Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PENYAKIT 2006, KEBANGKRUTAN, PEMBERANTASAN DAN KESERIUSAN

(( Penyakit-penyakit itu jelas merugikan dan membangkrutkan dunia peternakan serta bahkan juga memungkinkan manusia tertular. Ada yang dapat menyebabkan kerugian langsung yang dapat dilihat dan dirasakan. Tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian yang tidak dapat dilihat secara langsung meskipun penyakit tersebut sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan hidup dunia para petani peternak. ))

Bukan sembarang flu burung tetapi silent flu burung yang sebenarnya benar-benar nge-trend di tahun 2006. Demikian Mantan Direktur Jenderal Peternakan yang Guru Besar FKH UGM Prof Drh Wasito MSc PhD.
Seperti diketahui, katanya, bahwa flu burung pada unggas dianggap ada 2 bentuk, yaitu low pathogenic avian influenza (LPAI) dan highly pathogenic avian influenza (HPAI). LPAI (hanya) akan menyerang saluran pernafasan dan saluran pencernaan, sedangkan HPAI selain menyerang saluran pernafasan dan saluran pencernaan juga akan menyerang organ-organ lain ayam penderita, misalnya otot-daging dan folikel telur.
“Hasil penelitian kami di lapangan sejak 2003 sampai saat ini (2006), membuktikan bahwa sebenarnya flu burung yang bentuknya berbeda dengan LPAI dan HPAI mendominasi wabah pada unggas di Indonesia setelah kejadian wabah HPAI di penghujung tahun 2003 dan juga wabah HPAI pada unggas di Makassar (terutama Sidrap) sekitar awal tahun 2005,” tutur ilmuwan yang mantan orang nomor satu di sub sektor peternakan di negeri ini.
Menurut Dr Wasito, Flu burung pada unggas yang kita sebut dengan nama silent flu burung inilah sebenarnya yang nge-trend di tahun 2006. “Mengapa demikian?” tanyanya seraya menjawab, “Karena unggas penderita silent flu burung, pada umumnya, tidak menunjukkan gejala klinis dan lesi patolologis anatomis, dan uji serologis deteksi antibodinya negatif, tetapi dalam tubuhnya ada virus flu burung (H5N1) (dengan uji reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), dan imunohistokemistri antibodi monoklonal anti nukleoprotein flu burung.”
Selain itu, lanjutnya, seringkali, unggas penderita silent flu burung menunjukkan gejala klinis seperti Newcastle disease (ND), yaitu curled toe paralysis (lumpuh jari kaki) dan torticolis (kepala “teler” digerak-gerakkan miring ke kanan dan ke kiri tidak beraturan. Dan, pada saat nekropsi, terlihat adanya lesi patologis anatomis berupa pembengkakan dan perdarahan di bagian brutu (bursa Fabricius) dan otot daging di bagian paha dan tempat-tempat lain.
Hal tersebut, paparnya, akan sangat membingungkan dan pada umumnya, unggas penderita langsung di-punish dengan diagnosa infectious bursal diasease (bursitis atau IBD), Newcastle disease (ND) atau bahkan langsung didiagnosa infeksi kombinasi antara IBD dan ND.
Celakanya lagi, ungkap Wasito, di bawah mikroskop, pada otak akan terlihat lesi histopatologis menciri akibat infeksi virus, yaitu lymphoid perivascular cuffing. Kriteria utama dalam penentuan diagnosa apakah ayam menderita silent flu burung atau tidak, yang kita lakukan adalah dengan uji imunokemistri jaringan.
Sehingga, solusi diberikan Doktor lulusan Amerika ini, penanganan flu burung tidak mudah, diperlukan terutama dokter hewan yang benar-benar punya “jam terbang” kerja riset lapangan dan laboratorik yang memadai, jika tidak demikian, maka usaha kontrol dan pengendalian, termasuk pencegahan, dan pemberantasan flu burung dapat berakibat tidak hanya gagal, tetapi juga fatal pada unggas dan manusia.
Adapun lanjutnya, selain silent flu burung, brucellosis, IBR, SE, rabies, anthrax yang nge-trend didasarkan pada kasus-kasus wabah di lapangan tahun 2006. Sebenanrnya, jika dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci dan benar, kemungkinan besar akan diketahui adanya penyakit-penyakit infeksi tersembunyi, metabolik dan eksotik di era perdagangan global saat ini.
Adapun menurut Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS, Wakil Dekan FKH IPB, Bogor selain Flu Burung, penyakit apa lagi yang nge-trend di tahun 2006 dan selanjutnya perlu diwaspadai adalah penyakit pernapasan, jika yang dimaksud penyakit pada unggas, seperti CRD, Snot, Swollen Head Syndrome, kolibasilosis, koksidiosis dan Gumboro (very virulent Gumboro virus).
Adapun menurut Dr Wayan yang beken di televisi dalam kampanye penanggulangan Flu Burung, pada hewan mamalia, khususnya pemamah biak, anthrax perlu diwaspadai. Pada carnivora adalah Rabies.
Sedangkan dari Prof drh Roostita jga dari FKH IPB menyatakan di tahun 2006 yang paling dominan adalah Flu burung sebab secara global yang banyak disorot dan ditakuti masyarakat. Sedangkan kasus penyakit yang lain sudah banyak yang menurun seperti, Brucellosis, Rabies, Anthrax dll.

Sukar Diberantas?

Menjawab pertanyaan Infovet kenapa penyakit-penyakit itu susah diberantas, Prof Wasito menyatakan hal ini karena:
a) Koordinasi dan penanganan penyakit tampak masih sepotong-potong.
b) Kurang mengikut-sertakan dan mengoptimalkan, terutama organ-organ pemerintah yang terkait (yang seharusnya menangani permasalahan penyakit) dan nukleus industri peternakan, serta petani peternak
c) Kebijakan dan penerapannya belum atau kurang didasarkan pada aras kajian ilmiah keilmuan yang mendasari individual penyakit
d) Lemahnya koordinasi di pusat pemerintahan, apalagi penerapannya di lapangan.
e) Otonomi daerah kurang diberdayakan
f) Dana yang ada kurang dimanfaatkan secara tepat guna (masih digunakan untuk hal-hal yang bersifat umum). Pengadaan peralatan disama-ratakan di semua laboratorium yang ada.
g) Laboratorium-laboratorium yang ada belum difungsikan secara spesifik, khusus dan optimal. (Sebenarnya sudah ada laboratorium rujukan dengan fasilitas dan aktivitas khusus menciri, tetapi tampaknya kurang diperhatikan kinerjanya).
h) Tumpang tidih tugas pokok dan fungsi laboratorium yang menangani penyakit hewan dan ternak tampaknya semakin banyak terjadi (karena kebijakan, terutama pemenuhan kelengkapan fasilitas penunjang laboratorium yang tidak terarah dan kurang didasari landasan ilmiah otonomi daerah penyakit spesifik indigenous)
i) Fasilitas pendukung penanganan penyakit hewan dan ternak di-daerah (baca: di desa-desa) sangat jauh dari cukup, apalagi memadai. (Padahal, desa merupakan tempat asal penunjang utama segala macam aspek kehidupan masyarakat jika kita benar-benar menginginkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gemah ripah loh jinawi lan nir ing sambikolo .
Menjawab pertanyaan yang sama, kenapa penyakit-penyakit itu susah diberantas, Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS berpendapat bisa jadi masih merupakan penyakit yang biasa terjadi setiap tahun, karena penyakit-penyakit ini berkaitan dengan cara pemeliharaan yang bersifat intensif, sering peternak tidak taat azas terhadap prinsip dasar manajemen kesehatan. Misalnya memperpendek masa istirahat kandang, masih bayak ternak yang berbeda umur di suatu area peternakan, biosekuriti yang lemah dan memang ada beberapa mikroba yang tahan di lingkungan seperti E. coli, virus Gumboro dan Eimeria.
Adapun Prof drh Roostita menyampaikan penyakit-penyakit itu sulit diberantas karena penangangan tidak tuntas dan menyeluruh. Hanya bila ada kasus saja baru semua ramai2 menangani, bila kasus reda maka penangangan juga agak lambat kembali. Atau kemungkinan dari sektor peternakan tidak cukup dana untuk menangani secara tuntas di bandingkan dengan dari dari sektor kesehatan manusia. Tapi jangan lupa bahwa asal dari penykit adalah dari hewan, seharusnya harus proposional.

Kebangkrutan?
Menjawab pertanyaan apakah penyakit-penyakit itu menyebabkan kebangkrutan di dunia peternakan, Prof Wasito berpendapat jelas merugikan dan membangkrutkan dunia peternakan (dan bahkan juga memungkinkan manusia tertular). Ada yang dapat menyebabkan kerugian langsung yang dapat dilihat dan dirasakan.
Tetapi, tambah Wasito, yang lebih mengkhawatirkan adalah kerugian yang tidak dapat dilihat secara langsung meskipun penyakit tersebut sebenarnya sangat membahayakan keberlangsungan hidup dunia para petani peternak (misalnya silent flu burung pada unggas, dan IBR dan brucellosis yang diakibatkan oleh infeksi tersembunyi imunosupresif diare ganas pada sapi atau bovine viral diarrhea virus/BVDV).
Lalu, katanya, “Hasil penelitian kami dengan uji immunoperoxidase monolayer assay in vitro membuktikan, bahwa di Indonesia pada sapi perah sekitar 70-90% dan sapi potong sekitar 7-15% terinfeksi BVDV, sapi-sapi tersebut tampak normal sehat, tetapi siap menyebarkan virus ke sapi-sapi lain yang peka. Sapi-sapi penderita tersebut menjadi imunosupresif sehingga tidak aneh banyak sapi di Indonesia yang terserang IBR dan/atau brucellosis.”
Selain penyakit yang telah disebutkan di atas, tambah Wasito, penyakit mulut dan kuku, dan BSE jika masuk ke Indonesia akan sangat melumpuhkan pemberdayaan masyarakat petani peternak papa (miskin) dan marginal dan juga prekonomian secara luas. Akibat selanjutnya, jika penyakit pada hewan ternak tidak segera ditanggulangi secara serius dan benar dapat berakibat gizi buruk berkelanjutan akibat kurangnya asupan konsumsi pangan protein hewani sehingga tidak mustahil akan mengarah pada lost of generation anak bangsa.
Demikian juga penyakit pada manusia, misalnya demam berdarah, polio, “TBC dan malaria akan juga semakin susah ditanggulangi karena antibodi spesifik terhadap penyakit-penyakit yang dimaksud tidak dapat terbentuk optimal di dalam tubuh manusia penderitanya yang salah satunya akibat utamanya adalah rendahnya konsumsi pangan protein hewani masyarakat,” pendapat Wasito.
Menurut Mantan Dekan FKH UGM ini, landasan ilmiah penyakit belum atau kurang dikuasai oleh penentu kebijakan selama ini sehingga penerapan penanganan wabah penyakit hewan ternak di lapangan kurang optimal dan penyakit masih tetap saja meraja-lela menelan korban.
Adapun tentang pertanyaan yang sama, apakah penyakit-penyakit itu menyebabkan kebangkrutan di dunia peternakan, Dr I Wayan Teguh Wibawan menyampaikan, secara umum masih bisa dikendalikan, jadi tidak akan menyebabkan suatu hal katastropik bagi peternakan di Indonesia.
Sedangkan Prof drh Roostita menyampaikan apabila pemberitaan di media masa tidak proposional maka masyarakat akan takut dan enggan mengkonsumsi daging ayam, beternak ayam dan tentunya pengusaha peternakan ayam akan banyak merugi.

Keseriusan

Menjawab pertanyaan Infovet apakah langkah-langkah yang dilakukan dalam memberantas penyakit itu tidak maksimal dan tidak serius, Prof Wasito menyampaikan, tampaknya, maunya sih serius dan maksimal. Tetapi, lagi-lagi kendalanya adalah terutama landasan kajian ilmiah tentang penyakit yang kurang benar sehingga pelaksanaan tindak nyata di lapangan menjadi tidak terarah. Pemberdayaan dan keterlibatan instansi terkait belum optimal, apalagi maksimal.
Selain itu, tambahnya, sumber daya manusia yang kerja di lapangan dan penentu kebijakan tampaknya belum (kurang) menguasai penyakit-penyakit dimaksud. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya dukungan dari setiap lapisan masyarakat.
Selain itu, tambahnya, terlihat kurangnya koordinasi antar organ-organ pemerintah pusat itu sendiri, ditambah lagi, kurangnya koordinasi berkinerja positif antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat, seharusnya, terjun langsung ke daerah-daerah (desa-desa) bersinergisme dengan petugas lapangan di daerah (desa).
Akibat itu semuanya, kata Wasito, yang selalu kita jumpai sehari-hari, jika ada kasus wabah penyakit tertentu, kita ramai-ramai rapat/konferensi/workshop dll sejenisnya, pembentukan berbagai tim, tetapi penyakit tetap saja tidak tertangani secara tuntas dan bahkan menjadi lebih mewabah.
Afapun soal apakah langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam memberantas penyakit itu tidak maksimal dan tidak serius, Dr drh I Wayan Teguh Wibawan berpendapat bukan pemerintah, tapi masyarakat peternak yang harus kita tingkatkan kemauan dan kemampuannya dalam penanggulangan penyakit ini.
Andil pemerintah, katanya, adalah di dalam memastikan bahwa ada virus dengan varian baru, misalnya virus vvIBD, apakah telah dilakukan kajian secara serius untuk menyatakan keberadaan virus ini. Maka perlu dukungan dari Balai Penelitian (Balitvet, BPPV) dan atau perguruan tinggi untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi hingga ke tahap molekularnya.

Yang Perlu Dievaluasi

Menjawab pertanyaan Infovet apa yang perlu dievaluasi dalam penanganan penyakit yang terjadi di tahun 2006, Prof Wasito menyatakan:
a) Sumber daya manusia (SDM) (as a must.. the right man in the right position. Manusia yang tepat dan berdedikasi kinerja utama).
b) Peran langsung masyarakat (tampaknya, industri peternakan/perunggasan kurang didengar masukan-masukannya. Percaya diri pemerintah lebih kuat dan kurang mempertimbangkan sumbang saran masyarakat pecinta dan pemerhati kesehatan hewan dan peternakan)
c) Informasi (kasus/wabah) penyakit kepada publik/masyarakat (harus benar dan tepat disertai landasan ilmiah yang benar, jangan menyesatkan, dan sebaiknya disampaikan oleh pakar yang benar-benar menguasai permasalahan secara benar dan tepat. Sebaiknya, informasi yang disampaikan ke masyarakat luas mengandung (berisi) pernyataan-pernyataan dan gambar-gambar tentang arti penting positif, tidak perlu ditampilkan penyakitnya, yang justru berdampak menakut-nakuti masyarakat.
d) Pemberdayaan organ-organ pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan (laboratorium-laboratorium penyakit hewan yang ada harus lebih diberdayakan kinerjanya secara optimal)
e) Sinergisme kinerja organ-organ pemerintah yang terkait satu sama lain dalam penanganan penyakit hewan (lebih ditingkatkan dan dioptimalkan koordinasi kerjanya di lapangan dan laboratorium. Saat ini, masih terlihat dominasi bertindak sendiri-sendiri).
f) Kebijakan dan penerapannya di lapangan dan laboratorium (harus lebih ditekankan pada acuan kajian ilmiah yang serius, benar dan tepat).
g) Dana (terutama untuk kelengkapan sarana dan prasarana laboratorium harus didasarkan kesesuaian pada arti penting fungsi laboratorium bersangkutan, terutama keterkaitannya dengan indigenous penyakit spesifik di masing-masing daerah/wilayah, sebaiknya tidak semua laboratorium diberi fasilitas peralatan yang serupa)
h) Biosurveillance dan metoda diagnosis (perlu dievaluasi ulang terutama keterkaitannya dengan penyakit-penyakit spesifik tertentu yang seharusnya didasarkan terutama pada identifikasi agen penyebab penyakit (antigen) dan vektor utama penyebabnya.
i) Kebijakan vaksinasi terhadap penyakit tertentu (arti pentingnya harus segera dikaji- ulang )
Sedangkan Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS menyatakan sangat perlu ada evaluasi yang sifatnya menyeluruh, dari kajian epidemiologi, serologi, mikrobiologi, tata laksana peternakan hingga kemungkinan restrukturisasi peternakan di semua sektor peternakan, sektor 1 hingga sektor 4. (Ardi Winangun)

Berbagai Metode Pengobatan Penyakit Parasitik

(( Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. ))

Narasumber pada Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan, terdapat manifestasi penyakit di tingkat sel dan jaringan dari organ tubuh hewan secara komperatif, stadium perjalanan, resiko pada fungsi tubuh, dan berbagai kemungkinan etiologi yang mendasari baik yang bersifat infeksius maupun non-infeksius.

Setelah memahami mekanisme kejadian penyakit tersebut, barulah seorang ahli mampu menghubungkan konsep dasar ilmu pengetahuan medis dengan pola pengambilan keputusan klinis seperti penentuan diagnosa, pilihan prognosa, program terapi dan pencegahannya.

”Dalam mempelajari mekanisme kejadian penyakit, digunakan metode klasifikasi organ sistem untuk mengungkapkan fenomena respons sel dan jaringan terhadap agen yang merusak serta mengganggu fungsi tubuh,” kata narasumber tersebut.

Seorang ahli pun akan mampu menguraikan interaksi secara bertahap antara sel inang dan agen perusak (infeksius dan non-infeksius) secara rinci dan sistematis. Dan kesemuanya ini sangat penting sebagai dasar pengobatan penyakit. Hal ini pula yang mendasari pengobatan terhadap penyakit parasitik, yang disebabkan oleh parasit.

Berbagai jenis obat hewan anti protozoa, anthelmentika (anti cacing) dan anti ektoparasit (serangga) termaktub dalam Indeks Obat Hewan Indonesia (terakhir edisi V 2005) terbitan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI).

Indeks Obat Hewan Indonesia itu merupakan rujukan utama tentang obat yang legal dan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Obat-obat yang belum terdaftar di situ bisa jadi masih dalam proses perijinan, atau mungkin merupakan obat ilegal.

Obat Anti Protozoa
Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Barat bersaksi, lantaran obat untuk parasit darah protozoa harganya cukup mahal di samping itu jarang ada di pasaran, relatif sulit untuk memberantas anaplasma maupun piroplasma dalam darah hewan, kemungkinan dengan menghilangkan caplak dari lingkungan ternak dapat mengurangi penularan dari penyakit Anaplasmosis maupun Ppiroplasmosis.

Pernyataan Disnak Sumbar itu sekaligus sebagai masukan bagi Ditjen Peternakan Deptan RI yang telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti protozoa yang beredar di Indonesia yang termaktub dalam Indeks Obat Hewan tadi.

Jenis-jenis obat anti protozoa itu dicatat oleh Infovet zat aktifnya antara lain adalah: Diclazuril, Sulfaquinoksalin, Amprolium, Semduramisin, Toltrazuril, Diclorofenil Benseneatonitril, Monensin, Maduramisin, Sulfamonometoksin, Narasin dan Nikarbasin, Salinomisin, Isometamidum, juga ditambah Pirimetamin dan lain-lain.

Memang, dari indikasi obat-obat anti protozoa itu, kebanyakan adalah obat anti parasit Koksidiosis baik hewan besar (sapi, kambing, domba) maupun unggas dan ternak lain seperti kelinci. Lalu anti parasit Leucocytozoonosis (Malaria like disease) yang menyerang unggas, dan juga Trypanosomiasis yang menyerang sapi, kerbau, unta, kuda, keledai dan anjing.

Bagaimana dengan anti protozoa yang lain? Barangkali obat-obat tersebut bisa dimodifikasi sesuai sifat-sifat obat dan protozoa-nya yang bakal ditaklukkan? Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan Program Studi Sains Veteriner (SVT) mengungkapkan Obat Anti Protozoa memang butuh pengetahuan lebih mendalam mengenai kemampuan protozoa menginfeksi induk semang, cara-cara pencegahan dan pengendaliannya.

Ambillah contoh obat anti Toksoplasmosis yang diterapkan pada manusia. Di situ terdapat Spiramycin, suatu produk natural yang diperoleh dengan cara fermentasi dan ekstraksi dari jamur Streptomyces ambofaciens, merupakan satu-satunya makrolida yang dikenal mempunyai aktivitas antiparasit.

Spiramycin yang ditemukan oleh Pinnert-Sindico di Peronne, Perancis, merupakan anggota dari makrolida 16-ring yang mempunyai konsentrasi di jaringan tertinggi untuk kelas makrolida pada saat ini, serta mempunyai efek toksoplasmisidal yang cukup baik.

Jelas, soal obat-obat anti protozoa, kita yakin pasti banyak alternatif. Meski untuk hewan betul kita rasakan masih ada kendala seperti masukan dari Disnak Sumbar tadi.


Obat Anti Ektoparasit (Serangga Parasit)

Ditjen Peternakan Deptan RI telah mengeluarkan ijin terhadap berbagai jenis obat anti ektoparasit kutu, pinjal, nyamuk, caplak, lalat, tungau dan berbagai ektoparasit pada berbagai ternak.

Terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia, zat aktif obat-obat antiektoparasit itu antara lain Sevin, Ivermectin, Delmethrin, Moksidektin, Cipermetrin, Cyromasin, Doramektin, Fipronil, Permetrin, Selamektin. Bahkan satu perusahaan mempunyai obat yang merupakan komposisi berbagai jenis zat aktif glutaraldehid, didesilmetil, dioktidimetil, alkidimetilbensil dan derivat terpineol untuk insektisida spektrum luas.

Sebagai contoh praktis di lapangan, Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta mempunyai cara yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.

Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit, menurut Drh Wasis, mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Maka ia pun berpendapat, Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.

Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu. Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya.

Adapun pengalaman lain, dalam membasmi lalat di peternakan, Zuhri Muhammad SPt Technical Serice PT Medion Cabang Pekanbaru Riau mempunyai kiat kontrol kimia melalui aplikasi insektisida atau obat-obatan (spray, fogs dan lain-lain). Pada bagian ini, alumni Fapet Unsoed Purwokerto ini menganjurkan memilih Cyromazine yang secara nyata telah terbukti keampuhannya dalam membasmi lalat di farm-farm peternakan.

”Adapun aplikasi pemakaiannya adalah mencampur Cyromazine dengan pakan, kemudian gunakan 4-6 minggu berturut-turut, setelah itu dihentikan selama 4-8 minggu, lalu dipakai kembali, ini bertujuan untuk memutus siklus hidup lalat,” katanya.

Biasanya ini dipakai untuk farm layer karena periode pemeliharaannya cukup panjang, sedang untuk broiler Zuhri lebih menganjurkan untuk menjaga kebersihan kandang, hindari genangan air dan jangan biarkan adanya pakan yang tersisa.

Zuhri Muhammad pun merekomendasikan untuk menggunakan suatu obat tertentu untuk menangani kutu, menurutnya, penggunaan obat ini di lapangan hasilnya cukup bagus.

Adapun teknik pemakaiannya dengan cara menyemprotkan ke bagian tubuh ayam yang terserang kutu tersebut dan ini dilakukan secara terus menerus sampai tidak ditemukan lagi kutu pada tubuh ayam dimaksud.

Adapun sumber di Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyatakan pengendalian penyakit kudis pada kambing antara lain dengan mengoleskan Benzoas bensilikus 10% pada luka, menyemprot domba dengan Coumaphos 0,05-0,1%.


Obat Anti Cacing

Untuk berbagai jenis obat anti anticacing (anthelmintik) melawan berbagai jenis cacing pada berbagai tahap siklus hidup, Ditjen Peternakan Deptan RI juga telah mengeluarkan ijin yang terdaftar pada Indeks Obat Hewan Indonesia.

Zat aktif obat-obat anthelmentik itu antara lain Levamisol, Albendazol, Piperasin, Nitroksinil, Ivermectin, Fenbendasol, Triclabendasol, Flubendasol, Pyrantel Pamoat, Hygromysin, Klosantel, Niklosamid, Tetramisol, Parasigvantel, Fenotiasin, Oxfendasol, Avermectin, Oksibendasol, Abamektin,

Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap parasit cacing. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatkan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Adapun, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

Sementara itu, Nyoman Sadra Dharmawan dari FKH Universitas Udayana Bali menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.


Obat Herbal Anti Cacing

Saat beban biaya penggunaan obat cacing mencapai 50% dari seluruh total biaya medikasi dalam arus kas, beberapa efek samping yang merugikan ditemukan dalam penggunaan obat cacing farmasi, seperti peningkatan kekebalan cacing terhadap obat farmasi dan peningkatan kasus intoksikasi pada ternak akibat pemakaian dosis yang berlebihan.

Untuk itulah, Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan memberi pengobatan alternative terhadap kasus cacingan pada kambing selain dengan obat cacing pabrikan, bisa pula diberi: buah pinang yang hampir matang (tua) ditumbuk halus dan cairannya diminumkan (jangan diberikan kepada kambing yang sedang bunting).

Sementara di Sumatera, obat cacing tradisional seperti di Riau antara lain: Buah pinang ditumbuk halus kemudian digoreng tanpa minyak (disangrai), kemudian ambil 1 sendok teh dicampurkan 1 botol air (250 cc), lalu minumkan.

Adapun sumber Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyarankan soal obat dengan pinang itu, “Dapat pula diberi campuran terusi dengan air tembakau. Buatlah air tembakau sebanyak 1 liter sampai berwarna coklat tua, masukkan terusi 30 gram, diaduk sampai rata dan kemudian ditambah air 2 liter lagi.”

Selanjutnya, “Kambing dipuasakan dahulu selama 12 jam, lalu diberi campuran tersebut 30–50 cc (seperlima gelas) untuk setiap ekor kambing dewasa. Setelah diobati jangan diberi makan dahulu sampai 6 jam.”

Sementara itu Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga serta Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga dalam suatu kesempatan menyatakan salah satu pilihan dalam mengobati infeksi toxocariasis sapi Penyakit Cacing pada Sapi adalah dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temuireng (Curcuma aeruginosa RoxB).

Selanjutnyua berdasar informasi FAO Indonesia, pencegahan dan pengobatan dengan tehnik medikasi etno-veteriner di implementasikan di SPFS (Special Programme For Food Security) Asia Indonesia, dengan tujuan mendapatkan penampilan produksi terbaik dari kelompok tani. Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain.

Sumber FAO itu menyatakan, di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang, bawang putih dan biji buah pepaya.

“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, dimana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” kata Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note, S.Pt, teknisi lapangan peternakan dan perikanan yang dalam suatu kesempatan menyatakan penggunaan Bahan Herbal Sebagai Obat Anti Cacing Untuk Ternak Sapi (Lombok Tengah).

Menurut mereka, dasar dari sistem medikasi etno-veteriner sebenarnya telah diletakkan sejak manusia melakukan domestikasi pada hewan liar untuk dijadikan hewan ternak, artinya sistem ini telah dikenal oleh nenek moyang kita dengan menggunakan manusia untuk dasar perbandingan dosis dan jenis obat yang digunakan.

Sistem medikasi ini menggunakan bahan dasar natural, baik berupa tanaman, mineral, jenis-jenis hewan tertentu, akupuntur, akupresur, pengeluaran darah dan lain-lain. Saat sekarang medikasi etno-veteriner telah mengalami kemajuan yang luar biasa dengan dasar-dasar biologi molekular yang sangat kuat dan ilmiah, bahkan penggunaan bahan natural telah ditujukan sebagai imuno-modulator untuk melawan beberapa jenis virus tertentu, seperti: Marek’s, Gumboro, Avian Influenza dan lain-lain.

Tehnik medikasi etno-veteriner ini telah mulai diperkenalkan di kelompok tani SPFS – Indonesia semenjak pertengahan tahun 2005 oleh Deputy Farming System-SPFS Drh Johan Purnama, MSc.

“Sebenarnya beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai obat anti-cacing dan hal ini biasa dilakukan dalam tehnik beternak pada jaman dahulu,” kata Johan.

Beberapa jenis tanaman yang biasa diberikan oleh peternak dengan tujuan sebagai obat cacing adalah: pinus, jahe, biji labu, biji pinang, bawang putih, pepaya, bawang putih, jahe, beberapa jenis tanaman karet (contoh : Ficus religiosa) dan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan tanin dengan konsentrasi yang tinggi.

Drh Johan Purnama MSc menyatakan di SPFS diperkenalkan penggunaan beberapa jenis tanaman yang tumbuh di sekitar area yang dapat digunakan sebagai obat cacing, seperti pinang. Biji buah pinang biasa digunakan oleh penduduk asli Lombok (Suku Sasak) untuk campuran mengunyah sirih, pohon pinang sengaja ditanam oleh penduduk asli untuk tujuan ini.

Penggunaan biji buah pinang ini ternyata sangat efektif dan sangat murah, sehingga tujuan penghematan biaya pemeliharaan dapat tercapai dengan baik, sehingga penampilan sapi di kelompok tani SPFS di Lombok Tengah juga semakin meningkat, karena kesehatannya yang terjaga dan tidak ada lagi kekuatiran dalam masalah biaya obat serta masalah keracunan obat cacing yang biasa timbul bila digunakan obat cacing farmasi.

Lalu bawang putih. Bawang putih yang biasa digunakan untuk memasak di dapur juga mempunyai khasiat anti-cacing yang sangat efektif, terutama untuk melawan infestasi cacing Ascaris sp, Enterobius dan semua jenis cacing paru-paru. Keuntungan lain dari bawang putih adalah adanya kandungan antibiotika alami yang sangat aman dan tidak meninggalkan residu di sapi, antibiotika ini akan berperan sebagai ”growth promotor” pada laju pertumbuhan sapi.

Pada pengobatan sapi-sapi muda penggunaan bawang putih sangat disarankan karena tidak pernah ditemukan efek samping yang merugikan.

Kemudian Biji Buah Pepaya. Biji buah pepaya (Carica papaya) terbukti dapat digunakan sebagai obat cacing yang sangat efektif, terutama untuk infestasi Ascaris sp. Getah pohon pepaya juga memiliki efektivitas yang sama, tetapi secara tehnis penggunaan biji buah akan jauh lebih mudah .

Menurut Drh Johan Purnama MSc, Kelompok tani Amanah adalah salah satu lokasi implementasi medikasi etno-veteriner pada ternak, kelompok ini mendapatkan gelar sebagai kelompok petani ternak terbaik di tingkat propinsi NTB hingga belasan kali, diharapkan dengan melakukan implementasi medikasi etno-veteriner pada kelompok ini akan menjadi contoh dan teladan bagi kelompok tani lain di NTB.

“Penggunaan obat-obatan ternak natural secara rutin dilakukan di kelompok tani Amanah dan memberikan hasil peningkatan penampilan produksi ternak yang cukup signifikan, di mana hal ini disebabkan adanya penghematan di sektor pengadaan obat-obatan ternak,” tutur Johan.

Hal positif lain yang didapatkan adalah bahwa petani menjadi semakin aktif belajar dalam usaha mencari alternatif obat untuk tujuan ekonomis. Rata-rata peningkatan populasi ternak untuk kelompok tani SPFS-Indonesia mencapai 87 % per tahun, dengan hambatan utama timbulnya penyakit-penyakit akibat sanitasi yang kurang baik karena kekurangan sumber air.

Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan rutin dengan perbaikan sanitasi secara optimal dan pemberian obat-obatan herbal diharapkan akan meningkatkan performa produksi ternak kelompok tani di Indonesia.

Berbeda-beda tetapi tetap satu juga? Kiranya begitu. Banyak jalan menuju Roma, banyak obat melawan penyakit parasit, demi kesehatan ternak kita. (Daman Suska, iyo, YR/ berbagai sumber)

Bentuk Ketiga Cacing Pita Taenia Pada Babi

Nyoman Sadra Dharmawan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana dalam suatu kesempatan menyatakan beberapa tahun terakhir ini, banyak laporan yang membahas kehadiran cacing pita baru, yaitu bentuk ketiga dari cacing pita Taenia.

Dari sumber di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali, peneliti itu menyatakan bentuk ketiga dari cacing pita Taenia itu awalnya disebut sebagai Taenia taiwanensis. Namun, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica, karena hanya ditemukan di beberapa negara di Asia. Bentuk ketiga cacing pita ini digambarkan sebagai peralihan dari dua cacing pita klasik yang telah dikenal sebelumnya, Taenia solium dan Taenia saginata.

Menurut sumber FKH Udayana itu, menurut definisi WHO (World Health Organization), cacing pita Taenia adalah parasit siklozoonosis yang dapat menular di antara hewan vertebrata dan manusia. Ada juga yang memasukkan pada kelompok cacing anthropozoonosis karena melihat fakta selain sebagai penyebar, manusia juga menjadi inang buntu (final host) dari parasit tersebuT

Dewasa ini, dilaporkan ada bentuk ketiga dari cacing pita Taenia. Semula dikenal dengan nama Taenia taiwanensis, karena pertama kali dilaporkan di Taiwan oleh seorang pioneer P.C. Fan. Dua bentuk cacing pita sebelumnya adalah cacing pita klasik Taenia saginata atau cacing pita daging sapi dan Taenia solium atau cacing pita daging babi.

Bentuk ketiga cacing pita baru Taenia tersebut, sekarang lebih dikenal dengan Taenia Asia atau Taenia asiatica. Disebut demikian, karena cacing pita ini hanya ditemukan di beberapa negara di Asia, seperti Taiwan, Korea, China (di beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara), dan Vietnam.

Cacing pita ini, tampaknya merupakan bentuk peralihan dari T saginata dan T solium. Ito dan kawan-kawan menyebut sebagai kembaran dari T saginata. Sementara Bowles dan McManus cenderung memasukkan sebagai subspesies atau strain dari T saginata. Berdasarkan penelitian morfologi dan analisis genotif, parasit ini dinyatakan sebagai spesies tersendiri dan memiliki kedekatan hubungan dengan T saginata.


Mirip

Morfologi cacing dewasa T asiatica memang sangat mirip dengan T saginata yang klasik (T saginata). Namun, memiliki perbedaan pada beberapa aspek. Perbedaan yang paling esensial adalah pada daur hidup dan lokasi berparasit bentuk sistiserkusnya pada inang antara. Secara alami, inang antara T saginata adalah sapi dan lokasi berparasit sistiserkusnya pada otot.

Sementara T asiatica, inang antaranya babi, lokasi berparasit sistiserkusnya pada hati dan organ visceral lainnya. Di sisi lain T solium dapat mengakibatkan sistiserkosis pada manusia, tidak demikian halnya dengan T saginata dan T asiatica.

Mengingat cacing ini merupakan temuan relatif baru, studi tentang penyebaran dan tingkat kejadiannya pada masyarakat masih sedikiT Sejauh ini, dilaporkan T asiatica dan sistiserkusnya hanya ditemukan di beberapa negara di kawasan Asia. Hal ini, ada yang menghubungkan dengan kebiasaan makan (eating habbits) masyarakat Asia, setidaknya di beberapa wilayah yang masyarakatnya gemar mengkonsumsi daging babi dan organ visceral atau jeroan yang tidak dimasak.


Daur Hidup

Peneliti FKH Udayana Bali itu menyatakan, daur hidup T asiatica tidak langsung, membutuhkan satu inang antara. Dari beberapa hasil penelitian eksperimental pada ternak dan manusia (sukarelawan) yang dilakukan secara terpisah-pisah, daur hidup cacing pita ini dapat dirangkaikan pada hari ke 14 pasca inokulasi, ditemukan sistiserkus muda berupa bintik-bintik kecil yang tumbuh pada hati.

Pada hari ke 21 ditemukan kista imatur yang telah memiliki rostellum dan sucker. Kait rudimenter dan adanya pergerakan aktif kista yang matur teramati pada hari ke 28.

Diagnosis terhadap adanya infeksi T asiatica dan sistiserkusnya, dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang telah umum dipakai mendeteksi Taenia. Untuk menemukan sistiserkus T asiatica dapat dilakukan dengan pengamatan visual lewat prosedur pemeriksaan kesehatan daging babi. Pemeriksaan ini dilakukan post-mortum terutama pada hati dan organ visceral lainnya.

Teknik diagnostik yang sekarang dikembangkan dan cocok untuk mendeteksi kista T asiatica secara ante-mortum adalah pemeriksaan serologis. Uji serologis dapat memberi arti praktis dan spesifik. Dari hasil ekperimen untuk mengetahui adanya sistiserkosis pada babi dengan menggunakan ELISA, dilaporkan bahwa antibodi akan terdeteksi tiga minggu pasca infeksi.

“Walaupun demikian, teknik ini bukan berarti tidak memiliki kelemahan, karena pada umumnya uji serologis sering menunjukkan variasi keakuratan yang lebar,” katanya.

Selanjutnya, usaha-usaha untuk meningkatkan sensitivitas uji ELISA telah diupayakan oleh beberapa pakar, namun spesifitasnya masih tetap merupakan suatu problem tersendiri. Rendahnya spesifisitas uji serodiagnosis umumnya sering berasal dari penggunaan antigen kasar. Karena itu pemurnian antigen merupakan salah satu langkah untuk mengatasi problem tersebuT

Seperti halnya untuk diagnosis pada taeniasis intestinal lainnya, diagnosis pasti terhadap spesies T asiatica tergantung dari identifikasi parasitnya. Dengan cara identifikasi ini, akan diketahui sifat-sifat atau ciri khas yang biasanya ada pada proglottid, telur atau scolexnya.

Menurut Eom dan Rim sedikitnya ada empat ciri khas yang menonjol yang dapat digunakan sebagai indikator morfologi T asiatica, terutama bila dibandingkan dengan T saginata klasik. Keempat ciri tersebut adalah:

1) adanya rostellum pada scolex

2) adanya tonjolan pada posterior proglottid gravid

3) banyaknya jumlah ranting uterus

4) adanya bentukan kutil pada permukaan gelembung sistiserkusnya.

Metode pemeriksaan DNA merupakan teknik diagnostik yang lebih akurat dan kini banyak digunakan untuk membedakan spesies T asiatica dengan spesies Taenia lainnya.

Beberapa peneliti yang telah berhasil mendeteksi karakteristik T asiatica dengan menggunakan Cloned Ribosomal DNA Fragments dan melihat sekuen amplifikasi menggunakan reaksi rantai polymerase di antaranya adalah Zarlenga, Bowles dan McManus.

Teknik diagnostik molekuler dan serologis (imunodiagnosis) terhadap taeniasis dan sistiserkosis secara umum, juga dilaporkan peneliti lainnya. Teknik tersebut dapat digunakan untuk mendiagnosis T asiatica.


Pencegahan dan Pengobatan

Nyoman Sadra Dharmawan menyatakan, tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap taeniasis akibat T asiatica, hampir sama dengan pencegahan dan pengobatan pada penderita T saginata klasik.

Upaya pencegahan dapat dilakukan seperti pencegahan terhadap taeniasis akibat T saginata dan T solium. Tindakan pencegahan tersebut pada prinsipnya terdiri atas:

(1) menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati orang yang mengandung parasit, dan mencegah kontaminasi tanah dengan feses manusia;

(2) pemeriksaan hati dan organ visceral babi terhadap adanya sistiserkus;

(3) memasak hati babi bila akan dikonsumsi. Penyebaran penyakit dapat pula ditekan lewat jalur pendidikan, kontrol melalui program-program kesehatan masyarakat dan kesehatan masyarakat veteriner

Terungkapnya bentuk ketiga cacing pita Taenia ini, menurut Nyoman Sadra Dharmawan sekaligus menjawab pertanyaan yang menjadi teka-teki mengenai fenomena taeniasis di Asia.

Fenomena yang dimaksud adalah kondisi paradoksal yang memperlihatkan dominannya kasus taeniasis di beberapa wilayah di Asia, yang diduga akibat infeksi cacing pita daging sapi (T saginata), namun terjadi pada masyarakat yang lebih suka mengkonsumsi daging babi.

Dari uraian di depan, Nyoman Sadra Dharmawan menyimpulkan pada fenomena di atas, ternyata cacing pita yang menginfeksi bukan T saginata, melainkan T asiatica. Sistiserkusnya (C. viscerotropica) berparasit pada hati babi dan morfologi cacing dewasanya memang sulit dibedakan dengan T saginata.

Mengakhiri uraian ini, peneliti mengungkapkan, bahwa kemungkinan T asiatica juga dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, masih diperdebatkan dan dianjurkan untuk diteliti lebih lanjuT Belum ada cukup bukti yang menunjukkan T asiatica dapat berkembang dan menyebabkan sistiserkosis pada manusia.

Namun, katanya, “Langkah yang bijak selain meningkatkan kewaspadaan dan upaya pencegahan, adalah melakukan penelitian untuk mengungkap keberadaan T asiatica secara lengkap dan menyeluruh.” (Infovet/ Sumber FKH Udayana)

Kasus Cacingan Pada Ruminansia Sapi, Kambing, Domba dan Rusa

Tuimin peternak sapi Bali dengan sistem gaduhan di Kelurahan Lembah Damai Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru menyatakan, sejauh ini belum ditemukan sapi dengan pertumbuhan yang lambat meskipun makanan yang diberikan cukup kandungan gizi dan jumlahnya.

”Konsep beternak itu sebenarnya adalah pemeliharaan ternak sesuai dengan habitat ternak itu sendiri,” papar Tuimin. Artinya adalah: pemeliharaan ternak dengan sepenuh hati. Ternak juga membutuhkan lingkungan yang sehat, pakan yang cukup dan perhatian penuh dari si pemeliharanya.

Bila kondisi ini diadopsi oleh peternak, “Saya yakin takkan ditemui lagi kasus kematian ternak mati akibat penyakit,” pungkas Bendahara Kelompok Petani Kecil (KPK) Kalui ini.

Sebetulnya, dengan perlakuan yang baik itu, apa saja jenis penyakit cacing yang sebetulnya berpotensi menyerang namun ternyata (mungkin) tidak menyerang sapi peternak itu?

(Balai Informasi Pertanian Lembang (Indonesia) menyatakan tiga jenis cacing yang paling sering menyerang ternak ruminansia adalah: Fasciola gigantica, haemonchus contortus dan Neoascaria vitulorum.

Fasciologis merupakan penyakit yang secara ekonomi menimbulkan banyak kerugian, baik penurunan berat badan dan karkas, produksi susu, gangguan reproduksi sampai pada kematian. Akibatnya pada manusia yang mengkonsumsi hati (mentah) yang berasal dari sapi, domba dan kambing terinfeksi, penelitian terhadap 3000 anak-anak di Egypt, sebanyak 3% terinfeksi dan menunjukkan gejala anemi berat. Syndrom fasciolocis ini di Libanon disebut Halzoun dan di Sudan disebut Marrera.

Akibat penyakit zoonosis ini, tidak kurang 2 juta kasus fasciolocis pada manusia mengalami peningkatan sejak tahun 1980 Dilaporkan, tingginya prevalensi penyakit ini terjadi terutama di daerah spesifik seperti di Bolivia (65-92%), Equador (24-53%), Mesir (2-17%) dan Peru (10%).

Demikian Prof Drh Kurniasih M VSc PhD dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM tahun yang selanjutnya menambahkan, beberapa usaha pencegahan dilakukan antara lain pemusnahan hospes intermedier (siput) dan rotasi penggembalaan.

“Meski begitu, sulit dan tidak efektif jika dilakukan di Indonesia. Karena peternak umumnya hanya memiliki sedikit hewan, 1-5 ekor dan kurangnya lahan rumput untuk penggembalaan,” ungkapnya.

Adapun Drh R Budi Cahyono dari PT Agrotech Veterindo Jaya menyatakan pada kambing kasus cacingan yang paling banyak dijumpai adalah cacing hati. Sementara pada ternak lain adalah cacing gelang. Namun kesemuanya mempunyai sama akibat: pertumbuhan ternak terganggu! Ujung-ujungnya masalah ekonomi.

Penyakit Cacing pada Sapi

Dr Drh Setiawan Koesdarto dan Dr Drh Sri Subekti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Dr Herra Studiawan dari Fakultas Farmasi Universitas Airlangga menyatakan, Toxocara vitulorum, merupakan cacing askarid. Stadium dewasanya banyak dijumpai pada anak sapi (pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian.

Menurut mereka menyitir kata Connan, yang dikutip oleh Simon dan Syahrial, pedet yang menderita toxocarosis, akan kehilangan bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu dibanding pedet yang bebas cacingan. Selain itu infeksi toxocariasis juga bersifat zoonotik (menular ke manusia dan sebaliknya).

Upaya pengendaliannya menurut mereka sampai saat ini belum jelas, hal ini disebabkan belum adanya informasi tentang keadaan toxocariasis pada pedet. Tersedianya obat cacing, umumnya hanya berkhasiat terhadap stadium dewasa, kurang berkhasiat untuk stadium larva dan telur. Ternak sapi, khususnya sapi Madura sangat potensial untuk dikembangkandan peranan ternak ini bagi peternak cukup besar.

Hal ini karena ternak sapi sewaktu-waktu dapat dijual bila diperlukan. Kepemilikan ternak sapi selain menghasilkan daging juga pupuk, serta kulit dan tulangnya mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam bidang industri dan kerajinan.

“Sapi Madura adalah sapi yang termasuk dalam jenis sapi potong, tetapi pertumbuhannya lambat. Sapi yang biasa hidup di lahan kering, ditinjau dari sudut kesehatan ternak, sapi Madura relatif lebih tahan terhadapkondisi lingkungan yang ada, baik kondisi kekurangan pakan maupun infeksi penyakit,” kata peneliti Universitas Airlangga itu.

Walaupun demikian penyakit parasit cacing khususnya cacing saluran pencernaan pernah dilaporkan Disnak Jatim. Menurut Simon dan Syahrial serta Gunawan dan Putra penyakit yang sering dijumpai pada pedet adalah gangguan parasit usus.

Salah satu jenis parasit usus yang sering dilaporkan menyerang pedet muda adalah toxocariasis. Parasit cacing ini menimbulkan kerugian yang cukup besar, bahkan dapat mengakibatkan kematian pada pedet. Toxocariasis merupakan penyakit yang banyak ditemukan di negara tropik dengan kelembaban tinggi.

Menurut beberapa peneliti angka prevalensi toxocariasis pada pedetdi beberapa negara/daerah adalah sebagai berikut: Myanmar sebesar 89%; India 81,6%; Nigeria 98%; Surabaya 43,29%, Garut 54,24%, Malang Selatan 76%.

Setelah melakukan penelitian, Dr Drh Setiawan Koesdarto, Dr Drh Sri Subekti dan Dr Herra Studiawan menyatakan prevalensi telur Toxocara vitulorum pada pedet sapi Madura menunjukkan perbedaan sangat nyata antara musim kemarau dan musim penghujan. Prevalensi tertinggi didapatkan pada musim penghujan, yaitu sebesar 60,8% sedangkan pada musim kemarau sebesar 25,4%.

Setelah mengetahui angka prevalensi toxocariasis pada pedet di wilayah Madura dapat ditindak lanjuti dengan membuat dan melaksanakan program pengendalian dan pencegahan bagi terhadap infeksi terhadap Toxocara vitulorum.


Kasus Cacingan pada Kambing

Dinas Peternakan Banjarbaru Pemerintah Propinsi Kalimantan Selatan menyatakan penyebab penyakit cacing adalah berbagai jenis cacing bulat alat pencernaan lambung dan usus. Biasanya banyak menyerang kambing muda (di bawah umur 1 tahun).

Sumber di Dinas Peternakan Banjarbaru Kalimantan Selatan itu menyatakan, tanda-tanda ternak kambing yang diserang cacing adalah: kambing kelihatan lesu, lemah dan pucat; bulu kasar dan tidak mengkilat; kurus, pertumbuhan lambat; kadang-kadang mencret.

Pencegahannya antara lain dapat dilakukan dengan menghindarkan kambing dari tempat yang lembab dan digenangi air dimana banyak terdapat larva cacing, serta dengan pemberian obat cacing yang teratur.


Penyakit Cacing pada Domba

Program Warung Informasi dan Teknologi WARINTEK yang bersifat nasional yang ditangani Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia di Bantul Yogyakarta menyampaikan bahwa semua usia domba dapat terserang penyakit cacing.

Penyebabnya adalah cacing Fasciola gigantica (Cacing hati), cacing Neoascaris vitulorum (Cacing gelang), cacing Haemonchus contortus (Cacing lambung), cacing Thelazia rhodesii (Cacing mata).

Sumber pada Departemen Pertanian Republik Indonesia menyatakan untuk pencegahan penyakit: sebelum dikandangkan, domba harus dibebaskan dari parasit internal dengan pemberian obat cacing, dan parasit eksternal dengan dimandikan.


Cacing Pada Rusa

Adapun I Made Dwinata dari Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana telah melakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi infeksi cacing nematoda pada rusa yang ditangkarkan di Bali.

Sumber pada Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Jumlah menyatakan, sampel penelitian sebanyak 55 ekor rusa. Pemeriksaan feses rusa dilakukan dengan menggunakan metode konsentrasi apung dan untuk mengetahui intensitas infeksi menggunakan metode modifikasi Cornel Mc. Master.

Hasil penelitian Parasitologi Veteriner FKH Unud itu, didapatkan prevalensi infeksi cacing nematoda pada rusa yang ditangkarkan di Bali sebesar 78,18 % dan hanya terinfeksi oleh cacing tipe strongyl.

Hasil analisis menunjukkan perbedaan tempat penangkaran rusa berpengaruh nyata, tetapi jenis kelamin dan jenis rusa tidak berpengaruh nyata terhadap prevalensi infeksi cacing nematoda. Rata-rata total telur per gram (TTPG) tinja pada rusa didapatkan sebesar 144  67 butir.

Memang ada tiga jenis cacing yang paling sering menyerang ternak ruminansia yaitu: Fasciola gigantica, haemonchus contortus dan Neoascaria vitulorum. Namun, jangan sepelekan jenis-jenis cacing yang lainnya, bukan? (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)


Kasus Cacingan Pada Ayam

Soal penyakit cacing pada ayam ini, pada ayam yang paling banyak menyerang adalah cacing pita. Terutama pada ayam petelur, karena ayam ini hidupnya lebih lama dan cacing pun membutuhkan waktu untuk siklus hidupnya. Berbeda dengan ayam pedaging yang masa peliharaannya rata-rata satu kali masa panen cuma 35 hari, sehingga untuk siklus hidup cacing juga sangat pendek apalagi untuk menyerang dan menimbulkan penyakit. Demikian Drh R Budi Cahyono dari PT Agrotech Veterindo Jaya.

Parasit helmin atau cacing memang secara alami ditemukan pada berbagai jenis unggas liar dan unggas peliharaan. Beberapa spesies parasit cacing acap kali ditemukan secara kebetulan pada saat melakukan bedah bangkai pada ayam.

Di lapangan, ada dua jenis parasit cacing internal yang sering dijumpai pada unggas seperti Nematoda atau cacing gilig dari jenis Nemathelminthes dan Cestoda atau cacing pipih dari jenis Platyhelminthes. Dalam pengendaliannya, dibutuhkan identifikasi spesies yang tepat dan pengetahuan tentang siklus hidup kedua cacing tersebut.

Nematoda merupakan kelompok parasit cacing yang terpenting pada unggas, hal ini terkait dengan jumlah spesiesnya dan kerusakkan yang disebabkan cacing tersebut. Kelompok Nematoda mempunyai siklus hidup langsung dan tidak langsung.

Pada siklus hidup langsung, Nematoda tidak membutuhkan inang perantara untuk menginfestasi ayam atau unggas lainnya sedang pada siklus hidup tidak langsung, Nematoda membutuhkan inang perantara untuk kelangsungan hidupnya.

Demikian menurut akademisi Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau, seraya menambahkan, banyak jenis Nematoda yang dapat menyerang ayam peliharaan seperti:

(1) Nematoda yang menyerang saluran pencernaan adalah Capilaria, Gongylonema, Dyspharynx, Tetrameres, Ascaridia, Heterakis, Strongyloides dan Trichostrongylus. Pada bagian ini, yang perlu diwaspadai peternak adalah Capilaria, Ascaridia dan Trichostrongylus yang sering menyerang ayam yang dipelihara dengan sistem ekstensif.

(2) Nematoda yang dijumpai pada saluran pernafasan adalah Syngamus yang dikenal juga dengan istilah cacing merah karena warna cacing ini merah atau cacing garpu karena cacing jantan dan betina dalam kopulasi selalu terlihat seperti hurup “Y”.

(3) Nematoda yang dapat dijumpai pada mata adalah Oxyspirura. Infeksi Oxyspirura pada ayam liar seperti ayam kampung sering dijumpai. Cacing ini dijumpai di bawah selaput niktitan, kantong konjungtiva dan saluran nasolakrimalis mata.

Manifestasi klinis pada ayam yang terinfestasi Oxyspirura adalah oftalmia atau radang mata yang berat, gelisah dan terus menerus menggaruk mata yang terlihat basah dan memerah karena radang.

Kemudian selaput niktitan terlihat membengkak, sedikit menonjol di bawah kelopak mata di bagian sudut mata dan biasanya digerakkan secara terus menerus sebagai usaha untuk mengeluarkan benda asing dari dalam mata.

Pada kondisi parah, kelopak mata terlihat bertaut dan di bawahnya dapat ditemukan material mengeju berwarna putih. Jika tidak diobati, infestasi Oxyspirura dapat menimbulkan kebutaan pada ayam.



Askaridiasis pada Ayam

Perkembangan dunia perunggasan di negara kita, memang sudah banyak menciptakan peluang bisnis. Hal ini disebabkan karena bisnis perunggasan bisa dijangkau masyarakat kalangan bawah, dapat dipelihara oleh masyarakat atau peternak dengan lahan yang cukup kecil, kapital “demand power” yang cukup kuat, menyebabkan ternak ini lebih cepat perkembangannya dibandingkan dengan perkembangan ternak lain. Demikian Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia menyatakan,

Namun, menurut mereka, para peternak tidak sedikit mengalami hambatan dan rintangan selain harga pakan yang terus naik, obat-obatan yang cukup mahal juga adanya berbagai macam penyakit yang sering menyerang ternak. Salah satu penyakit pada ayam yang sering ditemui adalah askaridiasis.

Penyakit ini disebabkan oleh cacing Ascaridia galli yang menyerang usus halus bagian tengah. Cacing ini menyebabkan keradangan dibagian usus yang disebut hemorrhagic. Larva cacing ini berukuran sekitar 7mm dan dapat ditemukan diselaput lendir usus. Parasit ini juga dapat ditemukan dibagian albumen dari telur ayam yang terinfeksi.

Menurut Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia itu, infeksi Ascaridia dapat disebabkan oleh Ascaridia galli, Ascaridia dissmilis, Ascaridia numidae, Ascaridia columbae, Ascaridia compar, dan Ascaridia bonase. Selain berparasit pada ayam, Ascaridia galli juga ditemukan pada itik, kalkun, burung dara, dan angsa. Cacing ini tinggal didalam usus halus, berwarna putih, bulat, tidak bersegmen dan panjangnya sekitar 6-13 cm.

Ascaridia galli merupakan suatu parasit cacing yang paling sering ditemukan pada unggas peliharaan dan menimbulkan kerugian ekonomik yang cukup tinggi. Cacing tersebut biasanya menimbulkan kerusakan yang parah selam bermigrasi pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva.

“Migrasi terjadi di dalam lapisan mukosa usus dan menyebabkan pendarahan (enteritis hemoragi). Jika lesi tersebut bersifat parah, maka kinerja ayam akan menurun secara dramatis. Ayam yang terinfeksi akan mengalami gangguan proses digesti dan penyerapan nutrien sehingga dapat menghambat pertumbuhan,” tambah mereka.

Selanjutnya, cacing Ascaridia bersifat spesifik untuk suatu spesies tertentu dan tidak ada/hanya sedikit kemungkinan terjadi infeksi silang antara jenis unggas yang satu dengan yang lainnya. Ascaridia galli berparasit pada ayam, kalkun, burung dara, itik, dan angsa.

Kaya situ situ, siklus hidup Ascaridia galli tidak butuh hospes perantara. Penularan cacing tersebut biasanya melalui pakan, air minum, litter, atau bahan lain yang tercemar oleh feses yang mengandung telur infektif. Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh Ascaridia galii.

Lalu, pada umur 2-3 bulan, ayam akan membentuk kekebalan berperantara seluler terhadap cacing tersebut. Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat ditolerer oleh tanpa adanya kerusakan tertentu pada usus. Infestasi 10 ekor cacing pada ayam dewasa dianggap tidak berbahaya, namun lebih dari 75 ekor akan menimbulkan masalah tertentu.

Adapun, infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing yang terdapat didalam tubuh. Status nutrisi dari hospes juga penting karena penurunan berat badan lebih tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan kadar protein tinggi dari pada ayam yang diberi pakan dengan protein lebih rendah.

Pada infeksi berat dapat terjadi penyumbatan pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortilitas.

“Infeksi Ascaridia galli tidak mempengaruhi terhadap kadar protein darah, packed cell-volume (PCV) atau kadar hemoglobin. Penyakit tersebut mempunyai efek sinergistik dengan penyakit lain, misalnya koksidiosis dan Infectious bronchitis (IB). Cacing tersebut juga dapat membawa reovirus dan menularkan virus tersebut,” kata mereka.

Kadang-kadang, Ascaridia galli juga dapat ditemukan dalam telur ayam, hal ini dapat dihubungkan dengan kemampuan cacing untuk bermigrasi kedalam oviduk melalui kloaka, sehingga cacing tersebut akan terbungkus oleh kulit telur.

Selanjutnya, umur ayam dan derajat keparahan infeksi memegang peranan penting dalam kekebalan terhadap cacing tersebut. Ayam yang berumur 3 bulan atau lebih menunjukan adanya resistensi terhadap infeksi Ascaridia galli. Status nutrisi ayam juga mempengaruhi pembentukan kekebalan terhadap cacing tersebut. Menurut penelitian ayam yang diberikan pakan dengan kadar vitamin A, B kompleks, kalsium, dan lisin yang tinggi akan meningkatakan resistensi terhadap Ascaridia galli.

Mengingat bahwa lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dari telur Ascaridia galli, maka pengendalian terbaik terhadap cacing tersebut adalah kombinasi antara pengobatan preventif dan manajemen kandang yang optimal, meliputi sanitasi/disinfeksi ketat dan pembasmian lalat.

Akhirnya, menurut Situs Komunitas Dokter Hewan Indonesia itu, pencegahan dan pengobatan pada pullet biasanya diberikan sekitar umur 5 minggu, kemudian diulang dengan interval 4 minggu sampai ayam mencapai umur 21 minggu.

Semakin paham tentang penyakit cacing pada ayam, semakin kita pastikan lebih sempurnalah penanganan kesehatan terhadap sang ayam! (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer