Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Oligosakarida Alternatif Pengganti Antibiotik Growth Promotant

Burhanudin Sundu
Pengajar pada Universitas Tadulako, Palu


Rasanya sulit bahkan pahit bagi industri peternakan dan produsen antibiotik menerima regulasi yang digelindingkan oleh Uni Eropa dalam pelarangan penggunaan AGP. Pelarangan ini tidak hanya melulu masalah ditariknya produk AGP dipasar Eropa yang berimplikasi bagi produsen tetapi menyangkut dampak yang ditimbulkan. Serentetan masalah muncul dalam pelarangan ini, mulai dari meningkatnya kematian ternak, rendahnya produksi dan tidak uniformnya pertambahan bobot badan dan produksi ternak. Parahnya, sebagian besar bangsa ternak modern yang diciptakan masih bersandar pada penggunaan AGP dalam makanan ternak. Ini jelas berdampak besar bagi peternak.
Logika yang menyertai pelarangan penggunaan AGP sebenarnya sangat sederhana yakni adanya ketakutan munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Logika ini dibangun dari sebuah keyakinan bahwa pemberian AGP dalam makanan ternak dengan dosis yang rendah akan memunculkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Bakteri yang resisten ini akan meloncat ketempat lain via produk ternak dan pekerja di farm. Ini akan menyebabkan bakteri yang resisten dapat berkembang biak. Ketika bakteri yang resisten ini menginfeksi ternak atau manusia, upaya penyembuhan dengan menggunakan antibiotik tertentu menjadi tidak efektif.
Kasus yang dilaporkan oleh Ramchandani dkk (2005) tentang ditemukannya banyak Esherichia coli resisten yang menyebabkan terjadinya infeksi saluran kencing perempuan dewasa seakan membenarkan keyakinan ini. Bakteri ini ternyata berasal dari saluran pencernaan sapi dan bakteri ini resisten terhadap berbagai antibiotik.
Proposisi ini dibantah karena dosis antibiotik yang diberikan kepada ternak dianggap tidak berbahaya bagi manusia dan tidak akan memunculkan bakteri yang resisten. Sayangnya, bantahan ini seperti tidak memiliki gaung dilevel penentu kebijakan. Regulasi pelarangan AGP di Eropa dan pelarangan beberapa AGP di USA dan Australia adalah bukti .

Antibiotik sebagai perangsang tumbuh (AGP)
Lebih dari 60 tahun, sejak Moore dkk (1946) melaporkan hasil penelitian mereka tentang manfaat antibiotik dalam meningkatkan pertumbuhan ternak, penggunaan antibitok perlahan meningkat dalam industri ternak unggas dan babi. Awalnya penggunaan antibiotik dimaksudkan hanya untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen. Temuan Moorer dkk ini dianggap sebagai penyelamat industri peternakan. Karena itu antibiotik menjadi bagian integral dalam industri makanan ternak.
Peningkatan bobot badan ternak babi sebesar 3,3-8,8% dan efisiensi penggunaan pakan sebesar 2,5 -7% dan peningkatan bobot badan ayam sebesar 100 gram pada umur 6 minggu adalah fakta pembenar bahwa antibiotik dapat meningkatkan pertumbuhan ternak dan efisiensi. Mekanisme kerja dari antibiotik meningkatkan produksi ternak diduga melalui beberapa modus operandi. Pertama, sel darah putih sebagai instrumen sistim kekebalan akan merespon benda-benda asing (mikroba patogen) yang masuk dengan memproduksi cytokines. Ini akan menyebabkan organ pencernaan memproduksi peptida yang menyebabkan ternak kehilangan nafsu makan. Kurangnya konsumsi akan berimplikasi pada rendahnya pertambahan bobot badan. Kedua, Antibiotik akan membunuh mikroba. Padahal tanpa antibiotik, dibutuhkan energi untuk proses penghambatan pertumbuhan mikroba patogen tersebut. Ini berarti terjadi efisiensi energi yang dapat dikompensasi untuk pertumbuhan ternak. Ketiga, bakteri dapat menon-aktifkan enzim pencernaan dari pankreas akibat adanya produksi amoniak, antibiotik dapat menghambat produk amoniak ini sehingga peran enzim untuk mencerna nutrisi menjadi normal. Antibiotik juga dapat menghambat iritasi pada dinding usus sehingga penyerapan nutrisi menjadi maksimal. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan fungsi antibiotik dapat memacu pertumbuhan ternak.
Sederet manfaat positif diatas yang diemban oleh antibiotik, dimata konsumen dan regulator (pemerintah), tak sebanding dengan isu bakteri resisten yang ditimbulkan oleh antibiotik. Akhirnya , produk-produk antibiotik yang bertujuan sebagai perangsang tumbuh kemudian menuai pelarangan di Eropa dan pelarangan beberapa antibiotik di berbagai negara. Studi tentang pengganti AGP kemudian memunculkan banyak produk alternatif mulai dari enzim, betaine, asam organik, probiotik, bakteriophage dan prebiotik. Dari sekian banyak produk tersebut, prebiotik sebagai alternatif mendapat perhatian yang intens karena mekanisme aksinya yang unik dan kemampuan mengganti antibiotik baik pada aspek peningkatan status kesehatan maupun sebagai perangsang tumbuh dianggap setara dengan antibiotik.

Prebiotik sebagai perangsang tumbuh (PGP)
Prebiotik diterjemahkan sebagai komponen nutrisi makanan yang tidak tercerna tetapi mempengaruhi mikroba yang ada dalam saluran pencernaan dan merangsang pertumbuhan ternak. Alam dapat menyediakan ratusan prebiotik yang dapat diekstrak dari karbohidrat. Secara komersial, karbohidrat kelas oligosakarida yang merupakan polimer dari fructose Fruktooligosakarida, FOS) dan manosa (mananoligosakarida, MOS) yang banyak diproduksi dalam industri makanan dan kesehatan karena menyimpan fungsi prebiotik.
Penggunaan FOS dalam makanan ternak dapat menstimulus perkembangan mikroorganisme yang bermanfaat seperti bifidio bacteria dan Lactobacillus sp. dalam saluran pencernaan. Bakteri ini akan menghuni dan saluran pencernaan dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan mekanisme “competitive exclusion”, siapa yang paling dominan dialah yang akan menguasai saluran pencernaan. Mekanisme ini mirip dengan mekanisme introduksi probiotik. Akan tetapi penggunaan FOS dalam konsentrasi yang terlalu rendah dan terlalu tinggi menjadi tidak efektif dalam merangsang pertumbuhan bakteri yang bermanfaat dan menghambat bakteri patogen. Hal ini disebabkan karena bakteri patogen semacam salmonela dapat memanfaatkan FOS untuk pertumbuhan ketika konsentrasi substrat meningkat.
Berbeda dengan FOS, MOS secara bersamaan dapat memacu perkembangan bakteri yang bermanfaat dan menghambat bakteri patogen dengan membloking fimbriae (polimer protein yang dapat mendeteksi karbohidrat spesifik) pada bakteri sehingga bakteri patogen tidak melekat pada dinding usus. Bakteri-bakteri patogen seperti Salmonella dan E. Coli adalah bakteri yang selalu mencari tempat perlekatan pada gula sederhana manosa atau karbohidrat yang memiliki kandungan manosa, seperti mannan oligo sakarida (MOS; polimer manosa). Melekatnya bakteri patogen ke MOS yang tidak tercerna akan menyebabkan bakteri patogen ini dibuang dalam bentuk feses. Ini akan berimplikasi pada semakin sedikitnya populasi bakteri patogen dalam saluran pencernaan.
Berbagai tanaman menyimpan mannan sebagai cadangan energinya dan karenanya dapat diekstrak menjadi MOS. Tanaman bangsa palma, legum dan yeast cenderung mengandung Mannan dengan segala derivasinya. Akan tetapi, terdapat perbedaan kemampuan MOS dalam menyerap bakteri patogen. Sebuah studi mengindikasikan bahwa MOS dari Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan yang lebih besar berkisar sekitar 80% padahal pada tanaman lain kemampuan tersebut hanya berkisar 30-50%. Produk tersebut juga jauh lebih cepat dan lebih kuat dalam mengikat bakteri patogen. Kemampuan MOS dalam meningkatkan fungsi kekebalan melalui peningkatan immunoglobulin pada level saluran pencernaan, meningkatkan aktifitas makrofag serta kesehatan saluran pencernaan telah dibuktikan oleh beberapa peneliti.
Peningkatan pertumbuhan ternak akibat dari supplementasi MOS diakibatkan karena beberapa mekanisme. Pertama, MOS dapat meningkatkan kekebalan tubuh yang sangat bermanfaat bagi ternak dalam bentuk saving energi untuk mereduksi stres. Saving energi ini akan digunakan untuk pertumbuhan. Kedua, MOS dapat meningkatkan panjang vili-vili usus halus yang berguna untuk penyerapan nutrisi. Implikasi dari peningkatan penyerapan nutrisi dapat secara positif berhubungan dengan pertumbuhan ternak.
Sebuah studi yang menarik dilakukan oleh Newman (2002), Lou (1995) dan Scheuren-Portocarrero (2006) tentang kemampuan MOS dalam mengurangi bakteri Salmonella dan E. coli yang resisten terhadap antibiotik. Hasilnya, proporsi relatif dari bakteri Salmonella monterido yang resisten terhadap antibiotik tertentu menurun. Data ini mungkin dapat dibaca sebagai alternatif strategi dalam mengurangi munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Karena itu fungsi MOS tidak hanya mengganti peran antibiotik dan merangsang pertumbuhan, tetapi juga ikut mengambil peran dalam membersihkan jagad ini dari koloni bakteri yang resisten. Dengan begitu, fungsi antibiotik sebagai obat untuk penyembuhan penyakit yang memang tidak akan mungkin dilarang, akan menjadi efektif dan maksimal.

PHYTOGENIK SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN AYAM BROILER

(( Phytogenik merupakan salah satu pemacu pertumbuhan dihasilkan dari ekstrak tumbuhan yang berperan penting dalam memacu pertumbuhan. ))

Antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan telah banyak digunakan, tetapi pada umumnya antibiotik memberikan dampak resiko jangka panjang yang merugikan baik pada lingkungan maupun manusia yang mengkonsumsinya. Untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya resistensi antibiotik, perlu dikaji pemacu pertumbuhan berbahan baku alamiah yang aman untuk manusia dan lingkungan.
Terkait hal itu, H Aisyah dari Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor meneliti Studi Suplementasi Phytogenik sebagai Pemacu Pertumbuhan Terhadap Performan Ayam Broiler.
Phytogenik merupakan salah satu pemacu pertumbuhan dihasilkan dari ekstrak tumbuhan yang berperan penting dalam memacu pertumbuhan.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui taraf penggunaan dan pengaruh pemberian ransum yang mengadung phytogenik antibiotik pemacu pertumbuhan terhadap bobot badan dipasarkan, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, konversi ransum, tingkat kematian (mortalitas), Income over feed and chick cost ayam broiler.
Ternak yang digunakan sebanyak 300 ekor ayam broiler strain Avian yang ditempatkan dalam 30 petak kandang sistem litter yang dipelihara selama 5 minggu dan masing-masing berisi 10 ekor. Ransum perlakuan disusun isokalori dan isoprotein dengan kandungan energi ransum 3131 kkal/kg dan protein ransum 21,97 %.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap 6 perlakuan dan 5 ulangan menggunakan phytogenik 50, 100, 150 , 200 mg/kg dan antibiotikAvilamycin 5 mg/kg dan Flavomycin 4 mg/kg.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi phytogenik dan antibiotik tidak berpengaruh nyata terhadap bobot badan dipasarkan, pertambahan bobot badan dan nilai konversi ransum.
Secara biologis nilai konversi ransum yang disuplementasi phytogenik lebih baik dari nilai konversi antibiotik Avilamycin (2,18) dan Flavomycin (2,12). Suplementasi phytogenik dalam ransum dapat menggantikan antibiotik sebagai pertumbuhan ayam broiler. (YR/Fapet IPB)

Bahan Pemicu Pertumbuhan Tekan Kasus Ayam Kerdil

((Pemberian bahan-bahan yang bersifat memicu pertumbuhan seperti obat herbal, imunomodulator dan probiotik juga baik digunakan untuk menekan efek ISS.))

Periode awal tahun 2007 ini peternak benar-benar mendapat cobaan berat. Pasalnya, pemberitaan meningkatnya jumlah korban meninggal akibat flu burung telah menurunkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging unggas yang menyebabkan hancurnya harga broiler panen ditingkat peternak. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga peternak masih harus direpotkan oleh wabah penyakit kerdil yang merajalela.
Seperti diungkapkan Drh Wayan Wiryawan seorang praktisi peternakan yang kerap keliling Indonesia mengatakan bahwa hampir sebagian besar peternak di sentra produksi broiler mengeluhkan lambatnya pertumbuhan ayam yang dipeliharanya. Sementara peternak mengaku tidak pernah merubah tatalaksana pemeliharaan ataupun kualitas pakannya. Tudingan muncul mungkinkah ini disebabkan oleh kualitas DOC yang jelek dari pembibit atau karena penyebaran penyakit yang belum diketahui jenisnya. Mengingat beberapa penyakit seperti Reovirus dan Infectious Stunting Syndrome (ISS) bisa ditularkan secara vertikal maupun horizontal.
Sebenarnya kasus ayam kerdil sudah ada sejak tahun 1967-1997, namun kejadian akhir-akhir ini berdampak cukup signifikan dalam menekan produktivitas belum lagi kalau dikaitkan dengan tingginya harga pakan. Karena dampak kerugian yang paling besar dari kasus ayam kerdil ini adalah meningkatnya konversi pakan. Penyebab pasti kekerdilan ini memang belum jelas karena bisa dikaitkan dengan infeksi beberapa jenis virus, bakteri, mikotoksin dan berbagai faktor manajemen, sehingga penyebab ISS cenderung bersifat multiagen dan pendukungnya bersifat multifaktorial.
Gejala dari kekerdilan ini ditandai dengan gagalnya ayam mencerna dan mengabsorsi pakan yang menyebabkan gangguan pertumbuhan berat, sehingga penyakit ini juga memiliki sebutan lain, yaitu Malabsorption Syndrome (MAS). Selain itu pertumbuhan yang tidak seragam bisa ditemukan sejak umur 4-6 hari. Lebih lanjut, angka afkir yang tinggi dan kualitas karkas yang jelek juga cukup memusingkan peternak.
Menurut beberapa ahli penyakit unggas, efek sindrom kerdil ini bisa diperparah dengan berbagai faktor lingkungan maupun manajemen yang kurang memadai, misalnya sanitasi/desinfeksi yang tidak optimal, kecepatan angin yang tinggi, kadar amoniak yang tinggi, temperatur brooding yang rendah, dan kepadatan kandang yang tinggi. Selain itu adanya infeksi Gumboro dan sistem pemeliharaan multiage dalam satu farm juga mampu memperparah efek sindrom kerdil ini.

Patut Waspada Bila .........
Peternak patut waspada bila pada umur 2-4 hari , 50-90% ayamnya mulai terlihat lesu, malas bergerak, sayap menggantung dan cenderung mengkonsumsi feses, walaupun pakan cukup tersedia. Pada minggu kedua terjadi kelambatan pertumbuhan, kelemahan tungkai kaki dan enteritis (radang saluran pencernaan). Kemudian menginjak minggu ketiga tanda klinismenjadi lebih jelas, yaitu dengan terlihatnya keropos tulang yang disertai kelumpuhan dan pincang disertai bentuk bulu abnormal dan diare.
Diare ini disebabkan pakan yang tidak tercerna karena rusaknya sel epitel/saluran pencernaan yang menyebabkan digesti tidak optimal. Sehingga pakan yang utuh akan memicu efek osmose dalam usus dan menyebabkan diare.
Selain itu pada kasus kekerdilan, bila ayam dibedah akan didapati atrofi atau penciutan beberapa organ tubuh seperti pankreas, bursa fabrisius, timus, gizzard, dan limpa. Selain itu juga akan didapati radang pada otot jantung, proventrikulus, dan encephalomalacia.

Perbaiki dengan Selenium
Pada ayam sakit, asam amino banyak digunakan untuk produksi antibodi, ini berakibat pada berkurangnya asam amino di otot. Maka bila terjadi demikian untuk pemulihan diperlukan penambahan asam amino esensial seperti methionine dan lysine. Selain itu, respon kekebalan akan memproduksi enzim hidrolitik seperti katalase dan lisozyme juga peroksida dan oksida nitrat. Kesemuanya itu berfungsi sebagai penghancur bakteri parasit dan sel yang terinfeksi virus. Tetapi pada saat bersamaan juga merusak sel sehat disekitarnya.
Karena hal tersebut, maka diperlukan pemberian antioksidan seperti vitamin E dan C, selenium dan carotenoids untuk mengurangi kerusakan sel yang sehat. Pemberian karbohidrat dibanding lemak sebagai sumber energi juga mempercepat pemulihan.

Pencegahan
Pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi reovirus pada breeder dan diketahui dapat mengurangi kasus ayam kerdil di broiler. Namun vaksinasi reovirus di pembibit ini menjamin bahwa DOC yang dihasilkan tidak akan menderita ISS. Hal ini dapat dihubungkan dengan laporan bahwa sindrom tersebut berhubungan dengan beberapa jenis virus dan mungkin reovirus tidak mempunyai pernanan yang dominan.
Oleh karenanya pengembangan vaksin terhadap ISS sulit dilakukan karena penyebabnya yang belum diketahui secara pasti dan kecenderungan penyebab/faktor pendukung sindrom tersebut yang bersifat kompleks.
Pokoknya bila peternak menemukan gejala ayam kerdil atau lambat tumbuh hendaknya ayam dikeluarkan sejak umur 14-28 hari. Praktek manajemen yang optimal, meliputi sanitasi/desinfeksi yang ketat, menghindari stres yang berlebihan, temperatur brooding atau kandang yang optimal, dan tingkat kepadatan kandang yang memadai biasanya dapat menekan efek yang merugikan dari ISS. Program pencegahan penyakit imunosupresif seperti Gumboro, Marek, dan mikotosikosis perlu diperketat. Di tingkat perusahaan pembibitan juga perlu mengoptimalkan praktek manajemen kesehatan ayam bibit, inkubator dan sistem transportasi anak ayam. (wan)

PERAN PAKAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK

(( Penggunaan pakan yang mengandung antibiotik (obat hewan) harus dihentikan atau diganti dengan pakan yang bebas antibiotik pada sekitar satu minggu sebelum ternak dipanen (dipotong). ))

Pakan memegang peranan terpenting dalam sistem keamanan pangan asalternak karena mutu pakan akan tercermindalam produk ternak yang dihasilkan. Pakan yang tercemar oleh berbagai senyawa toksik maupun yang mengandung obat hewan akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak.
Demikian Tim Balai Penelitian veteriner seraya melanjutkan, kadar cemaran senyawa toksik yang cukup tinggi dengan cepat dapat mematikan ternak, bergantung pada sifattoksisitas senyawa tersebut. Dalam jumlah kecil, cemaran ini tidak menimbulkan efek langsung, tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh.
Di dalam tubuh, sebagian senyawa kimia(toksik) tersebut akan dimetabolisirmenjadi senyawa lain (metabolit) yangumumnya kurang toksik, tetapi adasebagian senyawa kimia yang meta-bolitnya menjadi lebih toksik daripadasenyawa induknya, misalnya nitrit.
Senyawa induk maupun metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan feses, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan didalam jaringan (organ tubuh) yang selanjutnya disebut sebagai residu.
Apabila pakan yang dikonsumsi ternakselalu (sering) terkontaminasi ataumengandung senyawa kimia (toksik) maupun obat hewan, maka residu senyawa kimia atau obat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan (organ tubuh) dengan konsentrasi yang bervariasi antara jaringan (organ tubuh) yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, senyawa kimia (toksik) atau obat hewan yang semula terdapat dalam bahan pakan atau ransum makanan ternak telah berpindah (menyatu) pada produk asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya.
Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan pakan atau bahan pakan. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan atau peraturan yang berkaitan dengan pakan, seperti SK Menteri Pertanian, SK Dirjen Peternakan sampai dengan SNI tentang pakan No. 01-3930-1995.

Obat Hewan sebagai Imbuhan Pakan
Menurut Bahri et al. (2000), hampir semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotik ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotik
Keadaan ini diperkuat oleh informasi bahwa sebagian besar sampel pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang, dan Bekasi positif mengandung residu antibiotik golongan tetrasiklin dan obat golongan sulfonamida.
Dengan demikian, apabila peternak yang menggunakan ransum tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap antibiotik tertentu. Terlebih lagi sepertiga dari pabrik pakan yang diamati juga menambahkan obat koksidiostat selain antibiotik sehingga akan menambah jenis residu pada produk ternak.
Penggunaan imbuhan pakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan produktivitas ternak telah meluas, terutama pada ayam petelur dan pedaging, babi,sapi perah, dan sapi potong karena secara ekonomis menguntungkan peternak.
Keadaan ini menyebabkan ternak terus-menerus terekspose obat hewan hampir sepanjang hidupnya, sehingga produk ternak yang dihasilkan kemungkinan besar masih mengandung residu obat, terutama apabila dosis obat danwaktu hentinya tidak dipatuhi.
Pemakaian antibiotik dan obat hewan yang tergolong obat keras perlu memperhatikan waktu henti. Setelah waktu henti terlampaui diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada di bawah BMR sehingga produk ternak aman dikonsumsi.
Tidak dipatuhinya waktu henti obat kemungkinan disebabkan 1) bahaya residu anti-biotik pada pangan asal ternak belum dipahami, 2) peternak belum mengetahuiwaktu henti obat setelah pemakaian antibiotik, dan 3) banyak perusahaan obat hewan tidak mencantumkan waktu henti obat dan tanda peringatan khusus.
Beberapa pabrik pakan telah melakukan uji mutu bahan baku pakan dan pakan komersial yang diproduksinya. Pemeriksaan dilakukan terhadap bau, ketengikan, jamur, serta kandungan aflatoksin.
Sebagian pabrik pakan (50%) juga memeriksa cemaran mikroba patogen. Selain cemaran aflatoksin, logam berat, dan mikroba, juga ditemukan senyawa obat-obatan seperti golongan antibiotik, koksidiostat, dan antijamur yang secara sengaja dicampur ke dalam pakan (ransum) untuk tujuan tertentu seperti sebagai pemacu pertumbuhan.
Hampir semua pakan komersial (85,70%) mengandung antibiotik, 50% mengandung koksidiostat, dan 33,30% mengandung obat antijamur. Hal ini mempertegas bahwa peluang adanya residu antibiotik dan obat-obatan lainnya pada daging dan telur ayam semakin besar.

Masalah Mikotoksin pada Pakan
Selain mengandung antibiotik, pakan dan bahan pakan ayam di Indonesia juga tercemar berbagai mikotoksin seperti aflatoksin, zearalenon, cyclopiazonic berkembangnya isu tentang tanaman transgenik, yaitu tanaman hasil rekayasa genetik seperti jagung Bt dan kedelai Bt yang diproduksi Amerika Serikat.
Sebagian ilmuwan mengkhawatirkan dampak negatif akibat mengkonsumsi produk pertanian hasil rekayasa genetik tersebut. Kekhawatiran ini juga dapat terjadi pada produk ternak yang proses budi dayanya menggunakan produk-produk tanaman transgenik seperti jagung Bt dan kedelai Bt.
Sapi yang diberi pakan dasar jagung Bt tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan bobot badan dan performan lainnya, tetapi penelitian ini tidak mempelajari aspek kesehatannya. Sampai saat ini, kekhawatiran terhadap keamanan produk ternak akibat konsumsi tanaman transgenik masih menjadi perdebatan, baik di kalangan ilmuwan maupun pemegang kebijakan dan masyarakat luas.

Meat and Bone Meal pada Pakan
Permasalahan lain pada pakan adalah kekhawatiran penggunaan meat and bonemeal (MBM) sebagai campuran pakan, terutama untuk ternak ruminansia. Hal ini berkaitan dengan isu penyakit sapi gila yang salah satu penularannya diduga kuat melalui penggunaan MBM asal ternak ruminansia yang menderita atautertular penyakit sapi gila (Darminto danBahri 1996; Sitepu 2000).
Dengan demikian, pakan yang mengandung MBM berpotensi menghasilkan produkternak yang tidak aman bagi kesehatanmanusia. Oleh karena itu, negara-negara Uni Eropa dan Amerika telah melarang penggunaan MBM untuk pakan ternakruminansia.

Kontaminan Lain pada Pakan
Berbagai kontaminan baik berupa bahan kimia maupun mikroorganisme dapat mencemari pakan secara alami maupun non alami. Beberapa contoh kasus ini adalah cemaran dioksin pada daging ayam dan babi serta susu dan telur yang terjadidi Belgia, Belanda dan Perancis pada tahun 1999.
Dalam kasus ini, kandungan dioksin pada telur ayam berkisar 265–737pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak, dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan ambang maksimal kandungandioksin adalah 1 pg/g lemak.
Pencemaran bersumber dari salah satu bahan pakan yang diproduksi oleh suatu perusahaan di Eropa. Kontaminasi lainpada pakan seperti logam berat, senyawa pestisida maupun senyawa beracun lainnya setiap saat dapat terjadi dan akan mempengaruhi keamanan produk ternak yang dihasilkan.

Pengawasan Pakan
Tidak semua ransum pakan yang mengandung obat hewan dilengkapi etiket yang memuat penjelasan mengenai penggunaan obat hewan seperti yang diatur dalam SK Dirjen Peternakan. Hal ini karena kurangnya pengawasan oleh aparat yang berwenang.
Selain ada pabrik pakan yang tidak mencantumkan penambahan obat hewan, pemeriksaan kandungan obat hewan yang dicampurkan ke dalam pakan juga kurang teliti sehingga kadar sebenarnya kurang diketahui dengan pasti. Keadaan ini menyulitkan petugas dalam mengamankan produk asal ternak dari residu obat hewan yang berasal dari pakan atau ransum.
Dari pengamatan di lapang, pemakaian antibiotik pada peternakan ayam niaga khususnya ayam broiler sudah tidak terkontrol dan kurang terawasi oleh pihak pengawas yang berwenang.
Oleh karena itu, perlu dikaji kembali kedudukan pengawas obat hewan berdasarkan SK Mentan No. 808/1994 agar tugas dan fungsi pengawas obat hewan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, keamanan produk ternak dari residu obat hewan (antibiotik) dapat terjamin. Mungkin perlu dibedakan antara pengawas obat hewan yang langsung diberikan kepada ternak dengan obat yang dicampur ke dalam ransum ternak, karena obat hewan yang dicampur dalam ransum ternak lebih kompleks sehingga memerlukan pengawasan khusus. Berkaitan dengan itu, perlu dilakukan upaya-upaya seperti penyuluhan kepada peternak dan industri pakan. Selain itu perlu ditingkatkan pengawasan dari aparat berwenang serta adanya sanksi.

Pencegahan dan Penanggulangan
Pakan harus diyakini bebas dari cemaran bakteri patogen, bahan kimia, dan senyawa toksik lainnya dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium. Pakan dan bahan pakan harus disimpan pada tempat penyimpanan yang memenuhi syarat sanitasi, kebersihan, tidak lembap, dan berventilasi baik. Manajemen keluar masuk pakan harus mengacu kepada first in first out sehingga tidak ada pakan yang tersimpan terlalu lama.
Penggunaan pakan yang mengandung antibiotik (obat hewan) harus dihentikan atau diganti dengan pakan yang bebas antibiotik pada sekitar satu minggu sebelum ternak dipanen (dipotong), sedangkan untuk sapi perah yang sedang laktasi harus dicegah pemberian pakan yang mengandung obat hewan.
Untuk kasus mastitis, susu tidak boleh dikonsumsi sampai dengan kurang lebih 5 hari setelah pengobatan terakhir.
Pengawasan mutu pakan komersial agar ditingkatkan, termasuk pengawasan terhadap obat hewan yang dicampur pada pakan. Pengawasan perlu diikuti dengan penertiban pemakaian obat hewan yang cenderung kurang terkontrol.
Perlu dipertimbangkan agar pengawas obat hewan yang dicampur dalam pakan dibedakan dengan pengawas obat hewan yang akan langsung digunakan untuk pengobatan. Hal ini karena obat hewan dalam pakan lebih kompleks dan penyebarannya meluas, sehingga penyimpanannya tidak sebaik obat yang digunakan langsung untuk pengobatan. Dikhawatirkan potensi dan sifat biologis obat hewan dalam pakan akan berubah karena pengaruh berbagai faktor seperti suhu dan kelembaban. (YR/Balitvet)

PERAN OBAT HEWAN DALAM KEAMANAN PRODUK TERNAK

(( Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. ))

Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan.
Dari pengamatan di lapang, pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat ini kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, di mana 33,30% peternak ayam petelur skala kecil dan 30,80% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai dokter hewan, mendapat obat langsung dari distributor atau importir, sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang.
Seharusnya hanya peternak besar yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau importir obat. Selain itu, peternak sering kurang memahami waktu henti (withdrawaltime) suatu obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produk ternak.
Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi.Walaupun peternak mengetahui adanya waktu henti obat, sebagian dari mereka tidak mematuhinya. Sekitar 50% penyimpangan residu obat pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti pemberian obat.
Sejumlah 15,60% peternak di Australia tidak mematuhi ketentuan waktu henti obat, sedangkan di Indonesia hanya 8,16% peternak sapi perah yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan
Pemakaian obat yang dilakukan oleh peternak sendiri telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini kemungkinan besar berkaitan dengandosis dan waktu henti obat yang tidak diikuti. Di Australia, sekitar 35,40% pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan secara tepat.
Kesalahan semacam ini kemungkinan juga terjadi di Indonesia dengan persentase yang jauh lebih tinggi. Hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat mengetahui jenisobat yang digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi. Dari 20% tersebut hanya 14,28% peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan hanya 8,16%.
Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2) spesies hewan, 3) faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6) dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan mencantumkan keterangan secara jelas tentang waktu henti pemberian obat. Waktu henti pemberian obat hewan yang tidak dipatuhi menyebabkan terjadinya residu obat hewan pada produk ternak
Persentase kejadian cemaran antibiotik pada susu cukup tinggi (lebih dari 50%), dan jenis antibiotik yang paling sering mencemari susu adalah golongan penisilin dan tetrasiklin. Adanya cemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakan pada hewan.
Daging dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik terutama golongan penisilin dan tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging, Pada daging dan hati sapi juga dijumpairesidu antibiotik dan hormon.Residu antibiotik pada susu diperkirakan sebagai akibat pengobatan terhadap penyakit mastitis, karena prevalensi mastitis subklinis di Indonesia sangat tinggi yaitu 87,10%.
Keadaan ini diperkuat bahwa cukup banyak peternak sapi perah yang mengobati ternaknya sendiri, sedangkan peternak yang memahami waktu henti obat sangat sedikit. Kandungan residu obat yang me-lewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan akan menyebabkan daging dan susu tersebut tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia.
Hasil survei di Amerika menunjukkan sekitar 77 % responden mengkhawatirkan masalah residu obat-obatan (terutama golongan antibiotik) pada daging ternak. Beberap akasus gangguan terhadap resistensi bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik di Amerika Serikat juga dilaporkan.
Penilaian terhadap daging, susu, dan telur bergantung pada kadar dan jenisresidu yang ditemukan pada produktersebut. Produk asal ternak yang mengandung residu obat di atas BMR sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi diekspor.
Namun, pada kenyataannya residu obat hewan pada daging dan telur ayam banyak yang di atas BMR.

Pencegahan Dan Penanggulangan
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain untuk sanitasi lingkungan (kandang) juga harus hati-hati agar tidak mengkontaminasi pakan atau sumber air minum. (YR/Balitvet)

KONTAMINASI PRODUK DARI LINGKUNGAN DAN KONTAMINASI OLEH PENYAKIT HEWAN MENULAR

(( Untuk memperoleh produk ternak yang aman dikonsumsi, berbagai faktor yang terkait erat dalam proses pra produksi perlu diperhatikan dengan menerapkan sistem jaminan mutu. ))

Tim Balai Penelitian Veteriner Bogor mengungkapkan faktor penting menghasilkan produk ternak aman dan bermutu, perlu memperhatikan kontaminasi produk dari lingkungan dan kontaminasi oleh penyakit hewan menular

Kontaminasi Produk dari Lingkungan
Proses praproduksi berperan penting dalam menghasilkan produk ternak yang aman dan bermutu untuk konsumsi manusia. Dalam proses praproduksi ini, berbagai faktor akan mempengaruhi kehidupan ternak dan keamanan produk yang dihasilkan.
Faktor-faktor tersebut adalah tanah, air, udara, bahan kimia, obat hewan, pakan, dan penyakit ternak. Faktor lingkungan (tanah, air, udara) di mana ternak dipelihara dapat mempengaruhi keamanan ternak dan produk yang dihasilkan.
Tanah dan sumber air yang tercemar mikroba patogen seperti E. coli, Salmonella, antraks dan Clostridium maupun logam berat atau senyawa toksik lainnya, dapat berpengaruh terhadap ternak dan keamanan produk yang dihasilkan.
Pestisida dan bahan kimia lain yang digunakan dalam pemeliharaan ternak dapat mengkontaminasi sumber pakan, air minum, kandang, dan lingkungan sekitarnya sehingga dapat mempengaruhi kesehatan ternak maupun produknya.
Cemaran pestisida (golongan organokhlorin dan organofosfat) pada daging ayam, susu sapi, daging dan lemak sapi asal Jawa Barat telah dilaporkan.

Kontaminasi oleh Penyakit Hewan Menular
Status penyakit hewan menular atau penyakit zoonosis seperti antraks, virus nipah, cystisercosis, dan mad cow (sapigila) akan mempengaruhi kesehatan ternak maupun keamanan produknya.
Penyakit ini bahkan dapat menjadihambatan dalam perdagangan nasional,regional maupun global. Kasus penyakit antraks pada burung unta di Purwakarta,Jawa Barat pada akhir tahun 1999 telah menyebabkan 34 orang yang mengkonsumsi daging tercemar antraks ter-tular penyakit tersebut.
Demikianjuga dengan kasus penyakit antraks pada manusia di Kabupaten Bogor, disebabkan mengkonsumsi daging dombayang terserang antraks.
Hal ini dikarenakan produk ternak yang dihasilkan ternak penderita antraks menjadi tidak aman, baik bagi manusia maupun lingkungan budi daya ternak.
Demikian halnya dengan kasus penyakit BSE (sapi gila) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya, telah menyebabkan daging sapi tersebut menjadi tidak aman dikonsumsi manusia.

Pencegahan dan Penanggulangan
Untuk memperoleh produk ternak yang aman dikonsumsi, berbagai faktor yang terkait erat dalam proses pra produksi perlu diperhatikan dengan menerapkan sistem jaminan mutu HACCP. Dengan menerapkan sistem ini maka titik-titik kritis akan mendapat perhatian serta berbagai upaya mengatasinya segera diterapkan.
Kondisi lingkungan peternakan harus diyakini belum pernah tercemar oleh mikroba patogen seperti antraks, Clostridium spp. dan cemaran bahan kimia berbahaya lainnya.
Keadaan ini dapat diketahui dengan mencari informasi dari Dinas Peternakan setempat serta memeriksakan sampel tanah dan air yang dijadikan sumber air minum bagi ternak. (YR/Balitvet)

PRINSIP KEHATI-HATIAN PRA PRODUKSI PRODUK TERNAK YANG AMAN

(( Proses praproduksi (pemeliharaan ternak di peternakan) sangat penting karena proses ini merupakan bagian penting dalam upaya menghasilkan produk ternak yang aman dikonsumsi. ))

Pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya.
Namun demikian, pangan asal ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak.
Demikian sumber dari Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor yang mencantumkan penulisnya adalah Sjamsul Bahri, E. Masbulan, dan A. Kusumaningsih.
Menurut para peneliti Balitvet itu, pentingnya keamanan pangan ini sejalan dengan semakin baiknya kesadaran masyarakat akan pangan asal ternak yang berkualitas, artinya selain nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman dan bebas dari cemaran mikroba, bahan kimia atau cemaran yang dapat mengganggu kesehatan.
Oleh karena itu, kata mereka, keamanan pangan asal ternak selalu merupakan isu aktual yang perlu mendapat perhatian dari produsen, aparat, konsumen, dan para penentu kebijakan,karena selain berkaitan dengan kesehat-an masyarakat juga mempunyai dampak ekonomi pada perdagangan lokal, regional maupun global.
Selanjutnya para ilmuwan Balitvet itu mengungkapkan, pada akhir tahun 1960-an, perhatian masyarakat dunia terhadap berbagai residu senyawa asing (xenobiotics) pada bahan pangan asal ternak masih sangat kurang, karena pada saat itu perhatian masyarakat masih terpusat kepada masalah residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran. Namun, setelah terungkap kandungan senyawa DDT, dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat-obatan lain pada produk ternak, produk asal ternak mulai mendapat perhatian khusus.
Seiring dengan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan, maka pembangunan peternakan tidak hanya dituntut untuk menyediakan produk ternak dalam jumlah yang mencukupi, tetapi juga produk tersebut harus berkualitas dan aman bagi konsumen.
Keadaan ini semakin mendesak dengan adanya UU No. 8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen. Keberadaan residu obat hewan golongan antibiotik dan sulfa, hormon, dan senyawa mikotoksin pada produk ternak seperti susu, telur, dan daging telah dilaporkan di Indonesia.
Untuk mendapatkan produk ternak yang aman bagi manusia harus dimulai dari farm (proses praproduksi) sampai penanganan pasca produksinya.
“Pada proses praproduksi (pemeliharaan ternak di peternakan) hal itu sangat penting karena proses tersebut merupakan bagian penting dalam upaya menghasilkan produk ternak yang aman dikonsumsi,” kata tim Balitvet itu.
Tujuannya untuk mengingatkan kembali semua pihak, terutama pelaku agribisnis peternakan di Indonesia agar menghasilkan pangan asal ternak yang berdaya saing tinggi dan aman dikonsumsi.
Apa sajakah yang dimaksud dengan hal penting dalam proses praproduksi itu? Diurai dalam beberapa artikel terpisah, faktor-faktor penting untuk menghasilkan produk ternak yang aman dan bermutu hal itu adalah:
1. Kontaminasi Produk dari Lingkungan dan Kontaminasi oleh Penyakit Hewan Menular
2. Peran obat hewan dalam Keamanan produk ternak
3. Peran pakan dalam keamanan produk ternak
Intinya, keamanan pangan asal hewan berkaitan erat dengan rantai penyediaan pangan itu sendiri, terutama pada proses pra-produksi. Faktor pakan, penyakit hewan, dan penggunaan obat hewan memegang peranan penting dalam sistem keamanan produk peternakan.
Oleh karena itu, penerapan HACCP pada setiap mata rantai penyediaan pangan asal ternak akan dapat menjamin keamanan produk yang dihasilkan. Hampir semua ransum ternak yang diproduksi oleh pabrik pakan komersial mengandung obat hewan terutama golongan antibiotik.
Umumnya peternak kurang mengetahui adanya waktu henti obat dan bahaya yang dapat ditimbulkannya, sehingga diperkirakan berbagai residu obat hewan (terutama golongan antibiotik) dapat dijumpai pada produk ternak seperti daging ayam dan susu.
Pengawasan kandungan obat hewan serta cemaran mikroba, mikotoksin, dan senyawa kimia lainnya pada pakan ternyata belum berjalan sesuai ketentuan seperti kriteria yang tercantum dalam SNI tentang pakan.
Perlu digalakkan sosialisasi atau penyuluhan kepada peternak tentang pentingnya mengikuti petunjuk penggunaan obat hewan, baik yang terdapat dalam pakan komersial maupun yang digunakan untuk pengobatan ternak. (YR)

MEMBEDAH PARA PEMACU PERTUMBUHAN

(( Antibiotika yang banyak digunakan pada hewan secara intensif untuk pengobatan, pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan serta hormon pertumbuhan harus digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ))

Antibiotika
Untuk membedah ihwal pemakaian antibiotika pada ternak dan dampaknya pada kesehatan manusia, Susan Maphilindawati Noor dan Masniari Poeloengan dari Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor mengungkapkan bawa tingginya tingkat resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri merupakan masalah yang sangat serius dalam bidang kesehatan di dunia.
Dituturkan para peneliti Balitvet itu, antibiotika banyak digunakan pada hewan secara intensif untuk pengobatan, pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Pemakaian antibiotika pada hewan terbukti memacu timbulnya resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri, sebagai contoh Campylobacter dan Salmonella telah resisten terhadap antibiotika fluoroquinolon dan generasi ke tiga chepalosporin.
Menurut mereka, resistensi beberapa antibiotika terhadap foodborne bakteri mengakibatkan kegagalan dalam pengobatan infeksi gastrointestinal pada manusia. Foodborne bakteri yang resisten terhadap antibiotika dapat tansfer ke manusia melalui rantai makanan atau secara kontak langsung.
“Adanya implikasi hubungan antara resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri dengan terjadinya resistensi antibiotika pada manusia maka pemakaian antibiotika pada industri peternakan harus dikontrol,” tegas mereka.
Untuk itu mereka menganjurkan, kerjasama antara peternak, dokter hewan, dokter umum dan kesehatan masyarakat dibutuhkan untuk mengontrol resistensi foodborne bakteri.

Hormon Pemacu Pertumbuhan
Untuk membedah Hormon Pemacu Pertumbuhan dan Efeknya bagi Kesehatan, Maria Prihtamala Omega Dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB mengajak pembaca lebih mengenal tentang Hormone Growth Promotors (HGPs).
Diuraikan Maria, HGPs ialah semua substansi yang memiliki aksi estrogenik, androgenik dan gestagenik. Bertujuan untuk menghilangkan kebuntingan, meningkatkan kesuburan, sinkronisasi estrus, mempersiapkan donor atau reseptor dari embrio implant. Administrasi HGPs dilarang pada hewan domestik. HGPs pada produk daging terhadap kesehatan manusia karena HGPs bersifat carcinogen..
Dituturkan, sejak 1950 penggunaan secara luas hormone (hexoestroi) sebagai growth promotors di USA. Ditujukan untuk meningkatkan berat badan tanpa harus memberi pakan dalam jumlah banyak (overfeeding). Hormon tersebut amat baik digunakan pada ternak sapi, domba, unggas, namun kurang berpengaruh pada babi.
Maria mengungkap, sebagian besar ilmuwan berpendapat bahwa penggunaan HGPs terhadap kesehatan manusia berisiko rendah. Kadar HGPs dalam daging yang dikonsumsi manusia lebih rendah dari kadar hormon seks yang diproduksi oleh tubuh manusia itu sendiri. Dan tidak menimbulkan efek pada hewan yang diberi perlakuan. HGPs juga memberikan efek positif terhadap lingkungan karena mengurangi limbah peternakan dan ekskresi nitrogen .
Syaratnya HGPs digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan lokasi penyuntikan HGPs (telinga) harus dibuang setelah pemotongan.
Hormon didefinisikan sebagai substansi atau zat biokimia (asam amino, peptide, steroid, asam lemak) yang diproduksi oleh kelenjar tak berduktus dan bersifat spesifik.Lalu dilepaskan dalam pembuluh darah dan di sirkulasikan oleh cariernya ke bagiah tubuh lain untuk menghasilkan efek inisiasi, koordinasi, dan regulator yang sifatnya spesifik.
The Society for Endocrinology yang terdiri 1.800 endokrinolog yang ada di Inggris, membahas tentang ilmu hormonal dan pengobatan. Mereka mengungkapkan bahwa HGPs ternyata mampu meningkatkan bobot badan ternak, memperbaiki Feed Conversion Ratio (FCR), meningkatkan kualitas karkas karena menurunkan kandungan lemak dalam daging, mengurangi limbah peternakan dan eskresi nitrogen.
HGPs yang bersifat estrogenik dan kombinasi estrogenik dengan androgenik dapat diberikan pada ternak jantan yang dikastrasi. Sedangkan HGPs androgenik diberikan pada ternak betina muda dan dewasa. HGPs tidak diberikan pada hewan breeder, veal, calves yang muda.
Kadar seks hormon yang diproduksi secara alami pada manusia lebih tinggi dari kadar HGPs yang terdapat dalam daging. Dan sebagian besar HGPs tersebut dapat dihancurkan oleh sistem pencernaan di lambung lalu didetoksifikasi di hati. Sedangkan residu zeranol, trenbolon asetat 451,1 melengestrol asetat berada dalam tingkatan aman.

Efek HGPs
Peneliti di Ohio State University’s Comprehensive Cancer Center sedang meneliti penggunaan obat secara luas pada industri daging untuk merangsang berat badan hewan sehingga mengakibatkan risiko kanker payudara pada konsumen, seperti zeranoi yang diimplant pada sapi dapat mengubah ekspresi gen pengatur estrogen pada sel kuitur normal dan sel kanker payudara. Bahkan efek ini tetap ada saat konsentrasi zeranoi lebih rendah dari yang ditentukan oleh FDA (batas zeranoi: 00125mg/kg BB tiap hari).
Pada tahun 2001, di Uni Eropa menderita kerugian sebesar EUR 160 miliar tiap tahunnya akibat larangan penggunaan HGPs sebagai pencegahan penyakit atau berkaitan dengan politik dagang.di Uni Eropa.
Residu hormon dari negara-negara di luar Uni Eropa, penghasil daging yang memakai HGPs berlisensi walaupun dengan penerapan Good Veterinary Practice, masih dapat terdeteksi residu hormonnya. Dan terjadi dosis berlebih dari ambang batas normal HGPs dalam hati dan ginjal sapi.
Efek dari penggunaan rekombinan bovine somatotropin pada kambing masa laktasi adalah peningkatan produksi susu, meningkatkan persentasi lemak dan laktosa. Kadar hormon steroid alami yang tinggi dan tidak dapat terhindar oleh konsumen adalah produk telur dan kol, kadarnya melebihi residu hormon dalam daging.
Pertemuan Dewan Perwakilan Uni Eropa di Islamabad, Pakistan, menetapkan larangan penggunaan antibiotic Growth-Promoter pada ternak dimulai 2006(1/1). Adanya pertemuan dengan Dewan Perwakilan Pertanian & Perikanan pada tanggal 16-19 Desember 2002 dalam menyelesaikan hormone-case, menghasilkan keputusan untuk mempertahankan larangan penggunaan HGPs pada hewan produktif.

Larangan
Dituturkan Maria dari FKH IPB itu, di Indonesia, penggunaan HGPs pada hewan tidak produktif dilarang sejak tahun 1983, lalu pada tahun 1996 penggunaan hormon diizinkan hanya untuk gangguan reproduksi dan tujuan terapi. Hormon diklasifikasikan sebagai obat beretika, karena penggunaannya secara legal (hanya dengan resep dokter atau dokter hewan).
Dewasa ini Indonesia menerapkan Precaution Principles yang lebih baik dibanding dengan Risk Management, tidak akan menggunakan HGPs sampai diketahui lebih jauh penelitian yang pasti tentang keamanannya terhadap manusia dan hewan. Melakukan penelitian tentang HGPs di dalam negeri.
Juga meneliti tentang kebiasaan makan orang-orang Indonesia, proposal yang mengizinkan penggunaan HGPs (berisi hormon alami: estrogen, progesterone, testosterone), memenuhi permintaan konsumen akan makanan segar dan aman, perhatian terhadap asal-usul produk, dan sistem pertanian yang bersahabat dengan lingkungan untuk mencapai target utama pembangunan pertanian di Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan para petani, produksi pangan, material mentah bagi industri, ekspor dan mendukung pertumbuhan agribisnis. (YR/berbagai sumber)

PRO KONTRA PEMAKAIAN PROBIOTIK

SEBAGAI produk yang banyak memberikan janji menarik, memang harus dimaklumi jika melahirkan pro kontra. Probiotik yang pada umumnya mengandung sejumlah bakteri itu juga ada yang menyebut sebagai efektif microorganisme (EM), yaitu sejumlah mikroorganisme yang dapat didaya gunakan untuk kepentingan proses bio-produksi seperti pada tanaman dan ternak. Adapun kandungan mikroorganisme itu sangat beragam, mulai dari Lactobacillus sp, Azytobacter, Azospirillium, Actynomicetes, Strepmyces juga ada yang berisi bakteri Fotosintetik, Mycoryza, maupun ragi.

Menurut salah satu penggiat pemakaian probiotik dalam pertanian Prof Dr Teuro Higa dari Universitas Ryukyus Okinawa Jepang, pemakaian dalam industri pertanian makro akan mendorong efisiensi dan konservasi lingkungan. Sebagai kultur yang berisi campuran antara berbagai mikroorganisme, bekerja mendorong terciptanya lebih banyak lagi mikroorganisme dalam suatu medium. Jika itu tanaman, maka tanah akan kaya dengan mikroorganisme, sedangkan jika pada tambak akan merangsang plankton dan pada ternak akan membuat kaya mikroorganisme dalam sistem pencernaan.
Lepas dari uraian teoritis ilmiah, dalam aplikasi lapangan sejak awal di perunggasan Indonesia, telah melahirkan sikap dan pendapat yang berbeda. Dari kubu yang menyambut positip aplikasi produk itu, mengungkapkan bahwa hasil nyata telah diperoleh para peternak unggas. Justru menekan ongkos produksi dan mendongkrak produktivitas. Sedangkan dari kubu yang tidak sepaham, berdalih bahwa aplikasi probiotik hanya bersifat pemborosan dan sangat merugikan peternak, oleh karena itu sebaiknya pemerintah melalui instansi yang berwenang untuk segera menertibkan.
Adalah Drh Hari Wibowo sebagai peternak dan sekaligus Ketua APAYO berargumen bahwa dirinya sudah lebih dari 10 tahun menggunakan probiotik untuk ternaknya. Hasil nyata jelas, produktivitas naik dan ongkos produksi justru bisa ditekan. Dalam program pemeliharaan ayam-ayamnya, selalu harus memakai probiotik. Digunakan sebagai campuran air minum dan sesekali pernah diaplikasikan semprot pada pakan sebelum diberikan ke ayam.
“Selama lebih dari 10 tahun menggunakan probiotik, tidak pernah ada masalah dengan ayam peliharaannya. Masalah produktivitas memang relatif, namun yang jelas dari pengamatan saya hasil konversi pakan dan aspek kesehatan tetap lebih baik. Juga bau kotoran dapat ditekan, meski tidak bisa hilang sama sekali. Juga populasi perkembangbiakan lalat relatif terkendali,” ujarnya kepada Infovet di rumahnya. Pro kontra menurutnya adalah biasa, namun yang jelas selalu ia aplikasikan probiotik untuk ayam yang dikelolanya.
Sedangkan Drh Yusuf Emje Peef dan Drh Ardi Achmad Solikhin punya pendapat yang berbeda dengan Hari. Menurut Ardi, aplikasi probiotik pada peternakan ayam hanya buang-buang uang. “Logika apa yang bisa menjelaskan bahwa produk itu mampu mendongkrak produksi dan menekan efisiensi?,“ ujarnya dengan tegas dan yakin.
Sebab masih menurut Ardi, bahwa dasar logika sederhana jika aplikasi itu bisa menggenjot produktivitas, mengapa pihak feedmill atau industri pabrik pakan ternak tidak menerapkannya. Mestinya jika memang bisa menekan konsumsi pakan atau konversi pakan menjadi lebih baik, maka yang pertama berminat menerapkan adalah pihak feedmill. Selain itu probiotik hanya menambah ongkos produksi karena dengan program pemeilharaan ayam yang direkomendasikan pihak feedmill atau produsen obat hewan sudah menghasilkan produktivitas yang seperti diharapkan. Menggenjot produktivitas tidak bisa terlepas dari aspek tata laksana pemeliharaan atau manajemennya. Untuk itu sebagian besar peternak sudah paham bahwa hanya disiplin pemeliharaan akan menggenjot produktivitas dan efisiensi.
Sedangkan Yusuf yang bertahun tahun menggeluti manajemen pemeliharan kandang di kawasan Jabodetabek mengungkapkan hal yang senada dengan Ardi. Prinsipnya alokasi biaya produksi untuk probiotik hanya pemborosan, semestinya lebih tepat dialokasikan untuk kesejahteraan pekerja kandang agar lebih cermat dan tekun melakukan tugas pekerjaannya. Jika saja ongkos untuk probiotik sejak pemeliharaan sampai panen Rp 10/ekor, maka jika populasi 100.000 sudah terkumpul Rp 1 juta. Bagaimana jika populasi sampai 10 juta ekor maka nominal dana yang terkumpul untuk probiotik sangat fantastis.
Maka, menurutnya memang sudah sepantasnya pihak yang kompeten untuk turun tangan membenahi peredaran prduk itu agar tidak semakin merongrong keuntungan peternak.
Perihal klaim produsen probiotik yang mampu menyehatkan ayam, baik Ardi maupun Yusuf tidak bisa menerima jalan pikiran seperti itu. Oleh karena itu jika memang benar mampu menyehatkan ayam, sebenarnya tetap kuncinya pada aspek manajemen. Sehat ataupun sakit sebenarnya kombinasi antara manajemen dan interaksi lingkungan. Jika lingkungan menjadi buruk dan tidak kondusif untuk ayam, maka tidak ada upaya lain yang jitu kecuali menata manajemen pemeliharaan seperti yang disyaratkan.
Harus diakui dan tidak bisa dibantah, jelas Ardi, umumnya peternak mencari enaknya saja. Kurang memperhatikan dengan teliti manajemen, begitu ada sergapan penyakit kalang kabut dan mencari solusi sesaat. Namun sebenarnya tidak sedikit juga ada peternak yang cermat dan tekun serta disiplin dengan program pemeliharaan termasuk program kesehatannya. Kategori peternak demikian umumnya mampu berhasil dengan produktivitas dan efisiensi meski tanpa probiotik.
Oleh karena itu, dari pada membuang ongkos untuk probiotik menurut Ardi lebih baik menerapkan manajemen pemeliharaan dengan baik dan benar. Yusuf pun mengungkapkan hal serupa bahwa kuncinya di manajemen. Mencoba dan mencoba itu tugas para peneliti, maka jika peternak melakukan coba-coba berarti itu berhadapan dengan resiko. (iyo)

KLAIM PEMAKAIAN PROBIOTIK

Probiotik itulah nama yang sangat lekat sekali dengan banyak peternak ayam komersial. Di kawasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta sampai tahun 2007 ini menurut catatan Infovet, ada sekitar 25 merk yang beredar di pasar. Memang sebuah jumlah yang sangat fantastis jika dikaitkan dengan area yang tidak terlalu banyak populasi ayam komersialnya, terutama jika dibandingkan dengan Jabar atau Jatim, namun kenyataannya semua merk itu masih eksis sampai saat ini. Lepas apakah produk probiotik itu telah beregister dan mendaftarkan di Departemen Pertanian atau belum, namun memang itu sebuah fenomena keberadaan dan pemasaran produk biologik yang paling banyak mengajukan klaim sebagai produk hebat.
Apakah benar produk itu benar-benar berpotensi hebat dan secara signifikan meningkatkan dan memperbaiki performans produksi ayam komersial, memang butuh pengujian laboratoris oleh pihak yang kompeten. Hanya yang jelas, seperti telah diuraikan di atas produk itu telah menarik minat banyak peternak untuk mengaplikasikannya. Bukti empiris dari para peternak selalu menjadi testimoni atau kesaksian yang semakin mengharu-birukan pemasaran produk “hebat” itu dan meski tidak menggeser produk farmasetik dan berbahan baku dasar kemikalia secara nyata.
Lalu jika demikian, apakah tidak menjadi lebih mahal atau mendongkrak ongkos produksi dalam sebuah budidaya perunggasan? Sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk ditemukan jawabannya, karena sekali lagi fakta produk itu masih begitu digandrungi oleh para peternak. Oleh karena itu memang harus ada langkah dari pihak berwenang untuk lebih tegas menata ulang pemasaran produk yang dikhawatirkan akan merugikan peternakan secara umum, karena aplikasinya tidak terbatas di perunggasan saja akan tetapi juga di ruminansia.
Pada umumnya selalu produk itu mengklaim sebagai produk yang mencoba kembali ke alam (back to nature), aman bagi hewan maupun manusia dan ramah lingkungan serta mampu menggenjot produktifitas dan efisiensi. Kata Produktifitas dan Efisiensi memang sangat dikejar oleh semua peternak apapun, khususnya peternak unggas komersial yang terus dihimpit lonjakan biaya produksi dan tekanan harga jual hasil produksi.

Berikut ini rangkuman klaim dari berbagai merk produk probiotik yang memang menggiurkan dan mampu menarik perhatian para peternak unggas untuk mencoba dan mencoba.
1. Menggenjot produktiftas 20 - 35% jika memakai probiotik. Menurut leaflet dan informasi pada labelnya, bahwa dengan pemakaian probiotik akan meningkatkan daya cerna dan efisiensi penyerapan nutrien pakan dalam sistem pencernaan ternak. Sehingga nyaris tidak ada dari volume pakan yang masuk dibuang percuma, alias diperas sampai habis hanya tertinggal ampas saja, dengan bantuan asupan probiotik itu. Dengan demikian maka tentu saja konversi pakan akan selalu baik dan logikanya produktifitas akan terdongkrak. Benarkah hal itu..?? Namun yang jelas, hampir semua peternak pernah mencoba menerapkannya, karena sifat para peternak Indonesia yang sangat lekat dengan coba-coba. Sifat dan karakter itu muncul oleh karena seperti diuraikan di atas yaitu lonjakan biaya produksi yang terus terjadi dan di lain pihak harga jual hasil produksi yang fluktuatif dengan kecenderungan terus merosot. Lepas apakah kemudian, para peternak itu selanjutnya memakai lagi, memang sangat sulit dimonitor.
2. Sehat. Karena hampir semua peternak mendambakan perolehan selisih alias keuntungan, maka sehat menjadi dambaan sekali. Meski program kesehatan yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan obat hewan dengan disiplin sudah diterapkan namun memang pada kenyataannya masih saja sergapan penyakit sering datang. Seolah muncul ketidak percayaan diri dari program itu. Keraguan itu menjadi sebuah kebimbangan besar dan akhirnya begitu ada tawaran iming-iming dari produsen probiotik secepat kilat disambar untuk menerapkan program kesehatan tawaran yang baru itu. Memang problema di perunggasan sangat kompleks, termasuk aspek kesehatannya, sehingga tidak bisa disalahkan jika para peternak yang kurang cerdas gampang sekali terombang ambing. Adapun klaim produsen, bahwa aplikasi probiotik dapat membuat program vaksinasi mencapai cakupan lebih dari 90%. Sebab menurutnya pada saat divaksinasi ayam kesehatannya sudah prima. Probiotik diklaim mampu mengaktifkan dan merangsang seluruh sistem kekebalan, sehingga mampu merespon secara optimal saat vaksinasi dilakukan. Selain itu seluruh sistem kekebalan dan pertahanan tubuh diaktifkan, menurut klaimnya infeksi apapun akan direspon dengan segera oleh tubuh berkat aplikasi probiotik itu.
3. Aman , begitulah klaimnya. Tidak memberikan efek samping apapun jika digunakan dengan dosis tinggi sekalipun. Konon, karena produknya berasal dari alam yang tidak menggunakan bahan kimia sedikitpun, maka tidak melahirkan dampak buruk bagi ayam, manusia yang mengkonsumsi dan alam/lingkungan. Bahkan ada yang memberikan sebuah kesaksian dari peternak yang produknya bisa menembus ekspor, karena tiadanya kandungan residu antibiotik karena secara penuh memakai probiotik Padahal seperti kita ketahui apakah ada peternak yang melakukan ekspor langsung tanpa melalui eksportir....? Juga ada klaim bahwa aplikasi probiotik mampu mengecilkan ukuran sel otot dan melebarkan ruang antar sel, sehingga daging menjadi lebih empuk dan rendah lemak yang jahat juga kolesterol. Khusus klaim ini disertai foto berwarna histologi pada brosurnya dari pemeriksaan Laboratorium Histologi FKH UGM Yogyakarta. Sebuah klaim yang mencengangkan tetapi patut diragukan.
4. Kotoran tidak bau. Inilah salah satu klaim yang juga mencuri perhatian peternak. Sebab sejak dahulu, problema bau kotoran ini sering memicu ketidakserasian dengan lingkungan sekitar. Terlebih pada saat sekarang ini, masalah bau dari kandang peternakan komersial menjadi masalah yang sangat sensitif sekali. Di Solo dan Yogyakarta contohnya, Bupati harus turun tangan untuk menenangkan massa yang akan membakar kandang ayam. Menurut klaim produk probiotik ini, mampu menghilangkan timbulnya bau sampai 0%. Dasar argumen yang dipaparkan adalah optimalisasi pencernaan makanan di dalam tubuh ayam sehingga kotoran yang dihasilkan tidak mengandung bahan-bahan yang sering menjadi sumber bau seperti protein, lemak. Probiotik, konon mampu mengefisienkan proses pencernaan sehingga kotoran yang keluar tinggal ampas saja dan kering yang nyaris tidak melahirkan bau.
5. Mampu mengendalikan lalat. Sebuah klaim yang terkait erat dengan hilangnya bau. Menurut klaimnya bahwa dengan rendahnya kandungan nutrien yang akan memicu bau dan juga kotoran yang kering, maka lalat tidak akan mampu berbiak secara cepat dan banyak di kotoran itu. Harus diakui dan Infovet menyaksikan sendiri bahwa aplikasi probiotik memang mampu menurunkan kandungan air dalam kotoran, sehingga logis jika populasi lalat menjadi berkurang.
6. Menjaga pH di dalam sistem pencernaan. Klaim produk ini bahwa potensi menjaga pH dalam sistem pencernaan, disamping akan mendongkrak konversi pakan juga akan merangsang berfungsinya beberepa enzim pencernaan sehingga akan menekan kasus penyakit Koli, Salmonella sp dan Pasteurella sp.
7. Menekan bakteri patogen dalam air minum. Klaim produk ini adalah mampu menekan bakteri patogen dalam air minum yaitu dengan menciptakan lingkungan dalam air minum menjadi kurang kondusif untuk berkembangnya bakteri patogen.

Beberapa klaim diatas memang patut di tindak lanjuti oleh pihak yang kompeten karena, umumnya produk Probiotik yang sudah beregister dalam brosur dan labelnya tidak pernah mengklaim seperti itu. Sedangkan lebih banyak produk yang tidak register dengan gagah berani mengklaim dan mempublikasikan kehebatan dan khasiatnya. Memang terlalu banyak pekerjaan rumah dalam industri peternakan ayam di Indonesia. (iyo)

PEMANFAATAN ALTERNATIF GROWTH PROMOTOR

Peraturan pelarangan pemakaian AGP. ini mendorong industri untuk mencari alternatif yang efektif dan aman. Beberapa sediaan yang sudah terbukti efektif adalah probiotik, prebiotik, organic acid, NSP enzymes, immuno modulator dan obat hewan herbal.
Demikian wawancara Ardi Winangun dari Infovet dengan Maureen Kalona Kandou Direktur PT Vaksindo Satwa Nusantara.
Infovet: Apa yang dimaksud dengan growth promoter?
Maureen: Bahan tambahan yang digunakan untuk memaksimalkan pertumbuhan dan efisiensi pakan pada pemeliharan ternak intensif. Biasa ditambahkan lewat pakan.
Infovet: Apakah selama ini hanya didominasi dari golongan antibiotik?
Maureen: Ya
Infovet: Bagaimana dengan bahan seperti obat herbal, imunomodulator, probiotik dan prebiotik yang katanya berfungsi juga sebagai growth promotor melalui peningkatan performa organ kekebalan dan pencernaan?
Maureen: Dengan adanya indikasi bahwa pemakaian antibiotik sebagai growth promoter dan residunya di produk ternak mungkin bisa menimbulkan mikro organisme yang resisten terhadap antibiotik di manusia, maka EU sudah melarang pemakaian AGP. Peraturan ini mendorong industri untuk mencari alternatif yang efektif dan aman. Beberapa sediaan yang sudah terbukti efektif adalah probiotik, prebiotik, organic acid, NSP enzymes, immuno modulator dan obat hewan herbal.
Infovet: Bagaimana mekanisme pemberiannya terlebih dikaitkan dengan withdrawal time atau waktu henti obat?
Maureen: Untuk sediaan herbal seperti Herbagro dari Vaksindo tidak ada withdrawal time karena aman dan tidak ada efek sampingan.
Infovet: Benarkah resistensi obat menjadi faktor penolakan terhadp pemanfaatan AGP, kemudian bagaimana dengan alternatif growth promotor yang ditawarkan Perush OH di Indonesia?
Maureen: Benar. Pemakaian AGP yang terus menerus dan standar withdrawal time yang tidak diikuti dengan benar mungkin bisa menciptakan mikro organisme yang sudah resisten terhadap antibiotik di manusia.
Infovet: Sejauh mana efektifitas penggunaan OH tersebut dari pandangan tim KOH/PPOH?
Maureen: Menurut pengalaman Vaksindo menghadapi KOH/PPOH, selama sediaan yang didaftarkan sudah didukung dengan literatur dan trial yang menunjukan efikasi, sediaan bisa disetujui.
Infovet: Bagaimana pengawasan penggunaan AGP dan alternatif dari Pemerintah sudah sejauh mana?
Maureen: Selama ini belum menjadi fokus utama.
Infovet: Akankah kedepan Pemerintah akan merubah kebijakan dengan melakukan pelarangan penggunaan AGP karena tuntutan global/konsumen atau sekadar latah dengan kebijakan yang diambil masyarakat Uni Eropa?
Maureen: Saya tidak bisa menjawab apa yang Pemerintah akan lakukan.
Infovet: Adakah kontradiksi pemanfaatan alternatif growth promotor dengan obat lain karena penggunaannya yang bersamaan dengan pemberian vaksin, vitamin, dan desinfektan?
Maureen: Untuk sediaan herbal tidak ada.
Infovet: Faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam penggunaan obat-obatan (alternatif growth promotor) jenis ini?
Maureen: -Memastikan bahwa obat hewan dari produsen yang bisa dipercaya
-Pemilihan jenis didasarkan hasil uji yang nyata. Sejauh ini yang paling efektif dari NGP adalah probiotik, prebiotik, organic acid, enzymes atau herbal.
Infovet: Sejauh ini bagaimana pemanfaatan alternatif growth promotor ditingkat peternak dari pantauan Bapak/Ibu?
Maureen: Masih sangat terbatas karena pemakaian AGP masih meluas dan belum ada larangan.

MEMACU PERTUMBUHAN TERNAK SECARA ANGGUN DAN BERMARTABAT

Peraturan pelarangan pemakaian AGP mendorong industri untuk mencari alternatif yang efektif dan aman. Beberapa sediaan yang sudah terbukti efektif adalah probiotik, prebiotik, organic acid, NSP enzymes, immuno modulator dan obat hewan herbal.
Apakah benar produk probiotik benar-benar berpotensi hebat dan secara signifikan meningkatkan dan memperbaiki performans produksi ayam komersial, memang butuh pengujian laboratoris oleh pihak yang kompeten.
Hanya yang jelas produk itu telah menarik minat banyak peternak untuk mengaplikasikannya. Bukti empiris dari para peternak selalu menjadi testimoni atau kesaksian yang semakin mengharu-birukan pemasaran produk “hebat” itu dan meski tidak menggeser produk farmasetik dan berbahan baku dasar kemikalia secara nyata.
Dari kubu yang menyambut positip aplikasi produk itu, mengungkapkan bahwa hasil nyata telah diperoleh para peternak unggas. Justru menekan ongkos produksi dan mendongkrak produktivitas. Sedangkan dari kubu yang tidak sepaham, berdalih bahwa aplikasi probiotik hanya bersifat pemborosan dan sangat merugikan peternak, oleh karena itu sebaiknya pemerintah melalui instansi yang berwenang untuk segera menertibkan.

Bermula dari Antibiotika
Semua bermula dari antibiotika yang banyak digunakan pada hewan secara intensif untuk pengobatan, pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Pemakaian antibiotika pada hewan terbukti memacu timbulnya resistensi antibiotika terhadap foodborne bakteri, sebagai contoh Campylobacter dan Salmonella telah resisten terhadap antibiotika fluoroquinolon dan generasi ke tiga chepalosporin.

Ke Hormon Pertumbuhan
Kemudian muncullah hormon pemacu pertumbuhan yang secara luas dikenal tahun 1950-an hormone (hexoestroi) sebagai growth promotors di USA. Ditujukan untuk meningkatkan berat badan tanpa harus memberi pakan dalam jumlah banyak (overfeeding). Tentu saja dengan efek dan larangan yang muncul mengikutinya.

Untuk Memenuhi Kebutuhan Asal Ternak
Upaya memacu Pertumbuhan Ternak itu sudah tentu karena pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia sehingga akan lebih mudah dicerna dan lebih efisien pemanfaatannya.
Namun demikian, pangan asal ternak akan menjadi tidak berguna dan membahayakan kesehatan manusia apabila tidak aman. Oleh karena itu, keamanan pangan asal ternak merupakan persyaratan mutlak.
Untuk memperoleh produk ternak yang aman dikonsumsi, berbagai faktor yang terkait erat dalam proses pra produksi perlu diperhatikan dengan menerapkan sistem jaminan mutu.
Tim Balai Penelitian Veteriner Bogor mengungkapkan faktor penting menghasilkan produk ternak aman dan bermutu, perlu memperhatikan kontaminasi produk dari lingkungan dan kontaminasi oleh penyakit hewan menular
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan juga harus mengikuti petunjuk yang ada.
Pakan memegang peranan terpenting dalam sistem keamanan pangan asal ternak karena mutu pakan akan tercermin dalam produk ternak yang dihasilkan. Pakan yang tercemar oleh berbagai senyawa toksik maupun yang mengandung obat hewan akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak.
Apabila peternak yang menggunakan ransum tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap antibiotik tertentu. Terlebih lagi sepertiga dari pabrik pakan yang diamati juga menambahkan obat koksidiostat selain antibiotik sehingga akan menambah jenis residu pada produk ternak.

Juga Bermanfaat Melawan Ayam Kerdil
Pemberian bahan-bahan yang bersifat memicu pertumbuhan seperti obat herbal, imunomodulator dan probiotik juga baik digunakan untuk menekan efek sindrom kekerdilan ayam.
Di mana, periode awal tahun 2007 ini peternak benar-benar mendapat cobaan berat. Pasalnya, pemberitaan meningkatnya jumlah korban meninggal akibat flu burung telah menurunkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging unggas yang menyebabkan hancurnya harga broiler panen ditingkat peternak. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga peternak masih harus direpotkan oleh wabah penyakit kerdil yang merajalela.

Terus Mencari Keamanan
Begitulah, untuk upaya memenuhi kebutuhan pangan asal ternak, antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan telah banyak digunakan, tetapi pada umumnya antibiotik memberikan dampak resiko jangka panjang yang merugikan baik pada lingkungan maupun manusia yang mengkonsumsinya. Untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya resistensi antibiotik, perlu dikaji pemacu pertumbuhan berbahan baku alamiah yang aman untuk manusia dan lingkungan.
Maka penelitian pun banyak dilakukan. Phytogenik yang merupakan salah satu pemacu pertumbuhan dihasilkan dari ekstrak tumbuhan yang berperan penting dalam memacu pertumbuhan pun diteliti.
Maka diketahui taraf penggunaan dan pengaruh pemberian ransum yang mengadung phytogenik antibiotik pemacu pertumbuhan terhadap bobot badan dipasarkan, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, konversi ransum, tingkat kematian (mortalitas), income over feed and chick cost ayam broiler.
Alam sendiri dapat menyediakan ratusan prebiotik yang dapat diekstrak dari karbohidrat. Secara komersial, karbohidrat kelas oligosakarida yang merupakan polimer dari fructose Fruktooligosakarida, FOS) dan manosa (mananoligosakarida, MOS) yang banyak diproduksi dalam industri makanan dan kesehatan karena menyimpan fungsi prebiotik.
Saat ini pun, minyak esensial lebih dari hanya sekadar alternatif pengganti antibiotika. Mereka tidak hanya mempengaruhi populasi mikroba, tetapi pada saat yang sama berpengaruh positif terhadap aktivitas enzim pencernaan dan intermediate metabolisme. Produksi ternak tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan penampilan ternak, tetapi juga nutrisi dan kesehatan ternak dan manusia. Saat ini minyak esensial menjadi populer dalam dunia pertanian dan peternakan sebagai pemacu metabolisme dan pencernaan (digestion and metabolism promoters).

Lebih Kenal dengan Hormon
Mengapa terjadi pembahasan tentang hormon sedang hormon sendiri dihasilkan dan banyak digunakan, kita perlu lebih intim dengannya, agar kita sanggup berpikir dan bertindak secara obyektif terhadap semua permasalahan tersebut.
Hormon adalah zat aktif yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang masuk ke dalam peredaran darah untuk mempengaruhi jaringan secara spesifik.
Hormon terbagi dari 6 golongan yaitu: Hormon androgen dan sintetisnya /testoteron, Hormon estrogen dan progesterone, Hormon kortikosteroid, Hormon tropik dan sintetiknya, Obat anabolic, DAN Hormon lainnya

Bijak di Dalam Bijak di Luar
Akhirnya, dari tahun ke tahun, pasokan ternak impor dari luar negeri ke Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah keprihatinan, mengingat tiga penentu kebijakan dalam hal ini yaitu produsen, konsumen dan pemerintah, hingga saat ini belum mencapai kapasitas kerja yang diharapkan.
Sementara masalah kesehatan produk impor tersebut, masih terus dipertanyakan hingga saat ini. Masalah kesehatan pangan impor pernah meruyak beberapa waktu lalu. Masalah sapi gila (mad cow), terinfeksinya beberapa hewan unggas oleh virus avian, dan beberapa kejadian lain cukup membuat kita memilih tidak mengonsumsi beberapa jenis produk pangan tertentu.
Untuk itu, dengan berbagai informasi yang diungkap kali ini, kita akan bijak bersikap tentang upaya meningkatkan pemenuhan kebutuhan baik yang diproduksi dari dalam negeri maupun yang (terpaksa) harus kita impor.
Tentu dengan sikap anggun dan bermartabat untuk kepentingan kesejahteraan dari segala aspek (Tim Infovet)

Amankah, Alternatif Pemacu Pertumbuhan?

Membahas penggunaan bahan pemacu pertumbuhan seakan tak kan pernah ada habisnya. Seperti hasil wawancara Infovet dengan Drh Abadi Sutisna Ketua Dewan Kode Etik Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).
Menurut Abadi, demikian sapaan akrabnya, definisi growth promotor adalah zat aditif yang ditambahkan kedalam pakan untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas. Selama ini bahan yang biasa digunakan sebagai pemacu pertumbuhan adalah antibiotik, hormon, dan acidifier. Namun dari ketiga bahan tersebut masih ada bahan lain seperti obat herbal, imunomodulator, probiotik dan prebiotik yang fungsinya mirip meskipun cara kerjanya berbeda, yaitu bisa melalui penyehatan saluran pencernaan atau penguatan sistem kekebalan tubuh yang tujuannya untuk meningkatkan kesehatan dan bermuara pada percepatan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas.
Menurut Abadi, obat-obatan seperti obat herbal telah lama digunakan peternak namun hanya sedikit yang terdaftar di Departemen Pertanian sehingga efikasi obat tak resmi (baca: tak terdaftar) tersebut diragukan, sebagai contoh obat herbal asal India yang beredar di pasaran Indonesia. Dari pantauan Abadi, obat herbal yang berbahan dasar seperti kunyit, jahe, temulawak memang terbukti memberi khasiat secara empiris karena bahan-bahan tersebut telah lama digunakan dalam pengobatan manusia dan terbukti efikasinya.
Namun, Abadi menegaskan bahwa kebanyakan obat herbal tersebut aksinya meningkatkan nafsu makan yang juga memicu pertumbuhan. “Sementara untuk imunomodulator kerjanya lebih kepada memodulasi sistem kekebalan namun kekebalan yang ditimbulkan bisa jadi naik bisa juga turun sesuai dengan prinsip modulasi yang bergelombang naik dan turun. Namun karena pengertian masyarakat cenderung pada peningkatan sistem kekebalan ya sudah kita terima saja persepsi tersebut. Dengan meningkatnya sistem kekebalan tubuh praktis bila kuman dan bakteri patogen masuk kedalam tubuh bisa ditangkal dan mencegah hewan menjadi sakit,” jelas Rektor Universitas Djuanda Bogor ini.
Sementara untuk jenis alternatif pemacu pertumbuhan yang lain seperti misalnya probiotik, Abadi menjelaskan bahwa probiotik hanya berfungsi untuk menyeleksi pertumbuhan bakteri yang baik dalam saluran pencernaan. Biasanya bahan aktif probiotik hanya berisi bakteri saprofit, bakteri asam, enzim atau elektrolit yang bertugas menyeimbangkan populasi bakteri baik sehingga proses pencernaan optimal.
Lain lagi dengan prebiotik yang fungsinya justru memperbaiki lingkungan pencernaan dengan menyediakan makanan bagi bakteri baik. Tujuannya agar bakteri baik dapat tumbuh dan menekan keberadaan bakteri patogen dalam saluran pencernaan. Muaranya tentu peningkatan pencernaan dan penyerapan pakan. Prebiotik tidak hanya digunakan di peternakan tetapi telah lama juga digunakan pada manusia dan budidaya ikan tambak.
Abadi menekankan, khusus untuk penggunaan antibiotik growth promotor yang diizinkan Pemerintah Indonesia Cq Deptan, tidak memiliki waktu paruh (withdrawal time) karena antibiotik yang dipilih diizinkan digunakan adalah antibiotik yang tidak diserap oleh usus. “Artinya antibiotik ini bekerja hanya membunuh bakteri patogen dan numpang lewat saja di usus. Sehingga AGP ini sama sekali tidak ada risiko terakumulasi di organ tubuh ternak,” ujar Abadi.

Pro dan Kontra
Ada dua blok yang pro dan kontra dengan penggunaan AGP ini, yaitu Amerika yang mengizinkan semua jenis antibiotik digunakan untuk memacu pertumbuhan dan Uni Eropa yang melarang penggunaan antibiotik jenis apapun untuk memacu pertumbuhan. “Posisi pemerintah Indonesia berada ditengah-tengah. Bila kita menganut paham Eropa maka kita akan diajak ke sidang WTO oleh Amerika. Sementara kalau kita menganut paham Amerika konsekuensinya sampai mati pun kita tidak akan bisa mengekspor produk peternakan kita ke Eropa,” jelas Abadi Sutisna.
Abadi Sutisna yang juga anggota Komisi Obat Hewan Departemen Pertanian ini memberikan solusi dengan membolehkan penggunaan antibiotik pada ternak dengan syarat:1) Antibiotik yang digunakan harus aman buat manusia, hewan dan lingkungan; 2) Antibiotik memiliki efikasi yang bagus; dan 3) Antibiotik harus bermutu baik.
Setelah lolos dari ketiga syarat tersebut untuk bisa diizinkan sebagai bahan pemacu pertumbuhan, antibiotik yang dipilih sebagai growth promotor harus juga memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, antibiotik yang digunakan pada ternak adalah yang tidak digunakan pada manusia, khususnya untuk mencegah resistensi bakteri pada manusia. Kedua, sifat antibiotik harus tidak diserap oleh usus. Ketiga, dosis penggunaannya sangat kecil yaitu antara 1-2 ppm atau 1-2 kg per ton pakan. Keempat, sifat antibiotik harus mudah terdegradasi oleh alam.
“Oleh sebab itu hanya 7 jenis antibiotik saja yang boleh digunakan sebagai growth promotor dari sekian banyak antibiotik, sebagai contoh zinc bacitracin, virginiamycin, dll,” ungkap Abadi.
Abadi menjelaskan, “Mau tidak mau kita tetap harus menggunakan antibiotik, karena sistem peternakan kita yang masih setengah tradisional (open house). Jangan bandingkan dengan sistem peternakan di Eropa yang serba closed house, sementara kandang di peternakan kita kondisinya sangat mudah terkontaminasi kuman dari luar. Khusus untuk produksi unggas konsumsi secara massal tetap masih harus menggunakan cara lama, karena kalau mau yang serba steril menyebabkan harga produknya menjadi sangat tidak terjangkau, kecuali untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor luar negeri yang menuntut produk bebas antibiotik.”
Secara umum, pengaruh penghentian penggunaan AGP terhadap produktivitas, sangat tergantung kondisi higienis di areal peternakan. Jadi, langkah pertama yang harus dilakukan peternak adalah menciptakan standar kondisi higienis yang tinggi pada farmnya, seperti mengimplementasikan sistem all in all out dan membatasi serta mengawasi dengan ketat lalu lintas pekerja dan peralatan, untuk mencegah penyebaran penyakit diantara ternak.
“Kalau mau lebih aman, peternak sebaiknya menyetop pemberian pakan ber-AGP 2-3 hari sebelum panen agar produk daging unggas yang dihasilkan nanti benar-benar bersih dari residu antibiotik,” saran Abadi.
Bahkan dari penelitian Syamsul Bahri dkk (2005) disarankan penggunaan pakan yang mengandung antibiotik harus dihentikan atau diganti dengan pakan bebas antibiotik pada sekitar satu minggu sebelum ternak dipanen, sedangkan untuk sapi perah yang sedang laktasi harus dicegah pemberian pakan yang mengandung obat hewan.
Sementara itu, contoh penggunaan bahan pemacu pertumbuhan pada ternak sapi adalah yang dilakukan Australia terhadap sapi bakalan yang diekspor ke Indonesia. Australia telah lama menggunakan hormon pemacu pertumbuhan pada sapi bakalan ekspornya, namun Pemerintah kita mensyaratkan 100 hari sebelum pengapalan penggunaan hormon pertumbuhan tersebut telah dihentikan. Sehingga cukup waktu untuk menghilangkan residu hormon pertumbuhan dalam tubuh sapi bakalan impor tersebut.

Khasiat Obat Herbal Tak Diragukan
Secara terpisah, Maureen Kalona Kandou dari Vaksindo Satwa Nusantara yang dihubungi Infovet menjelaskan bahwa produk herbal dari ekstrak Curcuma domestica (kunyit), Curcuma xanthorrhizae (temulawak) berdasarkan penelitian tim riset independen memang memiliki keunggulan mampu memperbaiki pencernaan ayam, mencegah defisiensi vitamin, membentuk jaringan tubuh yang sehat dan menjaga daya tahan tubuh ayam tetap tinggi. Apalagi bahan aktif ini telah lama digunakan masyarakat Indonesia sebagai bahan untuk obat-obatan tradisional dan diakui khasiatnya.
Selain itu, bahan aktif Curcuminoid essensial oils dari ekstrak kunyit dan temulawak bekerja mirip antibiotik tetapi tidak menimbulkan resistensi bagi tubuh ayam. Lebih lanjut, Curcuminoid juga dapat memperpanjang kehidupan sel, sebab ekstrak kunyit dan temulawak adalah antioksidan sekaligus pemangsa berbagai jenis radikal bebas,” ungkapnya.
Kelebihan lain dari produk herbal itu diyakini mampu mempengaruhi saluran cerna dengan menimbulkan keseimbangan antara peristaltik usus dengan aktivitas absorbsi nutrisi. Dengan demikian mengurangi resiko kerusakan saluran cerna akibat stres, komponen toksik dalam pakan atau obat-obatan yang sedang dipakai. (wan)

Antibiotik Growth Promotor VS Alternatif Growth Promotor

Antibiotik Growth Promotor (AGP) telah lama digunakan dalam pakan ternak untuk mencegah penyakit dan meningkatkan pertumbuhan. Cara kerja dari antibiotik pemacu pertumbuhan belum seluruhnya terjelaskan. Namun, efek pemacu pertumbuhannya dapat dihubungkan dengan pengaruh pada mikroflora usus, yaitu penambahan antibiotik pemacu pertumbuhan dalam pakan membantu menurunkan jumlah mikroflora usus, menekan bakteri patogen dan menambah ketersediaan energi serta zat gizi untuk ternak dan tercapai efisiensi penggunaan pakan.
Prinsipnya keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia setidaknya 85% berbanding 15%. Dengan komposisi tersebut fungsi “barrier effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam tubuh makhluk hidup dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri patogen (colonisation resistence) bisa teroptimalkan. Ketidakseimbangan populasi antara bakteri yang menguntungkan dan merugikan (dysbiosis) berakibat turunnya produksi ternak.
Salah satu cara memodifikasi keseimbangan bakteri di dalam saluran pencernaan adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotik dipercaya dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri patogen yang berakibat melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan. Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan bakteri patogen.
Namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikroorganisme patogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu, ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli. Pengaruh negatif lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya.
Resistensi bakteri inilah yang telah mendorong masyarakat Uni Eropa per Januari 2006 melarang penggunaan berbagai macam antibiotik dimana selama beberapa dekade belakang merupakan substans yang kerap digunakan oleh peternak di berbagai belahan dunia. Tidak dapat dipungkiri sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa pemacu pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadi peningkatan pendapatan peternak berkat kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan ada yang pro dan ada yang kontra, terutama antara ilmuwan Eropa dan Amerika.
Sebenarnya pelarangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal yang baru bagi sebagian negara Eropa. Jauh hari sebelumnya beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi pelarangan tersebut tidak menyeluruh hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin (Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin dan chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya dalam ransum ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengembangkan alternatif yang sesuai untuk mengatasi dampak yang merugikan dengan pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan dalam pakan ternak. Substansi lain, dikenal dengan natural growth promotor, telah diidentifikasikan mempunyai khasiat dan aman untuk menggantikan fungsi antibiotik pemacu pertumbuhan. Infovet menyebut substansi tersebut dengan alternatif growth promoter.
Saat ini, banyak tersedia dan beredar alternatif growth promotor di pasar, diantaranya asam organic, imunomodulator, probiotik, prebiotik, enzim untuk pakan, dan fitogenik. Semua produk tersebut memiliki potensi meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan performan pertumbuhan. Cara kerjanya sangatlah kompleks, pada umumnya mempengaruhi mikroflora usus, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi, tujuan utama penggunaan alternatif growth promotor adalah untuk membuat dan memelihara keseimbangan mikroflora saluran pencernaan yang melindungi ternak terhadap invasi kuman patogen.

Alternatif Growth Promotor
Samadi, staf pengajar Fakultas Pertanian Progran Studi Peternakan Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh mengungkapkan, konsep pakan ternak berdasarkan kualitas semata (kebutuhan energi dan protein ternak) mulai ditinjau ulang oleh nutritionist akhir-akhir ini. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu berbahaya telah mengajak ilmuwan untuk mencari alternatif sumber-sumber pakan baru sekaligus zat aditif yang aman. “Feed quality for food safety“ merupakan slogan yang acap di dengungkan dimana-mana pada masyarakat Eropa.
Kerja keras ilmuwan dalam usaha menemukan zat aditif pengganti antibiotik telah membuahkan hasil yang tidak begitu mengecewakan. Beberapa alternatif zat aditif pengganti antibiotik telah ditawarkan bagi peternak untuk memicu produksi dan reproduksi seperti probiotik dan prebiotik, asam-asam organik, minyak esensial (essential oil) dan berbagai jenis enzim. Senyawa-senyawa aditif tersebut terbukti mampu meningkatkan produksi ternak tampa mempunyai efek samping bagi ternak dan konsumen yang mengkonsumsinya.

Probiotik dan Prebiotik
Sebagai pengganti antibiotik nutritionist merekomendasikan peternak menggunakan probiotik sebagai bahan aditif. Probiotik tergolong dalam makanan fungsional, di mana bahan makanan ini mengandung komponen-komponen yang dapat meningkatkan kesehatan ternak dengan cara memanipulasi komposisi bakteri yang ada dalam saluran pencernaan ternak. Berbeda dengan antibiotik, probiotik merupakan mikroorganisme yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan ternak tanpa mengakibatkan terjadinya proses penyerapan komponen probiotik dalam tubuh ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadinya mutasi pada ternak. Sementara antibiotik merupakan senyawa kimia murni yang mengalami proses penyerapan dalam saluran pencernaan.
Penggunaan probiotik dan prebiotik bukan merupakan hal baru dalam dunia peternakan. Fungsi zat aditif ini tidak jauh berbeda dengan antibiotik yaitu mengatur komposisi mikroflora dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus bulgaricus, Lactobacilus acidophilus, Bifidobacteria thermophilum dan jenis fungi seperti Saccharomyces cerevisiae adalah contoh-contoh probiotik yang telah diproduksi secara komersial. Lingkungan menyenangkan untuk pertumbuhan bakteri menguntungkan (penurunan pH dengan memproduksi asam laktat) akan tercipta dengan mensuplai probiotik pada ransum ternak. Probiotik juga dapat mengurangi produksi racun dan menurunkan produksi amonium dalam saluran pencernaan.
Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik (ayam dan babi). Senyawa ini digunakan sebagai substrat untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli. Pemberian 0,1 – 0,5% dalam ransum dapat meningkatkan bakteri yang menguntungkan dan menurunkan populasi bakteri yang merugikan.

Imunomodulator
Mekanisme kerja imunomodulator adalah dengan cara meningkatkan fungsi kekebalan tubuh alamiah (activated cellular immunity). Istilah imunomodulator memang masih belum begitu familiar terdengar di telinga kebanyakan peternak. Obat atau bahan yang memiliki efek pada respon imun untuk melakukan immuno modulasi dinamakan dengan Imunomodulator.
Immunomodulator bekerja dengan beberapa cara, yaitu pertama, meningkatkan proses maturity (pematangan) sel-sel yang berperanan dalam imun respon. Kedua, meningkatkan proses proliferasi sel, terutama sel-sel macrophages (mempagosit antigen dan menghancurkan antigen dalam sel) dan lymphocyte (pembentukan antibodi dan membunuh antigen dalam sel), sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Dengan demikian jumlah antigen yang dapat diproses meningkat lebih banyak dan titer antibodi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Ketiga, mengaktifkan complement, sehingga eliminasi antigen dalam sel menjadi lebih efektif.
Dengan adanya imunomodulator, maka ternak unggas-unggas dapat terhindar dari penyakit-penyakit fatal seperti ND, AI, Mareks, dll. Dengan kekebalan tubuh yang tinggi, maka segala macam penyakit tidak akan mampu membunuh ternak unggas, bahkan sebaliknya justru meningkatkan produktivitas dan memacu pertumbuhan.


Asam-asam Organik
Asam-asam organik sebenarnya diproduksi secara otomatis dalam tubuh ternak melalui proses fermentasi selanjutnya digunakan sebagai sumber energi. Perkembangan bioteknologi yang begitu pesat mengilhami industri-industri pakan ternak untuk memproduksi asam-asam organik dalam bentuk komersial seperti asam asetat, propionat laktat dan citrat yang dikemas dalam bentuk cair. Penambahan asam-asam organik dalam pakan ternak dapat menigkatkan produktifitas ternak. Peningkatan performa ternak terjadi melalui penciptaan lingkungan yang serasi bagi perkembangan mikroflora menguntungkan. Dengan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri tertentu (melalui penurunan keasaman) dapat mengaktifkan serta merangsang produksi enzim-enzim endogenous dan berakibat meningkatnya absorbsi nutrisi dan konsumsi pakan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi.

Minyak Esensial (Essential oil)
Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis minyak esensial yang dihasilkan melalui ekstraksi berbagai jenis tanaman. Jamak diketahui bahwa setiap tanaman mempunyai komponen bioaktif yang spesifik. Di dalam tubuh makhluk hidup senyawa bioaktif tersebut mempunyai aktifitas mikrobial, sebagai antioksidan, bersifat antibiotik dan juga meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa contoh minyak esensial yang terdapat pada tanaman misalnya cinnamaldehyde (cinnamon), eugenol (clove), allicin (garlic) dan menthol (peppermint).
Dari hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan minyak esensial dalam pakan ternak dapat memperbaiki performa ternak melalui meningkatnya nafsu makan ternak, meningginya produksi enzim-enzim pencernaan serta stimulasi antiseptik dan antioksidan dari minyak atsiri tersebut. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayati. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus harapan bagi ilmuwan untuk menggali berbagai potensi yang tersedia untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemakmuran rakyat.

Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecahan senyawa-senyawa yang komplek menjadi sederhana. Saat ini telah terindentifikasi lebih kurang 3000 enzim. Walaupun dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri sesuai dengan kebutuhan, penambahan enzim pada ransum kadang kala masih dibutuhkan. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti antinutrisi faktor pada bahan pakan (lekctins dan trypsin inhibitor), rendahnya efisiensi kecernaan bahan pakan, dan ketidaktersediaan enzim tertentu dalam tubuh ternak. Xylanase dan ß-glucanase adalah contoh-contoh enzim yang digunakan pada ternak monogastrik untuk meningkatkan daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan ternak muda untuk mencerna protein pada kacang kedele (glycin dan ß-conglycin) dapat diatasi dengan penambahan enzim protease.
Phytase sebagai enzim yang mampu meningkatkan penyerapan posphor mendapat perhatian cukup besar para peneliti saat ini. Bahan-bahan basal pakan yang kaya karbohidrat seperti gandum, barley, jagung dan lainnya, mengikat unsur phosphor dalam bentuk asam phytat (myo-inositol hexaxy dihidrogen phosphat) sehingga tidak mampu dicerna oleh ternak. Dengan mensuplai phytase yang berasal dari Aspergillus atau Trichoderma strains dalam ransum ternak dapat meningkatkan ketersediaan phospor, Ca, Zn dan asam amino bagi ternak. Polusi lingkungan melalui Eutropication juga dapat dicegah dengan penambahan phytase dalam pakan ternak.

Penelitian bahan aditif alternatif sebagai pengganti antibiotik terus dilakukan tidak hanya terbatas pada lembaga penelitian, universitas, institut tapi juga merambah ke berbagai industri makanan ternak. Bagi industri pakan ternak masih terbuka peluang bisnis yang cukup besar dengan menciptakan produk-produk zat aditif baru dengan nilai ekonomis tinggi serta mampu bersaing di pasar. Bagi peternak menciptakan kondisi higienis pada farmnya jelas masih sulit namun dengan pemanfaatan bermacam alternatif growth promotor diatas tentu bisa menjadi solusi pilihan. (Wawan Kurniawan)

YANG IMPOR PUN HARUS DIKONTROL

(( Masalah kesehatan produk impor, harus terus dikontrol hingga kapanpun. ))

Dari tahun ke tahun, pasokan ternak impor dari luar negeri ke Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah keprihatinan, mengingat tiga penentu kebijakan dalam hal ini yaitu produsen, konsumen dan pemerintah, hingga saat ini belum mencapai kapasitas kerja yang diharapkan.
Sementara masalah kesehatan produk impor tersebut, masih terus dipertanyakan hingga saat ini. Masalah kesehatan pangan impor pernah meruyak beberapa waktu lalu. Masalah sapi gila (mad cow), terinfeksinya beberapa hewan unggas oleh virus avian, dan beberapa kejadian lain cukup membuat kita memilih tidak mengonsumsi beberapa jenis produk pangan tertentu.
Bahkan pemerintah juga telah melakukan beberapa tindakan seperlunya, seperti mengefektifkan sistem pintu masuk berbagai produk pangan tersebut ke Indonesia. Hingga mengakibatkan makin tingginya kualitas produk pangan hewan yang ingin diimpor ke Indonesia.
Namun, masalahnya ternyata produk pangan hewani di dalam negeri hingga saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Ini terlihat dari catatan yang diterima dari Direktorat Jenderal Peternakan (dan Balai Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2002 lalu. Dari catatan tersebut menunjukkan bahwa dari target konsumsi 6 gram/kapita/hari yang ditargetkan oleh FAO, Indonesia baru mampu mencapai 4,19 gram/kapita/hari.
Hal ini diperkuat oleh hitungan yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).

Tiga Tiang
Dalam dunia perekonomian terdapat tiga tiang utama yang mempengaruhi pasar. Yaitu produsen, konsumen dan pemerintah. Dalam bagian produsen, kendala kurangnya produksi pangan hewani memang masih menjadi momok hingga saat ini. Dan pemerintah yang mencermati hal ini, sepertinya lebih memilih jalan pintas untuk masalah ini dengan mengimpor berbagai produk pangan hewani dari luar negeri.
Di satu sisi hal ini menimbulkan dampak positif, karena berarti terpenuhinya kebutuhan daging untuk rakyat Indonesia yang semula dianggap kurang. Keuntungan yang kedua adalah keberadaan ternak lokal yang tidak terkuras habis-habisan. ”Selain itu juga peternak lokal bisa belajar untuk mulai berkompetisi dengan peternak global,” ujar Ir Yudi Guntara Noor Ketua Umum ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) dalam suatu kesempatan.
Namun masalahnya bagaimana dengan berbedanya ukuran kesehatan hewan dari berbagai negara pengekspor dengan negara pengimpor. Belum lagi kebijakan ekonomi dan faktor musim yang tiap negara yang berbeda satu sama lain. Yang akan berpengaruh langsung pada kondisi daging yang diimpor. Kalau ini terjadi, lagi-lagi konsumen Indonesia yang kena getahnya.
”Padahal konsumen Indonesia hingga saat ini masih berada pada posisi tawar yang rendah,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Dra. Indah Suksmaningsih, menanggapi hal tersebut.
Faktor konsumen yang tidak korektif, sikap produsen dan pemerintah yang cenderung hanya menguntungkan diri sendiri, makin menambah ketidakjelasan faktor keamanan kesehatan produk impor tersebut.

Solusi
Berbagai faktor yang menaungi tiga tiang ekonomi di atas yang seharusnya secepatnya dibenarkan. Selain juga faktor kesepadanan persepsi dari berbagai negara untuk masalah ini, yang seharusnya juga menjadi prioritas utama pemecahan masalah tersebut.
Indah menyarankan agar masalah edukasi pada masyarakat agar lebih digalakkan. ”Agar masyarakat konsumen tidak hanya menuntut hak, tapi juga mengerti tanggung jawab dan kewajibannya.”
Selain itu Indah juga menyarankan agar konsumen lebih berani mengadu jika melihat sesuatu yang terasa tidak aman di makanan mereka. Selain solidaritas sesama konsumen yang juga harus perlu dibangun lebih baik lagi.
Sementara Yudi lebih menekankan pada equal treatment yang mengacu pada kesepakatan WTO sebagai jalan keluar semua masalah ini. ”Equal treatment ini untuk mencegah distorsi yang mungkin timbul,” ucapnya.
Dengan adanya equal treatment ini diharapkan persepsi status kesehatan dari negara pengekspor dan pengimpor menjadi sepadan. Hal equal treatment ini juga mencakup masalah tindakan terhadap hewan potong yang pantas, seperti penggunaan hormon pemacu pertumbuhan.
Sementara itu di pihak lain, kondisi kebijakan pemerintah baik di Indonesia maupun di negara pengimpor juga harus seimbang, baik secara fiskal, finansial dan retribusi. ”Dengan kondisi persyaratan tersebut di atas diharapkan bahwa akan ada suatu perlindungan terhadap peternak dan ternak lokal di Indonesia dalam era globalisasi ini,” katanya. (SH)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer