Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Avian Influenza dan Naiknya Harga Pakan Warnai Perunggasan 2008

Masalah yang tak henti-hentinya menghimpit sektor peternakan unggas adalah masih seringnya terjadi wabah Avian Influenza (AI) dan naiknya harga jagung yang berimbas pada terus naiknya harga pakan unggas. Kedua hal inilah yang diramalkan Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Multivita masih akan terus mewarnai hari-hari di sektor perunggasan tahun 2008.
Hingga berita ini diturunkan, harga pakan broiler sekitar Rp 3.400 sementara pakan layer sudah mencapai 2.800 dan diramalkan akan terus naik. Kondisi ini semakin memberatkan peternak broiler maupun layer, karena naiknya ongkos produksi tidak diikuti dengan naiknya harga jual produk. Bila harga jual produk dinaikkan maka akan terbentur dengan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia yang relatif masih lemah.
Dampak yang paling cepat tentu akan dirasakan oleh peternak yang biasa menggunakan pakan jadi. Namun untuk peternak self mixing pun juga harus ekstra kerja keras untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas dengan harga yang murah. Dan itu pun tidak mudah. “Maka perlu dicarikan solusinya untuk peternak,” ujar Hadi Wibowo praktisi perunggasan yang menjadi narasumber tetap Infovet.
Menurut Hadi, “Biar bagaimanapun formulasi pakan itu dibuat, bila harga bahan bakunya dari sananya sudah naik pasti ongkos pakannya juga akan tetap naik.”
Sebagai contoh sumber protein biasanya pakan unggas mengandalkan tepung ikan dan tepung daging yang kaya akan asam amino Methionine dan Tryptophan. Asam amino ini dibutuhkan untuk pertumbuhan bulu dan produktivitas baik daging atau telur.
Namun karena kedua bahan baku ini tengah langka dan harganya naik perlu dicari bahan alternatif penggantinya atau setidaknya pelengkapnya. Untuk itu Hadi menyarankan peternak untuk menambahkan asam amino konsentrat dalam ransum unggasnya.
“Asam amino konsentrat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas. Dengan feed additive ini produksi telur yang optimal bisa dicapai sekaligus mempertahankan produksi puncak lebih lama.,” ujar Hadi.
Lebih lanjut, kata Hadi, asam amino konsentrat umumnya digunakan untuk mengatasi defisiensi asam amino yang disebabkan oleh kualitas ransum atau bahan baku yang rendah. Asam amino konsentrat juga bisa mengurangi stress dan meningkatkan stamina unggas serta mempercepat proses penyembuhan penyakit.
Broiler hingga panen dengan berat badan 1,7 kg – 2 kg biasanya menghabiskan pakan 3 kg dengan FCR 1,7-1,5. Dengan FCR yang bagus seperti ini akan didapat IP yang bagus pula, dengan IP yang bagus (±300) maka insentif bonus untuk anak kandang juga semakin besar.
Maka melihat kondisi saat ini dimana biaya produksi untuk pakan sudah naik luar biasa ada baiknya peternak lebih memilih optimalisasi. Artinya tidak perlu IP terlalu bagus namun cukup dengan IP 275 dengan FCR 1,6-1,7 untuk broiler. Dengan begitu ada biaya yang bisa dihemat.
Dengan asam amino esensial konsentrat yang memiliki setidaknya 20 asam amino esensial ini peternak dapat menghemat 5 gr/ekor/hari dari bahan baku pakan sumber protein. Bayangkan berapa nilai rupiah yang bisa dihemat dengan inovasi ini.
Hadi menjelaskan, kandungan asam amino dalam ransum berpengaruh langsung dengan sistem kekebalan, karena zat pembentuk antibodi tersusun dari asam amino. Bila asam amino rendah maka dipastikan respon antibodi ayam juga akan lemah.
Lebih jauh, kata Hadi, masalah lain yang juga terus menjadi ancaman adalah infeksi AI. Untuk itu ia menekankan guna menunjang sistem kekebalan ayam ditengah fluktuasi kualitas pakan ayam diperlukan suatu zat yang mampu merangsang pertumbuhan sel-sel yang berfungsi dalam sistem kekebalan. Zat itu tiada lain adalah imunomodulator.
Seperti pernah diulas Infovet Oktober 2007 lalu, bahwa vaksin yang beredar saat yang menggunakan seed virus 2003 disinyalir sudah tidak cocok lagi dengan virus lapang yang beredar saat ini. Sehingga upaya vaksinasi saat ini sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai satu-satunya penghambat masuknya virus AI ke lingkungan farm.
Untuk itu Hadi kembali menyarankan peran penting imunomodulator yang berfungsi memperbanyak, mematangkan dan mengaktifkan sel-sel yang berperan dalam respon immun. (wan)

5 GENOTIPE FLU BURUNG DAN EKOSISTEM KESEHATAN

(( Konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. ))


9 November 2007, Indonesia Mencatat Kasus Flu Burung Ke-113. Hasil test Laboratorium Badan Litbangkes tanggal ini dan hasil test Lembaga Eijkman Jakarta menyatakan bahwa MN, (P, 31 tahun) dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau positif terinfeksi virus H5N1. Demikian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI).
Menurut sumber Komnas FBPI, MN mulai sakit pada tanggal 31 Oktober 2007. Pada 3 Nobvember 2007, MN dirawat di RS Permata Hati di Kecamatan Duri dan kemudian dirujuk ke RS Arifin Achmad di Pekanbaru pada tanggal 6 November 2007 dimana saat tiba di rumah sakit pada pukul 13.00 korban telah meninggal dunia.
MN menunjukkan gejala panas, sesak nafas, leukopeni (penurunan jumlah sel darah putih), thrombositopeni (penurunan jumlah sel darah dalam darah) dan pneumonia (infeksi paru-paru yang menimbulkan masalah respirasi).
“Dengan demikian kasus Avian Influenza positif di Indonesia berjumlah 113 kasus, di mana 91 kasus diantaranya meninggal,” kata sumber di Komnas FBPI.
Bagaimana wajah Flu Burung pada tahun 2008?

Lima Genotipe

Perkembangan terakhir, terungkap, virus H5N1 penyebab flu burung telah berkembang menjadi lima genotipe di Indonesia, sedangkan di negara-negara lain hanya dikenal tiga genotipe. Dengan demikian, penanganan klinis flu burung di Indonesia harus lebih hati-hati ketimbang negara lain.
Peneliti flu burung dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr drh CA Nidom, mengemukakan, virus flu burung yang dikenal di negara lain hanya varian A, B, dan C. Di Indonesia telah muncul varian C* dan D. "Kedua varian itu hasil mutasi dari varian A," ujar Nidom di sela peresmian laboratorium Keamanan Biologi Level 3 (Biosafety Level 3/BSL 3) di Gedung Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga, Senin (26/11).
Varian A dikenal sebagai varian virus yang pertama kali diketahui menyebar di Pulau Jawa. Di Sumatera bagian utara, varian itu bermutasi menjadi varian B. "Varian ini antara lain diketahui menginfeksi orang-orang di daerah Karo, Sumatera Utara," ujar penanggung jawab penelitian flu burung di Universitas Airlangga ini.
Varian C dihasilkan dari mutasi varian A di Kalimantan. Proses mutasi itu juga menghasilkan varian C*, yang daerah penyebarannya belum teridentifikasi secara jelas. Adapun varian D ditemukan di Papua dan Sumatera bagian selatan.
Varian beragam itu membuat antivirus dari luar negeri belum tentu cocok untuk Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu mengusahakan penangkal sendiri. Pengupayaan itu antara lain harus dimulai dengan pengenalan virus secara klinis.
Sayangnya, tidak ada data klinis varian-varian itu. Sebab, selama ini seluruh penelitian tentang flu burung menggunakan virus mati. "Seharusnya menggunakan virus hidup agar benar-benar diketahui identitas dan perilaku virus," ujarnya.

BSL 3

Fasilitas BSL 3 itu memungkinkan Indonesia meneliti dan menganalisis sampel virus flu burung yang masih hidup. "Dengan adanya fasilitas laboratorium BSL 3 itu, virus yang diambil dari sampel lendir manusia atau unggas bisa dianalisis," kata Nidom.
Direktur TDC Universitas Airlangga yang membawahi laboratorium itu, Prof Dr Yoes Prijatna Dachlan, menuturkan, fasilitas tersebut memungkinkan Indonesia meneliti sendiri virus flu burung. Selama ini Indonesia harus mengirim contoh virus untuk diteliti di negara lain.
Hal itu, menurut Yoes, bisa merugikan Indonesia. Kerugian itu antara lain berupa tawaran antivirus berharga mahal dari perusahaan farmasi asing. Padahal, antivirus itu dibuat berdasarkan contoh virus dari Indonesia.
Di Indonesia, laboratorium level tiga hanya dimiliki Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga. "Laboratorium ini hanya setingkat di bawah level tertinggi yang dimiliki Kanada dan Perancis," kata Yoes.

Lingkungan Kesehatan

Mencoba memperkuat konsepsi restrukturisasi sektor perunggasan sebagai salah satu penjabaran rencana strategi nasional (RENSTRANAS) Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006-2010, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD dalam suatu kesempatan memberikan pendapatnya.
Wakil Ketua Pelaksana Harian II Komnas FBPI ini menyatakan, konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan.
“Harus disadari bahwa benang merah sirkulasi virus di lingkungan antara ayam belakang rumah (sektor 4) dan sistim industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) -- dalam arah bolak balik -- menjadi permasalahan tersendiri,” kata Dr Tata, panggilan akrabnya.
Tata menjabarkan, suatu laporan FAO dan OIE membuktikan bahwa meskipun virus H5N1 beradaptasi baik terhadap ayam kampung, sama halnya terhadap itik atau entok domestik, ketahanan virus pada operasi peternakan skala kecil dan belakang rumah bergantung kepada peningkatan konsentrasi virus yang berkelanjutan.
“Virus H5N1 tidak melonjak ke dalam bentuk lebih ganas pada populasi ayam sektor 4, di mana tingkat kepadatan populasi rendah dan keragaman genetik mampu mempertahankan kandungan virus pada tingkat yang rendah,” urai Dr Tata, “Amplikasi virus justru terjadi pada operasi skala besar dan tertutup.”
Untuk menghindari lebih lanjut risiko penularan ke manusia, Dr Tata mengatakan, restrukturisasi sektor perunggasan yang menjadi strategi pemerintah dalam pengendalian flu burung jangka menengah dan panjang, harus betul-betul terkonsepsi secara menyeluruh dengan memperhatikan keterkaitan antara ekosistem kesehatan dengan faktor geografis, pasar dan produksi.
Untuk itu, katanya, pisahkan unggas harus dilihat sebagai satu solusi, bukan masalah. “Pemerintah bersama-sama masyarakat harus menyadari bahwa pelajaran yang bisa diambil dari pemahaman tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan,” tegasnya.

Produksi Unggas
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun mengungkap di satu sisi perlu diketahui bahwa transformasi produksi unggas di Asia termasuk Indonesia dalam dekade terakhir sangat luar biasa.
“Di negara-negara Asia Tenggara, dimana sebagian besar wabah flu burung terjadi - Thailand, Indonesia dan Vietnam - produksi melonjak delapan kali hanya dalam rentang waktu 30 tahun,” ungkap Dr Tata.
Ia jelaskan, produksi unggas China saja mengalami tiga kali lipat setelah 1990 dengan pertumbuhan yang terus meningkat setiap tahun. Situasi seperti ini merupakan tempat berkembang yang ideal untuk virus flu burung seperti strain H5N1 yang dikhawatirkan akan mencetuskan pandemi influenza manusia.
Adapun, lanjutnya, produksi daging ayam di Indonesia mencapai 672 ribu ton pada 2006, hanya 5 persen diatas produksi 2005. Sementara konsumsi daging ayam sekitar 2,9 kg per kapita per tahun yang diproyeksikan untuk 220 juta penduduk Indonesia pada 2005, masih jauh dibawah rata-rata tingkat konsumsi negara-negara tetangga di ASEAN.
“Flu burung telah menjadi satu faktor yang menaikkan biaya input produksi dan menghambat potensi pertumbuhan produksi yang lebih cepat di sektor perunggasan,” tegas Tata.
Adapun, tuturnya, tingkat konsumsi ayam diperkirakan menurun sekitar 20 persen setelah kasus pertama manusia yang meninggal karena flu burung pada Juli 2005, akan tetapi Agustus 2005 tingkat kepercayaan konsumen mulai membaik dan sudah pulih saat mendekati bulan Ramadhan Oktober 2005.
Dengan bertambahnya lima korban pasien flu burung pada Januari 2007, maka kejadian terulang kembali dengan menurunnya omzet perunggasan sebesar 40 persen dengan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 8 milyar rupiah per hari.
Menarik untuk dicermati bahwa justru rantai pendek outlet ayam pedaging untuk kebutuhan restauran cepat saji yang secara eksklusif berlokasi di daerah-daerah urban tidak banyak ikut terpengaruh.
“Penjualan semacam ini tetap berlangsung normal pada saat permintaan di segmen pasar lainnya mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan peran outlet semakin penting dalam memenuhi kebutuhan konsumen urban dan terintegrasi ke dalam sistem produksi transnasional,” tegas Dr Tata.

Ayam Belakang Rumah
Untuk lebih memahami konsepnya tentang flu burung dalam konteks ekosistem kesehatan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD selengkapnya mengungkap di Milis Dokter Hewan bahwa berbagai pendapat disampaikan oleh lembaga dunia seperti FAO dan WHO serta berbagai pemerintahan di dunia yang mempertanyakan sejauh mana implikasi industri perunggasan (sektor 1, 2 dan 3) terhadap krisis flu burung.
Namun demikian saat ini justru tudingan sebagai sumber infeksi utama lebih diarahkan kepada ayam-ayam belakang rumah (sektor 4), dengan seruan untuk melakukan pengendalian yang lebih ketat dan upaya restrukturisasi sektor perunggasan yang lebih luas.
Menurut Tata, ayam sektor 4 merupakan bagian dari ketahanan pangan dan pendapatan peternak bagi ratusan juta penduduk pedesaan di Asia dan Afrika. Ayam adalah satu-satunya ternak yang dapat dimiliki oleh kaum miskin, sehingga hampir setiap rumah tangga di pedesaan atau di pinggiran kota pada umumnya memelihara beberapa ekor ayam untuk pemenuhan kebutuhan daging, telur dan bahkan pupuk.
Alasan mengapa ayam sektor 4 dianggap sebagai masalah, menurutnya, oleh karena dipelihara di tempat terbuka (outdoor poultry), memungkinkan sering kontak dengan burung liar yang membawa virus flu burung atau pergi mencari makan ke lingkungan yang terkontaminasi.
“Burung liar dalam pengertiannya harus dibedakan dengan burung migran. Pada akhirnya ayam sektor 4 dianggap menjadi tempat percampuran untuk kelangsungan sirkulasi yang konstan dari penyakit ini,” ujar Dr Tata.
Selanjutnya mantan Dirkeswan ini menyatakan, situasi di Indonesia tidak secara jelas diketahui mengingat populasi ayam sektor 4 begitu banyak dengan sekitar 30 juta rumah tangga pemilik unggas. Pada kenyataannya, terjadi saling tumpang tindih antara ayam sektor 4 dengan usaha peternakan (sektor 1, 2 dan 3).
“Kebanyakan peternakan unggas besar atau menengah di Pulau Jawa, sekitar 10 sampai 15 tahun lalu membangun perkandangan di lokasi terpencil dan jauh dari pemukiman,” ucapnya.
Akan tetapi seiring pertumbuhan penduduk dan pemekaran wilayah, lokasi kandang sudah tidak dapat dipisahkan secara pasti dengan pemukiman penduduk. Hal seperti itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat sekitarnya untuk memelihara ayam sektor 4.
Dr Tata mengungkap, keberadaan unggas sektor 4 dan berjangkitnya flu burung telah membuat pihak berwenang di tingkat kabupaten/kota mengalami tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Sifat alamiah dari pemeliharaan seperti ini - skala kecil, berkeliaran, menyebar dan informal - sehingga membuat dua tindakan pengendalian utama yaitu pemusnahan dan vaksinasi tidak mungkin dapat berjalan baik tanpa disertai keseriusan pemerintah dan kepatuhan masyarakat.

Pisahkan Unggas
Menurut Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD, banyak negara di seluruh dunia berusaha memahami kondisi unggas sektor 4 ini dari aspek ekosistem kesehatan. Mengingat juga di Indonesia diperburuk dengan fakta bahwa 46 persen kasus korban manusia akibat flu burung terjadi di daerah non-urban, sisanya di daerah semi urban (24 persen) dan urban (30 persen).
Dr Tata mengungkap, saat ini sebagian besar aturan yang diterapkan di negara maju dalam kaitan dengan kebijakan pengendalian flu burung adalah pisahkan unggas dari burung liar. Sedangkan di negara berkembang diterapkan aturan yang menekankan kepada pisahkan unggas dengan manusia.
“Pelarangan pemeliharaan unggas dalam keadaan terbuka (outdoor poultry) untuk tidak berinteraksi dengan burung liar lebih banyak diterapkan di negara maju seperti Austria, Kanada, Perancis, Jerman, Belanda, Norwegia dan Swedia,” paparnya.
Sementara, Italia dan Swiss mengharuskan pemeliharaan unggas di lokasi yang dilindungi dengan atap atau lapisan kawat. Beberapa negara lain juga mengatur pelarangan terhadap unggas dalam keadaan terbuka selama musim migrasi burung, seperti Slovenia dan Kroasia.
Di Asia, baru Hongkong yang memberlakukan pelarangan secara menyeluruh terhadap ayam sektor 4. Pelarangan usaha peternakan ayam di perkotaan diterapkan oleh Vietnam.
Sedangkan, “Thailand membatasi pemeliharaan itik yang berkeliaran, pelarangan pasar ayam hidup di kota Bangkok dan rumah pemotongan ayam harus dipindahkan ke luar kota. Juga mengharuskan tempat penampungan ayam dari peternakan skala kecil (sektor 3) direlokasi ke satu wilayah,” kata Tata.

Gambaran Masyarakat Kita
Berkaitan dengan konsep Memisahkan Unggas itu, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD pun memberi penjelasan bagaimana gambaran pemetaan pemeliharaan ayam di tanah air. “Seperti pada umumnya di negara-negara berkembang, pemeliharaan unggas di kota besar seperti halnya DKI Jakarta sangat tumpang tindih dengan perumahan penduduk,” katanya.
Tata memberi gambaran, di balik gedung-gedung tinggi - baik hotel maupun perkantoran - banyak sekali dijumpai rumah-rumah yang memelihara unggas, baik sebagai hewan kesayangan/hobi maupun sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga. Dengan kandang ayam yang menempel di dinding rumah atau berada di halaman belakang rumah yang sangat sempit. Bahkan juga rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat pemotongan ayam yang limbahnya bersamaan masuk ke dalam pembuangan limbah rumah tangga.
Menurut Tata, penduduk DKI Jakarta yang berjumlah sekitar 12 juta orang merupakan satu pasar konsumen yang besar untuk produk unggas. Itu sebabnya kurang lebih 600 ribu ekor ayam hidup setiap hari diangkut masuk ke wilayah DKI Jakarta yang berasal dari kabupaten/kota sekitarnya.
“Setiap pagi sekali dapat dilihat di jalan-jalan raya masuk kota Jakarta, kendaraan-kendaraan pengangkut ayam potong hidup maupun karkas ayam yang dilalulintaskan dari Kabupaten Tangerang, Sukabumi, Subang, Bogor, Ciamis, Cianjur dan lainnya,” ungkapnya.
Rantai pemasaran ayam yang sibuk dan padat melibatkan sekian banyak tenaga kerja yang mendapatkan mata pencaharian di sektor ini dan merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat perkotaan.
Sejak lama ada kesukaan yang lebih besar untuk membeli daging ayam segar dibandingkan dengan daging ayam beku. Meskipun sudah tidak banyak lagi dapat dipertahankan, mengingat kesibukan kebanyakan ibu-ibu rumah tangga yang bekerja dan kekurangan waktu menyiapkan masakan bagi keluarga.
Begitu juga kekurangan waktu setiap hari bagi para ibu untuk menyempatkan diri membeli daging ayam segar di pasar becek atau pasar tradisional.
Dengan kondisi ini, serta peta produksi unggas di atas, maka Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menegaskan konsep jangka panjang dengan mengedepankan penataan pasar unggas hidup dan pasar tradisional sebagai tempat berinteraksinya manusia, hewan dan lingkungan harus dilihat sebagai bagian dari sistem lingkungan kesehatan. (berbagai sumber/ Kps/ YR)

Rekomendasi Seminar Perunggasan ke-3: Perunggasan 2008, Saatnya Stakeholder Bersatu

“Akankah Bisnis Perunggasan tahun 2008 lebih menarik?” Begitulah tema yang diusung dalam seminar nasional perunggasan yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) untuk yang ketiga kalinya. Seminar perunggasan ini merupakan kesinambungan dari seminar sebelumnya yaitu seminar nasional perunggasan pertama tanggal 8 Maret 2006 dan seminar nasional perunggasan kedua 7 Desember 2006.
Seminar nasional perunggasan ketiga yang berlangsung pada Rabu, 7 Nopember 2007 ini bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Seminar ini dihadiri lebih kurang 140 peserta dari berbagai daerah dan lembaga, mulai dari peternak, pengusaha, peneliti hingga kalangan pasar modal, namun tidak nampak dari kalangan birokrat.
Dalam sambutannya saat membuka seminar, Ketua Umum ASOHI Gani Haryanto mengungkapkan bahwa tujuan seminar ini adalah untuk mengevaluasi situasi bisnis perunggasan 2007 dengan membandingkan dengan prediksi dalam seminar sebelumya disertai dengan pembahasan mengapa hal itu terjadi.
Selain itu, “Seminar ini juga bertujuan memprediksi situasi bisnis perunggasan tahun 2008 dari aspek bibit, pakan, obat hewan dan pasar unggas baik petelur maupun broiler, sekaligus mendiskusikan tantangan bisnis perunggasan yang aktual saat ini dan di masa depan sehingga mendapatkan solusi yang terbaik,” ujar Gani.
Tak tanggung-tanggung seminar yang diselenggarakan oleh GITA event organizer bekerjasama dengan ASOHI dan didukung penuh oleh Majalah Infovet ini menghadirkan pembicara Ketua Umum GPPU Drh Paulus Setiabudi dengan makalah berjudul “Overview on Poultry Breeding Industry And Business Outlook in 2008”, Ketua Umum GPMT Ir Budiarto Soebijanto, diwakili Ir Anang Hermanta dengan uraian berjudul Prospek Pakan 2008, Akankah Lebih Menarik?
Selain mereka Ketua Umum Pinsar Drh Hartono mewakili peternak juga membawakan makalah dengan judul “Bisnis Unggas dan Perekonomian Nasional; Proyeksi, Fakta dan Implikasi”. Sementara Dewan Pakar ASOHI Freddie Hadi Wibowo D MS memberikan orasi dengan judul “Business Prediction & Analysis of National Poultry Health Industries in 2008”. Lebih lanjut pengamat pasar modal Drs Haryajid Ramelan juga hadir dengan makalah berjudul “Kinerja Emiten Perunggasan 2006-2007” yang menitikberatkan pembahasan kinerja perusahaan publik perunggasan 2006-2007”. Seminar ini dimoderatori oleh Drh Ketut Tastra Sukata MBA dan Drh Rachmat Nuriyanto MM.
Seminar ini juga disponsori oleh Japfa, Medion, Novartis, Pfizer, PT Romindo Primavetcom, ISA, Cargill, Intervet, PT Otasindo, dan PT SHS Internasional. Acara ini juga diliput oleh berbagai media cetak dan elektronik serta mendapat dukungan dari majalah Poultry Indonesia, Trobos, dan Satwa Kesayangan, serta tabloid Sinar Tani dan Agrina.

Situasi dan Proyeksi
Diakhir seminar situasi perunggasan 2007 disimpulkan bahwa, produksi DOC broiler tahun 2007 diperkirakan 1,15 milyar ekor atau naik 7% dibanding tahun 2006. Populasi ayam petelur tahun 2007 sebesar 97,3 juta, naik 7,7% dibanding tahun 2006. Konsumsi pakan tahun 2007 sebesar 7,6 juta ton atau naik 5,5% dibanding tahun 2006.
Sementara untuk proyeksi perunggasan 2008 berdasarkan situasi tahun 2007, produksi DOC broiler tahun 2008 diproyeksikan 1,25 miliar ekor, atau naik 8,7% dibanding tahun 2007. Populasi ayam petelur diproyeksikan 104,8 juta atau naik 7,7% dibanding tahun 2007. Dan konsumsi pakan tahun 2008 diperkirakan 8,13 juta ton, naik 7% dibanding tahun 2007.

Tantangan Tahun 2008
Semua pembicara seminar sepakat bahwa di tahun 2008 pelaku usaha perunggasan kemungkinan akan menghadapi masalah serius yaitu:
1. Dampak kenaikan harga minyak dunia yang langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kenaikan biaya produksi.
2. Harga pakan cenderung terus meningkat, akibat kenaikan biaya transport dan harga bahan baku dunia.
3. Kemungkinan terjadi Oversupply DOC, yang menyebabkan harga DOC maupun harga ayam broiler jatuh.
4. Penyakit AI masih menjadi ancaman serius bagi peternak unggas, yang dampaknya langsung terhadap kematian unggas maupun dampak tidak langsung berupa isu media massa terhadap penurunan konsumsi produk unggas.
5. Daya beli masyarakat masih lemah serta gaya hidup konsumtif yang cenderung lebih mementingkan aspek penampilan (telepon seluler, rokok dan lain-lain) dan kurang memperhatikan konsumsi protein hewani.

Rekomendasi Seminar
Dari hasil rapat panitia yang terdiri dari Drh Ketut Tastra Sukata MBA (Moderator), Drh. Rachmat Nuriyanto MM (Moderator), Drh Suhandri (Ketua ASOHI Bidang Hubungan Antar Lembaga), Drh. Achmad Chariri (Ketua Panitia Seminar), dan Ir Bambang Suharno (Sekretaris Eksekutif ASOHI) menghasilkan beberapa rekomendasi untuk stakeholder perunggasan berupa:
1. Masyarakat perunggasan dengan dukungan pemerintah perlu melakukan kampanye konsumsi daging dan telur ayam. Terbukti protein telur dan daging ayam merupakan protein hewan paling murah dibanding sumber protein hewani lainnya. Pola pembiayaan kampanye konsumsi daging dan telur perlu didiskusikan lebih lanjut agar sebanyak mungkin masyarakat perunggasan berpartisipasi.
2. Perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian produksi DOC tanpa melanggar peraturan tentang persaingan usaha.
3. Pemerintah perlu mendorong pembangunan Rumah Pemotongan Ayam (RPA) di berbagai daerah agar penjualan ayam tidak lagi didominasi oleh ayam hidup sehingga fluktuasi harga ayam di tingkat peternak dapat dikurangi. Upaya ini sekaligus untuk mengendalikan penyebaran penyakit, dan seiring dengan upaya pemerintah DKI Jakarta agar ayam yang masuk ke wilayah DKI tidak lagi ayam hidup.
4. Dalam rangka peningkatan penanggulangan penyakit Avian Influenza diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan biosekuriti dan pelaksanaan vaksinasi yang lebih baik
5. Diperlukan koordinasi dan kerjasama berbagai pihak termasuk Pemda agar terjadi peningkatan produksi bahan baku pakan lokal khususnya jagung seiring dengan meningkatnya produksi pakan unggas.
6. Diperlukan dukungan Pemerintah agar ikut menciptakan kondisi yang kondusif bagi industri perunggasan misalnya penanganan izin rekomendasi impor dan registrasi obat hewan serta meninjau kembali Perda-Perda yang menimbulkan biaya tinggi.

Berbagai tantangan bagi pelaku bisnis perunggasan memang menjadi cambuk bagi sektor ini untuk terus bergeliat. Namun bila semua tantangan tersebut dianggap sebagai peluang tentu akan dengan mudah dicari solusi bersama agar sektor perunggasan terus jalan dan tumbuh melewati tahun 2008. (wan)

Industri Obat Unggas 2008 Tumbuh 7,1%

(( Berdasar data-data ekonomi, keuangan dan prediksi industri yang dikumpulkan, serta angka-angka asumsi dibuat, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008 industri obat unggas tumbuh 7,1 persen. ))

Pada tahun 2008, Industri Obat Unggas, sebagai industri hilir, diprediksikan akan tetap bertumbuh sebesar 7,1%. Demikian kata Freddie Hadiwibowo DMS, dari PT SHS Internasional selaku Anggota Dewan Pakar Asosiasi Obat Hewan Indonesia dalam seminar tentang Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta 7 November 2007.
Freddie Hadiwibowo mengungkapkan bahwa berdasar Wood Mackenzie, 2007, Pasar Obat Hewan Dunia dalam tahun 2006 masih tumbuh sebesar 7,7% dari tahun sebelumnya.
“Sampai dengan bulan Juni 2007, pertumbuhan penjualan secara global dari Perusahaan Multinasional dalam Industri Obat Hewan adalah rata-rata 11,8%,” kata Freddie menyitir Wood Mackenzie tersebut.
Adapun berdasar Bank Indonesia & Business Monitor International, Q3 2007, Freddie mengungkap bahwa dalam tahun 2008, indikator ekonomi memprediksi PDB Nasional masih akan tumbuh sebesar 6,1%, inflasi diperkirakan agak menurun menjadi 5,3%.
Di tahun 2008, Industri perunggasan di Indonesia diprediksikan akan bertumbuh sebesar 6,5 – 7,0 %. Menurut Freddie, seluruh prediksi tersebut di atas akan terealisir apabila: Harga minyak masih dalam kisaran 80 - 90 US$/barel.
Lalu, tidak ada gangguan keamanan yang berarti selama masa persiapan Pemilu dalam tahun 2008. Serta, adanya deregulasi dan debirokratisasi Pemerintah untuk bidang industri perunggasan dan obat hewan.
Freddie Hadiwibowo DMS membuat kesimpulan tersebut berdasar data-data ekonomi, keuangan dan prediksi industri yang ia kumpulkan, serta angka-angka asumsi yang ia buat.

Peran Strategis Peternakan
Menurut Anggota Dewan Pakar ASOHI ini, sampai kapanpun, terutama untuk Indonesia, agribisnis peternakan dan pertanian akan selalu memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional.
Menurutnya, World Development Report (WDR) mengungkap bahwa pada periode 1995-2003, pertanian menyumbang rata-rata 7 persen terhadap pertumbuhan PDB di negara-negara berkembang, seperti China, India, Indonesia dan Thailand. Padahal sektor tersebut mencakup sekitar 13 persen perekonomian dan mempekerjakan lebih dari separuh tenaga kerja yang ada.
Bank Dunia memperhitungkan, target penurunan tingkat kemiskinan dan kelaparan yang barah pada tahun 2015 takkan tercapai jika sektor pertanian dan pedesaan terabaikan. Sehingga, mereka menghimbau dan menekankan vitalnya agar Pemerintah di negara-neraga berkembang mepreoritaskan investasi di sektor pertanian untuk mengatasi kemiskinan, termasuk Indonesia.
Perhitungan itu disampaikan dalam Laporan Pembangunan Dunia (World Development Bank/WDR) yang terbaru bertajuk “Agricuture For Development” (“Pertanian Untuk Pembangunan”) yang diluncurkan di Washington DC tanggal 20 Oktober 2007.
Freddie pun mengajak kita kembali ke sektor Agribisnis Peternakan, di mana Indonesia masih jauh dari kecukupan protein hewani, konsumsi daging per kapita per tahun baru mencapai 8,5 kg (Data USDA-GAIN Report Oktober 2007).
“Dari angka tersebut daging ayam hanya 4,5 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur pun hanya 67 butir/kapita/tahun,” katanya.
Menurut Freddie, angka konsumsi tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN, disertai dengan program Swa-sembada daging sapi 2010 yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya.
Kalau dilihat dari sisi positif, tegas Freddie, “Sektor Agribisnis masih merupakan suatu sektor yang cukup menjanjikan dan memang harus lebih dikembangkan di tahun-tahun mendatang.”

Analisa Kualitatif
Untuk memprediksi perkembangan perunggasan dalam negeri secara umum dan khususnya industri obat unggas di tahun 2008, Freddie Hadiwibowo DMS mengatakan bahwa kita perlu melakukan analisa dan prediksi dari dua aspek, aspek kualitatif dan aspek kuantitatif.
“Dalam aspek kualitatif sendiri sebetulnya ada beberapa aspek yang bisa dilakukan,” kata Freddie.
Namun, lanjutnya, yang paling dominan adalah aspek ekonomis dan juga aspek polkam atau politik dan keamanan, karena di sektor industri manapun aspek polkam akan selalu merupakan faktor yang sedikit banyak akan mempengaruhi perkembangan industri itu sendiri.

Lingkungan Strategis Global
Diungkap oleh Direktur PT SHS Internasional Freddie Hadiwibowo DMS, negara negara produsen unggas yang potensial seperti Brazil dan China, dan beberapa negara di Eropa, mereka juga sedang direpotkan oleh penyakit Avia Influenza.
Karenanya, katanya, produk- produk unggas dari negara-negara bersangkutan tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu masalah kehalalan tetap merupakan isu utama yang membantu menghambat masuknya produk unggas ke Indonesia, termasuk dari USA.
Di sisi lain, lanjutnya, produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku pakan seperti jagung dan bungkel kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina, Brazil, Peru, Chili dan lain-lain, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia.
“Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock dan Parent Stock,” tegas Freddie. Diharapkan pada tahun 2008, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor/ekspor bahan baku pakan dan Grand Parent Stock/Parent Stock.
Adapun, menurut Freddie, harga minyak global yang bergejolak hingga mencapai US$ 90 per barel sampai saat ini masih bisa teratasi meskipun dalam APBN tahun 2007 harga minyak hanya diperhitungkan US$ 65 per barel.
Namun, kenaikan sampai mencapai US$ 100 per barel tahun 2008 tentu akan berdampak cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Indonesia.
Karena, paparnya, keuntungan tambahan yang kita peroleh tidak cukup untuk menutupi defisit yang terjadi akibat naiknya harga harga komoditi secara global, yang kemungkinan disertai tidak tercapainya target lifting minyak yang dicanangkan akan mencapai 1,034 juta barel per hari (mbpd).

Lingkungan Strategis Regional
Di hadapan peserta Seminar Nasional yang datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, pada dasarnya Lingkungan Strategis Regional hampir sama dengan Lingkungan Strategis Global, baik dari segi penyakit Avian Influenza dan pasokan bahan baku pakan dan parent stock, maupun pengaruh kenaikan harga minyak.
Ia memaparkan bahwa, hanya isu politik dan keamanan yang masih ada gojolak dibeberapa negara Timur Tengah dan beberapa negara ASEAN, termasuk terjadinya gangguan keamanan sebagai akibat dari gerakan separatis, yang berpengaruh terhadap keamanan perbatasan.
“Selain itu hal tersebut juga menyebabkan maraknya penyelundupan yang sulit diawasi, termasuk penyelundupan hasil produksi ternak/unggas,” ungkap Freddie.

Lingkungan Strategis Nasional
Adapun berdasar Laporan Survei Persepsi Pasar dari Bank Indonesia untuk Triwulan III 2007, pertumbuhan ekonomi sampai dengan Twiwulan Pertama tahun 2007 diperkirakan dapat mencapai 5,1-6,0%. Demikian orang penting di ASOHI ini.
Menurutnya, pemerintah juga masih optimis bahwa pertumbuhan ekonomi 6,8% tahun 2007 bisa tercapai karena masih cukup tingginya tingkat konsumsi masyarakat dan iklim investasi yang semakin kondusif.
Sehingga, “Kita juga dapat mengharapkan sektor Agibisnis Peternakan juga akan tumbuh sebesar 6,0-7,0% seperti yang kita prediksikan pada akhir tahun 2006,” tukas Freddie.
Diungkap oleh Freddie Hadiwibowo, peran daging ayam sebagai substitusi daging ruminansia terutama daging sapi akan terus berlanjut, bahkan peluangnya menjadi semakin besar. Hal tersebut didasarkan pada pasokan daging sapi yang semakin berkurang, untuk imporpun selain jumlahnya terbatas karena negara pemasok yang terbatas karena faktor penyakit, juga harganya relatif tinggi.
“Pada tahun 2008, diperkirakan harga daging sapi akan mencapai diatas Rp 50.000,- per kg,’ katanya. Selama 5 tahun terakhir, tren perkembangan perunggasan terbukti terus meningkat meskipun besarnya setiap tahunnya masih fluktuatif.
Namun, dari data produksi tahun tahun sebelumnya sampai dengan tahun berjalan tidak terjadi penurunan, termasuk prediksi tahun 2008 baik oleh GPPU maupun GPMT, dan juga PINSAR.
“Isu Flu Burung walaupun masih ada, namun karena tidak dikaitkan lagi dengan isu pemusnahan unggas, hal tersebut akan berdampak bahwa konsumen unggas tidak lagi dibayang-bayangi kehantuan terhadap infeksi Flu Burung akibat mengkonsumsi produk unggas,” lanjut Freddie.
Adapun menurutnya, selama kran impor daging ayam terutama paha ayam/CLQ masih tertutup, maka kebutuhan dalam negeri mau tidak mau harus dipenuhi oleh pasokan dari dalam negeri sendiri. Hal tersebut secara langsung juga akan mempertahankan produksi perunggasan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan dagin ayam yang memang masih relatif rendah.
“Pada tahun 2008, isu politik akan menghangat dengan mendekatnya Pemilu tahun 2009. Namun diharapkan gejolak politik ini hanya terjadi pada tingkat elite politik dan tidak merambat ke bidang ekonomi,” harap Freddie.
Namun yang jelas, menurutnya, bidang keamanan juga akan terganggu dengan menghangatnya isu politik seperti demonstrasi demonstrasi yang mungkin diantaranya ada yang direkayasa.
“Mudah-mudahan isu politik dan keamanan ini tidak menjadikan negara menjadi chaos. Kalau hal tersebut bisa dijaga dan dicegah, maka perekonomian negeri kita akan tetap laju dan dunia perunggasan juga akan terus berkembang. Semoga!” tegas Freddie. (ASOHI/ YR)



Pakan Ternak Tumbuh 7% Pertahun Capai 8,13 Juta Ton

(( Tahun 2008 konsumsi pakan berkisar 8,13 juta ton dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan peternakan 7%. ))

Untuk mengimbangi kenaikan produksi unggas, maka konsumsi pakan ternak nasional pada 2008 diperkirakan juga akan naik mencapai 8,13 juta ton. Adapun kebutuhan pakan ternak meningkat rata-rata 7% per tahun sejalan dengan peningkatan usaha sektor terkait.
Demikian Ir Anang Hermanta dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak dalam Seminar tentang Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta, 7 November 2007 melengkapi pernyataannya bahwa perkiraan sampai akhir 2007 konsumsi pakan nasional akan mencapai 7,6 juta ton.
Hal itu menurut Anang menyusul kondisi terkait yang makin surut akibat dampak kenaikan harga minyak dunia dan iklim usaha di dalam negeri yang belum kondusif.
Untuk memenuhi produksi pakan ternak itu, lanjutnya, industri pakan ternak membutuhkan sekitar 4,07 juta ton jagung, baik impor maupun lokal, sebagai bahan baku utama yang mencapai 50% kebutuhan bahan baku pakan.
Selain jagung, bahan baku lain juga sebagian masih tergantung impor, a.l. bungkil kedelai 1,62 juta ton, tepung tulang & daging (meat bone meal/MBM) serta tepung daging unggas (poultry meat meal/PMM) 400 ribu ton, dan premix 50 ribu ton.
“Dengan kondisi seperti sekarang, apalagi kenaikan harga minyak dunia, kenaikan harga pakan terjadi di seluruh dunia karena bahan baku itu ikut naik. Selain memang barangnya yang naik, biaya angkut juga naik.”
Karena itu, kata Anang, produsen makanan ternak terus meminta pemerintah memberikan insentif sehingga kenaikan harga pakan tidak terlalu tinggi.

Harga Bahan Baku
Saat ini, data GPMT menunjukkan harga bahan baku makanan ternak naik rata-rata lebih dari 30%. Akibatnya sejak Juli harga pakan naik lebih dari Rp300 per kilogram menjadi rata-rata Rp3.675 untuk pakan ayam pedaging (broiler).
Sementara itu, harga pakan ayam petelur naik dari Rp2.550 per kilogram pada Juli 2007 menjadi Rp2.950 per kilogram.
“Harga jagung impor sekarang sudah US$306 per ton dari harga Juli 2007 sekitar US$220 per ton. Sama juga harga bungkil, MBM, dan PMM yang juga naik. Kalau tidak ada upaya pemerintah, sektor peternakan bisa hancur. Padahal kita selalu mengharapkan ada kenaikan pertumbuhan usaha paling tidak 7%.”
Tanpa upaya nyata, kata Anang Hermanta, dampak di sektor perunggasan akan tampak nyata pada harga unggas yang bakal meningkat di atas Rp20.000 per kilogram dari harga rata-rata saat ini sekitar Rp16.000 per kilogram.

Didominasi Pakan Unggas
Sebesar 83 % pakan ternak dibutuhkan untuk unggas. Sisanya, 6 % pakan untuk babi, 3 % pakan sapi perah, 7 % pakan akuakultur, dan 1 % pakan ternak lainnya. Adapun biaya utukpakan ternak ini mencapai 70% dari biaya produksi hasil ternak seperti daging dan telur ayam.
Menurut Anang Hermanta, pakan ternak memang tidak bisa dipisahkan dari rangkaian mata rantai usaha peternakan. Bila Peternakan berkembang, permintaan pakan meningkat, konsumsi bahan baku pakan juga meningkat.
“Pakan ternak berperan strategis,” katanya. Hal ini terkait dengan 70% dari biaya produksi hasil ternak seperti daging dan telur ayam tersebut.
Pakan ternak sendiri, menurut Anang Hermanta terkait harga bahan baku global. Secara nilai rupiah, lebih dari 60% tergantung dari bahan baku impor seperti: jagung, bungkil kedele, meat dan bone meal, poultry meat meal, corn gluten meal, rape seed meal, dll.
Menurut eksekutif PT Sinta Prima Feedmill ini, kualitas pakan sangat menentukan keberhasilan usaha peternakan. Untuk itu harus didukung dengan ketersediaan bahan baku yang berkualitas.
Keberhasilan penyediaan pakan ternak ini menurutnya terkait dengan kebijakan pemerintah. Ir Anang berharap, pemerintah sanggup membebaskan bea masuk 5% atas jagung impor. Lalu, meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Dan, membuka impor US Meat and Bone Meal secara terbuka.
Bahan baku pakan kenapa melonjak dan bahkan lonjakannya drastic hingga sulit diikuti oleh kenaikan harga ayam dan telur. Penyebab naiknya harga ini diantaranya adalah kekeringan di Australia, gangguan cuaca di beberapa negara lain, penggunaan jagung dan biji-bijian lain untuk biofuel telah mendongkrak semua grain & bahan baku pakan ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu Kenaikan harga minyak dunia yang telah mencapai lebih dari US$ 90/barel menimbulkan persaingan baru (grain for food, feed & fuel).
Hal tersebut berdampak pada harga bahan baku global. Dari catatan GPMT periode Juli-Nop 2007 harga bahan baku seprti jagung naik dari 220 US$/MT menjadi 306 US$/MT, SBM naik dari 320 US$/MT menjadi 475 US$/MT, MBM naik dari 410 menjadi 575 US$/MT, CGM naik dari 530 US$/MT menjadi 675 US$/MT, dan PMM 500 US$/MT menjadi 740 US$/MT. Bahkan biaya pengapalan dari USA pun ikut naik dari 60 US$/ton menjadi 145 US$/ton.
Sudah barang tentu perunggasan nasional terkena imbasnya, harga pakan rata-rata naik sebesar Rp 450/kg sejak 3 bulan terakhir dan masih berpotensi naik lagi Rp 500/kg. Harga DOC anjlok menjadi Rp 1.000-1.500/ekor. Kalkulasi harga ayam dengan harga DOC di atas dan harga pakan saat ini Rp 3.700/kg maka BEP broiler ex farm sekitar Rp 8.700/kg, kenyataan harga jual karkas eceran rumah tangga sekitar Rp 16.000/kg. Jika pakan naik jadi Rp 4.200/kg dan DOC Rp 2.500, maka BEP ex farm mencapai Rp 10.500/kg yang bisa memicu harga jual karkas eceran rumah tangga mencapai di atas Rp 20.000/kg. Mungkinkah ini terjadi karena kita tetap harus mewaspadai lemahnya daya beli masyarakat.
Bila boleh membandingkan, kenaikan harga pakan terjadi di seluruh dunia. Bedanya kalau di Indonesia, BEP naik harga jual ayam tetap rendah sedangkan di negara lain harga ayam dan DOC ikut naik secara proporsional karena daya beli kuat dan saluran distribusi yang efektif. Sebagai contoh harga broiler di Malaysia 1,20 US$/kg dengan harga DOC 0,50 US$/ekor.

Permasalahan Bahan Baku Pakan
Ir Anang Hermanta pun menguraikan permasalahan bahan baku pakan secara lebih lengkap. Permasalahan itu adalah Bea Masuk Jagung Impor sebesar 5%. Jagung impor dikenakan BM 5% sesuai Peraturan Menkeu No: 591/2004. Tujuannya untuk membantu petani jagung meningkatkan produksi jagung nasional.
“Kenyataannya, produksi jagung dalam negeri masih tetap kurang meskipun sudah diterapkan BM 5%,” kata Anang seraya berpendapat bahwa hal ini menunjukkan ada penyebab lain yang menghambat.
Anang mengatakan bahwa harga jagung lokal selalu jauh diatas biaya pokok produksi. Di sisi lain peternak mendapat tambahan beban biaya pakan. Maka, “Diusulkan pembebasan BM 5% terhadap jagung impor sampai produksi jagung nasional mencukupi tanpa impor,” tegasnya.
Permasalahan Bahan Baku Pakan yang lain adalah Meat and Bone Meal asal USA. Anang mengungkap bahwa sejak Agustus 2006 impor MBM asal USA dibuka terbatas bagi satu produsen, Baker Comodity Inc., USA. Tujuan pembukaan impor MBM asal USA untuk menambah alternatif impor selain dari Australia & New Zealand, sehingga lebih bersaing menurunkan harga.
Namun, karena hanya satu produsen asal USA, maka harga justru tetap tinggi mengikuti harga MBM asal Australia & New`Zealand. Oleh karena itu, “GPMT mendesak pemerintah segera membuka impor MBM asal USA secara terbuka dari banyak produsen dan bebas melakukan impor langsung kepada produsen,” tutur Anang.
Pada saat itulah, produsen lain yang menunggu ijin masuk antara lain: Conagra, Excel, Darling. Proses pembukaan ijin impor ini menurut GPMT sangat lamban.
Ada pun yang juga menjadi permasalahan bahan baku pakan, menurut GPMT, adalah penanganan kasus penyelundupan MBM yang sangat lemah. Ditemukan kasus penyelundupan MBM asal Inggris pada tanggal 23 Agustus 2007 sebanyak 112 peti kemas berisi 2,056 ton. Pelakunya PT Tahta Muria Wahana (TMW) yang MBM-nya diimpor dari Gulf English Trading asal Virgin Island, Inggris.
Kasus serupa terjadi di Tanjung Perak, Surabaya tahun 2006. Namun sangat disayangkan, “Pelaku tidak jera karena sangsi tidak tegas,” sesal Anang.
Menurutnya, pengaruh hal ini bagi pabrik pakan anggota GPMT, adalah menimbulkan kesulitan karena semua ijin pemasukan MBM dan bahan baku impor lain yang legal diperketat dan sangat menghambat. “Ironisnya penyelundup tidak ditindak, importir legal “dipersulit” dan menimbulkan biaya tinggi,” keluh Ir Anang Hermanta.
Selain hal tersebut, Anang menambahkan, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam Permentan No. 61/2007 yang mengijinkan masuknya MDM ke Indonesia melemahkan perjuangan menolak masuknya paha ayam atau Chicken Leg Quarter (CLQ).
Selama ini dasar yang digunakan oleh Pemerintah untuk menolak CLQ masuk adalah dengan syarat ASUH (Aman, Sehat Utuh dan Halal). CLQ berupa potongan paha ayam sehingga tidak memenuhi syarat “utuh”, maka diragukan kehalalannya.
Jika CLQ yang berupa potongan paha ayam atau sayap tidak memenuhi syarat ASUH, tentunya MDM yang berbentuk bubur daging ayam lebih diragukan kehalalannya. Namun bilamana MDM yang tidak memenuhi syarat ASUH tersebut diijinkan masuk maka akan melemahkan argumentasi penolakan masuknya CLQ dengan dalih tidak “utuh” atau tidak memenuhi syarat ASUH.

Kendala yang Harus Diantisipasi
Kendala yang harus diantisipasi adalah inflasi meningkat tajam di tahun 2008 akibat kenaikan BBM, yang akan berdampak pada penurunan daya beli. Harga pakan akan naik tajam sedangkan harga daging dan telur ayam tidak mengikuti kenaikkan biaya pokok produksinya.
Kendala berikutnya, belum tuntasnya penanganan Flu Burung di Indonesia. Juga, tambah Anang, perlu upaya meningkatkan produksi jagung dalam negeri.
Sementara itu, RUU Peternakan dan Keswan yang masih cenderung menonjolkan pada ancaman hukuman bagi pelaku usaha, berpotensi menurunkan minat investor, karena banyak sanksi-sanksi yang sifatnya kurang mendidik atau berlebihan.
“UU Peternakan dan Keswan harus menciptakan daya tarik dan rasa aman-nyaman bagi investor untuk masuk ke bisnis peternakan nasional,” harap GPMT.

Harapan GPMT
Oleh karena itu, GPMT berharap semua pelaku perunggasan perlu menjaga keseimbangan supply-demand DOC dan daging ayam broiler.
Selanjutnya, seluruh stakeholder perunggasan dan pemerintah segera mewaspadai dan mengambil langkah nyata untuk menghadapai situasi yang sangat sulit saat ini.
Langkah nyata sesuai harapan GMT, diungkap Anang adalah, “Pangkas biaya-biaya yang berlebihan.”
Lalu, “Tekan high cost economy berkaitan dengan peraturan-peraturan yang eksesif, perda-perda tumpang tindih, bea masuk, biaya pengawasan mutu, biaya karantina antar area, dan lain-lain.”
Kemudian, “Dekatkan harga ex farm dengan harga eceran rumah tangga, pangkas saluran distribusi.”
Akhirnya, tegas Ir Anang Hermanta, “Perlancar importasi bhn baku pakan yang bisa menyebabkan tambahan biaya demurage, OB san lain-lain akibat lambatnya pengurusan SPP impor, proses karantina dan bea cukai tanpa mengorbankan keamanan pangan nasional.” (YR/wan)

Broiler Naik 8,7 Persen dan Layer Meningkat 7,7 Persen

(( Diperkirakan terjadi peningkatan produksi broiler 8,7% menjadi 1,25 juta ekor untuk menghasilkan 1,82 juta ton daging ayam. Dan, terjadi peningkatan populasi layer 7,7% menjadi 104,8 juta ekor untuk menghasilkan 1,43 juta ton telur. ))

Prospek sektor perunggasan nasional 2008 diproyeksi lebih cerah dibandingkan dengan tahun 2007. Diperkirakan terjadi peningkatan produksi broiler 8,7% menjadi 1,25 juta ekor untuk menghasilkan 1,82 juta ton daging ayam. Dan, terjadi peningkatan populasi layer 7,7% menjadi 104,8 juta ekor untuk menghasilkan 1,43 juta ton telur.
Demikian Ketua Umum Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional (Pinsar) Drh Hartono dalam Seminar Nasional Prospek Bisnis Perunggasan 2008 di Hotel Peninsula Jakarta November 2007.
Menurut Hartono, pelaku bisnis terkait masih optimistis permintaan produk unggas di dalam negeri tidak akan surut kendati usaha ini masih terancam imbas kenaikan harga minyak dunia dan penurunan daya beli konsumen. Hal ini karena produk unggas tetap akan menjadi komoditas termurah dibandingkan bahan makanan lain, seperti ikan dan daging meski kondisinya juga cukup sulit.
“Dengan harga BBM yang makin mahal, ikan juga akan sulit di dapat karena kapal tidak melaut. Daging sapi juga pasti akan lebih mahal. Ayam dan telur yang masih akan tetap dicari,” ujar Drh Hartono.
Ketua Pinsar ini memperkirakan harga karkas ayam akan mencapai Rp 22.000 per kilogram atau lebih dari 25% dibandingkan harga saat ini.
“Tapi, meskipun harga naik, ayam dan telur masih dapat bersaing dengan kompetitornya seperti daging sapi dan ikan yang juga pasti akan jauh lebih mahal. Ayam dan telur ini tetap akan menjadi sumber protein yang termurah.”

Dugaan Yang Selama Ini Dipercaya
Dalam rangkaian pendapatnya, Drh Hartono mengungkap dugaan yang selama ini dipercaya bahwa pertumbuhan ekonomi nasional akan mendorong pertumbuhan bisnis unggas dalam angka yang relatif sama.
Oleh karena itu, katanya, selama setidaknya tiga tahun terakhir, pertumbuhan bisnis unggas diperkirakan diatas 5% per tahunnya. Ini berarti setidaknya telah terjadi pertumbuhan bisnis unggas sebesar 15% secara kumulatif dalam tiga tahun terakhir.
Maka, lanjutnya, ketika pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2008 mendatang sebesar 6.8%. Pertumbuhan bisnis unggas pun diproyeksikan pada angka yang relatif sama.

Kecurigaan
Namun Drh Hartono juga mengungkap kecurigaan, “Apakah benar bahwa bisnis unggas telah mengalami pertumbuhan sebagaimana anggapan tersebut?” tanya Ketua Pinsar ini.
“Berdasar pada data yang seperti apakah dugaan tersebut dibangun?” lanjutnya.
“Fakta-fakta apa sajakah yang dapat dipakai sebagai landasan dari dugaan tersebut?” tanya Hartono lagi.
Serta, “Bagaimanakah memperkirakan prospek bisnis unggas untuk tahun 2008 mendatang?” pungkas pertanyaan Drh Hartono.

Fakta Perekonomian Nasional
Ketua Pinsar ini pun mengungkapkan sejak kenaikan BBM pada oktober 2005, penurunan daya beli masyarakat terjadi sangat signifikan yang hingga tahun 2007 ini masih belum mengalami pemulihan secara berarti.
Angka pertumbuhan ekonomi nasional yang selama ini diumumkan oleh pemerintah, menurut Hartono tidak dapat serta-merta berpengaruh terhadap perekonomian nasional oleh sebab kualitas pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan berkurang kualitasnya.
Oleh karena itu menurut Hartono, diperkirakan daya serap tenaga kerja berkurang, sementara angka pengangguran serta kemiskinan menjadi bertambah. Pertumbuhan ekonomi nasional dalam tiga tahun terakhir ini juga kurang mencerminkan bergeraknya sektor riil yang merangkak pelan.

Realitas Data Produksi Unggas
Drh Hartono juga mengungkapkan realitas data produksi unggas bahwa sementara faktor flu burung semakin memperumit perkiraan data yang sesungguhnya. Data produksi pakan ternak yang diperkirakan paling mendekati realitas dilapangan melalui angka impor SBM, juga menemui masalah ketika terjadi kelangkaan MBM serta komponen bahan baku pakan ternak lainnya.
“Satu-satunya indikator yang dapat dipakai secara memuaskan adalah harga jual panen ex-farm,” kata Ketua Pinsar ini.
Gambaran pergerakan harga broiler dan telur di pasar unggas untuk tahun 2007. Rata-rata harga broiler nasional Rp. 8.898/kg, rata-rata harga telur nasional RP. 8.186/kg, sementara rata-rata persepsi pasar broiler 0,973 dan sementara rata-rata persepsi pasar telur 0,978.
Hasil catatan Pinsar menggambarkan persepsi pasar menunjukkan angka sepi saat berada di poin 0,90; persepsi pasar menunjukkan angka sedang saat berada di poin 1,00 dan persepsi pasar menunjukkan angka ramai saat berada di poin 1,10
Untuk itulah, Hartono yang dokter hwan alumnus FKH IPB menyimpulkan adalah sulit memperkirakan adanya pertumbuhan atau pun kontraksi pasar nasional melalui data harga jual belaka. Tetapi, indikator persepsi pasar nasional lebih cenderung menunjukkan kelesuan pasar nasional secara keseluruhan daripada sebaliknya.
Adapun, terjadinya kenaikan rata-rata harga jual diiringi dengan penurunan persepsi pasar, menunjukkan adanya penurunan produksi di tahun 2007 dibanding dengan tahun 2006.
Dengan memperhatikan indikator persepsi pasar nasional serta masih lambannya ekonomi sektor riil, Pinsar Unggas Nasional pada akhir 2006 memperkirakan sangat sulit mengharapkan adanya pertumbuhan bisnis unggas pada tahun 2007. Hal yang sama sepertinya akan terulang untuk tahun 2008 mendatang, terlebih dengan adanya ancaman kenaikan harga minyak dunia yang sulit dihindarkan.
Barangkali terdapat perbedaan pandangan Pinsar Unggas Nasional yang diketuai Drh Hartono ini dibanding narasumber lain dalam seminar perunggasan nasional tersebut.
“Catatan suram ini bukan bermaksud melemahkan semangat pelaku bisnis unggas, sebaliknya justru ingin menggambarkan betapa besar dan kerasnya tantangan kerja yang harus dihadapi segenap pelaku bisnis unggas pada tahun 2008 mendatang,” pungkas Drh Hartono. (wan/YR)

HOMO ECONOMICUS

Ruang Redaksi Majalah Infovet Edisi 161 Desember 2007

Dengan penuh kepedulian Tim Infovet meliput Seminar Nasional Prospek Perunggasan 2008 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia 7 November 2007 di Hotel Peninsula Jakarta.

ASOHI mempercayakan penyelenggaraan acara ini pada Divisi Event Organizer PT Gallus Indonesia Utama. Infovet juga salah satu divisi pada PT Gallus ini, bersama-sama Divisi Majalah Satwa Kesayangan, Divisi Penerbit Buku Gita Pustaka, dan Divisi G Multimedia. PT Gallus sendiri merupakan badan usaha yang dimiliki oleh ASOHI.

Tergambar dengan jelas, antara Infovet, EO, PT Gallus dan ASOHI merupakan satu keluarga besar. Di sini berlaku prinsip manajemen, di mana sesungguhnya setiap organisasi dan pengorganisasian adalah sebuah manajemen. Korporasi sebagai istilah lain dari perusahaan sendiri, berasal dari bahasa Latin korpus, yang artinya tubuh.

Tubuh mempunyai anggota, organ-organ, berupa tangan, kaki dan lain-lain, begitulah PT Gallus yang dimiliki oleh ASOHI ini juga punya divisi-divisi termasuk Majalah kesayangan Anda ini.

Untuk menjalankan organisasi dibutuhkan manajemen. Ketika membicarakan manajemen, berarti membicarakan organisasi. Pembicaraan tentang manajemen sudah berlaku sangat lama dalam sejarah manusia. Bahkan ketika tokoh-tokoh dunia Machiavelli, Thomas Hobbes dan Adam Smith berbicara tentang organisasi mereka sudah berbicara tentang manajemen.

Pada saat menjalankan roda organisasi perusahaan dengan manajemen itu, ada suatu nilai yang dikejar setiap perusahaan, yaitu nilai ekonomi. Apakah yang mendasari nilai ekonomi ini?

Adam Smith (1723-1790) mempunyai konsep dalam perdagangan manusia digerakkan oleh kepentingan diri sendiri. Namun ilmuwan-ilmuwan selanjutnya menciutkan konsep ini menjadi manusia adalah makhluk yang dipenuhi oleh kepentingan diri sendiri, menyulut konsep Homo economicus.

Selanjutnya, konsep homo economiscus secara ekstrim mendominasi pelabelan citra manusia bahwa yang menggerakkan semua banyak bidang kehidupan selalu diukur dari kepentingan ekonomi semata. Padahal, semula, Adam Smith menyatakan sifat homo ecomomicus ini hanya bagian dari sifat manusia dalam konteks perdagangan, bukan citra diri manusia secara ekstrim.

Sementara itu, masih banyak cita manusia yang lain, bukan hanya makhluk ekonomi, namun juga makhluk sosial, makhluk religius, makhluk budaya, makhluk sejarah dan lain-lain. Sebagai satu kesatuan diri manusia, manusia tinggal mewujudkan keseluruhan sifatnya secara intuitif menghadapi semua persoalan kehidupan, bukan hanya dari sisi ekonomi sebagai kedirian yang ekstrim sebagai homo economicus.

Dalam konteks perusahaan PT Gallus di mana Infovet sebagai satu organ, setidaknya konsep-konsep para tokoh ini dapat terefleksikan. Sentuhan-sentuhan manajemen roda ekonomi dari Infovet terasa diwarnai berbagai sisi kehidupan manusia, baik sisi ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan kedokteran hewan dan peternakan, pendidikan dan lain-lain.

Katakanlah, Infovet mencoba menyeimbangkan berbagai sisi dalam diri manusia, yang tercermin dari sajian-sajian untuk pembaca pada setiap edisi. Harapan yang sama juga berlaku untuk kita semua, terutama bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan-persoalan peternakan dan kesehatan hewan.

Sulit untuk dipungkiri pendekatan kita dalam menghadapi problem-problem peternakan dan kesehatan hewan, sejauh ini terasakan lebih didominasi paradigma ekonomi dan pembangunan, guna meningkatkan pendapatan negara maupun perusahaan.
Gambaran sejujurnya, masih banyak peredaran obat hewan ilegal yang dilaporkan dalam Infovet edisi November 2007. Masih ada upaya-upaya untuk mengatur peradagangan sarana produksi peternakan baik bibit, pakan, obat, peralatan dengan bermain-main di wilayah hukum yang bisa dikondisikan oleh pengaruh lobi-lobi. Bahkan juga menjalar pada impor produk-produk peternakan seperti MBM dan MDM yang beresiko penyakit sapi gila.

Citra Homo economicus yang ekstrim mestinya menyadari, bahwa penemu sifat ekonomi ini (Adam Smith) hanya menempatkan kepentingan ekonomi ini sebagai bagian dari diri manusia, bukan yang utama. Sedangkan Adam Smith sendiri menemukan konsep ini dengan bertumpu pada etika moral, sebagai suatu mata rantai dari pengenalan manusia sejak abad-abad sebelumnya sebagai Homo Sapiens, makhluk berjalan berkaki dua yang berpikir.

Di sini kita disadarkan bahwa dalam bisnis pun kita mesti mengakomodasi nilai-nilai dalam diri manusia secara utuh bukan hanya nilai ekonomi. Akomodasi itu pun dapat terlaksana dengan suatu manajemen, sehingga kita menyongsong tahun baru 2008 dengan sikap positif dan lebih maju. (Yonathan Rahardjo)

HARGA NOMOR SATU, KUALITAS NOMOR SEKIAN?


Di tengah belantara puluhan merk obat hewan yang demikian banyak, maka untuk memilih dan memutuskan suatu pilihan produk yang benar-benar tepat bagi kepentingan produksi ayam potong maupun petelur bukanlah perkara yang mudah. Demikianlah benang merah yang dapat dipetik dari perbincangan ”Diskusi Informal Rutin Kamis Petang” dengan para pemasar obat hewan di kawasan Yogyakarta.
Drh Haji Taufiq Junaedi MMA sebagai dedengkot Diskusi Informal Rutin Kamis Petang itu menyimpulkan bahwa masalah ketepatan menentukan pilihan ada banyak aspek yang melingkarinya. Setidaknya ada aspek Pertama Harga, Ke dua Kualitas, Ke tiga Hubungan personal Peternak/pengelola dengan pihak pemasar dan Ke empat Orientasi peternak/pengelola.
Drh Sulaeman P Rejo melihat bahwa aspek kualitas inheren dengan harga, sehingga jika produk Vitamin, contohnya; dengan harga yang sangat murah dapat dipastikan aspek kualitas menjadi sesuatu yang patut untuk dipertanyakan.
Sebab sekarang ini ketika kompetisi pemasaran obat hewan demikian ketat, maka produsen bisa mematok harga yang sangat murah, sehingga mendekati harga yang kurang rasional.
”Vitamin untuk menggenjot produksi telur kok sangat murah sekali, bahkan dengan harga tepung, maka patut dipertanyakan apakah isi sebenarnya kandungan produk itu. Namun pada kenyataannya para peternak yang berbondong-bondong mencoba produk itu juga tidak sedikit,” keluh Sulaeman.
Barangkali, lanjut Sulaeman tanpa diberi produk vitamin yang termasuk katagori demikian itu ayam tetap berproduksi.
Namun Durrahman seorang peternak ayam potong justru punya pendapat yang berseberangan bahwa memang seharusnya produk vitamin untuk kepentingan produktivitas haruslah murah. Sehingga seseorang jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa produk itu kurang berkualitas apalagi menyatakan tidak berkualitas. Justru seharusnya produsen dituntut untuk membuat produk yang nyata hasilnya atau berkualitas tetapi tetap murah.
Janganlah produsen berdalih sebuah produk kurang berkualitas jika dijual dengan harga murah. Sebab pada dasarnya para peternak hampir semuanya berorientasi pada meraup keuntungan sebesar-besarnya tetapi dengan ongkos produksi yang serendah mungkin.
Betul juga Durrahman, jika sebuah produk obat hewan untuk kepentingan produktivitas di pasar dengan harga yang sangat murah menjadi banyak dipertanyakan, bagaimana dengan peran Lembaga Pemerintah yang bertugas menguji sebuah produk itu sebelum dipasarkan ke publik? Bukankah lembaga itu dibentuk oleh pemerintah salah satunya untuk melindungi publik agar tidak dijadikan korban?
Lain lagi pendapat Sulaeman yang dikuatkan oleh Drh Totok Jatmiko bahwa umumnya produk yang temasuk katagori murah itu biasanya tidak beregister, namun rantai pemasarannya demikian menggurita dan sulit untuk diputuskan.
Totok juga berujar, coba lihatlah di sentra-sentra ayam, seperti ayam petelur seperti di Blitar, Solo, Semarang ataupun ayam potong di Purwokerto dan Yogyakarta yang pola distribusi produk obat hewan illegal demikian kuat, realitas itu menjadi sangat sulit untuk dibenahi dan dicari sebuah kebenaran yang sebenar-benarnya.
Sedangkan Taufiq mencoba memberikan ilustrasi pola distribusi dan kualitas produk obat hewan untuk menggenjot produktivitas. Hubungan personal antara pihak peternak ataupun para pengelola/manajer farm di satu pihak dengan pemasar di pihak lain menjadi kunci kenapa produk yang murah itu begitu kuat di pasar padahal kualitasnya masih bisa diperdebatkan.
Eratnya hubungan yang demikian terjalin cukup lama, maka kepercayaan peternak sangat kuat dan tinggi, meski barangkali mungkin jika pemakaian produk itu dihentikan tidak akan berpengaruh pada penurunan produksi. Menjadi pekerjaan rumah bagi produsen yang tenaga pemasarnya umumnya muka-muka baru agar mampu membuktikan produknya mampu mendongkrak produktivitas, di samping membina hubungan personal yang intensif.
Harus diakui bahwa perilaku para tenaga pemasar saat ini, kurang mampu menjalin hubungan yang intens dengan para peternak. Barangkali beban berat tanggung jawab terhadap omset penjualan menyebabkan hal yang esensial itu kurang dibangun, padahal penjualan sebuah produk tidak bisa digantungkan hanya pada aspek kualitas semata, justru hubungan personal yang harus dikuatkan lebih dahulu.
Kondisi seperti ini memang sangat rumit, oleh karena kompetisi yang demikian ketat, maka perang bonus lebih dikedepankan daripada jalinan hubungan personal.
Totok sependapat dengan Taufiq bahwa jalinan komunikasi kurang kuat karena beban omset penjualan bulanan, di samping gempuran produk ilegal yang umumnya dipasarkan oleh para pemasar senior/muka lama. Terbatasnya waktu dan beban omset penjualan menjadi kendala utamanya.
”Aspek kualitas sudah di tangan, akan tetapi hubungan personal yang kurang kuat menyebabkan produk berkualitas kurang dapat diterima oleh para peternak. Di sisi lain perusahaan terus menekan dan mengejar untuk mendongkrak omset penjualan,” keluhnya.
Jika saja, lanjut Totok, lembaga yang berfungsi mengawasi peredaran obat hewan di pasar dapat lebih optimal menjalankan mekanisme kontrol dan pengawasan maka, sangat mungkin produk berkualitas rendah tidak laku di pasar. (iyo)

Broiler, Layer, Bisnis Obat dan OTT

KALIMANTAN TIMUR

Semenjak akhir Desember 2006 sampai dengan Maret 2007 kondisi perunggasan di Kalimantan Timur sangat tidak bagus, bahkan harga hasil produksi broiler sempat menyentuh harga terendah Rp. 3500/kg hidup.
“Padahal BEP nya sudah mencapai Rp 9000/kg. Perhitungan ini dengan harga DOC Rp 3500 ditambah pakan Rp 3400/kg,” kata Drh Sumarsongko, Ketua ASOHI Daerah Kalimantan Timur belum lama ini.
Sampai Agustus 2007, harga broiler sudah mencapai Rp. 9500. Bahkan pada bulan Juli sempat mencapai harga tertinggi yaitu Rp 11.500/kg hidup. Adapun untuk harga telur relatif stabil berkisar antara Rp 570–625 per butir.
Kalimantan Timur pada Agustus, bisa menghasilkan 55.000 s/d 62.000 ekor broiler per hari yang lebih dari 80% sudah dikuasai oleh grup integrator perusahaan besar.
“Adapun populasi ayam petelur kurang lebih hanya 700.000 ekor,” tutur Sumarsongko.

Kondisi Bisnis Obat Hewan
Dengan adanya situasi perunggasan seperti tersebut itu, Drh Sumarsongko menjelaskan obat hewan yang tidak mempunyai grup integrator mengalami kelesuan yang signifikan.
“Lain halnya dengan perusahaan obat hewan yang mempunyai grup kemitraan besar, untuk melayani intern saja kami rasa sudah lebih dari cukup untuk target omzet mereka,” katanya.
Menurutnya, adanya kondisi ini menimbulkan persaingan bisnis semakin tidak sehat, seperti jor-joran bonus, diskon, CN, bonus gelap, sleeping komisi dan lain-lain. Walaupun, hal tersebut adalah hak masing-masing perusahaan, namun demikian kondisi ini menurut kami sudah merupakan hal yang tidak wajar.
Belum lagi diperparah dengan beredarnya beberapa OTT yang dipakai oleh beberapa grup kemitraan, sehingga semakin mempersulit bagi perusahaan obat hewan yang di luar grup kemitraan.
Adapun dengan adanya perubahan sistem dari jaman Poultry Shop ke jaman Kemitraan/Integrator, maka baik langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi kondisi bisnis obat hewan, mengingat sebelumnya yang banyak berbisnis adalah Poultry Shop. Dengan hilangnya Poultry Shop maka implikasinya terhadap kegiatan pebisnis obat hewan dan pabrikan obat hewan sangat besar sekali.
Kegiatan bidang peternakan dan kesehatan di daerah ini antara lain di Expo Peternakan dan Produk Ikutannya serta sarana Pendukungnya di lapangan Milono Samarinda dalam rangka Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan Agustus/September 2006. Pada acara tersebut diadakan juga vaksinasi gratis untuk Rabies dan AI
Kantor Peternakan Kota Samarinda dan Panitia Porwanas pun mengadakan kampanye Aman makan Ayam dan Telur bertempat di Tepian Mahakam dan stadion Madya Samarinda. ASOHI Kaltim bekerjasama dengan Media Kaltim Post, menyediakan ayam goreng gratis pada saat acara jalan santai sehat keluarga sejahtera. Ada pula promosi pakan Samsung Grup di Hotel Grand Victoria Samarinda. Ada pula kontes ternak se Kaltim.

OTT
Beberapa hal yang dijumpai di lapangan bisnis obat hewan antara lain masih ada beredar beberapa obat hewan non registrasi/OTT, beredar vitamin/ obat yang dibilang organik non registrasi.
Untuk itu Pengurus ASOHI Daerah Kaltim menyatakan perlu tindakan yang betul-betul kongkrit bagi perusahaan yang masih mengedarkan OTT/ non registrasi.
“Setiap kemasan obat perlu tercantum indikasi, komposisi, cara pemakaian, nomor registrasi dan masa kadaluarsa. Diperlukan aturan main yang jelas tentang Persaingan yang sehat. Dan, petugas dari kantor Pusat Perusahaan Obat Hewan kalaupun mau menetap dan meninggalkan daerah dengan etika yang baik, sosialisasi dari pusatnya perlu ditingkatkan,” papar Drh Sumarsongko.
Menurutnya, ASOHI sudah waktunya memberikan konsep pembangunan peternakan yang berkesinambungan, padat karya dan tangguh, khususnya yang menyangkut obat hewan, sehingga UMKM hidup kembali. (ASOHI/YR)

KIAT PETERNAK MENGGENJOT PRODUKTIVITAS YANG PAS

Di khazanah akademis dan teoritis, membincangkan produktivitas ayam maka adalah bagaimana memberikan pakan dan cara mengelola ayam yang sesuai dengan kebutuhan ayam itu sendiri. Setidaknya ada lebih dari 36 jenis nutrien bersifat esensial dan harus terkandung dengan konsentrasi dan keseimbangan yang optimal dalam pakan ayam, demikian pustaka atau literatur menyebutkan.
Pakan yang demikian itu dapat mendukung ayam tumbuh dan berproduksi juga ber reproduksi. Jika dikelompokkan nutiren itu meliputi Protein, Karbohidrat, Lemak, Vitamin, Mineral dan Air. Sehingga produktivitas akan diperoleh jika kebutuhan itu terpenuhi dan ayam dikelola dengan baik dan benar.
Memang kelihatannya jika dibuat sebuah kalimat himbauan menjadi sangat sederhana dan mudah dipahami bagi awam. Namun sebaliknya di dunia praksis atau lapangan para peternak atau pengelola memandang persolaannya tidak sesederhana itu. Terlalu kompleks persoalannya. Interaksi antar faktor teknis dan non teknis menjadikan hal itu terus membelit perunggasan domestik.
Bicara kandungan protein dalm pakan saja, tidak akan lepas dari 20 buah asam amino. Juga kemudian mahalnya asam amino jenis tertentu, maka tentu saja langsung terkait dengan kualitas pakan dan juga harga.
Harga pakan kemudian berujung pada ongkos produksi budi daya. Padahal budi daya muaranya adalah mencari selisih antara biaya produksi dan harga jual alias keuntungan.
Banyak peternak menempuh jalan termurah agar produktivitas terjaga tetapi ongkosnya rendah. Di tengah himpitan dan tekanan harga pakan yang terus merangkak naik, maka aneka kiat ditempuh.
Ada yang mencampur dan membuat formula pakan sendiri, ada pula yang tetap menggunakan pakan pabrikan tetapi dengan mengkombinasikan dengan pakan formulanya sendiri.
Ada juga yang dengan upaya lain seperti memberikan zat pemacu pertumbuhan, juga memakai ramuan tradisional dalam rangka memelihara stamina ayam dan menggenjot produktivitas.
Menurut Durrahman ramuan tradisional seperti jamu godhogan di samping mampu menjaga kondisi kesehatan ayam ternyata mampu mendongkrak pertumbuhan ayam potong.
Durrahman tidak tertarik memakai zat pemacu pertumbuhan karena selain harganya yang tidak murah, juga karena lebih sreg dengan jamu godhogan. Hasil beberapa periode pemeliharaan ayam potong yang diberikan minuman jamu godhogan tidak hanya memberikan hasil nyata ayam lebih sehat saja tetapi juga pertumbuhan lebih baik.
Durrahman memang tidak melakukan penelitian namun atas dasar pengalaman empirisnya memelihara ayam potong yang diberi perlakuan air minum jamu godhogan memberikan hasil lebih baik. Ini memang masih bisa diperdebatkan, namun Durrahman bersikukuh dengan dalih dan alasan punya keyakinan dari pengalamannya.
”Orang lain boleh tidak percaya dengan cara saya berternak, karena saya juga tidak berniat menganjurkan, namun hasil yang saya lakukan merupakan bukti nyata,” ujarnya.
Adapun jamu tradisional yang ia gunakan adalah jenis ramuan tradisional yang diambil dari aneka daun-daunan berbagai tumbuhan, biji-bijian dan akar serta batang yang kemudian ia masukkan dalam sebuah drum besar kapasitas 200 liter.
Ditambah air sekitar 150 liter lalu dimasak selama 3-5 jam. Selanjutnya disaring dan kemudian diberikan sebagai air minum ternak selama 10 hari terakhir sebelum panen.
Menurut Durrahman ramuan itu ia peroleh dari nenek moyang yang biasa digunakan sebagai ramuan untuk manusia. Sebenarnya di pasaran sudah tersedia bungkusan atau kemasan jamu godhogan yang siap untuk dimasak.
Sehingga jika peternak mau mencoba, lanjut Durrahman bisa membeli saja tanpa harus mencari bahan baku itu di hutan. Mari kita buktikan kiat Durrahman itu.

Asam Amino Esensial

Berbicara 20 jenis asam amino itu setidaknya ada 10 jenis yang amino essensial. Artinya untuk kebutuhan sebuah pertumbuhan dan produksi serta reproduksi 10 jenis itu sangat mutlak ada.
Drh Haji Taufiq Junaedi MMA yang bergerak dalam disribusi obat hewan di Yogyakarta serta kenyang pahit-getir perunggasan menjelaskan bahwa pada ransum yang berbahan baku jagung dan bungkil kedelai meski sudah mengandung aneka asam amino atau kaya dengan protein saja harus ada tambahan asam amino jenis metionin.
Ini berarti jika sebuah sumber pustaka mensyaratkan produktivitas ayam pada faktor pakan dan kualitas budi daya, maka sebenarnya sangat kompleks sekali mikro faktornya.
Idealnya produk pakan ayam memang sudah mengandung aneka nutrien yang pas untuk sebuah produksi. Namun, hal itu menjadi rumit untuk diwujudkan oleh karena kualitas pakan sendiri dari pabrik harus melalui jalur distribusi dan penyimpanan.
Hal demikianlah salah satu faktor yang menyebabkan tidak terpenuhi syarat-syarat untuk sebuah produksi. Berkurangnya atau hilangnya beberapa nutrien dari pabrik menuju ke kandang tidak bisa dihindarkan.
Oleh karena itu maka akhirnya, para pelaku budidaya tidak akan bisa melepaskan begitu saja dari tambahan nutiren dari pakan produksi pabrikan. Artinya pemberian aneka nutiren termasuk vitamin dan mineral menjadi syarat mutlak jika menginginkan sebuah produktivitas yang ideal optimal.
Realitas lapangan memang ”multi kompleks”. Kata itu menurut Taufiq untuk menunjukkan bahwa sangat amat banyak variabel dan faktor yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, sangat penting sekali akademisi dan para pakar peneliti turun ke lapangan agar para peternak mendapatkan pencerahan dan mampu membantu mengurai problema produktivitas ayam.
Sedangkan yang terkait dengan pemakaian obat hewan dari golongan antibiotika, menurutnya jauh lebih mengkhawatirkan lagi. Berondongan dan gelontoran pemakaian preparat antibiotika di lapangan di Indonesia terutama pada peternakan komersial skala menengah dan kecil.
Hampir tidak bisa dibantah, menurut Taufiq pemakaian preparat itu tidak terkontrol oleh siapapun termasuk lembaga pemerintah yang sebenarnya mempunyai wewenang untuk hal itu. Yang mampu mengontrol tidak lain hanya pasar internasional. Sehingga sangat wajar dan dapat dimaklumi produk perunggasan Indonesia sangat sedikit yang mampu menembus pasar global.
Realitas lapangan peternak menggunakan preparat itu kapan saja ketika ayamnya sakit, tidak pernah mempertimbangkan batas waktu pemberian dan waktu henti obat yang penting ayam dalam jangka pendek selamat. Akhirnya pasti dalam jangka panjang akan muncul masalah resistensi dan tentu tingginya kandungan residu dalam produk unggas.
”Menurut saya aspek pengawasan pemakaian preparat antibiotika dan sulfa di peternakan komersial skala menengah dan kecil sudah menakutkan dan bahkan melewati lampu merah,” jelasnya.
Dengan nada prihatin ia menambahkan, ”Konsumen produk unggas domestik harus dilindungi agar tidak menambah parah problematik negeri ini. Sebab jika didiamkan dan tidak dihentikan kengawuran itu bukan tidak mungkin justru produk unggas domestik, nantinya tidak akan laku di negeri sendiri apalagi diekspor. Jika demikian, maka serbuan produk unggas sudah pasti akan masuk dengan sendirinya. (iyo)

MEMBUAT OBAT HEWAN YANG BAIK

Untuk mengatur seluruh proses produksi dan kontrol kualitas obat hewan secara baik dan benar sehingga dihasilkan suatu produk akhir obat hewan yang aman dan berkualitas diperlukan: Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).

Demikian Drh Sumadi, MSi Tim Inspeksi dan Penilaian Penerapan CPOHB Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.

Dasar dari hal tersebut adalah Peraturan Pemerintah RI Nomor 78 Tahun 1992 Tentang Obat Hewan, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 466 Tahun 1999 tentang Pedoman CPOHB, Keputusan DirJenNak Nomor 247 Departemen Pertanian Tahun 1999 Tentang Petunjuk Operasional Penerapan CPOHB dan Farmakope Obat Hewan Indonesia.

Disampaikan Drh Sumadi, pengawasan seluruh proses produksi (CPOHB) menjamin obat hewan bermutu tinggi. Mutu obat hewan tergantung pada bahan awal, cara produksi, cara pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan personalia serta terkendali cara produksi dan pemantauannya.

Adapun, CPOHB bertujuan agar sifat dan mutu obat hewan yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan atau standar mutu yang ditetapkan.

Drh Sumadi juga menjelaskan bahan awal dari obat hewan mempunyai ketentuan penandaan Master Seed Virus/Bakteri harus jelas. Adapun, setiap kiriman bahan awal harus ditimbang dan diperiksa secara visual (kondisi fisik, kemasan, kebocoran dan kerusakan). Penyimpanan bahan awal harus sesuai dengan aturan (kondisi/suhu).

Selanjutnya, pengeluaran bahan awal harus ditimbang dan hanya boleh petugas yang berwenang. Pemasukan, pengeluaran dan sisa harus tercatat. Harus ada juga: Sertifikat Analisa.

Lokasi dan bangunan guna pembuatan obat hewan pun diatur. Lokasi bangunan harus dapat mencegah pencemaran udara, debu dan air. Gedung dibangun dan dipelihara agar terlindung dari pengaruh cuaca, banjir, rembesan air dan bersarangnya binatang pengganggu, dan berbagai persyaratan lainnya.

Soal bangunan, kriterianya antara lain untuk administrasi, gudang bahan awal, ruang Produksi, Ruang Pengujian Mutu, Ruang Pencucian dan Sterilisasi Peralatan Gelas, Gudang Produk Jadi, Stasiun LPG, Generator Set, Pengolahan Air Bersih, Pengolahan Limbah /Waste Water Treatment, Kandang hewan Percobaan.

Ada pula pengaturan ruangan dengan rancang bangun dan penataan ruangan mencegah terjadinya campur baur produk, memisahkan pengolahan produk biologik dan farmasetik, memisahkan ruangan untuk penyimpanan bahan awal, bahan dan alat kebersihan, produksi, pengujian mutu dan gudang produk jadi dan lain sebagainya.

Adapun peralatan antara lain peralatan utama dengan jenis, spesifikasi, jumlah, pemasangan, penempatan, pemeliharaan, kalibrasi. Soal personalia jumlahnya sesuai kebutuhan dengan kualifikasi pendidikan formal, pelatihan training (produksi, CPOHB), workshop, kesehatan program pemeriksaan kesehatan dan loyalitas (sikap, dedikasi dan kesadaran).

Sanitasi dan higiene antara lain meliputi personalia (program pemeriksaan kesehatan karyawan), bangunan (Bahan, bentuk) (mudah dibersihkan dan desinfeksi), peralatan (mudah dibersihkan dan desinfeksi dan disterilkan), bahan produksi (terutama Seed Vaksin jangan sampai terlepas keluar lingkungan pabrik) dan lain-lain.

Sistim produksi dirancang untuk menjamin obat hewan diproduksi dengan mutu dan jumlah yang benar sesuai dengan SOP. Jenis Produk antara lain Produk Biologik, Vaksin Bakteri aktif, inaktif, Antigen dan Antisera. Vaksin Virus antara lain Vaksin Virus aktif, inaktif, dan Antigen Antisera. Produk Farmasetik dan Premiks antara lain Steril dan Infuse, serta Non Steril (Oral, Topikal, salep dan lain-lain)

Selanjutnya banyak lagi persyaratan diperlukan untuk pembuatan obat hewan yang baik seperti tugas Lain produksi, , proses produksi, pengawasan umum, inspeksi internal, tindak lanjut bahkan juga penanganan hasil pengamatan, keluhan dan penarikkan kembali obat hewan yang beredar serta dokumentasi serta alur penerbitan sertifikat CPOHB.

Kiranya sekilas Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik ini bermanfaat bagi semua pembaca untuk semakin yakin bagaimana obat untuk kesehatan ternak itu betul-betul obat yang dibuat secara standar terbaik. (YR)

MENGUJI MUTU OBAT HEWAN

Anggaran Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP ) tahun 2007 adalah sebesar Rp 9,1 M. Tahun 2006 sebesar Rp 19,1 M (Pergantian alat 9M). Tahun 2005 sebesar Rp 6,8 M. Tahun 2004 sebesar Rp 5,0 M. Dan, tahun 2003 adalah sebesar Rp 4,5 M.

Berapa rencana anggaran tahun 2008? Rp 11,9 M (sekali lagi: Rencana). Demikian diungkap Drh H Agus Heriyanto MPhil Kepala Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor, belum lama ini.

Drh Agus Heriyanto pun menguraikan rencana kerja 2007–2009 Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunungsindur, Bogor? Di antaranya pemantapan pengujian mutu berupa audit internal dan akreditasi ISO-17025 2005 dan perbaikan sarana /prasarana pengujian.

Lalu, pengembangan dan penataan SDM melalui pelatihan dan pendidikan dan pengembangan teknik pengujian dan pelayanan berupa kerjasama kelembagaan antar instansi, swasta dan luar negeri.

Kemudian, pengembangan lababoratorium biotek pengujian untuk penyakit eksotik dan lintas batas serta dan pengembangan kerjasama nassional dan internasional obat hewan.

Kepentingan pembaca untuk mengetahui hal tersebut adalah mengingat Laboratorium Pengujian Mutu Dan Sertifikasi Obat Hewan di Gunungsindur Bogor merupakan lembaga pemerintah (baca: negara) yang dibentuk dalam rangka pengawasan mutu obat hewan berdasar berdasar SK Mentan NO 328/KPTS/TH.260/4/1985. Sekaligus untuk mengetahui secara pasti bahwa obat hewan yang beredar merupakan obat yang terjamin mutunya karena memang dibuat dan diuji secara ketat.

Berdasar perundangan tersebut, obat hewan yang akan diedarkan harus telah lulus pengujian mutu yang dilakukan dalam rangka pengujian. Lalu, obat hewan yang telah terdaftar dapat diuji kembali mutunya setiap waktu.

Di situ ada tata syarat dan tata cara pengujian dalam rangka pendaftaran obat hewan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

Pengujian mutu obat hewan ini dilakukan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan pemerintah. Adapun pengujian mutu obat hewan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Menteri yaitu BBPMSOH.

Tentang biaya yang diperlukan untuk pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan dibebankan kepada pemilik obat hewan dan besarnya ditetapkan oleh menteri. Tata cara pemungutan dan besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Biaya pendaftaran merupakan pendapatan negara dan harus disetor ke kas negara

SK Mentan tersebut merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah RI No 78 Th 1992 Tentang Obat Hewan Bab IV. Pendaftaran dan Pengujian Mutu Obat Hewan Pasal 12.

Juga pelaksanaan dari PP No 15 Tahun 1977 dan PP No 7 Tahun 2004, Menteri mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tindakan-tindakan penolakan, pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan

Lalu hukum yang lebih tinggi adalah Undang-Undang Negara Republik Indonesia, tepatnya UU No 6/1967 di mana dinyatakan pengobatan penyakit hewan meliputi usaha-usaha pengawasan dan pemeriksaan hewan, penyediaan obat obatan dan imun-sera oleh pemerintah dan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, serta urusan-urusan pemakaian obat obatan dan imun-sera.

Adapun, menurut Undang-Undang, pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya. Serta, mengadakan penyelidikan penyelidikan ilmiah bahan bahan obat obatan hewani.

Tugas pokok BBPMSOH adalah melaksanakan pengujian mutu, sertifikasi, pengkajian dan pemantauan obat hewan.

Sedangkan fungsinya adalah: menguji mutu obat hewan, sertifikasi, mengkaji obat hewan, memantau obat hewan yang beredar, mengamankan hasil pengujian mutu obat hewan, mengembangkan teknik dan metode pengujian mutu, memberi pelayanan teknik kegiatan pengujian mutu dan pengkajian obat hewan, serta mengelola limbah pengujian mutu obat hewan.

Jenis pengujian obat hewan yang dilakukan di BBPMSOH adalah pengujian biologik, pengujian farmasetik, pengujian peremix, pengujian obat alami dan obat ikan, vaksin viral, vaksin bakterial, antigen, antisera, serta antibiotika, vitamin, hormon, antipiretik, anastetika, kemoterapeutik, antihistamin, feed suplemen dan feed additive.

Untuk menguji sediaan biologik, dilakukan uji umum berupa fisik, kemurnian, kevakuman, sterilitas, kontaminasi (Mycoplasma, Salmonella, jamur), dan kadar air. Adapun uji khusus meliputi keamanan, inaktivasi, potensi, identitas, kandungan virus, kandungan bakteri/spora dan toksisitas abnormal.

Sementara itu, pengujian sediaan farmasetik dan premiks secara umum meliputi pengujian fisik, pH, kadar air, toksisitas abnormal, sterilitas, pirogenitas. Adapun secara khusus meliputi identitas, hayati (antibiotika) dan kadar (obat umum).

Adapun pengujian sampel obat hewan dalam rangka sertifikasi, pengujian sampel berasal dari daerah (dinas). Atau, pengujian sample berasal dari kegiatan pemantauan pengujian sampel berasal dari kegiatan pengkajian sertifikasi obat hewan yang diterbitkan tahun 2006 dan kegiatan pengujian vaksin bakteri untuk unggas tahun 2006.

Drh H Agus Heriyanto MPhil mengakui ada beberapa masalah yang diidentifikasi, namun tetap ada faktor kunci keberhasilan BBPMSOH. Yaitu, perluasan tugas pokok dan fungsi balai, upaya peningkatan SDM, birokrasi dan rantai perijinan diperpendek serta sederhana, meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan, meningkatkan mutu kegiatan teknis sesuai standar internasional (SNI 19-17025-2005), meningkatkan sosialisasi tentang sertifikasi dan mutu obat hewan, memantapkan Perencanaan dan Program Kerja

Untuk itu, langkah upaya pengembangan dalam jangka pendek meliputi peremajaan alat-alat pengujian, pelatihan tenaga penguji teknis dan non teknis, memperbaiki sistem mutu dan lababoratorium bioteknologi, membangun jejaring dengan Unit Pelayanan Teknis dan instansi lain.

Sedangkan, dalam jangka panjang, Drh Agus menyatakan Balai Besar diproyeksikan sebagai pusat pengujian dan pengawas obat hewan. Adakah semua kalangan peternakan dan kesehatan hewan merasakan manfaatnya? Rasanya, tentu. Dan semoga semakin ditingkatkan! (ASOHI/ YR)




OBAT HEWAN DAN KARANTINA

Masuknya telur ilegal dari Malaysia ke Pulau Batam sangat mengkuatirkan para peternak di Sumatera Utara mengingat pada priode Mei-Juni negara tetangga Malaysia kembali mengalami Out Break sehingga dikuatirkan membawa dampak yang sangat serius bagi provinsi Sumatera Utara. Masyarakat peternakan dan kesehatan hewan Sumut pun melaksanakan kunjungan ke Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bekerja sama dengan Karantina (Desember 2006) setempat.
Sementara itu disampaikan oleh Ismaeni Pengurus ASOHI Daerah Sumatera Selatan belum lama ini, dalam menghadapi penularan virus Avian Influenza pada unggas, masyarakat peternakan dan kesehatan hewan di antaranya ASOHI Sumsel bekerjasama dengan Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Selatan melakukan sosialisasi penanganan AI. Dilakukan kunjungan ke peternakan rakyat disertai penyuluhan/informasi bagaimana beternak yang baik.
Informasi yang disampaikan lebih fokus kepada management kesehatan ternak unggas, termasuk himbauan kepada peternak unggas agar memberikan laporan secara rutin mengenai kondisi kesehatan ternak. Penularan AI tersebut pun sangat terkait dengan lalu lintas ternak dan karantinanya.
Seminar “Lalulintas Ternak dan Sediaan Biologik” pun diselenggarakan pada 2006 oleh Balai Karantina Hewan dengan mengundang ASOHI Sumsel sebagai pembicara. Adapun vaksinasi ND pun dilakukan untuk peternak rakyat (buras) di desa Talang Ilir Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Kegiatan dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan diakhiri dengan pelaksanaan vaksinasi ayam buras milik peternak rakyat.

Tindakan Karantina
Begitulah, tindakan karantina sangat penting terkait lalu lintas biologik produk terkait hewan. Drh Agus Sunanto dari Pusat Karantina Hewan Badan Karantina Pertanian pun menyampaikan dasar-dasar hukum dari tindakan karantina hewan di Indonesia pada Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan yang diselenggarakan ASOHI di Jakarta 5-6 September 2007.
Dasar Hukum itu antara lain Undang-undang RI Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Karantina Ikan, Karantina Tumbuhan, Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan, PP 49/ 2002 juncto PP 7/ 2003 tentang perubahan atas tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Lalu, Permentan No. 62/Permentan/ 0T.140/12/2006 tentang pengawasan dan tindakan karantina terhadap pemasukan bahan patogen dan atau obat hewan golongan sediaan biologik dan ketentuan lain terkait lalu lintas hewan.
Indonesia sendiri mempunyai Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan antara lain 2 Balai Besar Karantina Hewan (Soekarno Hatta dan Tanjung Perak, 8 BKH Kelas I, 4 BKH Kelas Ii, 5 Stasiun Kelas I, 20 Stasiun Kelas Ii, 1 Karantina Hewan Otorita Batam, 265 Wilker di Seluruh Indonesia, dan 595 Exit/Entri Point Di Indonesia
Menurut perundangan tersebut, untuk pengawasan, bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha. Pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik hanya dapat dilakukan apabila penyakitnya telah ada di Indonesia.
Badan usaha yang akan memasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri harus memiliki Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) yang diterbitkan oleh Menteri.
Untuk pemasukan bahan biologik selain memiliki SPP juga harus memiliki nomor pendaftaran obat hewan. Badan usaha yang akan memasukan bahan biologik untuk kepentingan penelitian, pengujian diagnostik atau pendidikan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Menteri.
Tindakan Karantina yang diberlakukan adalah, Bahan patogen dan/atau bahan biologik yang dimasukkan harus dilengkapi surat keterangan asal yang diterbitkan oleh produsen, tempat pengumpulan atau pengolahan dari negara asalnya; dilengkapi SPP; melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina ditempat pemasukan; dilakukan metode pengamanan untuk menjamin bahan patogen dan/atau bahan biologik tidak menyebarkan HPHK serta mencegah terjadinya kerusakan, kebocoran dan kontaminasi.
Tempat-tempat pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dari luar negeri yaitu: Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Bandar Udara Juanda, Pelabuhan Tajung Perak, Surabaya.
Setiap pemasukan bahan patogen dan/atau bahan biologik dilakukan tindakan karantina berupa pemeriksaan yaitu pemeriksaan keabsahan, kebenaran dan kecocokan antara dokumen yang menyertainya dengan kemasan bahan patogen dan/atau bahan biologik yang tercantum dalam Air Way Bill atau Bill of Lading.
Hasil pemeriksaan yang telah memenuhi syarat dan tidak meragukan, diterbitkan sertifikat pelepasan karantina oleh petugas karantina setempat. Apabila hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau terdapat kerusakan kemasan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik isi kemasan koli atau palet secara sampling.
Apabila hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan penyimpangan, diterbitkan sertifikat pelepasan. Apabila hasil pemeriksaan fisik ditemukan penyimpangan, dilakukan penolakan atau pemusnahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila hasil pemeriksaan dokumen ditemukan adanya ketidaksesuaian atau diragukan kebenaran dan keabsahannya atau penyimpangan petugas karantina paling lambat dalam jangka waktu 2 x 24 jam harus melaporkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan setempat.
Untuk memperoleh sertifikat pelepasan atau surat keterangan pengeluaran pemilik/kuasa pemilik wajib membayar jasa tindakan karantina berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Pertanian, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2004.
Pemasukan obat hewan dalam bentuk sediaan farmasetik dan premiks sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan tidak dikenakan tindakan karantina, karena tidak termasuk sebagai media pembawa HPHK

ASOHI dan Karantina
Tindakan Karantina terhadap obat hewan hanya dilakukan pada Sediaan Biologik. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No 62 tahun 2006 yang merupakan hasil diskusi yang berkesinambungan antara ASOHI dengan Pusat Karantina Hewan dan Direktur Kesehatan Hewan.
Untuk mengawal pelaksanaan Permentan ini ASOHI membentuk team karantina ASOHI yang dipimpin oleh Ir Teddy Candinegara. Team karantina ASOHI melakukan sosialisasi pada anggota melalui Program Temu Anggota ASOHI. Kerja team terus berlanjut bersama Pusat Karantina Hewan untuk menyiapkan rancangan Petunjuk Pelaksanaan teknis yang sejiwa dengan Permentan tersebut.
Kegiatan penting mengenai tindakan karantina di antaranya yang dilakukan oleh ASOHI antara lain Sosialisasi Permentan Tindak Karantina, 18 Desember 2006. Pertemuan ini diadakan dalam sosialisasi permentan tersebut kepada pihak yang berkepentingan khususnya ASOHI. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa ASOHI dan karantina akan membentuk tim pamantau berlakunya Permentan ini agar berjalan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku.
Yang lainnya antara lain Pembentukan Tim Pemantau Pelaksanaan Permentan, Pertemuan Forum Komunikasi Pengguna Jasa Karantina Hewan, Surat ASOHI Perihal Implementasi Permentan, 10 April 2007.
Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 62/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pengawasan dan Tindakan Karantina terhadap Pemasukan Bahan Patogen dan/atau Obat Hewan Golongan Sediaan Biologik serta Penyusunan Juklak Tindakan Karantina Hewan terhadap Sediaan Biologik dan Bahan Patologik, 23 Juni 2007 diselenggarakan rapat penyusunan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) tindakan karantina terhadap sediaan biologik dan bahan patogen
Ketua Tim Karantina ASOHI Ir. Teddy Candinegara hadir pada acara yang dihadiri Kepala Pusat Karantina Hewan, Kepala Balai Besar Karantina Hewan, BBPMSOH, Eselon III Karantina Hewan, UPT Karantina Hewan dan Undangan lain. (ASOHI/YR)

OBAT HEWAN DAN OTONOMI DAERAH

Banyak permasalahan obat hewan (OH) terkait dengan otonomi daerah yang dipertanyakan kalangan obat hewan dari berbagai daerah di seluruh tanah air. Suharyanto SH dari Biro Hukum Dan Humas Departemen Pertanian pun menguraikan terkait hal ini dalam Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan Hotel Menara Peninsula Jakarta 5-6 September 2006.
Hukum positif tentang Otonomi Daerah adalah Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan.
Diuraikan Suharyanto SH, Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah berisi tentang Otonomi Daerah, Daerah Otonom (daerah), Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagai bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan diluar urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, terdiri atas 31 urusan pemerintahan diantaranya Pertanian dan ketahanan pangan.
Obat-obat yang khusus untuk pemakaian kedokteran hewan (ad asum veterinarium) diatur oleh Departemen Pertanian.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 Pasal 23 menyebutkan “Pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi pembuatan, persediaan, peredaran, serta pemakaiannya, mengadakan penyelidikan-penyeledikan ilmiah bahan-bahan obat-obatan hewani”
Berdasar Undang-Undang tersebut maka ada pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota mempunyai wewenang terpisah sebagai berikut:

Pemerintah (Pusat)
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Pertanian mempunyai wewenang dalam: Penetapan kebijakan OH; Penerbitan sertifikat CPOHB; Penetapan Standar mutu OH; Pengawasan produksi dan peredaran OH di tingkat produsen dan importir; Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan OH: Pengujian mutu dan sertifikasi OH; Pendaftaran OH; dan Pemberian Izin Usaha OH sebagai produsen dan importir;

Pemerintahan Daerah Provinsi
Pemerintah Provinsi mempunyai wewenang dalam Penerapan kebijakan OH wilayah provinsi; Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan OH wilayah provinsi; Penerapan dan pengawasan standar mutu OH wilayah provinsi; Pembinaan dan pengawasan peredaran OH di tingkat distributor; Pemberian Izin Usaha Obat Hewan sebagai distributor wilayah Provinsi;

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
Adapun Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai wewenang dalam penerapan kebijakan OH wilayah kab/kota; Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan OH wilayah kab/kotai; Penerapan standar mutu OH wilayah kab/kota; Pengawasan peredaran dan penggunnaan OH.
Lalu, Pengawasan peredaran dan penggunaan OH tingkat depo, toko, kios dan pengecer OH wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pemakaian OH di tingkat peternak; Bimbingan peredaran OH tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Juga, Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran OH wilayah kabupaten/kota; Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota; Bimbingan penyimpanan dan pemakaian OH.
Selanjutnya, Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang OH wilayah kabupaten/kota; Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk OH wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu OH (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Kemudian, Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota; Bimbingan pelaksanaan pendaftaran OH tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota; Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang OH (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Dan, Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pest shop wulayah kab/kota.

Pembuatan OH Sampai Pengawasan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan, terdiri dari 8 Bab dengan 23 pasal, mengatur pembuatan, penyediaan, peredaran, pendaftaran, pengujian mutu, perizinan dan pengawasan obat hewan.
Berdasar perundangan itu, wewenang pengawas obat hewan adalah menghentikan sementara kegiatan pembuatan obat hewan; melarang peredaran obat hewan; menarik obat hewan dari peredaran; dan menghentikan pemakaian obat hewan yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Guna tindak lanjut pengawasan, bila ditemukan penyimpangan dalam perizinan, pengawas memberikan teguran tertulis 2 kali berturut-turut selang waktu 2 bulan dengan tembusan kepada Direjen Bina Produksi Peternakan, Kadisnak Propinsi dan Kadisnak Kabupaten/Kota, dan apabila tidak dipenuhi pengawas obat hewan melaporkan kepada pemberi izin untuk memenuhi ketentuan perizinan, mencabut izin atau menutup usahanya.
Bila ditemukan penyimpangan cara pembuatan hewan, sarana dan tempat penyimpanan, pemakaian dan atau mutu, maka Pengawas obat hewan dapat menghentikan sementara pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan, paling lama 15 hari, dan melaporkan kepada Dirjen Peternakan dengan tembusan Kadisnak Kabu/Kota, Propinsi.
Jika dalam waktu 15 hari, Dirjen Peternakan belum mengambil keputusan, Pengawas Obat Hewan dapat memperpanjang penghentian sementara paling lama 15 hari.
Dirjen Nak paling lama dalam waktu 30 hari sejak diterimanya laporan harus telah mengambil keputusan, berupa pencabutan penghentian sementara dan menyatakan kegiatan pembuatan, penyediaan, peredaran dan pemakaian obat hewan dapat dilanjutkan. Atau, menghentikan kegiatan pembuatan, penyediaan, malarang dan memerintahkan penarikan dari peredaran serta melarang dan menghentikan pemakaian obat hewan yang dilaporkan.

Perlindungan Konsumen
Suharyanto SH pun menguraikan, terkait dengan otonomi daerah, dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur konsumen, dan pelaku usaha yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perdagangan.
Tugas dan Wewenang BPSK, meliputi: melaksanakan penanganan dan penyelesaian konsumen dengan cara mediasi atau arbritrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausul baku;
Peraturan perundang-undangan di bidang obat hewan sangat terkait dengan pertauran perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen, karena obat hewan termasuk pengertian barang,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berwenang menjatuhkan sanksi admnistratif terhadap berbagai pelaku usaha dengan kriteria sebagai berikut:
Yang tidak memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dalam jangka waktu 7 hari setelah tanggal transaksi,
Lalu, pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut, tidak menyediakan suku cadang, dan tidak memenuhi jaminan atau garansi yang diepakati atau diperjanjikan, berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Juga, pelaku usaha yang memproduksi barang atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan seperti pada label, tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya, tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut, tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi, proses pengolahan, gaya, metode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
Di samping sanksi pidana dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha.
Bagiamana prakteknya? Apapun yang terjadi di lapangan, kita punya dasar untuk berbuat sesuai koridor hukum. Itulah bekal kita untuk tetap optimis menyikapi permasalahan obat hewan di lapangan. Kiranya begitu, bukan? (YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer