Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Giliran Pencerahan Bidang Kita?

Upaya memperbaiki diri pantas untuk terus dilakukan dalam kondisi apapun. Terlebih ketika kita dalam kegelapan permasalahan yang sepertinya tidak dapat kita atasi persoalannya! Sebaliknya mungkin ada di antara kita yang merasa sedang dalam kondisi nyaman, tenang, mapan: pada saat bersamaan ketika orang lain merasakan ada masalah dan butuh perbaikan.

Akar dari sikap kritis yang terus dilakukan dari waktu ke waktu mempertanyakan kemapanan, terus terpelihara, pada masanya pasti akan menemukan muara: Pencerahan itu sendiri. Soal ini kita ‘harus’ belajar dari sejarah pencerahan dunia dengan bibit kritis pada abad 6 Masehi, terus-menerus melakukan ‘perlawanan’ pemikiran dari abad ke abad hingga lahir Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment/ Inggris, Aufklaerung/ Jerman, Siècle des Lumières/ Perancis) pada abad 16, 17 dan 18 yang melahirkan revolusi-revolusi ilmu pengetahuan yang merubah banyak sekali kehidupan di dunia hingga kita sekarang tinggal menikmatinya dengan berbagai penggunaan teknologi secara akrab dalam berbagai kehidupan sehari-hari.

Definisi tentang pencerahan yang diakui sebagai salah satu definisi yang mencerminkan mentalitas zaman itu adalah definisi Immanuel Kant yang diterbitkan tahun 1783 bahwa: “Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. Ketidakdewasaan ini adalah akibat kesalahannya sendiri, jika penyebab ketidakdewasaan itu tidak terdapat pada kurangnya akal, melainkan pada ketetapan hati dan keberanian untuk mempergunakan akalnya tanpa tuntunan orang lain. Sapere aude! Milikilah keberanian untuk menggunakan akalmu sendiri! Adalah semboyan pencerahan.”

Apakah betul semangat pencerahan itu yang tampak pada upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam menghadapi masalah-masalah peternakan dan kesehatan hewan? Sekalipun belum total, tampaknya menang ya, setidaknya ada semangat itu. Dan kita patut bersyukur sebagai kelanjutan dari musibah-musibah yang beruntun terjadi. Masalah-masalah Anthrax, Flu Burung, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), bahkan impor MBM-MDM (Meat Bone Meal- Meat Deboned Meal) yang memberi jalan BSE (Penyakit Sapi Gila) mengancam masuk ke bumi Nusantara.

Tumpang tindihnya upaya penanganan AI (Flu Burung) antara kebijakan-kebijakan dunia kehewanan (Departemen Pertanian) dan dunia kesehatan manusia (Departemen Kesehatan) pada masanya menemukan tanda tanya besar: Siapakah sesungguhnya yang punya otoritas (Kewenangan) untuk mengatur penanganan Flu Burung pada bidang peternakan, kehewanan, yang sudah mendapat penetrasi oleh Menteri Kesehatan dengan pernyataan-pernyataan dan kebijakan-kebijakannya.

Pada saat inilah makin terasakan oleh kaum dokter hewan Indonesia untuk menguliti sektor kebijakan kehewanan, kesehatan hewan, veteriner, dari masa ke masa sejak sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Semula Undang-undangnya dengan nama Belanda yang susah dieja dan dimaknai oleh orang kita, namun artinya sekitar lembaga yang mengurusi penyakit hewan. Atas campur tangan pemerintah, lembaga bernama belanda itu dikenal dengan peng-Indonesia-annya: Jawatan Kehewanan, yang punya ruang lingkup kewenangan Veterinaire Politie, Ordonantie & Staatsblad. Namun perlu diingat sebetulnya lembaga ini bernama asli bahasa Belanda yang intinga lembaga yang menangani penyakit hewan.

Selanjutnya dengan lahirnya UU No 6/1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (juga dikenal oleh umum secara lisan dengan pengistilahan UU Kehewanan). Pada tahun 1968, Jawatan Kehewanan sebagai lembaga yang sebetulnya beruang lingkup penanganan penyakit hewan itu menjadi: Direktorat Jenderal Peternakan.

Perkembangan selanjutnya lingkup kesehatan hewan sangat jauh tertinggal dibanding lingkup Peternakan. Jumlah dokter hewan kalah jauh dibanding jumlah sarjana peternakan. Kondisi ini cocok dengan kebutuhan saat peternakan menjadi tulang punggung pembangunan peternakan yang membutuhkan penggunaan sumber daya hewani dari ternak. Sementara perkembangan terakhir, banyak kasus penyakit hewan yang tidak cukup hanya memposisikan bidang kesehatan hewan di bawah koridor peternakan.

Maka muncul kesadaran kaum kedokteran hewan untuk memposisikan otoritas penanganan bidang kesehatan hewan itu pada tempat yang wajar dan tepat. Puncaknya, sampai tulisan ini dibuat, adalah dengan berkumpulnya para dokter hewan di Jakarta, untuk membahas usulan Rancangan Undang-Undang Veteriner Republik Indonesia pada 19 Oktober 2007.

Kita akan melihat, apakah “Pencerahan” kali ini akan memisahkan bidang veteriner (kesehatan hewan) dari bidang peternakan dan kesehatan hewan yang selama ini menyatu dalam UU No 6 Tahun 1967? Seperti hanya gerakan pencerahan di Perancis yang memisahkan filsafat dari teologi dan memisahkan ilmu sosial dari filsafat?

Adapun yang paling penting dalam pencerahan bidang kesehatan hewan dan peternakan adalah juga memenuhi optimisme pencerahan dalam pandangan filsuf Zaman Pencerahan Jerman Abad 17-18 Giambattista Vico, Condorcet dan Johann Gottfried von Herder: “… secara linear menghasilkan kemajuan-kemajuan bagi kesejahteraan umat manusia dan emansipasi manusia dari segala bentuk kebodohan..”

Akhirnya, seperti kata Fisiokrat Perancis Abad Pencerahan Abad 18 Francois Quesnay dan Jaques Turgot bahwa: “Kemajuan ekonomi dan kemakmuran sebuah masyarakat tidak turun dari langit, melainkan diperjuangkan oleh manusia dengan memahami hukum-hukum yang mengatur proses-proses ilmiah,”… maka: di sinilah peran usaha untuk melakukan Pencerahan di Bidang Kesehatan Hewan dan Peternakan, bidang kita. (Yonathan Rahardjo)

DARI LUMPUR LAPINDO SAMPAI PENYAKIT PENCERNAAN TERNAK

Sebagai Majalah yang mengedepankan laporan berdasarkan kondisi lapangan terkini berbasiskan disiplin ilmu pengetahuan kedokteran dan kesehatan hewan secara ketat untuk kepuasan pembaca, Infovet sungguh-sungguh mempertimbangkan berbagai informasi yang sedang aktual.

Kali ini kita menganggap bahwa kasus penyakit pencernaan ayamlah yang patut diangkat, tepat sesuai dengan prediksi yang telah dijadikan pedoman bagi Infovet untuk penentukan topik fokus Infovet Juni 2007.

Berdasar pola pikir deduktif dari berbagai informasi yang masuk sampai akhirnya kita angkat pembahasan itu, kita akan mengawali dengan melihat kondisi peternakan pada beberapa wilayah, lalu masuk pada pembahasan penyakit pencernaan itu sendiri.

Masyarakat Peternakan/Keswan Korban Lumpur Lapindo

Kita mulai dari perjalanan Infovet awal Mei 2007 masuk wilayah gurun lumpur panas Lapindo Porong di Sidoarjo Jawa Timur. Dari Surabaya, Infovet menuju Sidoarjo terus ke arah Malang lewat Porong. Masuk wilayah Lapindo, dari kejauhan sudah terlihat awan putih bergulung-gulung. Bau anyir, asam, tajam menyengat hidung.

Infovet turun kendaraan, berjalan menyisir tepi jalan melihat lahan dan tepi jalan, rel, halaman rumah, kebun yang dipenuhi lumpur yang menggenang dan sudah mengering. Baunya sangat menyengat tajam cukup mengganggu pernafasan sehingga seringkali harus mendengus dan tutup hidung.

Sampai di sebuah jalan masuk di sebelah kiri, Infovet lihat gurun pasir dan rumah-rumah tertutupi lumpur kering dan basah. Jalan yang sudah mengguung dan kering itulah jalan masuk Infovet masuk wilayah korban Lumpur Lapindo yang ganas sejak pertengahan 2006 lalu.

Menyusuri jalan itu, di kiri kanan rumah sudah terendam lumpur, kosong penghuni, kosong barang. Semua sudah merubah kediaman penduduk menjadi lahan tak bertuan dengan kerusakan rumah dan berbagai bangunan. Lumpur yang telah mengering itulah yang menjadikan wilayah ini sudah seperti gurun tandus! Penduduk sudah pindah semua dengan buntut pertentangan soal ganti rugi yang berkepanjangan sampai sekarang.

Infovet pun teringat cerita teman-teman dari PT Romindo Primavetcom yang bersama Infovet melakukan perjalanan 4 hari ke Thailand dalam rangka pameran akbar peternakan VIV di Bangkok Maret 2007.

Dari cerita itu, tahukah pembaca bahwa ada dari kalangan kita, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan yang menjadi korban keganasan kesalahan manajeman pengelolaan alam itu.

Adalah Drh Endri Yoga dari PT Romindo Primavetcom Surabaya Jawa Timur merupakan salah satu korban Lumpur Panas Lapindo Sidoarjo. Selain dia, juga ada sopir dan pegawai administrasi yang menjadi korban.

Karena musibah itu sudah tentu cukup mengganggu aktivitasnya. Namun secara umum kinerjanya tetap bagus. Kondisinya menjadi cukup terkendalikan. Sebab, banjir lumpurnya bukan datang mendadak, sehingga semua barang masih bisa diselaatkan. Alumnus FKH UGM yang sudah bekerja di PT Romindo selama kurang lebih 6 tahun itu mendapat ganti rugi tanah/ rumah.

Gambaran adanya korban lumpur Lapindo dari masyarakat peternakan dan kesehatan hewan itu membuka pola pikir: kesalahan pengelolaan lingkungan pasti berimbas pada kehidupan pribadi-pribadi, manusia-manusia dan makhluk-makhluk lain yang tentu juga memunculkan berbagai penyakit yang menyerang. Bukankah mekanisme manajamen kesehatan adalah meliputi sisi penyakit, lingkungan, dan unsur lain termasuk pakan dan pengobatan.

Peternakan Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Medan

Wilayah bencana lumpur kesalahan manajemen lingkungan di Porong Sidoarjo adalah wilayah urat nadi perjalanan dan bisnis peternakan dan kesehatan hewan. Di sinilah berbagai perusahaan hewan juga harus menghabiskan anggaran ekstra untuk terhambatnya perjalanan dalam memasok sarana produksi peternakan ke peternak-peternak di wilayahnya.

Salah satunya adalah Drh Rosjid, Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Wilayah Surabaya, Malang, Bali dan Gresik Jawa Timur yang mengalami langsung permasalahan itu. Pasokan obat hewan dari Surabaya ke Malang dan sekitarnya jelas harus melewati daerah bencana ini! Padahal wilayah Jawa Timur adalah wilayah sangat berpotensi sebagai salah satu kantong peternakan nasional.

Bandingkan kondisi ini dengan wilayah kerja Drh Toto Purwantoro Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah, yang wilayah kerjanya meliputi semua wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Wilayah Drh Toto dibagi menjadi 5 area. Area Purwokerto-Tegal banyak peternakan ayam pedaging. Area Semarang banyak peternakan ayam petelur dan pedaging dengan pola kemitraan, berlanjut Pekalongan-Pati dan sekitarnya. Area Solo dan sekitarnya banyak peternakan ayam petelur. Area Yogyakarta dan sekitarnya banyak peternakan ayam pedaging. Adapun area Magelang dan sekitarnya banyak peternakan ayam pedaging.

Meskipun ada area-area kerja, batas wilayah kerja bukanlah batas negara yang kaku. Bila di daerah perbatasan ada yang membutuhkan pelayanannya, tidaklah tabu untuk juga memasok dan melayani. Apalagi bilamana peternak yang bersangkutan menyatakan membutuhkan pelayanannya. Sudah tetu dengan pemberitahuan dan saling pengertian dengan wilayah terkait, mengingat peternak berhak memilih siapa yang melayani kebutuhannya.

Jelas, untuk melintas wilayah-wilayah kerja ini butuh infrastruktur transportasi dan jalan-jalan yang memadai. Dan itulah yang menjadi hambatan utama dengan kasus melubernya lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang memutus jalan dari Surabaya ke daerah timur dan selatan Jawa Timur seperti yang dialami oleh tim Drh Rosjid tadi.

Namun apapun, masalah transportasi yang terhambat itu harus dapat diatasi. Meski dampaknya juga ke perdagangan dan bisnis sangat terganggu, toh tetaplah usaha peternakan dan kesehatan hewan berkembang dan dibutuhkan. Sebab, selama manusia hidup tetap membutuhkan protein hewani asal ternak yang menjadi komoditas utama bidang kita.

Sikap menyiasati segala kondisi ini sangat butuh pemetaan wilayah tentang kondisi setempat, baik terhadap peternak maupun pola peternakannya. Bersama Drh Rachmat Novyardi Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Pare-Kediri Jawa Timur, Drh Rosjid mengungkapkan bahwa pada peternakan di wilayah mereka terdapat perbedaan sikap antara peternak generasi pertama dan peternakan generasi kedua.

Menurut mereka, sikap peternak generasi tua (pertama) adalah lebih mempertahankan kebiasaan. Sedangkan peternak generasi kedua (kedua) lebih terbuka terhadap pembaruan dan perubahan. Peternak di wilayah itu rata-rata tidak takut takut menghadapi AI. Meski pola bersikap orang berubah setelah kasus AI, melingkupi soal kesehatan dan lain-lain. Berbeda dengan sikap sebelumnya yang lebih diam dan tertutup.

Adapun pada peternakannya sendiri, dibandingkan kondisi sebelumnya, kondisi pada kandang, pemborong, konstruksi tetap. Bandingkan dengan kondisi peternakan di Medan yang menurut Drh Leonardo Sinaga Kepala Penjualan PT Romindo Primavetcom Medan Sumatera Utara kondisinya adalah didominasi kandang kawat. Di Medan Sumatera Utara, kandang bambu tidaklah ada. Menurut Drh Leo, dominasi kandang kawat ini adalah karena hitungan ekonominya lebih kuat.

Memang lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Perbedaan kondisi peternakan antar daerah ini juga tampak pada selera masyarakat dalam membeli hasil produksi peternakan. Berbeda dengan peternak di daerah Jawa Timur yang hitungan pembelian telur berdasar kilogram, Drh Leo mengutarakan perhitungan harga telur di Medan bukanlah per kilo tapi per butir. Ada telur yang kecil, telur sedang, dan telur besar. Ada yang ambil semua, diperbolehkan. Ambil kecil semua pun boleh, tergantung selera.

Bagaimana perbedaan generasi dulu dengan generasi peternakan di bidang manajemen? "Tidak berbeda nyata," jawab Drh Rosjid dan Drh Rachmat. "Dulu dan sekarang manajemennya sama-sama diterapkan oleh keluarga sendiri. Soal perbedaan populasi, tidak ada beda jumlah populasi," jelas mereka.

Peternakan-peternakan di wilayah Penuturan Drh Rachmat Novyardi yang wilayahnya meliputi daerah Kediri, Pare, Madiun, Magetan, Ponorogo, Nganjuk, Jombang, Kertosono sampai dengan daerah ujung timur daerah Jawa Tengah, skalanya relatif kurang sebesar peternakan wilayah Blitar yang merupakan pusat peternakan nasional!

Rata-rata peternakan di wilayah ini dimiliki oleh Poultry Shop dan peternak kecil, yang kondisinya relatif sensitif, dan pada saat krisis moneter banyak yang mengalami gulung tikar. Adapun peternakan di Blitar, meski jumlah peternaknya sedikit namun populasinya besar-besar. Rata-rata peternak di sini adalah peternak besar. Bagi peternak ini, harga lebih sensitif. Jenis peternakannya banyak yang peternakan ayam petelur.

Berbeda dengan peternak ayam pedaging yang merupakan peternak baru, menurut Drh Toto, peternak ayam petelur ini umumnya adalah peternak lama yang sudah banyak makan asam garam.

Kasus Penyakit Ayam di Daerah-Daerah Itu

Setelah kasus AI dan IB yang dilaporkan Infovet yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan, munculnya Kholera ayam di beberapa tempat juga disebutkan oleh narasumber Infovet di Surabaya Jawa Timur. Di antaranya juga oleh Drh Prabadasanta Hudyono dari PT Multibreeder Adirama Indonesia.

Hal yang sama juga dilaporkan oleh Drh Agus Damar Kristiyanto Kepala seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom di Tangerang Banten baru-baru ini, pertengahan Mei 2007. Kasus penyakit ayam di Tangerang Banten pertengahan Mei 2007, menurut Drh Damar, adalah Kolibasilosis dan Kholera.

Sedangkan menurut Drh Sigit, Kepala Penjualan PT Romindo Promavetcom Cabang Bandung Jawa Barat, kasus rancunya jelasnya gejala klinis pada ayam petelur dengan penurunan produksi cukup mewarnai. Menurutnya, ada yang bilang itu adalah penyakit IB (Infectious Bronchitis) atau AI (Avian Influenza).

"Ya, kasusnya tepat seperti yang dilaporkan oleh Infovet pada edisi Mei 2007, munculnya IB dan juga AI," kata Drh Sigit menjawab pertanyaan Infovet.

Dalam hal ini Drh Toto Purwantoro juga menambahkan bahwa kasus-kasus yang acap muncul di wilayahnya di Jawa Tengah-Yogyakarta adalah AI, ND, Gumboro, yang menjadi tantangan bagi petugas teknis pelayanan obat hewan untuk tidak sekedar membawa obat ke peternakan tapi langsung membawa dan menerapkan obat ke tubuh hewan.

Drh Sigit mengungkap, kasus penyakit di daerahnya (Bandung Jawa Barat) yang menunjukkan berbagai tafsiran tersebut bukanlah Kholera. Hal itu jelas dari gejala klinis dan pemeriksaan pasca bedah bangkai.

Dan, menurut Drh Sigit, suatu kasus dianggap Kholera atau bukan sangatlah mudah untuk menentukan. Bila diobati dengan antibiotik tidak segera sembuh, sudah pasti penyakit itu bukanlah penyakit bakterial, sedangkan Kholera disebabkan oleh bakteri!
Adapun Drh Mahmud Kepala seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom Sukabumi Jawa Barat mengungkap bahwa Pebruari 2007 memang muncul kejadian penyakit dengan indikasi Avian Influenza, namun pihaknya saat itu belum berani mengungkapkan bahwa itu betul-betul AI.

Gejala Klinisnya pial ayam biru, namun pada ayam pedaging tidak kelihatan. Adapun pola kematiannya tinggi. Dalam beberapa hari terjadi kematian. Dalam sehari angka kematian mencapai 5 persen.

Untuk pemeriksaannya dilakukan sampai beberapa kali juga untuk pemeriksaan ND, namun dari sekian ada yang positif AI. Banyak ayam yang kedapatan mati.

Kembali ke Jawa Timur, awal Mei 2007, Drh Rachmad Fadillah petugas pemasaran dari PT Wonokoyo Jaya Corporindo wilayah Magetan mengutarakan bahwa kasus penyakit yang terkait dengan air tidaklah begitu bermasalah. Kasus penyakit pencernaan menjadi tidak terangkat ke permukaan. Sebaliknya yang menjadi masalah adalah perubahan cuaca yang cukup membuat ayam stres.

Jelas ada perbedaan kasus antara satu peternakan dengan peternakan lain, satu wilayah kerja dengan wilayah kerja lain, satu daerah dengan daerah lain. Peta penyakit peternakan sekarang jelas berbeda dengan kasus AI yang meledak dan merata di hampir semua propinsi di Indonesia.

Kasus massal penyakit AI menjadikan informasi kasus untuk dilaporkan kepada pembaca menjadi sangat mudah didapat bahkan karena sangat banyaknya bahkan kalngan pers menjadi sangat kebanjiran informasi. Sebaliknya kasus yang sekarang redaksi mesti lebih tajam dalam membau peristiwa dan fakta, sehingga apa yang dilaporkan menjadi sangat bermanfaat bagi pembaca.

Dari kasus yang sedang terjadi, akan sangat mempengaruhi bagaimana peternak bersikap terhadap pemenuhan kebutuhan sarana produksi peternakan yang Drh Toto menjelaskan meliputi vaksin, farmasetik, imbuhan pakan, tambahan pakan, maupun konsentrat (yang banyak dibutuhkan ayam petelur).

Drh Toto mengungkap perbandingan pas harga jagung mahal, banyak peternak yang beralih ke pakan jadi. Ada sebagian yang mencampur pakan sendiri. Sudah tentu saat daya beli mempengaruhi perilaku memenuhi kebutuhan sarana produksi peternakan, akan berpengaruh pula terhadap pembelian obat-obatan (termasuk vaksinasi).

Di sinilah, semestinya peternak tidak melakukan spekulasi terhadap mutu obat/vaksin yang dibutuhkan. Jangan sampai ND dan IBD (Gumboro) yang acap hadir itu penanganannya menjadi terbengkalikan, apalagi ada juga kemunculan IB dan AI yang menambah beban. Jelasnya, antara lingkungan, penyakit, sarana produksi obat-obatan akan sangat saling mempengaruhi. Dan terbukti dari pengamatan lapangan dan penuturan para narasumber Infovet dari berbagai daerah, kemunculan Kholera dan Kolibasilosis adalah sebuah kenyataan. Sama dengan kasus-kasus penyakit lain, penyakit pencernaan ini puin harus dihadapi dengan gagah dan langkah pasti.

Atas dasar itu semua, Infovet dengan bangga mempersembahkan laporan fokus kali ini berdasar kondisi lapangan yang dengan prediksi dan rancangan liputan fokus tentang: Penyakit Pencernaan pada Ternak. Semoga bermanfaat! (Yonathan Rahardjo)

Surat Pembaca Edisi 155 Juni 2007

Lalu, ke mana susu sapi perah dari peternakan kita?

Susu sapi memang berasal dari kebutuhan orang Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Saat itulah mereka mengijinkan industriawannya membuka usaha di Indonesia karena adanya permintaan yang berbanding dengan pola kebiasaan mereka. Sementara orang Indonesia hanya turut menyaksikan saja sampai akhirnya masyarakat pribumi dididik pula untuk turut serta dalam usaha mereka.

Secara umum kualitas susu ditentukan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal dalam hal ini adalah kandungan gizi dari susu dimana dapat diketahui melalui pengujian laboratorium. Sifatnya terkait dari kondisi internal tubuh ternak. Berbeda dengan faktor internal, faktor eksternal ditentukan berdasarkan kejadian yang berlaku di luar tubuh ternak seperti kebersihan kandang, ternak dan peternak.

Sekarang siapa yang berperan dalam pencapaian keinginan peternak akan jaminan kualitas produksinya dan selera konsumen sebagai sasaran pemasaran? Tentu saja yang berperan adalah peternak atau pekerja kandang. Merekalah yang menentukan tingkat kualitas produk susu mereka. Sehingga kualitas juga terkait dengan pola pemeliharaan dan penanganan pascaproduksi. Dan pengetahuan peternak atau pekerja kandang menjadi syarat mutlak untuk menyediakan susu yang berkualitas sesuai dengan selera konsumen.

Kenapa harus ditolak pembeli? Bukankah hasil peternakan diproduksi untuk dijual? Ini terjadi karena kualitas tidak sesuai dengan keinginan pembeli. Artinya kualitas produk ditentukan oleh pembeli dan pembeli tidak dapat dipaksa untuk membeli produk susu. Kalau kita menjual susu ke koperasi susu, tentu saja akan dilakukan uji kualitas produk kita. Mulai dari pemeriksaan kadar lemak, kadar bakteri, dan sebagainya sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan oleh konsumen.

Bila ada susu di ember perah dan akhirnya diserbu bakteri perusak maka bukan bakteri, melainkan peternak yang harus disalahkan. Biasanya secara tidak sadar peternak menimbun kotoran yang memberikan peluang bakteri menghinggapinya.

Konsumen kita kini sudah tiba pada pendekatan kulaitas dan bukan lagi kuantitas. Bila budaya minum susu dulunya diidentikkan dengan seseorang yang memiliki strata sosial menengah ke atas sebaimana terjadi pada zaman penjajahan Belanda, maka kini meminum susu menjadi pola hidup masyarakat Indonesia dan tidak mengenal penjenjangan status sosial.

Bila kualitas rendah, maka harapan produksi memenuhi pasar tidak ada. Oleh karena itu, pola-pola peternakan sapi perah harus ditata untuk menghasilkan produk susu yang kualitasnya diinginkan konsumen. Kualitas tidak harus dengan teknologi modern, tetapi penanganan yang menjamin unsur-unsur penentu kualitas tetap ada. Dan kalaupun teknologi harus diimpor berarti produk susu kita seharusnya diekspor.

Subaedy Yusuf
Mahasiswa Fak. Kedokteran Hewan UGM

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih atas segala bantuan Bapak Pimpinan dan staf Redaksi Infovet yang telah memuat berita duka almarhum Drh H Isep Sulaiman MVS bin H Danoe Sumantri yang wafat pada hari Kamis, 1 Februari 2007 pukul 14.20 WIB pada usia 56 tahun di RS Panti Rapih Yogyakarta di Infovet edisi Maret 2007. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan rezeki-Nya selalu, Amin.

Dengan segala kerendahan hati, kami mohon keikhlasan Bapak/Ibu/Sdr/i/Kakak/Adik dan Sahabat serta handai taulan untuk memberikan maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan almarhum selama masa hidupnya dan berkenan turut memanjatkan doa untuknya yang telah 100 (seratus) hari berpulang ke Rahmatullah, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT.

Kami pun menghaturkan terima kasih yang tulus atas segala dukungan moril maupun materil semenjak di rumah sakit sampai wafatnya almarhum dan dikebumikannya pada tanggal 2 Februari 2007 di Sukabumi, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan perlindungan-Nya untuk kita semua, Amin ya robbal alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ny. Isep Sulaiman
Yogyakarta

Kami seluruh tim Infovet pun mendoakan semoga arwah beliau diterima dan mendapat tempat terbaik disisi-Nya, serta diampuni segala dosa-dosanya dan diterima segala amal dan ibadahnya, Amin.

AI di DKI JAKARTA


Provinsi DKI Jakarta yang merupakan barometer dan sebagai daerah contoh dalam penanggulangan Al telah melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang lebih awal sehingga hal ini telah diikuti oleh propinsi lainnya.

Sejauh mana Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 15 Tahun 2007 sudah dilaksanakan, dan apa kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan AI di lapangan?

Kepala Dinas Peternakan, Perikanan & Kelautan Provinsi DKI Jakarta Drh Edy Setiarto MS menyampaikan bahwa kendala-kendala pelaksanaan Peraturan Gubernur adalah Relatif tidak ada halangan karena sebagian besar masyarakat sadar bahwa PERGUB tersebut adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Namun, katanya, dari aspek pelaku usaha TPA dan TpnA muncul kerisauan-kerisauan
diantaranya tentang kelangsungan usaha dan tenaga kerja. “Untuk pemotongan yang ada di pasar tradisional dan ataupun pemotongan di pemukiman akan ditata lagi secara bertahap,” katanya.

Informasi yang didapat Infovet dari sumber di Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian itu mengungkap bahwa PERGUB tersebut pada tanggal 19 April 2007 telah ditetapkan oleh DPRD Propinsi DKIJakarta sebagai PERDA No. 4 tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

Menurut Drh Edy Setiarto, rencana telah dituangkan dalam Rancangan (disempurnakan) Peraturan Daerah (PERDA) yang mengamanatkan bahwa semua tempat-tempat penampungan (TPnA) dan pemotongan unggas pangan (TPA) akan direlokasi ke lokasi yang ditetapkan oleh Gubernur secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 3 tahun.
Rencana lokasi untuk relokasi TPA dan TPnA ada beberapa, yaitu :

1). TPA Rawa Kepiting, lokasi di Jalan Rawa Kepiting - Kawasan Industri-Pulo Gadung dengan luas keseluruhan 2 ha, termasuk kawasan peruntukan fasilitas khusus (fasus) dan fasilitas umum (fasum) serta sudah dibangun kandang penampungan dan pemotongan

2). RPA Cakung, lokasi di Jalan Penggilingan Cakung Jakarta Timur, dengan luas untuk TPnA 1 ha, dan untukTPAseluas1.600m2.

3). RPA Pulo Gadung, lokasi Jalan Palad Kawasan RPH - Pulo Gadung Jakarta dengan luas keseluruhan 1,5 ha, khusus untuk penampungan Et pemotongan ayam.

4). TPA PT. Kartika Eka Darma, lokasi di Jalan Swadarma No. 69 Kelurahan Srengseng Kec. Kembangan Jakarta Barat dengan luasTPA 1,2 ha. RPA ini milik masyarakat yang kita coba kembangkan.

5) TPnA Kelompok Arela, lokasi di Jalan Penghulu Rt 012/01 No. 99A Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dengan luas lahan keseluruhan 1 ha.

Namun, katanya, “Pemerintah tidak membatasi hanya pada lima lokasi tersebut diatas. Kepada masyarakat yang ingin membangun RPA dan TPnA dapat mengajukan izin pembangunan sesuai dengan peraturan Pemerintah yang berlaku.”

Peraturan yang akan diberlakukan untuk 6 (enam) bulan ke depan adalah pemerintah DKI akan menutup pemotongan dan penampungan yang ada di Jakarta Pusat sebanyak 17 penampungan dengan batas waktu sampai dengan pertengahan bulan Oktober. Demikian diungkap Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Budidaya Ternak Non Ruminansia Unggas dan Aneka Ternak itu.

Setelah tanggal 15 Oktober tidak diperbolehkan lagi pemotongan dan penampungan terutama di daerah padat penduduk atau yang ada kasus positif AI atau kemudian ada kasus AI pada manusia atau ada komplain/pengaduan dari masyarakat. Sejalan dengan keadaan ini maka merupakan suatu moment yang sangat penting untuk membenahi penataan perunggasan

Dengan adanya isu Avian Influenza, sebagian besar peternak unggas dan industri perunggasan di DKI Jakarta mengalami kerugian yang cukup besar, bahkan ada yang sampai gulung tikar. Maka keluar Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 15 Tahun 2007 Tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

“Pada prinsipnya pengaturan pengendalian pemeliharan dan peredaran unggas yang dilakukan di DKI Jakarta adalah untuk mencegah semakin berkembangnya dan memutus mata rantai penyebaran penyakit flu burung,” kata Edy Setiarto.

“Keadaan peternakan di perkotaan sudah tidak layak lagi di pemukiman dan tidak sesuai dengan standar ibukota, di mana masyarakat hidup tidak berdampingan dengan unggas. Penataan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang sehat,” katanya.

Relokasi juga dilakukan untuk menjaga jarak antara peternakan unggas dengan orang yang tidak berkepentingan dengan unggas. Namun demikian pemeliharan di pemukiman tidak dilarang sepanjang dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu dengan jarak 25 m dari pemukiman.

Diungkap Edy, Pengaturan PERDA ada dua pendekatan yaitu unggas pangan adalah untuk dikonsumsi seperti ayam, itik, entok, angsa, merpati potong, dan burung puyuh, diatur dengan peraturan perizinan. Kemudian unggas non pangan seperti unggas kesayangan adalah ayam kate, ayam pelung, ayam bangkok, ayam bekisar, ayam cemani, merpati pos, merpati balap, burung berkicau dan burung hias lainnya, diatur dengan sertifikasi.

Dia uraikan, pengaturan untuk unggas pangan ada dua yaitu kegiatan budidaya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu berjarak 25 m dari pemukiman sedang untuk pemotongan sesuai dengan relokasi yang sudah ditetapkan Gubernur.

Adapun, sertifikasi hanya berlaku selama 6 bulan dan untuk selanjutnya harus diperbaharui. Sertifikasi diberikan kepada pemilik unggas kesayangan apabila pemiliknya memenuhi persyaratan antara lain setiap unggas kesayangan dikandangkan, kandang dibersihkan setiaphari, dan kandang didesinfeksi setiap 3 (tiga) hari lalu vaksinasi. Juga disarankan agar diberi pakan yang baik dan vitamin secara rutin.

“Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi kerugian peternak adalah bahwa jauh-jauh hari kita sudah melakukan kampanye memakan ayam (mengkonsumsi daging ayam secara baik). Dengan adanya upaya-upaya tersebut jadi hampir tidak ada penurunan permintaan konsumen akan daging ayam,” kata Edy.

Selanjutnya, katanya, relokasi pasar unggas kesayangan akan diatur kemudian karena harus dipikirkan kendala kesulitan pemasaran. Saat ini yang dilakukan adalah penekanan pada persyaratan sanitasi (biosecurity). Gubernur juga akan segera menetapkan tentang persyaratan teknis penataan unggas kesayangan yang baik.

Lalu, khusus untuk unggas kesayangan adalah dengan pendekatan pemberian sertifikat kepada pemilik unggas kesayangan, dan apabila petugas datang untuk memproses sertifikasi.

Menurut Drh Edy Setiarto, sebenarnya sudah banyak aturan dori tahun-tahun sebelumnya yang Man ditetapkan tetapi masih lemah dalam penegakan hukumnya dan dalam pemeriksaan ternyata tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka hewan kesayangan tersebut ditiadakan tanpa kompensasi. Sedang untuk masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan peraturan yang berlaku dalam budidaya ayamnya harus ditiadakan/dipotong dan atau dapat dikonsumsi dengan cara pengolahan yang benar dan kandangnya dimusnahkan.

Adapun dalam jangka panjang PEMDA perlu mengupayakan adanya standar hygiene untuk pemotongan hewan kemudian perlu persyaratan lokasi yang cukup luas untuk mempertahankan hygiene.

“Untuk ke depan tuntutan masyarakat terhadap hygiene sudah semakin tinggi. Masyarakat perunggasan didorong bisa menyesuaikan tuntutan masyarakat tersebut diantaranya ikut berperan dalam kegiatan penataan perunggasan yang dilakukan 6- Riwayal Pekerjaan : PEMDA,” katanya.

Sedangkan untuk masyarakat umum, secara tidak langsung konsumen dapat mengajari produsen dengan membeli ayam yang baik pada kios yang disediakan dan mempunyai label halal.

“Masyarakat harus terus waspada, jangan membeli sembarangan seperti membeli ayam dengan harga murah, karena harga ayam sudah standar dan selalu dilakukan pengawasan,” tegas Drh Edy.

Adapun menurutnya, untuk mendorong timbulnya industri yang menghasilkan peralatan pendingin (kendaraan, tempat penyimpanan, tempat pajangan dll) yang sangat diperlukan dalam perubahan sistim tataniaga yang diinginkan dan kegiatan itu sepenuhnya dilakukan oleh pelaku usaha. (YR)

PENYAKIT VIRAL MENAPAKI JEJAK IVANOVSKY


Keberhasilan usaha peternakan unggas khususnya ayam potong dan ayam petelur, baik sebagai penghasil bibit (breeding) maupun usaha pemeliharaan, sangat tergantung pada kesehatan ternak. Sehingga penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit harus menjadi prioritas utama. Kesehatan hewan merupakan kunci utama dalam usaha peternakan ayam, baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Penanganan, pengendalian dan pencegahan penyakit ayam memerlukan pertimbangan dari berbagai segi, baik dari segi penyakit maupun segi ekonomis. Status kesehatan hewan juga sangat berpengaruh langsung terhadap status kesehatan reproduksi, dimana untuk ayam petelur tidak akan mampu menghasilkan telur bila alat-alat reproduksinya tidak berfungsi dengan normal.

Di samping itu, manajemen kesehatan hewan juga perlu mendapatkan perhatian lebih dari peternak. Manajemen tersebut seperti manajemen kesehatan umum, manajemen pencegahan, pengendalian dan penanganan penyakit-penyakit organik, infeksi, virus, jamur serta parasit.

Demikian disampaikan drh Jully Handoko dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau. Menurutnya penanganan kesehatan ternak secara umum meliputi kebersihan ternak dan lingkungannya luar dan dalam serta yang tidak kala pentingnya adalah penjagaan kesehatan terhadap anak kandang yang secara langsung berhubungan dengan ternak yang dipelihara.

Sedangkan, untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan pelaksanaan pemberian vaksinasi pada ternak, serta pemberian obat-obatan dengan jadwal yang telah disepakati dan harus mendapatkan rekomendasi dari petugas kesehatannya.

Namun Jully menegaskan untuk tidak memilih cara ini (red; pengobatan), alasannnya adalah membutuhkan biaya yang besar. ”Konsep yang benar dalam beternak itu adalah mencegah penyakit, bukan mengobati penyakit”, tegas Jully.

Bicara soal penyakit dan penyebabnya, keberadaan virus masih saja dianggap sebagai pemicu munculnya beberapa penyakit yang membahayakan ternak. Sebut saja ND, IBD, Cacar Unggas, Chicken Anemia Syndrome (CAS), Egg Drop Syndrome pada ayam petelur, Gumboro, AI dan banyak lagi jenis penyakit lain yang dipromotori kehadirannya oleh virus.

Menapaki Kembali Jejak Ivanovsky

Menguak tabir dunia virus berarti kembali mengingat sejarah awal penemuan virus. Adalah Dmitri Ivanovsky, biologiwan Rusia yang pada tahun 1892 silam mencoba mempelajari penyakit mosaik pada tembakau dengan penampakan daun berbercak kuning.

Ivanovsky muda mencoba membuat eksperimen dengan cara membuat ekstrak daun yang terpapar penyakit tersebut, kemudian dioleskan pada daun yang sehat, selang beberapa waktu daun yang sehat terserang penyakit yang sama. Simpulan awal Ivanovsky adalah penyakit mosaik pada tembakau disebabkan oleh bakteri patogen atau bakteri penyebab penyakit.

Kemudian Ivanovsky melanjutkan penelitiannya dengan membuat kembali ekstrak daun tembakau yang terinfeksi bakteri patogen. Ekstrak daun tersebut disaring dengan saringan keramik, kemudian cairan hasil saringan tersebut dioleskan kembali ke daun tembakau yang sehat, ternyata daun tersebut menjadi sakit.

Ivanovsky berpikir, bila penyakit mosaik disebabkan bakteri, maka daun yang dioleskan dengan hasil ekstrak yang disaring dengan saringan keramik tidak akan sakit karena bakteri tidak bisa lolos dari saringan keramik. Kembali Ivanovsky menyimpulkan bahwa penyakit mosaik pada tembakau disebabkan oleh super mikro organisme.

Wajah-wajah lain yang ikut andil dalam penemuan virus sebagai penyebab penyakit pada makluk hidup adalah M Beijerinck (1899) asal negara kincir angin dan Wendell M Stanley (1935) dari Rockefeller Institute, USA.

WM Stanley berhasil mengisolasi dan mengkristalkan virus mosaik tembakau dengan simpulannya bahwa virus berbeda dengan bakteri. Menurutnya, apabila virus diinjeksikan ke tanaman tembakau yang sehat, virus akan aktif, menggandakan diri dan menyebabkan penyakit.

Kemudian alasan lainnya adalah virus dapat dikristalkan, ini berarti virus bukan sel. Virus dianggap sebagai peralihan antara benda abiotik dan biotik. Setidaknya lanjutan penelitian Ivanovsky yang dilakukan WM Stanley ini memberi khasanah baru dalam dunia kesehatan baik tumbuhan, hewan dan manusia.

Dalam dunia kesehatan hewan dewasa ini, telah pula ditemukan beribu-ribu jenis virus yang memberikan dampak sangat merugikan baik bagi ternak maupun bagi peternak dengan dampak terkurasnya modal usaha akibat gagal produksi, karena adanya invasi atau serangan virus di farm peternakan. Termasuk, tentu saja, virus Avian Influenza.(Sadarman)

SELEKSI BENIH VIRUS AI UNTUK VAKSINASI


Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Virus Avian Influenza yang sangat palogen (highly pathogenic avian influenza virus/HPAI) subtipe H5N1, telah menyebabkan sampar ayam pada unggas di berbagai neqara di Asis seperfi Vietnam, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan, Kamboja, Laos, dan Indonesia sejak akhir 2003 sampai sekarang (WHO 2005). Ratusan juta ayam dan itik telah dimusnahkan untuk menghentikan laju penyebarannya.

Di samping menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dan ancaman pada ketahanan pangan, virus HPAI ini juga telah terbukti dapat melompati barier spesies unggas-manusia dan dapat menjadi ancaman pandemi.

Karenanya, pencegahan infeksi pada unggas sangat penting. Strategi yang umum dilakukan untuk pengendalian Al pada unggas adalah pemusnahan unggas yang tertular dalam radius tertentu (stamping out/preemptive culling), biosekuriti, dan vaksinasi.

Berbagai sediaan vaksin Al untuk unggas telah banyak dicoba. Akan tetapi sediaan yang umum untuk penggunaan komersial adalah vaksin virus inaktif dalam adjuvant minyak. Vaksin jenis ini telah terbukti dapat melindungi unggas dari gejala klinis dan kematian, tetapi tidak menekan eksresi virus.

Fakta ini menimbulkan keraguan tentang daya-guna vaksinasi dalam mencegah penyebaran antar hewan. Penuiaran yang tak kasat mata ini meningkatkan risiko wabah baru dan membawa ancaman pada kesehatan masyarakal.

Untuk mengatasi masalah tersebut diusulkan untuk menerapkan strategi vaksinasi dengan sentinel dan teknologi DIVA yang membedakan antibodi akibal vaksinasi dengan infeksi alam. Mengingat masalah dalam aplikasi strategi diatas, jalan keluar terbaik adalah pengembangan vaksin yang mencegah transmisi virus dengan sempurna.

Vaksin yang mendekati kondisi ideal tersebut telah dikembangkan untuk virus AI subtipe H7N7. Vaksin untuk subtipe H5N1 yang mempunyai potensi menekan ekskresi virus secara sempurna belum pernah dilaporkan.

Masalah lain dalam strategi vaksinasi adalah penentuan seed virus yang digunakan sebagai bibit vaksin yang baku. Virus influenza merupakan virus yang secara antigenik sangat labil sehingga penentuan seed vaksin menjadi masalah yang pelik.

Perkembangan virus Al dan dampaknya pada penentuan seed vaksin diulas G Ngurah Mahardika dari Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dan Wayan I Wibawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor kepada Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia dalam Media Unggas dan Aneka Ternak baru-baru ini. Atas ijin khusus Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia Drh Djajadi Gunawan MPH kepada Infovet pembaca dapat menikmati untuk sebuah pencerahan bersama sekaligus untuk dikritisi.

Pencegahan, Pengendalian, dan Eradikasi

Penyakit AI termasuk penyakit yang harus dimonitor dan dilaporkan. Kata kunci untuk tindakan pemusnahan (eradikasi) adalah diagnosis akurat dan segera. Kunci yang kedua untuk keberhasilan pencegahan, pengendalian, dan eradikasi adalah pengendalian harus dilakukan serentak dan seragam. Tanpa hal seperti ini, banyaknya hewan dan burung liar akan membuat Virus AI ganas lestari dan endemik di suatu wilayah.

Pemusnahan unggas yang tertular dan yang kontak dengannya dalam radius tertentu merupakan strategi yang paling efektif. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina, pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produknya serta manusia, repopulasi peternakan setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas Virus AI HPAI.
Gelombang wabah H5N1 antara Juli sampai September 2004, diperkirakan terjadi karena pembersihan yang tidak memadai, pengujian yang tidak mencukupi, dan repopulasi yang terlalu dini. Jika wabah tidak meluas, dan virus belum endemik pada ternak unggas dan burung liar, strategi ini dapat berhasil.

Strategi ini telah terbukti berhasil di berbagai negara, seperti Amerika Serikat pada wabah H5N2 di Pennsylvania tahun 1980-an dan Jepang untuk H5N1 pada awal 2004.
Jika penyebaran suatu Virus AI HPAI pada ternak sudah demikian luas atau penyakit sudah menjadi endemik pada ternak dan burung liar, stamping out mustahil dilakukan. Strategi alternatif adalah stamping out plus vaksinasi. Strategi ini diadopsi oleh Cina dan Indonesia sejak 2004.

Strategi ini banyak ditentang, seperti pengalaman Meksiko dalam mengendalikan wabah HPAI H5N2 tahun 1990-an. Walaupun kasus wabah tidak dilaporkan kembali setelah penerapan strategi tersebut, sumber virus tetap bersirkulasi dan telah terbukti kembali mengganas di Amerika Tengah dan Amerika Serikat tahun 2004.

Program vaksinasi yang diterapkan di suatu negara membuat produk perunggasan negara tersebut tidak boleh diekspor. Thailand, yang juga tertular HPAI H5N1, masih menggolongkan tindakan vaksinasi sebagai ilegal.

Argumen penentang vaksinasi antara lain: vaksinasi tidak mendorong peternak untuk meningkatkan isolasi dan biosekuriti. Lalu vaksinasi dapat berhasil mencegah penyakit klinis akan tetapi tidak mencegah eksresi virus pada ayam yang divaksin.

Adapun penggunaan vaksin dilaporkan memicu munculnya varian akibat mutasi; penggunaan vaksin menyebabkan virus menjadi endemik seperti terjadi di Meksiko dan Amerika Tengah, dan mungkin sedang berlangsung di Asia.

Sementara itu penggunaan vaksin mempengaruhi perdagangan dan menyembunyikan virus menular yang masih ada.

Vaksinasi tampaknya memang telah menjadi pilihan Indonesia. Vaksinasi hendaknya disertai dengan strategi untuk memantau virus ganas yang mungkin masih beredar di kandang atau wilayah yang bersangkutan.

Dengan demikian, kebijakan vaksinasi mestinya disertai penyediaan dan pelaksanaan prosedur pemantauan virus yang pathogen pada ternakyang divaksin. Jika vaksin homolog digunakan, kelompok unggas sentinel yang sengaja tidak divaksin tersedia di sekitar kandang yang divaksin.

Aktivitas virus ganas dapat dipantau dari kelompok hewan ini. Penerapan vaksin heterolog digolongkan sebagai vaksin DIVA, singkatan dari "Differentiating Infection from Vaccinated Animal", membedakan hewan yang terinfeksi alami dengan hewan yang divaksinasi. Antibodi terhadap NA selain subtipe yang tersedia dalam vaksin menjadi indikator aktivitas virus ganas alami.

Perkembangan Virus AI

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Reassortment genetik dan peran burung liar migratori belum teridentifikasi. Seperti yang diduga, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yanj menyandi protein HA. Sequence gen I dari mayoritas virus H5N1 yan bersirkulasi pada burung selama 3 tahul terakhir telah terpisah menjadi duf 'phylogenetic clades' yang berbeda.

Grup 1 bersirkulasi Kamboja, Thailand dan Vietnam. Grup4 beredar di China dan Indonesia 2003-2004, yang kemudian menyebar ke Timur Tengah, Eropa, dan Afrika padal tahun 2005-2006. Grup ini juga telatif berkembang menjadi 6 sub-grup, tiga diantaranya mempunyai daerah penyebaran geografis yang berbeda dan merupakan agen penyebab kasus-kasus infeksi pada manusia di Indonesia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Cina.

Semua virus Indonesia yang dianalisis berada dalam satu klaster yang mengindikasikan introduksi virus awal yang sama. Analisis lebih lanjut menunjukkan virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-l kelompok genetik.

Sub-kelompok Al ditemukan di Jawa, Sulawesi Selatan, danl Timor Barat. Sub-kelompok B terisolasil dari Jawa, Bali, Flores dan Timor Barat.

Sementara sub-kelompok C berasal dari isolat Jawa dan Sumatra.

Dari informasi tersebut tampak bahwa semua sub-kelompok ditemukan di Jawa, sementara daerah tertular lain umumnya mempunyai satu sub-kelompok saja. Hubungan ini mengindikasikan introduksi virus Al H5N1 di Indonesia yang pertama terjadi di Pulau Jawa yang kemudian menyebar ke pulau-pulau lainnya.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perkembangan genetik virus Al H5N1 asal Indonesia tampaknya lebih kompleks dari postulasi tersebut.

Pohon filogenetik virus Al H5N1 isolat asal hewan dan manusia di Indonesia dengan mengikutsertakan isolat-isolat terakhir, termasuk isolat virus asal babi di Bali (data belum dipublikasikan) seperti ditampilkan pada Gambar menerangkan bahwa pembagian sub-kelompok A, B, dan C tampaknya belum mencakup semua isolat asal Indonesia. Beberapa isolat berada di luar sub-kelompok tersebut.

Khusus untuk Bali, ketiga sub-kelompok yang diisolasi di Jawa tampaknya juga menyebar di pulau tersebut.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Kajian yang dilaporkan menunjukkan bahwa virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali diantara virus-virus asal Indonesia. Variasi antigenik tersebut bahkan ditunjukkan dengan titer antibodi terhadap virus-virus dari masing-masing subkelompok sampai empat log.

Perkembangan tersebut juga mempunyai implikasi yang besar dalam pemilahan seed vaksin yang hendak digunakan di suatu wilayah. Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenik yang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Untuk wilayah yang mempunyai virus yang berasal dari satu sub-kelompok, vaksin yang digunakan idealnya mengandung antigen dari masing-masing sub-kelompok.

Penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai dapat menurunkan protektivitas vaksin. Kasus-kasus kegagalan vaksinasi mungkin akan semakin sering terjadi. Kalaupun unggas yang divaksin tetap tidak menunjukkan gejala klinis yang nyata, penurunan produksi dan tingginya beban virus pada lingkungan dapat menjadi konsekuensi logis pada penggunaan seed vaksin yang tidak sesuai.

Dengan demikian risiko kerugian ekonomi dan kesehatan masyarakat akan tetaptinggi.
Di samping itu, penggunaan vaksin ditenggarai dapat memicu munculnya varian akibat mutasi dan vaksinasi menyembunyikan virus menular dapat menjadi ancaman baru. Dari survei virologi dan epidemiologi intensif di Cina Selatan, dilaporkan kemunculan dan dominasi virus Fujian-like sejak akhir 2005.

Virus ini menggantikan secara bertahap klaster virus yang sebelumnya beredar dan telah menyebabkan infeksi pada manusia di Cina belum lama ini. Disamping itu, virus Fujian-like ternyata telah tersebar di Hong Kong, Laos, Malaysia, dan Thailand. Dominasi virus ini diduga difasilitasi program vaksinasi massal yang dilakukan di Cina. Hal serupa perlu dimonitor di Indonesia.

Sekalipun publikasi tentang genotipe virus Al H5N1 asal Indonesia belum banyak dipublikasi, data yang telah tersedia menunjukkan bahwa virus tersebut telah berevolusi dan kian menyebar di Indonesia melalui perantara lalu lintas unggas dan produk perunggasan.

Sesuai dengan sifat-sifat virus influenza, materi genetika virus Al H5N1 terus mengalami perubahan melalui mutasi (genetic drift) terutama pada segmen ke-4 yang menyandi protein HA. Semua virus Indonesia secara genetik berada dalam satu klaster yang mengindikasikan berawal dari introduksi virus awal yang sama.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahawa virus H5N1 Indonesia membentuk tiga sub-kelompok genetik dengan daerah sebaran geografis tertentu, kecuali di Pulau Jawa dan Bali yang mempunyai representatif ketiga kelompok itu.

Perkembangan tersebut mempengaruhi struktur antigenik virus Al yang menyebar di Asia, termasuk Indonesia. Virus-virus asal Indonesia tidak bereaksi dengan antibodi terhadap representatif virus asal Vietnam, demikian juga sebaliknya, namun masih menunjukkan reaksi silang dengan virus asal Hong Kong dan Cina.

Di samping itu, variasi antigenik juga tampak sekali, walaupun masih menunjukkan reaksi silang diantara virus-virus asal Indonesia.

Idealnya, vaksin yang digunakan mestinya mempunyai homologi genetik dan antigenikyang mendekati sempurna dengan virus yang beredar di wilayah yang bersangkutan.

Dalam hal menggunakan vaksin yang heterolog yang materi genetik H5-nya tidak berasal dari Indonesia, vaksin yang bersangkutan sebaiknya diuji tantang dengan representatif ketiga sub-kelompok virus yang beredar di Indonesia dan dipilah vaksin yang menunjukkan protektivitas klinis dan penekanan ekskresi virus seminimum mungkin.

Tentu uraian tulisan ini sangat bermanfaat untuk melacak keberadaan virus AI sekaligus bbit untuk vaksin di tanah air dalam menfatasi kemelut yang rasanya kalangan peternakan relatif sudah semakin lihai untuk menangani. Meski ada masalah di sana-sini, bukankah itu sebuah kewajaran dalam proses untuk menjadi lebih baik dalam menangani? Kiranya begitu. (YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer