Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Jembrana | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BAHAYA PENYAKIT JEMBRANA PADA SAPI BALI

Sapi Bali bisa mati dalam kondisi gemuk tanpa gejala klinis (kiri) atau mati dengan blood sweating/keringat darah yang tampak muncul dari kulit (kanan).

Sapi Bali (Bos sundaicus) merupakan plasma nutfah asli Indonesia. Mudah dipelihara, tak memilih jenis pakan atau rerumputan. Sapi Bali telah berkembang biak dengan baik di luar Pulau Bali, seperti di NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Sumatra dan Kalimantan.

Namun demikian, bahaya masih mengintai dalam pemeliharaan sapi Bali, salah satunya penyakit Jembrana yang disebabkan oleh Lentivirus yang spesifik hanya menyerang sapi Bali. Penyakit yang pertama kali ditemukan pada sapi Bali di Kabupaten Jembrana, Bali, ini telah menyebar ke berbagai pulau yang menjadi penyebaran sapi Bali. Pertama kali wabah terjadi di Lampung, dikenal dengan penyakit Rama Dewa. Kemudian penyakit menyebar ke wilayah Sumatra lainnya seiring dengan penyebaran sapi Bali di wilayah tersebut.

Keberadaan penyakit Jembrana juga ada di Kalimantan, mencakup  Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur serta Kalimantan Tengah. Adapun masuknya penyakit Jembrana di juga terjadi di Sulawesi, yakni Sulawesi Barat yang bisa berimbas menyebarnya penyakit ke Sulawesi Selatan melalui perdagangan sapi antar provinsi. Sulawesi Selatan merupakan Provinsi sumber ternak sapi Bali.

Gejala Klinis
Gejala klnis hanya ditemukan pada sapi Bali, meliputi demam tinggi, cermin hidung tampak mengering, sapi mengalami diare bau menyengat, tinja berwarna kehitaman bercampur darah, terlihat jelas adanya pembengkakan pada limfoglandula prefemoralis dan prescapularis. Sapi terduduk lesu dan pada tahap akhir tampak adanya perdarahan pada kulit/keringat darah atau blood sweating. Munculnya blood sweating merupakan manifestasi penurunan drastis jumlah keping pembeku darah, trombosit. Sapi mengalami kondisi tromositopenia. Adanya gigitan lalat pengisap darah pada kulit yang tidak terjangkau oleh kibasan ekor menyebabkan keluarnya darah dari bekas gigitan pada kulit sapi dan darah tidak mampu membeku.

Namun tidak semua kasus penyakit Jembrana disertai gejala klinis blood sweating karena kasus terjadi akut-perakut. Sapi Bali ditemukan mati medadak dalam kondisi... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Oktober 2022.

Ditulis oleh:
Sulaxono Hadi
Medik Veteriner Ahli Madya
Balai Veteriner Banjarbaru

Diagnosa dan Vaksin Jembrana Berbasis Bioteknologi

Sapi Bali (Foto: Erakini.com)

Nyaris 50 tahun kontrol terhadap wabah penyakit Jembrana hanya berdasarkan pada deteksi dini dan vaksinasi. Lebih memprihatinkan lagi  vaksin komersial yang tersedia terbatas satu merk semata, yaitu "JDVacc" yang telah digunakan secara rutin untuk mengatasi penyakit itu. Vaksin ini masih bersifat konvensional, yakni berbasis virus yang diisolasi dari jaringan terinfeksi (Tabanan/87isolate, JDVTAB/87) yang kemudian diinaktivasi.

Demikian paparan dari Dr drh Asmarani Kusumawati MP, Dosen FKH UGM yang mengupas tentang persoalan cukup sensitif dan krusial penyakit pada Sapi Bali. Penyakit ini sekarang penyebarannya tidak hanya di pulau Bali saja, namun sekarang diketahui menyebar pada beberapa daerah lain di Indonesia, bahkan merangsek hingga ke Australia.

“Penyakit Jembrana sekarang diduga telah berubah, meski belum tentu terjadi mutasi gen,” ungkap Dr Asmarani dalam Seminar Nasional Sapi Bali, Sabtu (24/11/2018). 

Jembrana juga sudah dapat menyerang sapi bangsa lain seperti sapi FH dan crossbred Bali. Meskipun menurutnya dengan gejala yang lebih ringan. Seperti diketahui, bahwa Sapi Bali merupakan salah satu penghasil daging utama di Indonesia, mengingat total populasinya mencapai 27% dari populasi total sapi. Sehingga tidaklah mengherankan, jika penyakit Jembrana menjadi penyakit strategis yang berpengaruh secara ekonomis cukup besar di Indonesia.

Berdasarkan data dari Provinsi Sumsel 2017 yang lalu, jumlah sapi Bali yang mati akibat terserang virus Jembrana sebanyak 50 ekor, Kabupaten Musi Banyuasin menjadi daerah terbanyak yang menyumbang angka kematian sapi Bali akibat virus Jembrana. Dari 200 ekor sapi Bali yang mati, sekitar 100 ekor berasal dari Kabupaten itu. Yang menarik dari beberapa kabupaten lain yang turut terserang virus ini ternyata memiliki masa inkubasi yang pendek, yakni hanya 5-12 hari. 

Lebih lanjut Asmarani menerangkan, Jembrana sebagai sebuah penyakit yang bersifat akut dan berat, memiliki gejala-gejala klinis pokok seperti keringat berdarah, demam lethargy, nafsu makan anjlok dan yang juga khas adalah pembesaran jaringan limfe. Menyerang sapi Bali baik jantan maupun betina pada semua umur.

Pada yang bunting memiliki tingkat kepekaan lebih tinggi terhadap serangan penyakit Jembrana sehingga menyebabkan tingkat abortus dapat mencapai 49%. Tingkat morbiditas mencapai 65% dengan tingkat mortalitas relatif rendah, berkisar 15%. Akan tetapi pada sapi penderita tingkat kematiannya (case fatality rate) menembus 30%. 

Lebih dari 90% kematian ternak sapi terjadi pada minggu pertama sejak munculnya gejala klinis. Yang cukup menarik adalah "Protein imunogenik virus Jembrana" masih dapat ditemukan, meskipun sapi sudah dinyatakan sembuh.

Selain itu yang berkaitan dengan bebas virus  pada Sapi dinyatakan setelah 2 tahun pascainfeksi. Sehingga hewan yang telah sembuh dapat menjadi "karier" untuk penyebaran penyakit. 

Ancaman dari penyakit ini berpotensi menurunkan produksi ternak sapi Bali yang berdampak pula terhadap memperlambat tercapainya swasembada daging.

Bioteknologi mampu membantu mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyakit Jembrana. “Adapun melalui kontribusi dalam pengembangan vaksin untuk mempersiapkan sistemimunitas sapi sebelum melawan virus ketika terjadi infeksi,” urainya. 

Selain sebagai usaha mencegah kerugian dalam industri peternakan, bioteknologi mampu menyediakan berbagai macam jenis vaksin bergantung pada molekul yang diinjeksikan.

“Tipe vaksin DNA lah yang dinilai sangat berpotensi untuk diaplikasi dalam kasus penyakit ini,” ujarnya.

Penggunaan vaksin DNA ini mampu menghindari kemungkinan adanya reversal patogen teratenuasi menjadi "ganas kembali". Disamping itu,jika dibandingkan dengan jenis vaksin lainnya yang hanya mampu memicu respon imunitas humoral, vaksin DNA mampu memicu respon kekebalan seluler pula, yaitu respon yang sangat esensial untuk keberhasilan kontrol infeksi virus dalam tubuh organisme. 

Pengembangan vaksin DNA diharapkan mampu membantu mengatasi hambatan-hambatan untuk tercapainya swasembada daging sapi di Indonesia. Menurut Doktor lulusan Montpellier II Perancis tahun 1998 ini, bahwa beberapa kelebihan diagnostimolekuler diantaranya adalah kecepatan, hasil yang sangat tepat, relatif lebih sensitif serta akurat. Selain itu dapat mendeteksi sampai pada tingkat gen (DNA); RNA dan protein. 

Menurut wanita berdarah Makassar dengan tiga anak ini, dalam mendiagosa aplikasi bioteknologi dilakukan dengan metode yang tidak menyerang dan menimbulkan akibat buruk (non-invasive), artinya relatif aman terhadap jenis penyakit non-infeksi seperti kanker, penyakit degeneratif, penyakit kongenital dan kelainan genetis. Menjadi harapan besar kita bersama, agar aplikasi bioteknologi untuk mendiagnosa dan membuat vaksin yang handal. (Iyo)

Kerugian Ekonomi Akibat Wabah Penyakit Jembrana


Wabah memiliki arti terjadinya suatu penyakit di suatu daerah atau wilayah, terjadi secara cepat dengan angka kematian dan kesakitan cukup tinggi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Penyakit pada ternak terjadi karena infeksi viral, bakterial atau parasit yang bisa menimbulkan wabah, antara lain penyakit Jembrana (sapi bali), Septisemia epizootika, Antrak, Hog cholera, Avian influenza, Newcastle disease dan beberapa penyakit lainya terutama yang bersifat bakterimia, viremia dan septikemia. Dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan wabah penyakit tersebut akan terjadi secara langsung ataupun secara tidak angsung.

Wabah penyakit jembrana akhir-akhir ini terjadi di beberapa daerah di Pulau Sumatera, yang merupakan daerah sentra sapi bali dengan pemeliharaan secara ekstensif pada lahan sawit. penyakit jembrana disebabkan oleh retrovirus, dari anggota group lentivirus yang unik dan disebut Jembrana Disease Virus (JDV). Penyakit jembrana adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi, virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya demam hingga mencapai 41-42o C yang berlangsung 5-12 hari (rata-rata tujuh hari). Fase demam terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan trombosit. Menurunya trombosit menimbulkan perdarahan dihampir semua organ tubuh dan kulit yang luka akibat gigitan serangga pengisap darah potensial seperti lalat Tabanus sp. Penurunan sel limposit B (sel dalam sistem kekebalan tubuh), menyebabkan infeksi sekunder bakteria pada organ tubuh yang berhubungan dengan udara luar, seperti paru paru, ginjal dan saluran pencernaan menimbulkan pneumonia, nephritis dan enteritis. Akibat peradangan ginjal, ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut. Pada umumnya kematian akibat penyakit jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang sangat tinggi dalam darah. Perjalanan penyakit secara imunologis menunjukkan bahwa sel limposit B adalah sel target bagi virus jembrana. Menghilangnya sel limposit B selama 2-3 bulan pasca infeksi menyebabkan kegagalan pembentukan antibodi (kekebalan humoral).

Penyakit jembrana bersifat akut dan hewan yang sembuh akan menjadi karier. Pada hewan karier ini, virus jembrana akan menyatu dengan gen target limposit B mungkin selama hidupnya. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana hewan karier ini bisa menjadi sumber penularan penyakit jembrana. Diduga apabila sapi Bali dalam keadaan stress, kemungkinan virus yang ada di dalam limposit akan mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dan keluar dari limposit B dan menjadi virus ganas yang dapat menularkan penyakit jembrana pada sapi Bali yang peka. Kejadian penyakit jembrana pada suatu wilayah cenderung akan bersifat endemis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah dibandingkan saat kejadian wabah yang bisa mencapai 100%.

Pada lahan penggembalaan di lahan sawit, sapi bali dari pemilik yang berbeda-beda akan berkumpul pada lokasi yang sama untuk mencari makan. Penularan secara mekanis dapat terjadi melalui insekta penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Di samping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat. Secara eksperimental, penyakit jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen. Pada saat demam, titer virus penyakit jembrana dalam darah baik dalam sel maupun plasma darah dapat mencapai 108 partikel virus/ml. Pada kondisi ini, penularan melalui jarum suntik dapat dengan mudah terjadi.

Kerugian Langsung
Wabah yang terjadi di suatu daerah menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung yang dihadapi oleh peternak. Kerugian secara langsung yang terlihat meliputi jumlah kematian ternak, angka kesakitan, penanganan kesehatan hewan dan penurunan populasi, sedangkan yang tidak terlihat adalah penurunan reproduksi, terjadi perubahan struktur populasi dan penurunan efisiensi pakan. Jika wabah terjadi pada populasi 5.000 ekor sapi Bali dengan kematian 100%, maka kerugian ekonomi yang terjadi adalah 5.000 ekor x Rp 10 juta (rata rata harga sapi normal tanpa wabah). Total kerugian akibat kematian ternak sebesar Rp 50 milyar. Asumsi lainnya, tingkat kematian 2% yaitu 100 ekor sapi, maka kerugian mencapai Rp 1 milyar.

Peternak memiliki kebiasaan menjual sapi sakit atau dalam masa inkubasi penyakit ke pedagang di daerahnya dengan harga murah (asumsi 50% dari harga normal), sehingga kerugian ekonomi peternak adalah 50% dari harga sapi normal x populasi sapi. Hal ini menimbulkan masalah di tempat lain atau daerah lain, karena jika sapi sakit dipotong di rumah potong hewan di tempat lain, maka virus akan berpotensi menyebar di sekitarnya. Jika sapi dibawa ke pasar hewan, maka resiko penularan penyakit akan terjadi pada sapi yang berada di pasar hewan. Ketika sapi dibawa atau dibeli oleh peternak lain untuk dipelihara di daerah bebas penyakit, maka akan sangat potensial menjadi agen pembawa penyakit pada populasi bebas menjadi populasi terancam. Tingkat kesakitan penyakit berkisar 10% akan berakibat meningkatnya biaya pengobatan ternak berupa pemberian vitamin suportif, antibiotik untuk pencegahan infeksi sekunder dan meningkatnya biaya operasional tenaga teknis kesehatan hewan.

Kerugian Tidak Langsung
Wabah penyakit jembrana terjadi pada daerah yang menjadi sumber ternak sapi Bali, menyebabkan kerugian tidak langsung berupa adanya pendapatan yang hilang karena terjadi penurunan komoditi perdagangan. Seperti contoh kejadian nyata terjadi di kabupaten A di provinsi B, pada saat kondisi normal tanpa wabah, pemenuhan kebutuhan hewani masih bergantung suplai sapi dari provinsi C. Wabah jembrana yang terjadi di kabupaten A menimbulkan kekhawatiran para peternak akan terjadi kematian ternaknya, sehingga peternak berbondong-bondong menjual ternaknya pada jagal. Kondisi tersebut menyebabkan stok sapi yang akan dipotong di rumah potong hewan menjadi menumpuk, akibatnya terjadi kelebihan suplai ternak dan suplai daging bagi kabupaten tersebut. Kerugian yang dialami oleh feedloter dari provinsi C, terjadinya penurunan hingga berhentinya pengiriman sapi siap potong ke RPH di kabupaten A selama beberapa minggu atau bulan selama terjadi wabah. Penundaan waktu dan jumlah pengiriman sapi siap potong menimbulkan kerugian ekonomi akibat menurunya perdagangan dan menurunya perfoma produksi yang dialami oleh feedloter di provinsi C.

Kejadian wabah di daerah sumber ternak sapi Bali secara umum diikuti dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk melarang lalu-lintas ternak ke luar daerah. Penutupan atau pembatasan ini secara umum akan menimbulkan kerugian para pedagang (blantik) yang biasa beroperasi antar wilayah akibat menurunkan atau berhentinya pengiriman sapi bali dari daerah tersebut. Penurunan pengiriman ternak juga menimbukan kerugian ekonomi bagi pengusaha jasa transportasi ternak.

Pemerintah daerah atau pusat melakukan langkah untuk menghindari penularan penyakit atau menghindari terjadinya penyakit di daerah bebas dengan mengeluarkan anggaran dana untuk biaya pengendaian penyakit. Tim investigasi dari UPT kesehatan hewan akan diturunkan untuk melakukan investigasi penyakit jembrana di kabupaten A. Biaya yang dihabiskan untuk investigasi mencakup uang saku harian tiap anggota tim, biaya akomodasi, transportasi ke daerah wabah, serta alat dan bahan yang dibutuhkan untuk investigasi. Hasil dari investigasi berupa data, pemetaan penyakit, kejadian penyakit, serta sampel yang diambil untuk diagnose dan peneguhan penyakit di laboratorium. Sampel berupa serum darah akan diperiksa menggunakan ELISA dan Western Bot (WB), sedangkan sampel-sampel organ yang mati, pasma dan buffycoat diuji dengan PCR. Pengujian laboratorium tersebut membutuhkan dana yang cukup banyak.

Hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang menyebutkan bahwa kematian populasi sapi Bali di kabupaten A disebabkan oleh penyakit jembrana, sehingga rekomendasi oleh laboratorium kesehatan hewan agar dilakukan vaksinasi jembrana di kabupaten tersebut. Biaya yang digunakan untuk operasional vaksinasi meliputi, jumlah dan harga vaksin, biaya transportasi vaksin, operasional untuk petugas vaksinator, alat dan bahan vaksinasi, spuit, sarung tangan dan masker (penutup mulut). Pemberantasan vektor sebagai agen pembawa penyakit dari satu individu sapi ke individu lain dilakukan dengan mengeluarkan dana pembelian insektisida.

Wabah penyakit jembrana menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar bagi semua pihak. Deteksi dini penyakit menjadi bagian terpenting untuk mencegah terjadinya wabah penyakit. Vaksinasi menjadi salah satu senjata strategis untuk mencegah timbulnya penyakit. Penutupan dan pembatasan lalu-lintas sapi Bali di daerah wabah ke daerah bebas, serta pengendalian vektor menjadi sangat krusial dalam upaya penyebaran penyakit ke populasi dalam satu daerah ataupun antar daerah. Sinergi antar pemerintah, peternak dan para pedagang sangat berperan penting untuk penanganan penyakit ini.

Drh. Joko Susilo M.Sc
Medik Veteriner Muda,
Balai Veteriner Lampung.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer