Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Pusvetma | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

WEBINAR SERUM KONVALESEN UNTUK MENCEGAH ASF

Webinar AMI bicara mengenai serum konvalesen untuk mencegah ASF. (Foto: Infovet/Sadarman)

Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) menyelenggarakan webinar mengenai Serum Konvalesen untuk mencegah African Swine Fever (ASF), Jumat (10/12/2021), yang diikuti peserta dari berbagai wilayah Indonesia khususnya peternak babi, akademisi dan praktisi.

Ketua AMI, Dr Sauland Sinaga, mengatakan bahwa ASF harus dicarikan solusi untuk membantu para peternak babi. “Demam babi ini sangat meresahkan peternak, produknya berupa daging yang menjadi pangan bagi non-muslim, penyumbang devisa bagi negara, sehingga perlu dicarikan solusinya untuk meminimalkan ASF ini,” kata Sauland.

Lebih lanjut dikatakan, jika terapi plasma konvalesen dapat digunakan untuk imunisasi pasif dan dapat meminimalisir orang meninggal akibat COVID-19 sehingga memiliki harapan baru penyembuhan pasien, maka pada babi pun diharapkan demikian, serum konvalesen dapat digunakan sebagai vaksinasi pasif mencegah ASF.

Penggunaan serum konvalesen ASF dinilai memungkinkan, mengingat metode plasma konvalesen telah diadopsi dalam penurunan kasus COVID-19, menggunakan bagian plasma darah penyintas yang ditransfusikan ke tubuh pasien positif COVID-19 dengan golongan darah yang sama oleh pendonor.

Menurut Ahli Virologi dari Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Drh I Wayan Teguh Wibawan, yang menjadi narasumber menyebutkan, plasma darah merupakan bagian dari darah yang bewarna kekuningan yang mengandung albumin, antibodi (imunoglobulin) dan protein fibrinogen (zat pengatur pembekuan darah).

“Antibodi yang terbentuk akibat infeksi alam bersifat poliklonal, artinya di dalam serum terdapat berbagai jenis antibodi yang bereaksi spesifik terhadap berbagai epitope virus ASF, lalu antibodi tersebut bisa bekerja selama virus belum masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan serum konvalesen ASF dapat mencegah ASF pada babi yang dipelihara peternak,” kata Wayan.

Wayan yang juga Guru Besar FKH IPB ini, menegaskan bahwa plasma darah bukanlah serum, karena keduanya mempunyai kandungan berbeda, yaitu serum juga mengandung zat protein, hormon, glukosa, elektrolit dan antibodi, namun tidak mengandung zat pembekuan darah. Secara sederhana dapat dikatakan serum adalah plasma minus faktor pembeku darah.

Mengkaji pada tren pengembangan ASF, ditambahkan narasumber lain yakni Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, Karantina Hewan, Kementerian Pertanian, Dr Drh Anak Agung Gde Putra, bahwa ASF sangat menular dengan case fatality rate sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian dengan upaya serum konvalesen yang diambil dari babi yang pernah menderita ASF dan dinyatakan sembuh.

Angin segar tersebut hadir melalui serum SCoVet ASF. Kepala Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, Drh Agung Suganda, memaparkan bahwa SCoVet ASF merupakan produk biologis berupa serum dari babi yang sembuh ASF dan mengandung antibodi terhadap ASF.
“ASF merupakan penyakit viral, artinya tidak tersedia obat yang dapat menyebuhkan, hal yang sama dengan vaksin, sehingga SCoVet ASF dapat dijadikan alternatif imuno-profilaksis yang dapat membantu meningkatkan imunitas, sehingga kasus ASF dapat diminimalkan,” kata Agung.

Terkait dosis yang sudah diujicobakan, ia mengungkapkan sejauh ini telah dilakukan berdasarkan periode pemeliharaan babi, yaitu babi pada periode starter dapat diinjeksikan secara intramuskuler 1 ml/ekor, grower 2 ml/ekor, babi dara 3 ml/ekor dan babi dewasa 4 ml/ekor. Injeksi SCoVet ASF masing-masing dilakukan tiga kali dengan interval per-injeksi dalam 10 hari.

Sejauh ini, lanjut dia, pemberian SCoVet ASF telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama di pusat usaha peternakan babi. “Kita telah mendistribusikan SCoVet ASF di tujuh provinsi yang disebarkan ke 12 kabupaten dan kota, termasuk alokasi pusat dan Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang, dengan total 7.525 vial setara dengan 120.400 ml,” jelas Agung.

Hasil monitoring pelaksanaan pemberian serum konvalesen veteriner ASF pada babi menunjukkan capaian positif. Hal ini terlihat dari data yang dilaporkan para dokter hewan dari tujuh provinsi sebagai kantong ternak babi di Indonesia, yaitu total babi disuntik SCoVet ASF yang diamati sebanyak 3.850 ekor, jumlah babi hidup setelah penyuntikan SCoVet ASF sebanyak 2.743 ekor (71,2%), jumlah babi mati setelah penyuntikan SCoVet ASF sebanyak 1.107 ekor (28,8%).

Penggunaan SCoVet ASF juga dinyatakan Agung aman diberikan pada babi (termasuk babi bunting, menyusui dan anak babi) sesuai dosis yang disarankan. "Perlu diperhatikan efikasi SCoVet ASF sangat tergantung pada status kesehatan dan tingkat stres babi, ketepatan dosis, pelaksanaan penyuntikan dan penerapan biosekuriti yang baik, sehingga hasil yang didapat bisa optimal,” ucapnya.

Bicara soal bisekuriti, dikatakan Dr Drh Anak Agung Gde Putra, tidak serta merta berhasil meminimalisir penyakit apabila sisi lainnya tidak diperhatikan. “Kebanyakan penyakit juga datang dari pakan yang dikonsumsi babi, misalnya pemberian pakan sisa manusia, perlu dimasak dulu sebelum diberikan pada babi,” kata Anak Agung. Hal ini diperkuat temuan yang dirilis EFSA Journal 2014, babi yang mengonsumsi pakan sisa manusia berisiko 35% terpapar ASF.

Oleh karena itu disimpulkan dalam webinar untuk mengantisipasi masuk dan menyebarnya ASF ke daerah bebas ASF dapat dilakukan melalui surveilans terstruktur, sistematis dan massif. Kemudian perlunya pemberian SCoVet ASF secara tuntas dengan dosis yang disarankan, juga memperkuat manajemen budi daya dan penerapan biosekuriti dengan baik dan benar. (Sadarman)

EKSPOR PERDANA 63.000 DOSIS VAKSIN SEPTIVET KE TIMOR LESTE

Pusvetma ekspor vaksin Septivet ke Timor Leste. (Foto: Humas PKH)

Secara perdana sebanyak 63.000 dosis vaksin Septivet dari Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) yang merupakan unit pelaksana teknis (UPT) bidang kesehatan hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), sukses di ekspor ke Republik Demokratik Timor Leste.

“Jumlah tersebut telah dipenuhi Pusvetma. Vaksin Septivet yang diekspor yaitu dengan kemasan 200 ml atau 100 dosis/botol. Vaksin ini dapat memberikan kekebalan pada sapi hingga dua tahun,” ujar Kepala Pusvetma, Agung Suganda, Kamis (9/7/2020).

Ekspor berawal dari kunjungan Dirjen Peternakan Timor Leste ke Pusvetma pada 2019  lalu dan tertarik dengan kualitas vaksin Septivet dan vaksin Brucivet yang dimiliki Pusvetma. Timor Leste memutuskan mengimpor vaksin tersebut guna mendukung program kesehatan hewan di negaranya. Septivet untuk mengatasi penyakit ngorok atau Septichaemia epizootica (SE) pada hewan besar yaitu sapi, kerbau dan babi, sedangkan Brucivet untuk mencegah penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi. 

“Namun dengan adanya pandemi COVID-19, permintaan Septivet yang diajukan ke Pusvetma hanya sejumlah 63.000 dosis. Kalau tidak sedang pandemi mungkin lebih,” ucap Agung.

Dalam menjaga kualitas vaksin, Pusvetma mempunyai sertifikat Cara Produksi Obat Hewan yang Baik (CPOHB) dari Kementan. Laboratorium pengujian mutu vaksin yang dimiliki juga telah memperoleh Akreditasi ISO 17025 dari Komite Akreditasi Nasional.

Untuk vaksin yang di ekspor, Tim Karantina Balai Besar Karantina Hewan Surabaya, pada Senin (6/7) telah menyerahkan sertifikat ekspor kepada Pusvetma. Sebelumnya juga sudah dilakukan pemeriksan terhadap kondisi dan suhu gudang penyimpanan, serta pengecekan fisik vaksin Septivet yang akan diekspor.

“Septivet yang akan diekspor dikemas dalam boks styrofoam dilengkapi dengan ice gel berkualitas  untuk menjaga rantai dingin, kemudian dilakukan penyegelan kemasan vaksin,” jelasnya.

Ia menambahkan, adapun kendala yang dihadapi dalam proses ekspor vaksin pertama ini, mulai dari pengurusan izin, waktu pengiriman, sampai akses masuk perbatasan yang cukup rumit. 

Selain itu, pengiriman vaksin menggunakan transportasi udara dan transportasi darat untuk melewati perbatasan. Situasi lockdown yang diberlakukan Timor Leste selama pandemi COVID-19 turut menyebabkan kendala dalam pengiriman vaksin.

“Tapi semua kendala tersebut dapat diatasi dengan baik sehingga ekspor perdana ke Timor Leste dapat terwujud,” ungkapnya. Timor Leste memberlakukan kebijakan baru dengan membuka jalur lalu lintas di perbatasan. Namun, jalur pengiriman hanya dilakukan satu kali di tiap minggunya, yaitu setiap Rabu pada pukul 10-12 siang waktu setempat.

Di sisi lain, Pusvetma konsisten menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001 yang terintegrasi dengan ISO 37001 Sistem Manajemen Anti Penyuapan. Pusvetma juga telah melaksanakan sistem manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan memperoleh sertifikat ISO 45001:2018.

Dirjen PKH Kementan, I Ketut Diarmita, berharap ke depannya Pusvetma bisa melakukan lebih banyak ekspor produknya, baik vaksin maupun bahan diagnostik lainnya. Ia percaya Pusvetma bisa membidik negara seperti Pakistan dan Srilanka sebagai negara tujuan ekspor berikutnya. 

“Semoga harapan ini dapat terlaksana dengan mudah dan dalam waktu secepatnya. Dengan demikian Pusvetma turut mendukung kebijakan Pak Mentan untuk mewujudkan pertanian yang maju, mandiri dan modern tentunya dibidang kesehatan hewan,” harap Ketut.

“Sudah saatnya produk-produk karya anak bangsa menjadi tuan di negeri sendiri dan diminati di luar negeri. Jayalah produk bangsaku,” pungkasnya. (INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer