Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Open House BBPMSOH

Di usianya yang ke-22, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang terletak di Gunungsindur Bogor melakukan Open House yang diisi dengan seminar terbuka. Acara yang diselenggarakan 2 Agustus 2007 lalu ini diikuti oleh banyak pelaku bisnis obat hewan, institusi pemerintah, swasta dan akademisi.

Menurut Drh Agus Heriyanto MPhill Kepala BBPMSOH pelaksanaan Open House ini untuk mendapatkan masukan dari semua stakeholder dalam upaya menata obat hewan yang beredar di masyarakat, sekaligus meningkatkan kemampuan dan pemahaman tentang ketentuan dan peraturan obat hewan serta pemahaman siklus manajemen pendaftaran dan pengujian obat hewan.

Hal ini dilakukan menyusul masih banyaknya obat hewan ilegal yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia. Diharapkan dengan open house ini mampu mencairkan segala hambatan dan kendala serta perbedaan persepsi antara BBPMSOH dan pelaku usaha obat hewan.

Agus menambahkan open house ini dilakukan sebagai salah satu upaya yang terus menerus dilakukan dalam rangka meningkatkan transparansi, eksistensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam bentuk peningkatan kinerja pelayanan pengujian obat hewan yang bermutu dan aman tanpa menimbulkan dampak yang merugikan konsumen.

Mengenai masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal, kata Agus, hal ini harus segera dibenahi. Peraturan dan perundangan yang mengatur penanganan pengawasan obat hewan telah banyak ditetapkan, namun dalam pelaksanaanya masih banyak menjumpai kendala dan hambatan serta pelanggaran dalam peredaran obat hewan.

Banyaknya obat hewan ilegal dan yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia menunjukkan bukti betapa lemahnya komitmen kita tentang peraturan obat hewan. Sementara tuntutan era globalisasi serta pesatnya perkembangan industri obat hewan belum diikuti dengan mantapnya pengawasan obat hewan dari hulu hingga hilir.

Di sesi seminar Drh Wayan Teguh Wibawan PhD peneliti dari FKH IPB memaparkan tentang perkembangan virus AI di Indonesia. Selanjutnya Michel Bublot DVM PhD dari Merial menguraikan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin vektor dan perkembangan teknologi vaksin jenis ini. Setelah rehat Drh Rakhmat Nuriyanto dari ASOHI menjelaskan tentang prospek industri obat hewan memasuki era globalisasi (wan)

Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan Nasional

Di era perdagangan bebas, setiap negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berhak melindungi negaranya dari ancaman masuknya agen penyakit hewan menular dengan menerapkan tindakan Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dalam penerapan SPS yang terkait kesehatan hewan, maka Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah badan yang berhak menetapkan standar dan prosedur yang dijadikan acuan internasional di bidang kesehatan hewan.

Untuk mendukung perdagangan hewan dan produk hewan, sejak tahun 2007 OIE mulai memperkenalkan suatu gagasan baru dengan menciptakan suatu alat yang dapat digunakan mengevaluasi sistem veteriner (Veterinerary Services/Sistem Kesehatan Hewan) suatu negara. Perangkat tersebut dikenal dengan nama Performance, Vision and Strategy (PVS) yang menjadi tolok ukur pencapaian suatu negara dalam mengembangkan dan memperkuat sistem kesehatan hewannya.

Hal itu terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti) di Ruang FKH A Kampus IPB Darmaga, Selasa (14/8).

Tujuan seminar ini untuk lebih memperkenalkan PVS kepada pihak yang berkepentingan dalam mengembangkan dan memperkuat sistem veteriner di Indonesia

Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat MPhill PhD OIE Certified Expert on PVS, “PVS dirancang untuk membantu suatu negara dalam menetapkan tingkat kinerja dari sistem veterinernya saat ini. Dengan cara mengidentifikasi kekurangannya dan kelemahan negara tersebut dalam memenuhi standar dan pedoman OIE.”

Tujuan evaluasi PVS untuk membantu otoritas nasional dalam proses pengambilan keputusan menyangkut sumberdaya dan prioritas yang harus diterapkan terhadap sistem veteriner nasionalnya. Keberadaan PVS juga mampu menguatkan posisi tawar kita dalam perdagangan dunia menyangkut keamanan komoditi yang diperdagangkan.

Rencananya OIE akan mengirimkan misi PVS ke 105 negara anggota dalam 3 tahun ke depan. Sampai dengan saat ini, OIE telah melakukan 30 misi ke negara-negara anggota terutama di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. (wan)

Japfa Comfeed Gelar Kejurnas Tenis Meja

Japfa Comfeed Indonesia sebagai perusahaan agrobisnis terkemuka di Indonesia yang basis utamanya disektor industri perunggasan semakin peduli terhadap kesejahteraan karyawannya. Hal itu diwujudkan dengan diselenggarakannya Kejurnas Tenis Meja JAPFA Group 2007 yang digelar 2-3 Agustus 2007.

Kejurnas yang diselenggarakan di Gedung KONI Jakarta Pusat ini bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan seluruh karyawan JAPFA Group dalam rangka menyambut HUT Republik Indonesia ke-62.

Ir Budiarto Soebijanto Head of Sales & Marketing PT Japfa Comfeed Indonesia Feed Division yang ditemui Infovet usai memenangi pertandingan dikelas perorangan perempat final Kejurnas ini mengatakan bahwa tujuan yang lain dari kejurnas ini sekaligus untuk menggiatkan olahraga. Agar karyawan lebih sehat yang nantinya juga menunjang kesehatan dan kinerjanya di Japfa.

“Karena karyawan itu aset perusahaan yang harus selalu dijaga kesehatannya. Dengan motivasi olahraga seperti ini diharapkan mampu menggiatkan olah raga sekaligus menciptakan bibit baru atlet tenis meja setidaknya dilingkup Japfa Group,” ujar Budi.

Dipilih tenis meja karena murah dan menyehatkan selain itu olah raga melatih semua otot tanpa harus bergerak berat seperti olah raga berat lainnya contohnya tenis lapangan dan sepak bola.

Tenis meja atau yang lebih kita kenal dengan ping pong, kata Budi, bermanfaat menunjang kerja otak karena selama ini kita sebagai karyawan terlalu banyak dijejali berbagai macam training. Ada yang tentang leadership, marketing, management, dan lain sebagainya.

Secara konsep bagus bermacam training ini memang bagus namun untuk aplikasi mungkin sulit dilakukan. Maka dengan kegiatan semacam ini yaitu olah raga yang membutuhkan team work merupakan aplikasi yang tepat bagi semua pelatihan-pelatihan tersebut.

Dengan kebersamaan semua karyawan mampu mengurangi jarak antara bawahan dan atasan dengan satu tujuan yaitu memenangi tantangan yang dihadapi. Hal itu bermanfaat dikondisi yang sebenarnya yaitu memenangi persaingan bisnis global.

Kejurnas ini diikuti oleh seluruh karyawan Japfa Group dari setiap cabang dan unit dengan total peserta 72 orang yang terbagi menjadi 18 regu dari kelas beregu dan perorangan.

PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk merupakan salah satu perusahaan agrobisnis terkemuka di Indonesia. Untuk bidang perunggasan Japfa memiliki divisi unggas yang merupakan kegiatan yang terintegrasi, meliputi produksi pakan dengan merk ”Comfeed”, bibit ayam (DOC) Multibreeder dan pengolahan daging ayam. Untuk consumer goods, JAPFA memproduksi daging olahan berupa chicken nugget dengan merk ” SO GOOD”, Sosis sapi dan ayam siap makan dengan merek ”SOZZIS” . Selain produksi daging olahan perusahaan juga memproduksi Susu ”Real Good” atau susu bantal, susu Yahuii. (wan)

ASOHI dan UPPAI Jalin Kerjasama Tangani AI

Pengendalian Avian Influenza (AI) pada unggas merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder sesuai dengan fungsinya masing-masing. Unit Pengendalian Penyakit AI (UPPAI) sebagai unit khusus Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian yang diberi mandat dalam pengendalian AI perlu mengkoordinasikan kegiatan pengendalian AI di lapangan. Salah satu stakeholder yang diharapkan bekerjasama adalah Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) sebagai organisasi yang mewadahi produsen, importir, distributor, dan pengecer obat hewan di Indonesia.

Adanya kerjasama dengan ASOHI diharapkan dapat mengefektifkan pengendalian AI di lapangan, karena para produsen, importir, distributor dan pengecer obat hewan memiliki tenaga kesehatan hewan lapangan yang bertugas memberikan pelayanan di sektor 1, 2, dan 3, juga memiliki jejaring dengan para pemilik poultry shop sehingga bisa bekerjasama dengan petugas PDS/PDR (participatory disease surveilance / participatory disease response) atau dinas peternakan dan kesehatan hewan setempat dalam hal tukar informasi dan aksi bersama dengan stakeholder lainnya.

Hal itu terungkap dalam pertemuan antara UPPAI Pusat dengan ASOHI di kantor UPPAI Departemen Pertanian, Senin (20/8). Hadir pada pertemuan itu diantaranya dari UPPAI adalah Drh Elly Sawitri, Drh Mastur Aini, dan Drh Memed Zoelkarnaen Hassan. Sementara dari ASOHI antara lain Drh Rakhmat Nuriyanto, Drh Andi Wijanarko, dan Drh Mulyati Sutandi. Infovet hadir berdasarkan undangan khusus diwakili Drh Yonathan Rahardjo dan Wawan Kurniawan.

Lebih lanjut, rencananya kerjasama ini akan diwujudkan dalam bentuk penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara ASOHI dan UPPAI-Deptan yang akan digelar saat Rakornas ASOHI tanggal 29 Agustus 2007. UPPAI sebagai unit khusus yang dibentuk Menteri Pertanian bertugas membantu kerja Dirjen Peternakan cq Ditkeswan dalam pengendalian penyakit AI. Lebih jauh tentang UPPAI telah diulas Infovet di edisi Agustus 2007 lalu.

Dalam MoU tersebut ASOHI akan bekerjasama dengan UPPAI (Campaign Management Unit/CMU) untuk mendayagunakan tenaga pemasar obat hewan (technical services/TS) anggota ASOHI yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menjadi PDS/PDR sebagai jejaring kerja dari UPPAI di tingkat yang paling bersentuhan dengan kenyataan lapangan.

Selain itu pertemuan rutin berkala antara petugas Dinas bersama dengan UPPAI Propinsi/LDCC dan PDS/PDR dengan ASOHI Tingkat Propinsi akan digelar untuk mengkoordinasikan Technical Services dari para produsen, importir, distributor dan pengecer obat hewan untuk melakukan pembahasan situasi penyakit AI diwilayahnya masing-masing serta merencanakan aksi bersama dalam pengendalian AI di masyarakat.

Selain itu anggota ASOHI daerah bersama PDS/PDR bersama melakukan sosialisasi AI dan surveilance. Bila ditemukan sampel kasus yang dicurigai dilakukan pengujian dengan memanfaatkan laboratorium milik pemerintah dan swasta yang terakreditasi. Sementara untuk meningkatkan kemampuan petugas di lapangan dilakukan pelatihan singkat tentang early detection, early reporting, dan early response.

Drh Rakhmat Nuriyanto (ASOHI) mengungkapkan, sebenarnya ASOHI di daerah telah banyak berperan dalam membantu pemerintah menanggulangi AI sebagai contoh di ASOHI Kalbar yang banyak memberi masukan ke Dinas Peternakan setempat untuk mewujudkan cita-cita Kalbar bebas AI 2008, sementara di Jawa Tengah ASOHI menggelar aksi simpatik vaksinasi massal yang telah digelar sebanyak dua kali,.

Drh Elly Sawitri menambahkan, selain dengan ASOHI, asosiasi lain seperti GAPPI seperti diungkapkan Drh Sudirman dan Drh Teguh juga menyampaikan keinginan untuk membantu UPPAI dalam rangka meningkatkan pengawasan/surveilance terhadap AI di lapangan dengan memanfaatkan TS dari anggota mereka.

“Keberadaan TS-TS ini bisa dimanfaatkan sebagai informan namun bisa juga sebagai investigator. Karena kemungkinan untuk sektor 1 & 2 rekan-rekan TS ini lebih bisa berperan daripada petugas dinas peternakan,” ujar Drh Mastur Aini yang mantan Kepala Dinas Peternakan Subang dan kini ditarik ke pusat untuk bertugas di UPPAI.


Dimulai dengan Pilot Project

Rencananya kerjasama ini akan diawali dengan pilot project yang akan dilakukan di wilayah Sukabumi, Tasikmalaya dan Bali. Saat ini jumlah PDS/PDR yang dimiliki UPPAI telah mencapai 1200 orang yang tersebar di seluruh Indonesia.

Diharapkan dengan bantuan 6.000 personil TS anggota ASOHI yang tersebar di seluruh Indonesia hingga wilayah pelosok, mobilitas mereka bisa dimanfaatkan sebagai tenaga surveilance terhadap munculnya kasus AI di wilayah kerjanya. Sekaligus memberikan sosialisasi public awareness ke peternak melalui komunikasi, informasi dan edukasi. (wan)

Permasalahannya pada Lalu-lintas Perdagangan Babi

Masalah lalu lintas perdagangan ternak babi selalu mencuat tiap tahun dan belum dapat diatasi. Untuk wilayah Jawa, misalnya pemasaran terbesar hanya ke Jakarta dan Surabaya, sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan berbagai kota besar serta kebutuhan konsumen lokal di sekitar daerah peternakan babi.

Peternakan babi di Pulau Jawa jika diperhitungkan cukup untuk memenuhi kebutuhan pelanggan di Pulau Jawa. Jika kondisi ini bertahan, maka harga jual babi hidup diharapkan akan stabil. Akan tetapi, seringkali pada saat harga jual tinggi, babi dari daerah lain masuk ke Jawa sehingga harga babi di Jawa menjadi anjlok. Hal ini tentu saja tidak diinginkan khususnya oleh para pengusaha peternakan babi di Pulau Jawa.

Hal itu mencuat dalam seminar nasional yang diselenggarakan GITA Organizer bekerjasama dengan Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) di Hotel Sahid Raya, Solo, Rabu, 27 Juni 2007 dengan tajuk Lalu-Lintas Perdagangan Ternak Babi: Masalah dan Solusinya.

Masalah lalu lintas antar area, ada yang bersifat teknis ada pula masalah sosial. Jika babi dari Pulau Jawa tidak dapat keluar karena masalah teknis kesehatan hewan, hal ini dapat dimaklumi, namun seringkali yang terjadi hanya masalah sosial ekonomi. Misalnya untuk masuk ke Bali, babi dari Pulau Jawa hingga saat ini selalu ditolak. Ini perlu dicari solusinya.

Masalah lalu lintas juga terkait dengan pungutan-pungutan di daerah dimana sejalan dengan otonomi daerah, masalah ini makin membebani peternak. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah angka kematian selama transportasi yang masih tinggi. Ke depan perlu diupayakan agar pengiriman antar wilayah dalam bentuk karkas.

Peternakan babi, di satu sisi sangat menjanjikan karena jika dibandingkan dengan ternak lain, babi paling produktif dan paling cepat besar sehingga dari berat lahir yang hanya sekitar 2 kg dapat meningkat menjadi 100 kg pada usia hanya 4-6 bulan. Dengan status bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Indonesia juga memiliki peluang yang besar untuk mengekspor hasil peternakan babi.

Akan tetapi di sisi lain, peternakan ini sangat spesifik, karena hanya dinikmati oleh kalangan terbatas, sehingga wilayah pemasarannya pun juga terbatas.


Perlu Input Bibit Baru

Saat ini kualitas bibit babi mengalami penurunan. Seperti disampaikan Ketua Umum AMI Ir Rachmawati Siswadi MAgr Sc karena angka depresi inbreeding pada babi di Indonesia sudah cukup menghawatirkan maka akan berpotensi mengakibatkan performans ternak babi menjadi kurang baik. (Baca juga artikel berjudul Kompleksitas Permasalahan Peternakan Babi di Indonesia)

Dari tahun ke tahun tetua babi yang ada di Indonesia hanya bersaling silang antara babi yang ada di berbagai daerah di Indonesia. Sebagian peternak memang sudah berinisiatif impor semen beku dari berbagai Negara (Amerika, kanada, Australia, new Zealand) dan Negara-negara lain di dunia. Akan tetapi prosedur yang seharusnya dilalui belum sepenuhnya diketahui sehingga untuk impor semen beku dirasa sangat sulit. Sebagai akibatnya, kadang-kadang ditempuh jalan pintas untuk impor semen yang mungkin belum mengikuti prosedur yang benar, yaitu pemasukan secara ilegal.

Saat ini British Pig Association sudah menawarkan kerjasama untuk mengirim bibit babi yang berkualitas, namun terkendala persyaratan perijinan impor, karena pemerintah Indonesia menilai Inggris belum bebas PMK. Enggano Swara dari kedutaan Inggris yang hadir dalam seminar tersebut mendampingi Brian Edwards menyatakan, saat ini pihaknya sedang mengurus dokumen dari Inggris yang dipersyaratkan oleh pemerintah Indonesia dalam pemasukan bibit babi ke Indonesia.


Lokasi Peternakan Babi dan Perijinan

Peternakan babi di Indonesia menghadapi masalah ketidakpastian hukum mengenai lokasi usaha peternakan, karena kebijakan pemerintah mengenai tata ruang masih belum jelas.

Dalam tujuh kegiatan utama Dirjen Peternakan disebutkan adanya pengembangan Budidaya Ternak Kambing/Domba, Kerbau, Babi Dan Aneka Ternak. Namun dalam kasus Perda di Kabupaten Karanganyar, justru tidak mencantumkan pengembangan ternak babi.

Dalam seminar ini terungkap, meski tidak dicantumkan dalam perda, namun peternakan babi boleh berdiri dengan izin khusus. Hal ini justru mengkhawatirkan para peternak babi mengenai masa depan usahanya, karena ketidakjelasan status usahanya, apakah masih bisa berdiri dalam jangka waktu 5-10 tahun atau tidak. Padahal selama ini wilayah Surakarta (termasuk kabupaten Karanganyar) merupakan sentra peternakan babi yang mensuplai kebutuhan Jakarta dan Surabaya.

Meskipun seminar ini membahas masalah perdagangan ternak babi, peserta seminar menyampaikan masalah-masalah lain seperti masalah sarana kesehatan hewan sebagai pendukung usaha peternakan babi. Diusulkan adanya peta penyakit babi di Indonesia untuk memudahkan penanganan kesehatan ternak babi. Diusulkan juga perlunya kerjasama antara AMI, ASOHI & peternak babi untuk menyusun jenis vaksin yang dibutuhkan di Indonesia, sehingga proses registrasi obat untuk ternak babi bisa lebih lancar. (wan)

Open House BBPMSOH

Di usianya yang ke-22, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang terletak di Gunungsindur Bogor melakukan Open House yang diisi dengan seminar terbuka. Acara yang diselenggarakan 2 Agustus 2007 lalu ini diikuti oleh banyak pelaku bisnis obat hewan, institusi pemerintah, swasta dan akademisi.

Menurut Drh Agus Heriyanto MPhill Kepala BBPMSOH pelaksanaan Open House ini untuk mendapatkan masukan dari semua stakeholder dalam upaya menata obat hewan yang beredar di masyarakat, sekaligus meningkatkan kemampuan dan pemahaman tentang ketentuan dan peraturan obat hewan serta pemahaman siklus manajemen pendaftaran dan pengujian obat hewan.

Hal ini dilakukan menyusul masih banyaknya obat hewan ilegal yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia. Diharapkan dengan open house ini mampu mencairkan segala hambatan dan kendala serta perbedaan persepsi antara BBPMSOH dan pelaku usaha obat hewan.

Agus menambahkan open house ini dilakukan sebagai salah satu upaya yang terus menerus dilakukan dalam rangka meningkatkan transparansi, eksistensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam bentuk peningkatan kinerja pelayanan pengujian obat hewan yang bermutu dan aman tanpa menimbulkan dampak yang merugikan konsumen.

Mengenai masih banyaknya peredaran obat hewan ilegal, kata Agus, hal ini harus segera dibenahi. Peraturan dan perundangan yang mengatur penanganan pengawasan obat hewan telah banyak ditetapkan, namun dalam pelaksanaanya masih banyak menjumpai kendala dan hambatan serta pelanggaran dalam peredaran obat hewan.

Banyaknya obat hewan ilegal dan yang belum terdaftar yang beredar di Indonesia menunjukkan bukti betapa lemahnya komitmen kita tentang peraturan obat hewan. Sementara tuntutan era globalisasi serta pesatnya perkembangan industri obat hewan belum diikuti dengan mantapnya pengawasan obat hewan dari hulu hingga hilir.

Di sesi seminar Drh Wayan Teguh Wibawan PhD peneliti dari FKH IPB memaparkan tentang perkembangan virus AI di Indonesia. Selanjutnya Michel Bublot DVM PhD dari Merial menguraikan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan vaksin vektor dan perkembangan teknologi vaksin jenis ini. Setelah rehat Drh Rakhmat Nuriyanto dari ASOHI menjelaskan tentang prospek industri obat hewan memasuki era globalisasi (wan)

Mendesak Peningkatan Sistem Kesehatan Nasional

Di era perdagangan bebas, setiap negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berhak melindungi negaranya dari ancaman masuknya agen penyakit hewan menular dengan menerapkan tindakan Sanitary and Phytosanitary (SPS). Dalam penerapan SPS yang terkait kesehatan hewan, maka Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) adalah badan yang berhak menetapkan standar dan prosedur yang dijadikan acuan internasional di bidang kesehatan hewan.

Untuk mendukung perdagangan hewan dan produk hewan, sejak tahun 2007 OIE mulai memperkenalkan suatu gagasan baru dengan menciptakan suatu alat yang dapat digunakan mengevaluasi sistem veteriner (Veterinerary Services/Sistem Kesehatan Hewan) suatu negara. Perangkat tersebut dikenal dengan nama Performance, Vision and Strategy (PVS) yang menjadi tolok ukur pencapaian suatu negara dalam mengembangkan dan memperkuat sistem kesehatan hewannya.

Hal itu terungkap dalam seminar yang diselenggarakan Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS) bekerjasama dengan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti) di Ruang FKH A Kampus IPB Darmaga, Selasa (14/8).

Tujuan seminar ini untuk lebih memperkenalkan PVS kepada pihak yang berkepentingan dalam mengembangkan dan memperkuat sistem veteriner di Indonesia

Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat MPhill PhD OIE Certified Expert on PVS, “PVS dirancang untuk membantu suatu negara dalam menetapkan tingkat kinerja dari sistem veterinernya saat ini. Dengan cara mengidentifikasi kekurangannya dan kelemahan negara tersebut dalam memenuhi standar dan pedoman OIE.”

Tujuan evaluasi PVS untuk membantu otoritas nasional dalam proses pengambilan keputusan menyangkut sumberdaya dan prioritas yang harus diterapkan terhadap sistem veteriner nasionalnya. Keberadaan PVS juga mampu menguatkan posisi tawar kita dalam perdagangan dunia menyangkut keamanan komoditi yang diperdagangkan.

Rencananya OIE akan mengirimkan misi PVS ke 105 negara anggota dalam 3 tahun ke depan. Sampai dengan saat ini, OIE telah melakukan 30 misi ke negara-negara anggota terutama di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia. (wan)

IMAKAHI Abdikan Diri ke Masyarakat

Sebagai bagian dari Insan pendidikan, terutama dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) bekerjasama dengan BEM FKH Universitas Airlangga (Unair), dan Kelompok Minat Profesi Veteriner (KMPV) Ternak Besar dan KMPV Unggas dan Burung FKH Unair Surabaya, mengadakan Pengabdian Masyarakat Nasional 2007 pada 4-13 Agustus 2007 di Kediri Jawa Timur.

Kegiatan yang diawali dengan acara Pra Munas IMAKAHI XI dan dilanjutkan dengan kegiatan pengabdian masyarakat (pengmasy) ini di sambut baik oleh Dekan FKH Unair, Prof Drh Hj Romziah Sidik PhD.

Dalam sambutannya Prof Romziah mengatakan bahwa sebagai calon generasi profesi dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan harus mampu menjawab segala tantangan yang ada, sehingga dengan adanya kegiatan ini agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa sebagai proses pembelajaran sebelum menempuh kehidupan yang sebenarnya. Bahkan melalui kegiatan pengmasy dapat dijadikan sebagai momentum yang baik untuk memperkenalkan profesi veteriner kepada masyarakat luas.

Menurut ketua pelaksana, Jeremia Sibarani, kegiatan pengmasy ini dilaksanakan di 4 kecamatan dengan 15 desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dimana tiap kecamatan dibimbing oleh satu orang dosen pembimbing dan satu kordinator kecamatan serta satu orang supervisor ditiap desanya. Ditempat yang sama, Iwan Berri Prima selaku Ketua Umum IMAKAHI yang didampingi Dony Bindariyanto selaku ketua BEM FKH Unair dan Novi Susanty selaku Ketua IMAKAHI Cabang FKH Unair, berharap kegiatan ini dapat secara kontinyu dilaksanakan tiap tahunnya sebagai program kerja rutin dari IMAKAHI.

Ikut hadir dalam kegiatan ini adalah mahasiswa FKH Unair (Surabaya), delegasi mahasiswa FKH Universitas Syiah Kuala (Aceh), FKH Institut Pertanian Bogor (Bogor) dan FKH Universitas Udayana (Bali) dan delegasi mahasiswa FKH luar negeri dari Kanada. (Imakahi)

NTB ANTISIPASI MUNCULNYA KASUS FLU BURUNG PADA MANUSIA

Sejak diketemukannya kasus flu burung pada manusia di Kabupaten Jembrana Ball pada awal Agustus yang lalu. Pemerintah Daerah NTB secara cepat melakukan antisipasi untuk menangkal munculnya kasus flu burung pada manusia, agar tidak terjadi seperti di Bali, maka pada tanggal 16 Agustus yang lalu bertempat di ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB telah dilaksanakan Rapat Koordinasi Terpadu yang dipimpin langsung Gubernur NTB dan dihadiri semua Instansi terkait seperti Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Distanak Kabupaten se pulau Lombok, Karantina Hewan Lembar, Dinas Kesehatan Propinsi NTB, Rumah Sakit Umum Mataram, RSAD Mataram, Pangkalan Utama Angkatan Laut Lembar dan Muspida Propinsi NTB.

Pada kesempatan itu Gubernur NTB menegaskan perlunya kewaspadaan kita semua untuk menghadapi munculnya kasus flu burung, baik pada manusia maupun unggas agar kasus flu burung di Bali tidak terjadi di NTB. Kadisnak NTB Drh H Abdul Muthalib MM mengatakan dalam eksposenya bahwa walaupun satu tahun terakhir sudah tidak diketemukan kasus flu burung pada unggas di NTB dan NTB termasuk daerah beresiko rendah, namun mengingat sifat penyakit ini penyebarannya sangat cepat dan kematian pada unggas sangat tinggi, maka tetap menjadi prioritas kita untuk mengantisipasinya, apalagi pulau Bali yang menjadi barier bagi NTB telah terjadi kasus flu burung pada manusia maka NTB harus lebih waspada.

Untuk itu telah diperintahkan kepada semua jajaran unit Pelayanan Kesehatan Hewan terdepan yaitu Poskeswan telah dibekali dan dipersiapkan segala sarana dan prasarana untuk mengendalikan penyakit flu burung ini. Pengawasan lalu lintas unggas antar kabupaten diperketat, dan pelarangan unggas masuk NTB dari pulau Bali tetap berlaku untuk menolak dan menangkal penyakit flu burung ini sesuai SK Gubernur NTB No. 71 tanggal 21 April tahun 2004 tentang “Penolakan dan pencegahan masuknya penyakit flu burung di Propinsi NTB dan pengawasan lalu lintas unggas dan produknya”.

Drh Soleh Anwar Kepala Balai Karantina Hewan Kelas II Lembar Lombok menambahkan bahwa pihaknya sejak bulan April 2006 telah melakukan pengawasan di pintu pelabuhan Lembar dan mengadakan operasi terpadu selama 24 jam setiap hari bersama pihak Kepolisian Pelabuhan dan KKP serta Adpel Pelabuhan Lembar sebagai upaya antisipasi pemasukan ilegal unggas dari pulau Bali.

Dr Baiq Magdalena, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTB pada ekspose pemaparan di Rapat tersebut juga menegaskan walaupun di NTB belum ditemukan kasus flu burung pada manusia, namun jajaran kesehatan NTB telah siap mengantisipasi dan melakukan kewaspadaan tinggi berupa antara lain menyiapkan Rumah Sakit Umum Mataram sebagai Rumah Sakit Rujukan pasien kasus flu burung, menyiapkan obat-obatan seperti Tamiflu pada setiap Puskesmas yang ada di NTB serta melakukan sosialisasi bersama Dinas Peternakan Propinsi NTB kepada masyarakat dan sekolah-sekolah SMA yang ada di NTB agar mereka dapat memahami secara benar apa itu penyakit flu burung dan bagaimana cara penanggulangan dan pencegahannya baik ditinjau dari aspek kesehatan manusia dan kesehatan hewannya.

Semoga dengan melakukan Rakor ini benar-benar dapat mengamankan wilayah NTB tidak terjadi kasus flu burung pada manusia dan unggas serta tetap mempertahankan tidak ada kasus Avian Influenza (flu burung) di NTB dengan tetap mengacu pada 9 langkah pengendalian flu burung pada unggas, semoga !!!

Dan kepada teman-teman Poskeswan NTB Selamat Berjuang, kalian adalah ujung tombak Kesehatan Hewan di wilayah NTB dan juga Barometer Kesehatan Hewan Nasional “Lindungi ungggasnya, Basmi virusnya, Makan daging dan telurnya, Sehat manusianya dan Sejahtera peternaknya, Amin...”.


Drh. HERU RACHMADI
Kasubdin Keswan Lombok Timur dan Koresponden INFOVET NTB

Ketika Ditemukan Kasus Flu Burung pada Manusia Pertama di Bali

((Departemen Kesehatan mengkonfirmasi bahwa telah terjadi kasus flu burung pada manusia di Bali. Ini merupakan kasus pertama pada manusia yang terkonfirmasi di Bali. Kita pun kilas balik sejarah dan konsep ketahanan tubuh ayam. ))

Warga Dusun Dangin Tukad Aya, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Ni Luh Putu Sri Widiantari, 29 tahun, yang positif terinfeksi virus H5N1 penyebab flu burung, meninggal dunia, Minggu (12/8), setelah dirawat di RS Sanglah. Kasus tersebut merupakan yang pertama di Bali. Demikian disampaikan Bayu Krisnamurthi, Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) kepada Infovet saat jumpa pers di Jakarta, Senin (13/8).

“Kami memahami kebutuhan masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri mengenai kasus suspek ini. Sebuah tim sudah berada dilapangan dimana para pakar dari FAO dan WHO sedang menyelidiki kasus ini,” jelas Bayu.

Dari pantauan Infovet, hingga Selasa (14/8), empat anggota Tim Depkes dan seorang investigator Konsultan WHO mengambil sampel darah sembilan orang terdekat korban, seperti suami, nenek, kakek almarhumah. Sampel hendak diuji di laboratorium Depkes di Jakarta.

Kasus itu disorot Depkes dan WHO karena penderita meninggal dan sebelumnya, Dian (5), yang merupakan anak korban, juga meninggal dunia. “Ini jadi pertanyaan, apakah anak korban juga terduga virus H5N1. Kami belum bisa menyimpulkan apakah virus ini mulai menular antarmanusia. Ini perlu penelitian lebih serius,” kata Kepala Sub- dinas Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Dinas Kesehatan Bali I Ketut Subrata.

Dia menjelaskan, Dian meninggal pada 3 Agustus, di saat yang sama, Widiantari menderita gejala sakit. Berdasarkan keterangan RSUD Negara, Dian meninggal akibat infeksi paru-paru. Sementara seorang anak perempuan berumur 2 tahun 9 bulan dari dusun yang sama juga sedang dibawah pengawasan. Sampel dari anak ini sudah dikirim ke Jakarta untuk diperiksa.

Hingga berita ini diturunkan, kasus penularan flu burung pada manusia di Indonesia telah menyerang 103 penderita, 82 di antaranya meninggal dunia. Angka kematian manusia akibat terinfeksi flu burung 79,6 persen. Kabupaten Jembrana sudah ditetapkan sebagai wilayah kejadian luar biasa flu burung. Ratusan unggas dimusnahkan.

Sebenarnya keberadaan virus AI telah terdeteksi di area tersebut sejak bulan sebelumnya dan sejak 19 Juli 2007 telah dilakukan pemusnahan terbatas di daerah tersebut serta pemusnahan lanjutan telah mulai dilakukan sejak beberapa hari yang lalu.


Gubernur Kecewa pada Bupati Jembrana

Ditempat terpisah, Gubernur Bali Dewa Beratha mengaku kecewa terhadap Bupati Jembrana, dan menganggap kasus tersebut sebagai sebuah kecolongan. Oleh karena itu, Gubernur meminta Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan Bali dan Jembrana memantau aktivitas di sekitar rumah korban.

Widiantari mulai menderita sakit pada 3 Agustus lalu dengan gejala panas, batuk berdahak, dan menggigil. Pada 6 Agustus, ia berobat ke petugas kesehatan, lalu ke dokter. Ia sempat dirawat di RSU Daerah Negara sebelum dirujuk ke RS Sanglah dengan diagnosis pneumonia berat.

Penderita dirawat di RS Sanglah pada 10 Agustus dengan panas 40 derajat Celsius. Tetangga Widiantari, PN (2 tahun 9 bulan) juga diduga terinfeksi H5N1 dan dirawat di RS Sanglah sejak Minggu lalu.

Dewa Beratha juga memerintahkan agar seluruh unggas yang berada pada radius satu kilometer dari rumah korban dimusnahkan dan seluruh warga diperiksa kesehatannya. Ini untuk memastikan tidak adanya penularan lebih lanjut.

Tak lama berselang, Bupati Jembrana Gede Winasa mengelak bahwa kasus flu burung tersebut sebuah kecolongan. “Kami tidak ingin menuduh atau menjadikan siapa pun kambing hitam. Kami prihatin dengan kasus ini,” katanya. Ia menegaskan, biaya untuk pemberantasan flu burung pasca kasus Widiantari tidak terbatas. Bupati juga menyantuni keluarga korban sebesar Rp 5 juta.

Dari Sukabumi, Jawa Barat, Wakil Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza Tri Satya Putri N mengimbau pemerintah agar tidak melihat kembali merebaknya flu burung pada unggas sebagai hal biasa. Hal itu dia sampaikan karena flu burung kembali menyerang unggas di peternakan-peternakan dan menyebabkan kematian massal. Tri Satya menilai, penanganan pemerintah masih lambat.


Sungguh Ironis...

Bayu juga menambahkan, petugas kesehatan dari dalam dan luar negeri juga memonitor lalu lintas semua jenis hewan dari dan ke daerah sekitar kasus dideteksi. Semua unggas dalam radius 1 kilometer dari lokasi disembelih dalam minggu ini. Bersama dengan UNICEF, kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di daerah sekitar juga segera dilaksanakan.

Pihaknya bersama tim ahli dari Komnas FBPI segera bertolak ke Bali untuk melihat langsung langkah-langkah yang dilakukan untuk mengendalikan penyebaran pada unggas. “Dengan kejadian ini wisatawan diminta untuk tidak panik, tetapi mereka juga harus mengetahui informasi yang ada. Kasus pada manusia di Jakarta telah bisa dikendalikan dan kontrol ketat juga sedang diberlakukan di Bali,” jelas Bayu.

Lebih lanjut Bayu juga memaparkan langkah-langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko tertular virus flu burung:

1. Jangan sentuh unggas yang sakit atau mati. Jika telanjur, cepat-cepat cuci tangan pakai sabun dan laporkan ke kepala desa.
2. Cuci pakai sabun tangan dan juga peralatan masak Anda sebelum makan atau memasak. Masak ayam dan telur ayam sampai matang.
3. Pisahkan unggas dari manusia. Dan juga pisahkan unggas baru dari unggas lama selama 2 minggu.
4. Periksakan ke puskesmas jika mengalami gejala flu dan demam setelah berdekatan dengan unggas.

Yang menjadi pemandangan ironis adalah saat ini Bali telah ditetapkan sebagai wilayah dengan prioritas pertama dalam penanggulangan virus Avian Influenza oleh Departemen Pertanian. Sementara di saat yang sama terjadi kasus kematian akibat Flu Burung pertama di Pulau Dewata ini yang bisa jadi bisa memukul sektor pariwisata yang menjadi andalan devisa pendapatan daerah.


Kilas Balik ke Tahun 2004

Flu Burung yang makan korban manusia di Bali belum lama ini tersebut secara teoritis memang bisa terjadi, bila sebelumnya sudah diketahui ada Avian Influenza ketika pada 2004

Pemerintah pun pada 2004 sudah menyampaikan perkembangan wabah penyakit unggas menular (avian influenza) penyebarannya termasuk di Bali, meski pada saat itu hasil uji serologi dari Departemen Kesehatan terhadap peternak di Bali menunjukkan hasil reaksi negatif terhadap avian influenza/flu burung

Saat 2004 itu, Virus flu burung yang menjangkiti Indonesia termasuk Bali membuat semua pihak ekstra waspada. Sebab tak hanya unggas yang bisa kena virus ini. Manusia pun bisa kena. Hanya saja penularannya lewat unggas yang sudah terkena virus ini. Jembrana pun sempat dikagetkan dengan pemberitaan ribuan unggas mati karena flu burung.

Sejak tersiarnya kabar adanya virus flu burung sampai berita ribuan unggas di Jembrana mati pada 2004 itu, pemantauan terhadap peternak makin intensif. Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan melalui Bidang Peternakan turun ke lapangan. Data yang mereka temukan, tidak ada kematian ternak hingga ribuan ekor.

Kalau ada yang mati jumlahnya tak sampai ribuan. Peternakan yang sudah mereka sasar adalah Mitra Abadi Farm (20 ribu ayam petelur), Suwina, peternak di Sebual (3500 ayam petelur), Tantra peternak di Melaya (7000 ayam petelur) dan Adi Adnyana peternak di Negara (2000 ayam petelur).

Mengantisipasi lebih mewabahnya flu burung Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Jembrana mengeluarkan surat edaran no 524.3/140/Nak/PKL/2004 ini tentang wabah penyakit unggas. Surat edaran tersebut menekankan lima hal, yakni semua peternak unggas harus melaporkan tiap ada penyakit dan menutup lokasi peternakan yang sudah tertular.

Selain itu, tidak memberdayakan unggas yang sakit dari peternakan yang sudah tertular, melakukan pemusnahan unggas yang sakit dan mati dengan cara dibakar atau ditanam, terakhir melakukan sanitasi (desinfeksi) terhadap unggas, kandang dan alat ternak lainnya dengan venol, Na/K, dan hipo klorit.

Selain surat edaran, para peternak juga dihimbau melakukan mencegahan di kandang masing-masing. Peternakan terbesar yang ada di Jembrana, Mitra Abadi Farm sampai melakukan isolasi kandang.

''Hal ini kami lakukan agar mereka yang ke luar masuk diperhatikan dan mengurangi penyebaran virus. Kami pun akan membelikan masker untuk tujuh karyawan yang bertugas di kandang,'' papar I Ketut Sudiasa, pemiliki kandang yang terletak di banjar Kebon, kelurahan Baler Bale Agung, Negara ini.

Pada 2004 itu, Kabid Peternakan IGN Sandjaja menambahkan, isolasi kandang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus, seandainya kandang sudah terjangkit virus. ''Mereka yang masuk kandang wajib memakai masker dan melakukan cuci hama,'' tandasnya.

Hal ini dilakukan karena penyebaran virus melalui kontak alat dengan manusia, melalui angin dan makanan. Obat untuk virus ini belum ditemukan, yang ada adalah vaksin.


Gumboro

Sebelumnya, Januari 2004, Pihak Dinas Kesehatan Propinsi Bali bersama Dinas Kesehatan Jembrana dan Bid Peternakan pun sudah melakukan pemantauan di lokasi peternakan milik Sudiasa. Apa yang dilakukan ini untuk mengetahui apakah ada masyarakat sekitar lokasi kandang ayam terkena imbas virus.

Sampai saat itu belum ditemukan adanya orang yang terkena virus flu burung di Jembrana. Komisi B DPRD Jembrana bersama Bid Peternakan direncanakan turun lagi ke lapangan.

Soal kekhawatiran terjangkitnya flu burung juga menghantui para peternak. ''Saya yang tiap hari bergelut dengan ayam juga khawatir. Kalau ada pekerjaan lain saya mau kerja yang lain saja,'' ujar Ketut Winarsa, salah seorang pengelola peternakan ayam pedaging di Banjar Dangin Berawah, Perancak, Negara januari 2004.

Kebetulan kandang ayam yang dimiliki Putu Budiastra ini sedang kosong. Mereka baru saja panen dan belum tahu apakah akan melanjutkan usaha ini sehubungan dengan adanya virus flu burung. ''Melanjutkan atau tidak terserah bos saja. Kalau ternak ayam lagi, ya saya kerja kalau nggak ya nggak apa-apa,'' ujar Winarsa yang didampingi istrinya, Ni Wayan Sutarmi yang sampai 2004 sudah tiga tahun mengelola peternakan ayam milik Budiastra.

Salah seorang adik Sudiasa pun mengakui ada kekhawatiran virus flu burung ini. Walaupun sudah disemprot desinfektan, rasa khawatir juga masih ada. Soal ayam-ayam yang mati, Sudiasa dan Winarsa mengakui ada yang mati, namun jumlahnya tidak sampai ribuan. ''Tiap hari paling-paling ada tiga ekor yang mati. Itu pun langsung kami bakar di dapur khusus,'' papar Sudiasa.

Sementara Winarsa mengatakan dari 5000 ekor ayam pedaging, yang mati dalam waktu 36 hari itu sekitar 300-400 ekor. ''Matinya ayam itu tidak bersamaan, penyebabnya juga bukan virus flu burung tetapi gumboro,'' tandasnya. Soal kebersihan kandang pun dia akui sudah dilakukan dengan baik. Tiap dua hari kandang dibersihkan dan kotoran pun sudah ada yang memesan untuk dijadikan pupuk.


Peneguhan oleh FKH Universitas Udayana

Pada tahun 2004 itu pun terjadi peneguhan tentang adanya kasus AI di Bali. Tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana sudah mengisolasi virus Avian Influenza (AI) pada ayam kampung di Bali.

Kasus yang ditemukan tim ahli FKH Unud tersebut terjadi pada ayam kampung milik seorang peternak di Desa Kerobokan, Kota Madya Denpasar yang pada tanggal 16 Juni 2004 yang menunjukkan gejala tidak mau makan dan minum, bulu kusam, lemah, pucat, inkoordinasi dan kepala menunduk.

Adapun tim dari FKH Unud itu adalah GNK Mahardika, M Sibang, M Suamba, KA Adnyana, NMS Dewi, KA Meidiyanti, dan YA Paulus. Pada kasus yang dilaporkan Jurnal Veteriner FKH Universitas Udayana itu, bedah bangkai ditemukan perdarahan titik atau menyebar di bawah kulit, trakhea dan paru-paru, proventrikulus dan seka tonsil.

Selanjutnya, suspensi material paru-paru, seka-tonsil, dan otak ayam contoh diinjeksikan pada ruang alantois telur ayam bertunas umur 10 hari. Sekitar 20 jam paska injeksi semua embryo telah mati dan mengalami perdarahan seluruh tubuh serta membrannya.

Sumber yang sama menyatakan, aktivitas hemaglutinasi dapat dideteksi dari cairan alantois dengan uji haemaglutinasi (haemagglutination assay/ HA). Aktivitas tersebut dapat dihambat oleh antibodi standar terhadap AI tetapi tidak dapat oleh antibodi terhadap ND dengan menggunakan teknik hambatan hemaglutinasi (haemaglutination inhibition/HI) yang baku.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa agen yang terlibat adalah virus AI. Pengujian dari agen tersebut untuk dijadikan sebagai bibit untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

Ternyata, 3 (tiga) tahun setelah tahun 2004 itu, kini kita mendapati kenyataan berbeda dengan penyebaran virus Avian Influenza, menurut berita Komnas Pengendalian Flu Burung itu, telah menyerang manusia.

Maka berbagai wacana tentang AI di Bali pun kembali bermunculan. Namun hendaknya semua tidak berhenti cuma sampai pada wacana semata. Menjadi tugas kita untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan dalam pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus yang penuh liku-liku ihwal penguasaan konsep tentang ketahanan tubuh ayam ini. (wan/YR/berbagai sumber)

Sekali Lagi: DIAGNOSA YANG TEPAT

Narasumber Infovet bersaksi, masalah kemunculan flu burung di mana-mana, secara diagnostik tidaklah lagi sama seperti gejala-gejala flu burung di awal kasus ini pada tahun 2003-2004. Maka, ketrampilan dan keahlian mendiagnosa dengan diagnosa perbandingan dengan penyakit lain sangatlah penting.

Demikian terungkap pada diskusi Infovet, ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) dan UPPAI (Unit Pengendalian Penyakit Avian Influenza) di Ruang Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian baru-baru ini.

"Penyakit baru menjadi masalah buat peternak kalau menimbulkan kerugian ekonomi. Kalau tidak, bisa diatasi sendiri diam-diam tidak usah ribut," kata Dr Drh Lies Parede dari BBalitvet Bogor dan Drh Hernomoadi Huminto MS dari Laboratorium Patologi FKH IPB.

Langkah-langkah bila ada flok wabah ayam, menurut Dr Lies dan Drh Hernomoadi adalah:

1) Secara diagnosa harus dilihat bedah bangkai yang mengarahkan apakah organ yang dominan terserang.
2) Ditambah dengan pemeriksaan histopatologi, kerusakan menunjukan agen primer penyebab.
3) Ditambah serologi atau isolasi, mengarah pengobatan atau pencegahan.
4) Pencegahan diarahkan untuk ayam periode (siklus) berikut: misalnya biosekuriti, program vaksinasi, monitoring.


Gumboro dan ND

Kasus Gumboro kadang dapat disamarkan oleh ND, namun menurut Drh Brigitta Etik W Technical Service PT Medion, pada kejadian ND yang berlanjut terjadi diare putih kehijauan dan adanya gejala syaraf.


AI dan ND

Menurut narasumber Infovet dalam diskusi dengan UPPAI tersebut, kalau dulu tortikolis selalu identik dengan ND, sekarang Avian Influenza pun bisa mempunyai gejala ini.

Namun menurut ahli penyakit viral dan patolog Dr Lies Parede dan Drh Hernomoadi MS, gejala ND berbeda dengan AI menurut kacamata patolog maupun virolog. Tortikolis milik ND ganas, Pial biru ungu milik AI ganas.

Nah, "Kalau infeksi campuran: ikuti langkah-langkah tadi," saran mereka.


AI dan Gumboro

Kembali menurut narasumber Infovet dalam diskusi dengan UPPAI, bila ada penyakit gumboro yang menyerang, kasus Avian Influenza pun lebih berbahaya!

Dr Drh Rahaju Ernawati dari Laboratorium Virologi FKH Unair Surabaya mengungkap bahwa Gumboro menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena angka morbiditas mendekati 100% dan angka mortalitas 20 - 30%.

"Penyakit IBD pada dasa warga terakhir menular hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1991 penyakit mewabah hampir melumpuhkan seluruh peternakan ayam di Indonesia," katanya.

Masalah diagnosa yang sangat terkait dengan pengetahuan kondisi tubuh ayam yang kekebalannya bisa turun ini tentu saja sangat perlu dipahami. Penyakit infeksius bursal (IBD) atau penyakit Gumboro merupakan penyakit viral akut pada ayam yang menyerang organ sistem kekebalan terutama bursa fabrisius sehingga bersifat imunosupresif.

Dalam mendiagnosa penyakit Gumboro, Drh Brigitta Etik W Technical Service PT Medion menjelaskan dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang lebih tinggi akurasinya, di antaranya adalah pendekatan epidemiologis, klinis patologis, isolasi dan identifikasi.

Secara epidemiologis, penyakit ini susah dibedakan dengan jenis penyakit viral lainnya, karena penampakan dari penyakit ini hampir sama yakni kecenderungan mewabah dan menyerang berbagai jenis ayam terutama ayam dari golongan muda.

Untuk membantu peneguhannya, alumni FKH UGM 1986 ini menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan gejala klinis, sehingga diagnosa penyakit dapat diarahkan.

Kemudian ditambahkan Etik, untuk tindakan isolasi dapat dilakukan secara in vitro dan in vivo dengan menggunakan media biakan sel dan biakan pada telur ayam yang berembrio.

Sementara itu, untuk identifikasi virus Gumboro dapat dilakukan dengan berbagai uji dengan menggunakan mikroskop elektron (EM), diantara uji tersebut adalah Agar Gel Precipitation (AGP), Flourescence Antibody Technique (FAT), Immunopetoxidase, ELISA dan banyak lagi uji lainnya yang dapat membantu peneguhan kasus Gumboro dimaksud.

Masih jelas dalam ingatan kejadian tahun 2006, sedikitnya 500 ekor ayam mati secara mendadak di Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Kematian unggas di lokasi peternakan rakyat itu, diduga terkena penyakit gumboro atau flu burung. Akibatnya, puluhan peternak menjadi panik dalam dua hari terakhir, karena sebelumnya ayam mereka masih sehat, namun tiba-tiba mati.

”Ayam yang mati itu terpaksa dikuburkan massal dalam satu lubang sementara yang masih sehat, ada yang segera disembelih,” ungkap salah seorang warga Bontomarannu Rusli Kadir kepada wartawan, Juni 2006 itu.

Menurutnya, ayam yang mati tersebut umumnya ayam bukan ras (buras) alias ayam kampung. Karena itu, banyak peternak meyakini kalau ayamnya itu mati bukan karena flu burung, melainkan hanya penyakit unggas biasa yang menyerang ayamnya pada saat memasuki musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya.

Untuk memastikan hal tersebut, lanjut Rusli, pihaknya bersama Dinas Peternakan setempat sudah mengirim sampel ayam yang mati ke laboratorium peternakan yang ada di Kabupaten Maros dan ternyata hasilnya memang Gumboro, bukan Flu Burung.

”Kami sangat khawatir jangan sampai flu burung menyerang unggas di Bontomarannu. Tetapi bila diperhatikan gejalanya, kelihatannya sama dengan peristiwa di Bontonompo beberapa waktu lalu dan hasil laboratoriumnya ternyata positif penyakit gumboro,’’ ujar alumnus Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin itu.


Diagnosa yang Tepat

Dengan diagnosa yang tepat maka terbuktikan penyakit apa yang menyerang.

Pengalaman serupa juga dialami Dinas Peternakan Kabupaten Blitar mengindikasikan, puluhan ayam yang mati mendadak di Kelurahan Dandong Srengat pada 2006, akibat serangan penyakit gangguan pernafasan pada unggas yang hampir mirip Flu Burung.

Pada saat itu diungkapkan Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Blitar, Drh. Hermanto Zubaidi, MM, puluhan ayam yang mati mendadak di Kelurahan Dandong Srengat, sementara diindikasikan akibat serangan penyakit gangguan pernafasan pada unggas antara lain Snot atau Coriza, Infectious Laryngo Tracheitis, dan Chronic Respiratory Disease (CRD).

Ciri-ciri yang ditunjukan serupa dengan tanda-tanda yang muncul pada Flu Burung, yakni kepala membiru dan bengkak atau disebut Sianosis. Dugaan ini muncul setelah Dinas Peternakan beberapa kali melakukan uji laboratorium.

Dari hasil sample darah ayam yang diduga terjangkit Flu Burung, tidak menunjukkan adanya titer antibodi. Dengan gamblang Hermanto menjelaskan, ketika unggas terinfeksi Avian Influensa secara alami dalam darahnya akan membentuk antibodi (kekebalan tubuh), jika antibodi tidak ditemukan maka unggas tidak terinfeksi Flu Burung. (YR, Daman Suska, berbagai sumber)

VAKSINASI, REAKSINYA DAN NUKLIR Untuk Ketahanan Tubuh Ternak

Sudah lazim dikenal masyarakat peternakan, agar ayam memiliki daya kebal sehingga terlindung dari serangan penyakit telah dilakukan usaha untuk mengatasi masalah penyakit dengan melakukan vaksinasi pada ayam, baik menggunakan vaksin aktif atau inaktif (killed).

Proses vaksinasi adalah dengan memasukkan agen penyakit yang telah dilemahkan dengan tujuan untuk merangsang pembentukan daya tahan atau kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit tertentu dan aman untuk tidak menimbulkan penyakit.

Demikian Gatut Wahyudi selaku Technical Service CP. Prima, Semarang dalam terbitan oleh Divisi Agro Feed Business Charoen Pokphand guna pelayanan oleh Customer Technical & Development Departement.


Pentingnya Reaksi Post Vaksinasi

“Reaksi yang merugikan terkadang kita jumpai sebagai akibat dari pembentukan respon kekebalan pada tubuh ayam. Reaksi yang ditimbulkan dapat berupa reaksi lokal maupun umum,” katanya.

Menurutnya, reaksi lokal adalah seperti mata berair, bengkak pada daerah muka, ayam menggosokkan mata pada punggungnya, menggoyang-goyangkan kepalanya atau terjadinya kerusakan jaringan pada daerah bekasinjeksi.

Adapun, gejala umum biasanya terjadi demam dan penurunan produksi. Pemberian vaksin ” killed bacterial” dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada bekas injeksi sebagai akibat dari reaksi adjuvant.

Gatut Wahyudi menjelaskan, pembengkakan pada daerah periorbital sering kita jumpai sebagai akibat pemberian killed vaksin coryza.

Encephalitis dan encephalopathy sering kita jumpai sebagai akibat dari reaksi setelah pemberian vaksin ND (R2B) dengan menunjukkan tanda-tanda yang khas seperti torticollis, tremors dan paralysis.

“Reaksi post-vaksin ini dapat terlihat pada hari kedua sampai enam hari setelah pemberian vaksin aktif seperti ND, IB atau IBD,” ungkapnya.

Adapun, lanjutnya, reaksi post-vaksin yang paling utama adalah munculnya penyakit gangguan pernafasan ringan dengan gejala batuk, bersin dan ngorok yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: Reaksi vaksin yang terlalu kuat

Sementara, adanya “rolling reaction” sebagai akibat dari pelaksanaan dan waktu vaksinasi yang kurang tepat, telah terjadi infeksi pada ayam yang tidak memiliki kekebalan.

”Reaksi ini berjalan sangat lambat dan terus-menerus,” tegas Gatut Wahyudi.

Ia pun melanjutkan, vaksin aktif seperti ND dan IB akan menimbulkan kekebalan setelah terjadinya reaksi pada sistim pernafasan. Tanpa timbulnya reaksi pernafasan tersebut kekebalan tidak akan terbentuk.

Pada dasarnya seberapa parah reaksi pernafasan terjadi setelah pelaksanaan vaksinasi tergantung pada:

- Level zat kebal induk. DOC dengan kekebalan induk rendah reaksi post-vaksin akan semakin jelas, tetapi akan memberikan reaksi yang positip untuk membentuk kekebalan aktif.
- Strain vaksin. Semakin kuat strain vaksin yang digunakan, reaksi yang ditimbulkan semakin kuat.
- Umur. Pada umumnya ayam muda akan memberikan reaksi yang lebih kuat.
- Dosis vaksin. Pemberian dosis yang tinggi reaksi semakin jelas.
- Aplikasi vaksin. Vaksin lewat air minum dan tetes mata reaksi yang ditimbulkan lebih lemah dibandingkan cara spray.
- Terjadinya infeksi E coli dan Mycoplasma gallisepticum.
- Kelembaban udara yang terlalu rendah.
- Adanya faktor immunosupresi. Faktor stres akan memberikan reaksi yang lebih hebat.
- Level immune yang rendah sebagai akibat jarak vaksin aktif yang terlalu jauh.
- Pelaksanaan vaksin yang ceroboh, sehingga ada beberapa ayam yang tidak tervaksin.
- Pelaksanaan vaksin aktif pada flok dengan banyak umur.
- Level amonia dan debu yangtinggi.
- Populasi kandang terlalu padat
- Kualitas liiter yang jelek.

Gatut wahyudi pun menuturkan berdasar penelitian yang dilakukan oleh Dr Avinsh Dhawale dari Diamond Hatcheries India, untuk mencari hubungan antara reaksi post-vaksin terhadap produksi ayam breeder, dapat disimpulkan bahwa :

- Perlunya mengetahui lebih dahulu level antibodi sebelum melakukan revaksinasi
- Vaksin aktif dan inaktif hendaknya diberikan secara terpisah
- Perlunya pemberian antibiotik jika terjadi infeksi mycoplasma
Dengan memperhatikan faktor apa saja yang dapat menimbulkan reaksi post-vaksinasi, kerugian yang ditimbulkannya dapat dikurangi serendah mungkin.
Gatut Wahyudi pun memberi tips beberapa tindakan untuk mengurangi reaksi post-vaksin, yaitu:
- Lakukan sterilisasi pada alat injeksi
- Jangan melakukan vaksin pada ayam yang menunjukkan gejala klinis,lemah atau dalam kondisi stres.
- Gunakan vaksin yang berkualitas baik
- Pilih DOC yang berkualitas baik.
- Kontrol populasi mycoplasma dengan menggunakan program dan preparat antibiotik.
- Lakukan penyimpanan vaksin secara benar
- Hindari kontaminsai oleh agen penyakit lainnya
- Perhatikan tanggal kadaluarsa vaksin dan diluentnya.
- Gunakan vaksin IBD strain hot hanya pada daerah yang rawan outbreakIBD.
- Pilih strain vaksin yang tepat (mild vaksin).
- Perhatikan petunjuk pelaksanaan yang ada pada setiap kemasan
- Lakukan program biosecurity


Nuklir untuk Ketahanan Tubuh Ternak

Adapun menurut Irawan Sugoro selaku Pusat Penelitian dan Pengembangan Isotop dan Radioisotop (P3TIR Badan Tenaga Nuklir Nasional) pada sebuah sumber informasi P3TIR BATAN, definisi vaksin adalah suatu suspensi mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit tetapi telah dimodifikasi dengan cara mematikan atau menatenuasi sehingga tidak akan menimbulkan penyakit dan dapat merangsang pembentukan kekebalan/antibodi bila diinokulasikan.

Terkait dengan vaksinasi ini, Irawan Sugoro mengungkapkan, BATAN sudah melakukan pemanfaatan teknik nuklir radiasi yang dilakukan di bidang peternakan terutama di sub bidang kesehatan ternak, yaitu untuk melemahkan patogenisitas penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus dan cacing.

„Litbang pemanfaatan radiasi telah menghasilkan radiovaksin, reagen diagnostik, dan pengawetan,“ katanya.

Menurutnya, radiovaksin adalah teknik pembuatan vaksin dengan cara iradiasi. Pembuatan radiovaksin memiliki keunggulan dibandingkan dengan cara konvensional, yaitu mempercepat proses pembuatan vaksin dengan memperpendek waktu pasasel.

„Selain itu, radiovaksin yang diproduksi memiliki kualitas yang sama dengan vaksin buatan secara konvensional,“ tambah Irawan Sugoro.

Ia menjelaskan, sumber radiasi yang digunakan untuk pembuatan radiovaksin adalah sinar gama yang digunakan untuk menurunkan infektivitas, virulensi, dan patogenitas agen penyakit, tetapi diharapkan mampu merangsang timbulnya kekebalan pada tubuh terhadap infeksi penyakit.

Salah satu hasil penelitian yang telah menjadi produk adalah vaksin koksivet untuk penyakit Coccidiosis, yaitu penyakit yang disebabkan oleh protozoa Emeria Sp pada usus yang mengakibatkan berak darah.

Ookista generasi 1 diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis optimum 125 Gy dan diinokulasikan ke ayam sehingga diperoleh ookista generasi II yang lemah sifat infektivitas dan patogenitasnya. Selanjutnya, ookista dari generasi II tersebutlah yang dijadikan vaksin. Vaksin ini diinokulasikan ke ayam berumur 7-10 hari sehingga ayam memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut.

Sedangkan pada ternak besar, penelitian yang dilakukan saat ini adalah upaya pengembangan vaksin terhadap penyakit ternak, seperti brucellosis dan mastitis. Selain penelitian radiovaksin penyakit ternak yang berasal dari mikroorganisme, dilakukan pula penelitian radiovaksin penyakit ternak yang berasal dari cacing, seperti Coccidiosis, Fasciolosis, dan Haemonchosis. (Infovet/ berbagai sumber)

GUMBORO, VAKSIN DAN KEKEBALAN

“Apakah ada vaksin (maksudnya: Vaksin Gumboro) yang tangguh menjadi benteng sebenarnya?” ujar Durrahman, seorang peternak ayam potong di kawasan pegunungan seribu Wonosari Yogyakarta.

Memang cukup beralasan keluhan yang bernada pertanyaan itu disampaikan Durrahman itu kepada Infovet yang ditemui di kandangnya yang relatif besar. Lokasi kandang sebenarnya cukup panas karena pepohonan meranggas di mana daun-daun pohon besar yang biasa melindungi itu rontok jika memasuki awal musim kemarau.

Sebenarnya lokasi kandang itu berada di kawasan yang kurang ideal, sekadar untuk tidak mengatakan tidak memenuhi persyaratan bagi pertumbuhan ayam potong. Aspek suhu lingkungan yang panas dan juga volume cadangan air sangat terbatas bagi usaha peternakan adalah contohnya.

Namun demikian kondisi yang sangat minimalis itu tetap tidak menyurutkan niat dan tekad Durrahman untuk berusaha menekuni usaha itu. Meski baru berjalan sekitar 3-4 tahun, namun jika dilihat dari perkembangan tingkat kesejahteraan keluarganya, maka Durrahman termasuk cukup berhasil.

“Saya mencoba menentang arus dan melawan sebagian besar pendapat para praktisi perunggasan bahwa kawasan usaha saya tidak cocok sebagai tempat beternak ayam potong,” tuturnya.

Mantan pekerja kandang ayam di Bogor yang kembali ke desanya itu mencoba usaha itu di desanya oleh karena aset yang dimiliki dan ketrampilan hanya itu.

Selepas dari Bogor meneguhkan minat dan tekadnya untuk menjadi peternak mandiri skala kecil-kecilan.

Oleh karena lokasi tempat tinggalnya yang merupakan aset utama berada di pegunungan gersang setiap kali musim kemarau menjelang, dicoba untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin.

Ketika ditanyakan kendala dan hambatan untuk mengembangkan lebih besar usahanya disamping kesulitan mendapatkan lahan yang luas dan jauh dari pemukiman penduduk juga karena ada salah satu penyakit yang selama ini masih dianggap sulit diantisipasi dan dihadapi. Penyakit itu adalah Gumboro.

Menurutnya program kesehatan seperti vaksinasi sebagaimana disyaratkan telah dilakukan dengan ketat. Oleh karena itu Durrahman mencoba menantang para pemasar vaksin untuk berani memberikan jaminan bebas gangguan selama pemeliharaan, ternyata tidak ada yang berani.

“Apakah ada vaksin (maksudnya: Vaksin Gumboro) yang tangguh menjadi benteng sebenarnya,” ujar Durrahman kepada Infovet mengulangi tantangannya setiap bertemu dengan para tenaga kesehatan lapangan.

Dan, hampir tidak ada yang berani memberikan jaminan, umumnya saran dan nasehat, nyaris seperti nasehat juragannya dahulu waktu di Bogor kepada dirinya dan pekerja kandang agar menjaga kebersihan dan terus melakukan penyemprotan.

Terkadang, lanjut Durrahman, ia mengambil sebuah kesimpulan akhir bahwa penyakit ayam sudah seperti bagian tak terpisahkan dari usaha perunggasan. Sebab atas dasar pengalamannya sebagai anak kandang hampir pasti ada gagguan penyakit dari yang ringan sampai yang ‘ganas’.

Menurutnya belum pernah sekalipun dalam satu periode yang mulus dan lolos dari sergapan penyakit.

Khusus penyakit Gumboro, memang termasuk momok dan membuat pengelola senam jantung. Sebab terkadang, menerjang ketika usia masih belum layak panen, tetapi juga paling sering ketika sudah mendekati usia panen.

“Pertumbuhan dan performans ayam sangat bagus juga harga pasar yang sedang tinggi... eee Gumboro muncul. Seolah seperti terbangun dari tidur ketika sedang mimpi indah.” ujarnya seolah menceritakan harapan yang musnah seketika.

Selama ini Durrahman mengatasi kasus Gumboro ketika usia masih awal atau muda hanya dengan pemberian air gula atau sorbitol dan parasetamol (zat aktif penurun panas) dan semprot kandang secara teruis menerus.

Pengalamannya cara itu memang tidak bisa mengatasi dengan sempurna namun mampu menekan angka kerugian yang mungkin akan jauh lebih besar jika di revaksinasi.

“Pemberian air minum yang mengandung zat manis-manis mampu menekan kematian dan munculnya kerdil sampai 30%. Selama saya menjadi anak kandang cara dan metoda itu setidaknya masih yang terbaik” tuturnya.

Kembali ia bertanya ke Infovet, apakah ada cara lain lagi selain vaksinasi yang ternyata tidak bisa menjamin 80% sakalipun apalagi 100% bisa terbebas dari gangguan penyakit Gumboro.

Bahkan yang paling memprihatinkan jika penyakit ini muncul seolah penyakit lain antri untuk ikut melemahkan ayam, sehingga tidak heran jika para peternak termasuk dirinya begitu traumatis dengan Gumboro.

Meskipun traumatis namun oleh karena kenyataan itu harus dihadapi maka setiap peternak, menurut Durrahman pasti mencoba mencari solusi sendiri atas dasar pengalaman dan improvisasi lapangan.

Seperti caranya selama ini, masih dianggap solusi terbaiknya. Pertanyaannya apakah ada pengalaman peternak lain yang lebih sukses dan mulus menghadapi Gumboro?


Kekebalan Broiler

Untuk menjawab pertanyaan dan kegelisahan peternak ini, kita mesti memahami ihwal kekebalan ternak ayam.

Sama dengan tubuh manusia, tubuh hewan juga rentan dengan gangguan bibit penyakit. Artinya diperlukan juga sistem imun yang kuat untuk menangkal berjangkitnya bibit penyakit pada tubuh ternak tersebut.

“Fungsi sistem imun sangat penting untuk kesehatan ternak terutama ayam broiler yang mempunyai batasan umur pemeliharaan,” Akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau drh Jully Handoko mengatakan.

Dikatakan alumnus Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, tujuan dari pemeliharaan ayam broiler adalah pencapaian berat badan yang optimal dengan penerapan tatalaksana pemeliharaan yang maksimal.

Berat badan ayam broiler yang optimal hanya didapat bila ternak sehat dan tidak ada gangguan bibit penyakit, artinya peternak harus mengesampingkan atau memangkas ancaman bibit penyakit yang akan menggerogoti ayam broiler peliharaannya tersebut.

Jully mengatakan pada kasus Gumboro, pada Gumboro bentuk dini akan merusak sistem kekebalan ayam secara masif. Kerusakan ini tidak akan sembuh kembali, akibatnya akan terjadi imunosupresi yang permanen pada ayam dimaksud. “Dan inilah awal kerugian yang sebenarnya pada peternak ayam broiler,” tegas Jully.

Senada dengan Jully, Drh Budi alumni FKH UGM angkatan 1980 menambahkan, imunosupresi yang dipicu oleh Gumboro juga dapat menyebabkan ayam lebih muda atau rentan terinfeksi oleh pelbagai penyakit lain dan parahnya lagi adalah tidak responnya sistem kebal yang dimiliki ayam terhadap vaksinasi untuk jenis penyakit lainnya.


Bursa Fabrisius

Sistem kebal ayam dan ternak lain merupakan sistem yang sangat komplek. Pada ayam, ada dua organ tubuh yang berhubungan dengan sistem kebal, yakni bursa dan timus.

Bursa sebagian besar berisi sel B yang berperan dalam memproduksi antibodi humoral atau yang bersikulasi, sedang timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi.

Pada masa embrio, kedua sistem ini diprogramkan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap penyakit, artinya kekebalan yang didapat sebagai akibat pernah menderita penyakit infeksi atau karena inokulasi dengan bahan-bahan penyebab penyakit yang telah diubah bentuknya.

Di samping itu, virus penyakit Gumboro tidak hanya menyerang bursa, yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kemampuan produksi antibodi humoral, tapi juga dapat menyerang timus yang akan menghancurkan kekebalan berperantara sel.

Bila infeksi terjadi sebelum ayam berumur 3 minggu maka kerusakan akibatnya bersifat permanen, sedang bila infeksi terjadi setelah ayam berumur 3 minggu, kerusakan tersebut tampaknya bersifat sementara dan sistem kebal ayam yang sembuh kembali akan berfungsi lagi dalam waktu 2-3 minggu pasca infeksi.


Antibodi Maternal

Lalu bagaimana mengatasi infeksi pada anak ayam, kembali drh Jully Handoko menegaskan bahwa anak ayam telah memperoleh antibodi pasif yang didapat dari induknya melalui kuning telur (antibodi maternal), ini dapat dilakukan dengan cara mengusahakan tingkat antibodi humoral tetap tinggi pada ayam induk atau parent stock.

Hal ini sangat efektif dalam mencegah dan melindungi anak ayam dari infeksi. “Pihak breeder tetap memegang peran penting dalam memangkas munculnya kasus-kasus penyakit akibat imunosupresi,” imbau akademisi Fapertapet UIN Suska ini.

Di samping itu, antibodi maternal tidak hanya melindungi anak ayam terhadap infeksi, tetapi juga akan menghalangi pembentukan antibodi aktif terhadap IBD.

Telah diketahui bahwa waktu paruh antibodi maternal IBD berkisar 3-4 hari, dan ayam yang memiliki antibodi maternal dengan titer yang tinggi, maka tingkat antibodi maternalnya akan berkurang jauh lebih cepat bila dibanding dengan ayam yang mempunyai titer antibodi maternal rendah.


Tindakan Pencegahan

Lalu, apa yang harus dilakukan peternak untuk mencegah infeksi Gumboro penyakit yang menurunkan kekebalan tubuh ayam ini?

Merujuk pada konsep lapang dari pengalaman peternak, drh Budi menuturkan bahwa ada 3 cara tindakan preventif infeksi dini virus Gumboro yang dapat dilakukan peternak yaitu”

1) Mencegah ayam kontak dengan virus Gumboro,
2) Memberi vaksin pada ayam induk sehingga anak ayam memperoleh perlindungan melalui antibodi maternal, dan
3) Memberi vaksin pada anak ayam dengan jenis vaksin Gumboro aktif yang non virulen.

Berulangnya kasus Gumboro di tingkat peternak lebih disebabkan oleh faktor ekonomis. Maksudnya adalah pada ayam broiler seyogyanya vaksinasi Gumboro dilakukan dua kali, namun mengingat biaya yang dikeluarkan peternak cukup tinggi, maka peternak hanya melakukannya sekali selama periode pemeliharaan.

Hal ini berdampak negatif, di mana Gumboro akan menimbulkan serangannya pada saat-saat mendekati panen. “Inilah yang perlu diwaspadai peternak,” tegas Budi yang juga menghimbau, di samping Gumboro, peternak juga mesti tetap waspada terhadap jenis penyakit lain yang juga dapat menurunkan imunitas ayam. Penyakit tersebut adalah CRD dan Koksidiosis.


Eliminir Faktor Pemicu

Sementara itu M Hadie peternak broiler di Panam pinggiran Kota Pekanbaru mengatakan bahwa dalam penanganan Gumboro diperlukan perhatian serius terhadap faktor-faktor pemicu berjangkitnya penyakit tersebut.

Lebih lanjut dikatakannya, faktor kepadatan kandang saat minggu pertama pemeliharaan perlu diperhatikan, hal ini terkait dengan tingkat stres ayam dan ini disinyalir sebagai awal petaka menurunnya daya tahan tubuh ayam dimaksud.

Sedang menurut drh Rondang Nayati MM Kasubdin Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau lebih menganjurkan pada keseimbangan gizi makanan yang dikonsumsi ayam baik broiler maupun layer.

Hal ini cukup mendasar, karena bila ayam cukup makanan dengan gizi yang baik maka ayam mampu bertahan dari serangan penyakit. Terkait penggunaan obat-obatan hewan, istri mantan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Riau ini menegaskan harus diberikan secara hati-hati, karena ini menyangkut keamanan konsumen (food safety).


Vaksinasi dan Kekebalan

Kekebalan yang dibentuk oleh tubuh ayam ada dua yaitu kekebalan humoral atau menyeluruh, di mana zat kebal ada dalam aliran darah dan kekebalan lokal dengan zat kebal terdapat pada bagian tubuh yang pernah diserang penyakit.

Demikian Drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Kota Pekanbaru seraya melanjutkan, kekebalan lokal dapat merupakan senjata untuk menghadapi serangan bibit penyakit. Tapi, kemampuannya hanya dapat membunuh bibit penyakit ditempat di mana ada zat kebal, misalnya di saluran pernafasan, maka infeksi tidak terjadi pada saluran pernafasan tersebut.

Sementara, pada bagian tubuh yang lain yang tidak terdapat zat kebal, memungkinkan terpapar bibit penyakit. “Inilah bedanya dengan kekebalan humoral yang dapat menangkis serangan bibit penyakit di lokasi tubuh yang manapun,” jelas alumni pasca sarjana UNRI ini.

Vaksin merupakan mikroorganisme bibit penyakit yang telah dilemahkan virulensinya atau dimatikan dan apabila diberikan pada ternak tidak menimbulkan penyakit melainkan dapat merangsang pembentukan zat kebal yang sesuai dengan jenis vaksinnya.

Sedang vaksinasi merupakan tindakan memasukkan vaksin ke dalam tubuh ternak dan merupakan suatu usaha dengan tujuan melindungi ternak terhadap serangan penyakit tertentu.

Bagi peternak, vaksinasi sudah merupakan kegiatan rutin dalam usaha peternakannya.

Lebih lanjut dipaparkannya bahwa vaksinasi yang dilakukan peternak dengan cara tetes mata, tetes hidung, air minum dan spray akan merangsang badan ayam untuk membentuk kekebalan lokal, sedangkan pelaksanaan vaksinasi dengan injeksi atau suntikan akan merangsang pembentukan kekebalan humoral atau menyeluruh.

Pada anak ayam, aplikasi vaksinasi biasanya dengan cara tetes mata atau tetes hidung, dan kadang-kadang pemberiannya melalui suntikan bila yang jenis vaksinnya inaktif. Vaksinasi melalui air minum tidak bisa dilakukan, karena anak ayam umur 1-4 hari minumnya masih sedikit dan tidak teratur.

Pada ayam dewasa, aplikasi vaksinasi biasanya dengan tetes mata, tetes hidung, air minum dan suntikan. “Hanya melalui suntikan yang dapat memberi jaminan ketepatan dosis vaksin yang diberikan pada ayam,” pungkas Firdaus.

Anda tentu punya penagalaman yang dapat disarikan untuk sebuah langkah sukses mengatasi penyakit kekebalan tubuh ayam ini. Informasi di atas tentu dapat menjadi sebuah bandingan untuk langkah pasti dan semakin pasti! (Daman Suska, iyo)

SECUIL IHWAL GEN UNTUK KETAHANAN TERNAK BEBAS AI

Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik.

Demikian sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tentang budidaya peternakan.

Dituturkan, ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur.

Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat.

Menurut sumber di Menegristek itu, persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul. Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan.

Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia.

Ayam liar ini kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni).

Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan.

Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya. Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya.

Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula.

Di sinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja.

Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam petelur. Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul.

Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan ayam ras.

“Hanya kemampuan genetis (gen)-nya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika,“ tegas sumber Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tentang budidaya peternakan itu.


Genetis Tahan AI

Menurut Cahyo Budiman SPt, Peneliti dan Dosen di Fakultas Peternakan IPB Bogor Jawa Barat, sejatinya karakteristik suatu individu tidak lepas dari pengaruh gen, sang pengendali sifat yang selalu diturunkan dari tetua ke anaknya.

”Seperti halnya teori probabilitas dalam statistika, maka sejatinya setiap individu punya dua pilihan untuk memiliki suatu karakteristik tertentu : Ya dan tidak,” katanya.

Dalam konteks kekebalan terhadap penyakit, maka ada dua pilihan bagi sang individu, yaitu: dia kebal terhadap penyakit tersebut (peluang pertama) atau tidak kebal (peluang kedua).

Menurut sumber yang dapat dipercaya, Cahyo Budiman mengatakan, ”Karakteristik ini (sekali lagi) dikendalikan oleh gen dalam tubuh individu tersebut.”

Ia pun menyoroti, dalam kasus penyakit flu, ada fenomena menarik dari serangkaian penelitian terdahulu mengenai karakteristik individu terhadap penyakit ini.

Menurutnya, penelitian menunjukkan bahwa kekebalan terhadap penyakit influenza dikendalikan oleh suatu gen yang disebut dengan gen Mx.

”Pertama kali fenomena ini saya dengar ketika mengikuti seminar Prof. Yoshizae Meada, seorang guru besar dari Kagoshima University, Jepang. Beliau intens meneliti mengenai karakteristik genetik pada berbagai ayam lokal di wilayah Asia,” katanya.

Diuraikan, gen ini akan mengkode dua kemungkinan karakter ayam (kebal dan tidak kebal) melalui dua alelnya, yakni Mx+ dan Mx-.

Keberadaan Mx+ akan menyebabkan sang individu mampu meproduksi protein Mx. Protein ini pada tahap selanjutnya berperan dalam pemblokiran replikasi virus AI dalam nukleus.

Alhasil, katanya, sang virus akan ‘mandul’ alias tidak mampu berkembang biak. Sebaliknya, keberadaan alel Mx- akan tidak akan mampu memproduksi protein Mx, sehingga virus AI dalam sel akan tetap berkembang biak dan melakukan aktivitas yang merusak sistem tubuh sang ayam.

”Inilah yang menjadi penyebab ambruknya ribuan ayam akibat penyakit AI,” kata Cahyo Budiman.

Ia pun menuturkan, meski di awal keberadaan gen Mx ini dideteksi pada mencit, akan tetapi penelitian-penelitian berikutnya menunjukkan bahwa hampir semua organisme memiliki gen tersebut, termasuk yeast. Tentu saja dengan frekuensi gen yang berbeda-beda.

Di kelompok unggas, gen ini pertama kali ditemukan di kelompok itik. Dimungkinkan karena frekuensinya yang tinggi, maka tidak heran banyak sekali itik yang tahan terhadap serangan virus AI ini.

Penelitian selanjutnya, gen ini juga ditemukan pada kelompok ayam. Hasil penelitian Prof. Maeda di berbagai negara Asia menguatkan hal tersebut. Dan ini merupakan titik cerah bagi mimpi kita untuk menciptakan ayam ‘kebal’ tersebut.

Singkatnya, keberadaan gen Mx dalam ayam dimungkinkan dalam dua kondisi, yakni dengan alel Mx+ dan Mx-. Kehadiran Mx- akan menyebabkan ayam rentan terhadap serangan virus AI.

Sebaliknya, Mx+ akan membuat ayam resisten terhadap penyakit tersebut. Dari sini, maka strategi pengembangan ayam yang kebal terhadap flu burung bisa dilakukan dengan menseleksi ayam yang memiliki Mx+.

”Dengan mengembangkan bibit ayam dalam kondisi Mx+ homozigot baik jantan maupun betina, maka dipastikan keturunannya pun akan berada dalam kondisi yang sama. Disinilah generasi ayam kampung kita yang kebal terhadap penyakit flu burung mulai terbentuk,” tutur Cahyo Budiman. (Infovet/ berbagai sumber)

Berputar-putar Soal Ketahanan Tubuh Ayam:Penyakit Avian Influenza Syarat Beban Kepentingan

Pembahasan tentang penyakit imunosupresif tak lepas dari peran AI yang sifatnya juga menekan kekebalan. Karena sekali saja penyakit imunosupresif ini masuk maka dipastikan membuka peluang penyakit lain untuk nimbrung dan bercokol dalam tubuh ayam hingga produksi anjlok dan menyebabkan kematian.

Ada yang menarik dari temuan Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, bahwa ada kasus unik di peternakan di daerah Jawa Tengah. Dari temuannya, Andi mendapatkan hasil PCR sejumlah sampel darah ayam petelur diketahui positif terkena AI meskipun semuanya telah divaksin AI. Anehnya seluruh ayam tersebut dari hasil rapid test kit tidak ada yang positif alias negatif AI.

Problem utama farm tersebut ditunjukkan dengan produksi telur yang hancur dari rata-rata 93% hingga tinggal 30%. Akhirnya terjadi adu pendapat pemilik peternakan yang berpegang pada hasil rapid test dengan hasil uji lab PCR yang dibawa Andi yang jelas menunjukkan ayam terserang AI subklinis.

Pertanyaannya mungkinkah vaksin AI yang selama ini digunakan sudah tidak cocok lagi dengan virus yang ada di lapangan? Haruskah rapid test kit yang sekarang menjadi andalan screening test di lapangan dievaluasi kembali?

Karena dari contoh kasus ini program vaksinasi AI jelas jebol. Apalagi diketahui bahwa peternakan tersebut menggunakan vaksin AI strain selain H5N1. Semua itu diungkapkan Drh Andi Wijanarko disela pertemuan UPPAI dengan ASOHI, Senin (20/8).

Hadir pada pertemuan itu diantaranya dari UPPAI adalah Drh Elly Sawitri, Drh Mastur Aini, dan Drh Memed Zoelkarnaen Hassan. Sementara dari ASOHI antara lain Drh Rakhmat Nuriyanto, Drh Andi Wijanarko, dan Drh Mulyati Sutandi. Infovet pun hadir berdasarkan undangan khusus.

Vaksin Legal Jebol Vaksin Ilegal Nongol

“Kondisi riil di lapangan, karena vaksin legal (yang diizinkan Pemerintah) dari subtipe H5N1, H5N2 dan H5N9 banyak yang jebol membuat peternak mencari jalannya sendiri-sendiri dengan cara menggunakan vaksin ilegal. Dengan cara coba-coba mereka menggunakan vaksin-vaksin ilegal tersebut.

Salah satu contoh yang dikemukakan Andi ada yang berasal dari Cina dengan subtipe yang tidak jelas. Sebagai contoh ditemukan dilabelnya tertulis subtipe H5N1 dan H9N2 namun isinya tidak jelas karena tidak teregistrasi dan tidak melalui pengujian di BBPMSOH.

Lebih jauh, kata Andi, begitu dengan vaksin ilegal tidak ditemukan masalah dikandang (produksi anteng), peternak merasa cocok dan akhirnya informasi ini disebarluaskan ke rekan-rekan peternak yang lain, karena biasanya mereka beternak secara kelompok.

Dari pengamatan Andi, sekarang peternak lebih banyak menggunakan vaksin ilegal daripada yang legal. Sebagai contoh di daerah Jawa Tengah, penggunaan vaksin ilegal tersebut hampir merata di wilayah Semarang, Boyolali dan Salatiga. Mayoritas penggunanya adalah peternak petelur karena broiler tidak divaksin AI. Hal ini pun dibenarkan Drh Rakhmat Nuriyanto (PT Pyridam) dan Drh Mulyati Sutandi (PT Romindo Primavetcom).

Menjawab pertanyaan Drh Mastur Aini (UPPAI) apakah vaksin ini didatangkan dalam jumlah besar? Andi menjawab, dilihat dari jumlahnya yang besar dan cakupan wilayah sebarannya yang luas bisa dikategorikan penyelundupan vaksin ilegal ini berskala besar. Disinilah tugas Departemen Pertanian bersama Badan Karantina untuk mengevaluasi sistem pengawasannya.

Kondisi ini tentu bisa mengacaukan program vaksinasi nasional dan membahayakan karena semakin memperbesar peluang terbentuknya varian virus AI baru yang lebih berbahaya.


Ketegasan Pemerintah

Menurut Andi di sinilah dibutuhkan ketegasan pemerintah tentang jenis vaksin AI yang boleh digunakan di Indonesia. Apakah itu homolog atau heterolog? Karena diketahui per 7 Oktober 2007 nanti Pemerintah telah menetapkan tidak akan lagi merekomendasikan penggunaan vaksin jenis H5N1 dengan alasan faktor keamanan bagi ternak dan manusianya sesuai dengan rekomendasi OIE.

Meskipun begitu sikap Pemerintah dinilai masih mengambang karena hasil Rapat Nasional tentang Vaksinasi AI di Indonesia yang beberapa waktu lalu digelar 11-12 Juni lalu dengan menghadirkan pakar vaksin AI dari dalam dan luar negeri belum juga menghasilkan rekomendasi yang bisa digunakan untuk menentukan kebijakan jenis vaksin dan strategi lanjutan apa yang akan digunakan ke depan.

Sementara hingga berita ini diturunkan (21/8), dipastikan oleh Drh Elly Sawitri Koordinator UPPAI baru pada minggu keempat di bulan Agustus lalu dilakukan pertemuan untuk memastikan langkah ke depan oleh pakar dari UPPAI dan Komisi Ahli.


Master Seed, Standar Uji, dan Akreditasi Lab

Ibarat setali tiga uang dengan vaksin, master seed serta standar uji dan diagnosa laboratorium yang ada juga masih tumpang tindih. ASOHI juga telah memberikan masukan tentang hal ini ditambah dengan upaya untuk meningkatkan kualitas dan akreditasi laboratorium daerah untuk pengujian sampel AI. Demikian diungkapkan Drh Rakhmat Nuriyanto.

Drh Andi Wijanarko menuturkan, “Dilematisnya saat ini kita disarankan menggunakan vaksin selain H5N1 tetapi antigennya tidak diperkenankan datang. Kalaupun boleh datang harus teregristrasi dulu seperti layaknya mendatangkan vaksinnya. Sehingga yang ada kini dilapangan bila vaksinnya H5N2 atau H5N9 diujinya menggunakan antigen H5N1. Hasilnya tentu kita tidak bisa mendeteksi hasil vaksin dari H5N2 tersebut.”

Sementara Drh Mastur Aini menengahi, sifat virus AI yang cepat berubah menuntut dilakukannya uji tantang terhadap vaksin yang beredar saat ini. Hal itu dilakukan untuk memastikan vaksin yang digunakan masih berpotensi menangkal AI atau tidak. Diharapkan dengan rampungnya pembangunan laboratorium BSL 3 yang ada di Balitvet di akhir tahun 2007 ini hal itu bisa dilaksanakan.

Menurut Drh Elly Sawitri, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas dan standar laboratorium daerah untuk pengujian sampel AI. Di antaranya dengan pelatihan sumber daya dan bantuan infrastruktur dari pemerintah Cina berupa 5 unit mesin RT-PCR yang akan digunakan untuk laboratorium pemerintah tipe B.

“Bantuan ini dimanfaatkan untuk memperkuat jejaring lab dalam pengujian vaksin dan virus AI. Jejaring Lab ini rencananya juga akan mengikutkan laboratorium yang dimiliki universitas,” kata Elly.

Selain penguatan infrastruktur, metode standar pengujian vaksin di setiap lab juga harus diseragamkan. Karena kenyataan dari pengalaman Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, dengan vaksin yang sama di uji di lab milik pemerintah yang berbeda justru menunjukkan hasil yang berbeda.

Apalagi setelah diuji di laboratorium swasta hasilnya semakin tidak karuan karena jauh berbeda dengan hasil sebelumnya. Kondisi ini tentu membingungkan terlebih karena hasil uji pertama dari vaksin tersebut menggunakan laboratorium rujukan milik pemerintah. Disinilah perlunya setiap laboratorium pengujian itu diakreditasi agar hasilnya nanti sesuai dengan standar yang berlaku.


Pergeseran Gejala AI

Drh Andi Wijanarko menuturkan, “Saat ini untuk diagnosis AI telah mengalami pergeseran. Ayam yang terserang AI tidak lagi menunjukkan gejala jengger ungu dan perdarahan di organ dalam. Namun kini gejalanya lebih mirip ke Newcastle Disease (ND) yaitu timbulnya tortikolis yaitu kepala melintir ke belakang selama beberapa hari dan kemudian mati. Sementara ayam yang menunjukkan gejala tersebut setelah divaksin ND tetap tidak ada respon.”

Andi melanjutkan, ada juga yang menunjukkan gejala seperti Gumboro, namun setelah diberi air gula malah yang mati tambah banyak. Setelah diambil sampel darah dan uji PCR ternyata positif AI. Sehingga peneguhan diagnosa dilapangan sudah sepatutnya disesuaikan karena tak selamanya tortikolis menunjukkan ND tetapi bisa juga AI. Atau yang lebih parah ND merupakan infeksi sekunder atau sebaliknya mengingat baik ND atau AI merupakan penyakit yang menekan kekebalan alias imunosupresi. Menurut Andi kasus ini banyak ditemukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan temuan ini bisa dimanfaatkan TS-TS (technical services) lain untuk lebih mengenal diagnosa AI.

Seperti diulas di awal tadi, meskipun baru hanya satu contoh kasus sudah selayaknya penggunaan rapid test yang direkomendasikan pemerintah perlu dievaluasi lagi. “Pemerintah juga rencananya akan menggunakan metode cepat lain untuk screening test selain menggunakan rapid test yang kini telah beredar dimasyarakat. Yaitu menggunakan test kit lain yang lebih murah dan mudah semacam pengujian dengan kertas lakmus tertentu,” ungkap Drh Mastur Aini yang dibenarkan Drh Elly Sawitri.

Hal ini terpaksa dilakukan karena peneguhan diagnosa dengan isolasi itu relatif mahal, untuk satu sampel pengujian dengan PCR dipatok harga Rp 350 ribu di pasaran.


Menunggu Kepastian dari Pemerintah

Pelaku industri obat hewan baik yang punya vaksin AI atau pun tidak menunggu sudah pasti menunggu kejelasan pemerintah tentang master seed yang akan digunakan. Karena ketidakjelasan ini akan menyulut perdebatan antar produsen berbagai penyakit terlebih setelah peneguhan diagnosa dengan visual tidak bisa lagi diandalkan karena gejala AI yang hampir mirip dengan penyakit lainnya seperti ND dan Gumboro.

TS pun sering memanfaatkan kondisi ini untuk mendongkrak penjualannya obat, vitamin atau vaksinnya. Misalnya mengkaitkan dengan kandungan aflatoksin di pakan atau kualitas bibit yang jelek.

Ada kasus lain yang menarik seperti dicontohkan Drh Andi Wijanarko. Ada satu peternakan di daerah Blitar yang tidak pernah melakukan vaksinasi AI sementara farm tetangganya bolak-balik terkena AI. Padahal biosekuriti yang diterapkan peternakan tersebut terkesan seadanya. Begitu dicoba diambil titernya ternyata zero AI dan memang bersih dari AI. Ini yang membuat Andi geleng-geleng kepala.

Dari penuturan si empunya farm dia mendapat bantuan dari pembimbing spiritualnya yaitu seorang Kyai yang disegani sehingga usahanya bebas dari penyakit AI, boleh percaya boleh tidak tapi memang begitu kenyatannya.

Ini menarik minat Drh Mastur Aini untuk mempelajari epidemiologi wilayah tersebut karena secara teoritis hal itu mustahil kecuali memang kalau diwilayah itu tidak ditemukan vektor yang bisa membawa virus tersebut berpindah tempat.


Kontroversi Vaksin AI Tetes

Sementara itu narasumber Infovet dalam suatu waktu mempertanyakan kepada pemerintah tentang penggunaan vaksin AI killed yang aplikasinya melalui tetes mata. Apakah vaksin tersebut masih riset atau sudah untuk diperjualbelikan? Karena di pasaran ada oknum yang memasarkan program vaksinasi ini

Mengkonfirmasi temuan tersebut pada pertemuan dengan UPPAI di atas, Mastur dari UPPAI menjawab kalau memang untuk vaksinasi pertama, memang bisa digunakan vaksin killed tanpa adjuvant namun itu pun tetap harus dengan suntik.

“Namun inipun masih dalam tahap penelitian belum sampai pada uji lapang. Dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dan laboratorium,” tegas Mastur.

Adapun Elly menambahkan, yang pasti vaksin jenis ini belum teregistrasi di BBPMSOH dan kalau belum teregistrasi berarti masih ilegal. Di sinilah AI menjadi penyakit politis karena banyak kepentingan yang terlibat disini. Tak ayal keilmuwan seseorang bisa dipertaruhkan demi kepentingan bisnis.

“Setiap pakar penyakit/vaksin pasti mahfum dan dari disiplin ilmu kedokteran hewan sudah jelas bahwa untuk mengatasi satu jenis penyakit akibat virus harus menggunakan vaksin dari virus itu sendiri. Artinya bila yang menyebabkan H5N1 maka vaksin yang digunakan juga harus H5N1 dari strain lapangan,” komentar Andi.

Kasarnya bisa dikatakan menggunakan vaksin AI H5N1 strain lokal dengan master seed yang sudah tidak sesuai dengan virus lapang saja masih jebol apalagi menggunakan vaskin subtipe lain yang belum tentu sesuai dengan virus lapang kita.

“Karena sifatnya yang mudah bermutasi maka master seed yang digunakan juga harus dievaluasi minimal setahun sekali untuk memastikan vaksin yang digunakan masih sesuai dengan virus lapang. Selain dari strategi vaksinasi perlu dikuatkan dengan restrukturisasi tata ruang perunggasan, sehingga bila terjadi outbreak lebih menangani dan melokalisasinya,” ujar Mastur Aini. (Infovet)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer