Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

DEFISIENSI VITAMIN A DAN E

DEFISIENSI VITAMIN A DAN E

(( Defisiensi vitamin E dan A merupakan penyakit nutrisional yang bersifat non infeksius. Namun untuk ternak cukup berpengaruh terutama pada capaian produksi dan reproduksi yang secara nyata dapat menurunkan kedua aspek tersebut. ))

Peternak diharapkan tetap teliti dan waspada dengan kejadian defisiensi vitamin E dan A di farm dan bila ada kasus, segera konsultasikan dengan Technical Services dan dokter hewan dari perusahaan obat-obatan dan dari instansi pemerintah terkait lainnya.
Defisiensi vitamin A dan E sering diderita ayam broiler dan layer pada periode pemanasan umur 0-3 bulan. Pada masa ini anak ayam umur sehari (DOC) sampai usia tiga bulan membutuhkan asupan vitamin A dan E dalam jumlah yang tinggi.
Kadang pakan yang didapatkan dari feedmill masih belum mampu memenuhi kebutuhan vitamin A dan E anak-anak ayam tersebut. Untuk itu peternak perlu memperhatikan kualitas pakan yang didapatnya, misalnya melalui uji kandungan gizi, namun hal ini sulit dan jarang dilakukan karena membutuhkan biaya yang cukup besar.

Vitamin A

Vitamin A misalnya, semua ternak membutuhkan vitamin ini. Vitamin A tidak terdapat dalam bahan makanan nabati secara aktif tetapi dalam bentuk provitamin yang dapat dirubah menjadi bentuk aktif dalam tubuh ternak. Provitamin A atau zat-zat karotin ini aktivitas biologisnya sama setelah dipecah oleh enzim beta karotin 15,15’-dioksigenase dalam mukosa usus kecil.
Produk pemecahan ini adalah retinal yang direduksi menjadi retinol dalam sel-sel mukosa dengan katalisatornya ammonium sulfat. Salah satu bahan makanan ternak yang banyak mengandung provitamin A adalah jagung dengan kisaran potensi biologisnya 123-262 IU/mg. Secara fisiologis esensi vitamin A bagi ternak adalah untuk memelihara jaringan epitel agar jaringan tersebut dapat berfungsi secara normal.
Jaringan epitel dimaksud adalah semua jaringan epitel yang terdapat pada mata, alat pernafasan, alat pencernaan, alat reproduksi, saraf dan sistem pembuangan urine. Hubungan antara vitamin A dengan fungsi mata yang normal perlu mendapat perhatian khusus.
Vitamin A dibutuhkan untuk mensintesa rodopsin yang selalu rusak oleh proses foto kimiawi sebagai salah satu proses fisiologis dalam sistem melihat. Vitamin A biasanya bersatu dengan protein dalam visual purple.
Bila terjadi defisiensi vitamin A, sintesa visual purple akan terganggu dan terjadilah kelainan-kelainan dalam melihat. Defisiensi vitamin A merupakan penyakit nutrisional, yakni akibat kurangnya kandungan vitamin A dalam bahan pakan. Upaya yang dapat dilakukan peternak adalah dengan mencukupinya dari berbagai materi bahan pakan ternak.

Vitamin E

Lalu vitamin E yang berhubungan dengan tingkat kesuburan ternak. Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop pada tahun 1922. Vitamin E merupakan nama umum dari semua derivate tokol dan tokotrienol yang secara kualitatif memperlihatkan aktivitas alfa-tokoferol (tokos artinya kelahiran atau turunan, pherson artinya memelihara, ol artinya alcohol).
Penamaan ini adalah untuk semua metil-tokol. Istilah tokoferol bukanlah sinonim vitamin E, walaupun dalam praktek sehari-hari kedua istilah ini selalu disinonimkan.
Di pasaran, vitamin E tersedia dalam beberapa bentuk, yakni dalam bentuk minyak pekat, emulsi cair, emulsi dalam tepung, emulsi dalam gelatin, gum, akasia, gula dan lainnya serta dalam bentuk askorbat dalam bentuk tokoferil yang difungsikan sebagai carrier untuk dicampurkan dalam bahan makanan.
Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin E yang direkomendasikan seperti jagung, tepung ikan, tetes, beras pecah kulit, gandum, dedak gandum dan biji-bijian bekas fermentasi. Defisiensi vitamin E dalam tubuh ternak berdampak pada terganggunya sistem reproduksi, terganggunya fungsi organ-organ tubuh seperti hati, jantung, darah dan otak serta munculnya berbagai problema pada urat daging ternak.
Pada ternak ayam, defisiensi vitamin E dapat mengganggu kesuburan reproduksi misalnya menurunnya daya tetas telur. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Creger dkk (1962) yang dilaporan Green (1971) bahwa pakan ayam dengan kadar vitamin E minimal dapat ditambahkan minyak ikan 2%, hal ini dapat mempertahankan kembali tingkat kesuburan reproduksi ayam yang dipelihara.
Di samping itu, Green pada tahun 1971 kembali melaporkan bahwa fertilitas ayam jantan dapat menurun bila terjadi kenaikan kadar asam linoleat yang berasal dari minyak jagung dan minyak kembang matahari dalam pakan tinggi. Sementara itu vitamin E dalam tubuh dapat berfungsi sebagai antioksidan in vitro maupun in vivo.
Vitamin E sebagai antioksidan in vitro bila prosesnya hanya terjadi dalam pencampuran makanan sampai dengan makanan tersebut belum diserap di dalam saluran saluran pencernaan. Selanjutnya sebagai antioksidan in vivo secara praktis dapat dilihat pada penyimpanan karkas.
Ternak unggas secara alamiah mudah mendapatkan proses oksidasi pada lemaknya. Hal ini terjadi bila pakan ternak unggas tersebut banyak mengandung asam-asam lemak tak jenuh atau asam lemak yang mudah teroksidasi.
Asam lemak tersebut dideposit dalam daging atau jaringan lemak tanpa atau sedikit sekali berubah, selanjutnya dapat meningkatkan oksidasi dalam jaringan tersebut, inilah yang sering disebut sebagai pemicu memunculkan rasa tidak enak atau off flavor pada daging.
Disamping itu, akan terjadi perubahan-perubahan warna dan penurunan kualitas selama produk-produk tersebut disimpan dalam penyimpanan.
Kebutuhan vitamin E untuk proses penyimpanan karkas ayam adalah 30-50 IU/kg makanan bila diberikan secara adlibitum atau 150-250 IU/kg bila diberikan seminggu sebelum ayam tersebut dipotong. Vitamin E juga bisa digunakan untuk membantu meningkatkan imunitas tubuh ternak.
Hasil penelitian Tengerdy dan Happel tahun 1973 menjelaskan bahwa pemberian vitamin E yang melebihi kebutuhan normal dapat mempengaruhi mekanisme resitensi tubuh secara positif yakni dengan jalan meningkatkan pembentukkan cairan antibodi secara efisien pada ayam muda maupun ayam dewasa.
Dengan meningkatnya cairan antibodi ini maka ayam secara tidak langsung dapat membunuh bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuhnya. Dosis yang dianjurkan terkait kegunaan vitamin E ini untuk ayam adalah 130-150 mg/kg pakan yang telah mengandung 35-60 mg/kg. (Daman Suska).

STRES PANAS JUGA TURUNKAN IMUNITAS

STRES PANAS JUGA TURUNKAN IMUNITAS

(( Berparameter perbedaan produksi dan daya tahan tubuh ayam, semua produksi dipengarui oleh stres panas. ))

Panas karena sengatan sinar matahari, sering membuat diri kita gerah dan mendorong kita untuk berteduh sekaligus mengonsumsi lebih banyak air minum. Saat cuaca yang panas konsentarsi kita sering terganggu. Bagaimana jika ayam yang ada di kandang mengalami stres karena panas?
Masyaly dkk (2004) dari Mesir dalam sebuah penelitiannya mengatakan bahwa ternyata stres, karena panas yang dialami oleh ayam tidak hanya menurunkan penampilan dari ayam tapi juga menurunkan daya tahan tubuh ayam yang dapat diamati dari banyaknya ayam yang mati akibat stres karena panas ini.
Penelitian ini menggunakan 180 ayam petelur yang sedang berada pada puncak produksi, dengan umur ayam 31 minggu. Di mana ayam diletakkan pada lima belas kandang dengan masing-masing kandang berisi empat ekor ayam, dengan masing-masing kandang akan menerima satu dari tiga perlakuan.
Tiga perlakuan itu adalah kontrol (temperatur rata-rata serta kelembaban relatif), siklus (siklus temperatur harian dan kelembaban), dan Stres Panas (kelembaban dan panas yang konstan) selama lima minggu. Parameter yang diamati adalah perbedaan produksi dan daya tahan tubuh ayam.
Kelompok kontrol diperlakukan dengan pengaturan suhu sebesar 23,9°C, kelembaban 50 persen dengan indek panas sebesar 25°C, yang mewakili indeks panas rata-rata pada musim yang berbeda-beda.
Kelompok siklus diperlakukan dengan memberi temperatur dan kelembaban yang berubah setiap hari, yaitu dengan suhu antara 23,9°C sampai 35°C, dan kelembaban antara 50% sampai 15%, yang mewakili siklus secara alami pada saat musim panas.
Dan kelompok ketiga adalah stres panas dipaparkan dengan suhu 35°C, dengan kelembaban 50 persen, dengan indeks panas 41,1°C yang mewakili kondisi stres panas.

Produksi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua produksi dipengarui oleh stres panas, dengan rata-rata berat badan lima minggu masa penelitian sebesar 1,528g, 1,414g dan 1,233 g masing-masing dari grup konntrol, siklus dan stres panas.
Menurut Masyaly penurunan berat badan dan penampilan yang lain dari ayam yang ada pada kelompok stres panas pada penelitian ini disebabkan oleh berkurangnya konsumsi pakan oleh ayam.
Pada penelitian ini penurunan feed intake sebanding dengan tingginya dan panjangnya paparan stres panas, ayam yang ada pada kelompok stres panas mengalami penurunan jumlah konsumsi pakan secara signifikan bila dibandingkan dengan kelompok siklus, dan lebih signifikan pula bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Penurunan konsumsi pakan ini adalah sebagai respon dari stres panas. Dan lebih jauh lagi dari sekedar penurunan berat badan dan konsumsi pakan adalah adanya peningkatan jumlah kematian.
Kematian dari kelompok stres panas sebesar 31,7 persen,yang lebih tinggi dari kelompok siklus maupun kontrol yaitu masing-masing 6,7 dan 5 persen. Menurut Masyaly peningkatan angka kematian ini mengarah pada hambatan respon ketahanan tubuh.
Sementara itu produksi telur perhari juga mengalami penurunan jika dibandingkan dengan siklus maupun kontrol. Penurunan produksi ini disebabkan karena adanya penuruanan konsumsi pakan, serta adanya pengurangan nutrisi yang dipergunakan untuk memproduksi telur.
Selain itu stres panas juga menurunkan daya cerna ayam terhadap komponen pakan, lebih jauh lagi pemaparan pada suhu yang tinggi akan mengurangi konsentrasi protein plasma dan kalsium plasma padahal keduanya sangat dibutuhkan untuk membentuk telur.
Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa pemaparan ayam terhadap suhu yang tinggi ternyata memberi hasil penuruanan kualitas telur, yaitu berat telur, berat cangkang dan ketebalan cangkang.
Berat telur yang ada pada kamar stres panas lebih rendah bila dibandingkan dengan siklis, dan siklis lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol, hasil ini mengarah pada rendahnya konsumsi pakan.
Dan ketebalan cangkang lebih tipis bila dibandingkan dengan siklus dan kontrol, rendahnya ketebalan cangkang ini disebabkan oleh rendahnya kalsium plasma. Akhirnya ayam yang terletak pada kandang dengan stres panas pada umumnya mempunyai Huge Unite (HU) lebih besar bila dibandingkan dengan siklus maupun kontrol.

Ketahanan Tubuh

Hasil penelitian ini tidak menunjukkan proliferasi sel B dan sel T secara signifikan yang dipengaruhi stres panas, hal ini disebabkan karena adanya hambatan sintesisi limfosit T dan B, dan adanya tekanan pada aktivitas phagositosis dari darah putih.
Lebih jauh lagi totol sel darah putih dari kelompok stres panas, setelah terpapar selam empat minggu, lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok kontrol dan sangat signifikan lebih rendah bila dibandingkan dengan siklus. Hasil ini menunjukkan bahwa stres panas dapat mengurangi jumlah serta aktivitas dari sel darah putih.
Akhirnya humoral imunity dari ayam yang ada pada kelompok stres panas ternyata tertekan, bila dibandingkan dengan kelompok siklus maupun kontrol. Penelitian ini menemukan bahwa ayam yang berada pada kelompok stres panas satu sampai empat minggu setelah pemaparan panas, mempunyai titer antibodi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok siklus maupun kontrol.
Penurunan ini disebabkan oleh adanya pembengkakan cytokin pada saat terjadi stres, yang mempengarui stimulasi hipotalamus untuk memproduksi corticotropin releasing factor (CRF).
CRF ini adalah berfungsi untuk meningkatkan hormon adrenocorticotropic, di mana hormon ini akan merangsang produksi corticosteron dari adrenal gland. Corticosteron lalu akan menghambat produksi antibodi.
Dan lebih jauh diketahui bahwa stres panas ternyata akan menurunkan kerja T-helper 2 cytokin, yang penting untuk produksi antibodi.

(Drh Ma’shum, alumnus FKH Unair Surabaya)

SOLUSI PENGENDALIAN AI PADA BROILER

SOLUSI PENGENDALIAN AI PADA BROILER

(( Pengendalian AI harus menggunakan berbagai kombinasi strategi yang berbeda yang didasarkan pada karakteristik usaha perunggasan yang mempunyai resiko tinggi terserang AI. Mengapa masih tetap ada letupan-letupan kecil kasus AI di daerah tertentu? ))

Kemajuan usaha perunggasan Indonesia saat ini patut diacungi jempol. Berbagai terobosan terkini diraih pakar-pakar anak bangsa ini dan disebarkan secara cepat melalui teknologi canggih yang dapat diadopsi secara cepat pula oleh pengguna akhir yakni para peternak di lapangan.

Ibarat sebuah perjalanan, perjalanan perkembangan usaha peternakan dan kesehatan hewan negeri ini selalu dibarengi onak duri. Sehingga fluktuasi usaha dibidang perunggasan selalu saja terjadi bahkan tidak sedikit pengusaha dibidang ini jatuh bangun, namun kembali eksis menekuninya.

Kemunculan Avian Influenza di awal tahun 2003 merupakan salah satu penyebab banyaknya pengusaha dibidang perunggasan yang gulung tikar. Demikian juga minat penanam modal diusaha ini mengalami penurunan drastis. Hal ini mengkhawatirkan pihak-pihak yang berkompeten termasuk Departemen Pertanian yang secara langsung membawahi bidang ini.

Saat ini, setelah lima tahun dunia perunggasan Indonesia bersama AI, kondisi usaha peternakan kembali membaik meskipun dibeberapa daerah masih saja ditemukan letupan-letupan kasus AI.

Penyakit AI merupakan penyakit pernafasan yang disebabkan oleh Virus Avian Influenza (VAI). Penyakit ini ditandai dengan kematian mendadak tanpa gejala klinis, penurunan berat badan, produksi telur dan berat telur, pembengkakan pada kepala, mata dan jengger, pendarahan jaringan bawah kulit dan warna biru pada pial dan kaki serta keluar leleran lendir dari hidung, diare, batuk dan sesak nafas. Pada unggas, tingkat mortalitas ayam terpapar bisa mencapai 100% dari total populasi.

Di samping itu, dalam perjalanan penyakit ini, dilaporkan penyakit ini dapat menular ke manusia. Namun ditegaskan bahwa penularannya bukan melalui bahan pangan produk unggas. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit AI. Hal ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi peternak yang tetap intens dengan usaha ini serta menghindari kemungkinan penularan AI dari unggas ke manusia dan atau sebaliknya.

Pengendalian AI sampai saat ini masih diperdebatkan oleh beberapa kalangan terkait. Namun masih belum juga ditemukan titik cerah, kapan kasus AI akan berakhir di negeri ini?

Menanggapi hal ini, PT Romindo Primavetcom yang intens dengan obat-obat hewan yang bermutu baik, pada Indo Livestock 2008 expo dan forum, menghadirkan Prof drh Charles Rangga Tabu MSc PhD untuk menyampaikan materi tentang Solusi Pengendalian AI pada Broiler.

Menurut Prof Charles, pengendalian AI di Indonesia perlu dikaji ulang, apakah sudah tepat pada sasarannya? Bila belum menyentuh pada sasaran dimaksud, maka diperlukan mengkaji ulang dimana letak kesalahan yang selama ini dilakukan.

Tindakan pengendalian AI tidak bisa dilepaskan dari karakteristik peternakan broiler ataupun layer di negeri ini. Berdasarkan pengalaman lapangan, mayoritas kandang yang dimiliki peternak adalah kandang sistem terbuka yang didirikan pada lokasi yang saling berdekatan. “Ini jelas tidak sesuai dengan konsep pendirian kandang yang aman dan sehat, baik bagi ternaknya ataupun untuk manusia yang tinggal disekitar lokasi kandang tersebut,” jelas Prof Charles.

Di samping itu, kualitas manajemen yang ada sangat bervariasi, artinya belum ada kesepakatan antar peternak, manajemen yang manakah yang harus diterapkan dalam hal kontrol yang baik untuk menghindari jangkitan penyakit di lokasi farmnya. Variasi sistem pemeliharaan ini diyakini memberikan peluang yang besar bagi bibit penyakit untuk masuk ke lokasi farm, kemudian pada saat peternak lengah, maka penyakit dari farm-farm lainpun dapat menginfeksi ternaknya.

Hal menarik lainnya terkait karakter peternak broiler Indonesia adalah pemeliharaan ayam dengan umur yang bervariasi dalam satu lokasi. Pada hal ini sangat tidak dianjurkan, terutama terkait kemungkinan terjadinya penularan penyakit yang cepat. Lalu bagaimana solusi yang tepat dalam pengendalian AI?

Menurut Prof Charles, pengendalian AI harus menggunakan berbagai kombinasi strategi yang berbeda yang didasarkan pada karakteristik usaha perunggasan yang mempunyai resiko tinggi terserang AI. Hal ini ditegasnya bahwa sejauh ini belum ada suatu solusi ajaib yang manjur dan berlaku universal dalam usaha pengendalian AI ini.

Beberapa hal terkait yang dapat dijadikan acuan untuk pengendalian AI adalah tetap mengacu pada strategi penanggulangan AI besutan Deptan RI. Di samping itu, perlu adanya penekanan-penekanan pada beberapa kegiatan pengendalian baik yang berdasarkan pada strategi penanggulangan AI besutan Deptan RI ataupun dikombinasikan dengan tindakan pengendalian lainnya.

Namun yang terpenting disini menurut Prof Charles adalah evealuasi strateginya, karena hal ini dapat memberikan informasi tentang sejauh mana tingkat keberhasilan atau kelemahan strategi yang telah dilaksanakan, serta penyesuaian dan perbaikan program penanggulangan yang sesuai dengan umpan balik dari lapangan.

Dikatakannya lagi, untuk pihak-pihak terkait, perlu melakukan pencegahan terhadap kemungkinan masuknya VAI atau sumber VAI lainnya ke dalam areal peternakan atau daerah-daerah tertentu, pengendalian jika terjadi letupan AI, vaksinasi terhadap AI yang disesuaikan dengan resiko terhadap infeksi VAI, kajian epidemiologi tentang AI dan edukasi peternak, pengusaha, dan sosialisasi pada masyarakat. Lantas mengapa masih tetap ada letupan-letupan kecil kasus AI di daerah tertentu?

“Inilah Pekerjaan Rumah kita (red: dokter hewan) yang belum tuntas, yang masih kita pikul bersama, mengkaji kembali dimana letak kesalahannya,” jelas pakar perunggasan ini. Ditegaskan Prof Charles bahwa dalam pengendalian AI tetap ada masalah dan masalah inipun datangnya dari peternak-peternak yang kurang mendapatkan edukasi terkait AI itu sendiri.

Masalah-masalah dimaksud seperti isolasi peternakan sulit dilakukan, aspek manajemen cenderung tidak optimal sehingga biosekuriti cenderung longgar, ini menyebabkan titer maternal antibodi terhadap VAI tidak maksimal. Kemudian sistem pemasaran ayam dan distribusi kotoran ayam belum mengacu pada prinsif biosekuriti yang ketat, serta control lalu lintas unggas dan produk sampingnya sulit dilakukan.

“Selagi masalah ini belum mampu ditekan atau dilenyapkan, maka pengendalian AI di negeri ini masih tetap seperti-seperti ini saja, artinya pengendalian AI tetap stagnasi dengan gaya lama dan dana untuk kegiatan ini akan hilang tanpa hasil nyata,” pungkas Prof Charles. (Daman Suska)

PROYEK MONITOR AI UNTUK KEBIJAKAN TEPAT

PROYEK MONITOR AI UNTUK KEBIJAKAN TEPAT

(( Sangat terasa betapa tidak main-mainnya proyek ini. Keberhasilan dari proyek ini jelas didambakan oleh segenap masyarakat dan bangsa Indonesia. ))

Dalam rangka memonitor perkembangan dinamika virus Avian Influenza di Indonesia untuk menentukan kebijakan pengendalian yang tepat, Pemerintah Indonesia telah bekerjasama dengan FAO/OIE.

Program yang dijalankan sejak Oktober 2007 sampai September 2008 itu bernama ‘Monitoring AI Virus Variants in Indonesia Poultry and Defining an Effective and Sustainable Vaccination Strategy’ yang dapat diartikan Monitor Varian-varian Virus AI di Indonesia pada unggas dan menentukan strategi vaksinasi yang efektif dan berkelanjutan.

Hasil perkembangan dari program yang dikenal sebagai Proyek OFFLU tersebut telah dipaparkan pada 19 Juni 2008 di Ruang rapat Dirjennak di Jakarta melibatkan mitra dari Proyek OFFLU (OIE/FAO Animal Influenza Network), kontributor Proyek OFFLU, dan partisipan lain pertemuan terbuka Proyek OFFLU.

Acara dipimpin oleh Dr Elly Sawitri Siregar Koodinator Control Monitoring Unit (CMU) atau Unit Pengendalian Penyakit AI Direktorat Jenderal Peternakan, dan Gwen Dauphin. Lalu pendahuluan dan perkembangan Proyek OFFLU disampaikan oleh Gwenaelle Dauphin dari FAO focal point Roma.

Kemudian masuk pada review proyek meliputi hasil utama dan hasil dari tiap bagian proyek. Saat itulah Frank Wonk seorang ahli biologi molekular dari AAHL (Australian Animal Health Laboratory) menyampaikan keseluruhan hasil dari karakterisasi virus.

Dilanjutkan dengan materi perkembangan di AAHL oleh Peter Daniels dari AAHL, Deputy Director CSIRO Livestock Industries. Lantas perkembangan di SEPRL/ kartografi antigenik di Erasmus oleh David Swayne dari SEPRL (SouthEast Poultry Research Laboratory) USDA alias Kementrian Pertanian Amerika Serikat.

Selanjutnya materi koleksi isolat di Indonesia dan pengiriman ke AAHL oleh Dr Ronald N Thornton seorang ahli epidemiologi FAO di Jakarta. Selantasnya materi akselerasi koleksi isolat lapangan menueur sistem PDSR disampaikan oleh Eric Brum kepala advisor teknik PDSR juga dari FAO di Jakarta.

Hasil terkini dari penilitian di Bbalitvet (Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner) Bogor diampaikan oleh Drh Indi Dharmayanti MS.

Adapun materi tentang metodologi berupa biaya vaksinasi dan efektivitas biaya disampaikan disampaikan oleh Jonathan Rush seorang ahli ekonomi sosial dari FAO di Roma. Sedangkan materi tentang metodologi yang dianjurkan dan diskusi database disampaikan oleh Mia Kim seorang ahli informasi matematik biologi OFFLU dari FAO Roma.

Selanjutnya materi tentang metodologi mengapa vaksin reverse genetik digunakan di Indonesia disampaikan oleh David Swayne dari SEPRL, USD dan Gwenaelle Dauphin seorang focal point OFFLU dari FAO Roma tadi.

Inti dari diskusi meliputi hasil diskusi, koleksi isolat, berbagi pengalaman, persoaln-persoalan vaksin baru berupa starin, subtipe, paten, registrasi, produksi vaksin baru, pengembangan kapasitas, kolaborasi privat/publik, dan perspektif proyek ini.

Di situ tampak betapa permasalahan AI di Indonesia telah menjadi kepedulian dunia Internasional melibatkan berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu. Juga melibatkan lembaga-lembaga dari dalam dan luar negeri yang berkompetan serta punya legitimasi keilmuan maupun politis. Dengan dana-dana yang juga tidak sedikit agar proyek ini berjalan lancar.

Tampak pula bahwa kekayaan isolat virus AI Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi seluruh institusi dari berbagai lembaga dari berbagai negara dan lembaga internasional seperti FAO yang merupakan lembaga pangan PBB. Dengan demikian terjadi berbagai kemungkinan penggunaan isolat virus AI yang bila tidak dikelola secara adil dapat menyebabkan berbagai masalah politis, ekonomi maupun ilmiah.

Pertemuan ini juga dihadiri oleh pejabat-pejabat berbagai lembaga pemerintahan dan berbagai institusi non pemerintahan. Tampak di antara daftar undangan pejabat itu adalah pejabat yang bermasalah melanggar hukum yang menyebabkan negara kehilangan uang 19 Milyar Rupiah untuk pengadaan Rapid Test AI yang tidak bisa digunakan.

Dengan mengamati berbagai pembicaraan dan diskusi yang berkembangan serta pemaparan materi oleh semua narasumber, sangat terasa betapa tidak main-mainnya proyek ini. Keberhasilan dari proyek ini jelas didambakan oleh segenap masyarakat dan bangsa Indonesia. Sangat tidak dibenarkan terjadi penyelewengan dalam bentuk apapun apalagi menilap uang rakyat sementara bangsa ini sangat membutuhkan berbagai cara untuk mengatasi masalah AI.

Salah satu cara itu adalah dengan proyek dengan dana dari berbagai lembaga internasional ini agar Indonesia dan dunia berhasil mengatasi masalah Avian Influenza sebagaimana tema yang diusung ‘Monitor Varian-varian Virus AI di Indonesia pada unggas dan menentikan strategi vaksinasi yang efektif dan berkelanjutan’. (YR)

KABAR TERBARU :ASCITES (PULMONARY HIPERTENSION SYNDROME) PADA UNGGAS

KABAR TERBARU :
ASCITES (PULMONARY HIPERTENSION SYNDROME) PADA UNGGAS

(( PHS (Pulmonary hypertension syndrome) yang kemudian diikuti dengan ascites merupakan salah satu penyebab kerugian dalam industri perunggasan terutama pada ayam broiler dan layer. ))

PHS biasanya disebut sebagai ascites, yang menyebabkan kerugian akibat kematian hingga 2% dan 0,35% yang terjadi di Kanada. Pada tahun 1994, kerugian akibat ascites diperkirakan mencapai $ US 12 juta di Kanada dan $ US 100 juta di Amerika. Perkiraan biaya kerugian di seluruh dunia untuk PHS mendekati $ US 500 juta.
Untuk Indonesia, kejadian Ascites kurang mendapat perhatian bagi kalangan pakar perunggasan, akademisi maupun peternak. Hal ini mengingat Ascites merupakan penyakit individual yang bersifat tidak menular atau non infeksius.
Padahal, secara statistic angka kejadian Ascites di negeri ini cukup tinggi terutama pada ayam broiler dan layer dengan mutu genetic yang rendah, pakan dengan nilai gizi yang kurang lengkap serta lingkungan pemeliharaan yang kurang sesuai dengan kualitas bibit ayam broiler modern saat ini.

Penyebab Utama

Mekanisme utama penyebab ascites adalah meningkatnya tekanan hidrostatis intravaskuler, kemudian terjadi gagalnya ventricular kanan. Sebagai akibat dari meningkatnya tekanan, transudate keluar dari pembuluh darah dan akan terakumulasi di dalam rongga abdominal, kondisi inilah yang disinyalir sebagai pemicu terjadinya ascites pada ayam.
Kemudian terjadinya gagal jantung pada ayam broiler muda sehat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk seleksi genetik untuk pertumbuhan cepat, efisiensi pakan yang tinggi dan besarnya proporsi otot dada, hal ini semuanya membutuhkan oksigen yang tinggi.
Ratio yang rendah antara volume paru-paru dan berat badan pada ayam broiler modern, hal ini menyebabkan ketidakmampuan sistem pernapasannya untuk mengangkut oksigen yang dibutuhkan, sehingga dapat menyebabkan Hipoksia dan respiratory acidosis.

Radikal Bebas

Kejadian Hipoksia dapat meningkatkan produksi radikal bebas. Hasil penelitian Ghislaine Roch, Martine Boulianne dan Laszlo De Roth dari Universitas Montreal Kanada membuktikan bahwa ada pengaruh antioksidan (vitamin E dan Selenium, baik yang organik maupun anorganik) terhadap kejadian PHS.
Jika terjadi Hipoksia, maka berbagai mekanisme dapat meningkatkan produksi radikal bebas termasuk lemak peroksida, hidrogen peroksida dan superoksida. Kerusakan jaringan sekunder hingga munculnya Hipoksia dapat menarik sel darah putih yang kemudian melepaskan radikal bebas sehingga menyebabkan kerusakan berbagai jaringan di organ dalam tubuh ayam.
Sementara itu, Maxwell dan Enkuvetchakul dkk (1993) mengamati infiltrasi sel inflammatori di berbagai jaringan pada ayam yang terkena PHS. Menurut mereka, Asidosis juga akan mempengaruhi integritas membran seluler dan mengurangi penghapusan radikal bebas, yang berarti menambah buruknya efek negatif radikal bebas. Tingginya plasma lemak peroksida terjadi pada broiler yang terkena PHS.
Hipotesa Maxwell (1986) menyebutkan bahwa tingkat antioksidan pada broiler yang terkena PHS rendah. Teori ini didukung oleh penemuan Enkuvetchakul dkk (1993), yang menunjukkan lebih rendahnya vitamin E pada paru-paru dan hati serta level glutationin pada ayam yang terkena PHS.

Antioksidan

Peran antioksidan adalah untuk mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman, menghentikan proses lemak peroksida. Vitamin E (tokoferol) dan GSH-Px (serum glutathionine peroxidase) merupakan antioksidan yang bagus. Vitamin E menurunkan radikal peroksida menjadi lemak yang dioksidasi. Lemak ini diubah oleh GSH-Px menjadi lemak alkohol, yang berperan dalam memperbaiki lemak.
Pembentukan satu jenis GSH-Px tergantung pada keberadaan Selenium. Ini merupakan alasan mengapa Selenium dan vitamin E dapat bekerja secara sinergi untuk melindungi membran seluler. Ayam yang menderita PHS memiliki berat badan rendah, hematokrit tinggi, konsentrasi GSH (tokoferol dan glutationin) pada hati dan jaringan paru-paru rendah.
Tekanan oksidasi ditandai meningkatnya plasma lemak peroksida dan rendahnya oksidasi GSH di dalam hati dan eritrosit. Beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa vitamin E implantasi sangat efektif dalam mengurangi angka kematian karena kasus PHS pada broiler.
Sementara itu, suplemen vitamin E dalam pakan ternak tidak memberikan efek terhadap performan dan kematian. Dosis vitamin E yang digunakan dalam penelitian Ghislaine Roch, Martine Boulianne dan Laszlo De Roth dari Universitas Montreal Kanada ini adalah 87 IU/kg pakan, ini merupakan dosis yang direkomendasikan untuk ayam komersial.
Namun pada studi tersebut menunjukkan bahwa level tersebut terlalu kecil karena tidak berpengaruh secara signifikan dan perlu kiranya untuk melakukan penelitian dengan pemberian dosis vitamin E yang lebih tinggi. (Daman Suska, dari berbagai sumber).

Praktisi Perunggasan dan AI di Indonesia

Praktisi Perunggasan dan AI di Indonesia


(( Memang pantas dicatat, sangat sedikit praktisi perunggasan yang dapat menyeimbangkan antara peran sebagai pedagang obat/vaksin dengan moral keilmuan. ))

Begitu banyak praktisi perunggasan yang Salah tidak dapat dilepaskan dengan upaya penanggulangan penyakit AI di Indonesia. Salah satunya adalah adalah Drh Hadi Wibowo yang rajin berkeliling ke seluruh pelosok Nusantara. Bukan saja dengan alasan untuk mempromosikan obat dari perusahaannya, namun juga oleh karena dirinya merasa tertantang dan terpanggil untuk ikut berperan serta mencari solusi.
Infovet yang sering diajak Hadi bersama tim-nya, harus mengakui bahwa ada semangat besar dan keinginan kuat dari dalam dirinya untuk, mengambil peran nyata. Tidak sekadar berada dibelakang meja, dan main atur anak buahnya.
Hadi secara nyata terjun langsung dan aktif bergerak di lapangan. Di Banyumas, Semarang, Solo dan Blitar juga daerah lainnya yang diikuti Infovet, Hadi dan Tim nya aktif menggelar seminar dan kemudian masuk keluar kandang para peternak, mencari masukan penting sekaligus menawarkan solusi dalam mengatasi AI.
Begitu kasus wabah AI di Indonesia belum lama ini kembali terulang, maka email dan puluhan Layanan Pesan Singkat atau SMS (Short Message Service) masuk ke telepon genggam Drh Hadi Wibowo, lelaki yang kenyang asam garam perunggasan nasional ini. Begitu juga tidak ketinggalan Infovet Biro Yogyakarta mendapat ucapan yang rada mirip, baik secara langsung ketika ketemu maupun telepon serta lewat SMS
Contohnya kala itu di bulan kedua di tahun 2005 sudah muncul adanya indikasi kuat mewabahnya AI di Sukabumi dan Sidrap Sulawesi Selatan SMS terkesan nakal mencoba menjahili Hadi. Dan akhirnya benar juga, begitu meledak dan di”blow up“ oleh media cetak dan elektronik nasional, kasus menghebohkan itu membuat semua pihak seperti tersengat, mengingat belum genap setahun luka itu masih menganga.
Kala itu muncul pertanyaan liar, apakah prediksi Drh Hadi Wibowo yang kala itu secara eksklusif hanya dimuat oleh Infovet, atas dasar profesional keilmuan atau interest sebagai pedagang obat.
Sebab, seperti diketahui Drh Hadi Wibowo, mantan orang yang lama hidup kandang ayam itu, 6 tahun terakhir ini terjun menjadi profesional di sebuah perusahaan distributor obat hewan. Tepatnya menduduki jabatan Product Manager. Sehingga tidak heran, ketika prediksi, tentang AI saat itu (2004) lebih banyak pihak-pihak yang mencibirnya.
Meski demikian, tidak semua, karena ada juga yang memberikan apresiasi atas pemikirannya yang maju. Salah satunya adalah Drh I Wayan Teguh Wibawan MSc PhD, dosen FKH IPB Bogor. Kala itu kepada Infovet, Wayan memberikan acungan jempol atas prediksinya.
Komentar salut bukan tanpa alasan, karena Hadi mengungkapkan prediksinya atas dasar kaidah ilmiah yang sangat simpel alias sederhana. Meski sangat-sangat sederhana, namun sangat jauh dan terlepas dari aspek bisnis atau tidak berkaitan dengan posisinya sebagai eksekutif di sebuah perusahaan obat.
Kala itu pertengahan tahun 2004 di Blitar dalam sebuah seminar internal yang dihadiri para peternak dan praktisi regional JAwa Timur, seorang Hadi mencoba memberikan peringatan dini tentang kasus wabah penyakit AI tidak hanya berhenti sampai disini. Sebuah kemungkinan besar, bahwa di tahun-tahun mendatang sangat besar akan muncul lagi dalam kawasan yang sama, tetapi juga bisa terjadi di kawasan lain dengan dampak yang tidak kalah buruk.
Terlepas dari profesinya sebagai eksekutif sebuah perusahaan, ia mencoba meneropong, bahwa program vaksinasi akan banyak mengalami kegagalan, terutama jika tidak ada pendekatan baru.
Kala itu, ia sudah nyaring berteriak saat sebagai penjual sebuah produk, bahwa jika program vaksinasi saat ini masih saja dilaksanakan seperti dahulu, maka sudah pasti kegagalan tidak bisa dielakkan. Menurutnya kegagalan vaksinasi memang banyak, namun khusus untuk AI ia mencoba membuka wawasan peternak dan praktisi, bahwa penyakit AI jangan dipandang enteng.
Vaksinasi bukan jawaban tuntas, namun harus ada pendekatan baru agar langkah vaksinasi konvensional itu sudah mulai dipikirkan efektifitasnya. “Saya sebenarnya tidak ingin secara vulgar menawarkan produk perusahaan saya kepada para peternak, namun bagaimana lagi jika tidak demikian mereka akan menjadi korban AI,” ujarnya kepada Infovet kala itu.
Meski demikian lanjut Hadi, akhirnya ia harus berkompromi antara sebagai eksekutif di sebuah perusahaan dengan posisinya sebagai konsultan profesional yang berhamba pada keilmuan.
Memang pantas dicatat, sangat sedikit praktisi perunggasan yang dapat menyeimbangkan antara peran sebagai pedagang obat/vaksin dengan moral keilmuan. Dan, Hadi salah satu yang pantas untuk disebut profesional yang secara umum punya kredibilitas. (iyo)

Peran Sentral Pasar Unggas dalam Penyebaran AI

Peran Sentral Pasar Unggas dalam Penyebaran AI

(( Dalam upaya pengendalian suatu penyakit sangat penting diketahui jalur penularan penyakit. Hal ini untuk mengetahui tindakan apa yang sebaiknya dilakukan. Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memutus rantai penularan penyakit tersebut. ))

Dalam waktu empat tahun terakhir Avian influenza (AI)/flu burung mendapat perhatian yang serius dari segenap lapisan masyarakat Indonesia. Terlebih setelah jatuhnya korban manusia. Data-data yang ada menunjukkan besarnya ancaman AI terhadap kemapanan umat manusia di bumi ini.
Para ahli memprediksi akan terjadi pandemi influenza dan hal itu tinggal menunggu waktu. Laporan dari WHO sampai bulan Mei 2008 menyatakan bahwa jumlah kasus pada manusia di dunia mencapai 383 kasus dengan kematian mencapai 241 orang. Sementara di Indonesia sampai Mei 2008 terdapat 135 kasus dengan kematian manusia mencapai 110 orang (Komnas FBPI). Semakin bertambahnya korban manusia dari waktu ke waktu seakan menegaskan prediksi para ahli akan kemungkinan terjadinya pandemi.
Rantai penyebaran AI
Dalam upaya pengendalian suatu penyakit sangat penting diketahui jalur penularan penyakit. Hal ini untuk mengetahui tindakan apa yang sebaiknya dilakukan. Keberhasilan dalam pengendalian suatu penyakit sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memutus rantai penularan penyakit tersebut.
Melihat perkembangan jalur penularan AI ke manusia yang saat ini terjadi masih berasal dari unggas maka tindakan memotong rantai penularan dari unggas ke manusia merupakan langkah yang tepat. Saat ini dimana telah terjadi komersialisasi komoditi unggas maka sangat penting memperhatikan rantai distribusi unggas dan produknya. Hal ini dimaksudkan agar tindakan/kebijakan yang dilakukan dalam memotong rantai penularan/penyebaran AI dapat berjalan dengan tepat.
Berdasarkan hasil lokakarya pasar unggas hidup (live bird markets/traditional markets) yang diadakan oleh Komnas FBPI, USDA dan CIVAS ada empat titik kritis dalam rantai distribusi unggas dan produknya (daging) yaitu peternakan, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas dan tempat penjualan unggas dan produknya (pasar).
Salah satu titik kritis yang perlu segera mendapat penanganan adalah pasar. Sebagian besar pasar tradisional yang ada di Indonesia terdapat tempat penjualan unggas hidup dan produknya (pasar unggas). Hal ini harus mendapat perhatian serius dari kita mengingat beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pasar yang terdapat penjualan unggas dan produknya (pasar unggas) merupakan tempat yang memiliki risiko tinggi dalam penyebaran virus AI.

Pasar unggas
Pasar-pasar di Asia merupakan pusat aktivitas sosial dan ekonomi, namun pasar juga dapat menjadi sumber penyebaran penyakit (zoonosis) yang cepat. Bahkan sejumlah wabah penyakit saat ini ditularkan melalui pangan dan hewan hidup yang dijual di pasar. Tidak terkecuali keberadaan virus AI di pasar menjadi hal yang harus mendapatkan perhatian lebih. Hal ini mengingat pasar sebagai tempat yang memungkinkan kontak langsung antara unggas pembawa virus AI dengan manusia.
Pada tahun 1997 wabah H5N1 terjadi pada peternakan dan pasar becek/tradisional di Hong Kong. Untuk pertama kalinya dilaporkan H5N1 menyerang manusia dengan jumlah kematian 6 orang dari 18 kasus (WHO, 2005). Lemahnya biosekuriti dan buruknya higiene sanitasi yang ada memicu terjadinya penyebaran dan penularan virus AI di pasar yang menjual unggas hidup dan produknya.
Pasar tradisional di Indonesia umumnya terdapat penjualan unggas hidup dan produknya. Pasar ini menjadi salah satu titik kritis penyebaran virus AI yang harus menjadi perhatian dan kepedulian semua pihak dalam upaya menekan penyebaran virus avian influenza. Hal ini disebabkan atas beberapa alasan, yaitu sebagian besar pasar tradisional di Indonesia menjadi transaksi penjualan unggas hidup dan produknya.
Kondisi ini memperbesar kemungkinan kontak langsung antara manusia dan unggas terjadi. Selain itu, pada pasar tradisional juga terdapat tempat penampungan unggas (TPnU), tempat pemotongan unggas (TPU) dan tempat penjualan karkas.
Pada tahun 1997 FAO menyatakan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan di Hong Kong menunjukkan sebesar 20% unggas yang dijual di pasar terinfeksi virus avian influenza (H5N1). Kemudian tahun 2006 terdeteksi keberadaan H5N1 pada pasar makanan yang menjual unggas hidup di Guangzhou, China (Wang et al. 2006).
Penelitian ini menyatakan bahwa pasar makanan yang terdapat penjualan unggas hidup dapat menjadi sumber infeksi virus AI dan keberadaan virus dimungkinkan dibawa oleh unggas sehat. Pada penelitian ini juga ditemukan adanya antibodi pada pekerja yang menangani unggas di pasar. Sementara di Asia Tenggara keberadaan virus AI di pasar unggas hidup dilaporkan pada tahun 2001. Pada saat itu terdeteksi H5N1 pada unggas lokal yang dijual di pasar unggas hidup di Hanoi, Vietnam (Nguyen et al. 2001).
Berkaitan dengan keberadaan pasar unggas yang memiliki peran penting dalam penyebaran virus AI maka kita harus melihat kondisi pasar unggas di Indonesia saat ini. Apakah pasar unggas yang kita miliki saat ini memiliki risiko yang rendah dalam penyebaran virus AI atau sebaliknya?.
Penulis tidak dapat menggambarkan secara utuh tentang kondisi pasar unggas yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Tetapi yang akan disampaikan disini adalah gambaran hasil kunjungan pasar yang telah dilakukan dalam kegiatan lokakarya pasar unggas hidup (workshop on live bird markets/traditional markets). Semoga kondisi pasar yang ada dapat mewakili keberadaan pasar-pasar unggas diseluruh Indonesia.
Berikut beberapa kondisi yang bisa ditemui di pasar yang menjual unggas hidup dan produknya berdasarkan hasil lokakarya pasar unggas hidup yang diadakan di enam kota:
1. belum adanya pemeriksaan kesehatan hewan dan produknya secara rutin.
2. biosekuriti yang masih buruk.
3. tidak ada proses/program pembersihan dan desinfeksi kendaraan pengangkut, keranjang, peralatan, dan bangunan. Kalaupun ada tidak dilaksanakan secara rutin.
4. tidak ada batas yang jelas antara tempat penampungan, pemotongan dan penjualan unggas dan produknya dengan tempat komoditi lain.
5. sumber asal-usul ayam tidak diketahui asal peternakannya dan status kesehatannya.
6. transportasi unggas belum memenuhi standar (menggunakan motor) dan tidak memenuhi kaidah animal welfare.
7. tidak ada pintu khusus buat keluar masuknya unggas ke pasar.
8. tempat pengumpulan/penampungan dan pemotongan unggas yang tidak memenuhi standar minimal higine dan sanitasi yang baik.
9. penjualan multi spesies unggas (ayam buras, bebek, ayam ras) dalam satu tempat.
10. masih terdapat penjualan ayam hidup (konsumen membawa ayam hidup ke rumahnya).
11. belum ada peraturan tentang penataan unggas hidup dan produknya di pasar.
12. higiene personal yang masih buruk.
13. kurangnya kesadaran dari para penjual dan pembeli mengenai produk yang ASUH.
Beberapa kondisi yang ada seperti penjualan multispesies unggas dalam satu tempat, buruknya higiene, pembersihan dan penyucihamaan yang terbatas, dan tidak adanya pemeriksaan kesehatan unggas sebelum dipasarkan merupakan praktek-praktek yang berisiko tinggi dalam penyebaran virus AI (FAO, 2007). Kondisi ini memudahkan penyebaran dan penularan virus AI baik penularan antar unggas, unggas ke manusia maupun dari unggas ke lingkungan.

Konsep Pasar Unggas yang Sehat
Melihat kondisi yang ada maka keberadaan pasar unggas yang sehat menjadi satu keharusan jika kita ingin menekan penyebaran virus AI. Bertolak dari kondisi yang ada maka dalam pembuatan konsep pasar unggas yang sehat ada beberapa poin penting yang harus tercakup di dalam konsep pasar unggas yang sehat.
Poin-poin tersebut meliputi; keberadaan pasar, penerapan biosekuriti, higiene dan sanitasi, zoning antara tempat aktifitas penanganan unggas dan produknya (tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas, tempat penjualan karkas/daging unggas) dengan tempat penjualan komoditi lain, aktifitas penanganan unggas dan produknya terletak dalam satu area, kelayakan fasilitas dan infrastruktur, pemeriksaan kesehatan unggas, sistem pengawasan keamanan daging unggas (meat inspection system), konsep produk unggas yang keluar dari pasar dalam bentuk karkas bukan dalam bentuk unggas hidup, pemberdayaan masyarakat pasar (pengelola pasar, pemasok unggas hidup, pengumpul unggas hidup, pedagang unggas hidup, pemotong, pedagang daging/karkas unggas, pemerintah daerah, pihak swasta, konsumen), dan kerjasama semua pihak yang terkait.
Jika pembebasan dan pengendalian AI di Indonesia masih menjadi prioritas maka sudah seharusnya pasar di Indonesia yang menjual unggas dan produknya memenuhi standar pasar unggas yang sehat. Hal ini bisa terwujud jika semua pihak yang berkepentingan terlibat.
Semoga kita tidak perlu menunggu waktu lama untuk mewujudkan pasar unggas yang sehat. Kebijakan ini bisa dimulai dengan terlebih dahulu membuat beberapa pasar percontohan yang memenuhi standar pasar unggas yang sehat dibeberapa daerah. Setelah itu baru dikembangkan di daerah lainnya. Semoga keberadaan pasar unggas yang sehat di Indonesia benar-benar terwujud. Semoga.

(Agus Jaelani, Anggota Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies /CIVAS)

5 TAHUN AI DI INDONESIA OPTIMISME PERUNGGASAN HARUS DIKIBARKAN

5 TAHUN AI DI INDONESIA

OPTIMISME PERUNGGASAN HARUS DIKIBARKAN


Setelah 5 (lima) tahun perunggasan nasional diterkam wabah AI, setidaknya memunculkan optimisme dan pesimisme di kalangan peternak dan praktisi lapangan perunggasan.
Dari beberapa pihak yang bersikap optimistis, mengungkapkan sejumlah argumentasinya, yang secara garis besar berpendapat bahwa selama 5 tahun kasus penyakit AI justru harus melahirkan sebuah sikap optimisme.
Sebab meski kasus penyakit itu, memang sempat membuat panik semua pihak dan nyaris tidak jauh beda dengan Gumboro di tahun 1980-an. Namun akhirnya toh kini sudah terbiasa dan seolah-olah sudah lupa dengan akibat yang timbul dari sergapan penyakit Gumboro dan AI. Kini program vaksinasi Gumboro dan AI akhirnya menjadi sebuah kebutuhan pokok, terutama jika peternak tidak mau berhadapan dengan resiko.
Meskipun sampai saat ini banyak pakar yang berseberangan pendapat tentang vaksinasi dan ada yang menolak vaksinasi, akan tetapi para peternak lebih memilih resiko terkecil alias memilih melakukan vaksinasi, meski kenyataannya hasil optimal belum juga dapat dicapai.

Mengapa Praktisi Optimis

Dari barisan yang penuh optimisme setelah gelombang kedua wabah AI menerjang Indonesia, Infovet berhasil menggali argumentasinya antara lain dari Drh Helvi Indriyani, Drh Marjuan dan Drh Unang Patriana MS.
Umumnya pendapat dari kubu ini, berasumsi bahwa dunia perunggasan di Indonesia tetap mempunya prospek yang cerah. Sehingga meskipun adanya berbagai problema yang terus menghadang termasuk penyakit-penyakit baru dan faktor ekternal lainnya, masa depan usaha perunggasan tetap saja penuh harapan.
Hanya peternak yang cerdas, kreatif dan inovatif serta rajin mengikuti perkembangan teknologi, maka mereka akan survive, bertahan dan meraih sukses. Terutama terkait dengan pangsa pasar domestik untuk produk perunggasan yang sudah pasti terus bergerak naik, meskipun katanya daya beli masyarakat merosot sampai di pertengahan tahun 2008 ini.
“Harga jual telor dan daging ayam pada Juli 2008 ini menyentuh harga psikologis yang merupakan salah satu indikator kuat untuk mematahkan pendapat, bahwa potensi ekonomi masyarakat yang terus melemah” ujar Helvi, seorang praktisi perunggasan dari SHS International di Yogyakarta.
Harga yang sebenarnya masih bisa lagi terdongkrak naik itu, menurut Marjuan semakin memberi ruang luas kepada peternak untuk bergerak dan semakin maju. Terutama untuk reinvestasi berupa peremajaan dan langkah afkir yang kurang produktif.
“Harga telor yang sempat mencapai harga yang sangat menggembirakan bagi peternak itu, pantas disyukuri. Karena sebelumnya harga pakan juga sudah naik lebih dahulu, dan konon kabarnya akan kembali naik, tapi bagaimanapun masih mampu menyisakan keuntungan bagi para peternak. Jadi kita tetap harus optimistis dengan dunia perunggasan meski kasus AI masih menjadi hantu yang siap menakutkan peternak”ujar Marjuan.
Penyakit AI menurut Unang Patriana, memang pantas untuk terus diwaspadai oleh semua pihak, akan tetapi jangan sampai menjadi kendala dan penghambat untuk memajukan industri peternakan Indonesia. Belajar dari kisah aneka penyakit masa lalu yang ketika muncul membuat rasa khawatir, namun akhirnya dapat pula diatasi dan seolah semakin akrab bersahabat dengan para peternak.
“Optimisme memang harus dikibarkan di benak para praktisi perunggasan Indonesia dalam mengahadapi apapun termasuk penyakit AI. Jika rasa dan sikap itu hilang, maka justru akan melemahkan dan membuat industri perunggasan Indonesia tertinggal dan jatuh dalam kubangan masalah yang akan semakin sulit untuk bangkit” ujar Unang.
Makanya, lanjut Unang, dirinya termasuk orang yang selalu merasa otpimisme ditengah banyak kalangan yang menaruh rasa pesimistis. Menurut mereka problema yang selama ini dihadapi oleh para peternak Indonesia, sudah pasti juga pernah dihadapi oleh para peternak di negeri manca yang telah maju industri perunggasannya. Oleh karena itu jika kebersamaan dilakukan oleh berbagai pihak yang kompeten dengan industri perunggasan, dalam memecahkan dan mencari solusinya, maka sudah pasti kesuksesan akan dicapai.
“Saya sampai saat ini, termasuk orang yang ‘over optimistis’ dengan industri perunggasan di dalam negeri. Sebab menurut saya produk perunggasan, tetap saja akan menjadi produk pangan yang paling diminati konsumen sampai kapanpun. Sehingga berusaha di sektor ini tetap menjanjikan masa depan yang terang,” ujar Unang yang diamini oleh Marjuan maupun Helvi.


Mengapa Ada yang Pesimis

Sedangkan Sapto Haryono, seorang peternak ayam petelur, merasa pesimistis. Hal itu jika dikaitkan dengan harga pakan yang terus bergerak naik termasuk komponen untukm pencampuran seperrti katul dan jagung. Sapto mengakui bahwa harga telur saat ini memang memberikan cukup keuntungan yang memadai kepada para peternak ayam petelur. Namun demikian, menurutnya belum mampu memberikan ras aman dan keyakinan kuat untuk melakukan ekspansi populasi dan bahkan peremajaan.
“Wong peremajaan saja masih harus dipikir masak-masak kok, apalagi mikir untuk langkah afkir dengan mengganti ayam muda. Jika saja harga pakan tidak bergerak cepat secara terus menerus naik, saya berpikir untuk afkir. Namun jika seperti saat ini, dimana harga pakan pabrikan terus naik dan harga jagung dan katul juga bergerak naik liar, maka konyol jika langkah afkir ditempuh. Langkah afkir atas ayam-ayam hanya akan diempuh jika benar-benar kemampuan produksinya sudah tidak ekonomis banget lagi,” ujar Sapto.
Hadi Santosa, melihat kondisi peternakan khususnya perunggasan belum mampu memberikan sinyal positif yang signifikan. Meskipun harga telur dan daging ayam terus bergerak fluktuatif menuju kenaikan, namun tidak ada jaminan kepastian untuk tidak turun dan anjlog terjerembab dalam waktu yang lama.
Variabel sosial politik di dalam negeri, terutama di pertengahan tahun 2008 dan sesudahnya barangkali adalah salah satu yang patut dicermati. Kampanye partai politik selama 9 bulan sejak Juli 2008 ini akan menjadi batu ujian berat dunia peternakan Indonesia.
“Saya akan, lempar handuk tanda menyerah bergelut di dunia peternakan dan beralih menjadi pedagang kaos dan baju saja, di kaki lima,” seloroh Hadi yang berbicara dengan nada serius.(iyo)

MONITORING VARIAN VIRUS HPAI KITA

MONITORING VARIAN VIRUS HPAI KITA

(( Dengan demikian kita dapat mengerti bagaimana proses monitoring varian virus AI di tanah air kita Indonesia. Berbagai kemungkinan dapat terjadi dalam monitoring itu. ))

Bagaimana monitoring varian-varian virus HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) di Indonesia? Dr Ronald N Thornton seorang ahli epidemiologi FAO di Jakarta dalam pertemuan perkembangan dari Proyek OFFLU (OIE/FAO Animal Influenza Network) kerjasama Pemerintah Indonesia dengan FAO/OIE belum lama ini di Jakarta menyampaikan bahwa ada tujuan yang jelas dari pengumpulan sampel virus itu harus dilakukan secara intensif.

Menurut Ronald, identifikasi antigenik dan genetik dari varian-varian virus HPAI adalah untuk memutuskan jenis bibit vaksin yang digunakan pada area pengendalian penyakit yang diprioritaskan di Indonesia; secara historis sampel virusnya ada atau eksis; sampel-sampelnya representatif atau dapat dipertanggungjawabkan dengan koleksi yang dapat diperbarui; dilakukan pada seluruh sektor produksi unggas; dan terkait dengan kasus-kasus yang secara khusus sangat penting seperti kematian orang dan presentasi yang tidak diperlukan.

Ronald menyampaikan bahwa penentuan distribusi dari tipe-tipe virus adalah berdasar spesies. Lokasi dan sektor. Hal-hal penting yang khusus untuk hal ini harus diperhatikan. Adapun fokus koleksi isolat utama dari tujuan mengumpulkan sampel secara intensif adalah berdasar pada penyebaran penyakit yang signifikan untuk pengendalian penyakit berdasar penyebaran secara geografis, penyebaran sektoral dan hasil-hasil yang tampak termasuk kegagalan vaksinasi.

Dikatakan Ronald, berbagai lembaga dilibatkan dalam proses monitoring varian virus itu di antaranya unit pengendalian AI Dirjennak yang dikenal dengan nama CMU (Control Monitoring Unit) dengan berbagai instrumennya termasuk yang di lapangan dengan menggunakan investigasi wabah, Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet), industri unggas komersial dan universitas-universitas.

Tutur Ronald, perkembangan hasil koleksi itu tercatat sumber yang berasal dari Denpasar, Wates, peternakan sektor 1 dan 2, bukittinggi, Universitas Udayana dan diharapkan kerjasama daerah lain sebelum Agustus ini.

Lanjutnya, prosedur pembagian sampel meliputi prosedur yang difasilitasi oleh Direktur Kesehatan Hewan Dirjennak, CMU dan FAO; persetujuan transfer material disiapkan dengan daftar isolat dan ditandatangani oleh laboratorium penyedia dan penerima sampel isolat; permintaan untuk ijin ekspor harus minta ijin Direktur Kesehatan Hewan Dirjennak; sampel dikirim via IATA kurir yang disetujui dan diselenggarakan oleh FAO.

Masih menurut Ronald, permintaan sampel-sampel terkini yang sudah terlaksana adalah sampel dapat dipakai, cepat prosesnya, tidak mahal, kualitasnya bervariasi, mungkin tidak merefleksikan profil jenis virus yang terkini dan data pembantu yang mungkin bervariasi. Adapun permintaan sampel-sampel baru adalah yang secara logis sulit dipastikan, lambat, mahal, kualitas sampelnya bagus, representatif, dan informasi pembantu yang baik.

Dengan demikian kita dapat mengerti bagaimana proses monitoring varian virus AI di tanah air kita Indonesia. Berbagai kemungkinan yang positif dan negatif dapat terjadi dalam monitoring itu. Sebagai bangsa yang mencintai tanah air Indonesia, kita lakukan upaya yang terbaik dengan mendukung segala sesuatunya dijalankan secara baik, adil dan benar.


Pasar Unggas

Sementara itu Drh Indi Dharmayanti MS dari Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor pada kesempatan yang sama menyampaikan bahwa ada keterkaitan erat antara pasar unggas, virus AI tipe H5N1 dan pengambilan contoh virus di lapangan. Pasar unggas merupakan suatu aspek penting dalam kehidupan di mana tempat ini merefleksikan budaya dan tradisi lokal. Pasar unggas ini di Indonesia merupakan pasar ayam yang penting.

90 persen persediaan dari ayam merupakan sistem pasar tradisional. Sayangnya, pasar unggas unggas tradisional ini berimplikasi pada penyebaran penyakit seperti SARS, Kolera dan infeksi streptokokus babi. Ada peningkatan kejadian bahwa pasar unggas tradisional adalah tempat berkembang, bercampur, dan berbiaknya virus avian influenza termasuk H5N1.

Penelitian menunjukkan adanya virus AI H5N1 di pasar unggas. Jajak data usaha di Indonesia dan negara-negara lain telah mengidentifikasi bahwa pasar merupakan tempat yang baik bagi virus AI. Data-data Bbalitvet yang menunjukkan bahwa ayam-ayam dari pasar unggas itu terbukti positif virus AI antara lain dari Bbalitvet, data lapangan Unit Pengendalian Penyakit AI Ditjennak, studi di Bali, rumah kolektor unggas sentinel, dan data di Guangzhou dari kandang hewan. Pengalaman di Hongkong, mereka menggunakan sebuah studi kontrol kasus untuk mengidentifikasi faktor resiko yang mungkin untuk menyebarkan virus AI tipe H5N1.

Selanjutnya peran pasar unggas ini akan dijelaskan lebih rinci dalam Artikel Peran Sentral Pasar Unggas dalam Penyebaran AI. (YR)

MENGUAK TABIR AVIAN INFLUENZA

MENGUAK TABIR AVIAN INFLUENZA

(( Hal terbaik yang harus dilakukan terkait membumihanguskan AI adalah surveillance yang benar, bukan hanya perkataan namun tindakan nyata yang tidak memberikan tempat pada VAI untuk hidup dan berkembang biak di farm. ))


Recent status of AI in Indonesia and Javan, merupakan tema seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada berkolaborasi dengan Veterinary Medicine Faculty Hokaido University, Javan.

Seminar ini menghadirkan pakar-pakar AI kenamaan, yakni Prof Hiroshi Kida dari Vetmed Hokaido University, Prof Widya Asmara dan Prof Charles Rangga Tabbu dari FKH UGM Yogyakarta, Indonesia. Seminar yang dilaksanakan pada tanggal 25 Juni 2008 silam ini mengetengahkan topik hangat seputar tabir terbaru perkembangan virus AI dari unggas ke manusia, babi ke manusia serta kemungkinan penularan dari manusia ke manusia.

Seminar ini dihadiri oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi sebidang, kalangan pemerintah terkait, alumni FKH UGM, calon dokter hewan dan mahasiswa FKH UGM Yogyakarta.

Pada seminar kali ini, banyak hal menarik yang diketengahkan Prof Hiroshi Kida terkait status perkembangan VAI terkini, yakni Ekologi dan evolusi VAI. Hal dimaksud adalah (1) reservoir alaminya, perpetuation, host range, transmisi interspecies, antigenik dan variasi genetik VAI dan (2) mekanisme tanggap darurat strain pandemik pada manusia dan kasus-kasus HPAI pada unggas domestik.

Hal lain yang tak kalah menarik adalah adanya kemungkinan HPAIV strain H5N1 sebagai kandidat pemicu terjadinya kasus pandemic. Kemudian Prof Kida menegaskan bahwa harus ada kontrol yang baik untuk mengkounter kasus avian influenza dan kejadian pandemik pada manusia.

Berdasarkan hal ini, maka Prof Kida menyatakan bahwa hal terbaik yang harus dilakukan terkait membumihanguskan AI adalah surveillance yang benar, bukan hanya perkataan namun tindakan nyata yang tidak memberikan tempat pada VAI untuk hidup dan berkembang biak di farm.

Lain halnya dengan yang dikatakan Prof Widya Asmara. Menurutnya bahwa yang perlu dikuatirkan adalah kemungkinan terjadinya penularan VAI dari manusia ke manusia. Lebih lanjut dikisahkannya bahwa berdasarkan data epidemiologi kejadian kasus influenza di dunia, tercatat pada tahun 1997 mulai mewabahnya kasus avian influenza di Hong Kong, ditemukan 18 kasus pada manusia, 6 orang (33%) dinyatakan meninggal.

Kasus ini juga dilaporkan berdampak pada industri peternakan di Negara ini. Kemudian sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2002, kasus avian influenza terus berlanjut dengan terjadinya letupan-letupan kecil yang kurang mendapat perhatian publik. Pada tahun 2003, kembali avian influenza menjadi perhatian dunia. Pada saat ini dilaporkan telah terjadi kasus di 9 negara di dunia.

Wabah pada manusia meningkat menjadi 34 kasus yang berakhir dengan kematian sebanyak 23 orang (68%) dan menimbulkan kerugian sangat besar diindustri peternakan dunia termasuk Indonesia. Terakhir dilaporkan bahwa adanya temuan kasus di 4 negara dengan 7 temuan kasus pada manusia, 6 orang (86%) diantaranya meninggal dunia. Kemudian sejak tahun 2005 sampai sekarang VAI masih menjadi dilema dikalangan pengusaha peternakan, praktisi perunggasan, pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya.

Dilain pihak, pengendalian VAI di negeri ini masih menuai kegagalan-kegagalan. Hal ini disebabkan oleh kurang sinergisnya antara pelaku kebijakan dengan pihak-pihak terkait lainnya. Hal ini dikemukakan Prof Charles Rangga Tabbu secara gamblang dihadapan forum seminar. Menurutnya pengendalian VAI tidak disesuaikan dengan kondisi usaha peternakan negeri ini.

Data lapangan menyimpulkan bahwa kharakteristik usaha peternakan Indonesia meliputi:

(1) tidak ada batasan usaha peternakan menjadi zona-zona, baik zona 1, 2, 3 maupun 4,
(2) selalu diusaha dengan menggunakan kandang system terbuka,
(3) kebanyakan peternak memelihara ayam dalam satu siklus dengan berbagai macam variasi umur,
(4) variasi kualitas manajemen yang sangat besar khususnya untuk zona 3 dan 4,
(5) pakan-pakan yang masih dikemas dalam kantong yang disinyalir menimbulkan dampak lain yang berpengaruh pada kesehatan ayam dan
(6) komposisi tenaga kerja yang melebihi kapasitas populasi ayam yang dipelihara.

Disamping itu, pasar-pasar masih bersifat tradisional. Ayam-ayam dipasarkan dalam bentuk hidup dengan kondisi tempat yang kotor, hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran berbagai jenis penyakit selain penyakit avian influenza. Lantas usaha apa yang bisa diterapkan dalam usaha pengendalian VAI ?

Prof Charles menegaskan bahwa hanya dengan penerapan biosekuriti yang benar-benar dengan berpedoman pada 9 strategi pengendalian VAI. Kemudian yang terpenting dari hal ini adalah monitoring dan evaluasi kegiatan, gagal atau berhasil ? Bila dijumpai kegagalan, kaji kembali penyebab kegagalan tersebut, namun bila berhasil maka pertahankanlah dan tingkatkan lagi. (Daman Suska).

EFEKTIFKAN BIAYA VAKSINASI

EFEKTIFKAN BIAYA VAKSINASI

(( Hasil sementara untuk Indonesia mengindikasi suatu biaya vaksinasi untuk unggas adalah antara 0,08 sampai 0,14 dolar Amerika tergantung pada sistem produksi. ))

Ongkos vaksinasi dalam peternakan memerlukan kekuatan sumberdaya yang menggunakannya yang mana merupakan subyek sosio ekonomi peternakan itu sendiri. Efektivasi suatu biaya dari strategi vaksinasi yang dianjurkan memerlukan sebuah kombinasi dari ilmu penyebaran penyakit dan ilmu ekonomi.

Alokasi dari sumber daya menjadi lebih kritis jika sumber daya masyarakat untuk pengendalian HPAI dan pencegahan menurun. Analisa Efektivasi biaya dapat menuntun proses alokasi sumberdaya. Demikian disampaikan Jonathan Rushton seorang ahli ekonomi sosial dari FAO di Roma pada pertemuan perkembangan dari Proyek OFFLU (OIE/FAO Animal Influenza Network) kerjasama Pemerintah Indonesia dengan FAO/OIE belum lama ini di Jakarta.

Struktur dan hasil keluaran dari model biaya meliputi kertas kerja input data seperti: populasi unggas, target vaksinasi, dan sektor yang terpisah. Intinya biaya merupakan total biaya yang dipisahkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel, biaya per vaksinasi unggas dan perkiraan dari pembagian biaya antara sektor publik dan sektor privat. Hasil sementara untuk Indonesia mengindikasi suatu biaya vaksinasi untuk unggas adalah antara 0,08 sampai 0,14 dolar Amerika tergantung pada sistem produksi.

Struktur model dan hasil keluaran populasi unggas merupakan suatu hal yang dinamis dan berbeda antara setiap model populasi dalam kandang input data meliputi: ukuran kandang yang asli, angka kematian dan rata-rata yang diafkir, umur saat panen dan produksi telur, strategi vaksinasi, dan keampuhan vaksinasi.

Produksi yang dihasilkan meliputi: produksi unggas dan telur baik itu penjualan dan konsumsi rumah sendiri, ukuran kandang dengan penyesuaian pada musim, aplikasi dosis vaksin, dan jumlah unggas yang diproteksi perhari untuk seluruh kandang dan kategori umur unggas.

Sumber data yang mungkin meliputi struktur dasar dari sektor unggas Indonesia diantaranya laporan terkini dari nilai yang dihasilkan, informasi pada sektor komersial dan kerja yang terprofilkan; sedangkan biaya vaksinasi meliputi proyek penelitian yang dijalankan, kerjasama Indonesia dan Belanda, dan sektor privat seperti Japfa Comfeed dan lain-lain.

Selanjutnya langkah yang akan datang meliputi aksi yang lebih kuat melibatkan banyak pihak dengan penggunaan data sekunder, opini Ahli dan pembetulan model yang dihasilkan. (YR/Fj)

AI dan Dunia Peternakan di Mata Mahasiswa Peternakan

AI dan Dunia Peternakan
di Mata Mahasiswa Peternakan

(( Jelaslah dalam menghadapi kasus AI, kaum peternakan tak boleh lagi terlalu jatuh dalam segala segi pemikiran dan kehidupannya. Caranya dengan bangkit dan berpikiran serta berkegiatan positif dalam dunia peternakan secara umum. ))

Sejak kehadiran avian influenza dan berbagai jenis penyakit menular hewan lainnya, dunia peternakan Indonesia seperti terombang ambing gelombang pasang dunia bisnis khususnya bisnis usaha dibidang peternakan. Demikian Ayub Rizal Ketua Umum Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan (Ismapeti) periode 2007.

Kondisi ini diperparah dengan munculnya kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak yang secara signifikan mempengaruhi harga pakan, bibit ternak dan input-input lain yang terkait. Sementara itu, kenaikan harga input yang dibutuhkan peternak untuk menghasilkan produk-produk ternak berkwalitas kadang-kadang tidak dibarengi dengan kenaikan harga produk itu sendiri, sehingga dipastikan peternak selalu menanggung kerugian dari usahanya tersebut.

Hal itu diutarakan Ayub Rizal dalam kaiatan dengan pelaksanaan kegiatan rutin tahunan, yakni Bakhti Mahasiswa Peternakan Indonesia (Bampi). Menurutnya Bampi 2008 ini mempunyai satu misi yang berkaitan langsung dengan dunia peternakan saat ini. Sementara Ismapeti merupakan organisasi kemahasiswaan profesi yang cukup banyak memberikan kontribusi bagi pembangunan dunia peternakan negeri ini. Berbagai sepak terjangnya telah dirasakan sejak kehadiran di bumi pertiwi ini.

Kontribusinya membangun negeri diwujudkannya melalui berbagai macam kegiatan seperti pelaksanaan seminar yang mengusung tema-tema edukatif dan informative yang ditujukan untuk membanguan mentalitas generasi muda, peternak dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Menurut Ayub, Kegiatan Bampi 2008 merupakan ajang penumbuhan sikap mencintai sesama melalui kerja bakhti tempat dimana acara ini digelar. Bampi 2008 kali ini digelar di Indonesia paling Barat, yakni banda Aceh, Nangroe Aceh Darussalam pada tanggal 1 Juni 2008 lalu.

Bampi 2008 ini menurut Mahasiswa UNS Solo ini menghasilkan beberapa macam rumusan yang akan ditindak lanjuti, sehingga hasilnya nanti dapat dijadikan acuan oleh pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan baru yang benar-benar berpihak pada peternak. Diantara rumusan-rumusan tersebut adalah :

1. Sapronak
• Perbaikan infrastruktur (jalan, listrik, air dan komunikasi) guna mendukung peternakan dengan pemanfaatan APBD ataupun APBN untuk menarik Investor baik lokal maupun asing
• Perbaikan struktur perkandangan dan kelengkapan peralatan pendukung peternakan
• Pengelolaan lahan tidur untuk meningkatkan produksi ternak

2. Produksi (Farm)
• Pembentukan pola pertanian dan peternakan terpadu dari hulu sampai ke hilir
• Peningkatan kualitas manajemen pemeliharaan, perkandangan, kesehatan dan keamanan peternakan (meliputi tata letak kandang,tata laksana penggembalaan, kualitas pakan, recording, dan kebersihan)
• Penerapan teknologi peternakan yang realistis dan implementatif sehingga dapat bersinergis dengan keadaan peternak

3. Pengolahan Pasca Panen
• Adanya pemberian ketrampilan pengolahan produk peternakan kepada peternak dan masyarakat setempat

4. Pemasaran
• Pembentukan sarana pemasaran produk peternakan sehingga memberikan keuntungan yang jelas bagi peternak seperti koperasi

5. Lembaga Pendukung
• Adanya Perda yang mengatur pemurnian plasma nutfah sapi lokal (sapi aceh)
• Adanya Perda yang berpihak pada peternak kecil
• Sosialisasi dan penerapan RUU PKH di lapangan
• Pelibatan Perguruan Tinggi dan stakeholders lainnya dalam pengambilan kebijakan
• Penyuluhan, pembinaan dan pendampingan terhadap peternak secara intensif dan berkelanjutan
• Pemberian motivasi terhadap peternak oleh lembaga terkait seperti penyelenggaraan kompetisi antar kelompok ternak
• Pengawasan dalam penyebaran bantuan dana ke peternak agar dapat diterima oleh masyarakat keseluruhan tanpa terkecuali.

Jelaslah dalam menghadapi kasus AI, kaum peternakan tak boleh lagi terlalu jatuh dalam segala segi pemikiran dan kehidupannya. Caranya dengan bangkit dan berpikiran serta berkegiatan positif dalam dunia peternakan secara umum. (Daman Suska).

SULITNYA BETERNAK SAAT INI, APA SOLUSINYA?

SULITNYA BETERNAK SAAT INI, APA SOLUSINYA?

Situasi penyakit Avian Influenza (AI) saat ini telah jauh lebih kompleks. Dimana infeksi lebih didominasi oleh infeksi yang berbarengan dengan penyakit lainnya seperti misalnya IB, kholera, ND, dll.
Untuk itu Drh Hadi Wibowo, praktisi perunggasan di Jakarta mengatakan AI dan penyakit domplengannya merupakan penyakit viral yang intra seluler yang langusng merusak sel induk semangnya. Maka apabila antibodi sudah tidak bisa lagi menetralisir dan mengenali virus tersebut maka kematian sudah pasti menjemput ayamnya. Namun sebelum itu terjadi, didalam tubuh ayam masih ada sel T efektor dan sel T sitotoksik yang juga berfungsi menghancurkan sel terinfeksi AI yang menjadi media hidup dan bereplikasi virus sekaligus membunuh virus AI itu sendiri.
Lebih lanjut, kata Hadi, mengutip hasil temuan terbaru dari Prof Fedik A Rantam dari Universitas Airlangga bahwa saat ini AI sudah mulai menginfeksi saluran pencernaan pada broiler maupun layer. “Kalau dulu AI menginfeksi saluran reproduksi dan pernapasan, kini gejalanya makin meluas,” katanya.
Dari pemeriksaan patologi anatomi diketahui terdapat infeksi AI di daerah mesenterium yaitu penyangga usus yang terlihat berwarna merah. Hal ini dikuatkan dengan hasil uji RT-PCR dan imunohistokimia yang menunjukkan bahwa infeksi positif AI. Artinya telah terjadi pergeseran serangan dari semula yang hanya menyerang saluran reproduksi dan pernapasan kita juga menyerang salura pencernaan.
Selain itu, Hadi melanjutkan, hasil temuan Prof Fedik mengatakan bahwa penularan AI paling besar terjadi melalui jalur distribusi. Dalam hal ini terjadi di pasar unggas hidup tempat bertemunya berbagai jenis unggas dalam satu lokasi. Sementara temuan Drh Wayan T Wibawan dari FKH IPB mengatakan bahwa telah terjadi perubahan epitop dan cleavage site pada virus AI yang kini sudah hampir menyerupai virus influenza di manusia.
“Hal ini tentu semakin menambah kekhawatiran kita akan risiko pandemi influenza. Namun yang patut disayangkan adalah tidak samanya pengertian dan sikap dari para pelaku bisnis perunggasan mulai peternak hingga pedagang pasar terhadap penyakit Avian Influenza sebagai masalah nasional,” ujar Hadi prihatin.

Perunggasan Makin Sulit
Hadi menuturkan, kondisi sulit saat ini akibat penyakit masih ditambah dengan naiknya harga pakan ayam baik untuk broiler dan layer. Biasanya menghadapi kenaikan harga bahan baku ini oleh formulator pakan diutak-atik agar nilai nutrisinya tetap dengan mengganti bahan pakan jagung dengan bahan substitusi lain.
Alhasil kadar proteinnya memang tetap namun apakah protein tersebut bisa dicerna dan diserap dengan baik oleh ayam atau tidak. Bila ayam kekurangan protein berarti kekurangan asam amino. Sementara asam amino sangat dibutuhkan untuk membentuk antibodi tubuh. Inilah yang menyebabkan titer antibodi terus turun dan kekebalan tubuh lemah. Ditambah lagi dengan vaksin AI yang tidak up to date dengan perkembangan lapangan menyebabkan beban infeksi AI dari lapang yang telah jauh bermutasi kian rentan.
Dua hal inilah yang menyebabkan kondisi beternak saat ini makin sulit. Namun untuk mengatasi hal ini, Hadi mencoba memberikan solusi, peternak harus terbiasa berteman dengan yang namanya imunomodulator.
Secara singkat, Hadi menjelaskan proses pembentukan antibodi lewat vaksinasi harus ditunjang oleh sel-sel yang bertugas untuk merespon kekebalan. Vaksin ketika masuk ke dalam tubuh ditangkap oleh sel makrofag yang dibantu oleh sel T helper untuk kemudian disampaikan ke sel B. Di sel B inilah dibentuk sel memori antibodi dan sel antibodi itu sendiri. Nah sel-sel yang berperan dalam respon imun ini harus diperbanyak dan dimatangkan, disinilah peran imunomodulator.
“Dinamakan imunomodulator karena obat ini memiliki efek pada respon imun untuk melakukan immuno modulasi. Mekanisme kerja immunomodulator adalah dengan tiga cara, yaitu pertama, meningkatkan proses maturity (pematangan) sel-sel yang berperanan dalam imun respon. Kedua, meningkatkan proses proliferasi sel, terutama sel-sel makrofag (memfagosit antigen dan menghancurkan antigen dalam sel) dan limfosit (pembentukan antibodi dan membunuh antigen dalam sel), sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Dengan demikian jumlah antigen yang dapat diproses meningkat lebih banyak dan titer antibodi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Ketiga, mengaktifkan complement, sehingga eliminasi antigen dalam sel menjadi lebih efektif,” jelas dokter hewan yang lahir sehari sebelum peringatan kemerdekaan RI, yaitu 16 Agustus.
Hadi juga menegaskan bahwa kebaikan menggunakan imunomodulator sudah seharusnya ditularkan antar peternak. Seperti yang telah dilakukan Koh Iping dari Patriot Grup yang telah mempercayakan persoalan AI ini dengan pemanfaatan imunomodulator. Hal ini semata dilakukan untuk mengantisipasi bila terjadi serangan AI meskipun sudah dilakukan vaksinasi. Karena terbukti penggunaan imunomodulator dapat menekan terjadinya kasus AI.
Diakhir diskusi dengan Infovet, Hadi menjelaskan bahwa untuk mengamankan usaha perunggasan tetap diperlukan 3 langkah wajib yaitu sanitasi, desinfeksi, dan vaksinasi. (wan)

STRAIN VAKSIN GENETIK REVERSE UNTUK MASA DEPAN

STRAIN VAKSIN GENETIK REVERSE UNTUK MASA DEPAN

(( Mengapa menggunakan teknologi genetik reverse untuk jenis bibit vaksin masa depan? ))

Secara historis strain lapangan virus LPAI dengan sub tipe yang cocok HA ditumbuhkan pada telur ayam berembrio atau perusahaan yang memenuhi kaidah BSL2; memberikan proteksi yang luas terhadap tantangan virus LPAI dan HPAI; mempunyai potensi keamanan yang rendah untuk infeksi manusia dan konsekuensi yang rendah dengan pengaruh lingkungan.

Secara kekinian strain virus benih HPAI di antaranya strain Legok tahun 2003 dan strain Rusia tahun 2005; membutuhkan fasilitas penyimpanan biologik yang tinggi di mana resiko keamanan ditingkatkan dan kesalahan dapat dikurangi.

Genetik yang berubah dan kekayaan antigenik yang berbeda dari virus antara lain virus AI tipe H5 mengalami perubahan HA yang merupakan versi Eurasian dan variasi genetik didalam kelompok; virus H5N1 Eurasia/Afrika bukanlah sebuah virus tunggal tetapi masih satu garis dalam famili virus; sejak 1996 telah dibentuk secara genetik berdasar pada isolasi geografis dan infeksi spesies kedalam 10 garis.

Demikian disampaikan dalam pertemuan perkembangan dari Proyek OFFLU (OIE/FAO Animal Influenza Network) kerjasama Pemerintah Indonesia dengan FAO/OIE belum lama ini di Jakarta oleh Frank Wong, Anna Axel, Pater Daniels dari AAHL, Geelong, Indi Dharmayanti dari Bbalitvet Bogor, Johannes Oritomo, Dr Andeena dari JAPFA Comfeed, Bhudipa Choudhury dari OOFLU dan Mia Kim dari FAO Roma.

Kesamaan subtipe proteksi HA dengan vaksin AI menunjukkan bahwa khususnya pada tahun 2006 vaksin virus AI yang inaktif digunakan pada ayam melawan HPAI subtype H5N1 bermanfaat untuk mencegah ayam sakit dan mencegah kematian; lalu menurunkan replikasi dan perluasan virus dari sistem pernapasan dan saluran usus. Sifat vaksin HPAI tipe H5N1 melawan virus yang sama ini merupakan satu keunikan yang dapat diidentifikasi secara lengkap resisten terhadap vaksin-vaksin dengan strain tertentu.

Hal tersebut memberi penekanan bahwa kebutuhan untuk mendapatkan strain varian yang dimodifikasi dan aplikasi untuk jenis strain masa depan. Jalan keluar dari berbagai permasalahan tersebut, dibutuhkan vaksin yang secara antigenik lebih baik dan cocok untuk hemaglutinin, secara periodik meningkatkan strain vaksin yang cocok dengan virus lapangan yang cukup mendominasi; diperlukan penggunaan teknologi yang lebih baru seperti genetik reverse untuk strain AI atau teknologi rekombinan untuk vaksin diperantarai virus.

Vaksin AI genetik versi ulang tersebut menggunakan 8 atau 12 sistem plasmid untuk memproduksi virus dengan subtipe HA dan NA yang spesifik; menggunakan genetik internal yang mengijinkan pertumbuhan yang tinggi pada telur ayam.

Di masa depan konsep yang dibutuhkan untuk perijinan dan penggunaan vektor virus adalah virus cacar unggas rekombinan atau strain vaksin penyakit ND; kebutuhan yang dapat diletakkan ulang untuk virus AI yang genetik terkini HA nya.

Persyaratan OIE tentang manual uji diagnostik dan vaksin untuk ternak menyatakan setiap subtype hanya virus AI yang karakterisasinya baik dari tingkat keganasan rendah dianjurkan dari pengujian internasional dan nasional dapat digunakan untuk benih utama yang stabil guna vaksin yang di inaktifkan.

Kebijakan di atas disebabkan oleh karena beberapa alasan yaitu lebih aman untuk bekerja dengan lingkungan LPAI dan ketelitian kerja; manipulasi dari virus HPAI diijinkan hanya pada fasilitas yang ditemukan pemenuhan persyaratan lebih tinggi untuk penyimpanan dan keamanan contohnya divalidasi untuk agen infeksi secara lebih tinggi; umumnya virus LPAI adalah kurang ganas pada embrio sehingga pertumbuhannya lebih baik dan mengijinkan produksi titer tinggi dari virus aktif secara umum.

Beberapa isu yang berkembang antara lain apakah PT. Shigetta IPB merupakan pemilik paten eksklusif untuk H5N1 genetik reverse? Lalu, tentang lisensi untuk medimmune berupa royalti atau biaya per dosis?

Kesimpulannya, vaksin genetik reverse mempunyai tingkat keamanan yang lebih tinggi, keampuhan atau kecocokan, lapangan produksi yang lebih tinggi dan peningkatan yang lebih mudah. Tetapi, soal royalti, paten, dan lisensi butuh untuk dipertimbangkan. (YR/Fj)

LALAT VEKTOR AI SEBUAH TELAAH UP DATE

LALAT VEKTOR AI
SEBUAH TELAAH UP DATE
“Bukan sesuatu yang mengada-ada kalau lalat menjadi salah satu terdakwa menyebarnya dengan cepat wabah AI di Indonesia’ ujar Prof drh HRWasito M.Sc Ph.D dan Prof drh Hj Hastari Wuryastuti M.Sc Ph.D kepada Infovet sebelum tampil dalam seminar di Indolivestock Juli 2008.
Menurut Hastari yang juga istri dari Wasito, bahwa dugaan banyak pihak burung liar lah yang pantas dicurigai menjadi penyebarnya. Dugaan itu memang sangat didukung oleh aneka bukti yang kuat, seperti banyaknya burung migran antar pulau dan benua yang berada di Indonesia. Namun kini, untuk sementara waktu belum ada penelitian yang intensif untuk menguatkan dugaan itu. Justru kini, secara intensif pasangan suami istri yang guru besar FKH UGM itu terus mengerjakan penelitian tentang peranan lalat dalam penyebaran AI di Indonesia. Bahkan bukan itu saja menurut Wasito, ia rajin melakukan korespondensi dengan pakar di belahan dunia lain untuk menguak misteri lalat dan penyakit AI yang mengguncangkan dunia itu.
“Yang jelas dan patut diperhatikan semua praktisi kesehatan lapangan saat ini, bahwa gejala klinis dan patologis AI kini sudah mengalami perubahan jika dibandingkan ketika pertama kali ditemukan di Indonesia” ujar Wasito. Menurutnya ia belum sampai pada tahap mengungkapkan adanya mutasi genetik dari virus AI.
Selanjutnya Hastari mengungkapkan bahwa wabah AI yang sudah masuk pada tahap KLB (Kejadian Luar Biasa) itu, korban manusia yang terduga/suspect Flu Burung sejak 2003 – April 2008 123orang dan sebanyak 107orang meninggal dunia. Begitu banyaknya korban pada manusia dan juga kerugian pada industri peternakan dengan sebaran geografis yang luas, maka muncul pertanyaan bagaimana jalur penyebarannya terjadi?
Menurut Hastari, diduga ada banyak cara penyebaran dan penularan AI. Pertama melalui burung ke burung, yaitu dari burung liar ke unggas peliharaan. Dalam jalur ini, virus AI keluar dari ingus hidung dan mulut atau feses burung liar kemudian menginfeksi unggas peliharaan. Jalur kedua adalah dari burung ke manusia, akan tetapi hal ini jarang terjadi, dan yang mungkin terjadi adalah dari unggas peliharaan ke manusia. Sedangkan jalur ketiga dan jarang terjadi adalah dari manusia ke manusia. Dijalur ini virus AI sangat potensial untuk berubah terutama jika menyerang manusia yang daya kebalnya rendah. Sehingga kekhawatiran akan munculnya pandemi Influenza dunia memang masuk akal.
Secara ekologis AI pola penyebarannya adalah dari burung migran ke unggas peliharaan seperti ayam, itik, angsa dan bangsa unggas lainnya. Dan unggas peliharaan ini akhirnya menjadi hospes reservoir. Dalam hal ini serangga lalat diduga mempunyai peran penting penularan. Begitu juga dalam penularan dari unggas peliharaan ke manusia, babi dan binatang lain sperti kucing maupun kucing liar.
Sebuah fakta tentang lalat, menurut Hastari bahwa serangga itu suatu spesies hewan yang tersebar sangat luas mulai dari daerah sub tropis sampai ke kawasan katulistiwa/equator. Selain itu serangga itu ada dan hidup dimanapun ada kehidupan manusia. Dalam reproduksinya setiap lalat betina mampu bertelur sebanyak 120butir per minggu dengan capaian umur 2 – 8 minggu dan untuk siklus hidupnya 1-4minggu. Sepasang lalat dewasa selama 5 bulan, secara teoritis dapat berkembang biak menjadi 191.000.000.000.000.000.000.(21digit). Sungguh fantastis sekaligus menyeramkan!!!!
Lalat yang selalu berada ditempat kotor dengan morfologi mulutnya, maka disamping mampu membawa kontaminan juga menyebarluaskan melalui mulut itu, sehingga mampu menjangkau ke aneka spesies hewan dan manusia dalam geografis berbeda meski tidak luas. Perluasan sebaran itu justru oleh karena dukungan alat transportasi manusia. Sudah terbukti nyata, bahwa lalat adalah salah satu penyebar lebih dari 50 penyakit pada hewan dan manusia. Sebagai contohnya adalah penyakit kolera, salmonellosis, kolienteritits, trachoma, pink eye, mastitis, cacing mata, cacing pita dan cacing gilig serta masih banyak yang lainnya.
Bagaimana penularan AI melalui lalat..? Menurut Hastari, target untuk membuktikan bahwa lalat rumah adalah vektor dari AI, maka dikumpulkan lalat dari farm ayam yang berasal dari 3 tempat berbeda yaitu Maros, Karanganyar, Tuban selama out break AI sejak 2005. kemudian sebanyak kira-kira 100mg tubuh lalat di homogenisasi da diekstrak untuk analisa PCR (Polymerase Chain Reaction). Dan hasilnya dari Analisa PCR dan Ekstraksi RNA tubuh lalat, dimana berhasil diisolasi Virus AI pada lalat yang berasal dari Maros daan Karanganyar. Sedangkan sampel lalat yang dari Tuban hasilnya negatif.
Atas dasar hasil pengujian itu, jelas sudah bahwa virus AI sudah masuk dan berada di dalam lalat. Namun kemudian muncul pertanyaan baru, apakah lalat berperanan sebagai vektor Biologis atau Mekanis? Selanjutnya Hastari terus aktif meneliti tahapan berikut, yaitu 1-2 tahun setelah wabah AI. Lokasi pengambilan sampel lalat kali ini di tempat yang berbeda yaitu Maros, Tasikmadu, malang dan Tulungagung.
Dengan menggunakan metode “Immuno Histo Chemistry Method” diperoleh hasil bahwa virus AI positif IHC, terutama di alat reproduksi lalat. Hasil ini menguatkan arah dugaan lalat sebagai vektor biologis. Begitu juga di bagian perut lalat ditemukan hasil positif pula pada IHC.Sedangkan di kutikula dan serabut otot juga ditemukan positif virus AI. Hasil uji ini semakin mengindikasikan bahwa lalat juga berperanan sebagai vektor mekanis.
Untuk semakin menguatkan dugaan itu, selanjutnya dilakukan isolasi virus AI daro Homogenat lalat. Dengan uji Hemagglutination (HA)Test dan Hemagglutination Inhibition (HI) Test, diperoleh hail bahwa pada passage4 (P4) sampel dari Tulungagung ternyata diperoleh hasil titer HA : 2pangkat10, sebuah angka yang sangat tinggi. Karena menurut Hastari uji itu baru pada P4. Sedangkan titer HA 2pangkat4 saja suah merupakan warning, peringatan waspada.
Sample lalat dari Tasikmadu ternyata pada P9 hanya diperoleh titer HA 2pangkat8. sebaliknya dari Malang meski paa P5 ternyata hasil titer HA justru mencapai 2pangkat11.
Dari paparan itu menurut Hastari, kemungkinan jalur penularan adalah lalat menghisap cairan dari pakan dan feses busuk yang mengandung pathogen konsentrasi tinggi. Hal itu dilakukan berulang dan berpindah tempat, termasuk memuntahkan ekskresi ke lain tempat ketika hinggap. Akhirnya bahan/material infeksius itu masuk ke usus 3 jam setelah makan. Jalur-jalur tersebut mempunyai resiko lebih tinggi daripada penularan dengan melalui kaki atau badan lalat.
PT Novartis Indonesia memberikan solusi terpadu untuk mengatasi masalah lalat di farm. Baik itu melalui campuran pakan, tabur dan semprot. Solusi terpadu itu juga mampu memberikan pilihan, baik itu pengendalian lalat dewasa maupun pada stadium larva. Larvadex 10% yang mengandung Cyromazine 10% dicampur pakan, akan mampu mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan larva. Sedangkan Neporex 2WSG yang mengandung Cyromazine 2% digunakan secara tabur, semprot atau siram. Untuk mengendalikan larva pada tempat tumbuh larva. Dan yang terakhir adalah Agita, dimana merupakan umpan lalat siap tabur. Lalat akan mati ketika perutnya kontak dengan Agita. Pokoknya slogan Novartis ANTI FLY PROGRAM merupakan solusi terpadu untuk membantu kenyamanan peternak dan perlindungan ayam dari penularan aneka penyakit potensial termasuk AI (iyo)

HARAPAN TERBENTANG PERUNGGASAN 2009

HARAPAN TERBENTANG PERUNGGASAN 2009

(( Gantungan sejuta harapan di tahun 2009 mendatang memang mempunyai argumen yang kuat untuk dijadikan pegangan dan dasar alasan sikap itu. Setidaknya dalam paruh waktu 2008 para peternak ayam petelur dan ayam potong di Indonesia memang mampu, meraup keuntungan yang tidak kecil. ))

Jika melihat perjalanan dunia usaha perunggasan domestik yang dalam kurun waktu tahun 2008 lebih banyak menanjak menggembirakan, maka, menyongsong tahun 2009 para praktisi perunggasan ternyata secara umum banyak yang mengungkapkan rasa optimistisnya.
Demikian hasil rangkuman pendapat dari perbincangan Tim Pemantau Lapangan Infovet dengan para praktisi perunggasan yang kompeten dan berpengalaman di bidangnya. Mereka itu antara lain, Pengurus Pinsar Solo Ir H Agus ES, Drh Boris Budiarto, Ir Arief Bantula, dan Drh Wachid N.
Gantungan sejuta harapan di tahun 2009 mendatang memang mempunyai argumen yang kuat untuk dijadikan pegangan dan dasar alasan sikap itu. Setidaknya dalam paruh waktu 2008 para peternak ayam petelur dan ayam potong di Indonesia memang mampu, meraup keuntungan yang tidak kecil. Meskipun sempat dihadang sejumlah masalah klasik seperti harga pakan yang sempat naik berkali-kali kemudian dikoreksi penurunan lagi. Juga adanya kenaikan BBM yang berdampak pada daya beli masyarakat yang turun ataupun sergapan beberapa gangguan kesehatan ayam.
Bentangan harapan itu antara lain di wujudkan dengan sejumlah indikator yang positip. Meskipun ada rasa was-was akan akibat krisis finansial global, terutama efek domino krisis ekonomi di AS. Banyak harapan dari para praktisi perunggasan agar pemerintah mengambil kebijakan yang tepat sasaran dan kondusif untuk lebih mendukung semakin majunya sektor perunggasan domestik.
Meski nilai mata uang rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS, menjadi salah satu titik rawan berkembangnya usaha sektor perunggasan domestik, namun jika saja daya serap dan daya beli masyarakat bisa terjaga atau bahkan naik, hal itu bukan masalah. Untuk itu kebijakan pemerintah yang tegas dan lugas serta rasional, maka diharapkan masih mampu menyisakan rasa optimistis itu. Bahkan nampaknya rasa itu akan membentang luas, jika saja pemerintah benar-benar menurunkan harga BBM (Premium, Solar dan Gas) , sebab komoditi energi itu termasuk penitng dalam kegiatan usaha perunggasan di Indonesia.
Boris menilai bahwa krisis finansial di AS semoga cepat teratasi dengan cepat dan juga semoga imbasnya tidak terlalu parah dan lama bagi kegiatan ekonomi Indonesia. Menghindar dan mengelak jelas tidak mungkin, tapi berharap terbaik adalah salah satu bentuk optimistis. Terutama kaitannya dengan kandungan impor bahan baku untuk kegiatan usaha sektor perunggasan, seperti pakan, obat-obatan. Sebut saja pakan yang merupakan 65% dari biaya produksi sektor perunggasan di mana hampir kandungan impor untuk bahan bakunya, maka sudah pasti rentan terhadap gejolak nilai kurs mata uang.
Agus sependapat bahwa bahan baku dan obat impor kini penuh ketidak pastian bahkan dengan pola kencenderungan harga naik terus sesuai irama kurs rupiah. Namun jika saja saya serap pasar akan hasil produksi perunggasan seperti telur dan daging tetap terjaga, maka setidaknya masih mampu memberi ruang kepada para peternak untuk bertahan dengan harapan besar di tahun mendatang.
Sedangkan, Wachid menilai bahwa beban berat saat ini bukan pada biaya operasional, akan tetapi justru rasa was-was yang menghinggapi para pelaku bisnis perunggasan. Hal itu muncul oleh karena belum tahu pasti seperti apa dampak negatid yang akan lahir dari kasus krisis finansial di AS. Juga seberqapa lama krisis itu akan berjalan dan sektor apa saja yang akan paling parah terkena imbasnya.
Sektor perunggasan menjadi sangat rentan oleh karena seperti diuraikan dimuka, yaitu akibat kandungan bahan impor yang relatif cukup tinggi, sedangkan pasar hasil produksi masih terbatas di area domestik alias dalam negeri. Untuk itu, secara umum para pelaku perunggasan nampaknya semua bersifat menunggu dengan harap cemas.
Lain dengan Boris yang berharap banyak keapda para pelaku justru jangan bersifat menunggu saja, namun justru harus aktif kreatif membuka pasar atau ada langkah inovasi untuk meraih peluang. Berbicara peluang, menurut praktisi lapangan Arief Bantula, bahwa sejak krisi finansial, memang belum terasa terhadap omset penjualan obat-obatan secara signifikan. Gairah para peternak masih tinggi, bahkan ada keinginan untuk ekspansi pada ayam potong dan peremajaan pada peternak ayam petelur. Namun, sayang semua terbentur pada tersedianya bibit yang memadai.
Menurut Arief, harga bibit ayam petelur melambung tinggi dengan ketidak pastian kualitas yang cukup, akhirnya membuat peternak mengerem untuk peremajaan. Sedangkan pada ayam potong, meski harga bibitnya masih wajar, namun semua peternak ada rasa was-was untuk menambah populasi, terkait dengan kekhawatiran akan naiknya harga pakan dan anjlognya daya serap pasar akan hasil produksi. Maka kondisi dilematid ini menyebabkan serapan akan obat-obatan dan vitamin relatif tetap stabil. “Omset penjualan obat memang tidak turun, akan tetapi juga tidak naik”ujar Aried.
Indikasi riil tentang stabilnya omset penjualan obat, menurut Wachid merupakan bukti bahwa dunia perunggasan sudah mulai terkena imbas krisis finansial AS. Sebab seharusnya justru akan mengalami peningkatan omset penjualan obat seandainya kondisi riil harga telur dan daging yang terus membaik selama hampir 6 bulan terakhir ini. Namun ternyata tidak terjadi. Bisa juga oleh karena tidak adanya penambahan populasi yang signifikan.
Memang benar tidak ada penambahan populasi ayam yang signifikan, jelas Agus, namun itu justru lebih baik agar harga jual hasil produksi tetap terjaga, sehingga tidak semakin membuyarkan dunia perunggasan domestik. Sebab nampaknya jika terjadi PHK besar-besaran pada industri pabrik yang ekspornya terganggu, maka pasti akan mempengaruhi daya serap pasar.
Untuk itu menurut Agus pembatasan produksi DOC memang harus alamiah sesuai dengan kondisi riil pasar. Sedangkan Boris, berharap produski DOC digenjot agar populasi meningkat populasinya untuk semakin menggairahkan usaha perunggasan. Jika tidak ada penamabahan populasi, maka pertumbuhan usaha produksi obat akan stagnan.
Pilihan manapun, apapun, pada umumnya mereka sepakat bahwa harapan dan rasa optimistis memang harus ditumbuhkan dengan antisipasi yang rasional akan dampak negatif krisis finansial global ini. (iyo)

DI MASA KRISIS:BERUNTUNGLAH PETERNAK!

DI MASA KRISIS:
BERUNTUNGLAH PETERNAK!

(( Beruntung bagi mereka yang bergerak di bidang peternakan terutama di bidang perunggasan. Peternak ayam komersial apakah itu layer atau broiler tetap meraih untung pada saat krisis global melanda sebagian Negara di belahan bumi ini. ))

Dalam hitungan jam, menit ataupun detik perjalanan bangsa ini di tahun 2008 akan berakhir. Problematika kehidupan mewarnai perjalanan panjang dalam kurun waktu satu tahun ini.
Banyak hal yang sudah diraih namun tidak sedikit pula permasalahan negeri ini yang masih membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan dalam menanganinya. Semisal kasus korupsi yang masih menjadi onak duri dalam pelaksanaan kegiatan kepemerintahan. Korupsi harus dibumihanguskan dari negeri ini, kalau tidak maka tunggu saja kehancurannya. Korupsi merupakan manifestasi dari krisis moral yang memerlukan pendekatan personal untuk menanganinya.
Di samping itu, krisis ekonomi yang melanda dunia juga berimbas pada tatanan perekonomian negeri ini. Beberapa barang kebutuhan pokok merangkak naik pasca lumpuhnya perekonomian Negara adidaya Amerika Serikat. Lalu apa hubungannya dengan subsektor peternakan kita?
Krisis global secara tidak langsung berdampak pada menurunnya harga produk pertanian. Petani karet mengalami shock berat akibat melemahnya harga karet ditingkat pedagang pengumpul, demikian juga dengan petani kelapa sawit.
Informasi terakhir menyatakan bahwa harga sawit jatuh ke level paling rendah, yakni Rp 100 per kilogram, sungguh sangat tidak menguntungkan bagi petani sawit, demikian juga bagi pabrik pengelola tandan buah segar (TBS) untuk memproduksi minyak sawit mentah, mereka banyak yang menghentikan operasionalnya untuk sementara waktu.

Beruntunglah Peternakan!

Beruntung bagi mereka yang bergerak di bidang peternakan terutama di bidang perunggasan. Peternak ayam komersial apakah itu layer atau broiler tetap meraih untung pada saat krisis global melanda sebagian Negara di belahan bumi ini.
Perkembangan perunggasan tahun 2008 mengalami sedikit penurunan bila dibandingkan dengan capaian populasi di tahun 2007, hal ini bukan saja karena adanya dampak penyakit Avian Influenza namun faktor-faktor lainnya seperti kondisi ekonomi masyarakat yang tidak stabil juga mempengaruhi daya beli produk peternakan, sehingga secara kuantiti produksi daging broiler dan telur kurang namun menurunnya daya beli masyarakat mampu menstabilkan pasokan daging broiler dan telur dipasaran.
Demikian dikatakan Pakar kesehatan unggas Prof drh Chales Rangga Tabbu MSc PhD di ruang kerjanya Departeman Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurutnya secara nasional untuk produksi DOC broiler per minggu di tahun 2008 hanya berkisar 16-18 juta ekor jauh dari produksi DOC broiler untuk tahun 2007.
Bila dihubungkan dengan kebutuhan pasar maka secara teoritis, disaat populasi menurun maka akan terjadi peningkatan harga. “Nah disini peternak diuntungkan,” ujarnya. Kemudian untuk bulan-bulan tertentu banyak ayam sakit terutama sakit pernafasan ataupun sakit pencernaan, sehingga untuk mendapatkan ayam dengan ukuran besar sangat sulit, pada kondisi ini harga akan mengalami kenaikan dan keuntungan tersebut akan menjadi milik peternak seutuhnya.
“Seyogyanya usaha peternakan ayam broiler masih sangat menjanjikan, hanya saja yang memprihatinkan adalah daya beli masyarakat yang kurang terutama pada kondisi krisis keuangan global yang menyebabkan banyak PHK dan kenaikan harga BBM tapi tetap tidak mempengaruhi daya beli masyarakat,” papar peraih gelar Master of Science (MSc) dari Washington State University ini.
Dikatakannya bahwa untuk Indonesia konsumen terbanyak daging broiler dan telur adalah konsumen menengah ke bawah, sementara untuk konsumen di bawah menengah ke bawah ini daya belinya terbatas, padahal konsumen terbesar untuk produk unggas ini ada pada level tersebut.
“Jadi ini tetap akan mempengaruhi kalau kita konversikan antara produksi dengan jumlah penduduk tetap masih jauh berkurang ditambah lagi dengan daya beli masyarakat yang rendah,” ujar Prof Charles.
Kemudian, kalau dilihat perkembangan di layer, kasus yang sama juga dirasakan, data populasi layer terakhir untuk tahun 2008 hanya berkisar pada angka 60-65 juta ekor, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya jelas jauh berkurang. Produksi telur pun juga berkurang.
Namun yang cukup menggembirakan adalah harga telur di tahun 2008 cukup tinggi, mungkin rekor tertinggi. Ini mungkin sebagai gambaran bahwa popuasi dan produksi layer memang rendah. Namun perlu disyukuri bahwa harga telur dan daging broiler cukup murah bila dibandingkan dengan harga tempe ataupun harga sebatang rokok.
Menariknya bahwa masyarakat Indonesia memang sudah terbiasa dengan makan daging dan telur, jadi kalau tidak beli itu artinya memang mereka tidak punya uang. Ketakutan makan telur menurut Prof Charles biasanya terjadi pada konsumen level atas, yakni konsumen dengan resiko kolesterol tinggi, pada hal ini sama sekali tidak berbahaya, kolesterol pada telur tetap aman untuk penderita jantung koroner. (Daman Suska)

YANG HARUS DIKERJAKAN PETERNAK 2009

YANG HARUS DIKERJAKAN PETERNAK 2009

((Apa yang harus dikerjakan oleh peternak menghadapi percaturan bisnis perunggasan di tahun 2009 nanti? ))
Prof Drh Charles Ranggatabbu MSc PhD yang dinobatkan sebagai Guru Besar Madya per 1 Mei 1998 ini menyarankan kepada peternak dalam menghadapi percaturan bisnis perunggasan di tahun 2009 nanti agar praktek manajemen peternakan yang lebih baik dan optimal, terutama dengan menjaga kualitas DOC, pakan dan mengembangkan sistem perkandangan dan peralatan kandang ke arah yang lebih baik dan higienis, lingkungan dan sumber air minum yang baik.
Namun itu semua tetap berpedoman pada penerapan biosekuriti di farm. Penerapan biosekuriti bukan hanya di dalam kandang tapi untuk luar kandang pun perlu diterapkan.
“Kata kunci dari semua kegiatan di usaha peternakan ayam adalah bagaimana caranya peternak meningkatkan efisiensi, disamping itu bagaimana caranya meningkatkan kualitas produk yang masuk ke dalam tubuh ayam untuk menghasilkan produk peternakan yang berkualitas pula,” pungkas Prof Charles.
Perubahan cuaca tak menentu ini juga mendapat apresiasi dari drh Joko Prastowo MSi dosen Penyakit Parasiter Ternak Departemen Parasitologi FKH UGM Yogyakarta. Menurutnya, penyakit parasiter pada ternak selalu ada pada setiap periode musim. Hubungannya dengan perubahan cuaca ini adalah musim panas dan hujan saat ini terjadi tidak menurut masanya.
Di samping itu, Indonesia termasuk negara beriklim tropis yang cocok untuk pertumbuhan berbagai macam parasit. Artinya apapun cara yang dilakukan peternak untuk menghambat munculnya kasus penyakit parasiter pada ternak sangat minim keberhasilannya, termasuk penerapan biosekuriti.
Joko mencontohkan pada satu kasus parasiter pada ayam misalnya Koksidiosis dengan Koksidianya. Koksidia tersebut ditularkan melalui ookista yang mempunyai dinding yang tebal, sehingga ookista dari Koksidia ini diadaptasikan oleh induknya untuk dapat bertahan hidup dalam berbagai macam bentuk perubahan lingkungan tempat tinggalnya.
“Apapun jenis makhluk hidup selalu ingin survive, tidak satupun makhluk hidup yang ingin mati percuma, termasuk parasit yang selalu bertahan hidup untuk kelangsungan generasinya, maka apapun bentuk ancaman dari luar tubuhnya akan dilawan seperti perubahan cuaca, pengaruh biokimia dan lainnya,” papar Joko.
Joko memprediksikan semua penyakit parasiter akan tetap muncul di tahun 2009 nanti. “Ini merupakan konsekwensi hidup di negara tropis, semuanya tumbuh subur termasuk mikroorganisme penyebab penyakit,” ujar Joko dengan senyum sumringahnya.
Ditambahkannya bahwa pertahanan terdepan di farm memang biosekuriti, tapi sejauh mana peternak mampu menerapkan biosekuriti tersebut, apakah setiap menit, setiap jam, atau setiap hari dilakukan penyemprotan? Lalu terkait dengan manusia dan lalu lintasnya, apakah setiap orang yang masuk ke kandang harus mandi dulu, kemudian tersedianya zona-zona pembatas di setiap farm, bukankah ini semua akan menambah biaya?
“Inilah problem peternak yang juga harus dipikirkan oleh para pakar perunggasan negeri ini,” imbau Joko.
Satu lagi yang menjadi sorotannya adalah pemetaan wilayah untuk peternakan tidak sebagus negara-negara maju, dapat dibayangkan bahwa ada usaha peternakan yang berdiri kokoh di tengah-tengah kota, di tengah-tengah pemukiman, nah bagaimana mungkin kontak antara manusia sakit dengan ternak sehat tidakkan terjadi?
Pada hal kita tahu bahwa sebagian penyakit penularannya ada yang melalui udara, mampu ngak kita berkata bahwa negeri ini bisa dibebaskan dari penyakit-penyakit ternak strategis dalam kondisi perwilayahan untuk usaha peternakan yang masih amburadul tersebut? Lantas, apa yang diperlukan terkait hal tersebut?
“Sumberdaya manusia yang handal dan tata ruang yang bagus untuk usaha peternakan,” tegas Joko dengan mantap.
Sumberdaya manusia termasuk perilaku, kebiasaan dan skill yang berhubungan langsung dengan dunia unggas, sementara itu tata ruang berhubungan dengan perwilayahan tadi, artinya ada wilayah-wilayah tertentu yang diplotkan hanya untuk usaha peternakan, tidak ada jenis usaha lainnya di wilayah tersebut, dan ini untuk jangka waktu panjang, misalnya 5, 10, 15 atau 20 tahun kedepan.
“Ini lebih baik dan akan membantu peternak untuk menciptakan usaha peternakan yang benar-benar dapat dinikmati hasilnya. Di samping itu, perwilayahan ini bukan saja mendatangkan untung bagi peternak tapi masyarakat pun akan menikmatinya, yakni terbebas dari polusi akibat usaha peternakan tersebut,” paparnya.
Terkait pengendalian dan pengobatan parasit Joko menyarankan untuk melakukan tindakan sanitasi harus secara benar dan ketat. Kemudian, buang secara periodik tumpukan feses yang disinyalir sebagai sumber perkembangbiakkan serangga dan kumbang, keduanya ini diyakini dapat menularkan penyakit pada ayam.
Lalu, jika memungkinkan, kandang bambu harus diganti dengan kandang kawat untuk mencegah infestasi tungau dan caplak, gangguan burung, tikus dan hewan liar lainnya harus diperkecil, hilangkan areal yang tergenang air di sekitar kandang, metoda manajemen pemeliharaan ayam yang efisien dan efektif akan membantu untuk memperkecil populasi parasit di farm.

Terkait Pangan Asal Ternak

Terkait keamanan pangan asal ternak salah satunya daging broiler misalnya daging ayam mati kemaren (tiren), daging busuk sampai pada daging ayam yang terkontaminasi residu antibiotika atau dari jenis obat lainnya masih tetap menjadi dilema di tahun 2009 nanti.
Kondisi ini harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Isyu-isyu yang tidak jelas sumber yang pasti jangan dibesar-besarkan, karena ini berhubungan dengan psikologis konsumen.
Demikian dikatakan Nanung Danar Dono SPt MP dosen Ilmu Nutrisi Ternak Dasar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. “Pada dasarnya konsumen produk bahan pangan asal ternak sangat mudah dipengaruhi. Ambil contoh ketika terjadi kasus AI di negeri ini.”
Pemberitaan seputar AI begitu santer, sehingga tidak menyisakan ruang pikir buat konsumen, hasilnya apa? Konsumen pada takut mengkonsumsi daging ayam, ketakutan mereka tidak beralasan, karena penyakit AI sendiri tidak ditularkan melalui daging ayam,” papar Nanung.
Di samping itu, daging ayam mati kemaren peredarannya sulit dideteksi. Hal ini terkait jejaring atau rantai penjualan yang begitu apik, sehingga masyarakt yang kurang paham dengan ilmu perdagingan akan terkecoh. Hanya satu yang dapat dijadikan batasan apakah itu daging tiren atau bukan, yakni dengan mengetahui harganya, bila harga yang ditawarkan jauh dari harga pasar yang sebenarnya, maka konsumen harus waspada, ada apa dengan daging tersebut.
Di samping keterbatasan ilmu tentang perdagingan, kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk menghadirkan daging sebagai lauk-pauk dalam keluarga, mengharuskan sebagian kecil konsumen memaksakan diri membeli daging ayam tiren tersebut, alasannya cukup masuk akal, yakni harga murah.
Pada hal dari segi kesehatan, daging ayam tiren sama sekali tidak baik lagi untuk dikonsumsi, hal ini mengingat bahwa daging merupakan bahan pangan yang disukai oleh mikroorganisme untuk hidup dan berkembangbiak demi kelangsungan generasinya. Bila kondisi ini terjadi, lantas siapakah yang harus disalahkan, pembelikah atau penjual?
Penggunaan antibiotika untuk menggertak pertumbuhan juga masih menjadi bahan diskusi dibeberapa event terkait kesehatan unggas yang ada hubungannya dengan kesehatan konsumen produk asal ternak.
Sebenarnya, penggunaan antibiotika untuk growth promotor dibeberapa negara sudah sejak lama dihentikan, hal ini mengingat bahwa tingkat residu beberapa antibiotika dalam daging ayam dan daging ternak lainnya dapat merugikan konsumen.
Di negara maju seperti Jerman, Swedia, Denmark dan Swis telah mengeluarkan peraturan terkait pembatasan penggunaan antibiotika dalam pakan ternak ataupun antibiotika yang digunakan sebagai obat untuk tindakan preventif dan kuratif pada ternak.
Indonesia sendiri, larangan atau pembatasan penggunaan antibiotika untuk ternak masih dalam ranah abu-abu, sehingga wajar masih memunculkan kekuatiran bagi sekelompok konsumen untuk mengkonsumsi bahan pangan asal ternak tersebut. Lalu, apa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi hal tersebut? ”Back to nature atau kembali ke alam,” ajak Nanung.
Dikatakannya bahwa mengembalikan ke alam memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi secara genetika ayam broiler dan layer diplot untuk berproduksi maksimal, artinya segala sesuatu yang akan diberikan ke ayam-ayam tersebut juga dari bahan-bahan yang maksimal pula kualitasnya.
Saat ini, alternatif penggunaan asam-asam organik dibeberapa farm mulai digalakkan. Asam-asam organik tersebut sebenarnya dapat diproduksi secara otomatis dalam tubuh ternak melalui proses fermentasi, hasilnya digunakan sebagai sumber energi.
Kemajuan dibidang biotekhnologi yang begitu pesat mengilhami industri-industri pakan ternak untuk memproduksi asam-asam organik dalam bentuk komersial seperti asam asetat, propionat laktat dan citrat yang dikemas dalam bentuk cair.
Asam-asam organik sintetik tersebut ditambahkan ke dalam pakan ternak dengan tujuan untuk menigkatkan produktifitas ternak. Di samping itu, penciptaan lingkungan yang serasi bagi perkembangan mikroflora dalam tubuh ternak dapat meningkatkan performance ternak, hal ini mendatangkan untung tersendiri bagi peternak.
Penciptaan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri tertentu melalui penurunan keasaman dapat mengaktifkan serta merangsang produksi enzim-enzim endegenous, hal ini dapat meningkatkan absorbsi nutrisi dan konsumsi pakan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi ternak.
Akankah penggunaan asam organik untuk imbuhan pakan ternak dapat menggantikan kedudukan antibiotik? Ini tergantung pada peternak dan pakar perunggasan negeri ini. (Daman Suska)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer