Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Ketika Pabrik Pakan Ternak Pontianak "Berburu" Jagung

Edisi 168 Juli


(( Kebutuhan pakan ternak di Kalbar yang diperkirakan mencapai 125 ribu ton per bulan. Sejumlah daerah yang tengah dijajaki untuk menyuplai dari sentra-sentra produksi jagung di Pulau Jawa dan Lampung. ))

Status daerah bebas kasus flu burung ikut memicu membaiknya kondisi ternak ayam di Kalbar. Peran Kalbar terhadap produksi daging ayam secara nasional sekitar 14 persen. Setiap tahun, para peternak Kalbar mampu menghasilkan 15,2 juta ekor ayam.

Kalbar termasuk daerah yang tingkat konsumsi ayamnya cukup tinggi yakni 63 persen dari total kebutuhan akan daging. Saat ini terdapat sekitar 750 peternak unggas di Kalbar dengan porsi 60 persen skala kecil dan sisanya menengah hingga besar.

Kebutuhan pakan ternak di Kalbar yang diperkirakan mencapai 125 ribu ton per bulan. Sejumlah daerah yang tengah dijajaki untuk menyuplai dari sentra-sentra produksi jagung di Pulau Jawa dan Lampung. Sedangkan Gorontalo yang dikenal sebagai "provinsi jagung" tidak dilirik karena mempertimbangkan ongkos angkut.

Menurut Kepala Dinas Kehewanan dan Peternakan Kalbar, Abdul Manaf Mustafa dalam suatu kesempatan, mereka masih mencari bahan baku ke berbagai daerah karena jagung dari petani Kalbar belum memenuhi kebutuhan pabrik.

Bahkan, pabrik pakan ternak di Terminal Agrobisnis Terpadu (TAT) Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat masih mencari bahan baku terutama jagung sehingga mengundurkan target mulai produksi pertengahan Mei 2008.

Pabrik tersebut berkapasitas lima ton per jam dengan waktu operasional per hari 16 jam atau total produksi mencapai 80 ton per hari. Jagung mencakup 55 persen dari bahan baku yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram pakan. "Setidaknya dibutuhkan 40 ton jagung per hari dengan asumsi total produksi 80 ton," kata Abdul Manaf.

Selain jagung, pakan tersebut dicampur dengan kedelai, dedak dan sorgum. Ia menambahkan, mengingat kebutuhan jagung yang amat tinggi, peran petani lokal amat penting untuk menjaga kontinuitas produksi.

"Untuk sementara bahan baku lebih banyak dari luar Kalbar, tetapi selanjutnya kami mengharapkan petani lokal mampu menyuplai 100 persen terutama untuk jagung," kata dia.

Pabrik pakan itu dibangun Pemprov Kalbar dengan melibatkan pihak swasta. Dana APBN yang dialokasikan sebesar Rp8,5 miliar untuk menyiapkan mesin produksi. Sedangkan swasta sarana pendukung lain seperti bahan baku dan tenaga ahli.

Namun Pemprov Kalbar masih belum memastikan keuntungan secara langsung yang akan diperoleh dari pembangunan pabrik pakan itu meski menggunakan dana negara.

"Akan ada pembicaraan lagi yang melibatkan Pemprov Kalbar, pengusaha dan kelompok tani selaku penyedia bahan baku mengenai bentuk bagi hasil yang paling tepat," kata Abdul Manaf. (Ant/ Infovet)

CACINGAN

Edisi 167 Juni 2008

(( Infestasi cacing tidak akan pernah lepas dari layer, dan ini sangat mengganggu produksi. ))

100 tahun kebangkitan nasional, sebuah perjalanan panjang yang telah menghantarkan penduduk negeri ini ke ranah yang berbudaya yang dikenal bangsa-bangsa lainnya di dunia. 100 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menunjukkan eksistensi diri, sebagai bangsa yang beradab, berbudi luhur dan santun dalam bersikap.
100 tahun merupakan awal sejarah kembalinya bangsa ini ke titik awal untuk bangun dan bangkit dari keterpurukan sosial dan jati diri, saatnya mengkaji, apa yang menjadi penyebab kegagalan-kegagalan dalam mencapai tujuan mulya bangsa ini?
Di bidang usaha peternakan, kajian yang berkelanjutan tentang upaya melenyapkan infestasi cacing terus dilakukan. Berbagai usaha diuji coba, namun tetap tidak membuahkan hasil, artinya upaya untuk menzerokan usaha peternakan dari gangguan cacing tetap tidak tercapai.
Hal ini terkait dengan keberadaan cacing sebagai organisme hidup, di mana selagi ada hospes maka cacing tetap dijumpai.
Cacing adalah penyebab penyakit pada ternak yang sering dilupakan, terutama pada usaha peternakan unggas modern. Hal ini sesuai dengan komentar yang disampaikan Hanggono SPt bahwa infestasi cacing tidak akan pernah lepas dari layer, dan ini sangat mengganggu produksi layer tersebut.
Infestasi cacing yang sering menggerogoti usaha peternakan layer adalah cacing pita atau cestoda. Cacing ini dapat dijumpai di berbagai spesies dan tidak terpaku pada jenis induk semang yang spesifik.
Cacing pita berbentuk pipih, putih dan panjang seperti pita (tape worm) dan bersegmen. Cacing pita terdiri dari kepala atau scolex dan zona pertumbuhan atau leher, bersegmen yang disebut strobila dan tiap-tiap segmen disebut proglottid. Cacing pita pada unggas dijumpai pada saluran pencernaan.
Hewan perantara (intermediate) yakni invertebrata seperti kumbang atau lalat yang dibutuhkan untuk menyempurnakan siklus hidupnya. Hewan perantara ini akan memakan telur cacing dari unggas yang terinfestasi cacing tersebut. Telur di dalam saluran pencernaannya akan menetas.
Larvanya akan menembus dinding usus dan masuk ke dalam rongga badan kemudian akan berubah menjadi cysticercoids dalam waktu 3 minggu. Unggas terinfestasi cacing pita karena memakan hewan perantara tersebut.
Cysticercoids akan dilepaskan oleh cairan pencernaan dari induk semang kemudian akan terkait pada dinding usus induk semang, lalu proglottids yang baru mulai membentuk segera dan dalam waktu 3 minggu cacing pita dewasa sudah terbentuk.
Layer dengan infestasi cacing pita menampakkan perubahan seperti mendadak lesu, diare, jika cacing pitanya banyak dapat menyebabkan radang usus disertai diare yang meluas, sehingga menyebabkan produksi menurun dibawah rata-rata, Infestasi cacing pita mengakibatkan penurunan bobot badan, mengganggu laju pertumbuhan, menurunkan produksi daging dan telur.
Cacing pita dalam jumlah besar mengambil sari-sari makanan dari tubuh inang, ini berakibat terjadinya hipoglikemia yang menyebabkan kematian ayam secara mendadak dalam jumlah yang besar. Terkait dengan siklus hidup cacing pita tersebut, apa yang harus dilakukan peternak?
Adalah drh Zalpidal Ketua PDHI Cabang Riau menyatakan bahwa usaha yang perlu dilakukan peternak adalah memutus siklus hidup cacing tersebut, artinya peternak harus mampu menekan sedemikian mungkin keberadaan hewan perantara di lokasi peternakannya.
Dikatakannya bahwa kumbang dan lalat sebagai vektor sedapat mungkin ditiadakan di lokasi peternakan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kebersihan kandang.
Senada dengan Ketua PDHI Cabang Riau tersebut, Hanggono SPt Technical Service PT Medion Cabang SUMSEL menyatakan bahwa usaha pengendalian vektor adalah peringkat utama yang harus dilakukan, ini dapat dilakukan dengan cara menjaga sanitasi kandang dan lingkungannya. Lalu bagaimana perlakuannya untuk ayam dengan infestasi cacing pita?
Biasanya dapat dikontrol dengan pemberian obat cacing, namun perlu diingat oleh peternak bahwa pengobatan tidak cukup dilakukan sekali, ini tergantung pada tingkat serangannya.
Banyak obat yang telah direkomendasikan oleh medis veteriner atau Technical Service di lapangan, dalam hal penanganan kasus cacing pita, peternak tinggal pilih, merek dan jenis preparat anthelmentika mana yang akan digunakan untuk menanggulangi kasus tersebut.
Menurut Hanggono SPt, program penanggulangan cacing pita dapat dilakukan dengan cara pemberian obat cacing setiap 6 minggu, dan ini rutin dilakukan, hal ini mengingat siklus hidup cacing pita yang terus ada sepanjang musim pemeliharaan layer.
Peternak dapat menggunakan preparat levamisol dan niclosamid untuk pengobatan sekaligus mencegah keberadaan endo parasit pada layer.
Di samping itu, drh Zalpidal Ketua PDHI Cabang Riau dan TS senior PT Romindo Primavetcom Cabang Riau menganjurkan untuk menggunakan preparat piperazine citrate 40% untuk tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit cacingan di usaha peternakan layer.
Pemberian preparat ini dapat dilakukan melalui air minum dengan cara melarutkan 30 ml piperazine citrate 40% dalam 3 liter air untuk 100 ekor layer umur 4-6 minggu, sedang untuk layer di atas 6 minggu, dosis dinaikan 60 ml dalam 6-10 liter air.
Perlu diingat oleh peternak bahwa selama program pencegahan dan pengobatan cacingan pada layer dengan aplikasi air minum, usahakan ayam untuk tidak minum yang lainnya selain air yang telah dicampur dengan preparat anti cacing yang dipilih oleh peternak. (Daman Suska).

Cacingan Si Pencuri Nutrisi Ternak

Edisi 167 Juni 2008

Peternakan tanpa serangan penyakit merupakan suatu dambaan setiap peternak. Namun dengan program pengobatan yang ketat dari awal ayam masuk kandang sampai ayam keluar kandang (dipanen pada ayam broiler atau diafkir pada ayam layer) masih saja ada ayam yang terserang penyakit, seperti penyakit cacingan.
Cacingan pada ayam sering dianggap masalah sepele oleh peternak. Hal ini dikarenakan ayam tidak menunjukkan gejala yang khas. Gejala seperti lesu, nafsu makan turun dan pucat (anemis) baru terlihat jika ayam sudah terinfestasi cacing dalam jumlah yang banyak. Hal ini berbeda dengan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus yang biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi serta secara ekonomi sangat merugikan bagi usaha peternakan.
Hal itu disampaikan Drh Hadi Wibowo praktisi bidang peternakan yang ditemui Infovet dirumahnya kawasan Cijantung, Jakarta Timur. Menurut Hadi gejala cacingan pada ayam tersebut perlahan-lahan akan diikuti dengan hambatan pertumbuhan, penurunan produktivitas dan dapat diakhiri dengan kematian jika tidak segera diobati. Penyelesaian terhadap kasus cacingan biasanya diberi obat berupa anthelmintika (obat cacing). Selain itu juga dilakukan pencegahan seperti sanitasi kandang dan peralatan kandang.
Adanya latar belakang kasus seperti ini maka Infovet edisi Juni 2008 ini akan membahas mengenai dampak penyakit cacingan pada unggas dan ternak besar lainnya, beberapa jenis cacing yang umum menyerang, serta cara pengendaliannya.

Bisakah Ayam Cacingan?
Hadi Wibowo yang berpengalaman lebih dari 20 tahun di usaha peternakan ayam menuturkan bahwa penyakit cacingan pada ayam walaupun tidak mendapat perhatian khusus dari peternak namun memiliki arti ekonomi yang besar karena bisa menimbulkan gangguan pertumbuhan, penurunan produksi (telur dan daging) dan kematian pada ayam jika tidak diobati sedini mungkin.
“Serangan cacing pada ayam tidak menyebabkan tanda-tanda kesakitan yang jelas. Hal ini karena populasi cacing yang terdapat pada tubuh ayam baru sedikit. Namun jika serangan awal cacing tersebut tidak diperhatikan maka akan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak diharapkan oleh peternak,” ujar Hadi.
Ditemui terpisah Drh Hasbullah MSc PhD dari PT Pfizer Indonesia Divisi Animal Health menambahkan, pada kondisi lapangan, peternak baru turun tangan jika kondisi ayamnya terlihat parah yaitu nafsu makannya turun, adanya diare, berat badan turun, produksi telur turun, jengger dan kulit kakinya pucat. Hal tersebut disebabkan karena peternak berpikiran bahwa pencegahan penyakit cacingan telah diketahui dan dapat diaplikasikan dengan mudah.
Disamping itu juga masa pemeliharaan ayam broiler yang pendek sekitar 1,5 bulan, serta ayam layer yang biasanya dipelihara pada kandang baterai sehingga kontak dengan tanah lebih sedikit, karena tanah merupakan salah satu tempat perkembangbiakan cacing ataupun tempat hidup induk semang antara.

Dampak Cacingan pada Ayam
Lebih lanjut, Hadi Wibowo yang saat ini bekerja di PT Sumber Mulitivita menyatakan bahwa penyakit cacingan sering dianggap tidak penting oleh peternak, tidak seperti penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri yang menunjukkan gejala klinis jelas dan sering diikuti dengan tingkat kematian yang tinggi. Lain halnya dengan cacingan, penyakit ini seperti penyakit yang tersembunyi yaitu walaupun sudah berkembang dalam tubuh ayam namun belum menunjukkan gejala klinis yang pasti sampai cacing tersebut menginfestasi ayam dalam jumlah besar. Infestasi cacing yang ringan (jumlah cacing sedikit) tidak dapat langsung dirasakan akibatnya oleh peternak, karena ayam tampak sehat-sehat saja namun tanpa disadari produksi (daging dan telur) menurun.
Jika infestasi cacing sudah berat yaitu jumlah cacing dalam tubuh ayam banyak maka akan terlihat nafsu makan turun, pertumbuhan terhambat, bulu kasar, pucat dan kurus. Gejala tersebut diikuti dengan penurunan produksi (daging dan telur) yang lebih signifikan, dikarenakan pakan yang seharusnya diolah dalam tubuh ayam menjadi daging atau telur, diserap cacing sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhannya. Selain itu cacing juga dapat menyebabkan perdarahan pada mukosa usus, biasanya oleh cacing pita, sehingga ayam akan kehilangan darah dan cairan tubuh secara langsung.
“Infestasi cacing yang berat dapat pula menyebabkan mencret atau diare sehingga bulu sekitar anus menjadi kotor, basah dan lengket. Jika hal ini berlanjut maka akan menyebabkan daya tahan tubuh ayam menurun sehingga dengan mudah akan terserang penyakit lain,”.
Hal senada disampaikan Dr Drh Hasbullah, menurutnya, belum pernah ada data yang menguraikan secara jelas dampak ekonomis penyakit cacingan baik pada unggas maupun ternak besar, sehingga banyak peternak yang menyepelekan kejadian penyakit ini. Hal ini wajar bila dibandingkan dengan infeksi kasus penyakit Koksi, ND, atau IB pada unggas yang gejala penyakit dan dampaknya secara jelas langsung terlihat seperti tingkat mortalitas dan morbiditasnya.
“Penyakit cacing atau helminthiasis masih kurang diperhatikan peternak karena tidak menimbulkan kematian yang mendadak dan tinggi sepertinya halnya penyakit viral (misal ND atau Al). Padahal penyakit ini mampu menimbulkan kerugian cukup besar. Waktu serangannya sulit diketahui, tiba-tiba saja produktivitas ayam menurun,” ujar Hasbullah.
Hadi melanjutkan, ayam yang terserang cacingan akan menjadi lesu, pucat dan dapat menyebabkan kematian. Pada bedah bangkai, saluran percernaan dimana cacing sering ditemukan terutama pada proventrikulus, usus atau sekum akan terlihat berdarah, radang dan dinding ususnya menebal. Kerusakan tersebut dikarenakan cacing menembus mukosa usus sehingga dindingnya menjadi tebal dan kasar yang berlanjut menjadi nodul-nodul, Jika parah akan menyebabkan peradangan dan dapat berlanjut dengan perdarahan jika cacing sudah menembus dan melukai dinding usus.
Dengan begitu Hadi tidak setuju bila cacing dikatakan sebagai pencuri nutrisi ternak karena keberadaan cacing lebihbanyak merusak saluran permukaan saluran pencernaan yang menyebabkan penyerapan nutrisi terganggu dan bahkan jika populasinya terlampau banyak
Cacing yang terdapat dalam usus akan berkompetisi dengan tubuh ayam itu sendiri dalam mengambil sari makanan pada saluran pencernaan. Semakin banyak populasi cacing dalam tubuh ayam maka semakin banyak pula sari makanan dalam tubuh ayam yang berkurang. Selain itu populasi cacing dalam usus juga dapat menyebabkan gangguan absorbsi sari makanan yang jika berlanjut pertumbuhan ayam akan terganggu.

Beberapa Jenis Cacing pada Ayam
Banyak jenis cacing yang dapat menyerang ayam. Secara umum dapat digolongkan menjadi 3 yaitu: trematoda (cacing daun), cestoda (cacing pita) dan nematoda (cacing gilig). Dari ketiga jenis tersebut, nematoda dan cestoda merupakan golongan cacing yang banyak menyerang dan menyebabkan kerugian ekonomi pada ayam. Beberapa jenis cacing yang banyak menyebabkan kasus cacingan adalah sebagai berikut:

Cestoda (cacing pita)
Tubuhnya biasanya panjang, pipih dan terdiri dari 3 daerah yaitu kepala, leher dan badan. Kepala (skoleks atau alat pegangan) yang biasanya dilengkapi dengan alat penghisap. Alat penghisap tersebut kadang dilengkapi dengan kait. Struktur lain yang sering ada adalah rostelum, suatu tonjolan seperti hidung yang dapat dipersenjatai dengan kait juga. Leher terletak dibelakang kepala dan badan (strobila) yang tersusun atas segmen-segmen yang disebut proglotida. Setiap proglotida berisi satu pasang organ perkembangbiakan jantan dan betina. Semakin jauh dari leher semakin matang organ tersebut.
Cestoda merupakan hermaprodit dimana dalam tubuhnya terdapat alat reproduksi jantan dan betina. Jika proglotida sudah penuh dengan telur maka akan pecah dan keluar dari tubuh bersama dengan feses. Golongan cacing ini yang sering menyerang pada ayam adalah:
a. Raillietina sp.
Cacing pita ini merupakan cacing yang umum ditemukan pada ayam di Indonesia. Tubuhnya mempunyai banyak proglotida. Terdapat rostelum dengan banyak kait. Kait tersebut yang sering menimbulkan kerusakan pada mukosa saluran pencernaan sehingga menyebabkan perdarahan pada usus. Beberapa jenis Raillietina pada ayam adalah:
1. Raillietina cesticillus
Biasanya terdapat pada usus halus bagian anterior (depan). Panjangnya dapat mencapai 13 cm dan biasanya dilengkapi dengan alat penghisap. Telurnya berkapsula (berselubung) dan setiap kapsula berisi satu telur. Induk semang antaranya berupa kumbang.
2. Raillietina echinobothria
Dapat ditemukan pada usus halus, panjangnya bisa mencapai 25 cm. Alat penghisapnya agak besar, setiap kapsula berisi 6-12 telur. Sering menimbulkan nodul-nodul (bintik kecil) pada tempat melekatnya di dinding usus halus. Induk semang antaranya adalah semut.
3. Raillietina tetragona
Terdapat di dalam usus halus bagian posterior (belakang), panjangnya mencapai 25 cm. Setiap kapsula berisi 8-12 telur. Induk semang antaranya juga berupa semut.

b. Davainea sp.
Cacing jenis ini mempunyai kait berjumlah banyak dan hanya tersusun dari sedikit segmen. Davainea proglottina merupakan salah satu contoh cacing kelompok ini. Cacing ini terdapat pada duodenum ayam, dengan panjang 0,5-3 mm dan mempunyai 4-9 proglotida. Kait pada rostelum lebih panjang daripada pada alat penghisap, sehingga tidak mudah lepas. Larva berkembang pada induk semang antara dalam 2-4 minggu, sedangkan bentuk dewasa mulai meletakkan telur pada ayam terinfeksi sekitar 2 minggu. Induk semang antaranya adalah siput.
Siklus hidup dari cacing ini biasanya terdiri dari telur, stadium larva dalam induk semang antara, dan dewasa dalam vertebrata.

Nematoda (cacing gilig)
Cacing jenis ini mempunyai saluran usus dan rongga badan, pada potongan melintang berbentuk bulat. Saluran pencernaan merupakan tabung lurus panjang. Terdapat sebuah mulut pada ujung anterior (depan) cacing dan berakhir pada rektum untuk cacing betina dan kloaka untuk cacing jantan. Siklus hidup cacing ini terdiri dari telur, stadium larva dan dewasa.
Golongan cacing gilig yang sering menyerang ayam adalah:
1. Ascaridia galli
Terdapat pada usus halus ayam, panjang cacing jantan 30-80 mm sedangkan betina berukuran 60-120 mm. Siklus hidupnya langsung, telur keluar bersama feses dan berkembang menjadi stadium infektif di atas tanah dalam waktu 8-14 hari pada kondisi biasa. Stadium infektif tertelan ayam dan menetas di dalam proventrikulus atau usus halus. Stadium infektif berada di dalam lumen usus dan menjadi dewasa 18-22 hari sesudah tertelan.
2. Heterakis gallinarum
Merupakan cacing sekum pada ayam, dengan panjang 4-13 mm pada cacing jantan dan 8-15 mm pada betina. Siklus hidupnya langsung, telur keluar bersama feses dan mencapai stadium infektif dalam 12-14 hari pada suhu kamar dan menginfestasi ayam melalui saluran pencernaan. Telur menetas di duodenum dan kemudian menuju sekum dan matang di dalam lumen.
3. Tetrameres americana
Ditemukan pada dinding proventrikulus ayam, dengan panjang 5,0-5,5 mm pada cacing jantan dan 3,5-4,5 mm pada cacing betina. Induk semang antara adalah belalang dan kecoa.
4. Capillaria sp.
Cacing ini berbentuk seperti cambuk tetapi ramping, secara umum telurnya tidak berembrio. Siklus hidupnya langsung. Golongan cacing ini yang sering muncul pada ayam adalah: C. contorta, dijumpai pada mukosa tembolok ayam, dengan panjang 10-48 mm pada cacing jantan dan 25-70 mm pada cacing betina; C. caudinflata, terdapat pada mukosa usus halus ayam, dengan panjang 7-20 mm pada cacing jantan dan 9-36 mm pada cacing betina; C. obsignata terdapat pada mukosa usus halus ayam, dengan panjang 8-10 mm pada cacing jantan dan 10-18 mm pada cacing betina.
5. Oxyspirura mansoni
Merupakan cacing mata pada unggas. Terdapat di bawah membrana niktitans pada ayam, panjangnya 10-16 mm pada jantan dan 12-19 mm pada betina.

Pada intinya penyakit cacing lebih sering menyerang ayam layer sedangkan pada ayam broiler lebih jarang terjadi. Ayam muda lebih rentan dibandingkan ayam tua. Gejala serangan cacing antara lain pertumbuhan terhambat atau produksi telur turun, nafsu makan hilang, ayam kurus, lemah, sayap terkulai, diare yang terkadang diikuti dengan adanya perdarahan, anemia dan pada kondisi yang ekstrim (parah) dapat menyebabkan kematian. (Inf/bbs)

Cacingan dan Pengobatannya

Edisi 167 Juni 2008

Penyakit cacing atau helminthiasis terkadang masih kurang diperhatikan karena tidak menimbulkan kematian yang mendadak dan tinggi sepertinya halnya penyakit viral (misal ND atau Al). Padahal penyakit ini mampu menimbulkan kerugian cukup besar. Waktu serangannya sulit diketahui, tiba-tiba saja produktivitas ayam menurun.
Cacing yang sering menyerang ayam secara umum ada dua yaitu cacing gilik (Ascaridia sp., Heterakis sallinae, Syngamus trachea, Oxyspirura mansonii) dan cacing pita (Raillietinasp., Davainea sp.).
Cacing biasanya menginfestasi ke dalam tubuh ayam melalui beberapa cara, diantaranya melalui telur cacing atau larva cacing yang termakan oleh ayam, memakan induk semang antara (siput, kumbang, semut dll.) yang mengandung telur atau larva cacing, telur atau larva cacing yang terbawa oleh petugas kandang melalui sepatu, pakaian kandangnya atau terbawa terbang oleh induk semang antara, selain itu juga bisa karena ransum atau air minum yang tercemar telur cacing.
Telur cacing yang keluar bersama feses berkembang menjadi stadium infektif kemudian termakan induk semang antara atau langsung masuk tubuh ayam yang kemudian akan menuju ke tempat yang disukainya (tembolok, usus, sekum atau organ lain) untuk berkembang sampai dewasa.

Pengendalian Cacingan
Pengendalian penyakit cacingan merupakan salah satu usaha untuk mendapatkan hasil peternakan yang optimal. Cara yang dilakukan agar peternakan terhindar dari penyakit cacingan adalah dengan dilakukannya pencegahan yaitu:
1. Pemberian obat cacing. Pengobatan akan sia-sia jika penyakit cacingan sudah parah. Sebaiknya dilakukan pengobatan secara rutin untuk memotong siklus hidup cacing. Seperti cacing nematoda dengan siklus hidup kurang lebih satu setengah bulan, maka diberikan pengobatan dua bulan sekali, begitu juga dengan cestoda. Pemberian obat cacing pada ayam layer sebaiknya diberikan pada umur 8 minggu dan diulang sebelum ayam naik ke kandang baterai. Sedangkan pada ayam broiler jarang diberikan anthelmintika karena masa hidupnya pendek.
2. Melakukan sanitasi kandang dan peralatan peternakan meliputi kandang dibersihkan, dicuci dan disemprot dengan desinfektan serta memotong rumput disekitar area peternakan.
3. Mengurangi kepadatan kandang, karena dapat memberi peluang yang tinggi bagi infestasi cacing.
4. Pemberian ransum dengan kandungan mineral dan protein yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh tetap baik.
5. Mencegah kandang becek, seperti menjaga litter tetap kering, tidak menggumpal dan tidak lembab.
6. Peternakan dikelola dengan baik seperti mengatur jumlah ayam dalam kandang tidak terlalu padat, ventilasi kandang cukup dan dilakukan sistem “all in all out”.

Obat Cacing (Anthelmintik)
Selain pencegahan juga harus dilakukan pengobatan pada peternakan ayam yang telah terserang cacingan. Pengobatan sebaiknya dilakukan secara serempak dalam satu kandang atau flok yang terserang cacingan dengan anthelmintika yang sesuai. Anthelmintika merupakan obat untuk menghilangkan atau mengeliminasi parasit cacing dari tubuh ayam.
Obat cacing (anthelmintika) merupakan senyawa yang berfungsi membasmi cacing sehingga dikeluarkan dari saluran pencernaan, jaringan atau organ tempat cacing berada dalam tubuh hewan. Secara garis besar, cara kerja obat cacing ada 2 yaitu mempengaruhi syaraf otot cacing dan mengganggu proses pembentukan energi. Cara kerja yang pertama akan mengakibatkan cacing lumpuh sehingga dengan mudah dikeluarkan dari tubuh ternak bersama dengan feses. Sedangkan cara kerja kedua menyebabkan cacing kehilangan energi dan akhirnya mati.

Jenis Obat Cacing
Berdasarkan cara kerjanya, obat cacing dibedakan menjadi 5 kelompok yaitu 1) Benzimidazol (albendazol, fenbendazol, flubendazol, thiabendazol); 2) Imidathiazol (levamisol) dan tetrahydropyrimidine (pyrantel); 3) Avermectin (ivermectin) dan milbemycin (moxidectin); 4) Salicylanilide (niclosamid) dan nitrophenol; 5) Diclorvos dan trichlorphon. Piperazin dikelompokkan tersendiri karena cara kerjanya berbeda.
Kriteria obat cacing ideal antara lain : 1) Efektif, yaitu berspektrum luas dan aktif untuk semua fase hidup cacing, termasuk cacing dalam jaringan maupun saluran cerna; 2) Aman, yaitu mempunyai indeks terapi yang lebar. Tidak menimbulkan residu di jaringan dan atau withdrawal time (waktu henti obat agar unggas/ternak aman untuk dikonsumsi) yang pendek. Tidak berinteraksi dengan obat atau racun lain di lingkungan. Tidak toksik terhadap ternak yang masih muda; 3) Efisien, yaitu cukup satu kali pemberian untuk meminimalkan biaya dan stres penanganan ternak; 4) Murah.
Obat cacing yang benar-benar ideal mungkin sulit ditemukan. Keunggulan dan keterbatasan obat cacing yang banyak beredar di lapangan antara lain :
1. Piperazin
Piperazin merupakan obat cacing yang paling sering digunakan oleh peternak. Piperazin sangat efektif untuk mengatasi infeksi cacing gilik yang ada di saluran cerna seperti Ascaridia pada ayam, ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing), babi maupun kuda. Piperazin biasanya dikombinasikan dengan phenotiazine agar efektifitas-nya terhadap cacing sekum meningkat.
Kelarutan piperazin sangat baik dalam air sehingga dapat diberikan melalui air minum maupun dicampur dengan ransum. Keunggulan piperazin yaitu memiliki rentang keamanan yang luas. Namun, piperazin kurang efektif untuk membasmi Heterakis gallinae (cacing sekum), cacing cambuk dan cacing pita.
2. Phenotiazin
Phenotiazin sangat efektif mengatasi cacing sekum (Heterakis gallinae) dan Ascaridia sp. pada unggas, tetapi phenotiazin tidak efektif untuk membasmi cacing pita. Walaupun mekanisme kerja obat ini belum diketahui dengan pasti tetapi dari segi keamanan phenotiazin praktis tidak toksik untuk unggas.
3. Levamisol
Levamisol termasuk golongan imidathiazole yang efektif membasmi cacing gilik dewasa hingga bentuk larvanya. Levamisol juga sangat efektif membasmi cacing gilik yang ada di jaringan dan organ tubuh (Syngamus trachea pada trakea, Oxyspirura mansonii pada mata) karena levamisol dengan cepat diserap dan didistribusikan ke jaringan atau organ. Saat kondisi sistem imun rendah, levamisol dapat membantu meningkatkan sistem imun tubuh host (inang)-nya dengan cara meningkatkan aktifitas makrofag.
Dibandingkan dengan benzimida-zol, levamisol mempunyai rentang keamanan yang lebih sempit. Walaupun demikian pada dosis terapi terbukti tidak menimbulkan efek samping terhadap produksi telur, fertilitas mau-pun daya tetas.
4. Ivermectin
Ivermectin lebih banyak digunakan pada hewan besar atau hewan kesayangan karena obat ini termasuk obat yang mahal. Keunggulan ivermectin adalah selain efektif mengatasi infeksi cacing gilik juga efektif mengatasi ektoparasit (kutu, tungau, caplak, larva serangga). Selain itu, ivermectin mampu membasmi bentuk cacing yang belum dewasa..
5. Niclosamid
Niclosamid termasuk golongan salicylanilida yang secara spesifik efektif untuk mengatasi infeksi cacing pita. Niclosamid diaplikasikan melalui ransum karena tidak larut air. Niclosamid tidak diserap dalam usus sehingga mempunyai batas keamanan yang luas. Hasil penelitian menunjukkan pemberian niclosamid 40 kali dosis terapi pada sapi dan domba tidak bersifat toksik.
6. Albendazol
Albendazol termasuk golongan benzimidazol yang mempunyai kela-rutan terbatas dalam air. Umumnya digunakan pada hewan besar dalam bentuk kaplet atau suspensi dengan cara dicekok. Albendazol efektif untuk mengatasi infeksi cacing gilik pada saluran pencernaan, cacing pita, cacing paru dewasa dan larvanya (Dictyocaulus) dan cacing dewasa Fascioia gigantica.
Mekanisme kerjanya adalah meng-ganggu metabolisme energi dengan menjadi inhibitor fumarat reduktase. Ketidaktersediaan energi menyebabkan cacing mati. Golongan benzimidazol sebaiknya tidak digunakan saat masa kebuntingan awal.

Teknik Pengobatan
Teknik pengobatan harus dilakukan dengan tepat sehingga efektivitas pengobatan optimal.
1. Pemilihan obat yang tepat
Obat cacing dikatakan efektif jika mempunyai spektrum kerja terhadap cacing tersebut. Pemilihan obat cacing didasarkan pada hasil diagnosa jenis cacing yang menginfeksi. Spektrum kerja obat cacing dapat dilihat pada tabel.
Obat yang cocok untuk mengatasi cacing gilik di saluran cerna (Ascaridia galli, Heterakis gallinae, Capillaria sp.,) antara lain piperazin, levamisol, dan phenotiazin, ivermectin atau benzimidazol/albendazole. Guna mengatasi cacing gilik yang ada di jaringan atau organ lain (Syngamus trachea, Oxyspirura mansonii) berikan levamisol. Sedangkan infeksi cacing pita (Raillietina sp., Davainea sp.) gunakan niclosamid atau albendazol.
2. Dosis tepat
Tidak seperti antibiotik, umumnya anthelmintik diberikan dengan dosis tunggal (satu kali pemberian) dan bukan dengan dosis terbagi. Jika obat yang seharusnya diberikan sebagai dosis tunggal, tetapi diberikan dalam dosis terbagi misalkan terbagi dalam waktu satu hari, maka dapat menyebabkan jumlah obat yang masuk ke dalam tubuh ayam menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
3. Cara pemberian tepat
Tepat dosis juga berkaitan dengan cara atau periode pemberian obat. Jika pemberiannya salah maka dosis pun menjadi tidak tepat. Pemberian obat dengan bentuk kapsul, kaplet atau injeksi tidak menjadi masalah karena bisa langsung dicekokkan atau disuntikkan dengan satu kali pemberian. Namun, jika dilakukan melalui air minum atau ransum dosis obat dan jumlah konsumsinya harus diperhatikan sehingga dosis yang masuk dalam tubuh ayam tepat.
Dosis pemberian obat sebaiknya sesuai dengan yang tertera dalam etiket atau leaflet. Dosis yang tertulis pada etiket dan leaflet obat cacing sebelumnya sudah dihitung berdasarkan berat badan yang kemudian dikonversikan dalam kebutuhan air minum atau ransum yang dikonsumsi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Cara pencampuran obat ke dalam air minum atau ransum juga perlu diperhatikan. Obat cacing yang bersifat larut air (piperazin, levamisol) biasanya lebih direkomendasikan diberikan melalui air minum, walaupun tidak menutup kemungkinan bisa diberikan melalui ransum. Pastikan obat larut semua dalam air minum dan tidak ada serbuk obat yang tersisa.
Obat cacing yang tidak larut air, (contohnya niclosamid, albendazol) diberikan melalui ransum. Pencampuran obat dan ransum sebaiknya dilakukan secara bertahap. Campur dahulu obat dengan sebagian kecil ransum, aduk hingga homogen dan kemudian tambahkan sedikit demi sedikit sisa ransum sambil diaduk hingga obat dan ransum tercampur secara homogen.
Beberapa etiket produk biasanya tertulis ayam dipuasakan terlebih dahulu. Hal itu tidak menjadi suatu keharusan. Tujuan dari puasa tersebut adalah agar obat yang diberikan terkonsumsi habis oleh ayam dan waktu kontak antara obat dengan cacing di dalam saluran cerna semakin lama sehingga pengobatan menjadi lebih efektif.
4. Pengulangan pemberian obat cacing
Pengobatan infeksi cacing memerlukan proses pengulangan. Pengulangan ini bertujuan membasmi cacing secara total karena secara umum obat cacing tidak bisa membasmi semua fase hidup cacing (telur, larva dan cacing dewasa).
Pengulangan tersebut disesuaikan dengan siklus hidup cacing dan kondisi kandang. Cacing gilik mempunyai siklus hidup 1-2 bulan sedangkan cacing pita sekitar 1 bulan sehingga pemberian obat cacing pertama kali disarankan saat berumur 1 bulan. Jika ayam dipelihara pada kandang postal, pemberian obat cacing perlu diulang setelah 1-2 bulan sedangkan jika dipelihara di kandang baterai, pengulangan 3 bulan kemudian karena ayam tidak kontak dengan litter.
Setelah periode pengulangan tersebut, bukan berarti obat cacing harus terus menerus diberikan pada bulan-bulan berikutnya. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan feses secara rutin sehingga adanya telur cacing dalam feses dapat terdeteksi sejak dini. Hal ini dapat dijadikan dasar perlu atau tidak pemberian obat cacing.
5. Kombinasi obat
Pemberian obat cacing kadang-kadang bersamaan dengan antibiotik jika ada infeksi sekunder oleh bakteri. Hal ini tidak masalah jika tidak ada interaksi yang merugikan (baik secara fisika-kimia maupun secara farmakologi) antara kedua bahan yang dikombinasikan. Jika kombinasi tersebut ternyata menimbulkan interaksi yang merugikan, pilih antibiotik lain atau antibiotik diberikan 1 hari setelah pemberian obat cacing.
Dari segi farmakologi, pemberian obat cacing bersamaan dengan vitamin umumnya tidak terjadi interaksi yang merugikan sehingga bisa dilakukan setiap saat. Pemberian obat cacing juga bisa bersamaan dengan vaksinasi. Pada dasarnya obat cacing tidak menimbulkan interaksi dengan vaksin terutama jika pemberian obat cacing diberikan melalui oral (air minum/ransum/cekok) dan vaksinnya diberikan melalui injeksi. Namun yang perlu diperhatikan ialah jika vaksin diberikan melalui air minum, maka jangan mencampurkan obat dan vaksin dalam air minum yang sama. Tujuannya untuk mencegah terganggunya stabilitas vaksin oleh obat yang ada dalam air minum tersebut.
6. Faktor lain yang perlu diperhatikan
Pengobatan cacing menyebabkan cacing dan telur cacing dalam jumlah besar akan dikeluarkan bersama feses. Jika lingkungan sekitar mendukung, maka telur tersebut akan berubah menjadi bentuk infektif sehingga dapat kembali menginfeksi ayam. Untuk itu, selama pengobatan sebaiknya memperhatikan meminimalkan kontak ayam dengan feses yang mengandung telur cacing atau ayam dipelihara dalam kandang panggung atau baterai. Bersihkan kandang dan cegah litter lembab.
Selain itu, basmi inang antara seperti semut, lalat dan siput dengan insektisida. Namun, jangan sampai insektisida mengenai ransum, air minum atau ternaknya.
7. Resistensi obat cacing
Resistensi tidak hanya terjadi pada mikrobia terhadap antibiotik saja, tetapi cacing juga bisa menjadi resisten terhadap anthelmintik. Hingga saat ini resistensi cacing yang pernah dilaporkan terjadi antara lain Oesophagostonum spp yang menginfeksi babi resisten terhadap pyrantel dan levamisol atau cyathostomes pada kuda resisten terhadap benzimidazol.
Kasus resistensi tersebut kemungkinan besar karena penggunaan obat cacing yang terlalu sering dalam satu tahun (5-12 kali). Meskipun penelitian tentang resistensi cacing pada ayam belum ada, tetapi mulai saat ini kita harus melakukan pencegahan jangan sampai resistensi tersebut terjadi.
Resistensi cacing terhadap obat dapat ditekan dengan cara:
a. Perbaikan tata laksana pemeliharaan sehingga perkembangbiakan cacing dapat ditekan.
b. Lakukan pemeriksaan feses secara berkala sebagai acuan perlu tidaknya ayam diberikan obat cacing.
c. Berikan obat cacing sesuai dengan dosis yang direkomendasikan, jangan berlebih maupun kurang.
d. Rotasi atau penggantian jenis obat cacing yang digunakan setiap 1-2 tahun. Namun kendalanya jenis obat cacing dari golongan yang berbeda sangat terbatas. Contoh rotasi anthelmintik ialah piperazin dengan levamisol yang sama-sama efektif mengatasi infeksi cacing gilik.
e. Perhatikan kondisi lingkungan kandang terutama jika lantai lembab, mengingat bentuk telur dan larva cacing bisa saja masih berada di sekitar kandang.
f. Perlu pendataan jenis obat cacing yang digunakan selama masa pemeliharaan ayam dan memonitor efektifitas pengobatannya.

Meski penyakit cacingan tidak ganas namun perlu diwaspadai dan dikendalikan. Pengendalian tersebut dapat diiakukan dengan kombinasi antara pengobatan cacing secara rutin dan pencegahan dengan diiakukannya tatalaksana kandang dan ling-kungan sekitar kandang dengan baik. (Inf/bbs)

BERSAMA KITA BISA MELAWAN CACING

Edisi 167 Juni 2008

Salah satu gangguan kesehatan yang sangat potensial mengganggu produktifitas ternak adalah adanya infestasi cacing. Adanya cacing beserta telur dan bahkan larva di dalam tubuh ternak bisa menimbulkan manifestasi gangguan kesehatan. Mulai dari tahapan lesu, lemah sampai munculnya indikator terganggunya kesehatan bahkan mencapai tahap terganggunya produktivitas ternak.
Berikut ini rangkuman pendapat para praktisi Dokter Hewan dan peternak berkaitan dengan infestasi cacing pada ternak.

Drh Leonardo Bisana Nugraha, praktisi Dokter Hewan yang berpraktek di Kretek Bantul menyatakan bahwa umumnya para peternak kambing dan sapi sudah sangat sadar dan mengerti arti pentingnya kesehatan. Terutama sekali jika kesehatan itu dikaitkan dengan serangan penyakit cacing.
Kesadaran itu, menurut Nugraha sungguh luar biasa, mengingat begitu tingginya perhatian peternak untuk secara rutin memberikan pengobatan secara rutin. Selain itu, juga diperlihatkan dengan aktifitas peternak dalam menjaga hijauan akan ternak tetap bersih dan sehat. Umumnya mereka melakukan pencucian pakan ternak itu sebelum diberikan kepada ternaknya. Langkah membersihkan dan mencuci hijauan itu merupakan salah satu upaya para peternak untuk mencegah penularan cacing dari segala stadium atau phase kehidupan parasit cacing itu
Hal yang hampir mirip diungkapkan oleh Drh Sri Rahayu Kepala Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) Kecamatan Jetis Yogyakarta. Menurut Sri Rahayu jika membicarakan penyakit cacing pad hewan besar (sapi, kerbau ataupun kambing domba) yang dikelola oleh para peternak sebenarnya merupakan hal yang sangat menarik. Mengapa demikian? Oleh karena menurut ibu dari 4 anak ini bahwa umumnya para peternak, sangat perhatian sekali dengan program pemberantasan penyakit kecacingan atau penyakit cacing.
Tingginya kesadaran itu oleh karena pada 10 terakhir ini, peternak tidak lagi memandang ternak sebagai usaha sampingan akan tetapi sudah menjadi usaha yang dikelola dengan baik. Bahkan menjadi salah satu tiang penyangga utama kegiatan ekonomi keluarga. Sehingga khusus terhadap penyakit ini, mereka secara rutin meminta kepada para praktisi dokter hewan di sekitarnya untuk memberikan obat cacing.
Umumnya pengobatan cacing pada ternaknya dilakukan 2-3 bulan sekali. Jarang para peternak terlambat memberikan obat cacing itu. ”Pengobatan cacing pada ternak sapi, kambing, kerbau dan domba relatif sangat rutin, terjadwal dan sangat jarang yang melewatkan atau terlambat memberikannya. Indikasi yang positif itu sangat membantu kita (dokter hewan) dalam ikut menjaga kesehatan secara umum”ujar Rahayu.
Hal itu dikuatkan oleh Drh Leonardo BN bahwa tingkat partisipasi peternak dan perhatian atas kesehatan ternaknya menjadikannya sangat jarang masalah penyakit cacing yang masuk katagori berat. ”Bukti dan fakta jika dilakukan pemotongan hewan massal pada saat perayaan hari raya iedhul qurban, sangat sedikit sekali dijumpai ternak yang terkena penyakit kecacingan. Dari karkas dan organ dalam relatif sedikti dijumpai ternak yang terinfestasi cacing. Ini khan fakta yang menggembirakan” tegas Leonardo
Menurut Nugraha kesadaran kesehatan para peternak yang begitu tinggi itu, sangat perlu diapresiasi dan terus didukung oleh semua pihak. Terutama dukungan itu agar para peternak menjadi lebih peduli lagi pada semua aspek kesehatan ternak, tidak hanya pada penyakit kecacingan. Program bulanan dari Dinas Peternakan, yang dikenal dengan YANDUAN, pelayanan terpadu bulanan melalui aparat poskeswan harus terus ditingkatkan frekeunsi dan kualitas layanan. Dengan demikian kesehatan dan produktifitas ternak akan selalu terjaga.
Jenis cacing menurut Nugraha yang paling potensial mengganggu kesehatan ternak kambing, domba dan sapi umumnya adalah berurutan atas dasar angka prevalensinya mulai dari cacing gilig, cacing daun dan terakhir pita.Cacing gilig menempati urutan teratas, oleh karena wilayah geografis berupa dataran rendah, lembah berair, merupakan lokasi sangat kondusif bagi hidup dan berkembangnya parasit itu.
Edukasi atau pencerahan dan pembelajaran masyarakat peternak, hampir selalu dilakukan oleh para petugas kesehatan lapangan dalam rangka meningkatkan kemampuan peternak dalam budidaya ternaknya. Harapannya agar mereka menjadikan hal itu menjadi titik tolak kewaspadaan akan kesehatan lain secara umum.
Ketika kedua praktisi itu ditanyakan, bagaimana upaya memelihara kesadaran para peternak itu agar menjadi sebuah gerakan bersama yang mampu menularkan kepada para peternak di luar wilayah. Maka keduanya, berpendapat bahwa kontribusi dari para stake holderlah kunci utamanya. Dinas terkait yang mempuyai kompetensi dengan usaha peternakan harus aktif menggerakkan potensi sumber daya manusia secara terprogram dan sistematis. Kemudian para praktisi dokter hewan yang berada di luar struktur pemerintah dituntut peran besarnya dalam membangun kesadaran para peternak. Sedangkan pihak produsen obat hewan khususnya obat anti cacing diminta peran sertanya untuk menyediakan obat yang murah akan tetapi berkualitas dan spektrumnya luas. Artinya sekali pemberian obat cacing itu akan mampu membasmi dan memberantas aneka jenis cacing dari segala stadium.
Kedua praktisi itu juga merasakan bahwa obat anti cacing yang berbentuk cairan atau suspensi paling banyak diminati oleh para praktisi dokter hewan. Alasan pemilihan obat jenis cairan untuk diminumkan oleh karena aspek kebiasaan dan mudah mengukur dosis dalam pemberian. Sehingga aspek ketepatan dosis pengobatan akan sangat terjaga dan efektif hasilnya. Namun keduanya juga dapat memahami bahwa obat anti cacing yang berbentuk kaplet, serbuk maupun bolus di beberapa daerah justru paling banyak digunakan. Mungkin perilaku pemakaian obat itu oleh karena kebiasaan dan juga lebih cenderung pada aspek ketersediaan yang lebih mudah diperoleh di pasaran.(iyo)

MENGAPA MEREKA MEMILIH BOLUS ???

Edisi 167 Juni 2008
Gunung Kidul Gudang Sapi Indonesia yang Bebas Cacing

Pilihan memang selalu mempunyai dasar yang kuat. Apapun pilihan itu pasti sudah melalui proses berbagai pertimbangan yang bermuara pada sebuah eksekusi atau keputusan. Demikian juga dengan tindakan terapi sebuah penyakit yang terkait dengan pemakaian obat. Lebih sempit lagi, jika bahasan ini diarahkan pada keputusan memlih bentuk atau sediaan obat untuk sebuah tindakan.
Sebuah obat, ada yang bisa berwujud cair, gas juga padat. Yang berbentuk cair bisa juga bermacam-macam lagi manifestasi cara penggunaannya. Sebut saja cairan injeksi, cairan minum, cairan oles, cairan semprot dan lain masih banyak. Sedang yang berbentuk padat bisa beraneka wujud sepertri, serbuk, pil, tablet, kaplet, kapsul, salep dan yang berbentuk bolus.
Membicarakan obat hewan untuk mengobati tenak yang mengalami kecacingan, maka ada obat yang tersedia pada umumnya banyak tersedia dalam aneka bentuk seperti cairan untuk diminumkan, cairan untuk di injeksikan, juga dioleskan dan yang lainnya adalah berbentuk padat.
Para praktisi dokter hewan, mempunyai preferensi atau kecocokan individual dalam menentukan obat anti cacing untuk langkah suatu terapi. Ada yang cocok dengan obat anti cacing injeksi. Ada juga yang cocok dengan yang berbentuk cairan untuk diminumkan. Namun ada juga yang lebih sreg dan lebih mantap jika dengan obat anti cacing yang berbentuk kaplet atau bolus.
Ada sebuah kabupaten di propinsi Yogyakarta, dimana preferensi para praktisi dokter hewan yang maniak bolus atau kaplet. Sangat jarang ditemui obat anti cacing di kawasan itu selain kaplet atau bolus. Mengapa demikian? Sebuah pertanyaan yang memang menggelitik dan layak untuk dicarikan jawabannya. Dan kabupaten yang merupakan sentra ternak sapi, kambing paling potensial di Indonesia itu adalah Gunung Kidul Yogyakarta. Sebuah Kabupaten yang wilayahnya paling luas di propinsi Yogyakarta dan juga wilayahnya berupa perbukitan dan pegunungan kering itu adalah salah satu gudang ternak yang potensial, karena setiap hari memasok ternak untuk kawasan Jabodetabek.dan Surabaya
Hampir tiada warga di kabupaten itu yang tidak memiliki ternak sapi apalagi kambing. Hampir secara merata setiap keluarga memiliki ternak yang dikelola dengan aneka cara dan tingkatan. Ada yang dilepas di perbukitan tanpa pernah diawasi, akan tetapi ada yang setengah diawasi, dikandangkan. Dan ada pula dari mereka yang jumlahnya tidak sedikit, dimana mereka telah memelihara dengan sistem pengelolaan cukup maju dan baik.
Adalah Drh Martini Praktisi Dokter Hewan yang juga pegawai pada Dinas Peternakan Kabupaten Gunung Kidul dan Ir Agus Setyawan pemilik SARI PS mengungkapkan perilaku peternak dan Dokter Hewan di daerah itu kepada Infovet.
Menurut Drh Martini, perilaku dan kebiasaan para praktisi dokter hewan di Gunung Kidul dalam memakai obat anti cacing adalah dengan menggunakan bentuk bolus atau kaplet. Hampir tidak ada praktisi yang menggunakan preparat anthelmintik itu yang berbentuk cair minum apalagi Injeksi.
Mengapa demikian? Drh Martini maupun Ir Agus merasa sangat sulit menjawab kebiasaan itu, terutama jika terkait mulai kapan itu mulai menjadi kebiasaan. “Sebelum saya bertugas di daerah ini, kebiasaan mereka memakai obat anti cacing bentuk bolus sudah ada. Waktu saya bertugas di Kabupaten Bantul, justru obat anti cacing yang berbentuk cair yang paling banyak digunakan,” ujar Martini.
Demikian juga dengan penuturan Agus, bahwa sebagai penjual hanya mengikuti selera konsumennya. Konsumen yang dimaksud Agus adalah para praktisi Dokter Hewan dan para peternak. “Pernah saya menjual dan menyediakan obat anti cacing yang berbentuk cair, ternyata tidak laku. Permintaan konsumen adalah yang berbentuk bolus dan kaplet. Ketika ia tanyakan kepada para pembelinya tentang alasan memilih bolus dan kaplet ternyata mereka sangat beragam jawabannya,” jelas Agus.
Menurut Martini, alasan dan dasar memilih yang berbentuk bolus atau kaplet karena alasan praktis pemakaian dan paling murah dan mudah diperoleh di pasar. Memang dibandingkan obat anti cacing cair, baik injeksi maupun untuk diminumkan yang berbentuk bolus/kaplet relatif praktis penyediaan maupun pemberiannya.
Jika cairan injeksi, tentu hanya para dokter hewan yang bisa melakukan. Sedangkan bentuk cair untuk diminumkan, untuk membeli harus utuh dalam kemasan 1 liter. Sehingga tentu saja dari aspek ekonomis menjadi mahal.
Berbagai kelebihan menurut Agus maupun Martini yang berbentuk bolus atau kaplet antara lain : mudah diperoleh di pasaran secara ecer, selain itu lebih murah karena cukup membeli sesuai keperluan alias tidak perlu membeli sebanyak 1 liter (cair), tanpa bantuan dokter hewan para peternak bisa melakukan sendiri. Dan yang paling penting para peternak bisa melakukan hal itu secara periodik sesuai saran para dokter hewan dalam pengobatan dan pencegahan infeksi cacing.
Secara khusus Martini, melihat bahwa aspek kebiasaan menjadi alasan dan pertimbangan utama para Dokter Hewan dan peternak. Konon, menurut informasi memang sejak 30 tahun yang lalu pemakaian obat anti cacing bentuk kaplet atau bolus diperkenalkan dan dipakai. Sehingga kini, baik para peternak maupun dokter hewan akhirnya menjadi terbiasa. Saat ini praktisi dokter hewan dan peternak seolah sangat lekat sekali dengan obat anti cacing berbentuk bolus tersebut.
Tidak heran jika istilah pengobatan cacing meski dengan merk apapun lebih afdol dan mereka menyebut sebagai di-vermo sesuai dengan merek obat tersebut. Penguasaan pasar merk tersebut akhirnya menjadikan sebuah kebiaasan dan penyebutan yang berkonotasi merk tersebut. Masalah efektivitas dan keandalan merk tersebut sudah menjadi sebuah fakta yang sulit terbantahkan.
Fakta besar yang sulit terbantahkan dan menjadi buruan utama para pedagang sapi, bahwa sapi-sapi dari daerah Gunung Kidul relatif tidak pernah yang mengalami kasus infeksi cacing hati atau Fasciolosis. Hampir pasti dan menjadi jaminan bahwa sapi dari daerah ini terbebas dari kasus cacing hati. Dan obat cacing bolus ini menjadi salah satu obat anti cacing yang mempunyai kontribusi besar, selain memang kondisi geografis daerah itu.
Seperti diungkapkan oleh Drh Martini bahwa kasus nihilnya infeksi Fasciolosis di kabupaten Gunung Kidul selain dari kesadaran yang begitu tinggi para peternaknya dalam program kesehatan rutin anti cacing juga oleh karena secara geografis bibit cacing Fasciola sp.sangat kecil bisa hidup di daerah kapur.
Menurut Martini lebih lanjut, bahwa kondisi geografis kabupaten ini yang berbukit kapur dan karang laut serta kering, maka sangat kecil kemungkinan bagi cacing itu dari berbagai stadiumnya untuk bisa hidup. Namun tidak demikian dengan cacing jenis lainnya seperti cacing gilig, ada potensi untuk menginfeksinya. Meski demikian, oleh karena peran dinas peternakan dan dokter hewan lapangan juga didiukung para peternaknya sendiri yang secara aktif melakukan pengobatan periodis, maka memang kasus infeksi cacing sampai pada tahap berat sangat jarang terjadi.
Memang tidak gampang menumbuhkan kesadaran itu, namun keberhasilan kabupaten ini pantas menjadi panutan daerah lain dalam meningkatkan produktifitas ternaknya dan kesejahteraan para peternaknya. (iyo)

BLOKIR URAT SYARAF CACING DENGAN NIKOTIN

Edisi 167 Juni 2008

(( Pemberian tembakau dan biji buah pinang akan membuat urat syaraf cacing diblokir oleh nikotin. ))

Dampak dari infeksi cacing bagi ternak yakni akan mengganggu pencernaan, katabolisme protein, anorexia, lesi saluran alat pencernaan, pelepasan ke lumen usus, anemia, menurunkan bobot badan dan berakhir pada kematian.

Hasil penelitian Profesor Surung Karo Karo, Dosen Fakultas Peternakan ini dibacakan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar Universitas Hasanudin, Kamis, 8 Mei 2008 di Lantai 1 Rektorat Unhas. Demikian kabar dari sumber Universitas Hasanuddin Makassar.

Di depan rapat senat terbuka luar biasa, Ketua Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak Unhas ini memaparkan bahwa Di Indonesia dan khususnya Sulawesi Selatan, salah satu penyakit ternak yang sering menginfeksi hewan ternak adalah cacing nematoda, trematoda, dan cestoda.

Suami dari Rosliana br Tarigan ini menjelaskan kegunaan tembakau dan biji pinang sebagai obat cacing bagi kambing dan domba. Adapun keguaannya antara lain pemberian tembakau dan biji buah pinang akan membuat urat syaraf cacing diblokir oleh nikotin. Nikotin diserap melalui kulit cacing, kemudian memblokir urat syaraf, terjadi paralysis, pingsan, cengkramannya terlepas dari mukrosa abomasum, dan dengan sendirinya cacing keluar bersama digesta dan mati.

Ternak yang terinfeksi jelas akan menimbulkan kerugian pada peternak. Bahkan dapat menimbulkan kerugian yang fatal. Namun hal ini kurang disadari oleh peternak-peternak kita. Mereka (peternak-red) cenderung kurang mengerti bahaya pada penyakit cacing,

Penelitian Prof Surung Karo Karo berjudul Pemanfaatan Tembakau dan Biji Buah Pinang
sebagai Obat Cacing Lambung Asam yang Menginfeksi Kambing dan Domba, ini menyatakan beberapa kelebihan obat alternatif tersebut antara lain: harganya jauh lebih murah dan terjangkau oleh peternak, sumbernya mudah diperoleh karena pada umumya banyak tersedia di bumi Indonesia, dan hal ini sesuai dengan anjuran pemerintah agar menggunakan obat-obat alternatif yang bersumber dari alam di bumi Indonesia sendiri.(reA/unhas.ac.id/Infovet)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer