Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PAKAN MAHAL JANGAN SAMPAI GAGAL

Fokus Infovet edisi 164 Maret 2008

(( Harga pakan terus merangkak naik. Harga jual hasil produksi daging dan telur tidak kunjung baik. Gairah para peternak sedang lesu. Meski demikian sebenarnya ada peluang besar jika saja dapat memanfaatkan pada saat ini. Jika saja peluang itu dapat diraih, maka akan kembali menggairahkan perunggasan dalam negeri. Inilah aneka kiat peternak. ))

Sudah menjadi realita yang dialami para peternak ayam potong dan petelur, bahwa awal tahun 2008 ini terhimpit dalam situasi yang kurang menyenangkan. Harga pakan terus merangkak naik, sementara harga jual hasil produksi yang berupa daging dan telur tidak kunjung baik.
Kesepakatan untuk memangkas produksi bibit (DOC) nampaknya tidak juga mampu menolong mereka, bahkan satu persatu pelaku perunggasan memilih mengurangi populasinya. Sangat nyata sekali dirasakan di lapangan, dengan salah satu indikatornya adalah omset penjualan vaksin dan obat-obatan serta vitamin terus melorot dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Informasi yang diperoleh Infovet dari para pemasar bahwa ada penurunan omset yang bervariasi antara 15-40%. Sebuah penurunan omset yang memang memprihatinkan sekali. Namun entah bagaimana lagi untuk mencari solusi atas masalah itu, oleh karena pada kenyataannya daya beli masyarakat terhadap daging dan telur juga semakin melemah saja.
Gairah para peternak memang sedang lesu, meski demikian sebenarnya ada peluang besar jika saja dapat memanfaatkan pada saat ini. Hal ini terkait dengan mahalnya tempe, tahu dan daging sapi. Jika saja peluang itu dapat diraih, maka akan kembali menggairahkan perunggasan dalam negeri. Sebab jika kondisi seperti ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan produk unggas dari manca negara akan merangsek masuk ke Indonesia. Dan atas dasar hal inilah yang membuat Sapta Haryono, Kardiyono dan Ahmad Fauzi terus bertahan ditengah kondisi yang sulit dan berat.

Afkir Dini

Tentunya ada kiat dan alasan lain mereka masih berusaha bertahan sampai kini, meski ibarat berperang, mereka mencoba sampai titik darah penghabisan. Begitu juga yang dilakukan oleh Sapta seorang peternak ayam petelur di Bantul yang melakukan afkir dini. Meski masih berumur 1 tahun akan tetapi jika produksinya buruk secara induvidual diafkir. Menurutnya cara ini paling realistis dan efektif, meski untuk melakukan hal itu butuh waktu dan tenaga yang lebih.
”Saya mengambil langkah paling rasional dalam mengatasi mahalnya harga pakan ayam. Sekarang ini (maksudnya bulan Februari 2008) masih beruntung, karena harga jagung sudah relatif murah. Bila Januari kemarin pernah mencapai Rp 2500/kg dan kini sudah pada level Rp 1900-2000/kg, setidaknya bisa menghemat biaya produksi. Sehingga langkah afkir ayam masih bisa ditoleransi lebih longgar. Begitu juga dengan pullet saya pelihara, yang pertumbuhannya terhambat akan diafkir agar tidak membebani. Memang untuk melakukan cara saya, membutuhkan waktu dan tenaga yang lebih. Dan saya yakin pada populasi yang sangat besar tidak akan mungkin dilakukan,” urai Sapta.
Ketika ditanyakan apakah tidak tertarik dengan mencoba memberikan probiotik yang banyak digunakan para peternak dalam menekan ongkos produksi, Sapta dengan cepat menjawab bahwa ia tidak begitu yakin dengan hasil preparat itu. Mungkin pada ayam potong sering menjadi pilihan para peternak, akan tetapi pada layer karena hasil nyata diperoleh hari itu dan ternyata setelah ia mencoba tidak ada pengaruh yang signifikan, maka tidak ia lanjutkan.

Menghemat dengan Katul dan Jagung

Sedangkan Kardiyono, seorang peternak ayam petelur melakukan penghematan melalui pemberian pakan berupakatul dan jagung saja. Hasilnya memang cukup mengagetkan, karena ada penurunan produksi hingga 55-65% dari sebelumnya saat dengan konsentrat, jagung dan katul. Dari populasi 4500 ekor ayam miliknya hanya diperoleh telur sebanyak 70-74 kg per hari.
Meski anjlognya produksi jelas karena pakan yang diberikan tidak memenuhi standar kecukupan produksi, namun Kardiyono punya pertimbangan lain. Naluri bisnisnya memprediksi bahwa harga telur akan terdongkrak naik ketika harga tempe, tahu dan juga harga daging sapi yang naik.
”Perkiraan saya harga telur ayam akan merambat naik dengan cepat ketika harga tempe, tahu mahal. Konsumen akan memilih telur, karena paling luwes dibanding daging ayam sekalipun. Pilihan berikut baru daging ayam. Hal ini juga terkait erat dengan naiknya harga daging sapi pada sebulan terakhir ini. Itu pertimbangan saya jangka pendek,sedangkan dalam jangka panjang sudah pasti banyak peternak ayam petelur yang terus mengurangi populasinya akibat berat ongkos di pakan. Sehingga 2 bulan kedepan pasti dan pasti menurut saya, harga telur akan sangat baik,” paparnya dengan percaya diri.
Oleh karena itu jika ditanyakan kenapa tidak mengurangi populasi seperti yang dilakukan oleh Sapta, ia tidak sepaham. Menurut Kardiyono cara itu atas dasar pengalamannya adalah konyol. Ketika krisis ekonomi 1997, para peternak memilih cara Sapta akhirnya ketika harga telur menjulang, gigit jari.
Dan pada saat krisis itu justru ia tetap bertahan dengan mempertahankan populasinya meski harus merelakan sebidang tanah pekarangan dan 2 mobil angkutan telur dijual untuk beli pakan ayam-ayamnya. Akhirnya ia menikmati hasil telur emas pada saat itu. Dan kini menurutnya pilihan saat ini juga mengandung resiko besar tetapi juga harapan. ”Lebih baik kita buktikan saja mas,” tantang Kardiyono kepada Infovet.

Andalkan Probiotik

Lain lagi kiat Jumadi, peternak ayam potong dalam menghadapi harga pakan yang mahal, ia lebih mengandalkan pemakaian probiotik untuk mempertahankan performance produksinya. Jelas mengurangi porsi pakan pada ayam potong apalagi memberi campuran dengan katul atau jagung adalah ibarat bunuh diri. Maka menurutnya tidak ada cara lain kecuali penghematan itu ditempuh melalui segala upaya dalam rangka mendongkrak hasil terbaik.
Hasil terbaik itu, jelas Jumadi antara lain, pertumbuhan dan bobot ayam relatif seragam dan diatas standar umumnya. Selain itu ayam harus sehat, sehingga tidak perlu tambahan ongkos produksi. Bahkan dengan ayam yang sehat akan menekan angka kematian alias kerugian yang tidak perlu. Umumnya para peternak dengan angka kematian 5% sudah bangga, akan tetapi menurutnya justru kalau mortalitas bisa 1-2% itu baru boleh dibanggakan.
Atas dasar pemikiran itu maka tidak ada cara lain kecuali berupaya dengan segala cara akan tetapi jangan sampai mengurangi kualitas pakan, kalau bisa menurutnya harus meningkatkan kualitasnya dan daya cernanya di dalam tubuh ayam. Pilihan Jumadi adalah dengan pemberian probiotik yang dicampur dengan air minum juga selalu ia semprotkan ke pakan. Sejak lama ia membuktikan bahwa memang potensi probiotik dalam mendongkrak kualitas pakan dan mampu menyehatkan ayam nyata adanya. Memang banyak orang yang tidak mempercayai akan tetapi, dirinya membuktikan itu.
”Prinsip saya, oleh karena kemampuan peternak dalam rantai usaha ayam potong adalah sangat terbatas, maka harus dicari di bagian mana yang masih bisa kita kendalikan. Sebut saja, kualitas dan harga DOC maupun Pakan adalah diluar kendali peternak. Begitu juga dengan harga jualnya, apa peran yang bisa diambil peternak, bukankah pasar alias bakul lebih dominan mengendalikannya. Sehingga menurut saya sebagai peternak berharap harga ayam baik adalah boleh-boleh saja, namun yang lebih penting adalah melakukan budidaya pemeliharaan sebaik mungkin dan sehemat mungkin,” ujar Jumadi panjang lebar.
Jika hasil budidaya mencapai terbaik, maka menurut Jumadi meski harga jual sangat buruk, kerugian itu tidaklah akan besar. Kesaksian Jumadi tentang Probiotik ini memang patut diperhatikan oleh para peternak ayam potong dalam rangka mengais keuntungan di kandang sendiri. Kardiyono berpesan, meski pakan mahal akan tetapi dalam budi daya hendaknya jangan sampai gagal, karena jika itu terjadi maka nasib peternak itu ibarat jatuh tertimpa tangga. BENAR JUGA! (iyo)

Persoalan Jamur Pada Musim Hujan

Fokus Infovet edisi 164 Maret 2008

((Cuaca yang selalu berubah seperti saat ini, kadang hujan dan tiba-tiba panas menyebabkan kondisi lembab dan panas yang dapat merangsang jamur membentuk mikotoksin dalam pakan ternak. Bagaimana cara mengendalikannya? ))

Pakan memegang peranan yang sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan produktifitas ternak. Bukan saja karena merupakan input biaya terbesar dalam proses produksi, tetapi juga merupakan langkah awal dalam menuju sukses beternak.
Oleh sebab itu, pakan yang diberikan harus senantiasa terjaga kualitasnya. Begitu juga manajemen pengadaan, penanganan, penyimpanan bahan baku dan atau pakan jadi, serta cara pemberian pakan memegang peranan yang sangat penting untuk memastikan pakan yang akan diberikan pada ternak kualitasnya tetap terjaga.
Hal ini penting diperhatikan sebab, manajemen penanganan dan penyimpanan bahan baku dan pakan yang kurang baik, kerap kali menyebabkan masalah yang terkait dengan kasus mikotoksikosis. Demikian disampaikan Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita yang ditemui Infovet di rumahnya belum lama ini.
Menurut Hadi, jamur penghasil mikotoksin kini sudah menyebar hampir diseluruh belahan dunia, termasuk juga negara-negara penghasil jagung. Sehingga bisa dikatakan tidak ada negara penghasil bahan baku pakan ternak yang bebas dari cekaman jamur.
Terkait dengan ketersediaan bahan baku pakan yang semakin sulit ditemui serta diikuti oleh naiknya harga jagung dunia. Ternyata pasokan jagung untuk industri pakan ternak memang sengaja dikurangi, karena beralihnya sebagian penggunaannya untuk industri biofuel. Fenomena ini menyebabkan feedmiller untuk berusaha mencari
Tipe mikotoksin ada 300 jenis yang telah teridentifikasi, namun yang kerap muncul dalam pakan ternak adalah aflatoksin, ocrhatoksin A, patulin, fuminisin B1, trichothecenes, zearalenon, Deoxynivalenol (DON/ Vomitoxin), dan T2-toksin (trichotecenes). Sementara itu, tiga jenis jamur yang sering menyebabkan mikotoksikosis adalah dari golongan aspergilus, pencilium dan fusarium.

Menekan Produksi, Menurunkan Kekebalan
Mikotoksikosis disebabkan oleh substansi beracun dari hasil metabolit jamur atau fungi yang umum tumbuh dalam bahan baku pakan. Racun hasil metabolit itulah yang disebut mikotoksin. Mikotoksin akan sangat cepat dihasilkan oleh suatu jenis jamur, bahkan kadang lebih dari satu macam bila kelembaban, temperatur lingkungan dan kadar air bahan baku atau dalam pakan mendukung.
Racun jamur ini diproduksi pada kelembaban lebih dari 75% dan temperatur di atas 20°C, dengan kadar air bahan baku pakan di atas 16%. Sebagai produk metabolisme jamur atau kapang, mikotoksin tumbuh pada berbagai komoditas terutama produk pertanian seperti kacang tanah, jagung dan sebagainya.
“Jamur-jamur itu akan mengontaminasi produk-produk pertanian tersebut dengan mikotoksin sehingga ketika komoditi tersebut dijadikan pakan ternak atau pangan manusia, toksin tersebut akan masuk ke dalam tubuh. Karena mekanisme kerja yang sinergis dari beragam jenis jamur tersebut, menyebabkan pengaruh negatif pada ternak yang terintoksifikasi menjadi semakin kompleks,” jelas Hadi.
Ia menjelaskan, ternak yang terintoksifikasi oleh racun ini akan mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga penyakit akan lebih mudah menyerang. Disamping itu, tingkat toksisitas yang di atas ambang dapat menurunkan kinerja produksi ternak dalam hal pertumbuhan dan mengganggu sistem reproduksi. (lihat ilustrasi gambar)
Sayangnya, efek tidak langsung dari mikotoksin kadang tidak diketahui peternak sehingga kerugian dari segi efisiensi pakan menjadi cukup besar. Efek toksisitas mikotoksin tergantung dari intensitas dan waktu intoksifikasi serta bersifat akumulatif.
Mikotoksikosis dapat menyebabkan turunnya fungsi kekebalan tubuh, karena pengaruh langsung mikotoksin terhadap jalannya fungsi kekebalan baik seluler maupun humoral sehingga fungsi tersebut turun secara keseluruhan. Sedang gejala keracunan yang sering terlihat pada umumnya adalah muntah, diare, luka pada rongga mulut dan turunnya nafsu makan.
Sementara parameter ekonomis seperti efisiensi pakan konversi pakan, produksi telur, kualitas daging juga menurun dengan adanya intoksifikasi. Karena kemungkinan terjadinya kontaminasi pada komoditas pertanian dimulai sejak dari ladang, penyimpanan dan proses pengolahan menjadi produk akhir sebagai pakan ataupun pangan. Hadi menambahkan, mikotoksikosis dapat ditanggulangi dengan menggunakan bahan baku yang bebas dari mikotoksin.
Sedang upaya pencegahannya dilakukan dengan menciptakan sistem budidaya yang optimal serta selalu memperhatikan kualitas bahan baku termasuk mengoptimalkan penyimpanan dan distribusi. Penyimpanan bahan tersebut sebaiknya jangan melebihi kadar air 13-14%, karena pada kadar air di atas ambang tersebut mikotoksin diproduksi.

Waspadai Gejalanya di Farm
Dilain kesempatan Drh Isra Noor dari PT Alltech Biotechnology Indonesia pada suatu kesempatan pernah menjelaskan, bahwa peternak hendaknya patut curiga bila sering menemui unggasnya menunjukkan gejala serangan mikotoksikosis. Diantaranya adalah luka di mulut, pertumbuhan lambat dan tidak merata. Apabila dilakukan bedah bangkai banyak ditemukan peradangan pada saluran pencernaan dan pernapasannya.
Negara tropis seperti Indonesia dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi sangat rentan dengan penyakit tersebut. Ini karena dalam kondisi temperatur dan kelembaban seperti itu, jamur akan mudah tumbuh dan berkembang biak. Jenis mikotoksin yang paling banyak muncul sebagai penyakit adalah aflatoksin. Untuk lebih tepat mendeteksi penyakit, saran Hadi, harus dilakukan pengambilan sampel dan deteksi langsung.
Guna meminimalkan kejadian tersebut, cara yang paling ideal dengan menggunakan bahan pakan bebas mikotoksin. Tetapi hal ini tidak selalu berarti bebas jamur. Sebab boleh jadi, jamurnya sudah dibasmi sebelum diperjualbelikan. Pembasmian itu dilakukan dengan zat-zat pembunuh jamur, meski demikian racun yang diproduksi oleh jamur akan tetap menempel dalam bahan makanan. Sebab sebagian besar mikotoksin itu stabil pada suhu panas sehingga perlakuan yang melibatkan suhu panas dalam menghancurkan racun mikotoksin menjadi tidak efektif.
Pengamatan secara visual terhadap bahan baku pakan hanya bisa dilakukan sebatas pengamatan terhadap jamur yang ada pada bahan baku tersebut, bukan pada mikotoksinnya. Karena hal itu membutuhkan analisa kandungan mikotoksin dalam setiap bahan pakan yang digunakan. Perlu dilakukan pengujian laboratorium lebih lanjut.
Alasannya, ketika bahan pakan sudah terkontaminasi jamur, besar kemungkinan tidak hanya memproduksi satu jenis toksin tetapi bisa lebih dari satu. Kalau ini terjadi, meski kandungan mikotoksin rendah tetapi karena terdapat beberapa jenis mikotoksin, maka akan memberikan dampak akumulasi dari kumpulan beberapa toksin tersebut. Dampaknya bisa sama parahnya dengan satu jenis mikotoksin yang terdapat dalam bahan pakan dalam jumlah besar.
Mengatasi persoalan tersebut, yang paling tepat dilakukan adalah dengan menggunakan mikotoksin adsorbent atau mikotoksin binder (pengikat mikotoksin). Ada banyak mikotoksin adsorbent yang bisa digunakan.
Sebagai panduan, Isra menyarankan untuk menggunakan mikotoksin adsorbent dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Mampu mengikat mikotoksin yang beragam (tidak hanya satu jenis mikotoksin).
2. Mampu mengikat toksin dalam level yang sangat tinggi.
3. Mampu mengikat mikotoksin meskipun dalam konsentrasi yang rendah.
4. Produk tersebut harus stabil terhadap panas dan pH.
5. Penggunaanya harus dalam jumlah sedikit sehingga tidak menyulitkan dalam penyusunan ransum.
6. Relatif tidak mengikat nutrisi lain yang berguna untuk pertumbuhan seperti vitamin dan asam amino.
Hadi Wibowo juga menambahkan, untuk mencegah munculnya mikotoksin dari mulai awal pengumpulan bahan baku pastikan biji-bijian yang didapat tidak rusak sejak dipanen. Kadar air bahan baku pakan juga harus kurang dari 14%. Sementara untuk mencegah tumbuhnya jamur, bisa dicampur dengan preservative seperti Asam Propionat dan mycotoxin binder.

Problem Imunosupresi Melawan Mikotoksin

Fokus Infovet edisi 164 Maret 2008

Oleh: Tony Unandar (SAS Group)

(( Selain berbekal kemampuan teknis yang memadai, seorang praktisi lapangan kadang kala membutuhkan suatu instuisi yang tajam dalam mencari penyebab utama kasus-kasus yang sedang dihadapinya. Perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menjadi lebih baik lagi jika disertai dengan pengalaman lapang yang cukup. ))

Gangguan pada sistem pertahanan tubuh yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang bersifat imunosupresif (faktor yang menekan/mendepresi respon pertahanan tubuh) mungkin menjadi suatu contoh yang paling representatif dewasa ini.
Akibat jeleknya sistem pertahanan tubuh, maka akan muncul kasus-kasus infeksius yang sangat bervariasi baik dalam jenis maupun dalam derajat keparahannya, bahkan cenderung dalam bentuk infeksi kompleks yang berulang-ulang.
Akibat tubuh hanya mengandalkan kekuatan dari potensi suatu antibiotika dalam suatu program pengobatan, maka program antibiotika tersebut seolah-olah tidak “cespleng” atau bahkan gagal sama sekali. Antibiotika seolah sudah tidak berdaya sama sekali.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran sepintas kepada kolega praktisi lapang mengenai faktor-faktor imunosupresi itu sendiri, termasuk bagaimana mendeteksinya di lapangan secara sistematik.

Pengertian Imunosupresi

Kemungkinan adanya faktor-faktor yang bersifat imunosupresif sudah diketahui pada awal tahun 1900-an (Adair, 1996).
Dr. Denise K. Thorton (Central Veterinary Lab. – UK) dalam “16th Poultry Science Symposium” (1980), sedikit membahas beberapa laporan mengenai peranan faktor-faktor yang bersifat imunosupresif dalam menentukan keberhasilan suatu program vaksinasi pada unggas (Olson, 1967; Payne, 1970; Cunningham, 1975; Koyama et. al., 1975).
Baru dalam “Poultry Immunology Symposium” terakhir yang diadakan di Universitas Reading – Inggris (18-24 September 1995), hal-hal yang berkaitan erat dengan faktor-faktor imunosupresi pada unggas dibahas secara rinci dan khusus.
Secara harafiah, imunosupresi dapat diartikan “menekan respon imun”. Pengertian yang lebih luas lagi adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak memberikan respon yang optimal terhadap adanya induksi ataupun stimulasi sesuatu yang bersifat imunogenik (sesuatu yang mampu membangkitkan respon kekebalan/imun).
Tegasnya, imunosupresi membuat tubuh host alias induk semang menjadi semakin ringkih.

Kejadian dan Faktor Penyebab Imunosupresi:

Sebenarnya ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya kejadian imunosupresi, yaitu:
a. Rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk/mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan, misalnya timus (thymus), bursa Fabricius, sumsum tulang, limpa dan jaringan limfoit lainnya (misalnya daun Peyer).
Kerusakan jaringan ini bisa disebabkan oleh virus (misalnya: Reovirus, Mareks Disease Virus, Chicken Anaemia Virus, Raussarcoma Viruses, IBD Virus) atau oleh toksin-toksin tertentu seperti Aflatoksin dan Toksin-T2.
Efek dari rusaknya jaringan limfoit selain dari mengecilnya jaringan limfoit itu sendiri, juga menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel darah putih secara ke seluruhan, termasuk sel-sel limfosit dewasa yang beredar di dalam sistem sirkulasi tubuh, baik itu sistem peredaran darah maupun sistem peredaran limfe (system getah bening atau limfatik).
Kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan reaksi tubuh dalam menghadapi tantangan bibit penyakit yang masuk akan menjadi lebih lama atau tidak optimal.
Selanjutnya, Labro (1990) melaporkan bahwa penggunaan antibiotika jenis Tetrasiklin dalam waktu yang relatif lamapun akan menekan jumlah populasi sel-sel limfosit, walaupun pada penelitian selanjutnya diketahui efek tersebut hanyalah bersifat sementara dan mekanismenyapun belum diketahui secara pasti.
b. Rusaknya struktur dan fungsi fisiologis sel-sel darah putih (termasuk sel-sel limfosit). Kondisi ini dapat disebabkan juga oleh virus-virus dan toksin yang disebutkan di atas, tergantung dari derajat keparahan infeksi ataupun level dan lamanya induk semang terinduksi oleh Aflatoksin ataupun Toksin-T2.
c. Walaupun struktur sel-sel darah putih (termasuk sel-sel limfosit) tidak terganggu, namun ada kalanya hanya fungsi fisiologisnya saja yang terganggu.
Hal ini bisa terjadi akibat stres yang luar biasa ataupun pengaruh dari Aflatoksin dosis rendah (lazy leucocyte syndrome). Pada kondisi seperti ini sel-sel limfosit yang normal secara anatomis tidak memberikan respon tanggap kebal yang optimal secara fisiologis terhadap adanya induksi secara imunologik.
Adair (1995) menyatakan bahwa kondisi imunosupresi juga dapat terjadi akibat terjadinya infeksi-infeksi pada jaringan-jaringan non-limfoit seperti kelenjar tiroid (thyroid). Pada kondisi seperti ini berarti agen penyebabnya secara tidak langsung mengganggu reaksi imunologis.
Hal ini mirip sekali dengan laporan Klasing (1997) tentang peranan Interleukin-1 (sejenis sitokin) yang terbentuk pada respon kekebalan dan pengaruhnya pada penampilan pertumbuhan pada ayam potong.
Jadi … secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi imunosupresi dapat terjadi akibat terganggunya respon kekebalan secara normal yang disebabkan oleh faktor-faktor infeksius atau pun non-infeksius, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Tanda-tanda Kondisi Imunosupresi

Di lapangan sangatlah sulit untuk mendeteksi kejadian imunosupresi secara cepat dan pasti. Yang jelas, adanya kasus yang sangat bervariasi serta berulang-ulang dan juga jeleknya penampilan ayam yang dipelihara secara keseluruhan merupakan gambaran yang sering ditemukan secara konsisten.
Dalam laporannya, Adair (1995) menyebutkan tanda-tanda kondisi imunosupresi pada ayam adalah sebagai berikut:
a. Meningkatnya kejadian infeksi sekunder.
b. Respon terhadap vaksin sangat lemah.
c. Penyusutan atau degenerasi jaringan limfoit.
d. Menurunnya jumlah butir darah putih yang bersirkulasi (dalam darah/limfe).
e. Menurunnya respon limfosit.
f. Menurunnya produksi sitokin oleh butir-butir darah putih.
Akan tetapi … berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, maka gejala-gejala kondisi imunosupresi dalam suatu flok ayam dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:

A. RESPON TERHADAP VAKSIN:

Jika terdapat faktor imunosupresi di dalam suatu populasi ayam, maka ayam-ayam yang berada di dalam populasi tersebut akan memberikan reaksi pasca vaksinasi yang berlebihan, baik dari segi jumlah ayam yang menunjukkan gejala-gejala pasca vaksinasi maupun derajat keparahannya.
Gejala-gejala pasca vaksinasi tersebut biasanya sangat tergantung pada jenis vaksin yang diberikan. Gangguan-gangguan pernafasan biasanya merupakan reaksi pasca vaksinasi dari pemberian vaksin aktif ND maupun IB.
Secara normal, jika kondisi tubuh ayam yang divaksinasi cukup baik dan tidak ditemukan adanya faktor imunosupresi, maka reaksi pasca vaksinasi akan muncul antara hari kedua sampai hari kelima sesudah vaksin diberikan dan tampak pada tidak lebih dari 10% dari ayam yang divaksinasi.
Tiga sampai lima hari berikutnya ayam akan sembuh sendiri. Dan tentu saja, hal ini tidak akan terjadi pada kondisi imunosupresi, di mana kejadiannya biasanya berlarut-larut dan cenderung makin parah.
Pada pengamatan hasil-hasil uji serologis, jika terdapat faktor imunosupresi di dalam suatu populasi ayam, biasanya peternak akan mendapatkan hasil titer zat kebal yang relatif lebih rendah dibanding biasanya dan juga mempunyai variasi hasil titer yang relatif cukup besar.
Ini berarti, secara rata-rata titer zat kebal yang ada pada populasi ayam yang diamati adalah lebih rendah dari biasanya (tentu saja kondisi ini mempunyai resiko kegagalan yang lebih besar akibat adanya peluang untuk masuknya bibit penyakit melalui ayam yang mempunyai titer antibodi yang rendah) dan mempunyai titer terendah dan tertinggi dengan interval yang sangat jauh.
Kondisi seperti ini tentu saja lebih mudah diamati pada ayam-ayam yang sedang produksi.
Karena hal-hal tersebut di atas, maka pada saat kita melakukan anamnese (pengumpulan data sejarah penyakit/kasus) peternak sering mengeluh akan tingginya kegagalan-kegagalan program vaksinasi, munculnya kasus penyakit yang berulang-ulang, meningkatnya jumlah pengulangan-pengulangan (booster) vaksin, serta jeleknya hasil pemeriksaan titer zat kebal yang diperoleh.
Jadi, pada kondisi imunosupresi, respon terhadap vaksin adalah sbb.:
• Terhadap vaksin aktif, reaksi pasca vaksinasi akan lebih hebat
• Titer zat kebal yang diperoleh dari vaksinasi akan lebih rendah dari biasanya
• Variasi titer zat kebal yang diperoleh sangat tinggi (tidak seragam)
• Tingginya pengulangan program booster

B. RESPON TERHADAP MIKROORGANISME LINGKUNGAN

Karena respon tubuh terhadap adanya serangan bibit penyakit menurun, termasuk dalam menghadapi aktifitas mikroorganisme lingkungan, maka suatu populasi ayam yang mengalami kondisi imunosupresi akan memperlihatkan angka kematian (mortalitas) dan juga angka penularan (morbiditas) yang biasanya lebih tinggi dari pada normal, tergantung dari jenis bibit penyakit yang menyerang dan juga derajat imunosupresi itu sendiri.
Hal ini sangat mudah dideteksi di lapangan. Peternak akan bingung dengan adanya kasus-kasus kematian ayam yang tidak biasanya terjadi.
Di lain pihak, karena mikroorganisme lingkungan sering terlibat pada setiap kasus yang terjadi, maka pada kondisi imunosupresi, manifestasi kasus infeksius yang terjadi biasanya dalam bentuk infeksi kompleks dan tanda-tanda klinis maupun kelainan-kelainan pada bedah bangkai sangatlah bervariasi, tergantung pada mikroorganisme mana yang dominan pada saat itu.
Karena kejadian kompleks inilah yang kadang kala menyesatkan diagnosa dan menyulitkan program pengobatan yang akan dianjurkan pada peternak.
Dalam keadaan seperti ini, para praktisi lapang yang kurang teliti sering kali memberikan rekomendasi yang sifatnya superfisial, bukan pada faktor penyebab sesungguhnya.
Secara umum, pada kondisi imunosupresi, respon terhadap mikroorganisme lingkungan adalah sbb:
• Kalau terjadi kasus penyakit, angka kematian dan penularan biasanya lebih tinggi dibanding biasanya. Penularan penyakit dalam satu kandang/farm biasanya juga jauh lebih cepat.
• Kasus-kasus infeksius yang terjadi biasanya kompleks dan sangat bervariasi, tergantung pada mikroorganisme yang dominan pada saat itu.
• Kasus infeksius yang sama sering terjadi berulang-ulang.
• Atau … muncul kasus-kasus infeksius yang biasanya tidak terjadi di lingkungan peternakan tersebut.

C. RESPON TERHADAP ANTIBIOTIKA

Cepat pulihnya individu ayam yang sakit selain akibat kerja dari suatu senyawa antibiotika, juga disebabkan oleh membaiknya kondisi tubuh ayam secara keseluruhan, dalam hal ini bisa diartikan bahwa tubuh mulai memberikan respon kekebalan yang cukup.
Jika respon pembentukan zat kebal terganggu oleh adanya faktor imunosupresi, maka sangatlah jelas bahwa tingkat ketergantungan pada potensi antibiotika yang digunakan begitu besar.
Ini berarti, respon pada penggunaan preparat antibiotika mungkin akan jauh lebih lambat, atau bahkan seolah-olah memberikan efek yang sangat minim. Jika kondisi ini terjadi, peternak dengan mudah akan mengatakan bahwa telah terjadi problem resistensi.
Kadang kala, karena begitu banyaknya mikroorganisme yang terlibat dalam suatu kasus, maka antibiotika yang berspektrum luaspun tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Begitu program antibiotika dihentikan, dengan cepat kasus akan muncul kembali, bahkan dengan derajat keparahan yang lebih hebat. Atau … seolah-olah kasus yang terjadi tidak berespon sama sekali terhadap antibiotika yang dipakai.
Dalam kondisi seperti ini, peternak sering kali mengalami frustasi, karena rotasi penggunaan antibiotika juga tidak memberikan hasil yang signifikan.
Jadi … ada beberapa poin penting dalam hal respon terhadap antibiotika pada kondisi di mana terdapat faktor imunosupresi, yaitu:
• Sering terjadi kegagalan penggunaan program antibiotika, baik itu sebagai program pencegahan maupun program pengobatan.
• Frekuensi penggunaan preparat antibiotika menjadi lebih sering, akibat kasus yang terjadi sering berulang-ulang.

Penanganan Kasus Imunosupresi

Yang jelas … jika pada suatu populasi ayam ditemukan kasus-kasus yang mengarah kepada adanya kondisi imunosupresi, maka tentu saja langkah utama yang harus dilakukan adalah meniadakan faktor imunosupresi tersebut. Tergantung pada jenisnya, apakah itu virus, toksin ataukah kondisi stres tertentu. Oleh sebab itu, hasilnya pun sangat bervariasi.
Dari pengalaman penulis, pemberian “supportive treatments” seperti pemberian tambahan vitamin C (15-25 mg asam askorbat/kg BB/hari) dan vitamin E (100 IU/kg BB/hari) sangat membantu pemulihan kondisi ayam.
Pemberian preparat yang dapat memperbaiki fungsi hati seperti inositol dan sorbitol, juga sangat dianjurkan. Di samping itu juga perlu ditingkatkan pelaksananaan program-program “biosecurity” di lingkungan peternakan yang bersangkutan, agar kontaminasi mikroba lapangan tidak mudah terjadi.



Efek Aflatoksin-B1 terhadap respon pertahanan tubuh:

Mikotoksin (Aflatoksin-B1)



Sel Bursa Fabricius Sel Jaringan Limfoid Fungsi Fisiologis Sel Darah Putih
Sel Thymus

Populasi Sel-B/Sel-T Lazy Leucocyte Syndrome



Kondisi Imunosupresi

RACUN JAMUR DAN UJI MUTU PRODUK TERNAK

Fokus Infovet 164 Edisi Maret 2008

(( Peran laboratorium yang dibutuhkan guna sertifikasi produk-produk peternakan dan apapun terkait dengan peternakan sudah waktunya untuk ditingkatkan. ))

Kejadian mikotoksikosis pada ternak lebih bermasalah lantaran soal penyimpanan pakan yang tidak memenuhi standar sanitasi dan higiene, terutama banyak dijumpai di peternakan kecil. Pada penyimpanan yang bagus, munculnya kasus ini dapat dikurangi. Adapun kasusnya sebetulnya relatif sedikit, namun kalau terjadi kasus mikotoksikosis, susah untuk menyembuhkannya.
Demikian Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) menjawab pertanyaan Infovet seputar mikotoksikosis pada pakan. “Beberapa jenis mikotoksin yang paling dikenal antara lain Okratoksin dan Aflatoksin, dan sebetulnya jenis mikotoksin sendiri sangatlah banyak, namun banyak pihak yang belum mengenalnya.”
Menurut Dr Fadjar, gejala ternak yang terserang mikotoksikosis terutama adalah muntahnya hitam, tidak mau makan, akhirnya menyerang ke gangguan lain, yaitu pernafasan dan paling banyak menyerang pencernaan, terutama pada lumen. Adapun proses kejadian penyakit hingga menimbulkan infeksi dan menunjukkan gejala klinis adalah lebih lama dibanding penyakit bakterial.
Melalui BPMPP, Dr Fadjar Sumping Tjatur Rasa mengaku bahwa yang diperiksa di balai ini adalah lebih pada racunnya yaitu antara lain aflatoksin dan okratoksin tadi. Menurutnya, beberapa kasus berbeda nyata, namun beberapa kasus yang lain tidak berbeda nyata.
Pengujian mutu produk peternakan (susu, daging, telur, kulit, dan lain-lain) memang dalam upaya keras guna diselenggarakan, agar produk peternakan yang beredar di masyarakat memenuhi standar kesehatan yang prima. Kehadiran Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan merupakan sebuah upaya guna mewujudkan keniscayaan ini.
Bandingkan dengan dunia obat hewan. Pada dunia obat hewan sudah berlangsung tindakan prosedural pengujian dan pemeriksaan mutu obat hewan dengan adanya Balai Besar Pengujian Mutu Obat Hewan (BBPMSOH), yang mana untuk eksekusi penertiban obat hewan yang sudah diuji dilakukan oleh pemerintah melalui Sub Direktorat Pengawasan Peredaran Obat Hewan (PPOH) Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak.
Melalui BPMPP itulah, produk-produk peternakan kita diawasi, di mana eksekusi penertibannya dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjennak.
Kalaupun pelaksanaannya belum seideal yang diharapkan, setidaknya upaya untuk ke arah itu sudah dilakukan sejak kehadiran BPMPP pada tahun 2001, sebagai kelanjutan dari Loka Pengujian Mutu Produk Peternakan yang berdiri pada 1997, sebagai bagian dari BPMSOH saat itu.
Kepala BPMPP sejak 2007, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD mengungkapkan bahwa pengujian mutu produk peternakan itu antara lain meliputi: pengujian produk peternakan terhadap residu antibiotik dan mikroba, residu hormon, pestisida dan logam berat, pemalsuan daging, kuman pada susu, pengujian terhadap racun jamur (mikotoksin).
Kasus pemalsuan daging antara lain adanya oplosan daging sapi dengan daging babi hutan (celeng), serta dicampurnya daging baru dengan daging lama. Kasus kuman pada susu antara lain temuan Institut Pertanian Bogor terhadap bakteri enterokoki zakazaki pada susu bubuk untuk bayi yang dapat menyebabkan radang otak, di mana di sini pun BPMPP bekerjasama dengan IPB dan Direktorat Kesmavet.
Uji residu antibiotika menunjukkan adanya penurunan kasus residu antibiotika pada produk-produk peternakan, yang mengindikasikan manajemen pengobatan pada ternak cukup meningkat tata laksananya.
Adapun cemaran mikroba pada produk peternakan dari hasil jajak kasus kejadiannya bervariasi, sesuai dengan kondisi higiene yang berbeda-beda. Kuman Salmonella adalah contoh kuman yang berabahaya yang ditemui pada jajak kasus ini, antara lain spesies Salmonella enteritidis.
Lanjut Dr Fadjar, pada pemeriksaan hormon, pada tahun 2007 belum dijumpai yang positif, meski sebelumnya dijumpai hormon tertentu pada daging sapi impor. Sedangkan pemeriksaan logam berat, hasilnya negatif. Pemeriksaan pestisida pada produk peternakan pun negatif.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengujian mutu produk peternakan di Indonesia adalah kesulitan dalam menentukan contoh jajak kasus yang mewakili seluruh kasus di Indonesia. Terutama lantaran, data di Indonesia belum akurat, dan banyak kasus yang belum tertangani.
Sebagai pelaksana teknis dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjennak, Dr Fadjar mengungkap bahwa BPMPP sedang mengupayakan agar balai ini sanggup mencapai level internasional. Dengan level internasional, antara lain agar posisi balai ini di nasional lebih kuat. Untuk itu diupayakan peningkatan manajeman laboratorium, sumber daya manusia dan fasilitas.
Harapannya lagi, banyak kasus dapat ditangani dan terdapat pemberian sertifikasi mutu pada produk-produk peternakan. Hal ini pun berkaca pada kasus tidak adanya sertisikasi mutu berdasar laboratorium pada Rumah Potong Hewan dan Rumah Potong Ayam, namun hanya berijin setelah ada inspeksi.
Contoh lain, dulu pengujian vaksin impor cukup adanya sertifikasi dari lembaga asal, kini sudah dilakukan pengujian laboratorium Indonesia begitu masuk di tanah air. Pengujian laboratorium ini pun dibutuhkan untuk menguji mutu produk-produk peternakan.
Artinya, peran laboratorium yang dibutuhkan guna sertifikasi produk-produk peternakan dan apapun terkait dengan peternakan sudah waktunya untuk ditingkatkan. (YR)

MEMPERSIAPKAN PULLET UNTUK PRODUKSI TELUR YANG EFISIEN

Fokus Infovet Mei 2008

(( Pullet yang unggul yang bisa berproduksi optimal. Berdasarkan asumsi ini, peternak dituntut kejeliannya dalam memilih calon day old chicken (DOC) yang akan dipeliharanya. ))

Pullet atau ayam dara yang siap berproduksi sering dijadikan sebagai indikator keberhasilan usaha peternakan ayam petelur. Ada apa sebenarnya dengan pullet ini?
Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA, pakar Produksi dan Reproduksi Unggas yang bermastutin (red; bekerja) di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyatakan, hanya pullet yang unggul yang bisa berproduksi optimal. Berdasarkan asumsi ini, peternak dituntut kejeliannya dalam memilih calon day old chicken (DOC) yang akan dipeliharanya.
Artinya, peternak harus punya wawasan luas tentang kriteria calon DOC, baik dari segi fisik maupun dari tetua yang memproduksi DOC tersebut.
“Saya lebih menekankan pada kemampuan peternak dalam hal memilih DOC yang high quality, mungkin dapat dilakukan peternak dengan cara menanyakan langsung kepada supplier DOC di wilayahnya, artinya peternak kita minta untuk super aktif, toh inikan juga untuk keberhasilan usahanyakan?” tanya Tri.
Dilanjutkannya, yang terjadi di tingkat peternak kita saat ini adalah mempercayakan sepenuhnya kepada supplier DOC terkait pengadaan DOC dimaksud, sehingga seringkali kita mendengar broiler dan layer kerdillah, DOC dengan tingkat mortalitas awal yang cukup tinggilah, dan seabrek permasalahan yang muncul dan masalah itu sendiri sebenarnya akibat dari ketidaktahuan peternak.
“Inilah yang merupakan indikator kalau peternak kita sebagian besar belum smart dibidangnya,” keluh pakar unggas ini. Lantas bagaimana persiapan pullet yang dimaksud oleh lulusan Universitas Rennes I Prancis ini?
“Seyogyanya pullet yang baik tersebut adalah pullet yang lambat munculnya ciri-ciri dewasa kelamin,” tutur Tri. Hal ini terkait dengan lama produksi ayam, artinya semakin cepat ayam mencapai dewasa kelamin, maka lama produksi ayam tersebut semakin pendek.
Digambarkan Tri bahwa bila dewasa kelamin muncul lebih awal maka kemampuan ayam memproduksi telur hanya berkisar 55-60 minggu saja, sedangkan bila dewasa kelamin bisa ditunda kedatangannya.
Maka, ayam petelur dapat diasumsikan berproduksi sampai usia 75 minggu, dengan cara ini secara tidak langsung efek pengaturan munculnya dewasa kelamin dapat memberikan arti yang besar pada peternak, yaitu bertambahnya pulus melalui produksi telur yang lama.
Pada ayam petelur konsep faktual yang mesti diterapkan adalah mengupayakan agar pullet lambat mencapai dewasa kelaminnya, ini bisa dilakukan dengan menerapkan beberapa hal yang teruji secara jitu di lapangan, yaitu:
(1) manajemen pencahayaan (lighting management),
(2) manajemen pakan (feeding management), dan
(3) manajemen personal (poultryman of management), ketiga hal ini berpengaruh signifikan terhadap tingkat produksi ayam petelur.

Terang-terangan Pullet Butuh Gelap-gelapan

“Ini terkait faktor lighting tadi,” ungkap Tri. Dikatakannya bahwa cahaya merupakan faktor premordial atau yang utama bagi unggas. Hal ini juga berlaku buat makhluk Allah SWT yang lainnya.
Namun keutamaan ini jangan didramatisir sehingga menjadi hal mutlak, alhasil disepanjang hayatnya ayam petelur biasanya identik dengan full lighting, padahal ini berpengaruh terhadap cepatnya pullet mencapai dewasa kelamin.
Terkait hal lighting ini, di beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris, Prancis, Belanda dan Negara maju lainnya biasanya menerapkan sistem 8 Light (L) dan 16 Dark (D) (red; 8 jam penuh cahaya dan 16 jam penuh kegelapan).
Kemudian menginjak usia pullet 13-17 minggu, formulasi L dan D dikurangi menjadi 12 L dan 12 D, kemudian 13 L dan 11 D dan 14 L dan 10 D sampai awal produksi.
Kemudian penggunaan lampu dengan warna-warni lebih dianjurkan seperti warna biru dan merah. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa penggunaan lampu warna biru berfungsi menghambat dewasa kelamin pada pullet namun tidak berpengaruh terhadap pertumbuhannya, sedangkan penggunaan lampu warna merah berfungsi mempercepat dewasa kelamin ayam petelur yang dipelihara peternak.
Ini biasanya sebagian besar baru diterapkan dibeberapa negara maju di belahan bumi dengan iklim subtropis.
Untuk Indonesia sendiri, teknik good lighting susah diterapkan, hal ini terkait dengan musim dan lama pencahayaan alaminya, yakni 12 jam terang dan 12 jam gelap.
Di samping itu, alasan klasik yang juga perlu dipertimbangkan terkait program lighting ini adalah aksi pencurian ayam milik peternak yang sering menjadi dilema di lapangan.
Padahal bila dirujuk dari beberapa hasil penelitian terkini tentang ayam petelur menyatakan bahwa ayam petelur yang mendapatkan full lighting atau sinaran penuh berakibat pada, yaitu:
(1) dewasa kelamin maju,
(2) telur yang diproduksi kecil, dan
(3) persistensi produksi rendah.
Di samping itu, efek pencahayaan juga ada kaitannya dengan produksi Luteinizing hormone (LH) pada ayam. Hal ini diuraikan Tri bahwa pantulan cahaya matahari ke mata ayam menimbulkan rangsangan pada Hypothalamus, diteruskan ke hypophysis.
Kemudian, hypophysis terbagi dua, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Bagian anterior dari hypophysis ini menghasilkan gonadotropine hormone yang pada bagian sel gamanya menghasilkan Luteinizing hormone (LH) sedang pada bagian sel betanya memproduksi follicle stimulating hormone (FSH).
Lantas, apa hubungannya dengan kondisi gelap dimaksud? Tri kembali menyatakan bahwa pada unggas, kondisi gelap difungsikan untuk memproduksi LH, kemudian kondisi gelap juga berefek pada pembentukkan folikel dan perobekkan stigma folikel serta yang lebih urgent lagi adalah pada proses vitelogeni, yakni proses pembentukan yolk atau kuning telur.
Namun, yang perlu diingat adalah kondisi gelap diperlukan untuk memperlambat dewasa kelamin ayam petelur, artinya dark condition memberikan nilai positif bagi peternak, yakni dapat memperpanjang masa produksi telur ayam petelur. (Daman Suska).

PAKAN DAN MANAJEMEN PERSONAL

Harus ada pembatasan pemberian pakan pada ayam petelur, dimulai sejak ayam umur sehari atau DOC, sedangkan manajemen pemeliharaan selalu dikaitkan dengan person atau manusia yang terlibat secara langsung dengan ayam.

Pakan Juga Ambil Peran

“Harus ada pembatasan pemberian pakan pada ayam petelur, pembatasan pemberian pakan ini dimulai sejak ayam umur sehari atau DOC,” tegas Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA, pakar Produksi dan Reproduksi Unggas yang bermastutin (red; bekerja) di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Lulusan program doktoral pada Universitas Rennes I Prancis ini mengatakan sejak umur 1-5 minggu, pemberian pakan dengan metode adlibitum atau pakan tersedia sepanjang waktu dalam kandang.
Kemudian di atas umur 5 minggu, pembatasan pemberian pakan mulai diterapkan, terutama untuk tipe-tipe ayam petelur dari strain loghman. Pada dasarnya, pembatasan pemberian pakan dikategorikan pada pembatasan pemberian pakan secara kuantitaif dan pembatasan pemberian pakan secara kualitatif.
Secara kuantitaif, ayam petelur hanya dibatasi pakannya semisal 70 gr/ekor/hari, sedang secara kualitatif berarti penurunan protein kasar atau crude protein (CP) terutama untuk leyer umur 13-17 minggu, hal ini ditujukan untuk menghambat dewasa kelamin ayam tersebut.
Sebagai batasan Tri memberikan gambaran kandungan CP pakan per periode umur pemeliharaan, yakni :

UMUR (MINGGU) % CP
0-6 18-20
6-12 17
13-17 13
> 18 16,5-17

Kemudian yang perlu juga diperhatikan peternak adalah memberikan kebebasan pada ayam untuk mengkonsumsi pakannya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas pakan yang disuguhkan peternak, artinya pada usia 18 minggu ini pola pemberian pakan kembali ke sistem adlibitum, ini dibiarkan sampai ayam mulai berproduksi.
Setelah ayam berproduksi 25% dari total populasi, pemberian pakan secara adlibitum kembali dihentikan, dan pemberian pakan kembali dibatasi, yaitu 110-115 gr/ekor/hari.
Ini bertujuan agar ayam tidak gemuk, karena bila pakan yang diberikan pada layer melebihi kapasitas konsumsinya, maka dikuatirkan akan terjadi penumpukan lemak pada organ-organ reproduksinya, terutama yang perlu diwaspadai adalah pembentukan lemak abdominal, yang diduga sangat berpengaruh terhadap produksi telur layer.

Manajemen Personal Juga Perlu

Manajemen pemeliharaan selalu dikaitkan dengan person atau manusia yang terlibat secara langsung atau direct interaction dengan ayam. Dalam peristilahan awam sering disebut anak kandang yang melaksanakan semua kegiatan terkait pemeliharaan ayam layer tersebut.
Pekerjaan dimaksud seperti persiapan kandang sebelum dan sesudah panen, persiapan gudang pakan, persiapan semua peralatan dan perlengkapan kandang serta maintenance dari semua kegiatan tersebut secara periodik.

Menurut Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc Ph D Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, aspek manajemen peternakan ayam petelur mencakup bibit, pakan, budidaya, kesehatan dan pemasaran produk ternak itu sendiri.

Aspek-aspek ini secara keseluruhan merupakan tugas peternak atau anak kandang, namun perlu di ingat bahwa ini dilakukan secara berjenjang atau paling tidak harus ada pengontrolan yang ketat dari pimpinan yang berkompeten dengan usaha peternakan tersebut.
Kejadian di lapangan sistem penjenjangan kerja ini yang masih kurang terutama untuk peternak layer skala menengan ke bawah yang sering memberikan kepercayaan penuh kepada anak kandang tanpa adanya pengontrolan, sehingga pada saat tertentu sering dijumpai tumpang tindihnya kegiatan anak kandang, dan sering terabaikan hal-hal yang terkait dengan manajemen usaha peternakan layer itu sendiri.

Ditambahkan Charles bahwa satu hal yang perlu diingat adalah pencatatan, disini apapun jenis kegiatan yang dilakukan anak kandang mulai dari terbit fajar sampai terbit fajar kembali perlu dibukukan atau dicatat. “Ya sebentuk diari gitu bung,” canda Guru Besar pakar Kesehatan Unggas FKH UGM ini.
Sementara itu menurut Hj Ir Elfawati MSi dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau, pencatatan yang baik di usaha peternakan merupakan indikator yang dapat menghantarkan usaha tersebut meraih kesuksesan, karena manajemen yang baik itu sebenarnya tercermin pada recording yang tertib.

Ditambahkan Eva bahwa banyak hal yang dapat dicatat atau dibukukan dalam diari anak kandang tersebut, seperti jumlah populasi dari waktu kewaktu, penyusutan atau deplesi yang terkait dengan jumlah individu yang mati selama periode pemeliharaan, berat badan, program dan jumlah pemberian pakan, water intake, produksi telur, riwayat kesehatan atau medical record, stok barang dan lainnya.
Hal yang menarik soal manajemen personal ini juga dikemukakan Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA. Menurutnya, arah manajemen personal lebih ke kreativitas peternak atau anak kandang untuk mengatur usahanya.

Ambil contoh soal berat badan ayam, kita kenal ada berat badan inisial, yakni berat badan yang ada pada tubuh ayam untuk menandai jumlah produksi telurnya. Dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa semakin tinggi berat badan ayam petelur maka produksi ayam tersebut semakin rendah.
Kemudian soal dewasa kelamin, perlu juga diketahui bahwa ada dewasa kelamin biologis yang dicapai ayam pada umur 10 minggu dan dewasa kelamin komersial biasanya ditandai dengan masa peneluran pertama.

“Nah, peternak yang kreatif harus mampu membaca hal-hal seperti ini, kemudian diaplikasikan seperti bila terdapat berat badan tidak seragam dalam satu populasi, langsung dipisahkan, ayam dengan berat badan yang tinggi dengan berat badan yang rendah.
Kemudian soal pencahayaan juga bisa dijadikan topik pencataan di usaha peternakan layer. Dengan penerapan semua aspek manajemen yang telah direkomendasikan tadi, setidaknya peternak telah berbuat sesuatu berarti bagi ternaknya, yaitu animal walfare, ini penting,” pungkas Tri. (Daman Suska).

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer