Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BIOSECURITY, INVESTASI, ASURANSI DAN DESINFEKSI

Pencegahan penyakit jauh lebih murah dan efektif daripada pengobatan. Untuk melakukan pencegahan, mencakup biosecurity serta vaksinasi baik cara vaksinasi, maupun waktu yang tepat.
Demikian Drh Desianto Budi Utomo PhD dari PT Charoend Pokpand Indonesia dalam suatu kesempatan seraya melanjutkan, untuk penyakit spesifik seperti ND, IB, dan Gumboro, vaksinasinya harus sesuai. Demikian juga dengan penyakit spesifik seperti Koksidiosis. Apakah diperlukan vaksin Koksi, bagaimana bila menjumpai vaksin tidak efektif dan pemakaian tidak benar.

Biosecurity = Investasi
Dengan demikian, kata Dr Desianto, sangat dibutuhkan standar prosedur operasionalnya, seraya menambahkan sebab-musabab mortalitas ayam dapat ditelisik karena penyakit atau manajemen.
Kematian karena penyakit misalnya karena kasus Spiking Mortality Syndrome (SMS/ Sehari Mati Seribu) dapat diketahui kondisi panas tinggi, beda temperatur tinggi, sementara ayam pedaging tumbuh cepat.
Adapun kematian karena kepadatan ternak dapat dicegah dengan pembatasan jumlah ayam. Dapat disiasati dengan membatasi jumlah ayam per meter persegi, atau berat badan sekian kilogram per meter persegi.
Mengurangi kematian ayam karena maldrainase karena stres, stres panas pada jam-jam panas terbukti tidak efektif. Cara menekan mortalitas yang lain adalah bila asupan pakan lebih tinggi. Sehingga, penguasaan teknis menjadi sangat penting.
Bagi Dr Desianto, untuk mendukung tindakan-tindakan mencegah penyakit dan pengelolaan manajemen itu, biosecurity menjadi sangat penting artinya.
Baginya, biosecurity untuk dukungan penting itu jangan dianggap sebagai biaya yang harus dikeluarkan, tapi anggaplah sebagai investasi! Sama seperti dengan modal untuk investasi ayam dan pakan yang acam dihitung untuk menghitung kerugian saat ayam mengalami kematian.

Biosecurity = Asuransi
Biosecurity itu ibarat asuransi. Bilamana sekarang dilakukan, hasilnya baru dapat dirasakan belakangan.
“Kalau kita ke kandang, dan disemprot, bisa jadi kita menjadi bertanya-tanya mana makhluk yang dibasmi. Sebab, makhluk mikroorganisme yang kita lawan itu wujudnya tidak terlihat mata,” kata Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra
Peternak pun sepertinya harus punya iman ada atau tidak ada mikroorganisme yang penting sekarang kandang harus disemprot. Sedangkan manfaatnya baru dapat dirasakan di akhir nanti. Seperti halnya masuk rumah sakit harus didesinfektan, peternakan pun harus disemprot. Lebih-lebih kalau ada kasus, kandang yang disemprot jauh lebih baik daripada yang tidak disemprot.
Drh Andi menegaskan, menurut ilmuwan, biosecurity itu perlu dan hukumnya wajib dan harus. Tidak boleh kita tinggalkan biosecurity. Sebetulnya menghadapi mikroorganisme itu paling gampang, yang sulit adalah mengamankan dan membasmi sampaihabis belumtentu bisa total. Lain halnya kalau bisa dilihat maka mati bahwa mikroorganisme itu mati. Contoh otentiknya bila kandang disemprot, hasilnya tidak langsung tampak.

Desinfeksi
Jelas, biosecurity merupakan hal yang penting, terdapat beberapa jenis, dan sifatnya sama dengan asuransi. Drh Andi melanjutkan, Tindakannya sudah lazim dikenal seperti semprot-semprot musuh imajiner dan hasilnya baru diketahui belakangan. Hal itu sifatnya perlu, hukumnya wajib, dan sifatnya tidak pandang bulu baik itu terhadap orang, mobil, karyawan yang masuk lokasi peternakan dan kandang harus disemprot, tidak hanya saat kasus terjadi.
Sayangnya kondisi biosecurity sekarang, sudah ada yang kendor. Kalau ada orang masuk peternakan, mereka boleh langsung masuk tanpa disemprot. Yang ketat contohnya sanitasi di peternakan pembibitan. Perlakuan pembersihan sanitasi disini 1-2 kali seminggu dengan desinfektan, misalnya glutaraldehid dan cocobenzil. Desinfektan-desinfektan ini kerjanya mudah, baik untuk menghadapi virus, bakteri, maupun jamur.
Cara penggunaan desinfektan itu dengan formalin untuk kandang kosong, Sayangnya formaldehid (formalin) bersifat karsinogenik (dapat menimbulkan kanker). Kalau ada ayam pun, semua desinfektan harus berdosis ringan.
Adapun menurut Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma, jenis desinfektan ada macam-macam sesuai target dan fungsi.
Bila kandang kosong menggunakan formaldehid. Untuk desinfeksi harian pada orang dengan heksalponium klorida, diterapkan pada orang maupun mobil. Untuk desinfeksi harian pada ayam, mencegah virus dan peternakan tetangga yang terserang penyakit, dengan desinfektan glutaraldehid.
Adapun desinfeksi pada air minum mencegah penyebaran penyakit dengan iodine dan heksalponium klorida.
Yang pasti, lanjut Drh Andi, minimal sanitasi dan kebersihan terjaga, ditingkatkan dengan desinfeksi dan fumigasi. Penyemprotan pun harus aman. Desinfektan yang aman diantaranya Kalium permanganat. Namun saya setelah tragedi bom Bali penjualan kalium permanganat diawasi, sehingga untuk mencarinya sulit. Ada perusahaan obat hewan yang memasarkan pengganti Kalium Permanganat.
Terkait dengan hal ini, Drh Setiadjit D Santoso Kepala Pabrik PT Romindo Primavetcom Cikarang Jawa Barat dalam suatu kesempatan mengungkapkan merebaknya kejadian flu burung menyebabkan meningkatnya pemakaian glutaraldehid sebagai desinfektan di lapangan. Meski sama derivat formaldehid, formalin nampaknya lebih ditakuti oleh aparat dan bahkan sempat dilakukan razia besar-besaran terhadap penimbunan formalin;
Menurutnya, glutaraldehid nampaknya lolos dari jerat aparat keamanan dan bahkan badan pom sehingga tidak mustahil glutaraldehid juga digunakan sebagai bahan pengawet makanan sebagai substitusi formalin.
“Bagaimana dampak glutaraldehid bagi kesehatan manusia, penggunaannya mungkin patut menjadi pemikiran,” kata Drh Adjit.
Kembali oleh Drh Andi, fumigasi dan pengasapan dengan formalin dan Kalium Permanganat yang lain harus dilakukan dalam ruang tertutup. Pengasapan pun harusnya tidak masalah. Misalnya dengan sediaan 50.000 per liter, 400 liter air untuk 12 meter persegi sampai 15 meter persegi.
Untuk perhitungan ongkos desinfektan, diambil produksi peternakan (100 persen), alokasi 8 persen untuk pengobatan, (obat, antibiotik, vaksin dan vitamin), pakan 75 persen, dan 20 persen untuk operasional dan karyawan; desinfeksi cuma 1/2 persen.
Biasanya peternak lebih memikirkan patokan harga lebih dulu. Uji cobanya mudah, daging dipotong dimasukkan dalam cairan desinfektan. Daging mana yang membusuk lebih lama (misalnya setelah 3 hari daging baru membusuk) menjadi pertanda kualitas desinfektan makin baik, sehingga desinfektan ini dipilih untuk dipakai.

Mencegah yang Dari Luar Masuk
Berbeda dengan vaksinasi, menurut Drh Suhardi, biosecurity pada dasarnya adalah tindakan mencegah masuknya penyakit dari luar. Vaksinasi pada ayam yang telah diprogramkan, bukan masuk satu paket pengendalian penyakit dari luar ini, namun vaksinasi merupakan paket pengendalian penyakit dari dalam.
Kecuali mencegah penyakit sedini mungkin, juga mencegah penyebarannya. Menghadapi masa inkubasi satu minggu, tambah lagi perlakuannya beberapa minggu. Perlu diidentifikasi penyakit apa yang ada, sedangkan lokasi kandang dan bangunan jangan dekat dengan pemukiman.
Supaya tidak sia-sia, tindakannya disesuaikan dengan pola-pola pemilihan kandangnya. Untuk panggung litter, berbeda dengan kandang baterai yang bawahnya lebih mudah mengundang lalat. Pada kandang litter perlu diperhatikan kelembaban lokasi yang menumbuhsuburkan virus lain. Juga perhatikan alat kandang, pakan dan lain-lain. Secara rutin, bersihkan tempat pakan dan gudang, cuci secara rutin jangan menjadi penyebaran penyakit, bersihkan sanitasi dari sawang dan kotoran,
Cegah kandang layer menjadi basah, kalau masih kering lakukan penyemprotan untuk mencegah lalat. Cegah kontaminasi karyawan, orang dan kendaraan. Kontrol tikus dan binatang-binatang lain. Airpun harus dideteksi setiap saat.
Apapun yang terjadi, biosecurity sangat dibutuhkan. Kalaupun mungkin skalanya kecil-kecilan di peternakan kecil, siapapun yang masuk di lokasi peternakan dankandang, kaki dan tangan mesti dicelup untuk desinfeksi. (YR)

KEMBALI KE... BIOSECURITY!

Sebagaimana umumnya, masyarakat peternakan berpendapat biosecurity sangatlah penting. Lebih-lebih saat merebaknya kasus Avian Influenza yang luar biasa, biosecurity menjadi primadona dan di mana-mana menjadi sangat diperhatikan secara ketat.
Namun sayangnya, sesal Drh Roeslan Isdiyanto dari PT Agro Makmur, “Bangsa ini merupakan bangsa pelupa, melakukan biosecurity yang bagus pada saat ada ancaman. Namun begitu ancaman berlalu, perilakunya kembali seperti semula.”
Padahal, menurutnya, sarana dan prasarana menjadi efektif atau tidak tergantung tingkat biosecurity. “Efektivitasnya tergantung tantangan di lapangan dan dipengaruhi kualitas biosecurity,” tegas Drh Roeslan.
Berbicara tentang biosecurity, Drh Ratriastuti dari PT Primatama Karya Persada Divisi Layer mengatakan, ingatan kita biasanya langsung lari kepada desinfeksi, sanitasi di kandang/farm dan ragam jenis desinfektan. Seringkali kita terpaku dan terjebak hanya pada tataran ini saja, yaitu proses semprot menyemprot desinfektan, pemusnahan rodensia dan vektor lain. Sesungguhnya masih ada hal pokok lain yg harus kita pikirkan. Desinfeksi dan sanitasi hanya merupakan salah satu bagian saja dari konsep biosecurity.

3 Tingkatan Biosecurity
Lebih jauh, lanjut Drh Ratri, biosecurity/keamanan biologik merupakan sebuah program komprehensif, meliputi sebuah hierarki yang terdiri dari 3 tingkatan penting yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan untuk mencegah masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit di kandang/peternakan.
Untuk pelaksanaannya di lapangan, proses ini memerlukan pendekatan yang terstruktur, yaitu perencanaan usaha, pemilihan lokasi sumber daya, pelaksanaan di lapangan, pengendalian serta pengawasannya.
Pada dasarnya, tuturnya, konsep biosecurity berbagai macam peternakan sama, yaitu terdiri dari 3 tingkatan itu, yaitu:

1. Tingkat I (Biosecurity Konseptual)
Ini merupakan dasar dari biosecurity. Pada tataran ini meliputi aspek pemilihan lokasi usaha petrenakan di suatu daerah yang bertujuan untuk memisahkan jenis atau umur unggas yang sama, sehingga akan menghindari kontak hewan yang kita piara dengan hewan liar/hewan lain.
Selain itu penempatan lokasi peternakan yang tidak jauh dari jalan umum dan fasilitas pelayanan lain seperti kalau peternakan ayam, dekat dengan penetasan telur, pabrik pakan, dan RPA (Rumah Potong Ayam). Lokasi sebaiknya jauh dari danau atau saluran air dan juga perlintasan migrasi burung-burung liar.
Dalam pemilihannya kita juga harus memikirkan implikasi pemeliharaan hewan yang umurnya tidak sama. Ini untuk menghindari rolling infection dari hewan tua ke hewan muda atau sebaliknya.

2. Tingkat II (Biosecurity Struktural)
Pada tingkatan ini berhubungan dengan tata letak peternakan. Ini menyangkut beberapa hal, di antaranya:
- Pemagaran kawasan peternakan agar tidak dilintasi oleh orang dari luar.
- Pemagaran areal kandang dengan pintu pengaman untuk meminimalisir masuknya hewan lain dan berpindahnya/melintasnya operator ke kandang lain.
- Ketersediaan air bersih dan bebas agen patogen, dan adanya treatment terhadap air yang akan dikonsumsi (dengan klorin, peroksida atau lainnya)
- Adanya fasilitas pelayanan perusahaan yang memadai seperti kantor, gudang (pakan, obat, dan peralatan), kamar ganti pakaian dan kamar mandi.
- Adanya supali air dan listrik yang cukup dan tempat yang representatif untuk desinfeksi kendaraan yang keluar masuk lokasi farm. (adanya car dip dan sprayer di pintu gerbang masuk farm)
- Adanya jalan yg baik, aman dan dipagari untuk memudahkan pembersihan dan pencegahan penyebaran penyakit.
- Adanya tempat khusus untukpemusnahan bangkai (disposal pit)
- Lokasi yang aman untuk tempat pakan, peralatan, litter di tempat yang terpisah dari kandang untuk mencegah kontaminasi.

3. Tingkat III (Biosecurity Operasional)
Tataran ini merupakan prosedur manajemen dan kegiatan/rutinitas untuk mencegah kejadian dan penyebaran penyakit di suatu farm (termasuk di antaranya proses pembersihan, desinfeksi dan sanitasi kandang/farm).
Dari ketiga tingkatan level ini yang paling fleksibel dan bisa diubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Pada tingkatan ini harus ada petunjuk operasional yang jelas tentang:
- Prosedur rutin yang harus dilakukan dan disertai perencanaan jika ada hal-hal tak terduga seperti wabah penyakit, dan lain-lain dan disiapkan untuk setiap jenjang manajemen dari manajer, supervisor, operator dan tamu.
- Prosedur standar harus diarahkan untuk pelaksnaan dekontaminasi, desinfeksi setelah kandang kosong; juga penyimpanan, pencampuran dan aplikasi pemberian vaksin dengan berbagai cara pemberian yang berbeda.
- Prosedur khusus yang diterapkan pada saat memasuki dan meninggalkan farm untuk setiap karyawan dan tamu.
- Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah kontak dengan hewan lain (unggas eksotik, ayam kampung) untuk farm ayam.
Dengan menerapkan 3 tingkatan biosecurity tersebut secara baik dan benar diharapkan akan mencegah dan meinimalisir masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit dari luar lokasi usaha ke ternak kita.

Biosecurity Sektor 1, 2, 3 dan 4
Drh Wahyu Suhadji Direktur PT Rajawali Utama Biosecurity mengungkapkan peternakan sektor 1 (peternakan besar/pembibitan), 2 (peternakan skala menengah), 3 (peternakan skala kecil), mempunyai biosecurity yang relatif mantap. Sebab, hidupnya peternakan sektor ini memang dari keamanan hayati ini. “Ibaratnya, biosecurity ini memang piring dari peternakan dan kehidupannya, sehingga kalangan ini bersikap lebih all out (habis-habisan) dalam menerapkan biosecurity,” tuturnya.
Namun sebaliknya, pemeliharaan ternak di sektor 4 (di belakang/pekarangan rumah) jadi biang keladi penyebaran penyakit, dengan perilaku biosecurity asal-asalan. Bahkan menurutnya, kandungan zat-zat yang dipakai untuk tindakan biosecurity tidak diketahui dan tidak jelas kualitasnya.
Sehingga: “Pelaksanaan biosecurity di sektor 4 tidak bisa diandalkan, karena pelaksananya lebih mengejar proyek,” kritik Wahyu Suhadji seraya menambahkan dari paradigma dokter hewan, tindakan biosecurity mereka tidak memenuhi syarat.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan Sulawesi Selatan ini mengungkapkan dengan adanya kasus AI, semua ada hikmahnya, terutama untuk meningkatkan kebersihan dan kewaspadaan.
Namun menurut Wahyu Suhadji biosecurity dipengaruhi oleh keadaan produksi. “Bagaimana biosecurity bisa optimal bila hasil produksinya rugi,” katanya seraya memberikan contoh kondisi di Sulawesi Selatan yang harga produksi peternakan terpuruk.
Ceritanya, harga telur nasional yang mencapai lebih dari Rp 10.000 per kilogram tidak mencerminkan harga baik bagi Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 9300 per kilogram.
Sementara di tingkat pemasok, harga tempat lain menyentuh Rp 8500 per kilogram, di Sulawesi Selatan masih Rp 8000 per kilogram. “Padahal titik impas balik modal di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibanding daerah lain,” resah Wahyu Suhadji.
Menurutnya, pengelolaan biosecurity pada peternakan sektor 3 pun terkesan asal-asalan dan dipengaruhi harga. Bilamana harga turun sehingga pemasukan pun turun, maka pemberian biosecurity pun melemah.
Apalagi sektor 4, pelaksanaan biosecurity lebih tidak fokus. Juga dalam hal vaksinasi yang menurutnya relatif menyalahi prinsip-prinsip kesehatan hewan.
Tergantung jumlah ayam yang sedikit di sektor 4, vaksinasi yang menggunaan sediaan vaksin yang mestinya digunakan untuk kurang lebih 200 dosis, pemilik ternak hanya membutuhkan menerapkan 10, 5, bahkan 2 dosis saja. Oleh karena tingkat mobilitas vaksinator, pelaksanaan vaksinasi pun menjadi tidak steril.
Lanjutnya, pelaksanaan biosecurity pada sektor 1, 2 dan 3 cenderung sama. Terkendalinya apapun dan siapapun yang masuk dan keluar kandang dan lokasi peternakan tergantung pada tingkat biosecurity yang lebih ketat.
Dilihat dari derajadnya, penerapan biosecurity pada peternakan 1 dan 2 hampir sama. Pernah berkunjung ke peternakan sektor 1 dan 2 bersama dokter ahli paru, dokter manusia itu terkesan dengan ketatnya perlakuan biosecuritynya yang lebih ketat dibanding biosecurity di rumah sakit.
Kalau di rumah sakit untuk manusia, pemakaian baju laboratorium hanya dilakukan saat operasi. Sedangkan pada peternakan sektor 1 dan 2 baju laboratorium pun dikenakan dengan terlebih dulu mandi dengan desinfektan, pencelupan berdesinfektan, sepatu kandang yang steril dan lain-lain. Pengambilan kebijakan superketat semacam ini sangat baik.
Sektor 3 masih sudah melibatkan peternakan sektor kemitraan. Sedangkan sektor 4 melibatkan perkampungan dengan kandang ayam di dalam kampung. Masalah burung liar sangat mempengaruhi kondisi biosecurity-nya.
Peternakan sektor 1, 2 dan 3 umumnya adalah peternakan kemitraan atau terintegrasi. Kebutuhan obat dipenuhi oleh korporasi atau perusahaan integrasi masing-masing. Sehingga menurut Drh Wahyu Suhadji, di luar kemitraan obat hewan relatif sulit masuk.
Sementara di luar, pada pasar perdagangan obat hewan di kalangan peternak, banyak beredar obat-obat liar tanpa registrasi dan lain-lain syarat yang tidak dipenuhi. Pelakunya kebanyakan bukan anggota ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia).
Dengan situasi yang mengkhawatirkan ini, Drh Wahyu Suhadji yang juga Pengurus ASOHI Daerah Sulawesi Selatan memberi masukan kepada ASOHI Nasional supaya lebih intensif dalam membantu dan mempedulikan permasalahan yang muncul di lapangan ini.
Dalam kaca matanya, saat ini peternak sudah jadi buruh di kandang semdiri. Sedangkan peternakan sistem kemitraan bagi sebagian peternak lebih berkonotasi berbagi resiko.

Sektor 1, 2, 3 dan 4 Agak Beda
Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma Bandung mengungkapkan penekanan biosecurity pada peternakan sektor 1, 2, 3 dan 4 agak beda. Menurutnya pada sektor 1, pihak luar termasuk petugas pelaksana teknis dari perusahaan obat hewan tak bisa ikut campur. Karena, ke dalam peternakan, penanganannya lebih baik, siapapun yang masuk selalu harus disemprot dan seterusnya.
Pada sektor 2, biosecurity yang ketat masih dijalankan peternak-peternak besar. Peternak kecil hingga menengah ada yang menjalankan ada yang tidak. Menurun berbeda dengan kondisi tahun 2004 saat ada wabah AI.
Apalagi sektor 3, peternakan kecil dengan populasi ayam 1000-2000 ekor, tidak menjalankan biosecurity sebagaimana lazimnya di mana orang yang masuk peternakan disemprot dan lain-lain.
Biosecurity pada peternakan sektor 4 tergantung tindakan penduduk dan publik awam yang mengetahui dan sadar biosecurity.
Dalam rangka pendidikan berkesinambungan Drh Suhardi mengaku perusahaannya aktif melakukan penyuluhan peternakan tentang pentingnya biosecurity terhadap semua penyakit bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain. Baginya, biosecurity bukan hanya antisipasi, namun merupakan ujung pangkal dari semua.
Dengan biosecurity, di kandang/area peternakan dicegah jangan sampai ada banyak kutu, sebab kutu dapat mengundang burung. Termasuki untuk itulah, kita menjaga kebersihan kandang.

Berkiblatlah pada Biosecurity Sektor I
Menurut Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, pada peternakan sektor 1, peternakan pembibitan/skala besar, biosecurity diterapkan sungguh luar biasa ketat. Siapa yang masuk kandang harus mandi dulu. Masuk lebih ke dalam, mandi lagi.
Namun begitu, meskipun sudah diterapkan sistem closed house, dilakukan desinfeksi,dan berbagai tindakan biosecurity lain, bibit penyakit masih bisa tembus, hal ini menimbulkan pertanyaan letak kesalahannya di mana.
Untuk mengetahui jawabnya, bukan hal yang mudah, apakah karena faktor desinfektan kurang kuat atau terdapatnya celah yang bolong.
Untuk manajemen yang baik, harus konsisten bila ada orang masuk harus disemprot. Jangan kendorkan sanitasi dan biosecurity, minimal pola pada sektor-sektor 2, 3, dan 4 mengikuti pola sektor 1. Syukur-syukur ada pakaian ganti. Dan, teknisi obat hewan merupakan salah satu sumber penularan.Intinya, kuncinya tetap di manajemen. Di dalamnya termasuk mencegah orang kandang keluar masuk tanpa desinfeksi. Harus diingat, pemberian pakan pun jangan sampai tumpah. Sanitasi dan desinfeksi pada sektor 2, 3 dan 4 mesti berkiblat pada sektor 1.
Soal biosecurity terkait ini, bagi Drh Andi merupakan hal sangat penting. Menurutnya, banyak kasus AI yang pihak-pihak tidak mau mengungkap. Pertimbangannya kompleks, dan untuk kesahihan pelaporan membutuhkan ahli dan alat uji. Sehingga kalangan peternakan jelas dalam menyikapi pencampuran virus yang mungkin sudah berubah dan lain-lain kondisi dimana banyak terjadi penyelundupan misal penyelundupan ayam dan bebek dari Malaysia, Brasil yang sudah terbongkar. Supaya, kondisi peternakan ada vaksinasi dan sanitasi peternak membaik.
Kini, angka kematian unggas memang tidak sederas tahun 2003. Namun dengan gejala-gejala yang terungkap oleh beberapa praktisi di artikel terdahulu peternak tetap merasa itu AI. Bahkan Madiun yang dulu kasusnya sepi, sekarang AI-nya positif dengan gejala yang tidak jelas. Jangan dimusnahkan.
Dengan demikian makin jelas benang merah antara Biosecurity dengan AI. Kita pun mesti gagah menghadapi. (YR)

ZAT AKTIF, GENERIK, PATEN, OBAT HEWAN DAN MANUSIA

Beredarnya zat aktif antibiotik di kalangan peternakan untuk mengobati penyakit bakterial ternak, sungguhlah berbahaya. Hal itu menyalahi kaidah pembuatan obat yang baik dan benar sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Takut terjadi penyalahgunaan,” tegas Anggota Komisi Obat Hewan Departemen Pertanian Drh Abadi Soetisna MSc.
Soal pembuatan obat yang benar itu di antaranya menyangkut takaran, juga kemasan. Kesemuanya jelas berpengaruh pada mutu obat. Bagaimanapun obat merupakan suatu racun yang membahayakan jiwa makhluk hidup bila takaran dan pemberiannya tidak tepat sehingga pembuatannya harus sesuai kaidah yang ketat.

Generik vs Paten
Bagaimana dengan obat generik dan obat paten? Keduanya zat aktifnya sama, namun obat paten lebih mahal.
Mahalnya obat paten ini karena kemasannya lebih bagus, faktor iklan, dan faktor-faktor lain seperti kepercayaan (mitos) bahwa obat paten lebih bagus daripada obat generik. Demikian Abadi Soetisna.
Sudah tentu faktor mitos itu hanya berdasar citra dan anggapan orang, padahal kandungan dan khasiatnya sama saja!
Sedangkan dari segi harga, obat generik memang lebih murah daripada obat paten. Bahkan untuk faktor penghematan dan kekuatan ekonomi, pemerintah menganjurkan masyarakat lebih memilih obat generik daripada obat paten.
Harga obat generik cuma 15 persen dari harga sesungguhnya. Sedangkan sejumlah 85 persen merupakan bantuan pemerintah. Itu yang terjadi pada obat generik manusia.
Adapun, mengapa di dunia kesehatan hewan kita tidak mengenal obat generik? Dengan penjelasan bahwa untuk obat generik dibutuhkan subsidi yang begitu besar dari pemerintah, pertanyaannya: Apakah pemerintah puya dana untuk subsidi obat generik untuk peternakan?
Rinciannya, harga obat (generik) murah, kesehatan hewan lebih baik, produksi peternakan lebih tinggi, masyarakat lebih terbantu; sejauh ini belum ada usulan untuk pengadaan obat generik pada peternakan/kesehatan hewan.
“Yang usul mestinya kalangan peternakan sendiri, juga inisiatif pemerintah cq Dirjen Peternakan,” Drh Abadi menimpali.
Biaya produksi yang relatif tinggi itu perlu dicarikan jalan keluar. Drh Abadi menganjurkan berupa: bantuan pemerintah untuk menurunkan pajak impor obat hewan, bantuan pemerintah menurunkan pajak bahan baku pakan hewan, dan bantuan penurunan insentif produk hewan dengan memberikan subsidi.
Guna munculnya obat generik untuk hewan, jelas dibutuhkan subsidi. Subsidi bukan dalam arti dalam bentuk uang, namun bisa dalam wujud sapronak (sarana produksi peternakan).
Setelah subsidi di bidang sapronak, lalu subsidi alat kandang, alat sanitasi, pakan, dan obat! Dan bagaimanapun pemenuhan penunjang untuk produksi ternak yang murah itu sangat penting untuk penyediaan protein hewani yang sangat penting untuk kecerdasan bangsa.

Obat Manusia vs Hewan
Penggunaan obat manusia untuk mengobati hewan terutama hewan kesayangan semisal anjing, kucing, kera dan lainnya, sah-sah saja asalkan dalam penggunaanya tepat sasaran, demikian disampaikan Yusmaini Ssi, Apt alumni Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Menurut Ibu satu putra ini, penggunaan obat manusia untuk hewan trennya hanya sebatas penghobies hewan kesayangan. Mengapa harus obat manusia ? “Ini tergantung pada pilihan dan pada dasarnya obat manusia itu lebih variatif, baik dalam dosis maupun kemasannya,” jelas pemilik apotik Pratama Kabupaten Kampar.
Di lain sisi, drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau lebih menekankan pada faktor mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di samping itu, tidak ada masalah krusial yang perlu diperdebatkan terkait aman atau tidaknya obat manusia untuk hewan, yang terpenting adalah ketepatan dalam penggunaannya.
Namun Jully menyarankan agar tetap berkoordinasi dengan orang yang mengerti dengan obat, dalam hal ini adalah apoteker, dengan harapan agar obat yang diberikan ke hewan kesayangan tersebut tidak menimbulkan efek di kemudian hari.
Sementara itu, drh Djaelani praktisi dokter hewan yang tinggal di Rumbai kota Pekanbaru menyatakan, sejauh ini belum ada owner hewan kesayangan yang mengeluhkan kesehatan hewan peliharaannya pasca pengobatan dengan obat manusia. “Selama masih berpegang pada prinsif penggunaan antibiotika yang benar maka hasil yang didapat pasti lebih memuaskan,” jelas alumnus FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darusslam ini dengan mantap.
Artinya, kaidah takaran dan lain-lain prosedur penggunaan tetap menjadi prioritas utama dalam pengambilan sikap. Sebab bagaimana pun antara hewan dan manusia ada perbedaan-perbedaan prinsip baik dari segi faali tubuh maupun segi biologi yang akan sangat dipengaruhi dengan kaidah pengobatan yang tepat. (Daman Suska/YR)

Siaga Satu Serangan Coryza, Kolera dan Kolibasilosis

Seakan tak pernah ada habisnya Infovet mengorek informasi dari Drh Hadi Wibowo praktisi perunggasan yang syarat pengalaman di industri perunggasan selama lebih dari 15 tahun. Sehingga bisa dibilang wajahnya tak pernah absen muncul di Infovet setiap bulan. Begitulah memang, ditengah kesehariannya sebagai product manager PT Sumber Multivita ia memang dituntut keliling Indonesia menyambangi peternak.
Berkenaan topik fokus yang diangkat berkaitan dengan penyakit bakterial dan penggunaan antibiotik yang ideal, Hadi menyoroti kini sudah tidak ada lagi yang namanya obat dewa artinya tidak ada lagi satu jenis obat untuk mengatasi semua jenis penyakit seperti yang terjadi pada antibiotik. Kunci dalam pengobatan lebih kepada ketepatan diagnosa penyakit yang berdampak pada penggunaan obat antibiotik yang tepat dengan dosis yang wajar.
Ia menambahkan fungsi imunomodulator yang meningkatkan jumlah sel, mengaktifkan dan mematangkan sel-sel yang berfungsi untuk pertahanan tubuh bila aplikasinya dikombinasi dengan antibiotik maka efek kesembuhannya akan lebih cepat 3 kali lipat dari biasanya.
Kenyataan dilapangan peternak sering salah mendiagnosa penyakit yang buntutnya menyebabkan ketidaktepatan antibiotik yang digunakan. Namun begitu, setelah merasa obatnya kurang manjur peternak terus menambah dosis hingga akhirnya begitu tertular penyakit bakteri lain malah menjadi resisten. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa peternak pembibit atau layer telah terikat kontrak dengan suplier obat hewan untuk menggunakan satu jenis obat tertentu guna melawan berbagai penyakit yang belum tentu cocok dengan penyakit yang menginfeksi ternaknya. Mereka terus menggunakan obat tersebut meskipun kemanjurannya tak seperti yang diharapkan. Hal ini dilakukan lebih karena ikatan emosional, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ada segelintir perusahaan obat hewan di tanah air yang biasa memberikan hadiah dan bonus menarik kepada peternak asalkan bisa menyerap sejumlah tertentu obat hewan yang ditawarkan suplier.
“Namun perlu ditekankan disini bahwa hanya sedikit suplier obat hewan yang melakukan praktik semacam itu. Sehingga disarankan peternak memiliki tenaga ahli kesehatan hewan yang berpengalaman untuk mendiagnosa penyakit dengan tepat,” ujar Hadi.

Waspada 3 Penyakit Bakterial
Untuk penyakit bakterial yang kini sedang hot-hotnya mengintai di peternakan layer maupun broiler, Hadi mengungkapkan bahwa Coryza, Kolera dan Kolibasilosis masih potensial muncul diwaktu-waktu seperti saat ini. Penyakit coryza atau snot yang disebabkan bakteri Haemophilus paragallinarum mempunyai arti ekonomis yang penting dalam industri peternakan, karena angka penularannya mencapai 70-90%. Sementara angka kematian mencapai 20% bahkan bisa 50% bila disertai infeksi gabungan. Kerugian lain adalah terganggunya pencapaian berat badan, penurunan produksi telur (10-40%) dan peningkatan biaya pengobatan.
Gejala khas adalah muka bengkak, diam dan tidak mau makan karena bengkak dimuka akibat infeksi saluran pernapasan atas. Meskipun kematian yang disebabkan infeksi Coryza rendah tapi infeksi penyakit ini menurunkan aktivitas makan ayam yang menyebabkan meningkatnya angka morbiditas. Hadi menekankan, antisipasi paling awal adalah dengan vaksinasi Coryza dan penggunaan antibiotik tidak selamanya efektif sehinga diperlukan bantuan imunomodulator. Tak cukup hanya itu medikasi perlu juga diperlengkapi dengan pemberian multivitamin guna membantu pemulihan pasca sakit. Untuk itu Hadi memberikan konsep solusi 3-Si yaitu Sanitasi, Seleksi dan Medikasi.

Waspada Koli
Lain lagi dengan Kolibasilosis yang dikenal sebagai penyakit oportunis disebabkan oleh bakteri Escherechia coli galur patogen. Biasanya timbul akibat dari infeksi sekunder, karena ayam mengalami cekaman atau infeksi lain. Timbulnya kolibasilosis erat kaitannya dengan lingkungan kandang yang jorok. Selain itu patut dicermati bila satu kandang pernah terjangkit koli maka pada periode pemeliharaannya berikut harus diwaspadai munculnya infeksi ulangan meskipun kandang sudah disanitasi dan didesinfeksi total.
Bakteri jenis ini dapat menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga sekunder mengikuti penyakit lainnya, misalnya penyakit pernapasan dan pencernaan. Kolibasilosis di lapangan umumnya timbul akibat pengaruh imunosupresif dari Gumboro. Sementara sebagai penyakit ikutan (sekunder) Koli biasanya menyertai terjadinya kasus CRD (chronic respiratory disease), Coryza, SHS (swollen head syndrome), ILT (infectious laryngotracheitis) dan koksidiosis.
Ventilasi yang baik seperti lancarnya pertukaran oksigen keluar masuk kandang mampu meminimalisasi timbulnya kasus kolibasilosis. Kuman ini dapat ditemukan di dalam litter, pakan, debu, udara dan air. Penyemprotan kandang dengan desinfektan secara rutin mampu mengurangi jumlah E. coli.
Kualitas air harus dijaga “bersihnya” sejak mulai DOC masuk dalam kandang. Bisa dengan cara dimasak, dengan infra-red atau Chlorinasi rutin secara bertahap dan terprogram pada pullet dan ayam dewasa. Kualitas air penting karena kecuali air sehat memang dibutuhkan ayam, juga merupakan jalur utama yang potensial untuk terjadi infeksi E. coli. Jika kontrol kualitas air optimal, harusnya tidak ada lagi asumsi E. coli datang berkali-kali di tiap kandang.
Lebih jauh, untuk menyiasati kuman koli yang ada di pakan ternak paling tidak saluran pencernaan ayam itu harus dibersihkan selama 5-7 hari setiap bulan dengan pemberian antibiotik. Koli merupakan kuman normal dalam saluran pencernaan, namun begitu populasinya melampaui batas normal bisa menimbulkan patogen. Tidak ada jalan lain untuk mencegah munculnya koli perlu terus diupayakan kebersihan kandang sekaligus diperkuat dengan pemberian imunomodulator.

Jangan Lupakan Kolera
Terakhir adalah penyakit Kolera yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe A Carter atau tipe O grup 5 Namioka atau tipe 2 dan 4 Rober yang bersifat ganas atau kronis. Gejala kronis penyakit dengan nama keren Fowl Cholera itu adalah diare berair berwarna kuning coklat kehijauan, ayam sukar bernapas, jengger kebiruan dan leher sering dimasukkan ke badan. Angka kesakitan penularan sampai 50% dan kematian sampai 20%.
Kejadian Kolera sangat erat kaitannya dengan berbagai faktor stres, misalnya pergantian cuaca yangmendadak, fluktuasi temperatur dan kelembaban yang ekstrim, pindah kandang, potong paruh, perlakuan vaksinasi yang berlebihan pergantian pakan yang mendadak, dan serangan penyakit imunosupresif ataupun penyakit parasi. Di wilayah padat populasi Kolera biasa muncul saat musim kemarau panjang dan saat pergantian musim.
Pesan Hadi sebagai praktisi unggas berpengalaman dalam menghadapi tiga penyakit ini ayam harus selalu PRIMA dan SEHAT, artinya hasil vaksinasi dalam tubuh ayam harus optimal apakah vaksin oleh viral (ND, IB, AI, EDS) maupun vaksin oleh bakterial (Snot Coryza, Kolera). Penggunaan jenis vaksin harus tepat dan mengingat banyaknya program vaksin dan banyaknya penyakit yang menghambat pembentukan kekebalan, maka diperlukan bala bantuan Imunomodulator. Selalu dilaksanakan perlakuan seleksi ayam yang sakit dan tidak produktif dan jangan biosekuriti jangan ditinggalkan.
Sekali lagi Hadi mengingatkan agar peternak dalam penanganan penyakit mengutamakan 3-Si yaitu Sanitasi, Seleksi dan Medikasi. Lebih lanjut, “Sebaiknya peternak juga mendampingi dirinya dengan konsultan kesehatan ternak yang berpengalaman guna mendapatkan diagnosis yang tepat agar tidak salah dalam proses medikasi,” ujar Hadi. (wan)

Peternak, Penyakit Bakteri dan Antibiotik

Tukiman seorang peternak broiler di Pathuk Gunung Kidul Yogyakarta, kepada Infovet mengungkapkan bahwa sebagai peternak ayam potong yang ikut program kemitraan, tidak begitu paham tentang tata cara penggunaan antibiotika yang baik dan benar.
Menurutnya ia hanya menurut saja apa yang telah disarankan oleh Petugas Kesehatan Lapangan pihak Perusahaan Inti. Begitu ada masalah dengan kesehatan ayam yang dipeliharanya, maka sang petugas yang akan menyediakan obat dan lainnya untuk atasi hal itu.
”Pokoknya saya hanya tinggal memberikan paket obat yang diberikan oleh pak petugas pendamping lapangan (PPL). Umumnya para petugas hampir setiap hari menyambangi dan melihat ayam di kandang. Kalau ada yang sakit maka, paket obat itu diberikan dan saya tinggal menyiapkan untuk pemberianke ayam. Jenis obat apa yang dipilih dan kapan harus dihentikan saya bear-benar tidak mengerti,” tuturnya polos.
Bahkan kemudian kepada Infovet Tukiman menanyakan mengapa harus ada aturan batas waktu pemberiannya. Menurutnya kalau memang belum sembuh obat akan terus diberikan, dengan disediakan oleh PPL, tidak peduli besok atau lusa akan di panen oleh pedagang ayam.
Begitu juga ketika ayam-ayam, terlihat sudah sembuh, meski obat sebenarnya masih ada dan seharusnya dihabiskan, maka Tukiman akan menghentikan. Dasar pertimbangannya kalau terus diberikan, maka nanti akan memboroskan pihak dirinya sebagai plasma.
Petugas lapangan umumnya memang ada kecenderungan lebih mengutamakan dan lebih menyelamatkan ayamnya dari sergapan penyakit, dibanding dengan pertimbanan residu obat antibiotika dan sulfa pada ayam.
Memang hal itu sangat umum terjadi di lapangan, mengingat jika harus menunggu waktu henti obat, maka pihak peternak akan terbebani dengan ongkos produksi dari aspek pakan, energi dan tenaga kerja.
Drh Mardiatmi Mv.Sc pakar dari Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Bandar Lampung secara khusus kepada Infovet menengarai aplikasi Antibiotika di peternakan ayam komersial dan peternakan Babi sudah pada tataran yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil pengamatannya di lapangan bertahun-tahun bahwa tatalaksana pemakaiani antiniotika pada ayam dan babi sangat serampangan. Kontrol dan bimbingan dari pihak yang seharusnya bertugas dan kompeten dengan masalah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibatnya dapat diduga jika ekspor produk unggas dan ternak babi selalu menemui kendala di pasar internasional. Dan bahkan pada jangka panjang dapat muncul masalah baru yang tidak hanya pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga kesehatan ternak secara umum.
Sehingga ia menduga jika sementara ini sudah banyak penyakit bakterial pada unggas yang sebenarnya pada awalnya sangat mudah untuk diatasi, sekarang ini memberi kesan penyakit bandel dan sulit dituntaskan.
Dugaan beberapa banyak pihak tentang kemungkinan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap preparat antibiotika tertentu, sangat mungkin karena serampangannya pemakaian di lapangan. Untuk itu ia menyarankan, agar tidak terlambat perlu ada pengawasan yang ketat dalam tataniaga dan aplikasi lapangan.
Mardiatmi melihat bahwa di breeding ayam dan juga di peternakan hewan besar jauh lebih tertata dan taat pada aturan pemakaiannya.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Praktisi Dokter Hewan yang sangat disegani di Yogyakarta,Drh Agus Abadiyanto. Sebagai seorang yang merasa dididik dan mencoba patuh pada sumpah janji profesi, Agus merasa tuntutan dan panggilan hati nurani untuk memperlakukan hewan ternak sebagai makluk Tuhan.
Ada sebuah tanggung jawab besar yang tidak bisa dilalaikan, yaitu mensejahterakan dan menyehatkan hewan ternak. Menurut pendapatnya sebagian besar Dokter hewan sudah pasti untuk berlaku seperti itu. Ketika diinformasikan bahwa di peternakan ayam komersial dan ternak babi ada kecenderungan pemakaian preparat Antibiotika dan Sulfa kurang terkjontrol, Agus memilih bersikap diam, agar tidak menimnulkan polemik.
”Terus terang saya tidak banyak terjun di jenis komoditi peternakan itu, jadi saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas hasil pengamatan saya terhadap teman sejawat sebagai praktisi Dokter hewan kesayangan dan ternak besar, terus mencoba patuh pada sumpah dan janji profesi. Saya melihat apa yang dilakukan sejawat saya sudah pada track yang benar dan bertanggung jawab.” ujarnya.
Selain atas dasar kepatuhan atas sumpah itu,menurut Agus juga ada aspek ekonomisnya, yaitu jika pemakaian berlebih dan tidak sesuai rekomendasi akan merugikan kedua belah pihak, dokter hewan dan peternak/klien.
Sedangkan Drh Sapta Haryono seorang peternak layer yang juga seorang Dokter Hewan merasa tidak sependapat dengan Mardiatmi. Sebab menurutnya, sebenarnya jauh lebih banyak peternak yang mencoba taat dan patuh dengan aturan pemakaian dibanding dengan yang serampangan.
Sebagai peternak yang bertujuan meraup keuntungan, sudah pasti akan melakukan usaha dan tatalaksana secara efisien dan efektif. Termasuk dalam hal ini adalah pemakaian obat maupun vaksin. Jika berlebih akan merugikan alias membengkakan ongkos produksi.
Namun demikian Sapta, mencoba bersikap fair bahwa masalah penyakit pada ayam komersial adalah bukan masalah yang sepele dan selalu bersifat kompleks. Sehingga sangat wajar jika ada sejumlah peternak yang panik, jika pemberian preparat antibiotika tidak segera membuahkan hasil dan kemudian segera di”tembak” dengan yang broad spektrum bahkan dengan golongan Quinolone.
Langkah terbiasa dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi masalah penyakit pada ayam dengan preparat dari golongan quinolone padahal sebenarnya masih bisa diatasi dengan antibiotika spesifik atau broad spektrum.
Pihak produsen melalui para pemasarnya adalah salah satu faktor pendukung kesemrawutan dan serampangan pemakaian antibiotika di lapangan, khususnya pada ayam. Oleh karena itu jika ingin menertibkan, barangkali paling tepat adalah dari sumber nya dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum lanjut Sapta, bahwa peredaran preparat antibiotika dalam sediaan pure atau murni sangat mendominasi dan sangat digemari para peternak. Jika peternak tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang obat/farmakologi, tentu akan semakin mengkhawatirkan aplikasi di lapangan.
Menurut Sapta, proporsi peredaran preparat antibiotika antara yang terregistrasi dibanding dengan yang sediaan murni 1 : 5 untuk sediaan pure. Sehingga, kasus itu tidak saja berdampak pada volume pemasaran preparat yang legal, akan tetapi juga aspek keamanan dan keselamatan konsumen produk unggas.
Lain lagi dengan Misaljo Samudra pemilik Samudera PS di Jl Raya Wates Jogja, menyikapi pemakaian preparat antibiotika di lapangan yang semakin amburadul.
”Saya tidak mengerti secara persis tatacara dan dosis masing-masing merk antibiotika. Sebagai pelaku usaha, saya hanya menyediakan selengkap mungkin kebutuhan peternak. Lepas itu legal dan tidak legal, serta aturan yang seharusnya ditaati pemakai. Yang jelas, jika obat itu laris manis berarti obat itu hebat dan ampuh untuk atasi masalah penyakit. Apakah obat itu termasuk dalam obat keras dan harus cermat dalam pemakaian, tetapi yang penting saya selalu berusaha menyediakan sesuai selera peternak,” tutur Misaljo.
Kapan harus dihentikan pemakaian obat itu dan kapan masih diberikan pada ayam lanjut Misaljo, ia sangat tidak paham. Perihal obat murni, memang dari waktu ke waktu ada kecenderungan meningkat permintaannya. Apakah hal itu karena obatnya murah dan ampuh, yang jelas banyak para peternak yang terus meminta sediaan obat murni itu. (iyo)

JANGAN SAMPAI TERJADI SUPER INFEKSI

Pemberian antibiotik yang dilakukan secara spektrum luas dalam waktu lama dapat menimbulkan efek yang disebut sebagai super infeksi.
Pengertian super infeksi bukanlah berarti sebagai infeksi yang hebat sekali. Namun, super infeksi adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroba yang tadinya tidak patogen. Timbul karena populasi mikroba menjadi berlebihan karena resistensi terhadap antibiotika karena pemberian antibiotika yang berlebihan.
Contohnya adalah pemberian antibiotika dalam waktu lama dengan dosis besar, dapat menyebabkan terjadinya jamuran.
Ketika jamur ada dan bakteri ada maka muncullah persaingan di antara keduanya. Jamur dapat tumbuh berlipat ganda, di tempat-tempat tersembunyi, di lipatan paha, lipatan ketiak, bahkan memunculkan keputihan karena kandida pada lipatan alat kelamin betina.
Bila sudah terjadi demikian, pengobatan menjadi lebih susah. Mengobati jamur perlu waktu yang lebih lama. Minimal 3 minggu. Celakanya dengan diobati terus-menerus dapat menimbulkan gangguan terhadap hati atau ginjal.
Rata-rata hal itu terjadi karena peternaknya sok jadi dokter hewan, sedang dokter hewannya tidak sampai ke sana.
Untuk solusi, Drh Abadi Soetisna menganjurkan untuk:
1. Tingkatkan pengetahuan peternak terhadap kemungkinan menggunakan antibiotika.
2. Jangan terlalu egois menggunakan antibiotika tanpa memperhatikan kepentingan konsumen.
3. Pertimbangkan untung/rugi penggunaan antibiotika.

Mekanisme Resistensi Bakteri
Pada awalnya, problema resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dapat dipecahkan dengan adanya penemuan golongan baru dari antibiotik, seperti aminoglikosida, makrolida, dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotik yang sudah ada.
Namun, tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten.
Demikian Rochman Naim Dosen FKH dan Pascasarjana IPB pada suatu media massa nasional.
Menurut Dosen FKH dan Pascasarjana IPB itu, berdasarkan hasil studi tentang mekanisme dan epidemiologi dari resistensi antibiotik telah nyata bahwa bakteri memiliki seperangkat cara untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik.
Mekanisme resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotik secara enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotik, perubahan jalur metabolik, efluks antibiotik, perubahan pada porin channel, dan perubahan permeabilitas membran.
Mutasi genetik tunggal mungkin menyebabkan terjadinya resistensi tanpa perubahan patogenitas atau viabilitas dari satu strain bakteri. Perkembangan resistensi terhadap obat-obat antituberkulos, seperti streptomisin, merupakan contoh klasik dari perubahan tipe ini.
Secara teoretis ada kemungkinan untuk mengatasi resistensi mutasional dengan administrasi suatu kombinasi antibiotik dalam dosis yang cukup untuk eradikasi infeksi sehingga mencegah penyebaran bakteri resisten orang ke orang.
Namun, adanya emergensi yang meluas dari multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis memperlihatkan bahwa tidak mudah untuk mengatasi resistensi dengan formula kombinasi.
Contoh lain resistensi mutasional yang juga penting adalah perkembangan resistensi fluoroquinolone pada stafilokokki, Pseudomonas aeruginosa, dan patogen lain melalui perubahan pada DNA topoisomerase. Kejadian mutasi mungkin juga mengubah mekanisme resistensi yang ada menjadi lebih efektif atau memberikan spektrum aktivitas yang lebih luas.
Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenus yang mengantarkan terjadinya resistensi. Spesies pada peneumokokki dan meningokokki dapat "mengambil" materi DNA di luar sel (eksogenus) dan mengombinasikannya ke dalam kromosom.
Banyak materi genetik yang bertanggung jawab terhadap resistensi ditemukan pada plasmid yang dapat ditransfer atau pada transposon yang dapat disebarluaskan di antara berbagai bakteri dengan proses konjugasi.
Transposon merupakan potongan DNA yang bersifat mobile yang dapat menyisip masuk ke dalam berbagai lokasi pada kromosom bakteri, plasmid atau DNA bakteriofag.
Beberapa transposon atau plasmid memiliki elemen genetik yang disebut integron yang mampu "menangkap" gen-gen eksogenus. Sejumlah gen kemungkinan dapat disisipkan ke dalam integron yang menghasilkan resistensi terhadap beberapa bahan antimikroba.
Mekanisme yang mirip mungkin terlibat dalam pembentukan elemen genetik yang mengode resistensi vankomisin pada enterokokki. Enterokokki, yang merupakan komensal saluran usus dan genital, meningkat menjadi patogen di rumah sakit.
Hal ini, menurut Rochman Naim mengakhiri bahasannya, berhubungan dengan resistensi alami enterokokki terhadap antibiotik yang paling umum digunakan dan kapasitasnya untuk memperoleh sifat resistensi melalui mutasi (penisilin) atau transfer gen resistensi pada plasmid dan transposon (aminoglikosida dan glikopeptida). (YR)


PILIH SIDAL ATAU STATIK PAHAMI CARA KERJA ANTIBIOTIK

Dalam pemilihan antibiotik, perlu sikap hati-hati supaya tidak menimbulkan kekecewaan. Soal spektrum, ada ketentuan ketat pemilihan antibiotik yang spektrum luas maupun yang spektrum sempit (Baca artikel: Jangan sembarangan: Tentukan Spektrum Antibiotik Secara Tepat).
Demikian pula di dalam memilih sifat antibiotik berdasar cara kerjanya. Kita mengenal ada 2 (dua) cara kerja/mekanisme kerja bakteri dalam melawan kuman. Yaitu, dengan mematikan bakteri (bakterisidal), dan dengan mentidakaktifkan bakteri (bakteriostatik).
Drh Abadi Soetisna menganjurkan supaya yang dipakai terlebih dahulu adalah yang sidal (mematikan), supaya bakteri tidak resisten!
Cara kerja dalam dua tujuan itu sendiri ada beberapa, yaitu:
1. Mengganggu pembentukan dinding sel bakteri, misalnya antibiotika jenis penisilin.
2. Mengganggu sintesa protein bakteri, misalnya antibiotika dari jenis streptomisin.
3. Mengganggu pembentukan DNA (Asam Deoksiribo Nukleat), misalnya antibiotika dari jenis sulfa.
4. Mengganggu enzim DNA Girase, misalnya antibiotika dari jenis quinolon.
Sebagai ilustrasi, DNA yang merupakan kode genetik bagi bakteri berwujud spiral yang berputar dari kiri ke kanan. Untuk memisahkannya, spiral diputar dari kanan ke kiri hingga terpisah, sehingga terjadi proses pemretelan oleh antibiotik yang bersifat mengganggu DNA ini.
Untuk itulah antibiotik yang bersifat khusus ini diberikan. Demikian juga dengan pentingnya ketepatan pilihan pemberian antibiotik yang lain!
Lalu di mana letak antibiotik tersebut bersifat mematikan (sidal) dan bersifat menghambat (statik) bakteri?
Menurut Drh Abadi Soetisna, semua jenis antibiotik dengan cara kerja tersebut dapat bersifat mematikan atau menghambat antibiotik.
Antibiotik bersifat mematikan, bila dosisnya tinggi. Sedangkan antibiotik bersifat menghambat bila dosisnya rendah.
Untuk memilihnya, selain tergantung spektrum kerja antibiotik(bacaartikel: Jangan Sembarangan, Tentukan Spektrum Antibiotik Secara Tepat), juga tergantung kondisi lapangan.
Artinya, jangan pakai obat yang sama itu-itu juga. Perlu dilakukan perputaran penggunaan antibiotik,jangan sampai antibiotik yang sama kerjanya melulu.
Bisa saja obat antibiotika yang diberikan jenisnya berbeda,namun ternyata cara kerjanya sama. Hal itu bisa menimbulkan resistensi.Untuk itu, jelas, pahami lebih dalam tentang jenis-jenis antibiotik ini.
Untuk lebih mempertegas pembahasan masalah tersebut, maka Rochman Naim Dosen FKH dan Pascasarjana IPB dalam sebuah media massa menuliskan sudut pandang lain tentang cara kerja dan mekanisme resistensi antibiotik.
Rochman Naim mengungkap, sejak awal penemuannya oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, antibiotik telah memberikan kontribusi yang efektif dan positif terhadap kontrol infeksi bakteri pada manusia dan hewan.
Namun, sejalan dengan perkembangan dan penggunaannya tersebut, banyak bukti atau laporan yang menyatakan bahwa bakteri-bakteri patogen menjadi resisten terhadap antibiotik. Resistensi ini menjadi masalah kesehatan utama sedunia.
Penggunaan antibiotik ini (pada manusia dan hewan) akan menghantarkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme target.
Hal ini dimungkinkan karena adanya transfer materi genetik (plasmid atau transposon) di antara genus bakteri yang berbeda yang masih memiliki hubungan dekat, meliputi bakteri Escherichia coli, Klebsiella, dan Salmonella.
Penggunaan antibiotik pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi infeksi pada manusia.

Cara kerja Antibiotik
Dititurkan Rochman Naim, antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak mikroorganisme.
Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial.
Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan makromolekuler yang disebut peptidoglikan. Penisilin dan beberapa antibiotik lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga dinding sel akan melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis.
Riboson merupakan mesin untuk menyintesis protein. Sel eukariot memiliki ribosom 80S, sedangkan sel prokariot 70S (terdiri atas unit 50S dan 30S). Perbedaan dalam struktur ribosom akan mempengaruhi toksisitas selektif antibiotik yang akan mempengaruhi sintesis protein.
Di antara antibiotik yang mempengaruhi sintesis protein adalah kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin. Kloramfenikol akan bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang terbentuk.
Kebanyakan antibiotik yang menghambat protein sintesis memiliki aktivitas spektrum yang luas. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk terhambat.
Antibiotik aminoglikosida, seperti streptomisin dan gentamisin, mempengaruhi tahap awal dari sintesis protein dengan mengubah bentuk unit 30S ribosom yang akan mengakibatkan kode genetik pada mRNA tidak terbaca dengan baik.
Antibiotik tertentu, terutama antibiotik polipeptida, menyebabkan perubahan permeabilitas membran plasma yang akan mengakibatkan kehilangan metabolit penting dari sel bakteri. Sebagai contoh adalah polimiksin B yang menyebabkan kerusakan membran plasma dengan melekat pada fosfolipid membran.
Rochman Naim menegaskan, sejumlah antibiotik mempengaruhi proses replikasi DNA/RNA dan transkripsi pada bakteri. Contoh dari golongan ini adalah rifampin dan quinolon. Rifampin menghambat sintesis mRNA, sedangkan quinolon menghambat sintesis DNA. (YR)

TENTUKAN SPEKTRUM ANTIBIOTIK SECARA TEPAT

Umumnya untuk tidak susah-susah melakukan pengobatan tepat yang njelimet, bila terjadi suatu serangan penyakit, peternak atau petugas pelayanan kesehatan hewan melakukan tindakan yang salah kaprah: langsung memberikan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas.
Salah kaprah, karena hal itu sebetulnya bukanlah tindakan yang tepat dan dapat beresiko menimbulkan bahaya!
Drh Abadi Soestisna mengungkap kapan kiranya antibiotik spektrum luas patut diberikan. Yaitu: bila perlu, dan sesuai dengan agen infeksi.
Sesuai agen infeksi, artinya bila yang menyerang adalah bakteri gram negatif maka pakailah antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri gram negatif.
Atau, bila yang menyerang adalah bakteri gram positif, pakailah antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri gram positif.
“Jangan menembak burung bibit dengan meriam, karena yang rusak bisa semuanya!” tegas Drh Abadi Soetisna memberi ilustrasi.
Kenapa orang pada memakai antibiotika spektrum luas (broad spektrum)? Menurut Drh Abadi, hal ini bisa timbul bilamana yang terjadi adalah infeksi gram positif sekaligus gram negatif. Atau, dokter hewannya tidak tahu mendiagnosa, sehingga berprinsip pakai saja antibiotik spektrum luas.
Jelas hal ini sangatlah berbahaya (baca artikel jangan smpai terjadi superinfeksi). Sekali lagi, pilihlah antibiotika berdasar spektrum kerjanya terhadap bakteri secara tepat.

Jangan Salah Spektrum
Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan jenis bakteri atau kumannya. Karena antibiotika bersifat membunuh semua bakteri dalam tubuh, maka jika tak ada bakteri ‘jahat’ dalam tubuh sebaiknya tidak mengkonsumsinya.
Seorang peneliti dari Harvard University, menemukan bahwa banyak sekali kuman dan bakteri yang hidup di alam semesta ini, tapi hanya kurang dari dua persen saja bakteri yang merugikan.
Untuk mengenali penyebab infeksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang akurat melalui beberapa tes, salah satunya tes kultur, dengan mengambil spesimen dari bakteri tersebut kemudian dibiakkan.
Setelah pemeriksaan, akan diketahui jenis bakteri penyebab infeksi misalnya, kuman gram positif contoh methicillin Stphylococcus aureus, atau kuman gram negatif seperti E coli, Pseudomonas sp untuk memberikan antibiotik yang sesuai.
"Tidak ada antibiotik yang dapat membunuh semua kuman gram positif dan kuman gram negatif. Ada beberapa antibiotik yang `kuat’ menghancurkan kuman gram positif namun agak `lemah’ pada kuman gram negatif," ujar farmakolog, dr Yati Harwati Pujiarto, SpAK.
Pemberian antibiotika spektrum luas tanpa indikasi yang tepat dapat mengganggu flora normal usus berupa bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman anaerob, serta jamur yang digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan makanan dalam tubuh.
Bakteri yang ada di dalam tubuh umumnya menguntungkan, misalnya bakteri pada usus yang membantu proses pencernaan dan pembentukan vitamin B dan K.

Kembali Mengenal Bakteri
Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok raksasa dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas.
Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel mengenai prokariota, karena bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota.
Istilah "bakteri" telah diterapkan untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung pada gagasan mengenai hubungan mereka.
Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar (berada di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen merupakan bakteri.
Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita).
Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel hewan dan jamur, tetapi dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain. (YR)

DOSIS PENCEGAHAN TIDAK ADA?

Menurut Drh Toto Purwantoro Kepala Seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom di Jawa Tengah, Antibiotik banyak diperlukan pada penanganan Kolibasilosis, Kolera, Nekrotik Enteritis dan CRD Kompleks.
Kolibasilosis banyak terjadi terkait dengan air, sehingga harus mencari sumber infeksi, tidak hanya mengobati. "Itu yang biasanya dilupakan untuk dilakukan oleh peternak," katanya seraya menambahkan bahwa, "Kontrol harus dilakukan secara terus-menerus."
Terkait dengan kontrol ini maka akan diketahui kondisi ternak dan peternakan. Bisa saja diketahui ternak mengalami stres lingkungan, stres vaksinasi, stres perubahan pakan dari fase strater, grower, finisher.
Pada kondisi semacam inilah potensi serangan bakteri bisa muncul Jumlah bakteri bisa meningkat, dalam tubuh ternak. Dengan kondisi ini akan masuk pada suatu tindakan yang disebut flushing yang intinya pencucian kuman!
Tindakan pencucian kuman ini dapat dikatagorikan dengan pemberian antibiotik dosis pencegahan. Namun Toto Purwantoro tidak setuju dengan istilah dosis pengobatan. Menurutnya pemberian antibiotik tetaplah pemberian antibiotik dengan dosis standar dan di manapun antibiotik harus diberikan dan dikonsumsi sampai habis, tuntas.
Dengan kata lain, untuk dosis Pencegahan yang diberikan lebih tepat dosis pengobatan. Atau, menurutnya dosis pencegahan itu sebetulnya tidaklah ada, karena dengan pemberian tidak sesuai standar sampai tuntas bisa menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik.
Sehingga pengobatan tidak manjur karena kuman sudah kebal, akibat antibiotik yang diberikan tidak tuntas.
Perlakuan pencucian kuman ini patut dilakukan sebelum perbanyakan kuman menjadi merugikan peternakan.
Memang orang biasanya memakai dosis pencegahan, tidak langsung dosis pengobatan, namun menurut Toto hal ini sangat riskan karena kuman sudah berkembang biak Di kalangan umum, dikenal apa yang disebut sebagai dosis pencegahan untuk pemberian antibiotik. Namun Drh Toto Purwantoro dari PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah berpendapat tidak ada yang namanya dosis pencegahan.
Bahkan, menurutnya, apapun namanya dosis pencegahan atau dosis pengobatan sama-sama diberikan antibiotik dengan dosis yang sama: yaitu dosis pengobatan!
Meskipun mungkin ayam tidak sakit, pemberian antibiotik dianggap untuk pencucian kuman. Artinya ayam tetap diobati (diberi antibiotik) dengan dosis pengobatan. Sebab pada ayam dianggap sudah ada infeksi, walau tanpa pemeriksaan.
Berdasar pengalaman, hal itu sudah pasti, ada bakteri karena bagaimanapun kondisi ayam/kandang tidak mungkin steril.
Anggota Komisi Obat Hewan Drh Abadi Soetisna MSc menengahi, benar bahwa dosis pencegahan harus sama dengan dosis pencegahan. Tindakan pemberian dosis yang dikurangi dari dosis yang seharusnya disebut sebagai sub terapi. Sub terapi macam ini bisa menimbulkan resistensi, di mana kuman dapat resisten terhadap obat tersebut!
Tindakan sub terapi dengan mengurangi dosis antibiotik yang mestinya diberikan biasanya diberikan oleh peternak, bukan dokter hewan. Biasanya diberikan ½ dosis, paling banyak pada ternak babi.
Pengobatan antibiotika lazim punya rentang waktu 3-5 hari pertama. Orang juga menganggap pemberian pada rentah terendah (3 hari) sebagai dosis pencegahan, dan rentang hari tertinggi (5 hari) sebagai dosis pengobatan. Mereka menganggap, untuk pencegahan, waktu pemberian dipersingkat (menjadi 3 hari saja).
Namun halitu sebetulnya sama saja,yaitu dosis pengobatan. Karena memang rentang pengobatan dengan antibiotik adalah 3 hari sampai 5 hari pertama. “Dosis pencegahan tidak ada,” tegas Drh Abadi Soestisna.
Ada pula yang melakukan dengan cara menurunkan dosis.Misalnya antibiotika penisilin yang dosisnya 10-20 iu/kg BB (international unit per kilogram berat badan). Untuk pencegahan orang memberikan 10 iu/kg BB.
Menurut Drh Abadi Soetisna, itu pun sebetulnya sama-sama dosis pengobatan. Dan kembali ditegaskan, “Sebetulnya dosis pencegahan tidak ada.”
Kalau begitu, bagaimana?
“Gunakan antibiotik bila perlu, seperlunya. Janagn ketakutan. Dosis sekian ya sekian. Tidak usah lama-lama. Setelah itu tahu bagaimana efeknya. Bila timbul penyakit, bagaimana menangani,” tegas Drh Abadi Soetisna memberi jalan keluar. (YR)

PROGRAM YANG AMAN, BERMUTU DAN MANJUR

Aman, bermutu dan Ampuh/Manjur! Itulah syarat-syarat utama pemberian antibiotik.
Demikian Anggota Komisi Obat Hewan Drh Abadi Soetisna MSc kepada Infovet seraya menguraikan lebih lanjut:
Aman, berarti antibiotik itu aman untuk hewan, manusia dan lingkungan. Cari obat yang paling aman, yaitu tidak menimbulkan residu dan mudah diurai. Kata lainnya adalah: aman, efektif, efisien, mudah diurai.
Dalam hal penggunaan antibiotik yang aman, kalau masih ada obat lain,carilah obat yang lain. Namun tetap harus dipikirkan unsur lain yaitu soal mutu dan kemujarabannya. Apapun obat, soal aman, bermutu dan mujarab merupakan syarat mutlak.
Lazimnya, pemberian antibiotika adalah kala ternak/peternakan sudah kedatangan penyakit. Untuk mencegah penyakit masuk itulah harus dilakukan biosecurity yang ketat! Biosecurity yang bagus dapat mencegah masuknya penyakit.
Bisa juga sebelum pemberian antibiotik, diberikan obat-obat yang dapat merangsang ketahanan tubuh (imunostimulan).
Jadi ada kombinasi tindakan pengobatan, Biosecurity untuk mencegah kuman masuk. Imunostimulan untuk meningkatkan ketahanan tubuh, dan antibiotik bila kuman telanjur masuk dan menyerang!
Untuk sifat kemanjuran, ilustrasinya adalah sebagaimana obat pusing berarti mujarab bila dapat menghilangkan sakit kepala.
Antibiotik sendiri, menurut Drh Abadi Soestisna adalah peluru ajaib.peluru ajaib antibiotik ini punya sifat ideal untuk membasmi kuman dan tidak mengganggu organ tubuh.
Istilah ideal untuk membasmi kuman adalah parasitotrop maksimum.
Sedangkan istilah uintuk tidak mengganggu organ tubuh adalah organototrop minimal!
Tidak mengganggu organ tubuh berarti tidak menimbulkan resistensi dan tidak mempengaruhi biologi dalam tubuh baik itu tubuh manusia maupun tubuh hewan.

Program Antibiotika
Menurut Drh Toto Purwantoro dari PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah, program antibiotika pada ayam broiler dimulai pada 3 hari pertama ayam.
Selanjutnya antibiotika diberikan pada minggu ke 3.
Pada saat-saat itu (baik pada hari ke 3 maupun pada minggu ke 3), kuman sudah berkembang biak karena stres vaksinasi, maupun stres karena perubahan pakan dari fase strater-grower-finisher.
Adapun program antibiotika pada ayam layer adalah pada umur ayam 3 hari, lalu umur 3 minggu, lalu umur 2 bulan saat ayam naik kandang baterai sampai puncak produksi.lalu, setelah puncak pada umur 40 minggu atau 10 bulan.
Dengan demikian, kita mengenal berbagai macam jenis katagori obat-obatan untuk ternak. Sebutlah enzim sebagai imbuhan pakan, gunanya untuk efisiensi pakan, misalnya reformulasi sehingga harga pakan menjadi turun dengan hasil produksi yang sama.
Kemudian kita kenal ACD-fier yang dibutuhkan karena tujuannya menurunkan populasi bakteri jahat di dalam lambung, menurunkan pH asam lambung dan memberi laktobasili yang bermanfaat dalam lambung.
Soal enzim dan ACD-fier yang punya sedikit perbedaan/persamaan ini Drh Toto Purwantoro menganjurkan dua-duanya dipakai, tergantung kebutuhan.
Sedang vaksin kita sudah sangat kenal, untuk menciptakan kekebalan tubuh pada ayam! Demikian juga antibiotik untuk melawan kuman yang menyerang.
Menurut Drh Toto Purwantoro dan dikuat Drh Antonius Sigit Pambudi dari PT Romindo Primavetcom Jawa Barat, biaya menggunakan obat-obatan (ACD fier, enzim,antibiotik, dan vaksin) untuk seekor ayam pedaging selama 34 hari tergantung kasus bisa mencapai lebih dari Rp 400.
Kalau tidak ada kasus, berarti efisien, hanya mencapai Rp 300 sampai Rp 350 per ekor ayam pedaging.
Adapun pada ayam petelur, secara normal biaya semua obat-obatan itu hanya berkisar Rp 200 per ekor per bulan.
Sedangkan untuk menghitung potensi, biaya obat-obatan umur 0 hari sampai afkir bisa mencapai Rp 4.000 per ekor ayam petelur. (YR)


MENYOAL ANTIBIOTIKA UNTUK TERNAK

Merujuk pada batasan antibiotika, Peter Salim dalam The Contemporary Medical Dictionary, antibiotika merupakan zat, misalnya penisilin atau streptomisin yang berasal dari jamur atau bakteri yang merusak dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Dalam dunia kesehatan apakah itu human medic atau veterinary, penggunaan antibiotika sangat diperlukan untuk proses penyembuhan suatu penyakit.
Hanya saja, dalam penggunaan antibiotika perlu banyak pertimbangan, mengingat residu antibiotika itu sendiri pada ternak, dan ini harus dihindari agar tidak merugikan konsumen yang mengkonsumsinya.
Di samping itu, penggunaan antibiotika di usaha peternakan perlu mendapatkan pengawasan dari pihak berwenang dalam hal ini adalah dokter hewan.
Sementara itu, perlu juga dipastikan jenis antibiotika mana yang tepat untuk mikroorganisme penyebab penyakit, artinya agar tepat sasaran dalam pengobatan.
Keberhasilan dalam penggunaan antibiotika juga dapat ditentukan oleh kejelian veterinay dalam menentukan aktifitas dan efektifitas antibiotika yang digunakan serta efisiensi proses farmakokinetik yang mencakup absorbsi, penyampaian ke daerah infeksi, difusi dari plasma ke jaringan, penetrasi ke tempat infeksi dan lamanya obat bertahan dalam tubuh.
Menurut drh Agus SR Konsultan di Business Development CECOM Foundation, penggunaan antibiotika sebagai obat di usaha peternakan harus dibawah pengawasan pihak berwenang yakninya dokter hewan.
Biasanya setiap pabrikan obat hewan telah menyediakan Technical Services untuk selalu memantau aktifitas peternak binaan mereka dalam hal penggunaan obat-obatan, misalkan saja penggunaan antibiotika, ini ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam indikasi, dosis dan aplikasinya.
Di samping itu, Agus menambahkan, semestinya untuk mendapatkan daya penyembuhan yang optimal dalam penggunaan antibiotika, perlu diperhatikan azas penggunaan antibiotika yang rasional pada ternak. Yakni, antibiotika tersebut harus mempunyai daya selektifitas yang tinggi terhadap mikroorganisme penginfeksi dan antibiotika tersebut harus mempunyai potensi toksisitas kecil atau reaksi alerginya minimal.
“Makanya untuk pencapaian hasil pengobatan yang memuaskan bila dengan antibiotika, diperlukan pemilihan rute yang tepat pula, karena hal ini disinyalir sebagai faktor penentu, pertimbangannya adalah konsentrasi darah yang dicapai, lokasi infeksi dan derajat keparahan infeksi.
Di samping itu, distribusi obat dalam tubuh ternak juga perlu diperhatikan, demikian pendapat drh Syakban Mahmud Feed Coordinator PT. Charoen Pokphan home base Pekanbaru.
Menurutnya, faktor pengendali distribusi obat dalam tubuh ternak adalah (1) konsentrasi darah, (2) ukuran molekul, (3) derajat fiksasi pada protein plasma, (4) daya larut lemak, (5) derajat fiksasi pada jaringan, (6) ada atau tidaknya inflamasi dan (7) rute eksresi.
Terkait dengan rute ekskresi ini, lebih lanjut dijelaskannya yaitu perlunya pemilihan antibiotika yang tepat pada infeksi yang melibatkan organ ekskresi dan insufisiensi organ ekskresi dapat meningkatkan resiko toksisitas antibiotika.
Hanya saja ini membutuhkan dana yang cukup besar bagi kalangan peternak, meskipun hasil dari metode ini cukup menjamin keamanan bahan pangan asal ternak, namun penerapannya ditingkat peternak masih jauh dari harapan apalagi untuk usaha peternakan rakyat.
Terkait resistensi pada penggunaan antibiotika yang tidak berdasarkan aturan penggunaannya, drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan, selagi penggunaan antibiotika berdasarkan kelas kasusnya, maka resistensi antibiotika dapat dianulir.
Dilanjutkan Jully, pada ternak kasus resistensi tidak separah pada manusia, malahan seringkali ditemukan manusianya yang resistensi terhadap salah satu antibiotika akibat mengkonsumsi bahan pangan asal ternak yang mengabaikan petunjuk pengobatan dengan antibiotika.
Bila menyoal resistensi obat, sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika pada manusia diawali dari ditemukannya staphylococcus yang resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an. Sejak itu resistensi tunggal maupun multiple (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar tahun 1950-an.
Penyebaran bakteri resisten semakin dramatik di medio 1990-an. Dua faktor penting ikut berperan dalam penyebaran resistensi yaitu kemampuan organisme untuk mentransfer, memperoleh dan merekayasa gena resisten, serta penekanan selektif bakteri akibat penggunaan antibiotika spektrum luas (broad spectrum) secara berlebihan.
Interaksi antara dua komponen utama inilah yang lebih dikenal sebagai (drug resistance equation) hingga saat ini menjadi bagian dari masalah resistensi bakteri yang tak pernah terpecahkan secara tuntas. (Daman-Suska)

OBAT HEWAN: SUDAH TEPATKAH PENGGUNAANNYA

Satu dari lima kunci sukses dalam beternak adalah pencegahan dan pengobatan penyakit.
Mencegah penyakit berarti upaya yang dilakukan peternak agar ternak peliharaannya terhindar dari berbagai penyakit.
Sedang pengobatan, lebih ditujukan pada usaha peternak untuk membunuh sumber penyakit dengan cara menggunakan preparat yang mempunyai daya membunuh atau melumpuhkan bibit penyakit.
Demikian disampaikan drh Hanggono TS PT Medion cabang Pekanbaru.
Penyakit dan obat di usaha peternakan sama sekali tidak bisa dipisahkan, artinya pada saat hewan sakit, peternak dengan segenap daya dan upayanya berusaha membebaskan ternak peliharaannya dari cengkeraman bibit penyakit.
Penyakit diartikan sebagai disfungsi anggota tubuh ternak atau kondisi saat ternak tidak mampu menjalankan fungsi organ yang dimilikinya, dalam arti adanya gangguan yang mendera pada organ dimaksud.
Membicarakan penyakit ternak, banyak hal yang perlu diperhatikan antara lain kebersihan lokasi, kandang ataupun ternak yang dipelihara. Ini merupakan hal krusial yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari peternak.
Selain itu, kecukupan gizi yang dikandung makanan juga perlu mendapat perhatian, karena dari sinilah awal mula ternak mudah terpapar penyakit.
Dilain pihak, peternak pada dasarnya tidak menginginkan ternak peliharaannya sakit karena hal ini menimbulkan kerugian baik finansial ataupun psikis peternak yang berhubungan langsung dengan ternak.
Banyak kerugian yang didapat bila ternak tidak sehat. Secara nyata menurut Hanggono adalah menurunnya produksi telur pada layer, terhambatnya pertumbuhan pada broiler, demikianpun halnya pada sapi, kambing, domba dan ternak-ternak lainnya dan terhalang semua aktifitas hanya karena sakit yang dideranya.
Lebih lanjut dijelaskannya, secara kasat mata bila peternak jeli, terlihat perbedaan antara ternak sehat dengan ternak sakit.
Ternak sehat biasanya dicirikan dengan konsumsi pakan dan air minum normal, feses normal dan tidak encer, bersuara normal, produksi telur pada layer normal sedang pada broiler laju pertumbuhannya bagus, giat melakukan aktifitas.
Pada ayam atau unggas temperatur tubuh normal dengan kisaran 105-107 ºF dengan rataan 106 ºF. Sedang untuk denyut nadi dan totalitas pernafasan ayam per menit adalah 200-400 kali dan 15-16 kali.
Di luar batasan ini, peternak seharusnya mencurigai ada apa dengan ternak peliharaannya, sakitkah atau sehat. Bila ternak sakit, maka langkah tepat yang harus dilakukan peternak adalah memberikan obat yang mampu menghilangkan rasa sakit sekaligus mampu melenyapkan bibit penyakit.

Patuhilah Rambu-Rambu
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bidang peternakan, memungkinkan peternak tahu lebih banyak terkait budidaya peternakan, baik usaha komersial ataupun usaha pembibitan.
Tentang kesehatan ternak, banyak hal yang dapat dilakukan peternak agar ternak tetap sehat. Hal utama yang harus dilakukan adalah menjaga kebersihan disemua lini, artinya kebersihan tidak hanya ditujukan pada lingkungan dan kandang, namun kebersihan ternak dan anak kandangnya pun perlu diperhatikan.
“Peternak tetap harus berpegang pada prinsif mencegah lebih baik dari mengobati,” kata drh Agus Syafiq Riyadi pada koresponden Infovet Riau.
Menurutnya, tidak ada alasan peternak untuk tidak menjaga sanitasi kandang, lingkungan, ternak dan manusianya. Karena, sekali peternak lengah maka dipastikan benteng pertahanan ternak direbut oleh bibit penyakit, artinya apa, ternak dengan mudahnya terserang penyakit karena kekebalan tubuhnya yang selalu digerogoti oleh mikroorganisme penyebab penyakit.
Bagi peternak, jalan terbaik yang sering dilakukan adalah menggunakan obat untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit yang diderita ternaknya. Karena bagaimanapun obat merupakan sesuatu yang menyembuhkan atau meredakan penyakit.
Obat dapat diberikan kepada pasien melalui beberapa cara, ini tergantung pada cepat atau lambatnya hasil yang dikehendaki peternak, lama kerja obat dalam tubuh, bentuk atau macam obat, sifat fisis atau kimiawi obat dan derajat absorbsi obat dalam tubuh.
Di samping itu, peternak juga mampu mempilah-pilah obat berdasarkan pada indikasi obat tersebut, artinya peternak dalam memberikan obat pada ternaknya jangan terkesan hantam kromo atau sembarangan, sehingga petunjuk penggunaannya diabaikan.
Bila ini terjadi maka hasil yang dicapai tidak maksimal bahkan diasumsikan adanya kemungkinan resistensi ternak terhadap preparat obat dimaksud.
Untuk peternakan ayam pedaging komersial, hal ini dapat menimbulkan kerugian baik terhadap peternak ataupun pada konsumennya.
Kerugian bagi peternak misalnya saja membesarnya cost pengobatan atau over budget, sedang bagi konsumen dikuatirkan terjadinya akumulasi obat dalam tubuh, sehingga pada kondisi tertentu tubuh mempunyai daya resistensi yang tinggi terhadap preparat obat yang digunakan atau drug resistance, yakni keadaan berkurangnya respon terhadap obat yang umumnya menghambat pertumbuhan sel atau mematikan sel.
Lalu bagaimana solusinya? “Penggunaan obat yang tepat dalam arti tepat indikasi, tepat dosis dan tepat aplikasinya, inilah yang memberikan nilai lebih, baik bagi ternak, bagi peternak ataupun bagi konsumen yang mengkonsumsinya,” jawab alumni FKH Unsyiah Negeri Serambi Mekah ini.
Di sisi lain, drh Hanggono tetap berprinsif pada withdrawal yaitu masa henti obat, yang lebih difokuskan pada pengobatan dengan preparat antibiotika. Biasanya menurut Hanggono, masa henti obat pada broiler adalah seminggu sebelum panen, ini ditujukan agar obat yang diberikan pada broiler dapat terabsorbsi sempurna, sehingga kekuatiran pada residu obat dapat dikesampingkan.
Setidaknya apa yang dikemukakan TS senior PT Medion ini diaminin oleh Firdaus peternak lima ribu ekor broiler yang lokasi kandangnya di kabupaten Kampar.
Menurutnya, pada dasarnya pemberian obat-obatan pada broiler sudah terjadwal sedemikian rupa dan tetap mengacu pada program sukses pemeliharaan broiler.
Lebih lanjut dikatakannya, pemberian obat biasanya selalu dipantau oleh TS, sedang aplikasi obat yang biasa dilakukan adalah melalui air minum, dan tetap mengacu pada ketentuan yang tertera pada bungkus obat.
“Pemberian obat dalam hal ini antibiotika disesuaikan dengan jadwal dan biasanya dihentikan pada hari ke dua puluh dua atau dua puluh tiga periode pemeliharaan, hal ini ditujukan agar obat yang diberikan telah diabsorbsi oleh tubuh ternak.Ini ditujukan agar konsumen tidak merasa kuatir lagi mengkonsumsi daging karena takut terjadinya residu antibiotika tadi,” tutur Firdaus yang juga sebagai Inseminator di Dinas Peternakan Kabupaten Kampar.
Sejauh ini, sejak awal memulai usaha peternakan broiler tepatnya dua tahun yang silam, Firdaus yang juga tercatat sebagai mahasiswa gaek (red: tua) di Fakultas Peternakan UIN Suska Riau ini tetap exist menggeluti usaha ini.
Menurutnya, apapun bentuk usahanya, yang penting dikerjakan dengan sungguh-sungguh, tetap bisa memberikan hasil optimal.
“Ingin sukses beternak broiler, patuhilah rambu-rambunya dalam hal ini program pemeliharaan broiler dimaksud,” pungkas Firdaus. (Daman-Suska)

PETERNAK, PENYAKIT BAKTERI DAN ANTIBIOTIK

Tukiman seorang peternak broiler di Pathuk Gunung Kidul Yogyakarta, kepada Infovet mengungkapkan bahwa sebagai peternak ayam potong yang ikut program kemitraan, tidak begitu paham tentang tata cara penggunaan antibiotika yang baik dan benar.
Menurutnya ia hanya menurut saja apa yang telah disarankan oleh Petugas Kesehatan Lapangan pihak Perusahaan Inti. Begitu ada masalah dengan kesehatan ayam yang dipeliharanya, maka sang petugas yang akan menyediakan obat dan lainnya untuk atasi hal itu.
”Pokoknya saya hanya tinggal memberikan paket obat yang diberikan oleh pak petugas pendamping lapangan (PPL). Umumnya para petugas hampir setiap hari menyambangi dan melihat ayam di kandang. Kalau ada yang sakit maka, paket obat itu diberikan dan saya tinggal menyiapkan untuk pemberianke ayam. Jenis obat apa yang dipilih dan kapan harus dihentikan saya bear-benar tidak mengerti,” tuturnya polos.
Bahkan kemudian kepada Infovet Tukiman menanyakan mengapa harus ada aturan batas waktu pemberiannya. Menurutnya kalau memang belum sembuh obat akan terus diberikan, dengan disediakan oleh PPL, tidak peduli besok atau lusa akan di panen oleh pedagang ayam.
Begitu juga ketika ayam-ayam, terlihat sudah sembuh, meski obat sebenarnya masih ada dan seharusnya dihabiskan, maka Tukiman akan menghentikan. Dasar pertimbangannya kalau terus diberikan, maka nanti akan memboroskan pihak dirinya sebagai plasma.
Petugas lapangan umumnya memang ada kecenderungan lebih mengutamakan dan lebih menyelamatkan ayamnya dari sergapan penyakit, dibanding dengan pertimbanan residu obat antibiotika dan sulfa pada ayam.
Memang hal itu sangat umum terjadi di lapangan, mengingat jika harus menunggu waktu henti obat, maka pihak peternak akan terbebani dengan ongkos produksi dari aspek pakan, energi dan tenaga kerja.
Drh Mardiatmi Mv.Sc pakar dari Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Bandar Lampung secara khusus kepada Infovet menengarai aplikasi Antibiotika di peternakan ayam komersial dan peternakan Babi sudah pada tataran yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil pengamatannya di lapangan bertahun-tahun bahwa tatalaksana pemakaiani antiniotika pada ayam dan babi sangat serampangan. Kontrol dan bimbingan dari pihak yang seharusnya bertugas dan kompeten dengan masalah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibatnya dapat diduga jika ekspor produk unggas dan ternak babi selalu menemui kendala di pasar internasional. Dan bahkan pada jangka panjang dapat muncul masalah baru yang tidak hanya pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga kesehatan ternak secara umum.
Sehingga ia menduga jika sementara ini sudah banyak penyakit bakterial pada unggas yang sebenarnya pada awalnya sangat mudah untuk diatasi, sekarang ini memberi kesan penyakit bandel dan sulit dituntaskan.
Dugaan beberapa banyak pihak tentang kemungkinan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap preparat antibiotika tertentu, sangat mungkin karena serampangannya pemakaian di lapangan. Untuk itu ia menyarankan, agar tidak terlambat perlu ada pengawasan yang ketat dalam tataniaga dan aplikasi lapangan.
Mardiatmi melihat bahwa di breeding ayam dan juga di peternakan hewan besar jauh lebih tertata dan taat pada aturan pemakaiannya.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Praktisi Dokter Hewan yang sangat disegani di Yogyakarta,Drh Agus Abadiyanto. Sebagai seorang yang merasa dididik dan mencoba patuh pada sumpah janji profesi, Agus merasa tuntutan dan panggilan hati nurani untuk memperlakukan hewan ternak sebagai makluk Tuhan.
Ada sebuah tanggung jawab besar yang tidak bisa dilalaikan, yaitu mensejahterakan dan menyehatkan hewan ternak. Menurut pendapatnya sebagian besar Dokter hewan sudah pasti untuk berlaku seperti itu. Ketika diinformasikan bahwa di peternakan ayam komersial dan ternak babi ada kecenderungan pemakaian preparat Antibiotika dan Sulfa kurang terkjontrol, Agus memilih bersikap diam, agar tidak menimnulkan polemik.
”Terus terang saya tidak banyak terjun di jenis komoditi peternakan itu, jadi saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas hasil pengamatan saya terhadap teman sejawat sebagai praktisi Dokter hewan kesayangan dan ternak besar, terus mencoba patuh pada sumpah dan janji profesi. Saya melihat apa yang dilakukan sejawat saya sudah pada track yang benar dan bertanggung jawab.” ujarnya.
Selain atas dasar kepatuhan atas sumpah itu,menurut Agus juga ada aspek ekonomisnya, yaitu jika pemakaian berlebih dan tidak sesuai rekomendasi akan merugikan kedua belah pihak, dokter hewan dan peternak/klien.
Sedangkan Drh Sapta Haryono seorang peternak layer yang juga seorang Dokter Hewan merasa tidak sependapat dengan Mardiatmi. Sebab menurutnya, sebenarnya jauh lebih banyak peternak yang mencoba taat dan patuh dengan aturan pemakaian dibanding dengan yang serampangan.
Sebagai peternak yang bertujuan meraup keuntungan, sudah pasti akan melakukan usaha dan tatalaksana secara efisien dan efektif. Termasuk dalam hal ini adalah pemakaian obat maupun vaksin. Jika berlebih akan merugikan alias membengkakan ongkos produksi.
Namun demikian Sapta, mencoba bersikap fair bahwa masalah penyakit pada ayam komersial adalah bukan masalah yang sepele dan selalu bersifat kompleks. Sehingga sangat wajar jika ada sejumlah peternak yang panik, jika pemberian preparat antibiotika tidak segera membuahkan hasil dan kemudian segera di”tembak” dengan yang broad spektrum bahkan dengan golongan Quinolone.
Langkah terbiasa dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi masalah penyakit pada ayam dengan preparat dari golongan quinolone padahal sebenarnya masih bisa diatasi dengan antibiotika spesifik atau broad spektrum.
Pihak produsen melalui para pemasarnya adalah salah satu faktor pendukung kesemrawutan dan serampangan pemakaian antibiotika di lapangan, khususnya pada ayam. Oleh karena itu jika ingin menertibkan, barangkali paling tepat adalah dari sumber nya dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum lanjut Sapta, bahwa peredaran preparat antibiotika dalam sediaan pure atau murni sangat mendominasi dan sangat digemari para peternak. Jika peternak tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang obat/farmakologi, tentu akan semakin mengkhawatirkan aplikasi di lapangan.
Menurut Sapta, proporsi peredaran preparat antibiotika antara yang terregistrasi dibanding dengan yang sediaan murni 1 : 5 untuk sediaan pure. Sehingga, kasus itu tidak saja berdampak pada volume pemasaran preparat yang legal, akan tetapi juga aspek keamanan dan keselamatan konsumen produk unggas.
Lain lagi dengan Misaljo Samudra pemilik Samudera PS di Jl Raya Wates Jogja, menyikapi pemakaian preparat antibiotika di lapangan yang semakin amburadul.
”Saya tidak mengerti secara persis tatacara dan dosis masing-masing merk antibiotika. Sebagai pelaku usaha, saya hanya menyediakan selengkap mungkin kebutuhan peternak. Lepas itu legal dan tidak legal, serta aturan yang seharusnya ditaati pemakai. Yang jelas, jika obat itu laris manis berarti obat itu hebat dan ampuh untuk atasi masalah penyakit. Apakah obat itu termasuk dalam obat keras dan harus cermat dalam pemakaian, tetapi yang penting saya selalu berusaha menyediakan sesuai selera peternak,” tutur Misaljo.
Kapan harus dihentikan pemakaian obat itu dan kapan masih diberikan pada ayam lanjut Misaljo, ia sangat tidak paham. Perihal obat murni, memang dari waktu ke waktu ada kecenderungan meningkat permintaannya. Apakah hal itu karena obatnya murah dan ampuh, yang jelas banyak para peternak yang terus meminta sediaan obat murni itu. (iyo)

Pesimis Perunggasan 2007 Tetapi Harus Tetap Optimis

Berbeda dengan pelaku bisnis perunggasan yang lain, Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Mulitivita justru menyatakan pesimis menghadapi tahun 2007 ini. Namun ia tetap menaruh harapan dan optimisme besar terhadap masa depan peternakan dan kesehatan ayam di Indonesia.

Ia menguraikan berbagai masalah yang menurut prediksinya masih akan menggelayuti sektor peternakan di tahun 2007. Diantaranya adalah penurunan produksi yang terjadi pada petelur kurang dipahami oleh mayoritas peternak petelur, demikian pula disektor broiler. Sementara pada hewan ruminansia terdapat sederetan penyakit yang sampai dengan sekarang masih terasa merugikan, diantaranya Brucellosis dan IBR (terutama pada sapi perah), Anthrax, Rabies dan SE, juga Kempis (hog cholera/PPLO) pada babi. Dikhawatirkan juga kemungkinan masuknya penyakit eksotik lain ke Indonesia, seperti FMD dan BSE.
Hadi menambahkan, hal ini masih diperparah dengan dampak psikologis publik akibat pemberitaan media massa yang kurang seimbang tentang kematian manusia Indonesia akibat Flu Burung (FB). Pemberitaan tersebut serta merta mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat atas protein asal unggas. Ironisnya masih sering terdengar penyakit pada manusia Indonesia seperti Kwashiorkor (gizi buruk akibat defisiensi protein), marasmus (defisiensi protein dan kalori), padahal semua ini bisa diatasi dengan menjamin tersedianya protein hewani secara memadai. “Karena asam amino bahan pembentuk protein sangat dibutuhkan untuk pembentukan antibodi berbagai penyakit. Nah, kalau asupan proteinnya saja sudah kurang apalagi kalau penyakit datang pastinya akan lebih mudah terserang,” kata Hadi.
Sementara itu Pemerintah dalam melakukan upaya penangulangan penurunan produksi telur masih dalam tingkat regulasi dan program penanggulangan penyakit tertentu, seperti Avian Influenza. Tetapi secara spesifik program untuk mengatasi penurunan produksi telur diserahkan kepada peternak itu sendiri
“Masalah lain adalah harga pakan yang terus melambung, (yang jelas terpantau adalah pada ayam petelur dan broiler) yang merupakan dampak naiknya harga jagung, MBM (meat bone meal) dan PMM (poultry meat meal) sebagai pengganti tepung ikan yang sulit didapat dan harganya mahal, bungkil kedelai juga naik dan mencari dedak yang berkualitas bagus juga sulit. Biasanya jika harga pakan naik, turunnya akan susah, tetapi faktanya harga jual telur dan daging ayam tidak sebanding dengan kenaikan harga pakan. Inilah fakta lapangan yang sesungguhnya! Dan hal ini selalu dan selalu terjadi dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai waktu yang tidak ditentukan,” tegas Hadi.
Ia mengatakan, “Jujur harus saya katakan bahwa masa depan peternakan akan suram dan saya pesimis melihatnya. Tetapi semua itu akan menjadi baik dan optimis jika semua pihak yang berkompeten memahami dan mau melaksanakan hal-hal untuk mencapai target pemenuhan ketahanan pangan nasional sebagai tolok ukur keberhasilan, semua harus diselesaikan secara simultan”.

Peran Dokter Hewan
Kalau melihat Target Nasional Konsumsi Protein Hewani 6 gram/kapita/hari, sedangkan di tahun 2002 baru mencapai 4,08 gram/kapita/hari atau baru 68% dari target nasional. Pencapaian itu juga merupakan kontribusi dari daging (60,8%), telur (27,4%) dan susu (11,8%) dan untuk mencapai target Nasional diperlukan peningkatan produksi daging 4,8%, telur 5,1% dan susu 4,7%. Untuk peningkatan produksi tadi, diperlukan peningkatan populasi ternak: Sapi (1,8%), kambing (2,5%), domba (11,5%), babi (10,6%), ayam ras (9,9%), dan ayam buras (4,4%). Sementara hambatan perkembangan populasi ternak 61-68% disebabkan oleh gangguan kesehatan hewan atau penyakit. Disinilah peran profesi Dokter Hewan yang sangat strategis dalam mendukung program peningkatan ketahanan pangan.

Masih Penyakit yang Sama
Menurut Hadi kasus penurunan produksi pada layer sepanjang tahun 2007 ini masih akan sama yaitu lebih banyak disebabkan oleh agen penyakit infeksius seperti virus dan bakteri. Penyakit dari virus contohnya adalah ND, IB, AI dan EDS, sedangkan yang dari bakteri adalah Snot Coryza, Coli, CRD, Kolera, Pasteurella dan Pseudomonas. Juga kasus infeksi parasit seperti Leucocytozoonosis dan cacing. Sementara penyakit lain adalah kasus non infeksius seperti kualitas pullet, air minum dan kondisi lingkungan yang jelek, contohnya suhu lingkungan yang tidak nyaman bagi ayam.
Sementara pada broiler modern kondisi diramalkan masih tetap rentan terhadap adaptasi lingkungan yang mempengaruhi respon fisiologis dan imunologis ayam. Yang penting diperhatikan disini adalah stres disaat awal pemeliharaan. Terutama Karena setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius, metabolisme akan meningkat 20-30%, contohnya saat suhu lingkungan 28oC nafsu makan menurun sekitar 12 %. Idealnya suhu pemeliharaan dipertahankan 32-35oC dan bisa dikurangi seiring dengan bertambahnya umur.
Misalnya bila menebar DOC dengan suhu dibawah 25oC terjadi fenomena “renyatan temperatur” atau stres yang ditandai dengan anak ayam tidak mau bergerak, makan, dan minum. Disebabkan meningkatnya produksi hormon ACTH (Adenocorticotropic Hormon) yang bisa menggangu penyerapan kuning telur. Pada akhirnya menghambat pembentukan zat kebal dari induk, menghambat penyerapan nutrisi, rentan terhadap berbagai mikroorganisme dan respon vaksinasi yang jelek. Sehingga yang sering terjadi di lapangan adalah kekerdilan/keterlambatan pertumbuhan sementara FCR membengkak, padahal kematian tidak terjadi dan kalaupun terjadi masih dianggap normal.
Terakhir ia menekankan selain penerapan biosekuriti yang ketat dan rutin, perbaikan manajemen pemeliharaan dan program vaksinasi penting dilakukan guna menjamin kesehatan dan produktivitas ternak. Sehingga guna menunjang pembentukan sistem kekebalan diperlukan imbuhan imunomodulator pada pakan ternaknya. (wan)

Standar Berat Badan Pemeliharaan Ayam Broiler
Umur Berat Badan Standard
7 hari 120 s/d 140 gr Minimal 160 gr
21 hari 600 s/d 700 gr Minimal 900 gr
32 hari 1400 s/d 1500 gram Minimal 1700 gram



Perunggasan 2007 di Mata Peternak “Meski Suram tetap Ada Harapan”

Kondisi perunggasan tahun 2007 ini masih tidak akan jauh berbeda dengan kondisi tahun 2006 yang lalu. Dapat dipastikan awal tahun 2007 situasinya masih berat dan bahkan bisa membawa korban peternak pada kebangkrutan.
Demikian Drh Zahrul Anam seorang praktisi perunggasan dari Yogyakarta mengungkapkan prediksinya. Indikator yang menjadi argumen Zahrul adalah kenaikan harga pakan yang terus menjadi faktor terbesar dalam menekan gerak laju perkembangan.
Meski kegagalan panen jagung dan beras tidak separah tahun 2005 namun hasil panen komoditi pertanian itu pada tahun 2006 belum mampu memberikan kontribusi nyata bahwa ada jaminan harga pakan tidak naik.
Jika beberapa waktu yang lalu ada faktor nilai tukar rupiah yang labil dan menjadi penyebab naiknya harga pakan, maka selama 3-4 tahun terakhir ini justru harga komoditi itu di pasaran internasional yang cenderung fluktuatif, naik turun.
Jika melihat perjalanan perunggasan domestik tahun 2006, dimana pada awal tahunnya juga kurang menggembirakan, namun syukurlah pada semester kedua tahun itu, justru telah mampu memberikan sinar terang kepada para peternak.
Sayang memang, menurut Zahrul kemudian menjelang akhir tahun badai kecil menghempaskan para peternak.
”Problema harga jual hasil produksi awal dan akhir tahun 2006 telah menggoyahkan sendi-sendi kemapanan pelaku usaha perunggasan. Kemudian pada akhir tahun 2006 diterpa kelangkaan dan menjulangnya harga DOC maupun pakan,” ujar Zahrul.
“Saya pribadi memperkirakan situasi berat ini masih akan terus berlanjut sampai pada kuartal pertama tahun 2007. Dan jika ada kondisi yang menggembirakan hampir pasti setelah kuartal pertama,” lanjutnya.
Sebenarnya pada tahun 2006 kemarin, situasi dan kondisi yang membuat peternak bisa bernafas lega berlangsung berlangsung cukup lama yaitu 6,5 bulan. Sebuah periode yang bisa membantu para peternak memperkuat struktur permodalan dan berekspansi.
Namun menurut Zahrul waktu yang relatif lama itu, di samping mampu mendorong ekspansi usaha juga memperkokoh. Hanya sayang hambatan kembali muncul dengan faktor internal perunggasan seperti diungkapkan dimuka yaitu kelangkaan DOC dan naiknya harga pakan.
Maka jika saja tahun 2007 ini masalah klasik itu bisa diatasi oleh semua pelaku usaha, sudah pasti akan membuat cerah dunia usaha perunggasan Indonesia.

Mirip dengan 2006
Menengok perjalanan dunia perunggasan Indonesia tahun 2006 yang lalu meski tidak begitu menggembirakan, namun juga tidak seburuk yang selama ini dikhawatirkan.
Kala itu, awal tahun 2006 memang terasa berat sekali situasi perunggasan. Bukan saja harga jual hasil produksi (telor maupun daging) yang nyaris menggerogoti kantong peternak alias hanya mendekati titik impas, akan tetapi juga faktor eksternal lain yang lebih memperparah kondisinya.
Di sisi internal perunggasan tahun lalu, harga DOC belum meroket seperti yang terjadi menjelang akhir tahun 2006. Namun, aspek kualitas DOC yang performansnya di bawah standar dan harga pakan yang nyaris bergejolak untuk terus naik, membuat ‘pening’ para peternak.
Panen ayam potong kurang berhasil meski sebenarnya harga jual sedikit diatas titik impas. Ternyata, hanya mampu membuat peternak dalam situasi bertahan. Baru menjelang pertengahan akhir tahun 2006 tepatnya awal bulan Mei, harga daging dan telor ayam mulai memperlihatkan tanda-tanda yang melegakan peternak.
Kala itu peternak bisa bernafas lepas oleh karena ada sisa keuntungan yang bisa digunakan untuk menguatkan modal dan juga dinvestasikan dalam bentuk lain. Namun sayang menjelang penghujung akhir tahun 2006, harga DOC langka lalu meroket dan diperberat dengan kenaikan harga pakan yang terjadi beberapa kali.
Bahkan kemudian diperparah dengan anjlognya harga daging dan telor. Sangat berbeda dengan tahun 2005 yang mana fakror eksternal berupa kenaikan harga BBM yang sangat memukul daya beli masayarakat, maka tahun 2006 justru faktor internal yang paling dominan menjadi lambannya gerak dunia usaha perunggasan.

Optimis
Tentang prospek dunia usaha perunggasan pada tahun 2007, ”Seorang pelaku usaha harus selalu optimistis dengan yang digelutinya. Rasa percaya diri itu perlu dipupuk untuk memperkuat semangat dan menaruh harapan,” ujar Ir Danang Purwantoro, yang juga seorang praktisi perunggasan di Yogyakarta mencoba optimis.
“Rasa Pesimis harus dibuang jauh-jauh dan setiap masalah bukanlah sebuah rintangan apalagi sebagai hambatan. Karena justru hal itu sebagai sebuah tantangan yang harus segera diupayakan solusinya,” jelas Danang dengan penuh semangat.
Danang mecoba melihat tahun 2007 ini sebagai harapan baru untuk maju dan terus berkembang. Keyakinan dan kepercayaan itu didasarkan oleh situasi makro ekonomi dan sosial politik domestik. Secara kasat nyata, sudah jelas bahwa saat ini roda perekonomian Indonesia sudah bergerak nyata, terutama jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Contoh nyata, bunga kredit perbankan sudah mulai turun dan pelaku usaha lain sangat antusias bergerak. Meski masih ada yang menghambat lanjut Danang yaitu ledakan angkatan kerja, syukurlah iklim sosial politik sudah sangat kondusif. Jika ada kendala dan penghambat bergeraknya dunia perunggasan menurut ayah 1 (satu) anak yang asli Wonogiri Jawa Tengah ini, adalah kebijakan perpajakan.
Rencana Pajak Pertambahan Nilai Rumah Potong Ayam (PPN RPA) adalah salah satu yang sempat merisaukan pelaku usaha perunggasan.
Jika saja rencana itu akan tetap diberlakukan secara efektif maka sudah pasti akan kembali memukul dunia perunggasan. Namun, ia yakin bahwa implementasi PPN itu pasti akan dipertimbangkan secara matang oleh pihak pemerintah dan DPR. Sebab kebijakan itu sangat kontraproduktif dan justru akan menganggu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
”Saya yakin esktensifikasi pajak oleh pemerintah di sektor perunggasan tidak akan diberlakukan, sebab dampak negatif lebih banyak dibanding manfaatnya. Namun yang lebih penting adalah kerja keras dan kesungguhan pelaku usaha perunggasan itu sendiri dalam memecahkan masalah internalnya seperti pasokan DOC yang memadai dan berkualitas serta harga pakan pada skala ekonomis yang pas,” ujarnya.
Lebih lanjut menurut Danang, jika harga pakan terus merangkak naik, maka sebenarnya tidak saja memukul para peternak, namun juga akan efeknya pada pihak produsen itu sendiri. Maka memang harga yang ideal dan pas dari sudut keekonomian pakan, akan mampu memacu berkembangnya perunggasan Indonesia.
Secara umum baik Danang maupun Zahrul berpendapat bahwa prospek dunia usaha perunggasan Indonesia tetap ada harapan. Bahkan akan mampu mencapai pertumbuhan spektakuler jika ada kebijakan pemerintah yang nyata dalam mendukung bergeraknya roda usaha perunggasan secara komprehensif. Kita tunggu dan lihat saja. (Untung Satriyo)

KEPASTIAN KEMENANGAN PERUNGGASAN 2007 VS PENYAKITNYA

Berdasarkan komunikasi dengan berbagai narasumber, bacaan kepustakaan, dan situasi penyakit unggas di Indonesia, Asia, maupun internasional, maka menurut pakar penyakit unggas Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dari FKH UGM, pada tahun 2007, tidak akan terjadi wabah penyakit unggas yang baru.
Harusnya, kata Prof Charles, “Dengan pengalaman sejak tahun 2003 sampai 2006 dalam menanggulangi AI, para peternak/pengusaha perunggasan telah lebih memahami dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pentingnya manajemen peternakan yang optimal pada berbagai aspek, khususnya praktek biosecurity yang ketat.”
Hal ini, tambah Charles, tentu saja tidak hanya untuk menanggulangi AI, tetapi juga berlaku untuk penyakit-penyakit lainnya. Yang paling penting adalah bagaimana peternak dapat lebih efisien dan dapat meningkatkan kualitas produk. Sehingga harga produk yang dihasilkan bersifat lebih kompetitif.
Jika biaya produksi terus meningkat karena berbagai faktor yang tidak terhindarkan, sementara harga produk perunggasan sangat berfluktuatif, Charles berpendapat para peternak cenderung akan melakukan modifikasi manajemen yang kerapkali berdampak merugikan pada penanggulangan berbagai penyakit.
Untuk review, Prof Charles menuturkan, penyakit-penyakit yang dominan pada broiler maupun layer selama tahun 2006 adalah Gumboro, Newcastle disease (ND), kolibasilosis, dan kelompok penyakit pernapasan (khususnya CRD, infectious coryza).
Pada broiler juga sering ditemukan gangguan pertumbuhan dan mikotoksikosis pada periode tertentu.
Sedangkan pada layer, sering muncul gangguan produksi telur, khususnya berhubungan dengan infectious bronchitis (IB) dan kadang EDS-76.
Selanjutnya, juga perlu mendapat perhatian khusus terhadap kejadian Marek’s disease (MD) yang cenderung meningkat pada layer selama tahun 2006,.
Menurut Prof Charles, penyakit-penyakit tersebut sulit diberantas karena faktor pendukungnya kompleks dan sulit diatasi, khususnya menyangkut berbagai aspek manajemen (DOC, pakan, perkandangan, kualitas air minum, biosecurity, program kesehatan) yang suboptimal.
Beberapa penyakit, khususnya ND, CRD, kolibasilosis, infectious coryza juga erat hubungannya dengan efek imunosupresif penyakit lain dan kondisi iklim yang sangat berfluktuatif.
“Program vaksinasi dan jenis vaksin yang kurang sesuai juga mempunyai andil pada kejadian beberapa penyakit, khususnya Gumboro, IB, dan MD,” kata Doktor alumnus Amerika ini.
Penyakit-penyakit tersebut (misalnya Gumboro, ND, IB) mempunyai dampak ekonomik yang besar pada peternakan ayam sehingga jika tidak ditanggulangi secara benar dapat berakibat fatal bagi suatu usaha peternakan.
Untungnya, kata Prof Charles, para peternak telah mempunyai berbagai upaya untuk menanggulanginya walaupun hasilnya belum maksimal. Inilah yang merupakan tantangan bagi para ilmuan dan praktisi perunggasan di Indonesia.
Menurutnya, peranan pemerintah dalam menangani berbagai penyakit unggas lebih terfokus pada sektor-4 (kelompok unggas skala kecil). Sedangkan pada sektor-1, -2, dan -3 pemerintah lebih banyak berperan sebagai pemegang kebijakan sehingga sangat tergantung pada kondisi manajemen dan komitmen suatu usaha perunggasan.
Selama tahun 2006, ujarnya, sebetulnya kejadian avian influenza (AI) pada peternakan ayam komersial di sektor-1, -2, dan -3 hampir tidak pernah ditemukan, sedangkan pada sektor -4 banyak sekali diagnosis AI yang dikelirukan dengan penyakit lain, khususnya ND.
“Perluasan kasus ke beberapa propinsi selama tahun 2006, sebetulnya hanya berdasarkan temuan kasus baru yang segera dapat dihentikan penyebarannya dengan cara stamping out dan bukan berbentuk letupan pada suatu peternakan atau wilayah yang luas,” tambahnya.
Bahkan, banyak propinsi yang sebelumnya dinyatakan tertular AI, telah “bersih” dari penyakit tersebut (tidak ada laporan kasus baru) dalam waktu yang lama.

Butuh Komitmen yang Tinggi
Beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dalam penanganan penyakit pada unggas, menurut Prof Charles Rangga Tabbu adalah harus adanya komitmen yang tinggi dari pengusaha perunggasan atau bidang yang terkait sesuai dengan peranannya masing-masing sejak dari hulu sampai hilir.
Hal ini untuk menjaga kualitas dan kontinuitas produk yang dihasilkan, misalnya DOC, pakan/bahan baku pakan, dan sarana kesehatan (vaksin, obat, vitamin, bahan imbuhan pakan, desinfektan).
Demikian juga, tambahnya, di bidang budidaya perunggasan, para pengusaha atau peternak haruslah menjalankan manajemen yang optimal dan sistem pemasaran produk/produk ikutan yang selalu mengacu pada prinsip biosecurity ketat yang dilandasi oleh tanggung jawab moral terhadap masyarakat perunggasan dan masyarakat umum.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan (“juri”) hendaklah selalu menyediakan dan menjaga agar semua peraturan/kebijakan dijalankan secara disiplin dan penuh tanggung jawab.
“Mungkin secara bertahap perlu restrukturisasi sistem peternakan unggas dan sistem pemasaran produknya (termasuk kotoran) agar kontrol lalulintas unggas/produknya dan pelaksanaan biosecurity lebih terkendali,” anjur Prof Charles.
Adapun peranan dari Karantina Hewan, khususnya pada entry dan exit point dan Pos Pemeriksaan Ternak hendaknya lebih ditingkatkan.
“Tindakan-tindakan tersebut diharapkan dapat menekan penyebaran penyakit seminimal mungkin,” tegas Dekan FKH UGM ini.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya Charles berkata, adalah restrukturisasi organisasi Otoritas Veteriner dari tingkat pusat sampai kedaerah. Tujuannya, agar diperoleh kesamaan pandangan dan analisis terhadap berbagai kebijakan dan kondisi di lapangan yang berhubungan dengan kesehatan unggas, khususnya yang menyangkut penyakit-penyakit stratejik, misalnya AI, ND, Gumboro.
Adapun jika dihubungkan dengan aset industri perunggasan di Indonesia yang cukup tinggi dan peranannya dalam aspek perekonomian pada sejumlah besar rakyat Indonesia, konsultan perunggasan ini mengungkapkan harusnya para peternak/pengusaha perunggasan dan pemerintah tidak begitu saja menyerah pada berbagai gejolak yang datang silih berganti.
Sebagai contoh, katanya, ”Peranan industri perunggasan sebagai penyedia sekitar 55% kebutuhan daging nasional, penyedia lapangan kerja langsung pada sekitar 2,5 juta peternak, dan sebagai pendorong pertumbuhan bidang pertanian lain dan perikanan, industri, serta usaha rumah makan.”
Untuk menyelamatkan semuanya, Ketua Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan ini menyatakan, tentu saja diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara pemerintah, pelaku perunggasan, praktisi, para pakar di bidang perunggasan/bidang yang terkait, dan semua komponen masyarakat untuk secara bersama-sama membangun, memelihara, dan mendukung keberlangsungan industri perunggasan di tanah air tercinta ini.
Misalnya, dengan selalu membudayakan untuk makan daging dan telur di lingkungan keluarga, membeli produk perunggasan (telur, daging, bahan olahan) dalam negeri, dan ikut memberikan informasi yang benar tentang kegunaan dan tingkat keamanan daging dan telur.
Jika semua pihak yang terlibat dalam mata rantai indutsri perunggasan di Indonesia dapat memainkan peranannya secara baik, maka pakar ini memastikan, industri perunggasan di negeri tercinta ini masih memiliki potensi yang amat besar dan masih tetap menjanjikan. (Ardi Winangun)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer