Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KUTU BUKAN SEMBARANG KUTU

“Persyaratan sapi antara lain gemuk, tidak menunjukkan cacat fisik yang tidak diinginkan dan bebas dari ekto parasit. Yang termasuk cacat fisik yang tidak diinginkan adalah patah kaki, patah punggung, luka dan membahayakan keselamatan sapi yang bersangkutan atau sapi lain selama transportasi, serta cacat fisik lainnya. Termasuk ekto parasit adalah lalat, caplak dan kutu.”

Perhatikan, bukan main pentingnya tenak bebas dari penyakit parasit, termasuk kutu!

Sumber di Dinas Peternakan jawa Barat menyatakan bahwa melalui caplak dan kutu yang berpindah dapat ditularkan, Q fever, suatu penyakit yang bersifat zoonosis.

Drh Agus Lelana SpMp MSi dari FKH IPB dalam suatu kesempatan menyatakan kepada wartawan, layaknya bakteri Anthraks, Coxiella burnetti, bakteri penyebab penyakit Q Fever dapat disusupkan orang tak bertanggungjawab ke dalam produk makanan asal hewani sebagai senjata teror. Membahayakan kesehatan manusia, gejalanya tampak seperti flu biasa.

Jelas, kutu dapat menjadi perantara penyakit. Sehingga, Infovet sangat keheranan ketika menjumpai pada satu peternakan, kutu frengki begitu banyak pada kotoran ayam di lantai kandang ayam peternakan petelur. Lantas Infovet abadikan dalam gambar di pada artikel ini.

Begitulah, tentang penyakit parasit serangga ini, di samping lalat, kutu juga merupakan musuh utama peternak terutama peternak yang memelihara layer dengan kondisi manajemen kandang yang kurang bagus.

Apabila anak ayam dibiarkan berkeliaran, mereka harus dilindungi dari pemakan mangsa dan ayam yang buas terutama pada malam hari. Tikus dan kutu ayam kalau dibiarkan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan ayam yang ahirnya dapat menimbulkan penyakit.

Kutu merupakan ektoparasit yang sering ditemukan pada burung termasuk ayam. Kutu ayam digolongkan pada ordo Mallophaga yakni kutu yang mengunyah.

Hal ini berdasar pada terdapatnya mandibula yang terletak di bagian ventral kepala, tubuh pipih di bagian dorso ventral dan adanya antena pendek dengan 3-5 segmen. Mallophaga berkepala lebar dengan mandibula yang mengeras dan berpigmen.

Diantara spesies kutu yang harus diwaspadai kehadirannya di farm peternakan adalah kutu pada kepala (Cuclotogaster heterographa), kutu bulu halus (Goniocotes gallinae), kutu ayam coklat (Goniodes dissimilis), kutu sayap (Lipeurus caponis), kutu tubuh (Menachantus stramineus

Keberadaan kutu sebagai musuh utama ayam peliharaan peternak merupakan hal yang harus dihindari. Hal ini dikemukan M Hadie peternak broiler di Panam pinggiran Kota Pekanbaru.

Menurutnya, keberadaan lalat di kandang sangat mengganggu terutama pada broiler memasuki periode minggu kedua pemeliharaan. Sumber Infovet menyatakan, apabila bulu unggas rontok pada bagian perut atau sekitar dubur, penyebabnya pada umumnya adalah adanya parasit seperti kutu.


Metode Anti Kutu

Lalu bagaimana trik yang digunakan Hadie dalam memangkas perkembangbiakan kutu?

“Hanya dengan metode mekanik yakni dengan cara meningkatkan biosekuriti ternak dan biosekuriti luar dan dalam kandang. Dalam berusaha kita pasti ingin untung kan, sama halnya dalam pemeliharaan ayam, takkan ada penyakit bila kita mau menerapkan cara beternak yang baik dan yang dianjurkan oleh petugas lapangan dari kemitraan dan para Technical Service,” pungkas Hadie.

Sedang Zuhri Muhammad SPt Technical Service PT Medion merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu. Menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.

Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.


Penyakit Kudis

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung menyatakan, kambing bisa terserang penyakit, di antaranya kurap/kudis yang disebabkan parasit kulit, termasuk kutu. Tanda-tanda penyakit ini, kambing gelisah karena gatal, bulu rontok, kulit merah dan menebal. Tempat yang sering diserang adalah wajah, telinga, pangkal ekor, dan leher. Penyakit ini bisa dicegah dengan kebersihan dan pemisahan ternak yang sakit.

Demikian juga Sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan bahwa kudis merupakan penyakit menular yang menyerang kulit domba pada semua usia.

Akibat dari penyakit ini produksi domba merosot, kulit menjadi jelek dan mengurangi nilai jual ternak domba. Penyebab penyakit kudis ini adalah parasit berupa kutu yang bernama Psoroptes ovis, Psoroptes ciniculi dan Chorioptes bovis.

Gejala domba yang terserang kudisan: tubuh domba lemah, kurus, nafsu makan menurun dan senang menggaruk tubuhnya. Kudis dapat menyerang muka, telinga, perut punggung, kaki dan pangkal ekor.

Pengendaliannya antara lain: dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.

Tentu Anda pun kaya pengalaman yang lain untuk berbagi. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber).

PARASIT LALAT

Lalat adalah jenis serangga yang berasal dari subordo Cyclorrapha ordo Diptera. Secara morfologi lalat dibedakan dari nyamuk (subordo Nematocera) berdasarkan ukuran antenanya; lalat berantena pendek, sedangkan nyamuk berantena panjang.

Lalat umumnya mempunyai sepasang sayap asli serta sepasang sayap kecil yang digunakan untuk menjaga stabilitas saat terbang. Lalat sering hidup di antara manusia dan sebagian jenis dapat menyebabkan penyakit yang serius. Lalat disebut penyebar penyakit yang sangat serius karena setiap lalat hinggap di suatu tempat, kurang lebih 125.000 kuman yang jatuh ke tempat tersebut.

Lalat sangat mengandalkan penglihatan untuk bertahan hidup. Mata majemuk lalat terdiri atas ribuan lensa dan sangat peka terhadap gerakan. Beberapa jenis lalat memiliki penglihatan tiga dimensi yang akurat. Beberapa jenis lalat lain, misalnya Ormia ochracea, memiliki organ pendengaran yang sangat canggih.

Kehadiran lalat di areal peternakan juga perlu diwaspadai. Demikian diungkapkan Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau. Menurutnya, lalat tetap menjadi biang kerok dalam penularan berbagai penyakit pada ayam peliharaan. Untuk itu, alumni Fakultas Peternakan Jenderal Soedirman ini menganjurkan perlunya pengontrolan ketat pada lalat di sekitar lokasi kandang.

Menurut Zuhri Muhammad, kontrol lalat pada suatu farm merupakan hal mendasar dalam sistem manajemen pengendalian penyakit. Lalat dapat menimbulkan pelbagai masalah seperti mediator perpindahan penyakit dari ayam sakit ke ayam sehat, mengganggu pekerja kandang, menurunkan produksi, menurunkan kualitas telur pada layer dan mencairkan feses atau kotoran ayam yang berakibat meningkatnya kadar amoniak dalam kandang.

Lalat merupakan insekta yang unik bila dibanding dengan jenis insekta lain. Yang membedakannya adalah cara makan lalat yang meludahi makanannya terlebih dahulu sampai makanan tersebut cair. Setelah cair, makanan disedot masuk ke dalam perut. Hal ini disinyalir dapat memudahkan bakteri dan virus turut masuk ke dalam saluran pencernaannya dan berkembangbiak di dalamnya.

Penyakit yang disebabkan lalat dan larvanya seperti:
(1) lalat menjadi vektor penyakit gastrointestinal pada mamalia.

(2) NDV telah diisolasi pada lalat dewasa lalat rumah kecil (Fannia canicularis) dan larva lalat rumah (Musca domestica).

(3) larva dan lalat dewasa (M. Domestica) sering termakan ayam, kemudian menjadi “Hospes Intermediet” cacing pita pada ayam dan kalkun

(4) lalat rumah (M. domestica) yang memakan darah ayam yang tercemar kolera unggas dapat menyebarkan penyakit tersebut ke ayam lain.

Suksesnya program kontrol dilakukan dengan suatu metode pendekatan terintegrasi yakni ada 4 strategi manajemen dasar yakni:

(1) Memelihara kotoran agar tetap kering.

(2) Metode biologi, seperti menggunakan pemangsa yang menguntungkan (merangsang pertumbuhan musuh alami lalat yang biasanya banyak ditemui di kotoran dan musuh lalat ini dapat tumbuh baik jika kotoran kering). Kotoran kering akan membantu mendukung berkembangnya pemangsa dan benalu dari perkembangbiakan lalat.

Populasi predator dan parasit terutama terdiri dari kumbang, kutu dan lebah. Pertumbuhan musuh lalat ini umumnya lebih lambat dibanding lalat itu sendiri. Populasi yang cukup tinggi pada hakekatnya bermanfaat bagi pengendalian lalat dan dapat dikendalikan hanya dengan jalan tidak mengganggu kotoran dalam jangka waktu yang lama.

(3) Metode mekanik yakni dengan biosekuriti yang meliputi manajemen kebersihan (pembersihan dan desinfeksi kandang, terutama setelah panen) dan manajemen sampah (pembuangan litter, kotoran dan bangkai ayam.

Kemudian pindahkan hewan yang mati dengan segera dan membuangnya dengan baik (dibakar atau lainnya) dan minimalkan akumulasi pakan yang tumpah.

Sedangkan untuk luar kandang, Zuhri Muhammad SPt menganjurkan untuk membersihkan rumput liar di sekitarnya, hal ini bertujuan untuk menghindari kerumunan lalat dewasa serta menciptakan pergerakkan udara di sekitar kandang agar lebih baik.

Lalu manajemen kandang perlu ditingkatkan, hal dimaksud adalah ventilasinya, pengendalian kelembaban litter dan kebocoran air. Lalat dapat berkembangbiak di kotoran dengan kelembaban 55-85%.

Oleh karena itu perlu menghindari agar kandang tidak lembab, seperti mencegah kebocoran, pastikan air tidak masuk ke dalam lubang serta mengatur aliran udara agar dapat memberikan efek kering pada permukaan kotoran.

(4) Kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.

Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat.

Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.


Upaya Mengurangi Lalat

Upaya dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan kimia dan pestisida lainnya, memberikan dampak kimia negatif, yang berlanjut pada pertaruhan nilai kesehatan manusia akibat residu kimia yang ditinggalkan.

Dampak negatif yang serius terhadap lingkungan menyebabkan penurunan kualitas produksi akibat kerusakan unsur hara tanah yang diikat oleh residu kimia dalam tanah.

Mengantisipasi kedua dampak serius diatas dan merespon ancaman pasar global akan kebutuhan produk organic, banyak cara dilakukan termasuk dengan cairan minuman stimulan yang: diterapkan pada ayam buras yang di antaranya dianggap punya keunggulan menekan ongkos produksi 15 s/d 25% untuk pengadaan pakan, mampu melepaskan pemakaian vitamin serta konsentrat buatan/pabrik, meningkatkan produktifitas telor dan daging secara kuantitatif dan kualitatif, menetralisir limbah kotoran (bebas polusi), mengurangi jumlah lalat dan serangga ternak, mengurangi ketegangan/stress pada ternak dan menekan angka mortalitas.

(Darman Suska, Infovet/ Berbagai Sumber)

SEBUAH TEROBOSAN KASUS MYASIS

(( Myasis tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka. ))

Organisasi setengah kamar yang mewadahi praktisi dokter hewan di Kabupaten Bantul Yogyakarta ternyata tidak hanya mampu mewadahi anggautanya akan tetapi juga mampu memberikan inovasi aspek praktis veteriner di lapangan.
Organisasi itu secara resmi bernama Forum Komunikasi Praktisi Dokter Hewan se Kabupaten Bantul yang sering disingkat dan lazim diucapkan Forkom saja itu. Dan tentunya, tetap menginduk ke Perhimpunan Doker Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Yogyakarta.
Memang belum genap 10 tahun organisasi itu berkiprah, namun harus diakui peran dan kontribusi terhadap peningkatan ketrampilan dan kecakapan anggotanya sangat signifikan. Hal ini terjadi oleh karena dalam setiap pertemuannya antar anggota terjadi interaksi yang intensif. Baik itu dilakukan secara formal dalam sebuah dialog ataupun secara informal ketika pertemuan sedang berlansung.
Komunikasi yang terjalin harus diakui mampu merangsang anggotanya untuk secara aktif menggali informasi yang belum diketahui dan sebaliknya juga berusaha menularkan sesuatu yang diketahuinya atas dasar pengalaman praktis lapangan, terutama ke sesama sejawat anggota Forkom.
Salah satu inovasi dan hasil improvisasi lapangan praktisi dokter hewan yang cukup menarik untuk disampaikan dalam tulisan ini adalah cara menanggulangi belatung pada luka ternak.
Jika mendengarnya, memang kasus itu sepele, namun dengan realita lapangan sistem peternakan hewan besar (Sapi, Kerbau, Kuda dan Kambing) maka kasus gangguan kesehatan itu menempati urutan tinggi dengan tingkat frekuensi kejadian/prevalensi yang terbilang sangat sering. Hampir 7 dari 10 ternak yang ada pernah mengalaminya, dengan tingkat berulangnya kasus itu bisa mencapai 40%.
Kasus gangguan kesehatan itu biasa disebut sebagai myasis. Sebuah kondisi berupa gangguan kesehatan yang sebenarnya tidak terlalu mengkawatirkan namun secara ekonomis sangat mengganggu produktifitas dan kenyamanan ternak.
Myasis yang tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka yang meski tidak secara langsung mengancam kesehatan ternak, secara tidak langsung menyebabkan ternak menjadi terganggu aktifitasnya.
Bahkan, pada kasus myasis yang berat dan kronis ternak menjadi lebih rentan terhadap berbagai serangan penyakit lainnya. Tidak jarang karena nafsu makan yang terganggu, ternak akhirnya mengalami malnutrisi pada derajad yang ringan hingga sedang.

Sistem Budidaya
Tingginya kasus myasis pada ternak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sistem budidaya peternakan rakyat, jenis ternak besar atau sedang jenis ruminansia dan non ruminansia yang kurang memperhatikan kebersihan kandang dan lingkungan.
Sangat umum dijumpai bahwa kotoran ternak ditimbun di samping ternak dan tidak dikelola dengan baik. Akibatnya tumpukan kotoran itu menjadi media subur bagi tumbuh dan berkembangnya aneka mikroorganisme dan serangga lalat.
Kondisi ini diperparah dengan model kandang yang sangat mendukung terjadinya luka permukaan tubuh akibat kena paku ataupun fungsi ternak sebagai ternak kerja yang juga sering menderita trauma pada permukaan tubuh.

Menembus Kulit dan Otot
Investasi belatung atau larva lalat yang mampu menembus kulit, bawah kulit/sub kutan bahkan sampai ke otot menyebabkan ternak sangat terganggu kenyamanan dan bahkan kesehatannya. Bila larva itu bermukim di kulit atau hanya di bawah kulit, masih sangat mudah untuk dilakukan tindak medis yang sederhana.
Namun jika sudah menembus di dalam otot dengan bentuk luka yang dalam dan melengkung seolah membentuk celah bak bentuk ‘gua’ maka akan menjadi rumit dalam penanganannya.
Langkah yang ditempuh oleh para praktisi dokter hewan lapangan selama ini biasanya dengan cara manual, yaitu mengeluarkan belatung sebersih mungkin dari dalam tubuh ternak dan kemudian memberikan semprotan yang mengandung antiseptik plus insektisida.
Meski pola penanganan seperti itu tidak membuahkan hasil yang optimal, akan tetapi ternyata tetap diaplikasikan oleh praktisi dokter hewan bertahun-tahun, tanpa ada modifikasi yang signifikan yang mampu menghasilkan penanganan medis memuaskan. Seolah pola itu sudah baku dan tidak mngkin dikembangkan lagi dalam mengatasi kasus itu.

Ivermectin
Sebuah terobosan yang cukup revolusioner dan mencapai tingkat keberhasilan yang cukup memuaskan, terutama di peternakan rakyat, telah ditemukan. Temuan itu diperkenalkan pertama kali oleh Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta.
Wasis yang di samping menjalankan profesinya sebagai dokter hewan juga terjun menjadi peternak sapi. Sebelumnya, ia adalah peternak ayam petelur komersial yang akhirnya memilih jalan hidup praktek dokter hewan.
Jalinan komunikasi yang begitu intensif antara Wasis dengan Forkom Praktisi Dokter Hewan Bantul itu akhirnya menjadikan temuannya sangat cepat diikuti oleh praktisi Dokter hewan se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan menembus ke Propinsi Jawa Tengah.
Adapun cara baru yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.
Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.
Selama ini pemanfaatan preparat itu mash sangat terbatas dan sangat jarang digunakan, bahkan bisa dikatakan tidak pernah untuk menangani kasus myasis. Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu.
Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya. Sehingga kini sangat sering praktisi menggunakan preparat itu untuk berbagai kasus parasit internal dan eksternal.
Hasil improvisasi dan inovasi Wasis memang patut dihargai dan terus dicermati, terutama aspek keamanan dan resistensinya pada ternak. Namun menurut Drh Agus Priyo Handoko, Sekretaris Forkom bahwa temuan itu sungguh membanggakan dan melegakan para praktisi dokter hewan.
Lebih lanjut ditambahkan oleh Agus bahwa temuan Wasis itu kini hampir telah diterapkan oleh para praktisi dokter hewan lapangan di Bantul dan sekitarnya. Masalah kekhawatiran akan munculnya resistensi pada pemakaian ivermectin, menurutnya sangat berlebihan.
“Jika ada pendapat akan hal itu, maka sebetulnya justru pemakaian preparat antibiotik lah yang harus dikhawatirkan, bukan pemakaian ivermectin,” ujar Agus
Keberadaan Forkom itu sendiri menurut Agus memang salah satunya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kecakapan kepada anggotanya, oleh karena adanya pertemuan rutin yang digelar organisasi itu.
Sementara menurut Drh Leonardo Bisana, yang juga telah mengaplikasikan temuan Wasis itu, pola medikasi itu tidak hanya meringankan pekerjaan praktisi Dokter Hewan di lapangan saja. Akan tetapi, secara ekonomis sangat membantu para peternak di pedesaan yang nota bene secara ekonomi masih perlu dibantu.
Selain itu, akan menekan tingkat kerugian yang diderita oleh para peternak. Sebab sementara ini jika ternak milik peternak mengalami gangguan kesehatan myasis pada derajad yang berat, maka jalan pintas akan ditempuh dengan menjual ternak tersebut ke pedagang. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Kini setidaknya, dengan pola medikasi itu, lanjut Bisana akan menolong banyak para peternak.
Sedangkan menurut Drh Untung Satriyo, Ketua Forkom mengharapkan agar temuan ini dapat semakin banyak diterapkan oleh para dokter hewan di seluruh Nusantara, agar kasus yang ringan itu tidak menggerogoti kantong peternak. Semestinya ada apresiasi dari instansi pemerintah cq Departemen Pertanian atau Dinas yang berkompeten atas jerih payah Wasis.
“Yang jelas, kini para praktisi tidak terlalu repot dalam menangani kasus myasis dan hasilnya pun cukup memuaskan bahkan 10 kali lipat hasil terbaik dari model pengobatan yang lama,” ujar Agus yang diamini Untung. (iyo)


Penyakit Parasit Itu Berbahaya Mengatasinya Sangatlah Mulia


Memasuki bulan Ramadhan tahun ini, sedikit memprihatinkan. Betapa tidak, di awal Ramadhan, serentetan bencana alam menimpa saudara kita yang hidup di sepanjang wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bencana alam dimaksud seperti gempa bumi yang kembali melanda Provinsi Bengkulu, Jambi dan Sumatera Barat dengan kekuatan 7,9 SR, 7,7 SR dan 7,8 SR.

Kita pantas berduka, sebab semestinya saudara kita dapat melakukan ritual ibadah puasanya dengan aman, kehadiran gempa bumi sedikit membuncah ketenangan saudara kita dalam kekhusukannya menjalankan ibadah puasa dimaksud.

Senada dengan itu, dunia peternakan dan kesehatan hewan Indonesia juga belum sepenuhnya bisa bernafas legah. Di sana sini masih saja terdengar pembantaian unggas secara besar-besaran terkait ketakutan masyarakat terhadap bahaya penularan Avian Influenza dari unggas ke manusia.

Hal ini memang tak dapat dipungkiri. Setelah empat tahun Indonesia bersama AI, kondisi AI sendiri di Indonesia belumlah pulih. Hal ini masih saja terlihat manakala adanya laporan-laporan suspect Flu Burung yang menimpa manusia dari berbagai daerah di Indonesia.

Selain itu, penyakit ternak dari jenis parasit juga perlu diperhatikan. Hal ini terkait dengan kondisi iklim dipenghujung tahun 2007 ini yang cenderung basah, sehingga kekuatiran terhadap serangan parasit perlu ditingkatkan.

Menurut Technical Service narasumber Infovet di berbagai tempat di Indonesia, iklim basah merupakan faktor awal yang memicu munculnya serangan berbagai parasit pada ternak. Ditegaskan, dari sejumlah parasit dimaksud yang perlu mendapat perhatian lebih adalah cacing, lalat dan kutu.


Tiga Parasit

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya mendeskripsikan mata kuliah Parasitologi Veteriner memberikan ilmu-ilmu protozoologi (tentang protozoa), helmintologi (tentang cacing) dan entomologi (tentang serangga).

Menurut Laboratorium Parasitologi FKH UNair itu, diagnosis protozoa meliputi protozoa saluran cerna dengan pemeriksaan feses, bedah saluran pencernaan, usapan kerongkongan dan kerokan usus.

Khusus koksidiosis pada ayam dilakukan bedah bangkai dan uji biologis.

Protozoa darah meliputi pemeriksaan ulas darah dan khusus leucocytozoonosis dlakukan bedah bangkai dan gerusan organ dalam. Toxoplasmosis meliputi pemeriksaan feses, uji tekan dan uji biologis.

Adapun diagnosis penyakit helminth, meliputi bedah saluran pencernaan untuk identifikasi cacing, pemeriksaan feses secara natif, metode konsentrasi sedimentasi dan pengapungan. Identifikasi cacing secara natif dan pewarnaan Carmin.

Koleksi cacing dengan media basah dan preparat permanen. Pemeriksaan larva dan telur cacing dari padang rumput. Penghitungan telur cacing per gram tinja untuk mengetahui derajat infeksi.

Sedangkan diagnosis penyakit arthropoda, yang disebabkan karena tungau dilakukan cara pengerokan kulit pada kelinci dan ayam kampung, identifikasi secara makroskopis.

Identifikasi arthropoda penyebab penyakit pada ternak yaitu pinjal, caplak dan kutu dilakukan dengan cara pembuatan sediaan permanen dengan dan atau tanpa pewarnaan, dilanjutkan pemeriksaan secara mikroskopis.

Sedangkan arthropoda yang bertindak sebagai vektor penyakit yaitu lalat dan nyamuk, identifikasi dilakukan secara makroskopis dan koleksi cara basah dan kering/pinning.


Analisa Parasitologi

Untuk analisa parasitologi, peternak dapat menggunakan lembaga negara yang diakui internasional untuk melakukan pemeriksaan penyakit ini, yaitu Balai Besar Penelitian Veteriner yang menyediakan berbagai jenis layanan guna pemeriksaan penyakit cacing.

Layanan tersebut meliputi: Pemeriksaan sampel feses, darah/serum, ektoparasit, dan lain-lain asal hewan ternak/hewan kesayangan.

Lalu pemeriksaan feses dengan uji apung untuk menentukan EPG (eggs per gram feses) terhadap cacing nematoda dan cestoda, OPG (ookista per gram feses) terhadap Cocidia spp dan Toxoplasma.

Kemudian pemeriksaan feses dengan uji endap untuk menentukan EPG terhadap cacing trematoda. Pemupukan feses dan pemeriksaan larva cacing nematoda untuk menentukan jenis-jenis cacing nematoda.

Juga, pemeriksaan preparat ulas darah terhadap adanya Babesia bovis, B. bigemia, B. canis, Anaplasma marginale dan A. centrale, Theileria spp, Trypanosoma evansi dan T. theileri, Plasmodium spp., Leucocytozoon caulleryi dan L. sabrazesi, dll.

Pun, pemeriksaan sampel darah segar terhadap adanya Trypanosoma spp. dan Microfilaria sp. Pemeriksaan serum dengan uji Elisa deteksi antibody terhadap penyakit surra.

Selanjutnya, pemeriksaan kerokan kulit terhadap adanya scabies dan parasit. Serta, pemeriksaan ektoparasit dan cacing dewasa untuk tujuan identifikasi.

Untuk pemeriksaan-pemeriksaan itu, BBalitvet mempunyai alat-alat: Autoclave, centrifuge, microhaematocrit centrifuge, millipore deionized water, elisa reader, ELISA washer, freezer, incubator, magnetic stirer, stereo dan compound microscope, oven, pH meter, refrigerator incubator, timbangan, UV-Vis spectrophotometer.


Penelitian dan Penyuluhan oleh Peneliti

Para peneliti pun melakukan upaya penelitian tentang Parasit. Parasit-parasit yang umum dikenal antara lain: Protozoa (Eimeria tenella, Toxoplasma gondii, Leucocytozoon, Trypanosoma, Babesia), Penyakit Cacing Nematoda (Ascardia galli, Haemonchus contortus, Strongyl dan Strongyloides), Penyakit Cacing Trematoda (Fasciola gigantica), Penyakit Cacing Cestoda (Diphylobothrium latum, Railietina sp, Oxyspirura mansoni), Ektoparasit, Parasit Ikan.

Misalnya FKH UGM, melakukan kegiatan pengabdian masyarakat, di mana kegiatan-kegiatan ini dalam pelaksanaannya melibatkan Dosen bagian Parasitologi, Mahasiswa, Kelompok Masyarakat dan Pemerintah Daerah di antaranya adalah sebagai berikut:

Pemberdayaan masyarakat kelompok ternak Sapi Potong Pandan Mulyo, Srandakan, Bantul dalam mencegah dan memberantas penyakit parasit secara terpadu melalui kegiatan belajar mengajar dan praktikum lapangan.

Lalu, pendampingan kelompok ternak sapi Bina Gama Desa Banaran dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati Hutan Wanagama, Gunung Kidul.

Lantas, pengembangan Stasiun Flora Fauna Bunder, Gunung Kidul sebagai Taman Wisata Alam sebagai upaya dalam pelestarian satwaliar Rusa Jawa (Cervus timorensis).

Kemudian, pemeriksaan parasit pada ternak di sekitar kawasan Hutan Lindung dan Cagar Alam di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur.

Juga, penyuluhan penyakit parasit pada kambing di kelompok ternak desa Nglipar, Gunung Kidul.

Selanjutnya, penyuluhan penyakit parasit pada kambing di kelompok ternak desa Nganggring, Turi, Sleman.

Berikutnya, penyuluhan penyakit parasit pada hewan dan ternak di Dinas Peternakan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Berlanjut, penyuluhan penyakit pada satwaliar di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta.

Juga, penyuluhan Penyakit Parasit zoonosis pada pertemuan Dharma Wanita Persatuan Fakultas teknik UGM.


Kondisi pada Peternakan

Adapun, ini kondisi pada peternakan. Apabila anak ayam dibiarkan berkeliaran, mereka harus dilindungi dari pemakan mangsa dan ayam yang buas terutama pada malam hari. Tikus dan kutu ayam kalau dibiarkan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan ayam yang ahirnya dapat menimbulkan penyakit.

Pisahkan ayam betina muda dari yang lebih tua. Hal Ini akan menolong mengurangi kemungkinan menyebarnya penyakit dari induk ayam yang lebih tua ke yang lebih muda. Ayam betina dapat terkena penyakit cacing.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, terdapat sejumlah obat yang dapat dipergunakan untuk mencegah parasit pada ayam yang datangnya dari dalam. Dengan pengelolaan dan sanitasi yang baik dapat membantu mengurangi terjangkitnya parasit. Periksalah beberapa ayam betina dari waktu ke waktu untuk parasit yang datangnya dari luar seperti kutu ayam.

Parasit memang bukan sembarang penyebab penyakit, serta mampu melipatkan kerugian, dan kita perlu cermat mengamatinya. Dan itu: pasti bisa! (Infovet/ Berbagai Sumber)

KETIKA BIOSECURITY SELAMATKAN PETERNAKAN UNGGAS

Kisah-kisah ini merupakan kisah kilas balik. Dengan kisah yang telah berlalu beberapa tahun saat wabah Avian Influenza merangsek dunia peternakan kita, kita dapat belajar banyak bahwa Biosecurity memang benar-benar tulang punggung penyelamat dunia peternakan kita.

Menolak Tamu Hingga Menyemprot Mobil
“Maaf, semua tamu tidak boleh masuk peternakan,” kata Afung, penjaga sebuah peternakan ayam petelur di RT 02 RW 04, Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, ketika wartawan akan memasuki peternakan itu.
Untuk memperkuat pernyataannya, Afung lalu menunjukkan pengumuman di pintu masuk peternakan tempatnya bekerja yang berbunyi “Mohon maaf, demi keamanan bersama sementara tidak menerima tamu”.
Menurut Afung, pengumuman itu dibuat atas perintah Tedy, pemilik peternakan tersebut, sekitar dua minggu lalu. Tepatnya setelah Departemen Kesehatan memastikan penyebab kematian tiga warga Perumahan Vila Melati Mas, Serpong, Tangerang, yaitu Iwan Siswara Rafei dan dua anak perempuannya, pertengahan Juli 2004 adalah serangan virus penyakit flu burung.
Pengumuman Departemen Kesehatan itu, lanjut Afung, membuat peternakan tempatnya bekerja, yang berada sekitar 15 kilometer sebelah barat Perumahan Vila Melati Mas, segera meningkatkan kewaspadaan.
Flu burung tak dapat dianggap remeh. Akhir tahun 2003, dalam waktu 1,5 bulan penyakit itu telah membunuh 50.000 ayam milik peternakan ini hingga akhirnya membuat kami harus beristirahat selama satu tahun, ujar Afung.
Hal senada disampaikan Endah, karyawan peternakan ayam petelur lainnya di Desa Babat. “Saya ingat betul. Waktu itu pagi hari menjelang bulan puasa tahun 2003 tiba-tiba ada 20 ayam yang mati dengan jengger membiru dan suhu tubuhnya panas, tuturnya.”
Saat itu Endah yang sudah 21 tahun bekerja di peternakan ayam segera berkesimpulan apa yang terjadi di peternakan milik Tungki tempatnya bekerja bukanlah hal yang biasa. Selain jumlah ayam yang mati terbilang banyak, kesimpulan ini diambil karena gejala kematian ayam-ayam itu, yaitu jengger berwarna biru dan tubuh ayam amat panas, belum pernah ada sebelumnya.
Belum sempat menyadari apa yang terjadi, lanjut Endah, “Tiba-tiba keesokan harinya ayam yang mati menjadi 40 ekor. Lalu bertambah lagi menjadi 400 ekor dan naik terus hingga puncaknya sekitar 2.000 ekor sehari.”
“Waktu itu setiap hari, setelah mengubur ayam-ayam yang mati, saya selalu menangis. Sedih sekali rasanya,” tambah Endah yang saat itu selalu mengubur ayam tanpa perlindungan apa pun.
Tiga dokter hewan yang datang ke peternakannya, tutur Endah, “Saat itu menyatakan ayam-ayam tersebut mati karena keracunan. Pak Tungki kurang percaya. Dia lalu memanggil dokter dari Korea. Namun, saya tidak tahu hasil pemeriksaan dokter itu, tuturnya.”
“Saya juga tidak berani banyak bertanya. Sebab, dengan alasan supaya tidak menimbulkan kepanikan, saat itu kami tiba-tiba diminta diam,” tambah Endah perihal kematian ayam-ayam di peternakannya yang sekarang dia yakini akibat serangan penyakit flu burung.
Untuk menghindari serangan penyakit serupa, lanjut Endah, ketika peternakannya beroperasi kembali sekitar bulan Oktober 2004, pihaknya langsung menetapkan standar keamanan ternak yang lebih tinggi.
Sejak saat itu, siapa pun yang masuk area peternakan yang di sekelilingnya sudah ditaburi kapur harus melewati kubangan air setinggi mata kaki orang dewasa yang sudah diberi karbol.
“Setiap peti telur dan kendaraan yang akan memasuki area peternakan juga harus disemprot dengan air yang dicampur obat pembasmi kutu. Supaya tidak ada bibit penyakit dari luar yang masuk ke peternakan,” ujar Endah.
Selain itu, perkembangan kesehatan ayam juga lebih diawasi. Setiap tiga bulan sekali, sejumlah ayam diambil darahnya untuk kemudian diperiksa di dinas peternakan.
“Kandang juga lebih dibersihkan. Setiap ada pergantian ayam yang umumnya setahun sekali, kandang dikosongkan dahulu selama sekitar satu bulan. Saat itu semua bagian kandang disemprot dengan air yang dicampur obat kutu. Setelah itu baru diisi dengan ayam yang baru,” kata Endah.
Keadaan ini berbeda dengan sebelumnya di mana pengosongan kandang hanya sekitar dua minggu dan yang dibersihkan selama masa pengosongan itu hanya bagian atap kandang.
Dengan berbagai upaya pengamanan di atas, lanjut Endah, sampai saat itu belum ada ayam di peternakannya yang mati karena flu burung. Kalau saat itu diserang flu burung lagi, peternakan ini akan ditutup. Bangkrut, kata Endah sambil menambahkan, telur ayam hasil peternakannya setiap hari dikirim ke berbagai tempat di Jakarta dan Tangerang.

Biosecurity di Peternakan
Saat wabah flu burung di tanah air itu, di kandang peternakan biosecurity memang dilakukan secara ketat. Di peternakan Kelompok Kurnia Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak sembarangan orang bisa masuk ke kandang.
Semua tamu harus menunggu di luar pagar kandang, kata Hartono, pemilik peternakan yang juga Ketua Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional. Tamu yang akan masuk harus melewati beberapa tahap penyucian desinfektan.
Di dalam kandang, instalasi paling mahal yang dipasang adalah penggerak udara raksasa yang mengarahkan agar udara bergerak ke satu arah.. Di kanan kiri kandang dibuat saluran air. Tidak hanya itu, lingkungan kandang dibuat seperti taman atau kebun. Farm is garden, begitu moto peternakan itu. Hasilnya, kandang itu tidak bau dan lebih mirip taman kebun.
Maaf, tidak boleh masuk kandang, ya. Setiap ada orang masuk ke kandang berarti itu meningkatkan risiko, kata Hartono. Hartono juga tidak membolehkan pengunjung berpindah ke kandang lain. Boleh melihat kandang lain, tetapi jangan turun dari mobil, nanti kalau turun berarti meningkatkan risiko penularan, katanya.
Para pekerja di kandang satu juga tak bisa dengan mudah berpindah ke kandang lainnya. Sekadar main pun dilarang. “Begitulah, para peternak kini makin mengetatkan biosecurity untuk bisa bertahan dari gempuran segala penyakit. Dan biosecurity ini kami laksanakan tiap hari, bukan karena ada isu flu burung,” ujar Hartono menegaskan.

Pengendalian di Berbagai Tempat
Tindakan pembersihan kandang (biosecurity) untuk mengendalikan kemungkinan masuknya virus flu burung telah menyelamatkan peternak unggas di beberapa tempat ketika terjadi wabah flu burung. Vaksinasi tetap dibutuhkan, tetapi tidak mutlak untuk daerah yang aman dan mampu melakukan biosecurity secara ketat.
"Kalau lingkungan bersih tidak perlu vaksinasi. Vaksinasi diperlukan untuk kandang yang pernah terkena flu burung, kemudian melakukan pengisian ayam kembali maka perlu vaksinasi. Kuncinya pada biosecurity yang seragam yang harus dilakukan peternak," kata Ketua Posko Ayam Indonesia Ghofir Hakim saat itu ketika menceritakan pengalaman peternak di daerah Banyumas dalam mengendalikan flu burung tahun 2003.
Langkah yang dilakukan oleh para peternak secara seragam adalah melakukan pengendalian lalu lintas unggas, orang, serta peralatan. Unggas dari daerah yang terkena diupayakan tak masuk ke daerah yang aman, mengurangi lalu lintas orang ke peternakan, alat dan sarana yang ada di peternakan disemprot dengan disinfektan.
"Peti telur yang mau masuk ke kandang harus direndam dalam disinfektan. Kami melakukan itu secara ketat karena saat itu belum ada vaksin yang jelas. Kami masih mempertanyakan vaksin yang beredar. Tanpa vaksin, terbukti penyebaran virus bisa dikendalikan," ujarnya. Ia menyebutkan, dari 1,2 juta populasi ayam di Banyumas, hanya sekitar 140.000 ekor yang dimusnahkan.
Kasus pertama terjadi September 2003 dan mulai bisa dikendalikan Oktober. Kasus terakhir ditemukan Desember 2003. Selain itu, dari 250 peternakan, hanya sekitar 30 yang terkena. Prioritas pada biosecurity juga dilakukan peternak di beberapa daerah lain, seperti Kabupaten Temanggung, dan terbukti bisa menyelamatkan peternakan.
Beberapa peternak mengatakan, untuk daerah yang masih aman dan bersih sebaiknya tidak dilakukan vaksinasi karena bisa memunculkan penyakit baru bila tidak ditangani secara tepat. Vaksinasi lebih baik dilakukan pada peternakan yang pernah terkena wabah flu burung.
Dari pengalaman peternak dalam mengendalikan wabah flu burung juga diketahui perlunya kebersamaan antara peternak, Dinas Peternakan, dan perusahaan pendukung seperti pakan dan obat-obatan. Mereka harus satu kata dan membuat kesepakatan dalam melakukan tindakan. "Kami melakukan upaya-upaya standar sehingga ketika ke peternak semua sama. Peternak dan semua pihak terbuka. Laporan selalu masuk ke posko," kata Ghofir.

Hindari Peternakan Campuran
Saat itu praktisi hewan kecil drh Soeharsono menyatakan, sebenarnya virus flu burung itu tidak dapat bertahan lama. Jenis virus ini biasanya akan cepat mati sebelum dia menemukan media baru untuk hidup.
Masyarakat tidak perlu terlalu khawatir, namun tetap waspada. Apabila daging unggas ataupun babi diolah dengan benar, maka akan aman. Namun, penanganan yang benar ini harus mulai dilakukan dari tingkat peternakan hingga pengolahan, ujarnya.
Hal senada dikatakan Dr G Ngurah K Mahardika, ahli virus lulusan Institut fuer Virologie, Giessen University, Jerman, yang saat itu staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali. Dia memaparkan perlunya pemisahan hewan di peternakan dan mengurangi kepadatan peternakan.
Banyak sekali peternakan, juga di Bali, yang mencampur antara unggas dan babi. Ini berbahaya apabila ada virus pada unggas yang berpindah ke babi dan membentuk varian baru yang lebih ganas. Karena itu sangat diperlukan pemisahan hewan pada peternakan-peternakan, ungkapnya.
Uniknya penyebaran virus flu burung ini, karena belum dapat dideteksi awal, maka langkah lokalisasi masing-masing hewan ternak menjadi alternatif. Juga sangat penting menerapkan biosecurity, terutama pada peternakan berskala besar.

Penanganan kotoran ternak
Selain itu juga perlu diperhatikan penanganan kotoran hewan. Kotoran hewan sangat berbahaya karena dapat menjadi media yang sangat bagus untuk virus bertahan hidup. Kotoran hewan, terutama di peternakan berskala besar, perlu dikelola dengan saksama.
Melalui biosecurity dan pengelolaan peternakan yang benar, peternakan akan aman dan terhindar dari virus itu. Dengan demikian, kesehatan ternak terjamin, begitu pula keamanan dan kesehatan konsumen.
Pada dasarnya virus flu burung hanya dapat menular apabila orang mengadakan kontak yang lama dan menghirup virusnya. Ini membutuhkan kontak yang sangat dekat karena penularan hanya dapat terjadi melalui pernapasan, mulut, dan selaput lendir mata.
Dengan sifatnya yang mudah mati, virus flu burung tidak mudah menjangkiti manusia. Hanya kewaspadaan yang perlu dijaga, dengan cara melaksanakan prosedur standar. Kekhawatiran berlebihan hanya membuat orang semakin tidak tahu bagaimana cara menghadapi penyakit ini.

Biosecurity di Rumah Potong Ayam
Di sebuah kampung jauh dari hiruk pikuk kemacetan lalu lintas Jakarta, para pekerja memakai seragam khusus putih-putih dengan masker di hidung. Pemandangan itu lebih mirip ruang operasi di sebuah rumah sakit. Namun, mereka tidak sedang menangani manusia. Mereka memproses ayam potong.
Ribuan ayam yang sudah bersih bulunya menggantung di peralatan khusus. Ayam-ayam itu terus berputar di atas ban berjalan. Semua pekerja siaga, tak ada percakapan.
Tiap divisi dibatasi sekat dengan suhu yang berbeda. Di salah satu divisi mereka harus bekerja dengan suhu empat derajat Celsius. Di ruangan pendingin, suhunya bisa lebih dingin karena mesin dioperasikan dalam suhu minus 40 derajat Celsius. Daging ayam yang akan didistribusikan memang harus menjalani pembekuan pada suhu minus 40 derajat Celsius selama dua jam.
Itulah gambaran yang masih terbayang di benak Infovet, saat kunjungan wartawan di Rumah Potong Ayam PT Sierad Produce Tbk, di Desa Jabon Mekar, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat saat kasus Avian Influenza mengguncang negeri ini 2004.
Kunjungan dimulai dari daerah bersih, yaitu dari pengepakan daging ayam karkas baru ke tempat kotor, yaitu penyembelihan ayam.
Semua yang memasuki areal harus berganti baju putih, mengenakan topi khusus, sepatu bot tinggi, dan barang bawaan harus ditinggal. “Gelangnya juga dilepas, Pak,” kata petugas.
Memang merepotkan, tetapi begitulah standar biosecurity. Petugas juga tak membolehkan pekerja berkuku jorok. Seusai dari ruang ganti, pengunjung harus melewati genangan air desinfektan. Cuci tangan menggunakan desinfektan dilakukan tiga kali. Baju pengunjung juga diperiksa dan melewati pemeriksaan untuk menghilangkan rambut atau bulu yang menempel di baju.
Di dalam ruangan terasa dingin. Ratusan pekerja yang memakai masker tak satu pun bicara. Mereka berada di posisi, ada yang memeriksa ayam, memotong-motong ayam, membungkusi, mengiris-iris, dan ada yang setiap saat mengepel lantai dengan desinfektan. Ada juga yang berkeliling membawa desinfektan karena setiap 15 menit para pekerja harus cuci tangan.
Dari ruangan bersih kemudian menuju ruangan kotor. Tempat menyortir ayam hidup dari peternakan, menyembelih ayam, mencabut bulu, memotong-motong kaki, hingga mengeluarkan jeroan ayam. Ayam yang disortir, dijamin berasal dari peternakan bebas flu burung. Transportasi yang masuk ke rumah pemotongan harus disemprot dan setelah digunakan harus dicuci.
Semua ayam disembelih oleh petugas yang mendapat sertifikat dari Majelis Ulama Indonesia. Kami mengikuti sertifikasi halal, sertifikasi keamanan pangan HACCP, dan sertifikasi ISO 9001:2000. Setiap hari kami mengerjakan seperti ini, baik ada isu flu burung maupun tidak, katanya.

Akhirnya..
Berkaca pada tindakan biosecurity sangat ketat saat wabah AI menggurita di tanah air, kita sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa biosecurity-lah tulang punggung utama penyelamatan peternakan Indonesia Raya dari kehancuran yang mengancam akibat penyakit maut Flu Burung.
Kalau saat itu biosecurity begitu ketat dilakukan, kini pun dan dalam kondisi apapun sudah seharusnya kita tetap menerapkan tindakan paling bijak dalam pencegahan semua penyakit yang mungkin menyerang.
Tindakan itu adalah: Biosecurity. (Infovet/berbagai sumber)


BIOSECURITY HARUS MENYELURUH

Pengetahuan tentang pola penularan penyakit pada peternakan ayam meliputi asal, jenis bibit penyakit dan metode pencegahan dan pengobatannya, merupakan langkah awal dalam upaya pelaksanaan biosecurity secara menyeluruh di lokasi peternakan. Demikian disampaikan Drh Agus Syafiq Riyadi kepada kru Infovet Riau.
Biosecurity merupakan tindakan pengamanan terhadap ternak, melalui pengamanan terhadap lingkungannya dan orang atau person yang terlibat dalam siklus pemeliharaan dimaksud. “Bisa jadi kegagalan peternak dalam memproduksi ayam dengan berat badan maksimal dan atau produksi telur dengan Hen Day Production (HDP) yang optimum salah satunya adalah atas keteledoran dalam penerapan biosecurity”, tegas alumnus FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darussalam ini.
Bila dikaji ke belakang, jauh sebelum gaung Avian Influenza (AI) didegungkan, tindakan bersih-bersih juga telah dijadikan sebagai faktor penentu keberhasilan usaha peternakan ayam, yang terkenal dengan istilah sanitasi, yaitu kebersihan dan atau penjagaan kesehatan melalui kebersihan.
Sanitasi juga diarahkan pada ternak yang dipelihara, lingkungan tempat ternak itu dipelihara, dan sipemelihara ternak tersebut. Namun, menurut Drh Muhammad Firdaus MSi alumnus pasca sarjana Universitas Riau tetap membedakan penggunaan kata sanitasi dan biosecurity.
Menurutnya, sanitasi lebih diarahkan pada penjagaan kesehatan sedang untuk biosecurity lebih distressingkan pada pengamanan hidup. Namun, bila dilihat dari makna otentik kedua istilah tersebut, tetap setali tiga uang yakni sama-sama mengandung arti preventive action untuk pencapaian hasil usaha pemeliharaan ternak yang mumpuni menopang sendi-sendi kehidupan peternak.

Sejarah Makna Biosecurity
Ditilik dari segi etimologi (asal-usul kata), biosecurity yaitu bio artinya hidup dan security artinya perlindungan atau pengamanan. Secara keseluruhan berarti suatu program yang dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk melindungi kehidupan makluk hidup termasuk ternak yang kontribusinya sangat besar bagi kehidupan manusia yakni sebagai pemasok ketersediaan daging, telur dan susu yang notabenenya sebagai sumber protein hewani bagi manusia yang mengkonsumsinya.
Artinya, biosecurity bukan saja diarahkan pada tindakan kebersihan semata, namun lebih luas lagi bagaimana cara memberikan jaminan keamanan pada ternak agar ternak yang dipelihara mampu hidup lebih nyaman untuk dapat memberikan hasil optimal pada peternak.
Disamping itu, biosecurity awal ini diasumsikan dapat pula menghasilkan produk ternak yang aman pula bagi konsumen, sehingga konsumen tidak lagi apatis terhadap produk yang dihasilkan ternak, malahan akan menetapkan pilihan akhirnya hanya produk ternaklah yang capable dalam memberikan jaminan ketersedian protein hewani bagi tubuh.
Berdasarkan ini, maka pilihan yang tepat dalam usaha budidaya ayam adalah penerapan biosecurity secara menyeluruh dengan memadukan semua kegiatan manajemen yang ada untuk menghandle bibit penyakit yang masuk, tinggal, dan menginfeksi suatu usaha peternakan ayam.

Biosecurity Sektor 1-3
Semula penerapan biosecurity lebih diintenskan pada farm-farm besar, namun mengingat pentingnya pengamanan ternak ini, apakah lingkungannya atau anak kandang dan tamu kandang, maka penerapan biosecurity dianjurkan untuk dapat diterapkan pada farm-farm yang masuk pada kategori sektor dua dan sektor tiga.

Biosecurity Sektor 4
Demikian juga untuk ternak yang berada pada sektor empat yaitu ayam buras atau ayam kampung yang dipelihara warga, baik secara ekstensif ataupun intensif. Masih dengan Drh Muhammad Firdaus MSi, penerapan biosecurity ditingkat peternak yang hanya memelihara ayamnya sebagai usaha sambilan bukan sebagai usaha pokok merupakan hal yang menghambat program biosecurity itu sendiri.
Padahal untuk level ini, peranan biosecurity sangat mumpuni dalam hal memberikan jaminan pengamanan hidup bagi peternak, warga sekitar dan juga bagi ternak yang ada disekitar lokasi dimaksud.

Jangan Runyam
Dikatakannya lagi, persoalan ini akan lebih runyam bila saja keberpihakan pemerintah sama sekali tidak ada seperti memberikan informasi terkait atau hubungan sebab akibat bila peternak tidak mengindahkan apa yang disampaikan petugas menyoal penerapan biosecurity dalam hal pemeliharaan ayam disekitar lokasi peternakannya.
Padahal kelalaian peternak berakibat fatal yang secara langsung atau tak langsung memberikan kesempatan pada bibit penyakit untuk masuk, tinggal, dan menginfeksi suatu usaha peternakan ayam dan bahkan dapat membahayakan kehidupan warga sekitar bila penyakit tersebut bersifat zoonosis.
Untuk itulah, sejak virus AI mendera yang menyebabkan suasana brubuh (red: kacau-balau) di dunia peternakan Indonesia bahkan dunia, Drh Muhammad Firdaus MSi yang menjabat Kasi Kesehatan Hewan dan Kepala Rumah Potong Hewan Dinas Pertanian kota Pekanbaru dengan cukat trengginas (red: lincah dan terampil) memberangus keberadaan sikecil H5N1 di kota Bertuah Pekanbaru.
Usaha yang dilakukan berupa memberikan penyuluhan tentang bagaimana cara yang baik memelihara ayam di sekitar lokasi perumahan dengan keterbatasan lahan dengan cara menjauhi mikro organisme dari ayam dan menjauhi ayam dari mikroorganisme dengan cara mengandangkan ayam, membunuh ayam yang diduga dan atau positif AI berdasar pada rapid test, dan melakukan vaksinasi AI untuk lokasi yang belum terjangkit AI, dan ini cukup memberikan hasil positif dalam memberantas AI khususnya di kota Pekanbaru.

Biosecurity Dini
Di lain pihak, Ir Hj Elfawati MSi dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau memandang perlu penerapan biosecurity di tingkat peternak. Menurutnya, penerapan biosecurity lebih awal di farm peternakan broiler dan layer, memberikan jaminan keberhasilan yang bila dikalkulasikan tingkat keberhasilannya sudah mencapai 75 % dari total pemeliharaan broiler yang hanya membutuhkan waktu lebih kurang 28 hari atau empat minggu.
Lebih lanjut dikatakannya, peternak yang handal biasanya lebih memanfaatkan waktu awal ketimbang waktu akhir pemeliharaan. Artinya, sebelum memulai usaha peternakan, peternak perlu melakukan biosecurity terutama untuk lokasi kandang bibit day old chick (DOC).

Praktek Biosecurity di Kandang
Senada dengan Ir Hj Elfawati MSi alumnus pasca sarjana IPB Bogor, Dewi Febrina SPt MP alumnus pasca sarjana Unand Padang mengatakan bahwa usaha yang dapat dilakukan peternak seperti membersihkan lokasi kandang, baik dalam ataupun luar kandang yang disinyalir sebagai tempat bersarangnya kuman-kuman penyakit seperti bakteri dan tunggak kemaduh (red: parasit) dengan paran jujugan (red; sasaran langganan) nya anak ayam yang minim sekali antibodinya.
Pencucian kandang ayam bisa dilakukan secara total dan menyeluruh. Pembersihan secara total dilakukan terhadap seluruh kandang secara lengkap dari bagian atas sampai bagian bawah dengan frekwensi pembersihannya sekali setahun, sedang pembersihan menyeluruh diartikan sebagai pembersihan dengan menitikberatkan pada litter dan kotoran ayam yang berceceran dilantai kandang dan atau yang menempel pada dinding-dinding kandang maupun pada peralatan makan dan minum yang digunakan.
Kemudian, lantai kandang dibersihkan dengan cara disapu, termasuk semua rangkaian listrik, bola-bola lampu yang digunakan, dilihat masih hidupkah atau sudah putus, sehingga pada saat pemeliharaan tidak terjadi lampus (red: mati) DOC akibat kedinginan.
Selanjutnya, gosok, sikat dan bersihkan semua instalasi air, tempat pakan, tempat minum, brooder guard dan peralatan lainnya, kemudian lakukan desinfeksi sebelum dipakai lagi untuk flok ayam berikutnya. Pada pemeliharaan broiler, tirai-tirai yang digunakan pada pemeliharaan awal perlu juga diperhatikan kebersihannya, agar tidak menjadi sumber bibit penyakit yang akan menggeranyangi kehidupan broiler selama kurun waktu pemeliharaannya.
Setelah semua itu dilakukan, tutuplah kandang dengan rapat selama dua hari. Setelah kering merata, sebarlah alas kandang atau litter dengan ketebalan 7-8 cm, kemudian lakukan desinfeksi ulang pada litter yang baru dengan tujuan untuk menekan keberadaan bibit penyakit, dan kemudian DOC siap dipelihara.

Biosecurity Anak Kandang
Sementara itu Purwanto, anak kandang sekaligus sebagai Petugas Pelaksana Harian (PPH) peternakan broiler Danau Farm di desa Koto Perambahan kecamatan Kampar kabupaten Kampar Riau menyatakan kebersihan merupakan hal utama yang harus diterapkan di lokasi peternakan apalagi itu menyangkut ayam broiler yang rentanitasnya terhadap lingkungan yang jelek sangat labil sekali.
Menurutnya, kebersihan tidak hanya diterapkan pada lingkungan pemeliharaan ayam semata namun lebih dari itu, kebersihan juga perlu diterapkan disemua lini produksi yang menunjang dan potensial sebagai tempat awal kuman melakukan gebrakannya menimbulkan penyakit pada ayam yang bermuara pada kerugian pada sipeternak.
“Sejauh ini, saya belum mengenal adanya istilah biosecurity itu, tapi saya hanya tahu dengan penjagaan kebersihan untuk menjaga agar pitik (red: ayam) tetap sehat,” ujar Purwanto dengan penuh semangat.
Anak kandang keturunan Jawa-Lampung ini menegaskan, pelaksanaan kebersihan dimulai dari sejak panen dengan cara membersihkan seluruh kandang luar dan dalam dengan Septocid preparatnya povidone 2 % dan excipient, semua peralatan kandang yang telah digunakan, dan mengecek kondisi lantai kandang yang tak layak lagi digunakan, ini bila kandang yang dipakai dengan sistem panggung.
Setelah itu, dibiarkan satu atau dua minggu, lalu dilakukan pembersihan ulang dengan Septocid kembali, baru anak ayam siap dimasukkan. Penjagaan kebersihan terus dilakukan sejak anak ayam dipelihara sampai saat panen tiba. Pada rentang waktu ini, menurut Bapak satu putri ini lebih distressingkan pada penjagaan kebersihan pakan dan medianya, kebersihan air minum dan medianya, lingkungan kandang dan alas lantai yang disinyalir sebagai sumber bibit penyakit bila dibiarkan dalam keadaan lembab tanpa ada perlakuan seperti membolak-balik dan atau bila diperlukan adanya penggantian alas lantai, tentu ini jarang dilakukan karena pertimbangan biaya.

Biosecurity Pra Produksi
Sedang Drh Jully Handoko akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan sepakat dengan adanya upaya penerapan biosecurity di farm-farm peternakan apalagi bila penerapannya pada pra produksi. Artinya, biosecurity tidak hanya dititikberatkan pada penjagaan kebersihan untuk pengamanan hidup ayam semata, tapi terapkanlah biosecurity tersebut secara menyeluruh yang menyatu dengan pola pemeliharaan ayam.
“Bisa saja biosecurity dikaitkan dengan penggunaan vaksin, obat-obatan yang sesuai dengan kaidahnya, dan penggunaan pakan yang benar-benar aman dari kemungkinan adanya imbuhan lain yang akan menimbulkan masalah pada ayam dan konsumen yang mengkonsumsi produk ayam itu sendriri,” tegas Jully yang tahun ini akan melanjutkan studi di pasca sarjana IPB Bogor pada program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Dilanjutkannya, bila ini bisa dilaksanakan, maka kemungkinan adanya pangan asal ternak yang mengandung residu antibiotika semakin kecil, dan ini dapat memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen yang mengkonsumsi pangan asal ternak dimaksud.

Berdayakan Penyuluh Pertanian Lapangan
Adalah Yusfaleni, Sarjana Komunikasi Penyuluhan (SKP) Universitas Terbuka kelas jauh Riau mengatakan bahwa pemanfaatan jasa penyuluh pertanian diperlukan untuk membantu pemerintah dalam pencapaian program biosecurity terutama untuk peternakan disektor empat, hanya saja sejauh ini peran ini sedikit terabaikan, padahal potensi penyuluh pertanian cukup besar untuk melaksanakan tugas ini.
Penyuluhan pertanian secara umum merupakan proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Artinya, biosecurity dengan tujuan untuk memberikan pengamanan hidup bagi ternak dan manusia dengan cara meningkatkan kebersihan disemua lini produksi, mendukung makna penyuluhan pertanian itu sendiri. Disamping itu, dalam tugas keseharian bisa saja biosecurity dijadikan materi penyuluhan, terutama untuk warga kota dengan segenap kesibukannya.
Namun, sejauh ini pemerintah kurang respon, dan ini bermuara pada gagalnya usaha pemberantasan penyakit tertentu, seperti flu burung yang masih menjadi hot issue di negara ini. Kedepan, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan akan memberikan tatanan baru di dunia penyuluhan dengan harapan dapat mengembalikan citra pertanian Indonesia seperti yang pernah dicapai dimasa orde baru. (Daman Suska)

BIOSECURITY, INVESTASI, ASURANSI DAN DESINFEKSI

Pencegahan penyakit jauh lebih murah dan efektif daripada pengobatan. Untuk melakukan pencegahan, mencakup biosecurity serta vaksinasi baik cara vaksinasi, maupun waktu yang tepat.
Demikian Drh Desianto Budi Utomo PhD dari PT Charoend Pokpand Indonesia dalam suatu kesempatan seraya melanjutkan, untuk penyakit spesifik seperti ND, IB, dan Gumboro, vaksinasinya harus sesuai. Demikian juga dengan penyakit spesifik seperti Koksidiosis. Apakah diperlukan vaksin Koksi, bagaimana bila menjumpai vaksin tidak efektif dan pemakaian tidak benar.

Biosecurity = Investasi
Dengan demikian, kata Dr Desianto, sangat dibutuhkan standar prosedur operasionalnya, seraya menambahkan sebab-musabab mortalitas ayam dapat ditelisik karena penyakit atau manajemen.
Kematian karena penyakit misalnya karena kasus Spiking Mortality Syndrome (SMS/ Sehari Mati Seribu) dapat diketahui kondisi panas tinggi, beda temperatur tinggi, sementara ayam pedaging tumbuh cepat.
Adapun kematian karena kepadatan ternak dapat dicegah dengan pembatasan jumlah ayam. Dapat disiasati dengan membatasi jumlah ayam per meter persegi, atau berat badan sekian kilogram per meter persegi.
Mengurangi kematian ayam karena maldrainase karena stres, stres panas pada jam-jam panas terbukti tidak efektif. Cara menekan mortalitas yang lain adalah bila asupan pakan lebih tinggi. Sehingga, penguasaan teknis menjadi sangat penting.
Bagi Dr Desianto, untuk mendukung tindakan-tindakan mencegah penyakit dan pengelolaan manajemen itu, biosecurity menjadi sangat penting artinya.
Baginya, biosecurity untuk dukungan penting itu jangan dianggap sebagai biaya yang harus dikeluarkan, tapi anggaplah sebagai investasi! Sama seperti dengan modal untuk investasi ayam dan pakan yang acam dihitung untuk menghitung kerugian saat ayam mengalami kematian.

Biosecurity = Asuransi
Biosecurity itu ibarat asuransi. Bilamana sekarang dilakukan, hasilnya baru dapat dirasakan belakangan.
“Kalau kita ke kandang, dan disemprot, bisa jadi kita menjadi bertanya-tanya mana makhluk yang dibasmi. Sebab, makhluk mikroorganisme yang kita lawan itu wujudnya tidak terlihat mata,” kata Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra
Peternak pun sepertinya harus punya iman ada atau tidak ada mikroorganisme yang penting sekarang kandang harus disemprot. Sedangkan manfaatnya baru dapat dirasakan di akhir nanti. Seperti halnya masuk rumah sakit harus didesinfektan, peternakan pun harus disemprot. Lebih-lebih kalau ada kasus, kandang yang disemprot jauh lebih baik daripada yang tidak disemprot.
Drh Andi menegaskan, menurut ilmuwan, biosecurity itu perlu dan hukumnya wajib dan harus. Tidak boleh kita tinggalkan biosecurity. Sebetulnya menghadapi mikroorganisme itu paling gampang, yang sulit adalah mengamankan dan membasmi sampaihabis belumtentu bisa total. Lain halnya kalau bisa dilihat maka mati bahwa mikroorganisme itu mati. Contoh otentiknya bila kandang disemprot, hasilnya tidak langsung tampak.

Desinfeksi
Jelas, biosecurity merupakan hal yang penting, terdapat beberapa jenis, dan sifatnya sama dengan asuransi. Drh Andi melanjutkan, Tindakannya sudah lazim dikenal seperti semprot-semprot musuh imajiner dan hasilnya baru diketahui belakangan. Hal itu sifatnya perlu, hukumnya wajib, dan sifatnya tidak pandang bulu baik itu terhadap orang, mobil, karyawan yang masuk lokasi peternakan dan kandang harus disemprot, tidak hanya saat kasus terjadi.
Sayangnya kondisi biosecurity sekarang, sudah ada yang kendor. Kalau ada orang masuk peternakan, mereka boleh langsung masuk tanpa disemprot. Yang ketat contohnya sanitasi di peternakan pembibitan. Perlakuan pembersihan sanitasi disini 1-2 kali seminggu dengan desinfektan, misalnya glutaraldehid dan cocobenzil. Desinfektan-desinfektan ini kerjanya mudah, baik untuk menghadapi virus, bakteri, maupun jamur.
Cara penggunaan desinfektan itu dengan formalin untuk kandang kosong, Sayangnya formaldehid (formalin) bersifat karsinogenik (dapat menimbulkan kanker). Kalau ada ayam pun, semua desinfektan harus berdosis ringan.
Adapun menurut Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma, jenis desinfektan ada macam-macam sesuai target dan fungsi.
Bila kandang kosong menggunakan formaldehid. Untuk desinfeksi harian pada orang dengan heksalponium klorida, diterapkan pada orang maupun mobil. Untuk desinfeksi harian pada ayam, mencegah virus dan peternakan tetangga yang terserang penyakit, dengan desinfektan glutaraldehid.
Adapun desinfeksi pada air minum mencegah penyebaran penyakit dengan iodine dan heksalponium klorida.
Yang pasti, lanjut Drh Andi, minimal sanitasi dan kebersihan terjaga, ditingkatkan dengan desinfeksi dan fumigasi. Penyemprotan pun harus aman. Desinfektan yang aman diantaranya Kalium permanganat. Namun saya setelah tragedi bom Bali penjualan kalium permanganat diawasi, sehingga untuk mencarinya sulit. Ada perusahaan obat hewan yang memasarkan pengganti Kalium Permanganat.
Terkait dengan hal ini, Drh Setiadjit D Santoso Kepala Pabrik PT Romindo Primavetcom Cikarang Jawa Barat dalam suatu kesempatan mengungkapkan merebaknya kejadian flu burung menyebabkan meningkatnya pemakaian glutaraldehid sebagai desinfektan di lapangan. Meski sama derivat formaldehid, formalin nampaknya lebih ditakuti oleh aparat dan bahkan sempat dilakukan razia besar-besaran terhadap penimbunan formalin;
Menurutnya, glutaraldehid nampaknya lolos dari jerat aparat keamanan dan bahkan badan pom sehingga tidak mustahil glutaraldehid juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan sebagai substitusi formalin.
“Bagaimana dampak glutaraldehid bagi kesehatan manusia, penggunaannya mungkin patut menjadi pemikiran,” kata Drh Adjit.
Kembali oleh Drh Andi, fumigasi dan pengasapan dengan formalin dan Kalium Permanganat yang lain harus dilakukan dalam ruang tertutup. Pengasapan pun harusnya tidak masalah. Misalnya dengan sediaan 50.000 per liter, 400 liter air untuk 12 meter persegi sampai 15 meter persegi.
Untuk perhitungan ongkos desinfektan, diambil produksi peternakan (100 persen), alokasi 8 persen untuk pengobatan, (obat, antibiotik, vaksin dan vitamin), pakan 75 persen, dan 20 persen untuk operasional dan karyawan; desinfeksi cuma 1/2 persen.
Biasanya peternak lebih memikirkan patokan harga lebih dulu. Uji cobanya mudah, daging dipotong dimasukkan dalam cairan desinfektan. Daging mana yang membusuk lebih lama (misalnya setelah 3 hari daging baru membusuk) menjadi pertanda kualitas desinfektan makin baik, sehingga desinfektan ini dipilih untuk dipakai.

Mencegah yang Dari Luar Masuk
Berbeda dengan vaksinasi, menurut Drh Suhardi, biosecurity pada dasarnya adalah tindakan mencegah masuknya penyakit dari luar. Vaksinasi pada ayam yang telah diprogramkan, bukan masuk satu paket pengendalian penyakit dari luar ini, namun vaksinasi merupakan paket pengendalian penyakit dari dalam.
Kecuali mencegah penyakit sedini mungkin, juga mencegah penyebarannya. Menghadapi masa inkubasi satu minggu, tambah lagi perlakuannya beberapa minggu. Perlu diidentifikasi penyakit apa yang ada, sedangkan lokasi kandang dan bangunan jangan dekat dengan pemukiman.
Supaya tidak sia-sia, tindakannya disesuaikan dengan pola-pola pemilihan kandangnya. Untuk panggung litter, berbeda dengan kandang baterai yang bawahnya lebih mudah mengundang lalat. Pada kandang litter perlu diperhatikan kelembaban lokasi yang menumbuhsuburkan virus lain. Juga perhatikan alat kandang, pakan dan lain-lain. Secara rutin, bersihkan tempat pakan dan gudang, cuci secara rutin jangan menjadi penyebaran penyakit, bersihkan sanitasi dari sawang dan kotoran,
Cegah kandang layer menjadi basah, kalau masih kering lakukan penyemprotan untuk mencegah lalat. Cegah kontaminasi karyawan, orang dan kendaraan. Kontrol tikus dan binatang-binatang lain. Airpun harus dideteksi setiap saat.
Apapun yang terjadi, biosecurity sangat dibutuhkan. Kalaupun mungkin skalanya kecil-kecilan di peternakan kecil, siapapun yang masuk di lokasi peternakan dankandang, kaki dan tangan mesti dicelup untuk desinfeksi. (YR)

KEMBALI KE... BIOSECURITY!

Sebagaimana umumnya, masyarakat peternakan berpendapat biosecurity sangatlah penting. Lebih-lebih saat merebaknya kasus Avian Influenza yang luar biasa, biosecurity menjadi primadona dan di mana-mana menjadi sangat diperhatikan secara ketat.
Namun sayangnya, sesal Drh Roeslan Isdiyanto dari PT Agro Makmur, “Bangsa ini merupakan bangsa pelupa, melakukan biosecurity yang bagus pada saat ada ancaman. Namun begitu ancaman berlalu, perilakunya kembali seperti semula.”
Padahal, menurutnya, sarana dan prasarana menjadi efektif atau tidak tergantung tingkat biosecurity. “Efektivitasnya tergantung tantangan di lapangan dan dipengaruhi kualitas biosecurity,” tegas Drh Roeslan.
Berbicara tentang biosecurity, Drh Ratriastuti dari PT Primatama Karya Persada Divisi Layer mengatakan, ingatan kita biasanya langsung lari kepada desinfeksi, sanitasi di kandang/farm dan ragam jenis desinfektan. Seringkali kita terpaku dan terjebak hanya pada tataran ini saja, yaitu proses semprot menyemprot desinfektan, pemusnahan rodensia dan vektor lain. Sesungguhnya masih ada hal pokok lain yg harus kita pikirkan. Desinfeksi dan sanitasi hanya merupakan salah satu bagian saja dari konsep biosecurity.

3 Tingkatan Biosecurity
Lebih jauh, lanjut Drh Ratri, biosecurity/keamanan biologik merupakan sebuah program komprehensif, meliputi sebuah hierarki yang terdiri dari 3 tingkatan penting yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan untuk mencegah masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit di kandang/peternakan.
Untuk pelaksanaannya di lapangan, proses ini memerlukan pendekatan yang terstruktur, yaitu perencanaan usaha, pemilihan lokasi sumber daya, pelaksanaan di lapangan, pengendalian serta pengawasannya.
Pada dasarnya, tuturnya, konsep biosecurity berbagai macam peternakan sama, yaitu terdiri dari 3 tingkatan itu, yaitu:

1. Tingkat I (Biosecurity Konseptual)
Ini merupakan dasar dari biosecurity. Pada tataran ini meliputi aspek pemilihan lokasi usaha petrenakan di suatu daerah yang bertujuan untuk memisahkan jenis atau umur unggas yang sama, sehingga akan menghindari kontak hewan yang kita piara dengan hewan liar/hewan lain.
Selain itu penempatan lokasi peternakan yang tidak jauh dari jalan umum dan fasilitas pelayanan lain seperti kalau peternakan ayam, dekat dengan penetasan telur, pabrik pakan, dan RPA (Rumah Potong Ayam). Lokasi sebaiknya jauh dari danau atau saluran air dan juga perlintasan migrasi burung-burung liar.
Dalam pemilihannya kita juga harus memikirkan implikasi pemeliharaan hewan yang umurnya tidak sama. Ini untuk menghindari rolling infection dari hewan tua ke hewan muda atau sebaliknya.

2. Tingkat II (Biosecurity Struktural)
Pada tingkatan ini berhubungan dengan tata letak peternakan. Ini menyangkut beberapa hal, di antaranya:
- Pemagaran kawasan peternakan agar tidak dilintasi oleh orang dari luar.
- Pemagaran areal kandang dengan pintu pengaman untuk meminimalisir masuknya hewan lain dan berpindahnya/melintasnya operator ke kandang lain.
- Ketersediaan air bersih dan bebas agen patogen, dan adanya treatment terhadap air yang akan dikonsumsi (dengan klorin, peroksida atau lainnya)
- Adanya fasilitas pelayanan perusahaan yang memadai seperti kantor, gudang (pakan, obat, dan peralatan), kamar ganti pakaian dan kamar mandi.
- Adanya supali air dan listrik yang cukup dan tempat yang representatif untuk desinfeksi kendaraan yang keluar masuk lokasi farm. (adanya car dip dan sprayer di pintu gerbang masuk farm)
- Adanya jalan yg baik, aman dan dipagari untuk memudahkan pembersihan dan pencegahan penyebaran penyakit.
- Adanya tempat khusus untukpemusnahan bangkai (disposal pit)
- Lokasi yang aman untuk tempat pakan, peralatan, litter di tempat yang terpisah dari kandang untuk mencegah kontaminasi.

3. Tingkat III (Biosecurity Operasional)
Tataran ini merupakan prosedur manajemen dan kegiatan/rutinitas untuk mencegah kejadian dan penyebaran penyakit di suatu farm (termasuk di antaranya proses pembersihan, desinfeksi dan sanitasi kandang/farm).
Dari ketiga tingkatan level ini yang paling fleksibel dan bisa diubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Pada tingkatan ini harus ada petunjuk operasional yang jelas tentang:
- Prosedur rutin yang harus dilakukan dan disertai perencanaan jika ada hal-hal tak terduga seperti wabah penyakit, dan lain-lain dan disiapkan untuk setiap jenjang manajemen dari manajer, supervisor, operator dan tamu.
- Prosedur standar harus diarahkan untuk pelaksnaan dekontaminasi, desinfeksi setelah kandang kosong; juga penyimpanan, pencampuran dan aplikasi pemberian vaksin dengan berbagai cara pemberian yang berbeda.
- Prosedur khusus yang diterapkan pada saat memasuki dan meninggalkan farm untuk setiap karyawan dan tamu.
- Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah kontak dengan hewan lain (unggas eksotik, ayam kampung) untuk farm ayam.
Dengan menerapkan 3 tingkatan biosecurity tersebut secara baik dan benar diharapkan akan mencegah dan meinimalisir masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit dari luar lokasi usaha ke ternak kita.

Biosecurity Sektor 1, 2, 3 dan 4
Drh Wahyu Suhadji Direktur PT Rajawali Utama Biosecurity mengungkapkan peternakan sektor 1 (peternakan besar/pembibitan), 2 (peternakan skala menengah), 3 (peternakan skala kecil), mempunyai biosecurity yang relatif mantap. Sebab, hidupnya peternakan sektor ini memang dari keamanan hayati ini. “Ibaratnya, biosecurity ini memang piring dari peternakan dan kehidupannya, sehingga kalangan ini bersikap lebih all out (habis-habisan) dalam menerapkan biosecurity,” tuturnya.
Namun sebaliknya, pemeliharaan ternak di sektor 4 (di belakang/pekarangan rumah) jadi biang keladi penyebaran penyakit, dengan perilaku biosecurity asal-asalan. Bahkan menurutnya, kandungan zat-zat yang dipakai untuk tindakan biosecurity tidak diketahui dan tidak jelas kualitasnya.
Sehingga: “Pelaksanaan biosecurity di sektor 4 tidak bisa diandalkan, karena pelaksananya lebih mengejar proyek,” kritik Wahyu Suhadji seraya menambahkan dari paradigma dokter hewan, tindakan biosecurity mereka tidak memenuhi syarat.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan Sulawesi Selatan ini mengungkapkan dengan adanya kasus AI, semua ada hikmahnya, terutama untuk meningkatkan kebersihan dan kewaspadaan.
Namun menurut Wahyu Suhadji biosecurity dipengaruhi oleh keadaan produksi. “Bagaimana biosecurity bisa optimal bila hasil produksinya rugi,” katanya seraya memberikan contoh kondisi di Sulawesi Selatan yang harga produksi peternakan terpuruk.
Ceritanya, harga telur nasional yang mencapai lebih dari Rp 10.000 per kilogram tidak mencerminkan harga baik bagi Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 9300 per kilogram.
Sementara di tingkat pemasok, harga tempat lain menyentuh Rp 8500 per kilogram, di Sulawesi Selatan masih Rp 8000 per kilogram. “Padahal titik impas balik modal di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibanding daerah lain,” resah Wahyu Suhadji.
Menurutnya, pengelolaan biosecurity pada peternakan sektor 3 pun terkesan asal-asalan dan dipengaruhi harga. Bilamana harga turun sehingga pemasukan pun turun, maka pemberian biosecurity pun melemah.
Apalagi sektor 4, pelaksanaan biosecurity lebih tidak fokus. Juga dalam hal vaksinasi yang menurutnya relatif menyalahi prinsip-prinsip kesehatan hewan.
Tergantung jumlah ayam yang sedikit di sektor 4, vaksinasi yang menggunaan sediaan vaksin yang mestinya digunakan untuk kurang lebih 200 dosis, pemilik ternak hanya membutuhkan menerapkan 10, 5, bahkan 2 dosis saja. Oleh karena tingkat mobilitas vaksinator, pelaksanaan vaksinasi pun menjadi tidak steril.
Lanjutnya, pelaksanaan biosecurity pada sektor 1, 2 dan 3 cenderung sama. Terkendalinya apapun dan siapapun yang masuk dan keluar kandang dan lokasi peternakan tergantung pada tingkat biosecurity yang lebih ketat.
Dilihat dari derajadnya, penerapan biosecurity pada peternakan 1 dan 2 hampir sama. Pernah berkunjung ke peternakan sektor 1 dan 2 bersama dokter ahli paru, dokter manusia itu terkesan dengan ketatnya perlakuan biosecuritynya yang lebih ketat dibanding biosecurity di rumah sakit.
Kalau di rumah sakit untuk manusia, pemakaian baju laboratorium hanya dilakukan saat operasi. Sedangkan pada peternakan sektor 1 dan 2 baju laboratorium pun dikenakan dengan terlebih dulu mandi dengan desinfektan, pencelupan berdesinfektan, sepatu kandang yang steril dan lain-lain. Pengambilan kebijakan superketat semacam ini sangat baik.
Sektor 3 masih sudah melibatkan peternakan sektor kemitraan. Sedangkan sektor 4 melibatkan perkampungan dengan kandang ayam di dalam kampung. Masalah burung liar sangat mempengaruhi kondisi biosecurity-nya.
Peternakan sektor 1, 2 dan 3 umumnya adalah peternakan kemitraan atau terintegrasi. Kebutuhan obat dipenuhi oleh korporasi atau perusahaan integrasi masing-masing. Sehingga menurut Drh Wahyu Suhadji, di luar kemitraan obat hewan relatif sulit masuk.
Sementara di luar, pada pasar perdagangan obat hewan di kalangan peternak, banyak beredar obat-obat liar tanpa registrasi dan lain-lain syarat yang tidak dipenuhi. Pelakunya kebanyakan bukan anggota ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia).
Dengan situasi yang mengkhawatirkan ini, Drh Wahyu Suhadji yang juga Pengurus ASOHI Daerah Sulawesi Selatan memberi masukan kepada ASOHI Nasional supaya lebih intensif dalam membantu dan mempedulikan permasalahan yang muncul di lapangan ini.
Dalam kaca matanya, saat ini peternak sudah jadi buruh di kandang semdiri. Sedangkan peternakan sistem kemitraan bagi sebagian peternak lebih berkonotasi berbagi resiko.

Sektor 1, 2, 3 dan 4 Agak Beda
Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma Bandung mengungkapkan penekanan biosecurity pada peternakan sektor 1, 2, 3 dan 4 agak beda. Menurutnya pada sektor 1, pihak luar termasuk petugas pelaksana teknis dari perusahaan obat hewan tak bisa ikut campur. Karena, ke dalam peternakan, penanganannya lebih baik, siapapun yang masuk selalu harus disemprot dan seterusnya.
Pada sektor 2, biosecurity yang ketat masih dijalankan peternak-peternak besar. Peternak kecil hingga menengah ada yang menjalankan ada yang tidak. Menurun berbeda dengan kondisi tahun 2004 saat ada wabah AI.
Apalagi sektor 3, peternakan kecil dengan populasi ayam 1000-2000 ekor, tidak menjalankan biosecurity sebagaimana lazimnya di mana orang yang masuk peternakan disemprot dan lain-lain.
Biosecurity pada peternakan sektor 4 tergantung tindakan penduduk dan publik awam yang mengetahui dan sadar biosecurity.
Dalam rangka pendidikan berkesinambungan Drh Suhardi mengaku perusahaannya aktif melakukan penyuluhan peternakan tentang pentingnya biosecurity terhadap semua penyakit bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain. Baginya, biosecurity bukan hanya antisipasi, namun merupakan ujung pangkal dari semua.
Dengan biosecurity, di kandang/area peternakan dicegah jangan sampai ada banyak kutu, sebab kutu dapat mengundang burung. Termasuki untuk itulah, kita menjaga kebersihan kandang.

Berkiblatlah pada Biosecurity Sektor I
Menurut Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, pada peternakan sektor 1, peternakan pembibitan/skala besar, biosecurity diterapkan sungguh luar biasa ketat. Siapa yang masuk kandang harus mandi dulu. Masuk lebih ke dalam, mandi lagi.
Namun begitu, meskipun sudah diterapkan sistem closed house, dilakukan desinfeksi,dan berbagai tindakan biosecurity lain, bibit penyakit masih bisa tembus, hal ini menimbulkan pertanyaan letak kesalahannya di mana.
Untuk mengetahui jawabnya, bukan hal yang mudah, apakah karena faktor desinfektan kurang kuat atau terdapatnya celah yang bolong.
Untuk manajemen yang baik, harus konsisten bila ada orang masuk harus disemprot. Jangan kendorkan sanitasi dan biosecurity, minimal pola pada sektor-sektor 2, 3, dan 4 mengikuti pola sektor 1. Syukur-syukur ada pakaian ganti. Dan, teknisi obat hewan merupakan salah satu sumber penularan.Intinya, kuncinya tetap di manajemen. Di dalamnya termasuk mencegah orang kandang keluar masuk tanpa desinfeksi. Harus diingat, pemberian pakan pun jangan sampai tumpah. Sanitasi dan desinfeksi pada sektor 2, 3 dan 4 mesti berkiblat pada sektor 1.
Soal biosecurity terkait ini, bagi Drh Andi merupakan hal sangat penting. Menurutnya, banyak kasus AI yang pihak-pihak tidak mau mengungkap. Pertimbangannya kompleks, dan untuk kesahihan pelaporan membutuhkan ahli dan alat uji. Sehingga kalangan peternakan jelas dalam menyikapi pencampuran virus yang mungkin sudah berubah dan lain-lain kondisi dimana banyak terjadi penyelundupan misal penyelundupan ayam dan bebek dari Malaysia, Brasil yang sudah terbongkar. Supaya, kondisi peternakan ada vaksinasi dan sanitasi peternak membaik.
Kini, angka kematian unggas memang tidak sederas tahun 2003. Namun dengan gejala-gejala yang terungkap oleh beberapa praktisi di artikel terdahulu peternak tetap merasa itu AI. Bahkan Madiun yang dulu kasusnya sepi, sekarang AI-nya positif dengan gejala yang tidak jelas. Jangan dimusnahkan.
Dengan demikian makin jelas benang merah antara Biosecurity dengan AI. Kita pun mesti gagah menghadapi. (YR)

ZAT AKTIF, GENERIK, PATEN, OBAT HEWAN DAN MANUSIA

Beredarnya zat aktif antibiotik di kalangan peternakan untuk mengobati penyakit bakterial ternak, sungguhlah berbahaya. Hal itu menyalahi kaidah pembuatan obat yang baik dan benar sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Takut terjadi penyalahgunaan,” tegas Anggota Komisi Obat Hewan Departemen Pertanian Drh Abadi Soetisna MSc.
Soal pembuatan obat yang benar itu di antaranya menyangkut takaran, juga kemasan. Kesemuanya jelas berpengaruh pada mutu obat. Bagaimanapun obat merupakan suatu racun yang membahayakan jiwa makhluk hidup bila takaran dan pemberiannya tidak tepat sehingga pembuatannya harus sesuai kaidah yang ketat.

Generik vs Paten
Bagaimana dengan obat generik dan obat paten? Keduanya zat aktifnya sama, namun obat paten lebih mahal.
Mahalnya obat paten ini karena kemasannya lebih bagus, faktor iklan, dan faktor-faktor lain seperti kepercayaan (mitos) bahwa obat paten lebih bagus daripada obat generik. Demikian Abadi Soetisna.
Sudah tentu faktor mitos itu hanya berdasar citra dan anggapan orang, padahal kandungan dan khasiatnya sama saja!
Sedangkan dari segi harga, obat generik memang lebih murah daripada obat paten. Bahkan untuk faktor penghematan dan kekuatan ekonomi, pemerintah menganjurkan masyarakat lebih memilih obat generik daripada obat paten.
Harga obat generik cuma 15 persen dari harga sesungguhnya. Sedangkan sejumlah 85 persen merupakan bantuan pemerintah. Itu yang terjadi pada obat generik manusia.
Adapun, mengapa di dunia kesehatan hewan kita tidak mengenal obat generik? Dengan penjelasan bahwa untuk obat generik dibutuhkan subsidi yang begitu besar dari pemerintah, pertanyaannya: Apakah pemerintah puya dana untuk subsidi obat generik untuk peternakan?
Rinciannya, harga obat (generik) murah, kesehatan hewan lebih baik, produksi peternakan lebih tinggi, masyarakat lebih terbantu; sejauh ini belum ada usulan untuk pengadaan obat generik pada peternakan/kesehatan hewan.
“Yang usul mestinya kalangan peternakan sendiri, juga inisiatif pemerintah cq Dirjen Peternakan,” Drh Abadi menimpali.
Biaya produksi yang relatif tinggi itu perlu dicarikan jalan keluar. Drh Abadi menganjurkan berupa: bantuan pemerintah untuk menurunkan pajak impor obat hewan, bantuan pemerintah menurunkan pajak bahan baku pakan hewan, dan bantuan penurunan insentif produk hewan dengan memberikan subsidi.
Guna munculnya obat generik untuk hewan, jelas dibutuhkan subsidi. Subsidi bukan dalam arti dalam bentuk uang, namun bisa dalam wujud sapronak (sarana produksi peternakan).
Setelah subsidi di bidang sapronak, lalu subsidi alat kandang, alat sanitasi, pakan, dan obat! Dan bagaimanapun pemenuhan penunjang untuk produksi ternak yang murah itu sangat penting untuk penyediaan protein hewani yang sangat penting untuk kecerdasan bangsa.

Obat Manusia vs Hewan
Penggunaan obat manusia untuk mengobati hewan terutama hewan kesayangan semisal anjing, kucing, kera dan lainnya, sah-sah saja asalkan dalam penggunaanya tepat sasaran, demikian disampaikan Yusmaini Ssi, Apt alumni Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Menurut Ibu satu putra ini, penggunaan obat manusia untuk hewan trennya hanya sebatas penghobies hewan kesayangan. Mengapa harus obat manusia ? “Ini tergantung pada pilihan dan pada dasarnya obat manusia itu lebih variatif, baik dalam dosis maupun kemasannya,” jelas pemilik apotik Pratama Kabupaten Kampar.
Di lain sisi, drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau lebih menekankan pada faktor mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di samping itu, tidak ada masalah krusial yang perlu diperdebatkan terkait aman atau tidaknya obat manusia untuk hewan, yang terpenting adalah ketepatan dalam penggunaannya.
Namun Jully menyarankan agar tetap berkoordinasi dengan orang yang mengerti dengan obat, dalam hal ini adalah apoteker, dengan harapan agar obat yang diberikan ke hewan kesayangan tersebut tidak menimbulkan efek di kemudian hari.
Sementara itu, drh Djaelani praktisi dokter hewan yang tinggal di Rumbai kota Pekanbaru menyatakan, sejauh ini belum ada owner hewan kesayangan yang mengeluhkan kesehatan hewan peliharaannya pasca pengobatan dengan obat manusia. “Selama masih berpegang pada prinsif penggunaan antibiotika yang benar maka hasil yang didapat pasti lebih memuaskan,” jelas alumnus FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darusslam ini dengan mantap.
Artinya, kaidah takaran dan lain-lain prosedur penggunaan tetap menjadi prioritas utama dalam pengambilan sikap. Sebab bagaimana pun antara hewan dan manusia ada perbedaan-perbedaan prinsip baik dari segi faali tubuh maupun segi biologi yang akan sangat dipengaruhi dengan kaidah pengobatan yang tepat. (Daman Suska/YR)

Siaga Satu Serangan Coryza, Kolera dan Kolibasilosis

Seakan tak pernah ada habisnya Infovet mengorek informasi dari Drh Hadi Wibowo praktisi perunggasan yang syarat pengalaman di industri perunggasan selama lebih dari 15 tahun. Sehingga bisa dibilang wajahnya tak pernah absen muncul di Infovet setiap bulan. Begitulah memang, ditengah kesehariannya sebagai product manager PT Sumber Multivita ia memang dituntut keliling Indonesia menyambangi peternak.
Berkenaan topik fokus yang diangkat berkaitan dengan penyakit bakterial dan penggunaan antibiotik yang ideal, Hadi menyoroti kini sudah tidak ada lagi yang namanya obat dewa artinya tidak ada lagi satu jenis obat untuk mengatasi semua jenis penyakit seperti yang terjadi pada antibiotik. Kunci dalam pengobatan lebih kepada ketepatan diagnosa penyakit yang berdampak pada penggunaan obat antibiotik yang tepat dengan dosis yang wajar.
Ia menambahkan fungsi imunomodulator yang meningkatkan jumlah sel, mengaktifkan dan mematangkan sel-sel yang berfungsi untuk pertahanan tubuh bila aplikasinya dikombinasi dengan antibiotik maka efek kesembuhannya akan lebih cepat 3 kali lipat dari biasanya.
Kenyataan dilapangan peternak sering salah mendiagnosa penyakit yang buntutnya menyebabkan ketidaktepatan antibiotik yang digunakan. Namun begitu, setelah merasa obatnya kurang manjur peternak terus menambah dosis hingga akhirnya begitu tertular penyakit bakteri lain malah menjadi resisten. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa peternak pembibit atau layer telah terikat kontrak dengan suplier obat hewan untuk menggunakan satu jenis obat tertentu guna melawan berbagai penyakit yang belum tentu cocok dengan penyakit yang menginfeksi ternaknya. Mereka terus menggunakan obat tersebut meskipun kemanjurannya tak seperti yang diharapkan. Hal ini dilakukan lebih karena ikatan emosional, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ada segelintir perusahaan obat hewan di tanah air yang biasa memberikan hadiah dan bonus menarik kepada peternak asalkan bisa menyerap sejumlah tertentu obat hewan yang ditawarkan suplier.
“Namun perlu ditekankan disini bahwa hanya sedikit suplier obat hewan yang melakukan praktik semacam itu. Sehingga disarankan peternak memiliki tenaga ahli kesehatan hewan yang berpengalaman untuk mendiagnosa penyakit dengan tepat,” ujar Hadi.

Waspada 3 Penyakit Bakterial
Untuk penyakit bakterial yang kini sedang hot-hotnya mengintai di peternakan layer maupun broiler, Hadi mengungkapkan bahwa Coryza, Kolera dan Kolibasilosis masih potensial muncul diwaktu-waktu seperti saat ini. Penyakit coryza atau snot yang disebabkan bakteri Haemophilus paragallinarum mempunyai arti ekonomis yang penting dalam industri peternakan, karena angka penularannya mencapai 70-90%. Sementara angka kematian mencapai 20% bahkan bisa 50% bila disertai infeksi gabungan. Kerugian lain adalah terganggunya pencapaian berat badan, penurunan produksi telur (10-40%) dan peningkatan biaya pengobatan.
Gejala khas adalah muka bengkak, diam dan tidak mau makan karena bengkak dimuka akibat infeksi saluran pernapasan atas. Meskipun kematian yang disebabkan infeksi Coryza rendah tapi infeksi penyakit ini menurunkan aktivitas makan ayam yang menyebabkan meningkatnya angka morbiditas. Hadi menekankan, antisipasi paling awal adalah dengan vaksinasi Coryza dan penggunaan antibiotik tidak selamanya efektif sehinga diperlukan bantuan imunomodulator. Tak cukup hanya itu medikasi perlu juga diperlengkapi dengan pemberian multivitamin guna membantu pemulihan pasca sakit. Untuk itu Hadi memberikan konsep solusi 3-Si yaitu Sanitasi, Seleksi dan Medikasi.

Waspada Koli
Lain lagi dengan Kolibasilosis yang dikenal sebagai penyakit oportunis disebabkan oleh bakteri Escherechia coli galur patogen. Biasanya timbul akibat dari infeksi sekunder, karena ayam mengalami cekaman atau infeksi lain. Timbulnya kolibasilosis erat kaitannya dengan lingkungan kandang yang jorok. Selain itu patut dicermati bila satu kandang pernah terjangkit koli maka pada periode pemeliharaannya berikut harus diwaspadai munculnya infeksi ulangan meskipun kandang sudah disanitasi dan didesinfeksi total.
Bakteri jenis ini dapat menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga sekunder mengikuti penyakit lainnya, misalnya penyakit pernapasan dan pencernaan. Kolibasilosis di lapangan umumnya timbul akibat pengaruh imunosupresif dari Gumboro. Sementara sebagai penyakit ikutan (sekunder) Koli biasanya menyertai terjadinya kasus CRD (chronic respiratory disease), Coryza, SHS (swollen head syndrome), ILT (infectious laryngotracheitis) dan koksidiosis.
Ventilasi yang baik seperti lancarnya pertukaran oksigen keluar masuk kandang mampu meminimalisasi timbulnya kasus kolibasilosis. Kuman ini dapat ditemukan di dalam litter, pakan, debu, udara dan air. Penyemprotan kandang dengan desinfektan secara rutin mampu mengurangi jumlah E. coli.
Kualitas air harus dijaga “bersihnya” sejak mulai DOC masuk dalam kandang. Bisa dengan cara dimasak, dengan infra-red atau Chlorinasi rutin secara bertahap dan terprogram pada pullet dan ayam dewasa. Kualitas air penting karena kecuali air sehat memang dibutuhkan ayam, juga merupakan jalur utama yang potensial untuk terjadi infeksi E. coli. Jika kontrol kualitas air optimal, harusnya tidak ada lagi asumsi E. coli datang berkali-kali di tiap kandang.
Lebih jauh, untuk menyiasati kuman koli yang ada di pakan ternak paling tidak saluran pencernaan ayam itu harus dibersihkan selama 5-7 hari setiap bulan dengan pemberian antibiotik. Koli merupakan kuman normal dalam saluran pencernaan, namun begitu populasinya melampaui batas normal bisa menimbulkan patogen. Tidak ada jalan lain untuk mencegah munculnya koli perlu terus diupayakan kebersihan kandang sekaligus diperkuat dengan pemberian imunomodulator.

Jangan Lupakan Kolera
Terakhir adalah penyakit Kolera yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe A Carter atau tipe O grup 5 Namioka atau tipe 2 dan 4 Rober yang bersifat ganas atau kronis. Gejala kronis penyakit dengan nama keren Fowl Cholera itu adalah diare berair berwarna kuning coklat kehijauan, ayam sukar bernapas, jengger kebiruan dan leher sering dimasukkan ke badan. Angka kesakitan penularan sampai 50% dan kematian sampai 20%.
Kejadian Kolera sangat erat kaitannya dengan berbagai faktor stres, misalnya pergantian cuaca yangmendadak, fluktuasi temperatur dan kelembaban yang ekstrim, pindah kandang, potong paruh, perlakuan vaksinasi yang berlebihan pergantian pakan yang mendadak, dan serangan penyakit imunosupresif ataupun penyakit parasi. Di wilayah padat populasi Kolera biasa muncul saat musim kemarau panjang dan saat pergantian musim.
Pesan Hadi sebagai praktisi unggas berpengalaman dalam menghadapi tiga penyakit ini ayam harus selalu PRIMA dan SEHAT, artinya hasil vaksinasi dalam tubuh ayam harus optimal apakah vaksin oleh viral (ND, IB, AI, EDS) maupun vaksin oleh bakterial (Snot Coryza, Kolera). Penggunaan jenis vaksin harus tepat dan mengingat banyaknya program vaksin dan banyaknya penyakit yang menghambat pembentukan kekebalan, maka diperlukan bala bantuan Imunomodulator. Selalu dilaksanakan perlakuan seleksi ayam yang sakit dan tidak produktif dan jangan biosekuriti jangan ditinggalkan.
Sekali lagi Hadi mengingatkan agar peternak dalam penanganan penyakit mengutamakan 3-Si yaitu Sanitasi, Seleksi dan Medikasi. Lebih lanjut, “Sebaiknya peternak juga mendampingi dirinya dengan konsultan kesehatan ternak yang berpengalaman guna mendapatkan diagnosis yang tepat agar tidak salah dalam proses medikasi,” ujar Hadi. (wan)

Peternak, Penyakit Bakteri dan Antibiotik

Tukiman seorang peternak broiler di Pathuk Gunung Kidul Yogyakarta, kepada Infovet mengungkapkan bahwa sebagai peternak ayam potong yang ikut program kemitraan, tidak begitu paham tentang tata cara penggunaan antibiotika yang baik dan benar.
Menurutnya ia hanya menurut saja apa yang telah disarankan oleh Petugas Kesehatan Lapangan pihak Perusahaan Inti. Begitu ada masalah dengan kesehatan ayam yang dipeliharanya, maka sang petugas yang akan menyediakan obat dan lainnya untuk atasi hal itu.
”Pokoknya saya hanya tinggal memberikan paket obat yang diberikan oleh pak petugas pendamping lapangan (PPL). Umumnya para petugas hampir setiap hari menyambangi dan melihat ayam di kandang. Kalau ada yang sakit maka, paket obat itu diberikan dan saya tinggal menyiapkan untuk pemberianke ayam. Jenis obat apa yang dipilih dan kapan harus dihentikan saya bear-benar tidak mengerti,” tuturnya polos.
Bahkan kemudian kepada Infovet Tukiman menanyakan mengapa harus ada aturan batas waktu pemberiannya. Menurutnya kalau memang belum sembuh obat akan terus diberikan, dengan disediakan oleh PPL, tidak peduli besok atau lusa akan di panen oleh pedagang ayam.
Begitu juga ketika ayam-ayam, terlihat sudah sembuh, meski obat sebenarnya masih ada dan seharusnya dihabiskan, maka Tukiman akan menghentikan. Dasar pertimbangannya kalau terus diberikan, maka nanti akan memboroskan pihak dirinya sebagai plasma.
Petugas lapangan umumnya memang ada kecenderungan lebih mengutamakan dan lebih menyelamatkan ayamnya dari sergapan penyakit, dibanding dengan pertimbanan residu obat antibiotika dan sulfa pada ayam.
Memang hal itu sangat umum terjadi di lapangan, mengingat jika harus menunggu waktu henti obat, maka pihak peternak akan terbebani dengan ongkos produksi dari aspek pakan, energi dan tenaga kerja.
Drh Mardiatmi Mv.Sc pakar dari Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Bandar Lampung secara khusus kepada Infovet menengarai aplikasi Antibiotika di peternakan ayam komersial dan peternakan Babi sudah pada tataran yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil pengamatannya di lapangan bertahun-tahun bahwa tatalaksana pemakaiani antiniotika pada ayam dan babi sangat serampangan. Kontrol dan bimbingan dari pihak yang seharusnya bertugas dan kompeten dengan masalah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibatnya dapat diduga jika ekspor produk unggas dan ternak babi selalu menemui kendala di pasar internasional. Dan bahkan pada jangka panjang dapat muncul masalah baru yang tidak hanya pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga kesehatan ternak secara umum.
Sehingga ia menduga jika sementara ini sudah banyak penyakit bakterial pada unggas yang sebenarnya pada awalnya sangat mudah untuk diatasi, sekarang ini memberi kesan penyakit bandel dan sulit dituntaskan.
Dugaan beberapa banyak pihak tentang kemungkinan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap preparat antibiotika tertentu, sangat mungkin karena serampangannya pemakaian di lapangan. Untuk itu ia menyarankan, agar tidak terlambat perlu ada pengawasan yang ketat dalam tataniaga dan aplikasi lapangan.
Mardiatmi melihat bahwa di breeding ayam dan juga di peternakan hewan besar jauh lebih tertata dan taat pada aturan pemakaiannya.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Praktisi Dokter Hewan yang sangat disegani di Yogyakarta,Drh Agus Abadiyanto. Sebagai seorang yang merasa dididik dan mencoba patuh pada sumpah janji profesi, Agus merasa tuntutan dan panggilan hati nurani untuk memperlakukan hewan ternak sebagai makluk Tuhan.
Ada sebuah tanggung jawab besar yang tidak bisa dilalaikan, yaitu mensejahterakan dan menyehatkan hewan ternak. Menurut pendapatnya sebagian besar Dokter hewan sudah pasti untuk berlaku seperti itu. Ketika diinformasikan bahwa di peternakan ayam komersial dan ternak babi ada kecenderungan pemakaian preparat Antibiotika dan Sulfa kurang terkjontrol, Agus memilih bersikap diam, agar tidak menimnulkan polemik.
”Terus terang saya tidak banyak terjun di jenis komoditi peternakan itu, jadi saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas hasil pengamatan saya terhadap teman sejawat sebagai praktisi Dokter hewan kesayangan dan ternak besar, terus mencoba patuh pada sumpah dan janji profesi. Saya melihat apa yang dilakukan sejawat saya sudah pada track yang benar dan bertanggung jawab.” ujarnya.
Selain atas dasar kepatuhan atas sumpah itu,menurut Agus juga ada aspek ekonomisnya, yaitu jika pemakaian berlebih dan tidak sesuai rekomendasi akan merugikan kedua belah pihak, dokter hewan dan peternak/klien.
Sedangkan Drh Sapta Haryono seorang peternak layer yang juga seorang Dokter Hewan merasa tidak sependapat dengan Mardiatmi. Sebab menurutnya, sebenarnya jauh lebih banyak peternak yang mencoba taat dan patuh dengan aturan pemakaian dibanding dengan yang serampangan.
Sebagai peternak yang bertujuan meraup keuntungan, sudah pasti akan melakukan usaha dan tatalaksana secara efisien dan efektif. Termasuk dalam hal ini adalah pemakaian obat maupun vaksin. Jika berlebih akan merugikan alias membengkakan ongkos produksi.
Namun demikian Sapta, mencoba bersikap fair bahwa masalah penyakit pada ayam komersial adalah bukan masalah yang sepele dan selalu bersifat kompleks. Sehingga sangat wajar jika ada sejumlah peternak yang panik, jika pemberian preparat antibiotika tidak segera membuahkan hasil dan kemudian segera di”tembak” dengan yang broad spektrum bahkan dengan golongan Quinolone.
Langkah terbiasa dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi masalah penyakit pada ayam dengan preparat dari golongan quinolone padahal sebenarnya masih bisa diatasi dengan antibiotika spesifik atau broad spektrum.
Pihak produsen melalui para pemasarnya adalah salah satu faktor pendukung kesemrawutan dan serampangan pemakaian antibiotika di lapangan, khususnya pada ayam. Oleh karena itu jika ingin menertibkan, barangkali paling tepat adalah dari sumber nya dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum lanjut Sapta, bahwa peredaran preparat antibiotika dalam sediaan pure atau murni sangat mendominasi dan sangat digemari para peternak. Jika peternak tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang obat/farmakologi, tentu akan semakin mengkhawatirkan aplikasi di lapangan.
Menurut Sapta, proporsi peredaran preparat antibiotika antara yang terregistrasi dibanding dengan yang sediaan murni 1 : 5 untuk sediaan pure. Sehingga, kasus itu tidak saja berdampak pada volume pemasaran preparat yang legal, akan tetapi juga aspek keamanan dan keselamatan konsumen produk unggas.
Lain lagi dengan Misaljo Samudra pemilik Samudera PS di Jl Raya Wates Jogja, menyikapi pemakaian preparat antibiotika di lapangan yang semakin amburadul.
”Saya tidak mengerti secara persis tatacara dan dosis masing-masing merk antibiotika. Sebagai pelaku usaha, saya hanya menyediakan selengkap mungkin kebutuhan peternak. Lepas itu legal dan tidak legal, serta aturan yang seharusnya ditaati pemakai. Yang jelas, jika obat itu laris manis berarti obat itu hebat dan ampuh untuk atasi masalah penyakit. Apakah obat itu termasuk dalam obat keras dan harus cermat dalam pemakaian, tetapi yang penting saya selalu berusaha menyediakan sesuai selera peternak,” tutur Misaljo.
Kapan harus dihentikan pemakaian obat itu dan kapan masih diberikan pada ayam lanjut Misaljo, ia sangat tidak paham. Perihal obat murni, memang dari waktu ke waktu ada kecenderungan meningkat permintaannya. Apakah hal itu karena obatnya murah dan ampuh, yang jelas banyak para peternak yang terus meminta sediaan obat murni itu. (iyo)

JANGAN SAMPAI TERJADI SUPER INFEKSI

Pemberian antibiotik yang dilakukan secara spektrum luas dalam waktu lama dapat menimbulkan efek yang disebut sebagai super infeksi.
Pengertian super infeksi bukanlah berarti sebagai infeksi yang hebat sekali. Namun, super infeksi adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroba yang tadinya tidak patogen. Timbul karena populasi mikroba menjadi berlebihan karena resistensi terhadap antibiotika karena pemberian antibiotika yang berlebihan.
Contohnya adalah pemberian antibiotika dalam waktu lama dengan dosis besar, dapat menyebabkan terjadinya jamuran.
Ketika jamur ada dan bakteri ada maka muncullah persaingan di antara keduanya. Jamur dapat tumbuh berlipat ganda, di tempat-tempat tersembunyi, di lipatan paha, lipatan ketiak, bahkan memunculkan keputihan karena kandida pada lipatan alat kelamin betina.
Bila sudah terjadi demikian, pengobatan menjadi lebih susah. Mengobati jamur perlu waktu yang lebih lama. Minimal 3 minggu. Celakanya dengan diobati terus-menerus dapat menimbulkan gangguan terhadap hati atau ginjal.
Rata-rata hal itu terjadi karena peternaknya sok jadi dokter hewan, sedang dokter hewannya tidak sampai ke sana.
Untuk solusi, Drh Abadi Soetisna menganjurkan untuk:
1. Tingkatkan pengetahuan peternak terhadap kemungkinan menggunakan antibiotika.
2. Jangan terlalu egois menggunakan antibiotika tanpa memperhatikan kepentingan konsumen.
3. Pertimbangkan untung/rugi penggunaan antibiotika.

Mekanisme Resistensi Bakteri
Pada awalnya, problema resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dapat dipecahkan dengan adanya penemuan golongan baru dari antibiotik, seperti aminoglikosida, makrolida, dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotik yang sudah ada.
Namun, tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten.
Demikian Rochman Naim Dosen FKH dan Pascasarjana IPB pada suatu media massa nasional.
Menurut Dosen FKH dan Pascasarjana IPB itu, berdasarkan hasil studi tentang mekanisme dan epidemiologi dari resistensi antibiotik telah nyata bahwa bakteri memiliki seperangkat cara untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik.
Mekanisme resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotik secara enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotik, perubahan jalur metabolik, efluks antibiotik, perubahan pada porin channel, dan perubahan permeabilitas membran.
Mutasi genetik tunggal mungkin menyebabkan terjadinya resistensi tanpa perubahan patogenitas atau viabilitas dari satu strain bakteri. Perkembangan resistensi terhadap obat-obat antituberkulos, seperti streptomisin, merupakan contoh klasik dari perubahan tipe ini.
Secara teoretis ada kemungkinan untuk mengatasi resistensi mutasional dengan administrasi suatu kombinasi antibiotik dalam dosis yang cukup untuk eradikasi infeksi sehingga mencegah penyebaran bakteri resisten orang ke orang.
Namun, adanya emergensi yang meluas dari multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis memperlihatkan bahwa tidak mudah untuk mengatasi resistensi dengan formula kombinasi.
Contoh lain resistensi mutasional yang juga penting adalah perkembangan resistensi fluoroquinolone pada stafilokokki, Pseudomonas aeruginosa, dan patogen lain melalui perubahan pada DNA topoisomerase. Kejadian mutasi mungkin juga mengubah mekanisme resistensi yang ada menjadi lebih efektif atau memberikan spektrum aktivitas yang lebih luas.
Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenus yang mengantarkan terjadinya resistensi. Spesies pada peneumokokki dan meningokokki dapat "mengambil" materi DNA di luar sel (eksogenus) dan mengombinasikannya ke dalam kromosom.
Banyak materi genetik yang bertanggung jawab terhadap resistensi ditemukan pada plasmid yang dapat ditransfer atau pada transposon yang dapat disebarluaskan di antara berbagai bakteri dengan proses konjugasi.
Transposon merupakan potongan DNA yang bersifat mobile yang dapat menyisip masuk ke dalam berbagai lokasi pada kromosom bakteri, plasmid atau DNA bakteriofag.
Beberapa transposon atau plasmid memiliki elemen genetik yang disebut integron yang mampu "menangkap" gen-gen eksogenus. Sejumlah gen kemungkinan dapat disisipkan ke dalam integron yang menghasilkan resistensi terhadap beberapa bahan antimikroba.
Mekanisme yang mirip mungkin terlibat dalam pembentukan elemen genetik yang mengode resistensi vankomisin pada enterokokki. Enterokokki, yang merupakan komensal saluran usus dan genital, meningkat menjadi patogen di rumah sakit.
Hal ini, menurut Rochman Naim mengakhiri bahasannya, berhubungan dengan resistensi alami enterokokki terhadap antibiotik yang paling umum digunakan dan kapasitasnya untuk memperoleh sifat resistensi melalui mutasi (penisilin) atau transfer gen resistensi pada plasmid dan transposon (aminoglikosida dan glikopeptida). (YR)


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer