Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Mengulik Tehnik Beternak Layer Modern

Fokus Infovet Mei 2008

Siapa orang Indonesia yang tak pernah makan telur ayam ras, pastinya hampir semua orang pernah makan telur. Namun tak semua orang tahu darimana asalnya telur yang setiap hari dikonsumsi ini. Telur-telur ini berasal dari “mesin-mesin pencetak telur” hidup yang disebut ayam layer.
Ayam layer mulai masuk ke Indonesia pada periode tahun 1960-an dengan produksi paling banter 200 butir telur setahun. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan maka kualitas genetik ayam layer juga semakin diperbaiki. Demikian pula dengan cara pemeliharaannya. Saat ini saja rata-rata layer modern mampu menghasilkan telur diatas 320 butir/ekor sampai pemeliharaan 72 minggu.
Cara pemeliharaan ayam petelur modern kini sudah tak bisa lagi disamakan dengan cara pemeliharaan berpuluh tahun silam yang lazim dilakukan peternak layer. Hal ini disebabkan karena perubahan sifat genetik dari ayam tersebut yang sangat drastis dan dalam pemeliharaannya membutuhkan perhatian ekstra agar produktivitasnya optimal.
Produksi yang optimal dapat dilihat dari jumlah, berat, ukuran, bentuk.dan keseragaman telur yang dihasilkan. Belum lagi bicara tentang nutrisi pakan ayam layer modern yang cenderung rewel kala terjadi perubahan kualitas pakan.
Oleh karenanya, peternak harus sadar betul hal apa saja yang menjadi syarat keberhasilan pemeliharaan ayam petelur. Produksi telur yang optimal dapat diartikan ayam mampu menghasilkan telur dalam jumlah maksimal dalam waktu lama atau secara bahasa praktisnya adalah ayam bisa mencapai puncak produksi dan hen day (HD) berada diatas 90% dalam waktu lama.

Baru Muncul di Era Tahun 2000-an
Sebelum lebih jauh membahas tentang manajemen layer modern, kita harus tahu dulu apa itu layer modern. Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita yang memiliki pengalaman puluhan tahun di pemeliharaan ayam layer angkat bicara menjelaskan latarbelakang munculnya layer modern.
Menurutnya, layer modern mulai muncul sejak tahun 2000 yang merupakan hasil rekayasa genetik dari proses seleksi yang panjang. Seleksi itu ditujukan untuk mendapatkan potensi genetik yang diinginkan berupa produktivitas maksimal dan efisiensi yang tinggi.
Lebih lanjut, kata Hadi, kelebihan layer modern ini diantaranya memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dengan kematangan seksual lebih awal 2 minggu. Selain itu bentuk badan yang lebih kecil menyebabkan layer modern lebih efisien dalam kebutuhan ransum.
Ia juga menambahkan bahwa layer modern saat ini memiliki puncak produksi 2-3% lebih tinggi, dengan hen day 90%, 8 minggu lebih lama serta feed convertion ratio (FCR) yang lebih rendah.

Berikut adalah perbandingan performa salah satu strain ayam layer di bawah:
Perbandingan Performan
Peforman Isa Brown (1984) Isa Brown (2004)
Berat badan umur 17 minggu 1500 gram 1400 gram
HD 50% 22 minggu 20 minggu
Puncak produksi 91-92% 95%
Berat telur 63 gram 62,6 gram
HH egg production 310 350
HH mass production 19,5 kg 21,9 kg
FCR total 2,35 2,14
Daya hidup 93-94% 97%

Sangat Rentan di Awal Pemeliharaan
Di tempat dan waktu berbeda Drh Brigita, technical services PT Medion Farma Jaya pernah menjelaskan tentang strategi sukses beternak layer modern pada acara Diklat Medion belum lama ini yang secara khusus diikuti Infovet. Gita, begitu ia biasa disapa, menjelaskan bahwa kelemahan layer modern diantaranya adalah bila terjadi gangguan pertumbuhan akan sulit dikompensasi pada masa pertumbuhan berikutnya.
Selain itu layer modern yang dikembangkan dengan teknologi tinggi ini juga lebih mudah stres karena perubahan keadaan lingkungan. Ditambah nafsu makan yang lebih rendah terutama di umur 4 minggu pertama dan saat mendekati masa produksi.
Hal ini dibenarkan oleh Drh Hadi Wibowo, katanya, Layer modern mudah sekali stres, sering terjadi pada saat awal pemeliharaan. Terutama saat DOC baru datang rentan terhadap cekaman temperatur. Saraf sensoris diujung-ujung kaki dan paruhnya sangat peka terhadap perubahan suhu kamar. Untuk itu suhu kamar harus optimal sehingga 1-2 jam sebelum DOC datang pemanas harus sudah dinyalakan. Bila suhu sekam dingin cenderung membuat anak ayam diam dan pasif bergerak. Sehingga menyebabkan anak ayam terlambat untuk mulai makan dan minum yang juga berbuntut tidak tersedianya energi, vitamin, dan antibiotik yang dibutuhkan ayam di fase awal pertumbuhannnya.
Lebih jauh, Hadi menjelaskan, semakin cepat ayam makan dan minum maka semakin cepat rangsangan terhadap sel epitel usus untuk berkembang. Oleh karenanya Hadi menyarankan ke peternak dan anak kandang dilapangan untuk memperhatikan tembolok ayam saat 8 jam pertama harus terisi sekitar 80%. Dan saat 12 jam pertama tembolok harus sudah terisi 100%.
Betapa pentingnya kualitas dan kuantitas pakan diperiode awal pemeliharaan. Karena gangguan sekecil apapun akan mempengaruhi performa pertumbuhan di fase berikutnya. Hadi menambahkan, gangguan pada hari pertama akan menyebabkan pertumbuhan bursa fabricius di hari ke-4 akan terhambat. Padahal organ ini berfungsi sangat vital guna menghasilkan zat kebal tubuh dari serangan kuman patogen dari lingkungan. Pada saat minggu ketiga sel timus mulai berkembang yang juga menghasilkan sel yang bertanggung untuk kekebalan tubuh.
Hadi sangat menyayangkan pola pikir peternak yang kolot atau dalam bahasa Jawa ‘ndableg’ atau susah mengikuti perubahan untuk memperbaiki manajemen pemeliharaan ayam petelurnya. Karena menurut mereka dengan pengalaman beternak lebih dari 20 tahun sudah cukup dengan manajemen seadanya seperti waktu mereka mulai beternak. Tapi mereka lupa bahwa sifat genetik ayam telah jauh berubah dan membutuhkan perhatian lebih intensif agar dapat berproduksi optimal.
Pada kesempatan berbeda Drh Sugeng Pujiono Marketing Manager PT Sanber Farma Divisi veteriner dan Akuakultur menyampaikan bahwa perubahan kualitas genetik yang begitu pesat menuntut perbaikan manajemen yang optimal.
Sugeng mencontohkan pada fase brooding di 2 minggu pertama peternak harus ekstra hati-hati, sebab bila terjadi gangguan akan menyebabkan terlambatnya penyerapan kuning telur yang berujung pada terlambatnya pembentukan kekebalan tubuh.
Selain itu, pria kelahiran Gresik, 20 November 1963 ini menekankan bahwa keseragaman berat badan harus sudah dicapai sebelum usia 6 minggu disesuaikan dengan standar yang ditentukan pembibit, sebab bila tidak akan memunculkan beragam problem dalam pemeliharaan, seperti masalah penyakit, mundurnya awal produksi, tidak tercapainya puncak produksi dan tidak bertahan lama, sehingga terjadi inefisiensi.
”Pastikan juga sebelum pullet naik ke kandang baterei telah terbebas dari infeksi cacing. Maka berikan obat cacing setidaknya 2 bulan sekali,” ujar alumni FKH Unair tahun 1981 ini.
Vaksinasi sebagai tindakan pencegahan penyakit penting dilakukan, karena berbagai penyakit yang menimpa diumur muda akan tetap berdampak permanen hingga masa produksi contohnya IB, ND, dll.
”Sebenarnya peternak sekarang ini lebih mengaharapkan ayam petelur yang puncak produksinya tidak terlalu tinggi misalnya 80-85% yang penting peak produksi tersebut bisa bertahan lama. Dibanding layer modern saat ini yang puncak produksinya tinggi 90-92% tapi kalau sudah turun, turunnya bisa anjlok sekali,” terang Sugeng.
Namun ketiga narasumber Infovet tersebut sepakat bahwa keberhasilan mencapai puncak produksi dan persistensi hen day (HD) diatas 90% dalam waktu lama tak bisa didapatkan secara instan dan singkat. Tapi peternak sebelumnya harus memperhatikan kondisi ayamnya secara sungguh-sungguh mulai sejak ayam datang di kandang (chick in) sampai ayam bertelur.
Bukan suatu hal yang mudah tentunya. Namun, juga bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Penerapan sistem pemeliharaan yang baik dengan didukung dengan manajemen kesehatan yang baik tentu akan dapat mewujudkan hasil yang optimal tersebut.

Kenali Fase Kritis Pemeliharaan Ayam Layer

Fokus Infovet Mei 2008

Fase kritis pemeliharaan ayam layer adalah saat di awal pemeliharaan. Keberhasilan menciptakan kondisi yang optimal bagi tumbuh kembang anak ayam hingga pullet menjadi modal dasar suksesnya peternakan ayam petelur. Demikian diungkapkan Tim Teknis Medion yang diwakili Drh Brigita saat ditemui Infovet di Bandung belum lama ini. Infovet secara khusus hadir mengikuti Diklat yang saat itu membahas tentang manajemen layer modern. Diklat Medion ini rutin digelar oleh PT Medion untuk meningkatkan wawasan peternak binaannya.
Lebih lanjut menurut Gita, demikian ia akrab disapa, untuk mencapai hal tersebut diperlukan usaha yang ulet dan teliti. Faktor-faktor penentu keberhasilan produktivitas pun perlu kita ketahui dan pahami bersama. Faktor kritis tersebut antara lain pencapaian berat badan sesuai standar dan uniformity (keseragaman), frame size (ukuran kerangka) yang optimal, nutrisi yang benar, vaksinasi dan pengobatan yang tepat serta stimulasi cahaya dalam peningkatan produktivitas ayam.
Gita menambahkan, ayam layer modern selain memiliki kelemahan mudah stres, juga lebih peka terhadap kualitas dan kuantitas ransum. Layer modern juga lebih mudah terinfeksi bibit penyakit, karena berat relatif organ lymfoid (red. perbandingan berat organ lymfoid dengan berat badan) lebih kecil.
Oleh karenanya faktor kritis yang telah disebutkan diatas patut menjadi perhatian peternak. Tiga parameter yang lazim dijadikan tolok ukur performan ayam petelur adalah data hen day (HD), feed conversion ratio (FCR) dan tingkat kematian. Dari ketiga parameter tersebutlah bisa diketahui apakah hasilnya sesuai atau bahkan melebihi standar (target performan) dari perusahaan pembibit. Syukur kalau memenuhi standar atau bahkan melampaui target dengan bayang-bayang keuntungan yang menggiurkan. Tapi kalau ternyata hasilnya jauh dibawah standar tentu inefisiensi biaya produksi dan kerugian telah menanti.
“Sebelum memulai produksi kita harus menentukan target produktivitas ayam petelur yang kita pelihara. Tentu saja target tersebut bersumber dari manual guide atau manual management yang dikeluarkan oleh perusahaan pembibitan. Data produktivitas ayam petelur rekanan kita yang telah melebihi standar juga bisa menjadi acuan kita dalam menentukan target ini,” jelas Gita.
Perlu menjadi perhatian kita bersama, saat kita telah menentukan sebuah target produktivitas maka dapat diartikan kita telah mempunyai sebuah tujuan yang jelas. Setelah itu, kita akan selalu berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan baik. Jika kita belum memiliki tujuan tentu saja arah kita dalam pemeliharaan ayam petelur pun tidak menentu. Contoh target performan (produktivitas) ayam petelur coklat (layer brown) dari berbagai strain yang ada di Indonesia bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Target Performan (Produktivitas) Ayam Petelur
Parameter Satuan Strain Ayam Petelur
Hisex Hy Line ISA Brown Lohmann
Dayahidup % 94,5 96-98 93,2 93-96
Umur saat HD 50% Hari 142 145 143 150
HD puncak produksi % 96 94-96 95 94,5
Rata-rata berat telur g 62,5 62,7-66,9 63,1 63,3
Jumlah telur per hen house butir 352 ND 351 310,4
Berat telur per hen house kg 22 23,2 22,1 19,65
Konsumsi ransum rata-rata g 112 109 111 112,8-113,6
FCR 2,17 1,96 2,14 2,1
Sumber: Manual Guide atau Manual Management Breeder, 2006-2007
Untuk strain Hisex, Hy Line dan Isa Brown merupakan target performan umur 18-80 minggu sedangkan Lohmann merupakan target performan umur 18-72 minggu.

Mengejar Pertumbuhan yang Optimal
Ayam petelur modern saat ini merupakan ayam hasil rekayasa genetik dengan potensi mampu menghasilkan telur dengan jumlah yang banyak (red. Hen Day tinggi) dan bertahan lama persistensi produksi telur baik) dengan tingkat efisiensi yang semakin baik. Meskipun produktivitas telurnya dibuat setinggi mungkin, namun berat badannya didesain dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan generasi sebelumnya. Desain berat badan ayam petelur ini bertujuan menekan kebutuhan nutrisi yang dipakai dalam proses maintenance (perawatan) tubuh sehingga asupan nutrisi bisa lebih banyak diposisikan untuk pembentukan telur.
Namun, desain terbaru ayam petelur ini membawa konsekuensi tersendiri dan yang paling mencolok adalah pencapaian berat badan yang relatif sulit. Kasus ini terutama terjadi saat masa starter (umur 1 bulan pertama) maupun saat mendekati masa produksi telur. Dan yang lebih parah lagi, ketertinggalan berat badan ini relatif sulit dikompensasi di masa pemeliharaan berikutnya. Dan efeknya pun akan selalu terbawa saat ayam masuk pada masa produksi telur. Ayam yang mengalami masalah pencapaian berat badan di umur 4-5 minggu juga akan mengalami hal yang sama pada umur 16 minggu yang berefek pada kemunduran umur awal produksi.
Pencapaian berat badan sesuai standar menjadi salah satu parameter utama yang menentukan baik tidaknya produktivitas ayam. Berat badan ayam melebihi standar, bukan suatu hal yang baik. Kita tahu, kelebihan berat badan (ada yang berpendapat >10%) mengakibatkan saluran pencernaan dan saluran reproduksi banyak terdapat lemak sehingga perkembangan saluran reproduksi terhambat dan parahnya saat memasuki masa produksi, biasanya akan banyak ditemukan kasus prolapse (keluarnya sebagian saluran reproduksi) yang diakhiri dengan kematian ayam.
Timbunan lemak itu dapat menurunkan elastisitas saluran reproduksi sehingga saat pelepasan telur (terjadi kontraksi saluran reproduksi) posisi saluran reproduksi tidak bisa kembali seperti semula atau tidak bisa masuk kembali. Keadaan ini memicu ayam lainnya mematuknya sehingga akhirnya ayam tersebut mati.
Berat badan ayam yang terlalu kecil (di bawah standar) juga akan membawa konsekuensi tersendiri, yaitu telur yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih kecil dari standar dan masa rentang bertelurnya menjadi lebih pendek. Kondisi inipun sangat sulit untuk dipulihkan. Penyebabnya ialah pada masa-masa awal bertelur, selain dituntut untuk menghasilkan telur ayam juga harus menambah berat badannya, sekitar 300 gram sampai puncak produksi. Hal ini semakin diperparah dengan tingkat konsumsi ransum yang lebih sedikit.

Ketertinggalan Bisa Dikejar
Memahami 2 alinea sebelumnya, semakin memantapkan kita bahwa pencapaian berat badan ayam mulai dari umur 1 hari sampai memasuki masa produksi menjadi hal yang sangat essensial. Bagaimana halnya dengan ayam yang “sempat” tertinggal berat badannya namun akhirnya dapat mencapai berat standar? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengetahui fase perkembangan dari organ-organ tubuh ayam.
Pertumbuhan daging dapat terjadi setiap saat sampai ayam mati dan sama halnya juga dengan pertumbuhan bulu. Berbeda halnya dengan pertumbuhan tulang atau kerangka yang mempunyai batas akhir dimana pada saat tertentu tulang hanya mengalami pertumbuhan yang sedikit atau boleh dikatakan tidak terjadi pertumbuhan lagi.
Saat ayam berumur 12 minggu, frame (kerangka) ayam telah terbentuk secara sempurna sedangkan sebelumnya (umur 6-7 minggu) 80% kerangka tubuh ayam telah mencapai dimensi akhir. Hal ini dapat diartikan bahwa ketertinggalan pertumbuhan tulang sebelum umur 12 minggu masih relatif bisa dikejar meskipun dengan biaya yang relatif besar. Perkembangan kerangka yang optimal dapat kita lihat dari panjang kaki (tulang shank) maupun lebar tulang selangka (os pubis). Pengaruh panjang kaki terhadap produksi telur tercantum pada Tabel 2.
Keberadaan tulang atau kerangka yang optimal akan sangat mendukung dihasilkannya telur yang berkualitas. Hal ini disebabkan komponen penyusun kerabang telur, yaitu kalsium (Ca) salah satu sumbernya adalah dari tulang kerangka ayam. Jika pertumbuhan tulang tidak optimal, selain menyebabkan kerabang telur menjadi tipis dapat juga mengakibatkan terjadinya kasus lumpuh layu (cage layer fatique). Pada kasus ini, suplementasi kalsium penting dilakukan.

Tabel 2. Pengaruh Panjang Kaki terhadap Produksi Telur
Berat Badan (gram) Panjang kaki (mm) Puncak Produksi (%)
1.339 99 84
1.285 98 86
1.298 103 87
Sumber: Miller, 1992

Keseragaman Harus Diatas 80%
Selain pencapaian berat badan sesuai standar kita juga harus memperhatikan uniformity (keseragaman) dalam populasi ayam yang kita pelihara. Keseragaman minimal yang harus tercapai ialah 80%. Jika keseragaman turun, bisa dipastikan puncak produksi akan sulit tercapai.
Langkah pencapaian berat badan dan keseragaman yang baik harus dilakukan sejak awal DOC masuk dalam kandang (chick in). Kontrol berat badan ayam harus dilakukan dengan teknik dan waktu yang tepat. Kontrol berat badan ayam yang dipelihara di kandang postal dan baterai berbeda. Jika ayam dipelihara di dalam kandang postal maka pengambilan sampel ayamnya dilakukan dengan memakai sekat berbentuk segi empat yang dilengkapi dengan jaring. Sekat ini diletakkan pada salah satu sisi kandang, misalnya di bagian tengah kandang. Setiap ayam yang terdapat dalam sekat tersebut ditimbang satu per satu. Jumlah sampel yang bisa mewakili teknik ini minimal 100 ekor. Jika 1 floks terdiri dari beberapa kandang maka pengambilan sampel dilakukan di setiap kandang dengan jumlah sampel 50 ekor. Hasil tersebut kemudian di buat rata-rata. Jika ayam dipelihara pada kandang baterai, pengambilan sampelnya diwakili oleh 5 atau 6 bagian kandang (cage) yang dipilih secara acak. Seluruh ayam yang berada pada cage tersebut ditimbang satu per satu.

Salah satu program kontrol berat badan adalah:
 Umur 0 dan 4 minggu, penimbangan berat badan dilakukan pada seluruh ayam karena keseragaman sangat sulit tercapai pada periode ini
 Umur 4-26 minggu, kontrol berat badan individual dilakukan tiap minggu
 Umur26-35 minggu penimbangan dilakukan setiap 2 minggu
 Umur >35 minggu sampai panen, penimbangan dilakukan 1 bulan sekali

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat penimbangan berat badan adalah :
 Jumlah ayam yang ditimbang 5-10% dari total populasi. Usahakan ayam yang ditimbang selalu sama setiap penimbangan.
 Penimbangan ayam harus dilakukan satu persatu jangan dilakukan secara kelompok misalnya sekali timbang ada 5 ekor ayam.
 Alat timbang yang digunakan harus selalu sama
 Skala ketelitian alat timbang tidak boleh Iebihdari 20g
 Waktu pelaksanaan penimbangan harus selalu sama, misalnya akhir minggu

Jika keseragaman berat badan tidak sesuai standar segera lakukan evaluasi pada beberapa hal berikut:
 Jumlah dan distribusi tempat ransum dan tempat minum
 Kepadatan ayam di dalam kandang
 Kualitas dan kuantitas ransum
 Kualitas potong paruh
 Adanya serangan penyakit
 Terjadinya stres pada ayam, baik karena lingkungan kandang yang kurang nyaman maupun perlakuan yang kurang sesuai

Nutrisi Harus Cukup, Lighting Juga Penting

Fokus Infovet Mei 2008

Asupan nutrisi yang cukup dan berkualitas menjadi syarat mutlak untuk tercapainya produksi telur yang optimal. Sumber utamanya dari ransum yang kita berikan. Selain itu, penambahan feed supplement juga dapat melengkapi kandungan nutrisi mikro, seperti vitamin, mineral maupun asam amino.

Dengan semakin berkembangnya genetik ayam, kebutuhan nutrisinya pun menjadi semakin kompleks. Ayam petelur sekarang akan langsung memberikan respon jika kualitas ransum kurang sesuai. Kasus ini pernah terjadi pada awal tahun 2007 saat suplai jagung berkurang, banyak peternak yang kebingungan karena ayamnya tidak mau bertelur. Kasus feed intake yang kurang juga sering ditemui.
Berbicara tentang ransum ayam petelur, ada 2 hal perlu diperhatikan yaitu kualitas ransum (red. kelengkapan dan keseimbangan nutrisi dalam ransum) dan feed intake. Nutrien yang diperlukan ayam petelur antara lain energi metabolisme, protein, asam amino terutama lisin dan metionin, minyak, asam lemak (asam linoleat) maupun mineral kalsium dan fosfor. Nutrien itu akan dimanfaatkan untuk beberapa proses, diantaranya mempertahankan (maintenance) tubuh, pertumbuhan bulu, pertumbuhan berat badan maupun produksi telur. Jenis maupun besarnya kebutuhan nutrisi sangat tergantung dari fase produksinya. Contoh kebutuhan nutrisi ayam petelur tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar Kebutuhan Ayam Petelur Berdasarkan Tingkat Produksi
Zat Nutrisi Kebutuhan Nutrisi (g/ek/hr)
>57,5 55,5-57,5 <55,5
Berat Telur (g/ek/hr)
Protein kasar 19,60 18,40 17,80
Metionin 0,44 0,38 0,36
Lisin 0,87 0,83 0,78
Triptofan 0,21 0,20 0,19
Treonin 0,64 0,58 0,55
Kalsium 4,10 4,30 4,40
Fosfor tersedia 0,42 0,38 0,33
Sodium 0,17 0,17 0,17
Klorin 0,17 0,17 0,17
Asam linoleat 2,00 1,60 1,20
Sumber: Pedoman Pemeliharaan Layer MB 402, 2006

Kualitas ransum yang baik akan mendorong tercapainya feed intake. Meskipun demikian bukan suatu keniscayaan jika feed intake tetap tidak sesuai. Jika hal ini terjadi kita harus jeli untuk melakukan evaluasi pada tata laksana pemberian ransum. Apakah frekuensi pemberian ransum telah kita atur sedemikian rupa sehingga palatabilitas dan nafsu makan ayam tetap baik? Bagaimana dengan kondisi suhu dalam kandang kita, panas atau dingin? Berkurangnya nafsu makan juga menjadi salah satu indikasi awal serangan penyakit.
Kasus rendahnya feed intake sering kali kita temukan pada umur awal (1-4 minggu) dan saat mendekati masa produksi telur. Sedangkan kita tahu bahwa di kedua waktu ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap produksi telur. Masa awal menjadi pondasi bagi pertumbuhan seluruh organ vital dalam tubuh ayam. Jika terhambat maka akan sudah barang tentu pertumbuhan pada umur berikutnya akan terhambat. Mendekati masa produksi, di dalam tubuh ternak terjadi perubahan hormonal dimana mulai mempersiapkan untuk menghasilkan telur. Selain itu, ayam ini juga harus mengalami perlakuan paksa, seperti potong paruh ulang, pindah kandang dan pemberian vaksin inaktif. Oleh karenanya saat mendekati masa produksi ini sangat diharapkan ayam memiliki berat badan di atas standar (<10%) sehingga saat mengalami beberapa kondisi yang tidak nyaman dan terjadi penurunan berat badan, saat berproduksi telur berat badannya tetap baik.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga kualitas ransum tetap baik dan asupan nutrisi terpenuhi:
 Lakukan pengujian kualitas ransum secara rutin. Cek kondisi fisik ransum saat penerimaan dan lakukan uji laboratorium setiap 6 bulan sekali atau saat pergantian suplier ransum
 Terapkan manajemen first in first out (FIFO) atau ransum yang datang lebih dulu diberikan lebih awal
 Perhatikan manajemen penyimpanan ransum yang baik, seperti adanya balok alas ransum, suhu dan kelembaban gudang ransum
 Berikan ransum secara periodik, saat masa awal pemberian ransum dilakukan setiap 2-3 jam sekali sedangkan setelah dewasa ransum dapat diberikan 2-3 kali sehari.
 Langkah untuk meningkatkan nafsu makan antara lain melakukan pemba-likan ransum atau melakukan pengo-songan tempat ransum terutama pada siang hari
 Pembalikan ransum menjadi salah satu cara meningkatkan nafsu makan
 Jika dalam 1 hari terjadi penurunan feed intake maka kita harus secepat-nya tanggap dan berusaha mengejar kekurangan itu secepatnya

Pencahayaan Perlu Perhatian Lebih
Manajemen yang satu ini, sering kali kurang diperhatikan oleh peternak. Meskipun kita tahu, pencahayaan yang kita berikan pada ayam petelur berpengaruh pada proses kematangan organ reproduksi dan pertumbuhan. Adanya pencahayaan, baik pencahayaan alami (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu) akan menstimulasi hipotalamus di otak. Selanjutnya, “sinyal” cahaya akan diteruskan ke kelenjar-kelenjar tubuh, seperti hipofisa, tiroid dan paratiroid untuk menstimulasi disekresikannya hormon.
Kelenjar hipofisa akan mensekresikan “folicle stimulating hormone (FSH)” atau hormon perangsang perkembangan sel ovum pada indung telur (ovarium). Hormon inilah yang sangat berperan penting untuk pembentukan sebutir telur. Adanya sinyal cahaya juga menstimulasi kelenjar tiroid mensekresikan hormon tiroksin yang berfungsi mengatur kecepatan metabolisme tubuh sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan. Kelenjar paratiroid juga terstimulasi oleh adanya cahaya untuk mensekresikan hormon paratiroksin yang berperan dalam pengaturan metabolisme kalsium (Ca) dan fosfor (P). Setelah melihat fungsi dari adanya pencahayaan tersebut maka sudah selayaknya kita memberikan perhatian yang lebih pada program pencahayaan.
Beberapa hal yang selayaknya kita ketahui tentang program pencahayaan antara lain lama waktu pencahayaan, besarnya intensitas cahaya dan kapan pencahayaan tersebut dilakukan. Pada ayam petelur, lama waktu dan intensitas pencahayaan sangat dipengaruhi oleh fase atau umur produksi.
Pada masa starter diberikan pencahayaan dengan intensitas paling tinggi (20-40 lux) dan waktu paling lama (24 jam pada 1 minggu pertama). Tujuannya ialah mempermudah ayam mengenali tempat ransum dan air minum maupun untuk memacu pertumbuhan. Saat fase grower, program pencahayaan diberikan cahaya dalam waktu paling singkat (12 jam atau hanya dari cahaya matahari) dengan intensitas terendah (5-10 lux). Hal ini dimaksudkan untuk mengontrol perkembangan saluran reproduksi dan pencapaian berat badan yang optimal saat mulai berproduksi.
Lain halnya saat fase layer, lama (16 jam) dan intensitas pencahayaan (10-20 lux) berada diantara fase starter dan grower. Pada fase layer ini, adanya pencahayaan akan membantu proses pembentukan telur, pertumbuhan berat badan dan membantu metabolisme Ca dan P yang sangat diperlukan untuk pembentukan kerabang telur dan tulang. Jumlah lampu yang diperlukan untuk memperoleh intensitas yang dikehendaki dapat diketahui dengan rumus:

Berikut adalah perhitungan jumlah lampu yang dibutuhkan untuk luasan kandang dan jenis lampu tertentu.

∑ lampu = Luas kandang x Intensitas cahaya
Watt lampu x K faktor

K faktor merupakan konstanta yang nilainya tergantung daya lampu, yaitu :
Watt Lampu
15 25 40 60 100
K Faktor 3,8 4,2 4,2 5,0 6,0

Selain lama waktu dan intensitas pencahayaan, penentuan waktu untuk menambah atau mengurangi pencahayaan juga wajib diperhatikan oleh peternak. Dua hal penting tentang pencahayaan adalah jangan menambah jam terang selama masa pertumbuhan (fase grower) dan sebaliknya jangan mengurangi jam terang selama masa produksi. Jarak dan distribusi lampu juga harus diperhatikan. Jangan sampai jarak maupun intensitas lampu yang digunakan tidak sama. Jarak pemasangan lampu yang kurang baik, yaitu jarak antar satu lampu dengan lainnya tidak sama dapat mengakibatkan perbedaan intensitas cahaya.
Data penelitian menunjukkan adanya pengaruh pencahayaan terhadap performan produksi telur. Ibnu Katsir Amrullah (2003) menjelaskan bahwa ayam yang diberi pencahayaan selama 8 jam pada masa grower dan 14 jam pada masa layer mampu menghasilkan telur dalam jumlah lebih banyak (berbeda signifikan) meskipun berat telurnya sedikit lebih ringan.
Pemberian cahaya yang sama antara masa grower dan layer terbukti mempunyai produksi telur lebih rendah meskipun berat telurnya lebih besar. Namun pemberian cahaya secara terus-menerus (tanpa pengaturan) akan mengakibatkan ayam kurang peka rangsangan cahaya saat memasuki masa layer (produksi telur). Selain itu, pemberian cahaya yang kurang sesuai (terlalu lama) akan menyebabkan berat badan ayam lebih besar.
Dari penelitian Ibnu Katsir Amrullah (2003) juga diketahui bahwa ayam grower yang dipelihara dengan lama pencahayaan 14 jam terus-menerus mempunyai berat badan 60 gram lebih berat pada umur 19 minggu.
Penambahan cahaya juga dapat mempercepat dewasa kelamin (umur bertelur). Ibnu Katsir (2003) menyatakan jika penambahan cahaya dilakukan dua hari lebih awal maka ayam akan bertelur lebih cepat 1 hari. Namun perlu diingat, ayam yang terlalu cepat bertelur namun berat tubuhnya belum optimal akan menghasilkan telur dengan ukuran yang lebih kecil. Dan hal ini akan relatif sulit untuk diperbaiki karena saat mulai bertelur sampai puncak produksi (masa kritis), ayam harus mengalokasi ransum yang dikonsumsi untuk 2 proses penting, yaitu produksi telur (mencapai puncak) dan pertumbuhan (± 300 gram). Sama halnya jika terlalu gemuk, penambahan cahaya akan memicu terjadinya prolapse.
Melakukan kontrol berat badan secara ketat, program vaksinasi yang sesuai, pemberian ransum sesuai kebutuhan dan memberikan stimulasi cahaya menjadi langkah penting untuk tercapainya produksi yang optimal. Produksi telur tercapai, keuntungan pun tinggi. (Infovet)

Ketika Ayam Petelur Kegemukan

Fokus Infovet Mei 2008
Oleh: Tony Unandar (SAS Group)

(( Jargon “more eggs less feed” tampaknya sudah lengket dengan karakteristik umum ayam petelur modern (APM). Kecerobohan dalam tata laksana pemeliharaan awal APM, tidak saja menyebabkan keuntungan yang sudah di depan mata melayang, tetapi juga dapat menjadi faktor pencetus masalah baru yang kompleks. Sindroma obesitas yang diikuti oleh “yolk peritonitis” misalnya, adalah suatu contoh yang paling representatif. ))

Perkembangan genetik APM memang sangat spektakuler. Jika diikuti dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan yang baik, seekor APM mampu menghasilkan 335 butir telur setahun produksi. Bandingkan dengan sebelumnya, rata-rata hanya 285 butir. Itu saja tidak cukup, bobot telurnya pun lebih besar, yang tadinya berkisar antara 55-60 gram per-butir menjadi 58-65 gram. Perbaikan penampilan fenotip ini tentu saja menuntut perkembangan bobot badan dan keseragaman ayam yang baik selama masa pullet.
Salah satu sifat APM adalah pertumbuhan kerangka dan konformasi tubuh yang sangat dominan sampai dengan ayam berumur 6 minggu. Itulah sebabnya, pada saat APM berumur 6 minggu, maka bobot badan harus mencapai bobot minimal berdasarkan standar strain dan dengan keseragaman ayam yang harus di atas 85%. Gangguan pertumbuhan pada fase ini tentu berarti terhambatnya perkembangan tipe hiperplasia (pertambahan jumlah sel) dari sel tulang (osteoblast) maupun sel-sel sistem tubuh lainnya. Bobot badan yang mencapai bobot standar dan adanya lemak perut (abdomen fat) dengan ketebalan tidak melebihi setengah sentimeter pada umur 14 minggu merupakan suatu indikator yang baik untuk membaca kecukupan nutrisi yang diperoleh APM selama masa pullet.
Pertumbuhan hiperplasia tersebut terus berlanjut sampai ayam berumur 8 sampai 10 minggu, tergantung jenis sistem tubuh. Yang jelas, pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh sudah mendekati jenuh pada saat ayam berumur 8 minggu. Itulah sebabnya, tidak tercapainya bobot badan ayam pada umur 6 minggu akan membawa dampak yang cukup signifikan pada penampilan produksi dan kualitas telur dari flok ayam yang bersangkutan pada fase selanjutnya.
Gangguan pertumbuhan hiperplasia kerangka tubuh akan membatasi pertumbuhan matriks tulang yaitu tempat untuk menyimpan senyawa kalsium yang sangat dibutuhkan pada saat produksi. Kerangka tubuh yang relatif lebih kecil akan mengakibatkan kelebihan nutrisi yang dikonsumsi pada fase-fase selanjutnya dengan mudah dideposit menjadi lemak tubuh, khususnya lemak perut (abdomen). Ini berarti, obesitas alias kegemukan lebih mudah terjadi.

Pola Pemberian Makan yang Ceroboh
Penyebab Obesitas
Di samping itu, strain-strain baru dari APM cenderung mempunyai konversi pakan yang sangat baik pada saat umur 8-12 minggu. Keteledoran dalam mengelola pemberian pakan akan memperbesar peluang untuk terjadinya kegemukan. Dalam fase ini juga sering terjadi menurunnya keseragaman ayam. Terbanyak disebabkan karena pola pemberian pakan yang sangat ceroboh. Oleh sebab itu, monitor bobot badan ayam secara mingguan sangat dianjurkan pada fase ini secara ketat.
Pada kejadian obesitas, tingginya deposit lemak abdomen akan mengakibatkan beberapa hal pada masa produksi seperti (a). Meningkatnya kasus prolaps yang diikuti dengan kanibalisme dan kematian ayam, (b). Tingginya kejadian mati mendadak akibat terjadinya perlemakan hati (fatty liver syndrome), dan (c). Meningkatnya kasus “floating eggs” (ovum terlempar ke dalam rongga perut) yang berlanjut dengan yolk peritonitis. Kondisi terakhir ini biasanya berkembang menjadi lebih parah jika terjadi infeksi sekunder oleh kuman Koli.
APM yang umumnya mempunyai kerangka tubuh (body frame) relatif lebih kecil dibandingkan dengan ayam petelur klasik tentu akan mempunyai kepekaan yang lebih tinggi terhadap efek obesitas. Menyempitnya liang pubis merupakan suatu contoh yang paling representatif. Kondisi ini jelas akan mengakibatkan gangguan fisiologis saat ayam akan bertelur, yaitu dalam bentuk manifestasi prolaps yang terjadi beberapa saat setelah peletakan telur. Prolaps yang ditemukan akibat adanya obesitas biasanya terjadi beberapa minggu sebelum puncak produksi telur dan terus berlanjut sampai 2-4 minggu setelah puncak produksi tercapai. Keadaan inilah yang mengakibatkan penyusutan (deplesi) ayam selama produksi akan meningkat antara 0,2 sampai 0,3% per-minggu atau bahkan lebih dari itu. Padahal, dalam kondisi normal, penyusutan ayam selama produksi adalah 0,1% per-minggu.

Yolk Peritonitis yang Berulang
Obesitas juga akan mengakibatkan gangguan fisiologis bagian infundibulum dari oviduk (saluran reproduksi). Kondisi ini akan mengakibatkan tidak selarasnya pembukaan ujung infundibulum dengan sel telur (ovum) yang dilemparkan dari indung telur pada saat ovulasi terjadi. Tegasnya, pada ayam yang mengalami obesitas, adanya “floating eggs” yang diikuti dengan yolk peritonitis merupakan suatu hal yang paling sering ditemukan. Itulah sebabnya, mengatasi kasus yolk peritonitis di lapangan sering kali membawa rasa frustasi.
Bagaimana tidak, kuman Koli (Escherichia coli) yang sering dituding menjadi penyebabnya seolah tidak bergeming sedikitpun dengan preparat antibiotika. Benarkah kuman Koli sebagai penyebab utama? Atau problem resistensi preparat antibiotika terhadap kuman Koli memang sudah terjadi? Perlu diketahui, ditemukannya kuman Koli pada pemeriksaan di laboratorium merupakan efek lanjutan proses obesitas tersebut di atas. Jadi selama problem obesitas masih ditemukan pada individu-individu ayam dalam suatu flok, maka kejadian yolk peritonitis seolah-olah terjadi berulang-ulang dan tidak memberikan respon yang baik terhadap program pengobatan dengan antibiotika. Infeksi sekunder jelas terjadi beberapa saat setelah terjadinya “floating eggs”.
Di atas telah disebutkan bahwa obesitas juga akan mempermudah terjadinya “fatty liver syndrome” (FLS). Pada kasus yang ringan, adanya FLS jelas akan mengakibatkan terganggunya sintesa albumin di dalam jaringan hati. Dengan demikian, putih telur cenderung akan lebih encer dan atau rasionya dibandingkan dengan kuning telur cenderung akan menurun. Ujung-ujungnya adalah bobot telur akan menjadi lebih ringan dan atau telur akan menjadi lebih kecil dari ukuran standar strain. Manifestasi FLS juga akan mengakibatkan menurunnya respon terhadap vaksin, terutama terhadap kekebalan humoral.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas, lakukan beberapa langkah umum seperti yang tercantum di bawah ini:
 Yakinkan konsumsi pakan APM pada awal kehidupannya tercapai. Untuk ini, temperatur indukan buatan (brooder) harus sesuai dengan yang dibutuhkan dan frekuensi pemberian pakan sebanyak 6-9 kali per-hari untuk minggu pertama serta 4-6 kali per-hari untuk minggu kedua. Pakan untuk 4 minggu pertama sebaiknya diberikan ad libitum (secukupnya). Sangat dianjurkan tercapai “cumulative protein intake” sebesar 120 gr/ekor sampai dengan ayam berumur 4 minggu.
 Lakukan pengecekan kebutuhan energi dan protein yang dapat dicerna dari strain ayam yang dipelihara berdasarkan buku penuntun pemeliharaan ayam. Dengan demikian, pengaturan jumlah pakan yang diberikan per hari tidak menyimpang dari yang dibutuhkan ayam.
 Lakukan seleksi yang ketat terhadap APM yang ada, terutama setelah minggu pertama. APM yang relatif kecil harus dipisahkan dan dikumpulkan menjadi satu kelompok tersendiri atau dibuang.
 Lakukan penimbangan bobot secara berkala, dianjurkan dimulai di minggu kedua, segera setelah vaksinasi Gumboro atau ND yang kedua. Pada saat ayam berumur 4 minggu dianjurkan ditimbang 100% dari populasi, sedangkan lebih dari 4 minggu, maka penimbangan sebaiknya dilakukan setiap minggu sebanyak 5-10% dari total populasi, tergantung pada keseragaman ayam pada penimbangan sebelumnya. Pada umur 4 minggu, rata-rata bobot badan ayam paling tidak harus sudah tercapai 290 gram/ekor.
 Monitor bobot badan APM tersebut sebaiknya juga disertai dengan analisa keseragaman ayam. Pada saat ayam berumur 4 minggu, sebaiknya keseragaman tidak boleh kurang dari 85%. Keseragaman ayam ini diharapkan terus meningkat dan pada saat menjelang produksi telur, keseragaman diharapkan tidak kurang dari 90%.
 Petakan dan bandingkan bobot badan serta keseragaman aktual ayam dengan kurva standar yang sesuai dengan standar strain.
 Penambahan pakan untuk ayam yang berumur 8-12 minggu harus dengan kehati-hatian yang tinggi. Yang jelas, efek penambahan pakan akan mengakibatkan penambahan bobot badan dalam tempo 7-14 hari. Oleh sebab itu, penambahan pakan yang terlalu agresif tentu saja akan mempermudah terjadinya obesitas.∆

PETELUR MODERN HEBAT, PETERNAK TIDAK SIAP

Fokus Infovet Mei 2008

(( Sampai saat ini masih terlalu banyak para peternak skala rakyat tidak siap. Mereka umumnya masih mempunyai anggapan bahwa ayam yang dikelolanya saat ini masih seperti ayam petelur masa lalu. Akibatnya bukan hanya aspek produktivitasnya. ))

Benar juga kalimat diatas diucapkan oleh Drh Hari Soember dan Drh MT Jatmiko kepada Infovet, secara terpisah. Sebab menurut Hari Soember, masalah edukasi dan pendampingan kepada para peternak skala rakyat masih kurang memadai. Sedangkan menurut Toto, panggilan akrab Jatmiko, bahwa kasus ini mirip sekali dengan kasus saat introduksi ayam potong pertama kali di Indonesia.
Toto menceritakan, saat itu ketika pertama kali ayam potong diperkenalkan kepada masyarakat, pola pemeliharaan dan pengelolaan nyaris sama persis dengan menghadapi ayam kampung. Memang untuk merubah sebuah kebiasaan lama adalah tidak mudah dan juga butuh waktu yang tidak singkat. Padahal ayam potong itu adalah jenis ayam yang merupakan produk bioteknologi modern. Sehingga butuh perlakuan dan perhatian khusus, agar optimalisasi produksi bisa tercapai.
Tidak heran, lanjut Totok jika pada awal pemeliharaan ayam potong di Indonesia sangat banyak ditemui hasil budidaya para peternak dengan tingkat konversi pakan yang sangat tinggi sekali. Memang tidak cukup waktu 5 tahun, untuk bisa menyadarkan hal itu, terutama para peternak skala rakyat, bahwa ayam potong ini sangat berbeda dengan ayam kampung. Sedikit demi sedikit akhirnya dapat tercipta seperti kondisi pemeliharaan ayam potong saat ini.
Begitu juga, lanjut Totok dalam menghadapi dan mengelola ayam petelur modern saat ini, di mana para peternak skala rakyat, -khususnya, masih banyak mereka yang berorientasi dan berperilaku seperti memelihara ayam petelur konvensional.
Akibatnya produktivitasnya tidak seperti yang diharapkan, dan bahkan justru masalah di lapangan semakin banyak menerpa, terutama sergapan penyakit yang seolah silih berganti. Hal ini oleh karena, ada sisi lain dari ayam petelur modern yang menurut bahasa Infovet pada beberapa edisi yang lalu disebut ayamya yang semakin “rewel”.
“Saya sangat setuju dengan istilah Infovet bahwa ayam negeri saat ini semakin rewel. Rewelnya itu oleh karena tuntutan intensitas perhatian dalam pengelolaan dimana terkait dengan sifat dan potensi keproduktifannya. Maka jika para peternak masih menerapkan pola pemeliharaan yang lama, tentu saja akan bersifat kontra produktif alias gampang terganggu kesehatannya dan juga akhirnya produktivitasnya rendah,” ujar Totok, seorang peternak di Yogyakarta yang pernah menjadi Technical Service di beberapa perusahaan obat hewan.
Lain lagi penjelasan Hari Soember, bahwa ayam petelur modern sebagai produk kemajuan teknologi modern dalam bidang peternakan adalah lanjutan dari temuan para ahli rekayasa genetik pada masa lalu. Pada saat ini, para pakar terus gelisah mencari upaya menghasilkan suatu jenis ayam yang mampu mencapai hasil tertinggi produktivitasnya dengan input seminimal mungkin. Menurut ayah 2 anak yang asli Semarang Jawa Tengah ini, ayam petelur modern mempunyai potensi genetik tinggi dan sangat jauh dari ayam petelur konvensional selama ini.
Hari mencontohkan, ayam petelur modern, dalam satu siklus masa produksinya yaitu berkisar 60 minggu akan mampu menghasilkan total telur seberat 21 kg. Sedangkan volume pakan yang dihabiskan hanya berkisar 46 kg atau equivalen dengan konversi pakan sebesar 2.1. Tentunya itu adalah suatu angka-angka yang sangat jauh meninggalkan potensi produksi dari ayam petelur konvensional.
Namun demikian lanjut Hari, ada banyak hal yang patut mendapatkan perhatian lebih dari para pengelolanya. Oleh karena itu, jika selama ini para peternak memelihara ayam itu yang sudah termasuk generasi ayam petelur modern, namun aspek kesiapan pengelolaan sangatlah jauh dari memadai, akan muncul masalah baru di lapangan. Atau dengan lain kata tidak sesuai harapan.
“Sampai saat ini masih terlalu banyak para peternak skala rakyat tidak siap. Mereka umumnya masih mempunyai anggapan bahwa ayam yang dikelolanya saat ini masih seperti ayam petelur masa lalu. Akibatnya bukan hanya aspek produktivitasnya yang justru melorot, akan tetapi juga realitas lapangan berupa munculnya penyakit dan gangguan kesehatan lainnya yang terus menggerogoti keuntungan,” ujar Hari Soember, seorang Tenaga Lapangan PT Sumber Multivita di Yogyakarta.
Memang hal itu, lanjut Hari akibat dari pola pikir lama sang peternak maupun para pengelola. Selain itu juga oleh karena minimnya pendampingan dari pihak-pihak yang kompeten.
Baik Hari maupun Totok ketika ditanyakan bagaimana realitas lapangan pada saat ini terkait dengan harga jual telur selama 2 bulan ini di tahun 2008 yang sangat bagus, mereka justru prihatin.
Keprihatinan mereka timbul oleh karena justru harga telur yang masih sangat baik itu bukan oleh karena aspek produktiftas ayam petelur dan kemampuan daya beli masyarakat yang tinggi. Namun oleh karena diperkirakan populasi ayam petelur yang berkurang sangat signifikan. Bahkan sangat mungkin juga kemampuan produksinya.
Kondisi seperti ini sesuai hukum ekonomi, dimana akibat pasokan telur yang berkurang. Jika saja daya beli masyarakat meningkat, maka bukan tidak mungkin telur pada bulan-bulan ini akan semakin terdongkrak naik sangat tinggi. Namun toh kenyataannya, menurut kedua narasumber itu harga telur saat ini belum menggambarkan realitas performans ayam petelur modern. Jika saja potensi yang ada dalam ayam petelur yang dikelola para peternak itu seperti seharusnya, maka mungkin justru harga telur akan anjlog.
Keprihatinan itu menurut Hari di satu sisi memang membawa berkah bagi mereka yang masih mempunyai populasi cukup lumayan. Namun lebih banyak, mereka para peternak sudah terpangkas populasinya akibat sergapan aneka penyakit dan kurang optimalnya produktivitas.
Meski demikian, menurut Totok, kondisi saat ini dalam jangka panjang tidak mempunyai kontribusi apapun terhadap perubahan perilaku para peternak dalam mengelola ayam-ayamnya. Bahkan menurutnya, akan menjadi boomerang bagi para peternak, karena rnasih mempunyai asumsi ayam petelurnya adalah masih sama dengan jenis ayam petelur masa lalu.
Oleh karena itu, mutlak dan mendesak adanya pembinaan kepada para peternak, agar mereka mengubah pola pikir dan cara pemeliharaan. Sebab jika tidak berubah, sudah pasti di masa mendatang ketika populasi menjadi bertambah dan daya serap telur di masyarakat semakin jauh menurun, maka akan muncul petaka dahsyat.(iyo)

”SERGAPAN KEPALA BENGKAK”

Edisi 163 Februari

BANYAK peternak menamai penyakit yang satu ini dengan ”kepala bengkak”. Oleh karena memang manifestasi yang paling spesifik adalah bagian depan kepala ayam yang membengkak.
Bengkaknya kepala bagian depan terutama di atas moncong dan sekitar mata oleh karena penimbunan cairan encer sampai kental di bagian dalam sinus.
Namun demikian tidak sedikit pula para peternak dan petugas kesehatan lapangan menyebut sebagai Penyakit Pilek Menular (PPM). Disebut demikian oleh karena sifat menularnya penyakit itu ke sesama ayam demikian cepat dan sangat sulit terkontrol.
Informasi dari para petugas kesehatan lapangan yang disampaikan kepada Infovet Jawa Tengah–Yogyakarta bahwa prevalensi penyakit ini memang termasuk tinggi. Hampir tidak ada farm komersial yang bisa menghindar sergapan penyakit ini.
Keluhan dari peternak dan manajer pengelola kandang seolah menjadi indikasi kuat mewabahnya penyakit ini, teruatama ketika musim hujan yang demikian tinggi intensitasnya dan kontrol kesehatan yang melemah. Seperangkat benteng yang berupa vaksinasi belum mampu sepenuhnya memprotek atau melindungi ayam terhadap serangan penyakit yan dikenal sebagai Infectious Coryza itu.
Berikut ini rangkuman pendapat dari peternak, manager farm dan para petugas kesehatan lapangan.

Sobirin
Sobirin, peternak kemitraan yang telah lama menggeluti dunia ayam potong merasa bahwa bila ayam telah terserang penyakit bengkak kepala maka tiada berarti lagi pertolongan obat apapun.
Pensiunan pegawai Dinas Pertanian Magelang yang kini menekuni budidaya ayam potong di Bantul Yogyakarta ini, merasa heran kenapa para pakar tidak bisa dengan segera menemukan obat ampuh penyakit itu.
”Sudah hampir 25 tahun ini,saya merasa seolah tidak ada kemajuan yang berarti dalam penanganan penyakit itu di Indonesia. Terus para pakar yang digaji besar oleh pemerintah itu kerjaannya apa saja,” ujar Sobirin seolah menggugat.
Namun demikian Sobirin mempunyai kiat sendiri dalam menghadapi penyakit itu. Adapun yang ditempuh adalah dengan intensitas semprot kandang dan kebersihan kandang. Menurutnya tidak hanya khusus menghadang penyakit itu, bahwa apa yang selama ini dilakukan adalah juga efektif menangkal penyakit lainnya.
Terbukti ia adalah salah satu peternak yang tetap mampu bertahan sampai 25 tahun, meski dahulu menjadi peternak mandiri dan kini hanya menjadi plasma. Bergesernya Sobirin dari peternak mandiri ke plasma oleh karena beban berat yang harus dipikul jika menjadi peternak mandiri.
Terlebih saat ini, di mana harga sapronak yang melangit sedang harga jual ayam besar yang tidak signifikan dengan beaya produksi.
Kiatnya bertahan menurutnya adalah dengan mengutamakan kebersihan kandang makro dan mikro sebelum, selama dan sesudah pemeliharaan. Hal ini sangat penting mengingat penyakit kepala bengkak itu muncul kapan saja dan sangat merugikan.
Kerugian itu menurutnya bukan oleh karena kematian, akan tetapi oleh karena banyaknya ayam yang sakit dan pertumbuhannya sangat terhambat.
Ketika ditanyakan bagaimana upayanya jika penyakit itu telah merangsek masuk ke kandangnya, ia menuturkan ada beberapa langkah. Langkah yang paling penting adalah tetap melakukan semprot kandang dan jua ayamnya dengan desinfektans.
Selain itu mutlak perlu diberikan multivitamin dalam air minum. Dan secara simultan juga mutlak pemberian antibiotika agar proses penyebaran ataupun penularan penyakit tidak semakin meluas.

Koesnadi
Koesnadi, pekerja kandang ayam potong dari Kulon Progo Yogyakarta, menuturkan bahwa salah satu penyakit yang termasuk merepotkan adalah Snot atau penyakit pilek menular. Bukan saja ia harus bekerja ekstra keras jika penyakit itu muncul oleh karena harus melakukan pemberian vitamin dan obat secara bergantian, namun juga tambahan pekerjaan melakukan penyemprotan 2-3 kali sehari.
Belum lagi, jika harus memungut bangkai ayam yang menemui ajal. Ketika ditanyakan apakah termasuk banyak jumlah ayam yang mati jika terserang penyakit itu, Kang Koes mengiyakan. Tetapi ketika ditanyakan lebih banyak mana jika ayam yang terserang penyakit tetelo atau gumboro, ia menjawab memang masih jauh sedikit.
”Pokoknya masih mending kena ND atau Gumboro, jika dibanding Snot terutama dalam kaitannya volume pekerjaan. Namun juragan akan lebih rewel, dan banyak perintah jika ayam terkena Snot,” ujarnya polos.
Upaya yang dilakukan Kang Koes sesuai dengan instruksi juragan dan para TS adalah dengan memberikan obat dan vitamin. Selain itu secara rutin selama hampir 10 hari jika ayam masih muda penyemprotan dilakukan minimal 2 kali sehari.

Sutri Sino
Sutri Sino, pedagang ayam potong dari Sleman Yogyakarta, memberi komentar pada penyakit itu merugikan kedua belah pihak. Baik pedagang maupun peternak. Bentuk kerugian itu menurut penuturan Sutri adalah bobot yang biasanya cepat menyusut jika menyerang ayam mendekati panen.
Meski angka kematiannya tidak sebanyak ayam yang terkena ND namun dari hal bobot menjadi masalah serius. Belum lagi jika di pangkalan ada ayam yang sehat, maka dengan cepat akan tertulari, sehingga jelas membuatnya merugi.
Sedangkan kerugian di pihak peternak, sudah jelas yaitu ongkos produksi di atas hasil penjualan produksi. Belum lagi para pedagang yang tidak sedikit menolak untuk membeli ayam saat panen terserang Snot itu.

Drh Sulaeman P Rejo
Drh Sulaeman P Rejo, petugas kesehatan lapangan PT Mitravet Yogyakarta, memandang penyakit Infectious Coryza atau Snot memang menjadi salah satu problema besar di peternakan ayam potong dan petelur.
Pada ayam petelur meski sudah dilakukan vansinasi namun hasil akhir tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan. Bahkan lebih cenderung sangat merugikan, terutama ketika sedang dalam masa produksi. Produksi telur bisa melorot sampai 30%.
Sedangkan pada ayam potong, menurut pengalamannya tidak berbeda jauh dengan petelur dalam hal merepotkan dan kerugian yang ditimbulkan. Jika masih dalam usia muda, umumnya pertumbuhan menjadi sangat terhambat sekali, sehingga terkadang menjadikan prasangka munculnya ayam kerdil.
Namun demikian menurut lajang asli Purworejo ini ada kiat bagi peternak yang cermat dan teliti untuk menekan angka kerugian yang ditimbulkannya. Seperti juga yang diungkapkan oleh Sobirin, pemberian aneka vitamin dibarengi dengan pemberian antibiotika dapat menekan jumlah ayam yang sakit.
Selain itu memang langkah biosecurity tidak bisa ditawar lagi. Rekomendasi Sulaeman adalah meningkatkan desinfeksi kandang dan lingkungan dengan preparat yang tepat yaitu golongan Benzalkonium Khloride.
Langkah-langkah itu menurut pengalamannya di beberapa kandang terbukti sangat signifikan hasilnya. Bahkan menurutnya jika pada awal pemeliharan langkah itu secara disiplin dilakukan dapat menangkal terserangnya farm dari penyakit yang merugikan itu.
”Atas dasar pengalaman lapangan saya selama ini di berbagai kandang, jika para peternak dan pengelola kandang disiplin dan cermat memberikan resep saya itu, terbukti mampu menghindar atau setidaknya jika terserang tidak bersifat parah dan kerugian dapat ditekan,” ujar Sulaeman P Rejo

Ir Agus Sari PS
Ir Agus Sari PS, menuturkan bahwa selama ini jika para peternak binaannya mengalami masalah dengan penyakit Snot, maka memang seolah kerugian besar di depan mata.
Sebagai pembina peternak mandiri dalam skala kecil di daerah Gunung Kidul Yogyakarta merasa sudah berusaha semaksimal mungkin memberi pengertian dan pengetahuan tentang beternak ayam potong yang baik.
Namun demikian, jika kemudian muncul serangan penyakit kepala bengkak, ia secara terus terang mengakui kebingungan juga untuk memberi saran yang paling baik. Selama ini sarannya memang sangat normatif sebagaimana para petugas kesehatan lapangan yang memasok obat kepadanya.
Meski begitu, menurut Agus saran yang selama ini diberikan dan diikuti para peternak binaannya memang sedikit membuahkan hasil. Adapun sarannya selama ini adalah menekankan pada aspek kebersihan kandang dan lingkungan.
Selain itu, memilih kualitas pakan yang baik. Prinsipnya selama asupan nilai gizi ke dalam tubuh ayam baik dan tercukupi, maka meski ada serangan penyakit setidaknya akan menekan jumlah ayam yang terkena.
Atau jika terkena, maka akan lebih mudah pulih sembuh. Untuk meningkatkan aspek kebersihan, maka Agus tidak segan-segan mengingatkan peternak binaannya agar rajin menyemprot kandang dan lingkungan.

Prof Drh HR Wasito MSc PhD
Prof Drh HR Wasito MSc PhD, mantan Dirjen Produksi Peternakan Departemen Pertanian yang dihubungi secara khusus Infovet menuturkan bahwa penyakit itu adalah jenis penyakit konvensional.
Jika dalam farm komersial di suatu negara masih sering muncul penyakit itu, maka hal itu merupakan representasi belum majunya budidaya ayam di kawasan atau negara itu.
Seharusnya untuk jenis penyakit itu sudah bisa ditekan menjadi paling minimal, jika memang tidak bisa sama sekali dibebaskan. Lebih lanjut Wasito yang sekarang masih giat meneliti korelasi serangga lalat dengan penularan Avian Influenza pada unggas menjelaskan bahwa memang tingkat kematian tidak sebanyak ND atau Gumboro. Namun justru, dengan cepatnya penyakit itu menjalar ke flok yang lain dan juga kemerosotan produksi secara pelahan, maka secara ekonomi jauh lebih merugikan.
Proses recovery atau pemulihan pada ayam petelur yang sedang berproduksi menjadi lebih lama dibanding jangka waktu sakitnya sang ayam. Oleh karena itu, memang salah satu yang terpenting untuk mempercepat pemulihan dengan pemberian nutrisi yang sempurna dan mudah dicerna oleh ayam.
Sedangkan pengobatan memang tidak akan pernah mencapai hasil efektif, namun tidak boleh dan bisa ditinggalkan begitu saja. Sebab biasanya ada infeksi sekunder yang akan semakin memperburuk status dan kondisi kesehatan ayam.
Memang benar rekomendasi kebersihan dan biosecurity. ”Hal itu mutlak dan tidak bisa ditawar jika memang ingin disebut dan sejajar sebagai peternakan unggas yang maju,” ujarnya.
Mengomentari masih minimnya hasil penelitian modern dalam menangani kasus penyak itu, Guru Besar yang sibuk dengan penelitian dan presentasi di luar negeri itu, tidak benar.
Sebab justru, rekomendasi dan saran yang ada selama ini adalah manifestasi dan wujud dari hasil yang dilakukan oleh para ahli di bidang penyakit unggas.(iyo)

INFECTIOUS CORYZA (SNOT)

Edisi 163 Februari

Drh Prabadasanta Hudyana

Penyakit ini sering timbul terutama pada saat hujan kelembaban tinggi, kadar amoniak kandang tinggi, serta sanitasi kandang yang jelek. Berat ringannya sangat tergantung pada kondisi kandang, ventilasi kandang, cara penanganannya. Penyakit ini sudah tersebar di seluruh dunia dan dapat terjadi pada ayam petelur dan ayam pedaging.
Dampak yang ditimbulkan terutama :
 Peningkatan jumlah ayam afkir
 Penurunan berat badan
 Penurunan produksi telur ( 10-40% )
 Biaya pengobatan dan sanitasi yang tinggi.
Peyakit ini bila treatment kurang baik akan timbul dan hilang secara bergantian dalam 1 lokasi kandang, hal ini karena faktor-faktor ventilasi, jumlah usia ayam pada 1 lokasi, manajemen pemeliharaan yang jelek.

Penyebabnya
Haemophylus Paragallinarum adalah biang penyakit ini yang bersifat gram negatif, bentuk batang/cocco, anaerob.
Di luar tubuh hewan mudah mati, exudat yang tercampur air minum, bakteri tahan ± 4 jam.
Ada tiga strain yaitu A,B, dan C, type A dan C paling virulent, meskipun type B juga punya peranan yang relatif besar.

Cara Penularan
Penularan dapat terjadi secara horizontal, dapat lewat ayam carrier juga lewat udara, kasus ini muncul pada saat kelembaban udara tinggi dan stres pada ayam. Penularan antar ayam dapat terjadi secara cepat dan penularan lewat burung-burung liar juga dimungkinkan.

Gejala-gejala Klinis
Inkubasi penyakit ini 24 – 72 jam, dan terutama sering timbul pada usia mulai 3 minggu ke atas, ayam dewasa cenderung lebih parah daripada ayam muda dan prosesnya biasanya berlangsung lama.
Sering diikuti dengan kasus lain seperti CRD, SHS, IB, dan ILT. Bila ada infeksi sekunder ini maka kasus kematian akan semakin tinggi. Gejala yang paling awal adalah bersin-bersin yang diikuti exudat mucoid di rongga hidung, mata.
Beda dengan SHS pada snot exudat sangat berbau busuk, dengan kebengkakan SHS di belakang bola mata sedang snot di atas/ di bawah rongga mata. Seringkali kelopak mata merah dan mata menjadi menutup.
Produksi telur akan turun cukup signifikan tetapi anehnya penyakit dengan di beri obat antibiotika yang sembuh tetapi bila tidak serentak/masih ada sisa yang belum sembuh, maka penyakit ini akan mudah kambuh dengan cepat.
Jadi sifat penyakit ini morbiditas tinggi tapi mortalitas rendah dan efek yang muncul produksi telur turun cukup lama.
Bila ventilasi dan manajemen kandang kurang baik maka akan memperparah serangan ini.
Perubahan patologis yang nampak pada saluran nafas atas, ada radang cattaralis pada mukosa/cavum nasi dan sinus, keradangan paru dan kantung udara.


Diagnosa
Dapat dilakukan berdasar gejala-gejala klinis yang nampak, perubahan patologis dan dapat dilakukan dengan uji laboratorium seperti HI test dan harus dibedakan dengan SHS, CRD, IB dan ILT.
Pengobatan
Pemakaian golongan antibiotika telah dipakai dapat mengurangi/mengobati snot dengan mengurangi keparahan saja, tanpa mengatasi secara tuntas. Dan penyakit cenderung kambuh terutama bila pengobatan kurang sesuai dosisnya, Antibiotika yang dipakai tidak sesuai.
Perlu juga diberi vitamin untuk memperbaiki, pada kondisi di lapangan dapat dilakukan revaksinasi yang disusul dengan pemberian antibiotika yang sesuai.
Tetapi faktor pendukung seperti ventilasi dan manajemen pemeliharaan perlu diperbaiki agar proses penyembuhannya akan lebih baik.


Penulis adalah Ahli Kesehatan Unggas
PT Multibreeder Adirama Indonesia

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer