicara. Itulah ukuran keempat.

Dari sebuah artikel Erwin Arianto di sebuah mailing list, saya menemukan cerita yang menarik mengenai seorang petani terkemuka di Finlandia yang sangat pandai memilih kata-kata dalam berkomunikasi. Waktu itu garis batas antara Finlandia dan Rusia sedang ditentukan, dan petani itu harus memutuskan apakah dia ingin menjadi warga Finlandia atau Rusia. Setelah memikirkan cukup lama, dia memutuskan untuk berada di Finlandia, tetapi dia tidak ingin melukai perasaan pejabat Rusia. Pejabat Rusia itu datang kepadanya dan bertanya mengapa dia ingin berada di Finlandia.

Petani itu menjawab,"Sudah merupakan kerinduanku sejak dulu untuk tinggal ditanah tumpah darahku Rusia, tetapi pada usiaku yang sudah lanjut seperti ini, aku tidak dapat bertahan menghadapi musim dingin di Rusia."

Dengan kalimat seperti ini pejabat Rusia mendukung keinginan petani untuk bermukim di Finlandia dan tetap bersahabat dengan pejabat Rusia. Tidak terbayangkan jika petani itu mengatakan,” maaf Bapak pejabat, saya punya hak penuh untuk memilih tempat tinggal. Ini bukan urusan Anda”.

Kisah lain yang sejalan dengan topik ini adalah seorang guru yang berusaha untuk menjelaskan kepada sekelompok orang mengenai betapa besarnya reaksi orang terhadap kata-kata, menelan kata-kata, hidup dalam kata-kata.

Salah seorang dari kelompok itu berdiri dan mengajukan protes. Dia berkata, "Saya tidak setuju dengan pendapat Anda bahwa kata-kata mempunyai efek yang begitu besar terhadap diri kita."

Guru itu berkata," Duduklah, anak haram!"

Muka orang itu menjadi pucat karena marah dan berkata,"Anda menyebut diri Anda sebagai orang yang sudah mengalami pencerahan, seorang guru, seorang yang bijaksana, tetapi kenyataannya Anda sangat tidak sopan. Seharusnya Anda malu dengan diri Anda sendiri."

Kemudian Guru itu berkata, "Maafkan saya, saya terbawa perasaan. Saya benar-benar mohon maaf, itu benar-benar di luar kesadaran saya, saya mohon maaf." Orang itu akhirnya menjadi tenang.

Kemudian Guru berkata lagi,"hanya diperlukan beberapa kata untuk membangkitkan kemarahan dalam diri anda; dan hanya diperlukan beberapa kata untuk menenangkan
diri anda, benar bukan?"***

Email: bambangsuharno@telkom.net
Informasi Training Pengembangan SDM hubungi Gita Organizer: 021.78841279

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer