Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

NGOROK PADA AYAM BROILER


Seorang peternak bercerita kepada Infovet bahwa ayam broiler umur 12 hari mengalami ngorok atau gangguan pernafasan. Setelah vaksinasi IBD gejala makin parah. Ia pun bertanya mengapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana mengatasinya ?
Menurut pengalaman penulis yang aktif di sebuah peternakan kemitraan, ngorok pada ayam bukanlah nama suatu penyakit, namun merupakan salah satu gejala klinis dari penyakit yang menyerang saluran pernafasan ayam. Ini bisa disebabkan oleh agen bakterial, viral, juga fisik seperti udara yang berdebu, perubahan cuaca, amonia, dll.
Beberapa penyakit infeksius yang mempunyai manifestasi klinis gangguan pernafasan diantaranya adalah CRD, ILT, Coryza, ND, IB, TRT/SHS, AI. Gangguan/ penyakit pernafasan ini sering sekali terjadi pada ayam broiler, terutama untuk ayam yang dipelihara di kandang postal. Kejadian dipicu oleh banyak hal, baik dari dalam tubuh ayam sendiri maupun faktor lingkungan. Adanya ketidakseimbangan antara kondisi ayam dan lingkungan tersebut merupakan penyebab utamanya. Dan faktor yang terlibat tidak berdiri sendiri, selalu bersama-sama.
Ayam broiler secara genetik mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat dibanding ayam type lain. Pertumbuhan badan yang cepat tidak sebanding dengan perkembangan organ vital dalam ayam yaitu jantung dan paru-parunya. Sehingga kedua organ ini sangat rentan terhadap gangguan baik dari dalam maupun luar. Untuk menunjang pertumbuhan badan ayam, paru-paru dipaksa bekeja keras menyuplai oksigen untuk metabolisme tubuh, dan jantung juga dipacu untuk mengalirkan darah yang akan membawa okesigen tersebut ke seluruh tubuh.
Oksigen merupakan komponen penting dalam metabolisme tubuh ayam. Zat ini didapat dari udara bebas lewat saluran pernafasan ayam atas. Udara masuk tubuh ayam melalui hidung kemudian masuk ke trakea dan selanjutnya akan menuju ke bronki dan bronkioli di paru-paru. Dari sini oksigen akan dihembuskan ke dalam kantong udara yang ada di rongga tubuh ayam, dan di tubuh ayam terdapat 8 buah kantong udara. Kemudian udara akan dikeluarkan dengan jalan didorong dari kantong udara tersebut ke bronkioli, bronki dan trakea.
Saluran pernafasan ayam secara alami dilengkapi dengan pertahanan mekanik. Permukaannya dilapisi oleh mukosa dan terdapat silia (bulu-bulu getar) serta mukus yang berfungsi menyaring udara yang masuk. Di saluran pernafasan atas ini partikel yang besarnya lebih dari 4 mikron akan didorong keluar oleh silia dan mukus yang ada. Disaluran pernafasan atas selain mengalami penyaringan udara juga mengalami penghangatan. Dan berikutnya di saluran pernafasan bawah terjadi lagi penyortiran partikel yang lebih kecil.
Kandang ayam sistem postal yang memakai sekam atau serutan kayu sebagai litternya, tingkat kepadatan ayam, kelembaban dan temperatur kandang, ventilasi kandang akan mempengaruhi kualitas udara di dalam kandang. Banyaknya partikel debu di udara akan memberatkan kerja saluran pernafasan. Temperatur yang tinggi akan meningkatkan intake air minum ayam dan menyebabkan kotoran menjadi lebih encer (wet dropping). Dan di Indonesia ini kelembaban udara cukup tinggi sehingga litter menjadi basah dan kadar amonia di dalam kandang menjadi tinggi.
Amonia yang terhirup akan mengiritasi saluran pernafasan ayam, dan menyapu silia di mukosanya. Sel-sel yang ada di permukaan saluran pernafasan menjadi rusak, sehingga mekanisme awal pertahanan tubuh menjadi terganggu. Agen penyakit baik bakteri ataupun virus yang terbawa udara akan mudah sekali menempel di saluran pernafasan karena sistem pertahanan mekanik tidak berfungsi optimal. Di tempat ini agen tersebut akan berkembang biak, dan pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan lebih parah.
Demikian halnya dengan pemberian vaksin ND/IB live yang aplikasinya lewat tetes mata, hidung ataupun spray. Virus akan berada di sepanjang saluran pernafasan ayam dan akan merangsang kekebalan seluler di daerah tersebut. Pada kondisi normal reaksi post vaksinasi tidak akan berat, namun karena saluran pernafasan terluka maka reaksi yang terjadi akan berlebih. Dan kemudian timbulah keradangan sebagai reaksinya, ini merupakan mekanisme tubuh untuk menghancurkan material asing yang masuk ke dalam tubuh. Adanya perlukaan di saluran pernafasan menyebabkan ayam ngorok dan batuk.
Mycoplasma gallisepticum merupakan mikroorganisme yang sering terdapat di saluran pernafasan ayam. Agen ini menempel di mukosa saluran pernafasan dan merusak selnya. Adanya kuman ini akan memicu terjadinya reaksi radang dan aliran darah ke daerah tersebut menjadi meningkat. Kuman akan ikut aliran darah dan menuju ke kantong udara, di sini merupakan tempat yang cocok untuk hidup dan berkembang biak.
Jika ada mycoplasma kantong udara terlihat berkabut dan menebal. Jika mycoplasma berperan sendiri dan ayam dalam kondisi baik gejala klini tidak terlihat, dan jika adapun manifestasinya hanya ringan saja. Namun karena adanya faktor lain seperti debu yang berlebih, kadar amonia yang tinggi saluran pernafasan akan teriritasi.
Selain itu perubahan cuaca, perlakuan ayam yang berlebih, dan adanya agen pemicu virus ND, IB baik dari lapangan ataupun virus vaksin akan meningkatkan keparahan gangguan saluran pernafasan. Adanya faktor imunosupresi seperti mikotoksin dalam pakan, vaksinasi IBD yang tidak tepat akan memperburuk keadaan. Karena adanya luka, penebalan dan peradangan di mukosa saluran pernafasan tersebut ayam menjadi ngorok dan batuk
Gabungan beberapa agen tersebut di atas akan menyebabkan Chronic Respiratory Disease (CRD). Ayam tampak batuk, ngorok, bersin, keluar leleran dari mata, dan hidung. Pada pemeriksaan bedah bangkai trakea terlihat memerah, kantung udara keruh, menebal dan kadang juga terlihat berbusa. Jika bakteri oportunis E. coli ikut campur keadaan terlihat lebih parah, munculah Chronic Respiratory Disease Complex. Kantong udara menebal dan terdapat masa mengkeju di daerah itu, juga di dalam rongga perut. Jantung dan hati akan diselimuti oleh selaput berwarna putih kekuningan.
Penyakit ini akan ditularkan dari ayam sakit ke ayam lain yang peka, dan ayam muda biasanya memepunyai kepekaan yang lebih tinggi. Adanya gangguan pada sistem pernafasan ayam akan menyebabkan asupan oksigen berkurang, proses metabolisme tubuh akan terganggu, sehingga pertumbuhan ayam menjadi terganggu, efisiensi pakan menjadi jelek.
Selain itu kadar oksigen yang rendah akan memacu jantung bekerja lebih keras dan sebagai hasilnya akan timbul penumpukan cairan plasma di dalam rongga perut ayam, dan terjadilah ascites. Proses pengeluaran panas tubuh ayam juga menjadi terganggu karena salah satu caranya dengan evaporasi lewat mulut. Ayam yang bertahan sampai masa panen kualitas karkasnya menjadi menurun, dan beberapa organ tubuhnya banyak yang musti dibuang karena tidak layak dikonsumsi
Vaksinasi IBD yang menggunakan strain virus vaksin yang virulen (vaksin intermediet plus/hot) bisa mengganggu sistem kekebalan ayam. Strain virus vaksin ini akan menimbulkan kerusakan bursa fabricius. Di organ inilah sel-sel yang berfungsi untuk pertahanan tubuh (sel limfosit B) diproduksi. Jika pabriknya rusak maka jumlah sel limfosit yang ada di tubuh akan berkurang dan fungsinya menjadi tidak optimal dalam sistem kekebalan tubuh. Pada akhirnya respon vaksinasi menjadi tidak optimal dan ayam menjadi lebih peka terhadap virus ND dan IBV.

Penanganan

Untuk mengatasi gangguan pernafasan ayam perlu dicari akar permasalahnnya terlebih dahulu. Pemberian antibiotik tidak akan memberikan hasil jika penyebab utamanya tidak kita tangani. Jika kondisi lingkungan jelek perlu diperbaiki di samping pemberian obat. Kualitas udara yang jelek perlu koreksi di ventilasi udaranya, sehingga udara menjadi lebih bersih.
Kelembaban yang rendah (< 50 %) menyebabkan udara berdebu, perlu dilakukan spray air. Kelembaban yang ideal untuk hidup ayam 50-70 %. Pemasangan fan/kipas jika memungkinkan perlu dilakukan. Jika kualitas litter jelek harus kita perbaiki. Litter yang basah atau lembab perlu diganti dengan yang baru. Dan pembalikan litter secara rutin perlu dilakukan untuk mengurangi kadar amonia dalam kandang.
Pemberian antibiotik akan mengatasi infeksi bakteri yang ada, dan tentunya akan menekan populasi E.coli dan Streptococcus, dll di tubuh ayam. Pemberian multivitamin terutama yang mengandung vitamin C dan A, serta pemberian pakan yang berkualitas baik dengan nutrisi seimbang akan membantu mempercepat kesembuhan jaringan mukosa yang rusak.

Pencegahan

1. Penerapan manajemen pemeliharaan yang baik

- Pemilihan kandang yang baik (lebih bagus kandang panggung) dan berventilasi lancar.
- Pola pemeliharaan all in all out.
- Jika memakai kandang postal gunakan litter yang mudah menyerap air dan jaga agar selalu kering, perlu dilakukan pembalikan secara rutin, hindari pemilihan litter yang partikelnya kecil (serbuk gergaji).
- Pemasangan fan pada sistem kandang terbuka akan membantu pertukaran udara di kandang.
- Kepadatan ayam diatur tidak terlalu tinggi 8-10 ekor/m2 untuk kandang postal/panggung sistem terbuka, jika sistem closed house (tunnel atau cooling pad) kepadatan bisa 15 ekor/m2.
- Temperatur kandang yang optimal 21-27 0C, dan kelembaban 50-70 %.
- Pakan yang diberikan harus segar dan mengandung nutrisi seimbang dan hindari kontaminasi mikotoksin pada pakan karena toksin ini bersifat imunosupresif.
- Ketersediaan air minum bersih di kandang.

2. Penerapan manajemen kesehatan

- Dilakukan progarm biosecurity secara ketat diantaranya dengan penyemprotan desinfektan secara rutin untuk menekan populasi organisme patogen di kandang dan lingkungan.
- Kontrol terhadap vektor penyakit seperti rodensia dan serangga
- Program vaksinasi yang tepat untuk farm bersangkutan
- Pelaksanaan vaksinasi yang benar dan meminimalisir reaksi posvaksinasi yang dilakukan dengan jalan pemilihan strain virus vaksin yang cocok (gunakan strain virus vaksin yang ringan/sedang untuk mengendalikan virus lemah, dan strain yang keras/virulen hanya dipakai jika tantangan di daerah tersebut tinggi), aplikasi vaksin yang benar dan tepat (spray akan lebih keras reaksi postvaksinasinya dibanding tetes mata ataupun lewat air minum), dan vaksinasi dilakukan hanya pada saat ayam dalam kondisi sehat.
- Dilakukan monitoring vaksinasi dengan melihat titer antibodinya.
- Pencegahan masuknya penyakit imunosupresif terutama IBD, dengan jalan pemilihan strain vaksin yang tidak merusak kekebalan ayam dan waktu aplikasi vaksin yang tepat dengan mengetahui titer maternal antibodinya terlebih dahulu.
- Kontrol terhadap M. gallisepticum dan E. coli dengan pemberian antibiotik yang cocok dan dosis tepat terutama di awal-awal kehidupan ayam dan juga pada saat ayam mendapat stress berat.
- Treatment air misal dengan klorin akan menekan populasi E. coli dalam air minum.
- Pemberian multivitamin secara rutin terutama vitamin A dan C untuk menjaga mukosa saluran pernafasan ayam. (Ratriastuti)

PENYAKIT 2006, KEBANGKRUTAN, PEMBERANTASAN DAN KESERIUSAN

(( Penyakit-penyakit itu jelas merugikan dan membangkrutkan dunia peternakan serta bahkan juga memungkinkan manusia tertular. Ada yang dapat menyebabkan kerugian langsung yang dapat dilihat dan dirasakan. Tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian yang tidak dapat dilihat secara langsung meskipun penyakit tersebut sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan hidup dunia para petani peternak. ))

Bukan sembarang flu burung tetapi silent flu burung yang sebenarnya benar-benar nge-trend di tahun 2006. Demikian Mantan Direktur Jenderal Peternakan yang Guru Besar FKH UGM Prof Drh Wasito MSc PhD.
Seperti diketahui, katanya, bahwa flu burung pada unggas dianggap ada 2 bentuk, yaitu low pathogenic avian influenza (LPAI) dan highly pathogenic avian influenza (HPAI). LPAI (hanya) akan menyerang saluran pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan HPAI selain menyerang saluran pernafasan dan saluran pencernaan juga akan menyerang organ-organ lain ayam penderita, misalnya otot-daging dan folikel telur.
“Hasil penelitian kami di lapangan sejak 2003 sampai saat ini (2006), membuktikan bahwa sebenarnya flu burung yang bentuknya berbeda dengan LPAI dan HPAI mendominasi wabah pada unggas di Indonesia setelah kejadian wabah HPAI di penghujung tahun 2003 dan juga wabah HPAI pada unggas di Makassar (terutama Sidrap) sekitar awal tahun 2005,” tutur ilmuwan yang mantan orang nomor satu di sub sektor peternakan di negeri ini.
Menurut Dr Wasito, Flu burung pada unggas yang kita sebut dengan nama silent flu burung inilah sebenarnya yang nge-trend di tahun 2006. “Mengapa demikian?” tanyanya seraya menjawab, “Karena unggas penderita silent flu burung, pada umumnya, tidak menunjukkan gejala klinis dan lesi patolologis anatomis, dan uji serologis deteksi antibodinya negatif, tetapi dalam tubuhnya ada virus flu burung (H5N1) (dengan uji reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), dan imunohistokemistri antibodi monoklonal anti nukleoprotein flu burung.”
Selain itu, lanjutnya, seringkali, unggas penderita silent flu burung menunjukkan gejala klinis seperti Newcastle disease (ND), yaitu curled toe paralysis (lumpuh jari kaki) dan torticolis (kepala “teler” digerak-gerakkan miring ke kanan dan ke kiri tidak beraturan. Dan, pada saat nekropsi, terlihat adanya lesi patologis anatomis berupa pembengkakan dan perdarahan di bagian brutu (bursa Fabricius) dan otot daging di bagian paha dan tempat-tempat lain.
Hal tersebut, paparnya, akan sangat membingungkan dan pada umumnya, unggas penderita langsung di-punish dengan diagnosa infectious bursal diasease (bursitis atau IBD), Newcastle disease (ND) atau bahkan langsung didiagnosa infeksi kombinasi antara IBD dan ND.
Celakanya lagi, ungkap Wasito, di bawah mikroskop, pada otak akan terlihat lesi histopatologis menciri akibat infeksi virus, yaitu lymphoid perivascular cuffing. Kriteria utama dalam penentuan diagnosa apakah ayam menderita silent flu burung atau tidak, yang kita lakukan adalah dengan uji imunokemistri jaringan.
Sehingga, solusi diberikan Doktor lulusan Amerika ini, penanganan flu burung tidak mudah, diperlukan terutama dokter hewan yang benar-benar punya “jam terbang” kerja riset lapangan dan laboratorik yang memadai, jika tidak demikian, maka usaha kontrol dan pengendalian, termasuk pencegahan, dan pemberantasan flu burung dapat berakibat tidak hanya gagal, tetapi juga fatal pada unggas dan manusia.
Adapun lanjutnya, selain silent flu burung, brucellosis, IBR, SE, rabies, anthrax yang nge-trend didasarkan pada kasus-kasus wabah di lapangan tahun 2006. Sebenanrnya, jika dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan benar, kemungkinan besar akan diketahui adanya penyakit-penyakit infeksi tersembunyi, metabolik dan eksotik di era perdagangan global saat ini.
Adapun menurut Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS, Wakil Dekan FKH IPB, Bogor selain Flu Burung, penyakit apa lagi yang nge-trend di tahun 2006 dan selanjutnya perlu diwaspadai adalah penyakit pernapasan, jika yang dimaksud penyakit pada unggas, seperti CRD, Snot, Swollen Head Syndrome, kolibasilosis, koksidiosis dan Gumboro (very virulent Gumboro virus).
Adapun menurut Dr Wayan yang beken di televisi dalam kampanye penanggulangan Flu Burung, pada hewan mamalia, khususnya pemamah biak, anthrax perlu diwaspadai. Pada carnivora adalah Rabies.
Sedangkan dari Prof drh Roostita jga dari FKH IPB menyatakan di tahun 2006 yang paling dominan adalah Flu burung sebab secara global yang banyak disorot dan ditakuti masyarakat. Sedangkan kasus penyakit yang lain sudah banyak yang menurun seperti, Brucellosis, Rabies, Anthrax dll.

Sukar Diberantas?

Menjawab pertanyaan Infovet kenapa penyakit-penyakit itu susah diberantas, Prof Wasito menyatakan hal ini karena:
a) Koordinasi dan penanganan penyakit tampak masih sepotong-potong.
b) Kurang mengikut-sertakan dan mengoptimalkan, terutama organ-organ pemerintah yang terkait (yang seharusnya menangani permasalahan penyakit) dan nukleus industri peternakan, serta petani peternak
c) Kebijakan dan penerapannya belum atau kurang didasarkan pada aras kajian ilmiah keilmuan yang mendasari individual penyakit
d) Lemahnya koordinasi di pusat pemerintahan, apalagi penerapannya di lapangan.
e) Otonomi daerah kurang diberdayakan
f) Dana yang ada kurang dimanfaatkan secara tepat guna (masih digunakan untuk hal-hal yang bersifat umum). Pengadaan peralatan disama-ratakan di semua laboratorium yang ada.
g) Laboratorium-laboratorium yang ada belum difungsikan secara spesifik, khusus dan optimal. (Sebenarnya sudah ada laboratorium rujukan dengan fasilitas dan aktivitas khusus menciri, tetapi tampaknya kurang diperhatikan kinerjanya).
h) Tumpang tidih tugas pokok dan fungsi laboratorium yang menangani penyakit hewan dan ternak tampaknya semakin banyak terjadi (karena kebijakan, terutama pemenuhan kelengkapan fasilitas penunjang laboratorium yang tidak terarah dan kurang didasari landasan ilmiah otonomi daerah penyakit spesifik indigenous)
i) Fasilitas pendukung penanganan penyakit hewan dan ternak di-daerah (baca: di desa-desa) sangat jauh dari cukup, apalagi memadai. (Padahal, desa merupakan tempat asal penunjang utama segala macam aspek kehidupan masyarakat jika kita benar-benar menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gemah ripah loh jinawi lan nir ing sambikolo .
Menjawab pertanyaan yang sama, kenapa penyakit-penyakit itu susah diberantas, Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS berpendapat bisa jadi masih merupakan penyakit yang biasa terjadi setiap tahun, karena penyakit-penyakit ini berkaitan dengan cara pemeliharaan yang bersifat intensif, sering peternak tidak taat azas terhadap prinsip dasar manajemen kesehatan. Misalnya memperpendek masa istirahat kandang, masih bayak ternak yang berbeda umur di suatu area peternakan, biosekuriti yang lemah dan memang ada beberapa mikroba yang tahan di lingkungan seperti E. coli, virus Gumboro dan Eimeria.
Adapun Prof drh Roostita menyampaikan penyakit-penyakit itu sulit diberantas karena penangangan tidak tuntas dan menyeluruh. Hanya bila ada kasus saja baru semua ramai2 menangani, bila kasus reda maka penangangan juga agak lambat kembali. Atau kemungkinan dari sektor peternakan tidak cukup dana untuk menangani secara tuntas di bandingkan dengan dari dari sektor kesehatan manusia. Tapi jangan lupa bahwa asal dari penykit adalah dari hewan, seharusnya harus proposional.

Kebangkrutan?
Menjawab pertanyaan apakah penyakit-penyakit itu menyebabkan kebangkrutan di dunia peternakan, Prof Wasito berpendapat jelas merugikan dan membangkrutkan dunia peternakan (dan bahkan juga memungkinkan manusia tertular). Ada yang dapat menyebabkan kerugian langsung yang dapat dilihat dan dirasakan.
Tetapi, tambah Wasito, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian yang tidak dapat dilihat secara langsung meskipun penyakit tersebut sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan hidup dunia para petani peternak (misalnya silent flu burung pada unggas, dan IBR dan brucellosis yang diakibatkan oleh infeksi tersembunyi imunosupresif diare ganas pada sapi atau bovine viral diarrhea virus/BVDV).
Lalu, katanya, “Hasil penelitian kami dengan uji immunoperoxidase monolayer assay in vitro membuktikan, bahwa di Indonesia pada sapi perah sekitar 70-90% dan sapi potong sekitar 7-15% terinfeksi BVDV, sapi-sapi tersebut tampak normal sehat, tetapi siap menyebarkan virus ke sapi-sapi lain yang peka. Sapi-sapi penderita tersebut menjadi imunosupresif sehingga tidak aneh banyak sapi di Indonesia yang terserang IBR dan/atau brucellosis.”
Selain penyakit yang telah disebutkan di atas, tambah Wasito, penyakit mulut dan kuku, dan BSE jika masuk ke Indonesia akan sangat melumpuhkan pemberdayaan masyarakat petani peternak papa (miskin) dan marginal dan juga prekonomian secara luas. Akibat selanjutnya, jika penyakit pada hewan ternak tidak segera ditanggulangi secara serius dan benar dapat berakibat gizi buruk berkelanjutan akibat kurangnya asupan konsumsi pangan protein hewani sehingga tidak mustahil akan mengarah pada lost of generation anak bangsa.
Demikian juga penyakit pada manusia, misalnya demam berdarah, polio, “TBC dan malaria akan juga semakin susah ditanggulangi karena antibodi spesifik terhadap penyakit-penyakit yang dimaksud tidak dapat terbentuk optimal di dalam tubuh manusia penderitanya yang salah satunya akibat utamanya adalah rendahnya konsumsi pangan protein hewani masyarakat,” pendapat Wasito.
Menurut Mantan Dekan FKH UGM ini, landasan ilmiah penyakit belum atau kurang dikuasai oleh penentu kebijakan selama ini sehingga penerapan penanganan wabah penyakit hewan ternak di lapangan kurang optimal dan penyakit masih tetap saja meraja-lela menelan korban.
Adapun tentang pertanyaan yang sama, apakah penyakit-penyakit itu menyebabkan kebangkrutan di dunia peternakan, Dr I Wayan Teguh Wibawan menyampaikan, secara umum masih bisa dikendalikan, jadi tidak akan menyebabkan suatu hal katastropik bagi peternakan di Indonesia.
Sedangkan Prof drh Roostita menyampaikan apabila pemberitaan di media masa tidak proposional maka masyarakat akan takut dan enggan mengkonsumsi daging ayam, beternak ayam dan tentunya pengusaha peternakan ayam akan banyak merugi.

Keseriusan

Menjawab pertanyaan Infovet apakah langkah-langkah yang dilakukan dalam memberantas penyakit itu tidak maksimal dan tidak serius, Prof Wasito menyampaikan, tampaknya, maunya sih serius dan maksimal. Tetapi, lagi-lagi kendalanya adalah terutama landasan kajian ilmiah tentang penyakit yang kurang benar sehingga pelaksanaan tindak nyata di lapangan menjadi tidak terarah. Pemberdayaan dan keterlibatan instansi terkait belum optimal, apalagi maksimal.
Selain itu, tambahnya, sumber daya manusia yang kerja di lapangan dan penentu kebijakan tampaknya belum (kurang) menguasai penyakit-penyakit dimaksud. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya dukungan dari setiap lapisan masyarakat.
Selain itu, tambahnya, terlihat kurangnya koordinasi antar organ-organ pemerintah pusat itu sendiri, ditambah lagi, kurangnya koordinasi berkinerja positif antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat, seharusnya, terjun langsung ke daerah-daerah (desa-desa) bersinergisme dengan petugas lapangan di daerah (desa).
Akibat itu semuanya, kata Wasito, yang selalu kita jumpai sehari-hari, jika ada kasus wabah penyakit tertentu, kita ramai-ramai rapat/konferensi/workshop dll sejenisnya, pembentukan berbagai tim, tetapi penyakit tetap saja tidak tertangani secara tuntas dan bahkan menjadi lebih mewabah.
Afapun soal apakah langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam memberantas penyakit itu tidak maksimal dan tidak serius, Dr drh I Wayan Teguh Wibawan berpendapat bukan pemerintah, tapi masyarakat peternak yang harus kita tingkatkan kemauan dan kemampuannya dalam penanggulangan penyakit ini.
Andil pemerintah, katanya, adalah di dalam memastikan bahwa ada virus dengan varian baru, misalnya virus vvIBD, apakah telah dilakukan kajian secara serius untuk menyatakan keberadaan virus ini. Maka perlu dukungan dari Balai Penelitian (Balitvet, BPPV) dan atau perguruan tinggi untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi hingga ke tahap molekularnya.

Yang Perlu Dievaluasi

Menjawab pertanyaan Infovet apa yang perlu dievaluasi dalam penanganan penyakit yang terjadi di tahun 2006, Prof Wasito menyatakan:
a) Sumber daya manusia (SDM) (as a must.. the right man in the right position. Manusia yang tepat dan berdedikasi kinerja utama).
b) Peran langsung masyarakat (tampaknya, industri peternakan/perunggasan kurang didengar masukan-masukannya. Percaya diri pemerintah lebih kuat dan kurang mempertimbangkan sumbang saran masyarakat pecinta dan pemerhati kesehatan hewan dan peternakan)
c) Informasi (kasus/wabah) penyakit kepada publik/masyarakat (harus benar dan tepat disertai landasan ilmiah yang benar, jangan menyesatkan, dan sebaiknya disampaikan oleh pakar yang benar-benar menguasai permasalahan secara benar dan tepat. Sebaiknya, informasi yang disampaikan ke masyarakat luas mengandung (berisi) pernyataan-pernyataan dan gambar-gambar tentang arti penting positif, tidak perlu ditampilkan penyakitnya, yang justru berdampak menakut-nakuti masyarakat.
d) Pemberdayaan organ-organ pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan (laboratorium-laboratorium penyakit hewan yang ada harus lebih diberdayakan kinerjanya secara optimal)
e) Sinergisme kinerja organ-organ pemerintah yang terkait satu sama lain dalam penanganan penyakit hewan (lebih ditingkatkan dan dioptimalkan koordinasi kerjanya di lapangan dan laboratorium. Saat ini, masih terlihat dominasi bertindak sendiri-sendiri).
f) Kebijakan dan penerapannya di lapangan dan laboratorium (harus lebih ditekankan pada acuan kajian ilmiah yang serius, benar dan tepat).
g) Dana (terutama untuk kelengkapan sarana dan prasarana laboratorium harus didasarkan kesesuaian pada arti penting fungsi laboratorium bersangkutan, terutama keterkaitannya dengan indigenous penyakit spesifik di masing-masing daerah/wilayah, sebaiknya tidak semua laboratorium diberi fasilitas peralatan yang serupa)
h) Biosurveillance dan metoda diagnosis (perlu dievaluasi ulang terutama keterkaitannya dengan penyakit-penyakit spesifik tertentu yang seharusnya didasarkan terutama pada identifikasi agen penyebab penyakit (antigen) dan vektor utama penyebabnya.
i) Kebijakan vaksinasi terhadap penyakit tertentu (arti pentingnya harus segera dikaji- ulang )
Sedangkan Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS menyatakan sangat perlu ada evaluasi yang sifatnya menyeluruh, dari kajian epidemiologi, serologi, mikrobiologi, tata laksana peternakan hingga kemungkinan restrukturisasi peternakan di semua sektor peternakan, sektor 1 hingga sektor 4. (Ardi Winangun)

Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik

(( Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. ))

Narasumber pada Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan, terdapat manifestasi penyakit di tingkat sel dan jaringan dari organ tubuh hewan secara komperatif, stadium perjalanan, resiko pada fungsi tubuh, dan berbagai kemungkinan etiologi yang mendasari baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius.

Setelah memahami mekanisme kejadian penyakit tersebut, barulah seorang ahli mampu menghubungkan konsep dasar ilmu pengetahuan medis dengan pola pengambilan keputusan klinis seperti penentuan diagnosa, pilihan prognosa, program terapi dan pencegahannya.

”Dalam mempelajari mekanisme kejadian penyakit, digunakan metode klasifikasi organ sistem untuk mengungkapkan fenomena respons sel dan jaringan terhadap agen yang merusak serta mengganggu fungsi tubuh,” kata narasumber tersebut.

Seorang ahli pun akan mampu menguraikan interaksi secara bertahap antara sel inang dan agen perusak (infeksius dan non-infeksius) secara rinci dan sistematis. Dan kesemuanya ini sangat penting sebagai dasar pengobatan penyakit. Hal ini pula yang mendasari pengobatan terhadap penyakit parasitik, yang disebabkan oleh parasit.

Berbagai jenis obat hewan anti protozoa, anthelmentika (anti cacing) dan anti ektoparasit (serangga) termaktub dalam Indeks Obat Hewan Indonesia (terakhir edisi V 2005) terbitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).

Indeks Obat Hewan Indonesia itu merupakan rujukan utama tentang obat yang legal dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Obat-obat yang belum terdaftar di situ bisa jadi masih dalam proses perijinan, atau mungkin merupakan obat ilegal.

Obat Anti Protozoa
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah protozoa harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit Anaplasmosis maupun Ppiroplasmosis.

Pernyataan Disnak Sumbar itu sekaligus sebagai masukan bagi Ditjen Peternakan Deptan RI yang telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti protozoa yang beredar di Indonesia yang termaktub dalam Indeks Obat Hewan tadi.

Jenis-jenis obat anti protozoa itu dicatat oleh Infovet zat aktifnya antara lain adalah: Diclazuril, Sulfaquinoksalin, Amprolium, Semduramisin, Toltrazuril, Diclorofenil Benseneatonitril, Monensin, Maduramisin, Sulfamonometoksin, Narasin dan Nikarbasin, Salinomisin, Isometamidum, juga ditambah Pirimetamin dan lain-lain.

Memang, dari indikasi obat-obat anti protozoa itu, kebanyakan adalah obat anti parasit Koksidiosis baik hewan besar (sapi, kambing, domba) maupun unggas dan ternak lain seperti kelinci. Lalu anti parasit Leucocytozoonosis (Malaria like disease) yang menyerang unggas, dan juga Trypanosomiasis yang menyerang sapi, kerbau, unta, kuda, keledai dan anjing.

Bagaimana dengan anti protozoa yang lain? Barangkali obat-obat tersebut bisa dimodifikasi sesuai sifat-sifat obat dan protozoa-nya yang bakal ditaklukkan? Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan Obat Anti Protozoa memang butuh pengetahuan lebih mendalam mengenai kemampuan protozoa menginfeksi induk semang, cara-cara pencegahan dan pengendaliannya.

Ambillah contoh obat anti Toksoplasmosis yang diterapkan pada manusia. Di situ terdapat Spiramycin, suatu produk natural yang diperoleh dengan cara fermentasi dan ekstraksi dari jamur Streptomyces ambofaciens, merupakan satu-satunya makrolida yang dikenal mempunyai aktivitas antiparasit.

Spiramycin yang ditemukan oleh Pinnert-Sindico di Peronne, Perancis, merupakan anggota dari makrolida 16-ring yang mempunyai konsentrasi di jaringan tertinggi untuk kelas makrolida pada saat ini, serta mempunyai efek toksoplasmisidal yang cukup baik.

Jelas, soal obat-obat anti protozoa, kita yakin pasti banyak alternatif. Meski untuk hewan betul kita rasakan masih ada kendala seperti masukan dari Disnak Sumbar tadi.


Obat Anti Ektoparasit (Serangga Parasit)

Ditjen Peternakan Deptan RI telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti ektoparasit kutu, pinjal, nyamuk, caplak, lalat, tungau dan berbagai ektoparasit pada berbagai ternak.

Terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia, zat aktif obat-obat antiektoparasit itu antara lain Sevin, Ivermectin, Delmethrin, Moksidektin, Cipermetrin, Cyromasin, Doramektin, Fipronil, Permetrin, Selamektin. Bahkan satu perusahaan mempunyai obat yang merupakan komposisi berbagai jenis zat aktif glutaraldehid, didesilmetil, dioktidimetil, alkidimetilbensil dan derivat terpineol untuk insektisida spektrum luas.

Sebagai contoh praktis di lapangan, Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta mempunyai cara yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.

Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit, menurut Drh Wasis, mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Maka ia pun berpendapat, Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.

Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu. Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya.

Adapun pengalaman lain, dalam membasmi lalat di peternakan, Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau mempunyai kiat kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fapet Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.

”Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat,” katanya.

Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.

Zuhri Muhammad pun merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu untuk menangani kutu, menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.

Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.

Adapun sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan pengendalian penyakit kudis pada kambing antara lain dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.


Obat Anti Cacing

Untuk berbagai jenis obat anti anticacing (anthelmintik) melawan berbagai jenis cacing pada berbagai tahap siklus hidup, Ditjen Peternakan Deptan RI juga telah mengeluarkan ijin yang terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia.

Zat aktif obat-obat anthelmentik itu antara lain Levamisol, Albendazol, Piperasin, Nitroksinil, Ivermectin, Fenbendasol, Triclabendasol, Flubendasol, Pyrantel Pamoat, Hygromysin, Klosantel, Niklosamid, Tetramisol, Parasigvantel, Fenotiasin, Oxfendasol, Avermectin, Oksibendasol, Abamektin,

Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap parasit cacing. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatkan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Adapun, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

Sementara itu, Nyoman Sadra Dharmawan dari FKH Universitas Udayana Bali menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.


Obat Herbal Anti Cacing

Saat beban biaya penggunaan obat cacing mencapai 50% dari seluruh total biaya medikasi dalam arus kas, beberapa efek samping yang merugikan ditemukan dalam penggunaan obat cacing farmasi, seperti peningkatan kekebalan cacing terhadap obat farmasi dan peningkatan kasus intoksikasi pada ternak akibat pemakaian dosis yang berlebihan.

Untuk itulah, Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan memberi pengobatan alternative terhadap kasus cacingan pada kambing selain dengan obat cacing pabrikan, bisa pula diberi: buah pinang yang hampir matang (tua) ditumbuk halus dan cairannya diminumkan (jangan diberikan kepada kambing yang sedang bunting).

Sementara di Sumatera, obat cacing tradisional seperti di Riau antara lain: Buah pinang ditumbuk halus kemudian digoreng tanpa minyak (disangrai), kemudian ambil 1 sendok teh dicampurkan 1 botol air (250 cc), lalu minumkan.

Adapun sumber Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyarankan soal obat dengan pinang itu, “Dapat pula diberi campuran terusi dengan air tembakau. Buatlah air tembakau sebanyak 1 liter sampai berwarna coklat tua, masukkan terusi 30 gram, diaduk sampai rata dan kemudian ditambah air 2 liter lagi.”

Selanjutnya, “Kambing dipuasakan dahulu selama 12 jam, lalu diberi campuran tersebut 30–50 cc (seperlima gelas) untuk setiap ekor kambing dewasa. Setelah diobati jangan diberi makan dahulu sampai 6 jam.”

Sementara itu Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga serta Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam suatu kesempatan menyatakan salah satu pilihan dalam mengobati infeksi toxocariasis sapi Penyakit Cacing pada Sapi adalah dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa RoxB).

Selanjutnyua berdasar informasi FAO Indonesia, pencegahan dan pengobatan dengan tehnik medikasi etno-veteriner di implementasikan di SPFS (Special Programme For Food Security) Asia Indonesia, dengan tujuan mendapatkan penampilan produksi terbaik dari kelompok tani. Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain.

Sumber FAO itu menyatakan, di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang, bawang putih dan biji buah pepaya.

“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” kata Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note, S.Pt, teknisi lapangan peternakan dan perikanan yang dalam suatu kesempatan menyatakan penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah).

Menurut mereka, dasar dari sistem medikasi etno-veteriner sebenarnya telah diletakkan sejak manusia melakukan domestikasi pada hewan liar untuk dijadikan hewan ternak, artinya sistem ini telah dikenal oleh nenek moyang kita dengan menggunakan manusia untuk dasar perbandingan dosis dan jenis obat yang digunakan.

Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain. Saat sekarang medikasi etno-veteriner telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan dasar-dasar biologi molekular yang sangat kuat dan ilmiah, bahkan penggunaan bahan natural telah ditujukan sebagai imuno-modulator untuk melawan beberapa jenis virus tertentu, seperti: Marek’s, Gumboro, Avian Influenza dan lain-lain.

Tehnik medikasi etno-veteriner ini telah mulai diperkenalkan di kelompok tani SPFS – Indonesia semenjak pertengahan tahun 2005 oleh Deputy Farming System-SPFS Drh Johan Purnama, MSc.

“Sebenarnya beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai obat anti-cacing dan hal ini biasa dilakukan dalam tehnik beternak pada jaman dahulu,” kata Johan.

Beberapa jenis tanaman yang biasa diberikan oleh peternak dengan tujuan sebagai obat cacing adalah: pinus, jahe, biji labu, biji pinang, bawang putih, pepaya, bawang putih, jahe, beberapa jenis tanaman karet (contoh : Ficus religiosa) dan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin dengan konsentrasi yang tinggi.

Drh Johan Purnama MSc menyatakan di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang. Biji buah pinang biasa digunakan oleh penduduk asli Lombok (Suku Sasak) untuk campuran mengunyah sirih, pohon pinang sengaja ditanam oleh penduduk asli untuk tujuan ini.

Penggunaan biji buah pinang ini ternyata sangat efektif dan sangat murah, sehingga tujuan penghematan biaya pemeliharaan dapat tercapai dengan baik, sehingga penampilan sapi di kelompok tani SPFS di Lombok Tengah juga semakin meningkat, karena kesehatannya yang terjaga dan tidak ada lagi kekuatiran dalam masalah biaya obat serta masalah keracunan obat cacing yang biasa timbul bila digunakan obat cacing farmasi.

Lalu bawang putih. Bawang putih yang biasa digunakan untuk memasak di dapur juga mempunyai khasiat anti-cacing yang sangat efektif, terutama untuk melawan infestasi cacing Ascaris sp, Enterobius dan semua jenis cacing paru-paru. Keuntungan lain dari bawang putih adalah adanya kandungan antibiotika alami yang sangat aman dan tidak meninggalkan residu di sapi, antibiotika ini akan berperan sebagai ”growth promotor” pada laju pertumbuhan sapi.

Pada pengobatan sapi-sapi muda penggunaan bawang putih sangat disarankan karena tidak pernah ditemukan efek samping yang merugikan.

Kemudian Biji Buah Pepaya. Biji buah pepaya (Carica papaya) terbukti dapat digunakan sebagai obat cacing yang sangat efektif, terutama untuk infestasi Ascaris sp. Getah pohon pepaya juga memiliki efektivitas yang sama, tetapi secara tehnis penggunaan biji buah akan jauh lebih mudah .

Menurut Drh Johan Purnama MSc, Kelompok tani Amanah adalah salah satu lokasi implementasi medikasi etno-veteriner pada ternak, kelompok ini mendapatkan gelar sebagai kelompok petani ternak terbaik di tingkat propinsi NTB hingga belasan kali, diharapkan dengan melakukan implementasi medikasi etno-veteriner pada kelompok ini akan menjadi contoh dan teladan bagi kelompok tani lain di NTB.

“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, di mana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” tutur Johan.

Hal positif lain yang didapatkan adalah bahwa petani menjadi semakin aktif belajar dalam usaha mencari alternatif obat untuk tujuan ekonomis. Rata-rata peningkatan populasi ternak untuk kelompok tani SPFS-Indonesia mencapai 87 % per tahun, dengan hambatan utama timbulnya penyakit-penyakit akibat sanitasi yang kurang baik karena kekurangan sumber air.

Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan rutin dengan perbaikan sanitasi secara optimal dan pemberian obat-obatan herbal diharapkan akan meningkatkan performa produksi ternak kelompok tani di Indonesia.

Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. (Daman Suska, iyo, YR/ berbagai sumber)

Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia Pada Babi

Nyoman Sadra Dharmawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dalam suatu kesempatan menyatakan beberapa tahun terakhir ini, banyak laporan yang membahas kehadiran cacing pita baru, yaitu bentuk ketiga dari cacing pita Taenia.

Dari sumber di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali, peneliti itu menyatakan bentuk ketiga dari cacing pita Taenia itu awalnya disebut sebagai Taenia taiwanensis. Namun, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica, karena hanya ditemukan di beberapa negara di Asia. Bentuk ketiga cacing pita ini digambarkan sebagai peralihan dari dua cacing pita klasik yang telah dikenal sebelumnya, Taenia solium dan Taenia saginata.

Menurut sumber FKH Udayana itu, menurut definisi WHO (World Health Organization), cacing pita Taenia adalah parasit siklozoonosis yang dapat menular di antara hewan vertebrata dan manusia. Ada juga yang memasukkan pada kelompok cacing anthropozoonosis karena melihat fakta selain sebagai penyebar, manusia juga menjadi inang buntu (final host) dari parasit tersebuT

Dewasa ini, dilaporkan ada bentuk ketiga dari cacing pita Taenia. Semula dikenal dengan nama Taenia taiwanensis, karena pertama kali dilaporkan di Taiwan oleh seorang pioneer P.C. Fan. Dua bentuk cacing pita sebelumnya adalah cacing pita klasik Taenia saginata atau cacing pita daging sapi dan Taenia solium atau cacing pita daging babi.

Bentuk ketiga cacing pita baru Taenia tersebut, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica. Disebut demikian, karena cacing pita ini hanya ditemukan di beberapa negara di Asia, seperti Taiwan, Korea, China (di beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara), dan Vietnam.

Cacing pita ini, tampaknya merupakan bentuk peralihan dari T saginata dan T solium. Ito dan kawan-kawan menyebut sebagai kembaran dari T saginata. Sementara Bowles dan McManus cenderung memasukkan sebagai subspesies atau strain dari T saginata. Berdasarkan penelitian morfologi dan analisis genotif, parasit ini dinyatakan sebagai spesies tersendiri dan memiliki kedekatan hubungan dengan T saginata.


Mirip

Morfologi cacing dewasa T asiatica memang sangat mirip dengan T saginata yang klasik (T saginata). Namun, memiliki perbedaan pada beberapa aspek. Perbedaan yang paling esensial adalah pada daur hidup dan lokasi berparasit bentuk sistiserkusnya pada inang antara. Secara alami, inang antara T saginata adalah sapi dan lokasi berparasit sistiserkusnya pada otot.

Sementara T asiatica, inang antaranya babi, lokasi berparasit sistiserkusnya pada hati dan organ visceral lainnya. Di sisi lain T solium dapat mengakibatkan sistiserkosis pada manusia, tidak demikian halnya dengan T saginata dan T asiatica.

Mengingat cacing ini merupakan temuan relatif baru, studi tentang penyebaran dan tingkat kejadiannya pada masyarakat masih sedikiT Sejauh ini, dilaporkan T asiatica dan sistiserkusnya hanya ditemukan di beberapa negara di kawasan Asia. Hal ini, ada yang menghubungkan dengan kebiasaan makan (eating habbits) masyarakat Asia, setidaknya di beberapa wilayah yang masyarakatnya gemar mengkonsumsi daging babi dan organ visceral atau jeroan yang tidak dimasak.


Daur Hidup

Peneliti FKH Udayana Bali itu menyatakan, daur hidup T asiatica tidak langsung, membutuhkan satu inang antara. Dari beberapa hasil penelitian eksperimental pada ternak dan manusia (sukarelawan) yang dilakukan secara terpisah-pisah, daur hidup cacing pita ini dapat dirangkaikan pada hari ke 14 pasca inokulasi, ditemukan sistiserkus muda berupa bintik-bintik kecil yang tumbuh pada hati.

Pada hari ke 21 ditemukan kista imatur yang telah memiliki rostellum dan sucker. Kait rudimenter dan adanya pergerakan aktif kista yang matur teramati pada hari ke 28.

Diagnosis terhadap adanya infeksi T asiatica dan sistiserkusnya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang telah umum dipakai mendeteksi Taenia. Untuk menemukan sistiserkus T asiatica dapat dilakukan dengan pengamatan visual lewat prosedur pemeriksaan kesehatan daging babi. Pemeriksaan ini dilakukan post-mortum terutama pada hati dan organ visceral lainnya.

Teknik diagnostik yang sekarang dikembangkan dan cocok untuk mendeteksi kista T asiatica secara ante-mortum adalah pemeriksaan serologis. Uji serologis dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasil ekperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, dilaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi.

“Walaupun demikian, teknik ini bukan berarti tidak memiliki kelemahan, karena pada umumnya uji serologis sering menunjukkan variasi keakuratan yang lebar,” katanya.

Selanjutnya, usaha-usaha untuk meningkatkan sensitivitas uji ELISA telah diupayakan oleh beberapa pakar, namun spesifitasnya masih tetap merupakan suatu problem tersendiri. Rendahnya spesifisitas uji serodiagnosis umumnya sering berasal dari penggunaan antigen kasar. Karena itu pemurnian antigen merupakan salah satu langkah untuk mengatasi problem tersebuT

Seperti halnya untuk diagnosis pada taeniasis intestinal lainnya, diagnosis pasti terhadap spesies T asiatica tergantung dari identifikasi parasitnya. Dengan cara identifikasi ini, akan diketahui sifat-sifat atau ciri khas yang biasanya ada pada proglottid, telur atau scolexnya.

Menurut Eom dan Rim sedikitnya ada empat ciri khas yang menonjol yang dapat digunakan sebagai indikator morfologi T asiatica, terutama bila dibandingkan dengan T saginata klasik. Keempat ciri tersebut adalah:

1) adanya rostellum pada scolex

2) adanya tonjolan pada posterior proglottid gravid

3) banyaknya jumlah ranting uterus

4) adanya bentukan kutil pada permukaan gelembung sistiserkusnya.

Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik yang lebih akurat dan kini banyak digunakan untuk membedakan spesies T asiatica dengan spesies Taenia lainnya.

Beberapa peneliti yang telah berhasil mendeteksi karakteristik T asiatica dengan menggunakan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat sekuen amplifikasi menggunakan reaksi rantai polymerase di antaranya adalah Zarlenga, Bowles dan McManus.

Teknik diagnostik molekuler dan serologis (imunodiagnosis) terhadap taeniasis dan sistiserkosis secara umum, juga dilaporkan peneliti lainnya. Teknik tersebut dapat digunakan untuk mendiagnosis T asiatica.


Pencegahan dan Pengobatan

Nyoman Sadra Dharmawan menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.

Upaya pencegahan dapat dilakukan seperti pencegahan terhadap taeniasis akibat T saginata dan T solium. Tindakan pencegahan tersebut pada prinsipnya terdiri atas:

(1) menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati orang yang mengandung parasit, dan mencegah kontaminasi tanah dengan feses manusia;

(2) pemeriksaan hati dan organ visceral babi terhadap adanya sistiserkus;

(3) memasak hati babi bila akan dikonsumsi. Penyebaran penyakit dapat pula ditekan lewat jalur pendidikan, kontrol melalui program-program kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat veteriner

Terungkapnya bentuk ketiga cacing pita Taenia ini, menurut Nyoman Sadra Dharmawan sekaligus menjawab pertanyaan yang menjadi teka-teki mengenai fenomena taeniasis di Asia.

Fenomena yang dimaksud adalah kondisi paradoksal yang memperlihatkan dominannya kasus taeniasis di beberapa wilayah di Asia, yang diduga akibat infeksi cacing pita daging sapi (T saginata), namun terjadi pada masyarakat yang lebih suka mengkonsumsi daging babi.

Dari uraian di depan, Nyoman Sadra Dharmawan menyimpulkan pada fenomena di atas, ternyata cacing pita yang menginfeksi bukan T saginata, melainkan T asiatica. Sistiserkusnya (C. viscerotropica) berparasit pada hati babi dan morfologi cacing dewasanya memang sulit dibedakan dengan T saginata.

Mengakhiri uraian ini, peneliti mengungkapkan, bahwa kemungkinan T asiatica juga dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, masih diperdebatkan dan dianjurkan untuk diteliti lebih lanjuT Belum ada cukup bukti yang menunjukkan T asiatica dapat berkembang dan menyebabkan sistiserkosis pada manusia.

Namun, katanya, “Langkah yang bijak selain meningkatkan kewaspadaan dan upaya pencegahan, adalah melakukan penelitian untuk mengungkap keberadaan T asiatica secara lengkap dan menyeluruh.” (Infovet/ Sumber FKH Udayana)

Kasus Cacingan Pada Ruminansia Sapi, Kambing, Domba dan Rusa

Tuimin peternak sapi Bali dengan sistem gaduhan di Kelurahan Lembah Damai Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru menyatakan, sejauh ini belum ditemukan sapi dengan pertumbuhan yang lambat meskipun makanan yang diberikan cukup kandungan gizi dan jumlahnya.

”Konsep beternak itu sebenarnya adalah pemeliharaan ternak sesuai dengan habitat ternak itu sendiri,” papar Tuimin. Artinya adalah: pemeliharaan ternak dengan sepenuh hati. Ternak juga membutuhkan lingkungan yang sehat, pakan yang cukup dan perhatian penuh dari si pemeliharanya.

Bila kondisi ini diadopsi oleh peternak, “Saya yakin takkan ditemui lagi kasus kematian ternak mati akibat penyakit,” pungkas Bendahara Kelompok Petani Kecil (KPK) Kalui ini.

Sebetulnya, dengan perlakuan yang baik itu, apa saja jenis penyakit cacing yang sebetulnya berpotensi menyerang namun ternyata (mungkin) tidak menyerang sapi peternak itu?

(Balai Informasi Pertanian Lembang (Indonesia) menyatakan tiga jenis cacing yang paling sering menyerang ternak ruminansia adalah: Fasciola gigantica, haemonchus contortus dan Neoascaria vitulorum.

Fasciologis merupakan penyakit yang secara ekonomi menimbulkan banyak kerugian, baik penurunan berat badan dan karkas, produksi susu, gangguan reproduksi sampai pada kematian. Akibatnya pada manusia yang mengkonsumsi hati (mentah) yang berasal dari sapi, domba dan kambing terinfeksi, penelitian terhadap 3000 anak-anak di Egypt, sebanyak 3% terinfeksi dan menunjukkan gejala anemi berat. Syndrom fasciolocis ini di Libanon disebut Halzoun dan di Sudan disebut Marrera.

Akibat penyakit zoonosis ini, tidak kurang 2 juta kasus fasciolocis pada manusia mengalami peningkatan sejak tahun 1980 Dilaporkan, tingginya prevalensi penyakit ini terjadi terutama di daerah spesifik seperti di Bolivia (65-92%), Equador (24-53%), Mesir (2-17%) dan Peru (10%).

Demikian Prof Drh Kurniasih M VSc PhD dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM tahun yang selanjutnya menambahkan, beberapa usaha pencegahan dilakukan antara lain pemusnahan hospes intermedier (siput) dan rotasi penggembalaan.

“Meski begitu, sulit dan tidak efektif jika dilakukan di Indonesia. Karena peternak umumnya hanya memiliki sedikit hewan, 1-5 ekor dan kurangnya lahan rumput untuk penggembalaan,” ungkapnya.

Adapun Drh R Budi Cahyono dari PT Agrotech Veterindo Jaya menyatakan pada kambing kasus cacingan yang paling banyak dijumpai adalah cacing hati. Sementara pada ternak lain adalah cacing gelang. Namun kesemuanya mempunyai sama akibat: pertumbuhan ternak terganggu! Ujung-ujungnya masalah ekonomi.

Penyakit Cacing pada Sapi

Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga menyatakan, Toxocara vitulorum, merupakan cacing askarid. Stadium dewasanya banyak dijumpai pada anak sapi (pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian.

Menurut mereka menyitir kata Connan, yang dikutip oleh Simon dan Syahrial, pedet yang menderita toxocarosis, akan kehilangan bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan. Selain itu infeksi toxocariasis juga bersifat zoonotik (menular ke manusia dan sebaliknya).

Upaya pengendaliannya menurut mereka sampai saat ini belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya informasi tentang keadaan toxocariasis pada pedet. Tersedianya obat cacing, umumnya hanya berkhasiat terhadap stadium dewasa, kurang berkhasiat untuk stadium larva dan telur. Ternak sapi, khususnya sapi Madura sangat potensial untuk dikembangkandan peranan ternak ini bagi peternak cukup besar.

Hal ini karena ternak sapi sewaktu-waktu dapat dijual bila diperlukan. Kepemilikan ternak sapi selain menghasilkan daging juga pupuk, serta kulit dan tulangnya mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam bidang industri dan kerajinan.

“Sapi Madura adalah sapi yang termasuk dalam jenis sapi potong, tetapi pertumbuhannya lambat. Sapi yang biasa hidup di lahan kering, ditinjau dari sudut kesehatan ternak, sapi Madura relatif lebih tahan terhadapkondisi lingkungan yang ada, baik kondisi kekurangan pakan maupun infeksi penyakit,” kata peneliti Universitas Airlangga itu.

Walaupun demikian penyakit parasit cacing khususnya cacing saluran pencernaan pernah dilaporkan Disnak Jatim. Menurut Simon dan Syahrial serta Gunawan dan Putra penyakit yang sering dijumpai pada pedet adalah gangguan parasit usus.

Salah satu jenis parasit usus yang sering dilaporkan menyerang pedet muda adalah toxocariasis. Parasit cacing ini menimbulkan kerugian yang cukup besar, bahkan dapat mengakibatkan kematian pada pedet. Toxocariasis merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara tropik dengan kelembaban tinggi.

Menurut beberapa peneliti angka prevalensi toxocariasis pada pedetdi beberapa negara/daerah adalah sebagai berikut: Myanmar sebesar 89%; India 81,6%; Nigeria 98%; Surabaya 43,29%, Garut 54,24%, Malang Selatan 76%.

Setelah melakukan penelitian, Dr Drh Setiawan Koesdarto, Dr Drh Sri Subekti dan Dr Herra Studiawan menyatakan prevalensi telur Toxocara vitulorum pada pedet sapi Madura menunjukkan perbedaan sangat nyata antara musim kemarau dan musim penghujan. Prevalensi tertinggi didapatkan pada musim penghujan, yaitu sebesar 60,8% sedangkan pada musim kemarau sebesar 25,4%.

Setelah mengetahui angka prevalensi toxocariasis pada pedet di wilayah Madura dapat ditindak lanjuti dengan membuat dan melaksanakan program pengendalian dan pencegahan bagi terhadap infeksi terhadap Toxocara vitulorum.


Kasus Cacingan pada Kambing

Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyatakan penyebab penyakit cacing adalah berbagai jenis cacing bulat alat pencernaan lambung dan usus. Biasanya banyak menyerang kambing muda (di bawah umur 1 tahun).

Sumber di Dinas Peternakan Banjarbaru Kalimantan Selatan itu menyatakan, tanda-tanda ternak kambing yang diserang cacing adalah: kambing kelihatan lesu, lemah dan pucat; bulu kasar dan tidak mengkilat; kurus, pertumbuhan lambat; kadang-kadang mencret.

Pencegahannya antara lain dapat dilakukan dengan menghindarkan kambing dari tempat yang lembab dan digenangi air dimana banyak terdapat larva cacing, serta dengan pemberian obat cacing yang teratur.


Penyakit Cacing pada Domba

Program Warung Informasi dan Teknologi WARINTEK yang bersifat nasional yang ditangani Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia di Bantul Yogyakarta menyampaikan bahwa semua usia domba dapat terserang penyakit cacing.

Penyebabnya adalah cacing Fasciola gigantica (Cacing hati), cacing Neoascaris vitulorum (Cacing gelang), cacing Haemonchus contortus (Cacing lambung), cacing Thelazia rhodesii (Cacing mata).

Sumber pada Departemen Pertanian Republik Indonesia menyatakan untuk pencegahan penyakit: sebelum dikandangkan, domba harus dibebaskan dari parasit internal dengan pemberian obat cacing, dan parasit eksternal dengan dimandikan.


Cacing Pada Rusa

Adapun I Made Dwinata dari Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana telah melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing nematoda pada rusa yang ditangkarkan di Bali.

Sumber pada Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jumlah menyatakan, sampel penelitian sebanyak 55 ekor rusa. Pemeriksaan feses rusa dilakukan dengan menggunakan metode konsentrasi apung dan untuk mengetahui intensitas infeksi menggunakan metode modifikasi Cornel Mc. Master.

Hasil penelitian Parasitologi Veteriner FKH Unud itu, didapatkan prevalensi infeksi cacing nematoda pada rusa yang ditangkarkan di Bali sebesar 78,18 % dan hanya terinfeksi oleh cacing tipe strongyl.

Hasil analisis menunjukkan perbedaan tempat penangkaran rusa berpengaruh nyata, tetapi jenis kelamin dan jenis rusa tidak berpengaruh nyata terhadap prevalensi infeksi cacing nematoda. Rata-rata total telur per gram (TTPG) tinja pada rusa didapatkan sebesar 144  67 butir.

Memang ada tiga jenis cacing yang paling sering menyerang ternak ruminansia yaitu: Fasciola gigantica, haemonchus contortus dan Neoascaria vitulorum. Namun, jangan sepelekan jenis-jenis cacing yang lainnya, bukan? (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)


Kasus Cacingan Pada Ayam

Soal penyakit cacing pada ayam ini, pada ayam yang paling banyak menyerang adalah cacing pita. Terutama pada ayam petelur, karena ayam ini hidupnya lebih lama dan cacing pun membutuhkan waktu untuk siklus hidupnya. Berbeda dengan ayam pedaging yang masa peliharaannya rata-rata satu kali masa panen cuma 35 hari, sehingga untuk siklus hidup cacing juga sangat pendek apalagi untuk menyerang dan menimbulkan penyakit. Demikian Drh R Budi Cahyono dari PT Agrotech Veterindo Jaya.

Parasit helmin atau cacing memang secara alami ditemukan pada berbagai jenis unggas liar dan unggas peliharaan. Beberapa spesies parasit cacing acap kali ditemukan secara kebetulan pada saat melakukan bedah bangkai pada ayam.

Di lapangan, ada dua jenis parasit cacing internal yang sering dijumpai pada unggas seperti Nematoda atau cacing gilig dari jenis Nemathelminthes dan Cestoda atau cacing pipih dari jenis Platyhelminthes. Dalam pengendaliannya, dibutuhkan identifikasi spesies yang tepat dan pengetahuan tentang siklus hidup kedua cacing tersebut.

Nematoda merupakan kelompok parasit cacing yang terpenting pada unggas, hal ini terkait dengan jumlah spesiesnya dan kerusakkan yang disebabkan cacing tersebut. Kelompok Nematoda mempunyai siklus hidup langsung dan tidak langsung.

Pada siklus hidup langsung, Nematoda tidak membutuhkan inang perantara untuk menginfestasi ayam atau unggas lainnya sedang pada siklus hidup tidak langsung, Nematoda membutuhkan inang perantara untuk kelangsungan hidupnya.

Demikian menurut akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau, seraya menambahkan, banyak jenis Nematoda yang dapat menyerang ayam peliharaan seperti:

(1) Nematoda yang menyerang saluran pencernaan adalah Capilaria, Gongylonema, Dyspharynx, Tetrameres, Ascaridia, Heterakis, Strongyloides dan Trichostrongylus. Pada bagian ini, yang perlu diwaspadai peternak adalah Capilaria, Ascaridia dan Trichostrongylus yang sering menyerang ayam yang dipelihara dengan sistem ekstensif.

(2) Nematoda yang dijumpai pada saluran pernafasan adalah Syngamus yang dikenal juga dengan istilah cacing merah karena warna cacing ini merah atau cacing garpu karena cacing jantan dan betina dalam kopulasi selalu terlihat seperti hurup “Y”.

(3) Nematoda yang dapat dijumpai pada mata adalah Oxyspirura. Infeksi Oxyspirura pada ayam liar seperti ayam kampung sering dijumpai. Cacing ini dijumpai di bawah selaput niktitan, kantong konjungtiva dan saluran nasolakrimalis mata.

Manifestasi klinis pada ayam yang terinfestasi Oxyspirura adalah oftalmia atau radang mata yang berat, gelisah dan terus menerus menggaruk mata yang terlihat basah dan memerah karena radang.

Kemudian selaput niktitan terlihat membengkak, sedikit menonjol di bawah kelopak mata di bagian sudut mata dan biasanya digerakkan secara terus menerus sebagai usaha untuk mengeluarkan benda asing dari dalam mata.

Pada kondisi parah, kelopak mata terlihat bertaut dan di bawahnya dapat ditemukan material mengeju berwarna putih. Jika tidak diobati, infestasi Oxyspirura dapat menimbulkan kebutaan pada ayam.



Askaridiasis pada Ayam

Perkembangan dunia perunggasan di negara kita, memang sudah banyak menciptakan peluang bisnis. Hal ini disebabkan karena bisnis perunggasan bisa dijangkau masyarakat kalangan bawah, dapat dipelihara oleh masyarakat atau peternak dengan lahan yang cukup kecil, kapital “demand power” yang cukup kuat, menyebabkan ternak ini lebih cepat perkembangannya dibandingkan dengan perkembangan ternak lain. Demikian Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan,

Namun, menurut mereka, para peternak tidak sedikit mengalami hambatan dan rintangan selain harga pakan yang terus naik, obat-obatan yang cukup mahal juga adanya berbagai macam penyakit yang sering menyerang ternak. Salah satu penyakit pada ayam yang sering ditemui adalah askaridiasis.

Penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascaridia galli yang menyerang usus halus bagian tengah. Cacing ini menyebabkan keradangan dibagian usus yang disebut hemorrhagic. Larva cacing ini berukuran sekitar 7mm dan dapat ditemukan diselaput lendir usus. Parasit ini juga dapat ditemukan dibagian albumen dari telur ayam yang terinfeksi.

Menurut Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia itu, infeksi Ascaridia dapat disebabkan oleh Ascaridia galli, Ascaridia dissmilis, Ascaridia numidae, Ascaridia columbae, Ascaridia compar, dan Ascaridia bonase. Selain berparasit pada ayam, Ascaridia galli juga ditemukan pada itik, kalkun, burung dara, dan angsa. Cacing ini tinggal didalam usus halus, berwarna putih, bulat, tidak bersegmen dan panjangnya sekitar 6-13 cm.

Ascaridia galli merupakan suatu parasit cacing yang paling sering ditemukan pada unggas peliharaan dan menimbulkan kerugian ekonomik yang cukup tinggi. Cacing tersebut biasanya menimbulkan kerusakan yang parah selam bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva.

“Migrasi terjadi di dalam lapisan mukosa usus dan menyebabkan pendarahan (enteritis hemoragi). Jika lesi tersebut bersifat parah, maka kinerja ayam akan menurun secara dramatis. Ayam yang terinfeksi akan mengalami gangguan proses digesti dan penyerapan nutrien sehingga dapat menghambat pertumbuhan,” tambah mereka.

Selanjutnya, cacing Ascaridia bersifat spesifik untuk suatu spesies tertentu dan tidak ada/hanya sedikit kemungkinan terjadi infeksi silang antara jenis unggas yang satu dengan yang lainnya. Ascaridia galli berparasit pada ayam, kalkun, burung dara, itik, dan angsa.

Kaya situ situ, siklus hidup Ascaridia galli tidak butuh hospes perantara. Penularan cacing tersebut biasanya melalui pakan, air minum, litter, atau bahan lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh Ascaridia galii.

Lalu, pada umur 2-3 bulan, ayam akan membentuk kekebalan berperantara seluler terhadap cacing tersebut. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat ditolerer oleh tanpa adanya kerusakan tertentu pada usus. Infestasi 10 ekor cacing pada ayam dewasa dianggap tidak berbahaya, namun lebih dari 75 ekor akan menimbulkan masalah tertentu.

Adapun, infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing yang terdapat didalam tubuh. Status nutrisi dari hospes juga penting karena penurunan berat badan lebih tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan kadar protein tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan protein lebih rendah.

Pada infeksi berat dapat terjadi penyumbatan pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortilitas.

“Infeksi Ascaridia galli tidak mempengaruhi terhadap kadar protein darah, packed cell-volume (PCV) atau kadar hemoglobin. Penyakit tersebut mempunyai efek sinergistik dengan penyakit lain, misalnya koksidiosis dan Infectious bronchitis (IB). Cacing tersebut juga dapat membawa reovirus dan menularkan virus tersebut,” kata mereka.

Kadang-kadang, Ascaridia galli juga dapat ditemukan dalam telur ayam, hal ini dapat dihubungkan dengan kemampuan cacing untuk bermigrasi kedalam oviduk melalui kloaka, sehingga cacing tersebut akan terbungkus oleh kulit telur.

Selanjutnya, umur ayam dan derajat keparahan infeksi memegang peranan penting dalam kekebalan terhadap cacing tersebut. Ayam yang berumur 3 bulan atau lebih menunjukan adanya resistensi terhadap infeksi Ascaridia galli. Status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap cacing tersebut. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatakan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Akhirnya, menurut Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia itu, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

Semakin paham tentang penyakit cacing pada ayam, semakin kita pastikan lebih sempurnalah penanganan kesehatan terhadap sang ayam! (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)

Ketika Ternak (Jangan) Diserang Cacing

Marilah berorientasi pada pengendalian penyakit, tindakan konprehensif yang tidak semata-mata menekankan pada pengobatan untuk mengobati setelah kasus penyakit terjadi.

Itulah yang ingin dikatakan Hanafiah dan Dwi Yulistiani sesuai sumber dari Balai Penelitian Ternak Litbang Peternakan dalam suatu kesempatan. Mereka pun menyampaikan hasil penelitian mereka berupa difusi inovasi teknologi pengendalian penyakit infeksi cacing saluran pencernaan secara berkesinambungan pada domba melalui pendekatan partisipatif di Desa Tegalsari, Purwakarta dan desa Pasiripis, Majalengka, Jawa Barat.

Menurut para peneliti itu, penyakit infeksi cacing pada saluran pencernaan pada domba merupakan salah satu penyakit yang menghambat produksi ternak domba terutama pada sistem pemeliharaan secara digembalakan. Cara yang lebih efektif untuk mengatasi masalah penyakit ini adalah melalui pemberdayaan dengan membekali pengetahuan peternak mengenai beberapa aspek produksi dan kesehatan ternak dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi infeksi cacing.

Penelitian Balai Penelitian Ternak Litbang Peternakan itu dilakukan untuk mengetahui difusi inovasi teknologi pengendalian secara berkesnambungan penyakit infeksi cacing saluran pencernaan pada domba melalui pendekatan partisipatif di Desa Tegalsari, Kabupaten Purwakarta dan Desa Pasiripis, Majalengka. Inovasi teknologi yang diintroduksi berdasarkan problem yang ada dan dirasakan oleh peternak di kedua desa tersebut.

Survai dilakukan menggunakan metode wawancara dengan peternak non kooperator masing-masing 14 orang di Desa Tegalsari dan 17 orang di Desa Pasiripis. Responden diambil secara acak sederhana dengan berpedoman pada nama-nama peternak yang sudah pernah berhubungan dengan peternak kooperator. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif.

Dari hasil wawancara didapat hasil bahwa semua responden (100%) telah mengadopsi pengobatan cacing pada domba dan suplementasi pakan dengan hijauan legum. Dasar pertimbangan responden mengaplikasikan tersebut adalah hasil yang didapat dengan menggunakan teknologi tersebut paling meyakinkan dan mudah diaplikasikan, dapat diketahui manfaatnya dalam waktu yang relatif singkat.

Secara keseluruhan berdasarkan informasi dari peternak (kooperator dan non kooperator) di Desa Tegalsari telah ada 24 orang dan di Desa Pasiripis sudah ada 30 orang peternak non kooperator yang sudah mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit cacing saluran pencernaan pada domba.


Lingkungan dan Pola Hidup Cacing

Siklus hidup cacing adalah cacing ditularkan pada waktu ternak memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi atau tercemar oleh ternak lain dengan telur cacing. Bisa juga cacing disebarkan dari induk ke anaknya. Cacing hidup di usus ternak dan memproduksi banyak telur. Masalah ini biasa terjadi pada musim hujan.

Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab.

Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Lalu peternak yang bagaimana yang perlu mendapat perhatian lebih terkait jenis entoparasit dari golongan cacing ini?

Adalah Drh Rondang Nayati MM Kepala Sub Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau menyatakan, ternak ruminansia lebih rentan terpapar cacing bila dibanding dengan jenis ternak lainnya. Ternak dimaksud seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.

Namun, untuk jenis ternak lainnya, kasus cacingan tetap bisa dijumpai. “Untuk kasus cacingan pada ternak, fokus kita memang pada ternak ruminansia terutama sapi dan kambing, karena kedua hewan ini sangat rentan dan populasinya di Riau juga cukup tinggi,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada ini.

Lebih lanjut dikatakannya, pada peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri meskipun pada lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfestasi cacing ketimbang sapi yang dipelihara dengan sentuhan pemeliharaan modern.

Manifestasi klinik Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita. Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Frekuensi invasi metaserkaria sangat menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.

Sementara itu, sumber di Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau menyatakan bahwa rumput sebagai pakan utama ternak ruminansia tetap dianggap sebagai faktor predisposisi infestasi atau adanya parasit dalam tubuh ternak. Hal ini dikaitkan dengan siklus hidup cacing sebelum masuk ke dalam tubuh ternak.

Pada cacing hati misalnya, cacing dewasa hidup di dalam duktus biliferus dalam hati domba, sapi, babi dan kadang-kadang manusia. Dikatakan narasumber dari kalangan dokter hewan itu, bentuk tubuh cacing hati seperti daun dengan ukuran 30 x 2 - 12 mm dengan bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten, merupakan modifikasi dari epidermis dan mulut disokong atau dibatasi.

Kemudian, cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan membelok, mirasidium berenang dengan silianya dan serkaria dengan ekornya.

Cacing ini merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.

Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfe, kemudian sisa-sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.

“Cacing hati dewasa bertelur di pembuluh empedu domba dan sapi, telur keluar melalui pembuluh empedu dan terekskresi melalui feses, kemudian telur menetas menjadi mirasidium, masuk ke dalam tubuh siput (Lymnaea sp) atau termakan oleh siput,” papar narasumber calon mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor ini.

Lalu, lanjutnya, “Infestasi cacing hati pada sapi terjadi bila kista atau metaserkaria yang keluar dari tubuh keong menempel pada tumbuh-tumbuhan air terutama selada air (Nasturqium officinale), kemudian tumbuhan tersebut dimakan sapi, masuk ke dalam tubuh sapi tersebut dan menjadi cacing dewasa yang akan menyebabkan Fasioliasis.”

Lalu apa yang harus dilakukan peternak? “Peternak harus proaktif menyikapi prilaku dan siklus hidup cacing tersebut,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini. Artinya, sebelum rumput diberikan kepada sapi atau ternak lainnya, rumput tersebut perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, ini bertujuan agar Metaserkaria cacing tersebut mati.

Menurut Radiopoetro, suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.

Terkait pemberantasan cacing ini, Drh Rondang Nayati MM kembali menegaskan bahwa tetap bermula dari kemauan peternak, artinya bila peternak menginginkan ternaknya tumbuh sehat maka peternak harus memperhatikan kaidah-kaidah beternak yang baik sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh petugas lapangan.

”Budaya hidup bersih juga dapat diterapkan seperti membersihkan lingkungan sekitar kandang, menghindari genangan air dengan cara membuat saluran air, membuang atau mengumpulkan kotoran sapi dan kotoran jenis ternak lainnya pada satu tempat, sehingga pada akhirnya, peternak meraup keuntungan bukan saja dari ternak yang dipelihara, namun keuntungan lain juga datang dari limbah ikutan seperti pupuk kandang,” pungkas mantan Kepala Laboratorium type B Dinas Peternakan Provinsi Riau ini.


Mengontrol Cacing pada Ternak

Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note SPt dari SPFS (Special Programme For Food Security) FAO untuk Asia Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan, “Penggunaan obat anti parasit internal (cacing) dalam pemeliharaan sapi adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak, karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang secara periodik dalam siklus pemeliharaan.”

Menurut sumber SPFS FAO untuk Asia Indonesia, beberapa tehnik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput.

Pembuatan kompos dari kotoran sapi juga akan memutus siklus hidup parasit, karena telur cacing akan menyebar melalui kotoran sapi, sehingga bila kotoran sapi dikumpulkan dan digunakan untuk membuat kompos maka siklus hidup cacing akan terputus dengan sendirinya, karena adanya pemanasan pada proses dekomposisi kotoran sapi (34º C).

“Pada dasarnya beban biaya medikasi untuk pemeliharaan sapi mencapai 5-10% dari total biaya (farm overhead cost), dimana lebih kurang 50 % nya digunakan untuk biaya pembelian obat anti-cacing,” ujar Johan Purnama dan Taufikurrahman Pua Note.

Kerugian lain, lanjut mereka, yang timbul adalah adanya resistensi cacing pada beberapa jenis obat, yang memaksa peternak untuk semakin meningkatkan jumlah dosis obat yang diberikan pada sapi dimana hal ini akan memberikan efek samping yang bersifat toksik pada sapi.

“Residu obat cacing yang keluar melalui tinja juga akan semakin meningkatkan kekebalan cacing terhadap obat cacing di lingkungan penggembalaan sehingga penggunaan bahan farmasi sebenarnya menimbulkan efek negatif yang cukup signifikan,” kata mereka.


Diagnosa Tepat Bermanfaat

Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula. Untuk ketepatan diagnosa, narasumber Infovet menyatakan perhatikan gejala yang tampak pada ternak.

Bila ternak tidak ada nafsu makan, katanya, maka periksalah dulu bagian mulut dan gigi. Periksa juga suhu (kalau tinggi, mungkin ada infeksi umum). Berikan antibiotika injeksi setiap hari selama 3 - 5 hari. “Bila bukan seperti gejala diatas setelah diperiksa, kemungkinan penyakit kronis. Hubungi dokter hewan,” katanya.

Adapun bila nafsu makan ternak bagus, ada kemungkinan pakan mutunya kurang baik/ busuk/ berjamur. Untuk itu narasumber Infovet menyatakan supaya peternak mengganti pakan.

Gejala-gejala bila ternak itu cacingan antara lain: sapi kurus dan lemah, nafsu bisa kurang, kurang darah (anaemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret.

Selanjutnya salah satu metoda untuk melakukan diagnosa penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada sapi dan kerbau, misalnya, adalah dengan menggunakan antigen Fasciola.

Kita ambil salah satu contoh, narasumber Infovet menyatakan, antigen fasciola ini merupakan suspensi cacing hati dalam larutan garam faali dan ditambah merthiolate. Kemasannya antara lain vial berisi 5 ml antigen.Untuk penyimpanan, simpan pada suhu 2°-8° C (lemari es), jangan pada suhu beku. Selama peredaran antigen harus berada pada suhu 2°- 8° C.

Untuk pemakaian antigen fasciola ini, narasumber Infovet ini menyatakan, “Cukur bersih bulu daerah pangkal ekor dengan diameter 5 cm. Kocok antigen sampai rata sebelum dipakai. Lalu suntikkan 0,2 ml antigen intradermal ditengah tempat yang telah dicukur.”

Kemudian tunggu 15-30 menit, periksa daerah suntikan jika terjadi penebalan kulit yang mengeras (induras), ukur diameter daerah penebalan. “Hindari daerah penyuntikan dari sentuhan tangan, alkohol atau antiseptika lain sampai waktu pengukuran,” sarannya.

Akhirnya, hasil positif bila diameter penebalan lebih dari 15 mm. Negatif bila diameter penebalan kurang dari 15 mm. Interpretasinya, jika diameter penebalan lebih besar atau sama dengan 15 mm, maka ternak tersebut menderita penyakit Cacing Hati.

“Bila sama sekali tidak terjadi penebalan atau diameter penebalan kurang dari 15 mm, ternak tersebut tidak menderita penyakit Cacing Hati,” tegas sang narasumber. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)

Penyakit Protozoa Bukan Dusta

Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Nomor 6 Tahun 1967 (6/1967) Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 j menyatakan: penyakit hewan menular ialah penyakit hewan, yang membahayakan oleh karena secara cepat dapat menjalar dari hewan pada hewan atau pada manusia dan disebabkan oleh virus, bakteri, cacing, protozoa dan parasit.
Menurut ensiklopedia, protozoa mencakup banyak organisme renik heterotrof bersel tunggal populer seperti Amoeba serta Paramaecium. Namanya berasal dari dua kata bahasa Yunani: proto (awal) dan zoon (hewan), sehingga berarti "hewan pertama". Organisme ini dianggap sebagai eukaryota pertama yang bisa hidup sebagai sel tunggal di alam. Oleh karena itulah protozoa lazim disebut sebagai hewan bersel satu.

Koksidiosis
Penyakit karena protozoa pada ayam, yang paling dikenal adalah Koksidiosis dengan gejala utama berak darah. Peternak pun mengenal penyakit protozoa lain seperti malaria unggas dan Leucocytozoonosis.
Koksidiosis, penyakit menyerang sistem pencernaan. yang ditimbulkan oleh Koksidia disebabkan oleh berbagai spesies genus Eimeria. Saat ini diketahui terdapat sembilan spesies Eimeria yang menyerang ternak ayam dengan enam spesies di antaranya bersifat patogenik (menimbulkan penyakit) dan menyebabkan penyakit.
Suatu riset menyebutkan, biaya pengobatan dan pemberian aditif pakan anti-koksidiosis tidak kurang dari US $ 300 juta per tahun untuk seluruh wilayah penghasil unggas dunia. Bukankah itu harga yang teramat mahal yang harus dibayar jika peternak lalai melakukan tindakan pencegahannya?
Infeksi berawal dari tertelannya ookista yang telah mengalami sporulasi. Ookista ini dapat ditularkan secara mekanik melalui anak kandang, peralatan kandang atau litter yang tercemar. Ayam yang telah terinfeksi Eimeria tenella dapat dikenali dari jenggernya yang kelihatan pucat, disamping kotorannya bercampur darah.
Koksidia dapat menyerang setiap saat setelah anak ayam berumur 2 minggu. “Jangan biarkan penyakit pembunuh ini menyerang tiba-tiba. Pendarahan dan kotoran berwarna hitam adalah indikasi awal dari penyakit ini, terutama Koksidiosis jenis cekak (cecal). Anak ayam yang terinfeksi bulunya tidak mulus, aktivitasnya di bawah normal dan nafsu makan dan minumnya berkurang,” kata narasumber Infovet.
“Jangan menunggu sampai semua ayam di kandang menunjukkan gejala yang sama baru mengambil tindakan pengobatan. Begitu kelihatan ada tanda yang mengarah pada penyakit itu, segera obati,” saran narasumber Infovet.
Narasumber itu menguraikan, agar ayam terhindar dari berak darah, harus dilakukan langkah-langkah pencegahan seperti pengaturan sistem ventilasi udara yang baik, pengaturan kepadatan kandang yang sesuai dengan kapasitasnya dan penyediaan tempat pakan dan minum yang cukup.
Khusus untuk pengaturan tempat air minum, sebaiknya menggunakan tempat minum nipple drinker agar tidak banyak air yang tumpah ke litter. Hal ini dapat mengurangi resiko kelembaban tinggi pada litter. “Jangan lupa berikan koksidiostat (pencegah berak darah) kimiawi dan ionoforik untuk broiler dan koksidiostat sintetik untuk induk dan pullet petelur sesuai dengan petunjuk yang ada,” tegasnya.
Menurutnya, ventilasi yang baik dapat mencegah penyakit yang disebut Koksidiosis. Apabila penyakit ini menyerang, ayam akan banyak yang mati dan yang bertahan hidup akan cacat seumur hidupnya.

Toksoplasmosis
Protozoa lain yang terkenal di kalangan peternakan adalah Toksoplasmosis. Dikneal, Toksoplasmosis adalah penyakit yang sering dijumpai di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan memelihara kucing. Bila kucing memangsa tikus yang mengandung toksoplasma maka kucing ini akan dapat terinfeksi. Bila terinfeksi maka tinja kucing bisa mengandung oosist (salah satu bentuk toksoplasma yang dapat menimbulkan infeksi).
Di usus kucing itulah parasit ini berkembang biak. Telurnya keluar bersama tinja. sekali keluar bisa jutaan. Telur toksoplasma mampu bertahan hidup setahun di tanah lembab dan panas. Jika telur tertelan manusia, di organ tubuh manusia telur berbiak lalu masuk ke jaringan otak, jantung dan otot. Disana telur akan berkembang menjadi kista.
Toksoplasma tidak hanya menginfeksi kucing tetapi juga kelinci, anjing, babi, burung, kambing dan mamalia lainnya. Bedanya, kista toksoplasma dalam daging manusia bukan sumber penularan. Sedangkan kista di daging mamalia dan burung biasanya dimangsa anjing atau kucing. Babi, kambing, ternak dan hewan pengerat tertular toksoplasma dari memakan rumput yang tercemar tinja kucing.
Pada tahun 2005, toksoplasma dari kucing setelah dilakukan penelitian terbukti telah menulari hewan lain terutama sapi di wilayah Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Saat itu, berdasarkan penelitian Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Balai Besar Veteriner Provinsi DIY, dari 11 ekor kucing di Kecamatan Seyegan yang diteliti ternyata tujuh ekor di antaranya positif terjangkit toksoplasma.
Ditelitinya kucing di wilayah Seyegan itu karena di kecamatan tersebut sebelumnya banyak ditemukan sapi keguguran yang disebabkan tertular toksoplasma dari kucing, apalagi di wilayah itu terdapat banyak kucing liar.
Kecurigaan pada kucing, karena di wilayah itu banyak kucing liar yang membuang kotoran di pagar rumput kemudian dimakan oleh sapi. Dari kondisi inilah diyakini api yang terjangkit toksoplasma akibat tertular dari kucing melalui rumput yang diyakini telah terkontaminasi toksoplasma dari kotoran kucing.

Tripanosomiasis
Lazimnya dikenal sebagai penyakit Surra, disebabkan oleh semacam protozoa yang merupakan parasit darah yaitu Trypanosoma evansi. Penyakit Surra ini merupakan penyakit menular pada hewan dapat bersifat akut maupun kronis. Penyakit Surra Penyakit Surra biasanya terjadi secara sporadis tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi wabah.
Dinas Peternakan Propinsi Sumatra Barat Di Sumatera Barat melaporkan kejadian penyakit Surra ditemukan pada tahun 70-an dan pernah terjadi wabah surra pada tahun 1976 di Kab. Sawahlunto Sijunjung pada ternak kerbau dimana sebanyak 353 ekor sakit dan mati bangkai sebanyak 19 ekor.
Setelah terjadi wabah surra tahun 1976, kasus sporadis hampir setiap tahun ada seperti di daerah-daerah kantong penyakit surra yaitu Kec. Rao Mapat Tunggul Kab. Pasaman, Kec. Rambatan Kab. Tanah Datar, Kec. Matur Kab. Agam dan Kec. Pancung Soal Kab. Pesisir Selatan.
Semenjak tahun 1999 s/d tahun 2004 kasus penyakit surra sudah mulai menghilang kemungkinan berkaitan dengan vektor lalat penghisap darah seperti Tabanus yang hidup pada semak belukar sudah mulai berkurang populasinya, di samping itu daerah tersebut sudah terdesak dengan bangunan-bangunan.
Terkait dengan parasit protozoa ini, pada tahun 2007 ini Guru Besar dalam bidang ilmu Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Unair Prof Dr Drh H Setiawan Koesdarto MSc menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar tentang Penyakit Parasitik Pada Pengembangan Sapi Madura.
Menurutnya, sapi Madura tak terlepas dari serangan penyakit. Salah satu diantaranya adalah penyakit parasitik, penyakit ini disebabkan oleh beberapa agen. Selama bertahun-tahun telah dilakukan beberapa kajian tentang parasitik, meliputi helmin, protozoa darah, dan vektor lalat beserta interaksinya pada sapi Madura.
Menurut Prof Setiawan Koesdarto dalam suatu kesempatan, peluang penularan trypanosomiasis dapat terjadi jika terdapat reservoir, yaitu sapi yang terinfeksi. Mekanisme penularan dipengaruhi oleh kemampuan terbang vektor, kemampuan menyebar, serta daya tahan hidup T evansi pada vektor.
"Lama hidup pada habitat probosis vektor maksimal 4 jam. Sedangkan pada habitat fore gut maksimal 9 jam," urai Prof Setiawan Koesdarto.

Anaplasmosis/Piroplasmosis
Meski bukan wabah, Dinas Peternakan Propinsi Sumatra Barat pun melaporkan adanya kasus Anaplasmosis/ Piroplasmosis. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang tidak ditularkan secara kontak (non contagious) yang dapat bersifat perakut sampai kronis.
Tanda penyakitnya, demam tinggi, anemia, ichterus tanpa hemoglobinuria, di dalam eritrosit hewan penderita terdapat agen penyakit yang bentuknya seperti ”titik“ yang disebut Anaplasma, biasanya yang patogen adalah anaplasma marginal.
Penyakit ini lebih sering menyerang ternak sapi dan kerbau. Anaplasma maupun Piroplasma termasuk dalam golongan rikettsia yang ditularkan oleh lalat penghisap darah.
Menurut sumber di Dinas Peternakan Propinsi setempat, di Sumatera Barat belum pernah terjadi wabah anaplasmosis maupun piroplasmosis, dari hasil pemeriksan darah (ulas darah) secara sporadis sering ditemukan, tetapi tidak menimbulkan gejala klinis. Cara penularan yang lain melalui caplak sebagai induk semang alami, memindahkan penyakit ini secara transovarial kepada caplak keturunannya.
Caplak bertindak sebagai induk semang antara. Pada tahun 2001 hal ini pernah terjadi pada sapi impor ex Australia di BPTU Padang Mengatas dan menyebabkan kematian ternak hampir 15 ekor.
Dispet Sumbar bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit anaplasmosis maupun piroplasmosis.

Protozoa yang Lain
Kalangan di luar kedokteran hewan dan peternakan pun mengenal dan mensosialisasikan penyakit karena protozoa. Dinas Koperasi, Usaha Kecil Dan Menengah Propinsi DKI Jakarta mengenal Penyakit karena Protozoa sebagai penyakit ini berasal dari protozoa (trichomoniasis, Hexamitiasis dan Blachead).
”Penyakit ini dimasukkan ke golongan parasit tetapi sebenarnya berbeda. Penyakit ini jarang menyerang ayam lingkungan peternakan dijaga kebersihan dari alang-alang dan genangan air,” kata narasumber pada dinas tersebut.
Salang satu gejala yang paling umum diketahui bila protozoa menyerang pencernaan adalah diare. ”Penyakit diare memiliki manusia dan ternak sebagai reservoirnya. penyakit ini dapat disebarkan lewat tinja hewan dan manusia yang sedang sakit. Penularannya bisa dengan jalan tinja mengontaminasi makanan secara langsung ataupun tidak langsung (lewat lalat). Oleh karena itu, manajemen penyehatan lingkungan lewat perbaikan sanitasi dan penyediaan air bersih juga harus dilakukan,” kata narasumber tersebut.

Protozoa Pada Ternak Ruminansia
Adapun sumber di Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran menyampaikan, di dalam rumen terdapat populasi mikroba yang cukup banyak jumlahnya.Mikroba rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama yaitu bakteri, protozoa dan fungi. Protozoa diklasifikasikan berdasarkan morfologinya sebab mudahdilihat berdasarkan penyebaran silianya.
Protozoa rumen diklasifikasikan menurut morfologinya yaitu: Holotrichs yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang fermentabel, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulutumumnya merombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna.
Jelas, secara tempat hidup protozoa di dalam tubuh, ada yang protozoa darah maupun yang tinggal di luar darah. Namun protozoa berpotensi merugikan dan menimbulkan penyakit, apalagi bila banyak faktor penunjang yang tidak dipedulikan.
Dari penyebaran protoa yang menimbulkan beberapa penyakit tadi, tampak bahwa parasit lain seperti serangga pun berpotensi menjadi inang perantara yang menyebarkan protozoa untuk berpindah dari hewan ke hewan lain.
Artinya, semakin dalam kita paham tentang makhluk-makhluk parasit, termasuk protozoa, akan makin kita peduli terhadap kesehatan ternak kita. (YR/ berbagai sumber)

Jurus Akademik Menguasai Ilmu Serangga dan Penyakitnya

Adalah Dr Drh FX Koesharto MSc, ahli serangga yang dimiliki Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, menerima Infovet dalam ruang kerjanya dalam rangka wawancara tentang lalat berkenaan dengan sebuah liputan terkait produk lalat sebuah perusahaan obat hewan.

Wawancara yang dinamis itu menghantar pada suatu pemahaman bahwa seorang yang tekun pada bidangnya bakal sanggup menguasai ilmu itu, ilmu yang terbukti sangat dibutuhkan peternak dalam menangani persoalan serangga dan penyakit parasit yang dapat ditimbulkannya pada peternakan bahkan meluas pada kehidupan manusia sehari-hari.

Bahkan berkat keahliannya, Dosen FKH IPB Dr Drh FX Koesharto MSc pun ‘dipakai’ oleh berbagai kalangan bersifat nasional dan masuk katagori penting dalam bidang ini. Sebutlah prestasi-prestasi FX Koesharto yang juga menjadi referensi perusahaan obat hewan nasional PT Novartis Indonesia Animal Health Bussiness Unit yang dikenal sebagai perusahaan yang setia mengawal peternakan melawan parasit lalat dan sejenisnya.

Dr Drh FX Koesharto MSc juga Dosen Entomologi Kesehatan (ENK, Pascasarjana FKH IPB), Pengajar International Field Biology Course in Indonesia (IBOY Training Course in Indonesia) 2005, bersama Departemen Pertanian menggawangi standarisasi pestisida, bersama Departemen Kesehatan meneliti Studi Komunitas Nyamuk Tersangka Vektor Filariasis Di Daerah Endemis di Jawa Timur, dan berbagai prestasi lainnya.

Itulah cermin pragmatis dari keberhasilan dunia akademis dalam mencetak insan yang tekun mendalami bidangnya. Nahwa, dengan belajar secara tekun siapapun dapatlah menguasai ilmu, dalam konteks liputan fokus kali ini tentang penyakit parasit. Dan dalam konteks Dr Drh FX Koesharto MSc adalah tentang serangga dan penyakit yang disebabkan oleh parasit serangga pada ternak.

Dalam konteks almamaternya, kurikulum di FKH IPB Bogor lah yang menjadi jurus jitu menguasai ilmu lalat dan penyakitnya. Dalam bahasa peternak dan insan praktisi peternakan dan kesehatan hewan: “Inilah ilmu-ilmu yang dapat kita miliki untuk menjaga keamanan peternakan kita dari parasit dan penyakit yang disebabkan oleh parasit serangga!”

Ilmu-ilmu itu mutlak harus dikuasai oleh dokter hewan bahkan menjadi kurikulum wajib, apalagi dokter hewan ahli penyakit ternak lantaran parasit serangga, namun boleh dipahami oleh peternak dan masyarakat peternakan dan kesehatan hewan pada umumnya.

Kuasailah ilmu ini, itu kuncinya. Bahkan, dalam Jurusan Entomologi Kesehatan Pasaca Sarjana FKH IPB pun, akan didapat manfaat lebih dalam tentang ilmu itu, yang tentu mendasari penerapannya. Tentu saja, sebab di sini dipelajari biologi dan klasifikasi serangga, berbagai aspek bioekologi serangga, serta klasifikasi serangga sampai dengan familia (suku). Dibicarakan pula beberapa kaidah dasar dalam taksonomi dan sistematika hewan.

Tertarik untuk menguasai ilmu ini untuk kepentingan hajat hidup lebih luas? Di sini, pelajari struktur dan fungsi alat tubuh serangga, bentuk dan susunan tubuh serangga, eksternal maupun internal, berikut fungsi faali berbagai bagian dan sistem dalam tubuh serangga.

Lalu pahamilah ihwal arthropoda pengganggu kesehatan, daur hidup, ekologi, serta peranan serangga, tungau dan caplak dalam mengganggu kesehatan manusia. Juga, berbagai alternatif cara pengendalian.

Seorang ahli bidang ini sudah tentu mesti menguasai soal penyakit yang ditularkan serangga vektor, berbagai penyakit yang disebabkan oleh parasit, bakteri, virus dan berbagai berbagai agen patogen yang dapat ditularkan oleh nyamuk, lalat, pinjal dan ektoparasit lain.

Anda pun bagus untuk tahu proses penularan, hubungan antara patogen dan vektor, proses keberhasilan dalam proses transmisi serta proses keberhasilan vektor untuk menularkan ke inang. Mengertilah kondisi lingkungan dan perilaku manusia yang dapat menunjang proses penularan.

Jangan lupakan, biosistematika nyamuk, morfologi, eko-biologi nyamuk dalam kaitannya dengan lingkungan kehidupannya yang spesifik di dalam setiap habitat. Kuasai: taksonomi dan identifikasi nyamuk yang spesifik di dalam suatu daerah dan perubahan eksternal dan internal akibat perubahan lingkungan.

Ketahuilah soal arthropoda pengganggu kesehatan hewan, pelajari morfologi, daur hidup dan perilaku dari semua ektoparasit baik yang terbang dan merayap yang mengganggu kehidupan hewan dan ternak dalam penampilan dan produksi ternak.

Kemudian, soal serangga permukiman, pelajari investasi serangga dan tungau di tempat permukiman manusia, khususnya sebagai pengganggu ketentraman hidup maupun kesehatan. Kenali bioekologi dan cara-cara pengendaliannya.

Ihwal parasitologi medis, bahas daur hidup dan bioekologi parasit, berikut patogenesis dan kelainan-kelainan yang diakibatkannya. Dengan satu penekanan: parasit-parasit yang ditularkan oleh arthropoda (serangga).

Kita yang tertarik pun patut tahu tentang pestisida serangga kesehatan. Kajilah sifat fisik dan kimiawi, formulasi, aplikasi serta daya kerja pestisida yang biasa digunakan dalam dunia kesehatan dan veteriner.

Adapun, kita juga butuh metodologi penelitian entomologi kesehatan. Bahas berbagai kaidah dasar tentang pelaksanaan suatu penelitian, dari sejak perumusan ide awal, perencanaan, pelaksanaan, analisis data, hingga pelaporan hasil.

Sesudah itu, lanjutkan secara kristis bahasan berbagai pendekatan dan metodologi khusus yang lazim ditempuh dalam penelitian bidang entomologi kesehatan baik di laboratorium maupun lapangan.

Juga ada bahasan pengendalian serangga kesehatan. Tahukah, di sini pun ada falsafah, strategi dan taktik dalam menghadapi masalah vektor dan serangga kesehatan lainnya. Untuk itu berbagai cara dan pendekatan pengendalian serangga dibahas secara kritis, terutama yang digunakan dalam dunia kesehatan dan veteriner.

Tak terlupa, filosofi entomologi kesehatan. Maknai ilmu entomologi dalam sudut pandang kesehatan manusia. Bahas fungsi peranan entomologis dalam upaya penanggulangan kerugian dan penyakit karena atau yang ditularkan oleh serangga.

Kuasai, proses penularan vektor serangga oleh patogen sampai proses penularan ke manusia, serta faktor lingkungan termasuk perilaku manusia yang menunjang penularan.

Juga kuasai masalah khusus entomologi kesehatan. Ada berbagai topik pilihan dalam lingkup entomologi kesehatan khususnya untuk menunjang tesis atau disertasi.

Telaah mendalam berbagai aspek bidang Entomologi Kesehatan, pembahasan kritis terhadap beberapa permasalahan aktual.

Bahas lebih mendalam permasalahan yang diakibatkan oleh ektoparasit pada hewan dan ternak terutama perubahan lingkungan yang terbaru serta dampak ekonomis yang ditimbulkan.

Adapun hal akarologi kesehatan lanjut adalah telaah mendalam berbagai aspek bidang akarologi kesehatan dan veteriner, pembahasan kritis terhadap beberapa permasalahan aktual.

Masih ada lagi: kevektoran dan transmisi penyakit, di sini menelaah kapasitas vektor dalam kaitannya dengan potensi penularan penyakit.

Selanjutnya tentang ekologi ektoparasit bahas hubungan antara parasit dengan lingkungannya, termasuk syarat-syarat makanan dan kondisi setempat untuk melangsungkan hidupnya. Ada juga praktikum untuk mempelajari komunitas parasit pada berbagai kondisi habitat.

Kemudian soal fisiologi nyamuk, bahas lebih mendalam kondisi fisiologi nyamuk khususnya yang berkaitan dengan proses penularan penyakit dan keterdekatannya dengan manusia atau hewan.

Dari ilmu-ilmu wajib untuk menguasi penanganan terhadap serangga dan penyakit yang disebabkannya pada ternak, saat ini Dr Drh FX Koesharto MSc adalah salah satu pengajarnya, selain para dosen yang lain. Kajian ilmiah dalam kurikulum wajib di fakultas itulah yang menjadi dasar kuat kaum peternakan kita menangani serangga dan keberadaannya sebagai parasit penyebab penyakit.

Itulah yang disebut: Ilmu yang bermanfaat! (YR/ berbagai sumber)

KUTU BUKAN SEMBARANG KUTU

“Persyaratan sapi antara lain gemuk, tidak menunjukkan cacat fisik yang tidak diinginkan dan bebas dari ekto parasit. Yang termasuk cacat fisik yang tidak diinginkan adalah patah kaki, patah punggung, luka dan membahayakan keselamatan sapi yang bersangkutan atau sapi lain selama transportasi, serta cacat fisik lainnya. Termasuk ekto parasit adalah lalat, caplak dan kutu.”

Perhatikan, bukan main pentingnya tenak bebas dari penyakit parasit, termasuk kutu!

Sumber di Dinas Peternakan jawa Barat menyatakan bahwa melalui caplak dan kutu yang berpindah dapat ditularkan, Q fever, suatu penyakit yang bersifat zoonosis.

Drh Agus Lelana SpMp MSi dari FKH IPB dalam suatu kesempatan menyatakan kepada wartawan, layaknya bakteri Anthraks, Coxiella burnetti, bakteri penyebab penyakit Q Fever dapat disusupkan orang tak bertanggungjawab ke dalam produk makanan asal hewani sebagai senjata teror. Membahayakan kesehatan manusia, gejalanya tampak seperti flu biasa.

Jelas, kutu dapat menjadi perantara penyakit. Sehingga, Infovet sangat keheranan ketika menjumpai pada satu peternakan, kutu frengki begitu banyak pada kotoran ayam di lantai kandang ayam peternakan petelur. Lantas Infovet abadikan dalam gambar di pada artikel ini.

Begitulah, tentang penyakit parasit serangga ini, di samping lalat, kutu juga merupakan musuh utama peternak terutama peternak yang memelihara layer dengan kondisi manajemen kandang yang kurang bagus.

Apabila anak ayam dibiarkan berkeliaran, mereka harus dilindungi dari pemakan mangsa dan ayam yang buas terutama pada malam hari. Tikus dan kutu ayam kalau dibiarkan dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan ayam yang ahirnya dapat menimbulkan penyakit.

Kutu merupakan ektoparasit yang sering ditemukan pada burung termasuk ayam. Kutu ayam digolongkan pada ordo Mallophaga yakni kutu yang mengunyah.

Hal ini berdasar pada terdapatnya mandibula yang terletak di bagian ventral kepala, tubuh pipih di bagian dorso ventral dan adanya antena pendek dengan 3-5 segmen. Mallophaga berkepala lebar dengan mandibula yang mengeras dan berpigmen.

Diantara spesies kutu yang harus diwaspadai kehadirannya di farm peternakan adalah kutu pada kepala (Cuclotogaster heterographa), kutu bulu halus (Goniocotes gallinae), kutu ayam coklat (Goniodes dissimilis), kutu sayap (Lipeurus caponis), kutu tubuh (Menachantus stramineus

Keberadaan kutu sebagai musuh utama ayam peliharaan peternak merupakan hal yang harus dihindari. Hal ini dikemukan M Hadie peternak broiler di Panam pinggiran Kota Pekanbaru.

Menurutnya, keberadaan lalat di kandang sangat mengganggu terutama pada broiler memasuki periode minggu kedua pemeliharaan. Sumber Infovet menyatakan, apabila bulu unggas rontok pada bagian perut atau sekitar dubur, penyebabnya pada umumnya adalah adanya parasit seperti kutu.


Metode Anti Kutu

Lalu bagaimana trik yang digunakan Hadie dalam memangkas perkembangbiakan kutu?

“Hanya dengan metode mekanik yakni dengan cara meningkatkan biosekuriti ternak dan biosekuriti luar dan dalam kandang. Dalam berusaha kita pasti ingin untung kan, sama halnya dalam pemeliharaan ayam, takkan ada penyakit bila kita mau menerapkan cara beternak yang baik dan yang dianjurkan oleh petugas lapangan dari kemitraan dan para Technical Service,” pungkas Hadie.

Sedang Zuhri Muhammad SPt Technical Service PT Medion merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu. Menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.

Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.


Penyakit Kudis

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung menyatakan, kambing bisa terserang penyakit, di antaranya kurap/kudis yang disebabkan parasit kulit, termasuk kutu. Tanda-tanda penyakit ini, kambing gelisah karena gatal, bulu rontok, kulit merah dan menebal. Tempat yang sering diserang adalah wajah, telinga, pangkal ekor, dan leher. Penyakit ini bisa dicegah dengan kebersihan dan pemisahan ternak yang sakit.

Demikian juga Sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan bahwa kudis merupakan penyakit menular yang menyerang kulit domba pada semua usia.

Akibat dari penyakit ini produksi domba merosot, kulit menjadi jelek dan mengurangi nilai jual ternak domba. Penyebab penyakit kudis ini adalah parasit berupa kutu yang bernama Psoroptes ovis, Psoroptes ciniculi dan Chorioptes bovis.

Gejala domba yang terserang kudisan: tubuh domba lemah, kurus, nafsu makan menurun dan senang menggaruk tubuhnya. Kudis dapat menyerang muka, telinga, perut punggung, kaki dan pangkal ekor.

Pengendaliannya antara lain: dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.

Tentu Anda pun kaya pengalaman yang lain untuk berbagi. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber).

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer