Membaca situasi
pasar komoditas broiler dan telur ayam ras tiga pekan terakhir di tahun 2016
ini, sepertinya tren kenaikan harga sudah pada titik puncak pencapaian harga
tertinggi dan di sisi lain "kegusaran" pelaku pasar di tingkat
pengecer sudah mulai mengemuka di berbagai media.
Kegusaran para
pedagang ayam terlihat dari berbagai berita di media cetak maupun
elektronik yang memuat berita tentang keluhan pedagang ayam yang
mengalami sepi pembeli dengan statemen "Dijual murah rugi, dijual mahal
tak ada pembeli". Kemunculan berita ini, agaknya juga mulai menjadi perhatian
pemerintah, sehingga turut mengusik KPPU dan Kementerian Perdagangan RI untuk
menelaah persoalan ini lebih mendalam. Apa sesungguhnya yang menjadi faktor
penyebabnya harga ayam dan telur masih tinggi? Isu adanya potensi pelanggaran
terhadap Undang-undang Persaingan Usaha atau UU lainnyapun sudah mulai
berhembus.
Tanpa bermaksud membahas
isu tersebut, tulisan ini hanya berusaha membuka cakrawala dibalik kenaikan
"fenomenal" harga broiler dan telur ayam ras di tingkat peternak ini
yang berujung pada kenaikan daging ayam dan telur di tingkat pengecer.
Merunut situasi pasar broiler dan telur tiga pekan ini, tidak
bisa dipungkiri bahwa kenaikan harga broiler dan telur yang fantastis ini
merupakan momen lanjutan dari serangkai berbagai kisah di pasar broiler dan
telur semenjak jelang libur akhir tahun lalu. Dimana menurut catatan penulis, dari sisi permintaan,
menjelang libur panjang sekolah 20 Desember 2015 lalu harga broiler hidup dan
telur menemukan laju kenaikan yang sangat nyata. Momen libur panjang akhir
tahun lalu yang diwarnai kemacetan fatal di jalur arah keluar kota Jakarta,
sepertinya mampu mendorong permintaan broiler dan telur hingga 5 kali lipat.
"Permintaan sangat kuat, saya perkirakan sampai lima kali lipat dari
biasanya," ungkap Muhlis pelaku pasar broiler di Yogyakarta.
Kuatnya permintaan
saat liburan akhir tahun lalu terjadi karena bertemunya beberapa momen penting
yakni Libur Panjang Sekolah,Hari Raya Natal dan bulan Maulid yang secara
tradisi menjadi bulan yang baik bagi umat Muslim di Indonesia untuk
menyelenggarakan hajatan keluarga. Maka menjadi tidak heran permintaan broiler
dan telur menguat tinggi, sehingga mendorong kenaikan harga broiler dan telur
masing-masing berkisar 27 persen. Hal yang sepertinya tidak terjadi saat
lebaran tahun lalu.
Pasar Broiler
Hal yang tak
disangka-sangka para pelaku pasar adalah pasca libur akhir tahun lalu, ternyata
harga broiler hidup tidak mengalami penurunan. Justru terjadi sebaliknya, harga
broiler malah terus naik. Bahkan menurut catatan penulis, harga broiler di
kawasan Jabodetabek terpantau dengan harga tertinggi mencapai Rp 23.000/kg dan
secara nasional harga tertinggi dicapai di daerah wilayah-wilayah Kalimantan
yakni sebesar Rp 26.000/kg. Apa sesungguhnya yang terjadi?
Tinjauan dari sisi suplai
ternyata menjawab pertanyaan itu. Menurut berbagai narasumber, penulis mendapati
fakta yang sama di berbagai daerah,
yakni adanya penurunan suplai yang sangat nyata. Menurut Pinsar Wilayah
Sumatera Selatan ada gangguan di produksi. "Berat ayam umur 2 minggu hanya
250 gram, dan 3 minggu hanya 500 gram," ungkap Ismaidi. Turunnya performa
produksi broiler juga dialami peternak di Bali, Jawa Timur dan hampir semua
wilayah.
Menurut Singgih Januratmoko
- Ketua Pinsar Indonesi turunnya performa produksi karena kualitas pakan yang
menurun. "Ini dikarenakan dampak kelangkaan jagung yang dialami pabrikan.
Kalaupun ada jagung dengan kualitas rendah dan berharga mahal," jelasnya.
Situasi ini diperparah dengan dampak el nino yang menyebabkan sebagian besar
farm mengalami kesulitan air. Menilik situasi ini menjadi wajar, harga broiler
mengalami kenaikan tertinggi akibat suplai yang tidak mencukupi. Namun demikan,
saat tulisan ini dibuat, harga broiler hidup di beberapa wilayah sudah mulai
menurun. Di Kalteng dan Kalsel bahkan sudah tertekan di bawah harga HPP nya
yakni di harga Rp 13.500-15.000/kg. Menurut sumber penulis, penurunan disebabkan
sepinya permintaan. Masa tanggung bulan diduga menyebakan daya serap pasar
broiler menurun drastis.
Telur Ayam Ras
Kondisi pasar telur ayam ras sedikit berbeda dengan dengan broiler.
Memasuki awal tahun 2016 ini, harga telur tercatat mulai mengalami tekanan.
Penulis mencatat di pasar telur Jabodetabek, harga tertinggi ex-farm telur
dicapai sebelum akhir tahun lalu yakni Rp 23.000/kg (28/12). Namun memasuki
awal tahun hingga tulisan ini dibuat harga telur ex-farm sudah menurun di Rp 21.300/kg(20/1).
Sementara di sentra produksi telur Blitar dan Solo tercatat Rp 19.800/kg (20/1).
Secara umum suplai telur nasional sangat cukup dan pada titik keseimbangan
yang bagus dengan permintaan untuk membentuk harga yang baik bagi kelangsungan
usaha peternakan. Gangguan-gangguan selama ini yang menyebabkan koreksi
terhadap harga telur adalah masuknya telur breeding farm yang tidak ditetaskan
masuk ke pasar komersil. Namun satu yang mendorong kuat harga telur beberapa
waktu lalu merangkak tinggi adalah kelangkaan jagung yang membuat ongkos
produksi telur naik 20 persen. Tak pelak, kondisi ni membuat peternak menjerit,
khususnya yang melakukan self mixing.
Untuk itu, peternak layer banyak berharap ke pemerintah, ke depan impor jagung
yang dibatasi oleh pemerintah segera diperlonggar, sehingga jagung segera mudah
didapat dan bisa menurunkan ongkos produksinya. (Samhadi)
0 Comments:
Posting Komentar