Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KEMBALI KE... BIOSECURITY!

Sebagaimana umumnya, masyarakat peternakan berpendapat biosecurity sangatlah penting. Lebih-lebih saat merebaknya kasus Avian Influenza yang luar biasa, biosecurity menjadi primadona dan di mana-mana menjadi sangat diperhatikan secara ketat.
Namun sayangnya, sesal Drh Roeslan Isdiyanto dari PT Agro Makmur, “Bangsa ini merupakan bangsa pelupa, melakukan biosecurity yang bagus pada saat ada ancaman. Namun begitu ancaman berlalu, perilakunya kembali seperti semula.”
Padahal, menurutnya, sarana dan prasarana menjadi efektif atau tidak tergantung tingkat biosecurity. “Efektivitasnya tergantung tantangan di lapangan dan dipengaruhi kualitas biosecurity,” tegas Drh Roeslan.
Berbicara tentang biosecurity, Drh Ratriastuti dari PT Primatama Karya Persada Divisi Layer mengatakan, ingatan kita biasanya langsung lari kepada desinfeksi, sanitasi di kandang/farm dan ragam jenis desinfektan. Seringkali kita terpaku dan terjebak hanya pada tataran ini saja, yaitu proses semprot menyemprot desinfektan, pemusnahan rodensia dan vektor lain. Sesungguhnya masih ada hal pokok lain yg harus kita pikirkan. Desinfeksi dan sanitasi hanya merupakan salah satu bagian saja dari konsep biosecurity.

3 Tingkatan Biosecurity
Lebih jauh, lanjut Drh Ratri, biosecurity/keamanan biologik merupakan sebuah program komprehensif, meliputi sebuah hierarki yang terdiri dari 3 tingkatan penting yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan untuk mencegah masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit di kandang/peternakan.
Untuk pelaksanaannya di lapangan, proses ini memerlukan pendekatan yang terstruktur, yaitu perencanaan usaha, pemilihan lokasi sumber daya, pelaksanaan di lapangan, pengendalian serta pengawasannya.
Pada dasarnya, tuturnya, konsep biosecurity berbagai macam peternakan sama, yaitu terdiri dari 3 tingkatan itu, yaitu:

1. Tingkat I (Biosecurity Konseptual)
Ini merupakan dasar dari biosecurity. Pada tataran ini meliputi aspek pemilihan lokasi usaha petrenakan di suatu daerah yang bertujuan untuk memisahkan jenis atau umur unggas yang sama, sehingga akan menghindari kontak hewan yang kita piara dengan hewan liar/hewan lain.
Selain itu penempatan lokasi peternakan yang tidak jauh dari jalan umum dan fasilitas pelayanan lain seperti kalau peternakan ayam, dekat dengan penetasan telur, pabrik pakan, dan RPA (Rumah Potong Ayam). Lokasi sebaiknya jauh dari danau atau saluran air dan juga perlintasan migrasi burung-burung liar.
Dalam pemilihannya kita juga harus memikirkan implikasi pemeliharaan hewan yang umurnya tidak sama. Ini untuk menghindari rolling infection dari hewan tua ke hewan muda atau sebaliknya.

2. Tingkat II (Biosecurity Struktural)
Pada tingkatan ini berhubungan dengan tata letak peternakan. Ini menyangkut beberapa hal, di antaranya:
- Pemagaran kawasan peternakan agar tidak dilintasi oleh orang dari luar.
- Pemagaran areal kandang dengan pintu pengaman untuk meminimalisir masuknya hewan lain dan berpindahnya/melintasnya operator ke kandang lain.
- Ketersediaan air bersih dan bebas agen patogen, dan adanya treatment terhadap air yang akan dikonsumsi (dengan klorin, peroksida atau lainnya)
- Adanya fasilitas pelayanan perusahaan yang memadai seperti kantor, gudang (pakan, obat, dan peralatan), kamar ganti pakaian dan kamar mandi.
- Adanya supali air dan listrik yang cukup dan tempat yang representatif untuk desinfeksi kendaraan yang keluar masuk lokasi farm. (adanya car dip dan sprayer di pintu gerbang masuk farm)
- Adanya jalan yg baik, aman dan dipagari untuk memudahkan pembersihan dan pencegahan penyebaran penyakit.
- Adanya tempat khusus untukpemusnahan bangkai (disposal pit)
- Lokasi yang aman untuk tempat pakan, peralatan, litter di tempat yang terpisah dari kandang untuk mencegah kontaminasi.

3. Tingkat III (Biosecurity Operasional)
Tataran ini merupakan prosedur manajemen dan kegiatan/rutinitas untuk mencegah kejadian dan penyebaran penyakit di suatu farm (termasuk di antaranya proses pembersihan, desinfeksi dan sanitasi kandang/farm).
Dari ketiga tingkatan level ini yang paling fleksibel dan bisa diubah sewaktu-waktu disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Pada tingkatan ini harus ada petunjuk operasional yang jelas tentang:
- Prosedur rutin yang harus dilakukan dan disertai perencanaan jika ada hal-hal tak terduga seperti wabah penyakit, dan lain-lain dan disiapkan untuk setiap jenjang manajemen dari manajer, supervisor, operator dan tamu.
- Prosedur standar harus diarahkan untuk pelaksnaan dekontaminasi, desinfeksi setelah kandang kosong; juga penyimpanan, pencampuran dan aplikasi pemberian vaksin dengan berbagai cara pemberian yang berbeda.
- Prosedur khusus yang diterapkan pada saat memasuki dan meninggalkan farm untuk setiap karyawan dan tamu.
- Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah kontak dengan hewan lain (unggas eksotik, ayam kampung) untuk farm ayam.
Dengan menerapkan 3 tingkatan biosecurity tersebut secara baik dan benar diharapkan akan mencegah dan meinimalisir masuknya agen patogen dan penyebaran penyakit dari luar lokasi usaha ke ternak kita.

Biosecurity Sektor 1, 2, 3 dan 4
Drh Wahyu Suhadji Direktur PT Rajawali Utama Biosecurity mengungkapkan peternakan sektor 1 (peternakan besar/pembibitan), 2 (peternakan skala menengah), 3 (peternakan skala kecil), mempunyai biosecurity yang relatif mantap. Sebab, hidupnya peternakan sektor ini memang dari keamanan hayati ini. “Ibaratnya, biosecurity ini memang piring dari peternakan dan kehidupannya, sehingga kalangan ini bersikap lebih all out (habis-habisan) dalam menerapkan biosecurity,” tuturnya.
Namun sebaliknya, pemeliharaan ternak di sektor 4 (di belakang/pekarangan rumah) jadi biang keladi penyebaran penyakit, dengan perilaku biosecurity asal-asalan. Bahkan menurutnya, kandungan zat-zat yang dipakai untuk tindakan biosecurity tidak diketahui dan tidak jelas kualitasnya.
Sehingga: “Pelaksanaan biosecurity di sektor 4 tidak bisa diandalkan, karena pelaksananya lebih mengejar proyek,” kritik Wahyu Suhadji seraya menambahkan dari paradigma dokter hewan, tindakan biosecurity mereka tidak memenuhi syarat.
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan Sulawesi Selatan ini mengungkapkan dengan adanya kasus AI, semua ada hikmahnya, terutama untuk meningkatkan kebersihan dan kewaspadaan.
Namun menurut Wahyu Suhadji biosecurity dipengaruhi oleh keadaan produksi. “Bagaimana biosecurity bisa optimal bila hasil produksinya rugi,” katanya seraya memberikan contoh kondisi di Sulawesi Selatan yang harga produksi peternakan terpuruk.
Ceritanya, harga telur nasional yang mencapai lebih dari Rp 10.000 per kilogram tidak mencerminkan harga baik bagi Sulawesi Selatan yang hanya mencapai 9300 per kilogram.
Sementara di tingkat pemasok, harga tempat lain menyentuh Rp 8500 per kilogram, di Sulawesi Selatan masih Rp 8000 per kilogram. “Padahal titik impas balik modal di Sulawesi Selatan lebih tinggi dibanding daerah lain,” resah Wahyu Suhadji.
Menurutnya, pengelolaan biosecurity pada peternakan sektor 3 pun terkesan asal-asalan dan dipengaruhi harga. Bilamana harga turun sehingga pemasukan pun turun, maka pemberian biosecurity pun melemah.
Apalagi sektor 4, pelaksanaan biosecurity lebih tidak fokus. Juga dalam hal vaksinasi yang menurutnya relatif menyalahi prinsip-prinsip kesehatan hewan.
Tergantung jumlah ayam yang sedikit di sektor 4, vaksinasi yang menggunaan sediaan vaksin yang mestinya digunakan untuk kurang lebih 200 dosis, pemilik ternak hanya membutuhkan menerapkan 10, 5, bahkan 2 dosis saja. Oleh karena tingkat mobilitas vaksinator, pelaksanaan vaksinasi pun menjadi tidak steril.
Lanjutnya, pelaksanaan biosecurity pada sektor 1, 2 dan 3 cenderung sama. Terkendalinya apapun dan siapapun yang masuk dan keluar kandang dan lokasi peternakan tergantung pada tingkat biosecurity yang lebih ketat.
Dilihat dari derajadnya, penerapan biosecurity pada peternakan 1 dan 2 hampir sama. Pernah berkunjung ke peternakan sektor 1 dan 2 bersama dokter ahli paru, dokter manusia itu terkesan dengan ketatnya perlakuan biosecuritynya yang lebih ketat dibanding biosecurity di rumah sakit.
Kalau di rumah sakit untuk manusia, pemakaian baju laboratorium hanya dilakukan saat operasi. Sedangkan pada peternakan sektor 1 dan 2 baju laboratorium pun dikenakan dengan terlebih dulu mandi dengan desinfektan, pencelupan berdesinfektan, sepatu kandang yang steril dan lain-lain. Pengambilan kebijakan superketat semacam ini sangat baik.
Sektor 3 masih sudah melibatkan peternakan sektor kemitraan. Sedangkan sektor 4 melibatkan perkampungan dengan kandang ayam di dalam kampung. Masalah burung liar sangat mempengaruhi kondisi biosecurity-nya.
Peternakan sektor 1, 2 dan 3 umumnya adalah peternakan kemitraan atau terintegrasi. Kebutuhan obat dipenuhi oleh korporasi atau perusahaan integrasi masing-masing. Sehingga menurut Drh Wahyu Suhadji, di luar kemitraan obat hewan relatif sulit masuk.
Sementara di luar, pada pasar perdagangan obat hewan di kalangan peternak, banyak beredar obat-obat liar tanpa registrasi dan lain-lain syarat yang tidak dipenuhi. Pelakunya kebanyakan bukan anggota ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia).
Dengan situasi yang mengkhawatirkan ini, Drh Wahyu Suhadji yang juga Pengurus ASOHI Daerah Sulawesi Selatan memberi masukan kepada ASOHI Nasional supaya lebih intensif dalam membantu dan mempedulikan permasalahan yang muncul di lapangan ini.
Dalam kaca matanya, saat ini peternak sudah jadi buruh di kandang semdiri. Sedangkan peternakan sistem kemitraan bagi sebagian peternak lebih berkonotasi berbagi resiko.

Sektor 1, 2, 3 dan 4 Agak Beda
Drh Suhardi, Manajer Produk PT Sanbe Farma Bandung mengungkapkan penekanan biosecurity pada peternakan sektor 1, 2, 3 dan 4 agak beda. Menurutnya pada sektor 1, pihak luar termasuk petugas pelaksana teknis dari perusahaan obat hewan tak bisa ikut campur. Karena, ke dalam peternakan, penanganannya lebih baik, siapapun yang masuk selalu harus disemprot dan seterusnya.
Pada sektor 2, biosecurity yang ketat masih dijalankan peternak-peternak besar. Peternak kecil hingga menengah ada yang menjalankan ada yang tidak. Menurun berbeda dengan kondisi tahun 2004 saat ada wabah AI.
Apalagi sektor 3, peternakan kecil dengan populasi ayam 1000-2000 ekor, tidak menjalankan biosecurity sebagaimana lazimnya di mana orang yang masuk peternakan disemprot dan lain-lain.
Biosecurity pada peternakan sektor 4 tergantung tindakan penduduk dan publik awam yang mengetahui dan sadar biosecurity.
Dalam rangka pendidikan berkesinambungan Drh Suhardi mengaku perusahaannya aktif melakukan penyuluhan peternakan tentang pentingnya biosecurity terhadap semua penyakit bakteri, virus, jamur, parasit, dan lain-lain. Baginya, biosecurity bukan hanya antisipasi, namun merupakan ujung pangkal dari semua.
Dengan biosecurity, di kandang/area peternakan dicegah jangan sampai ada banyak kutu, sebab kutu dapat mengundang burung. Termasuki untuk itulah, kita menjaga kebersihan kandang.

Berkiblatlah pada Biosecurity Sektor I
Menurut Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra, pada peternakan sektor 1, peternakan pembibitan/skala besar, biosecurity diterapkan sungguh luar biasa ketat. Siapa yang masuk kandang harus mandi dulu. Masuk lebih ke dalam, mandi lagi.
Namun begitu, meskipun sudah diterapkan sistem closed house, dilakukan desinfeksi,dan berbagai tindakan biosecurity lain, bibit penyakit masih bisa tembus, hal ini menimbulkan pertanyaan letak kesalahannya di mana.
Untuk mengetahui jawabnya, bukan hal yang mudah, apakah karena faktor desinfektan kurang kuat atau terdapatnya celah yang bolong.
Untuk manajemen yang baik, harus konsisten bila ada orang masuk harus disemprot. Jangan kendorkan sanitasi dan biosecurity, minimal pola pada sektor-sektor 2, 3, dan 4 mengikuti pola sektor 1. Syukur-syukur ada pakaian ganti. Dan, teknisi obat hewan merupakan salah satu sumber penularan.Intinya, kuncinya tetap di manajemen. Di dalamnya termasuk mencegah orang kandang keluar masuk tanpa desinfeksi. Harus diingat, pemberian pakan pun jangan sampai tumpah. Sanitasi dan desinfeksi pada sektor 2, 3 dan 4 mesti berkiblat pada sektor 1.
Soal biosecurity terkait ini, bagi Drh Andi merupakan hal sangat penting. Menurutnya, banyak kasus AI yang pihak-pihak tidak mau mengungkap. Pertimbangannya kompleks, dan untuk kesahihan pelaporan membutuhkan ahli dan alat uji. Sehingga kalangan peternakan jelas dalam menyikapi pencampuran virus yang mungkin sudah berubah dan lain-lain kondisi dimana banyak terjadi penyelundupan misal penyelundupan ayam dan bebek dari Malaysia, Brasil yang sudah terbongkar. Supaya, kondisi peternakan ada vaksinasi dan sanitasi peternak membaik.
Kini, angka kematian unggas memang tidak sederas tahun 2003. Namun dengan gejala-gejala yang terungkap oleh beberapa praktisi di artikel terdahulu peternak tetap merasa itu AI. Bahkan Madiun yang dulu kasusnya sepi, sekarang AI-nya positif dengan gejala yang tidak jelas. Jangan dimusnahkan.
Dengan demikian makin jelas benang merah antara Biosecurity dengan AI. Kita pun mesti gagah menghadapi. (YR)

ZAT AKTIF, GENERIK, PATEN, OBAT HEWAN DAN MANUSIA

Beredarnya zat aktif antibiotik di kalangan peternakan untuk mengobati penyakit bakterial ternak, sungguhlah berbahaya. Hal itu menyalahi kaidah pembuatan obat yang baik dan benar sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Takut terjadi penyalahgunaan,” tegas Anggota Komisi Obat Hewan Departemen Pertanian Drh Abadi Soetisna MSc.
Soal pembuatan obat yang benar itu di antaranya menyangkut takaran, juga kemasan. Kesemuanya jelas berpengaruh pada mutu obat. Bagaimanapun obat merupakan suatu racun yang membahayakan jiwa makhluk hidup bila takaran dan pemberiannya tidak tepat sehingga pembuatannya harus sesuai kaidah yang ketat.

Generik vs Paten
Bagaimana dengan obat generik dan obat paten? Keduanya zat aktifnya sama, namun obat paten lebih mahal.
Mahalnya obat paten ini karena kemasannya lebih bagus, faktor iklan, dan faktor-faktor lain seperti kepercayaan (mitos) bahwa obat paten lebih bagus daripada obat generik. Demikian Abadi Soetisna.
Sudah tentu faktor mitos itu hanya berdasar citra dan anggapan orang, padahal kandungan dan khasiatnya sama saja!
Sedangkan dari segi harga, obat generik memang lebih murah daripada obat paten. Bahkan untuk faktor penghematan dan kekuatan ekonomi, pemerintah menganjurkan masyarakat lebih memilih obat generik daripada obat paten.
Harga obat generik cuma 15 persen dari harga sesungguhnya. Sedangkan sejumlah 85 persen merupakan bantuan pemerintah. Itu yang terjadi pada obat generik manusia.
Adapun, mengapa di dunia kesehatan hewan kita tidak mengenal obat generik? Dengan penjelasan bahwa untuk obat generik dibutuhkan subsidi yang begitu besar dari pemerintah, pertanyaannya: Apakah pemerintah puya dana untuk subsidi obat generik untuk peternakan?
Rinciannya, harga obat (generik) murah, kesehatan hewan lebih baik, produksi peternakan lebih tinggi, masyarakat lebih terbantu; sejauh ini belum ada usulan untuk pengadaan obat generik pada peternakan/kesehatan hewan.
“Yang usul mestinya kalangan peternakan sendiri, juga inisiatif pemerintah cq Dirjen Peternakan,” Drh Abadi menimpali.
Biaya produksi yang relatif tinggi itu perlu dicarikan jalan keluar. Drh Abadi menganjurkan berupa: bantuan pemerintah untuk menurunkan pajak impor obat hewan, bantuan pemerintah menurunkan pajak bahan baku pakan hewan, dan bantuan penurunan insentif produk hewan dengan memberikan subsidi.
Guna munculnya obat generik untuk hewan, jelas dibutuhkan subsidi. Subsidi bukan dalam arti dalam bentuk uang, namun bisa dalam wujud sapronak (sarana produksi peternakan).
Setelah subsidi di bidang sapronak, lalu subsidi alat kandang, alat sanitasi, pakan, dan obat! Dan bagaimanapun pemenuhan penunjang untuk produksi ternak yang murah itu sangat penting untuk penyediaan protein hewani yang sangat penting untuk kecerdasan bangsa.

Obat Manusia vs Hewan
Penggunaan obat manusia untuk mengobati hewan terutama hewan kesayangan semisal anjing, kucing, kera dan lainnya, sah-sah saja asalkan dalam penggunaanya tepat sasaran, demikian disampaikan Yusmaini Ssi, Apt alumni Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Menurut Ibu satu putra ini, penggunaan obat manusia untuk hewan trennya hanya sebatas penghobies hewan kesayangan. Mengapa harus obat manusia ? “Ini tergantung pada pilihan dan pada dasarnya obat manusia itu lebih variatif, baik dalam dosis maupun kemasannya,” jelas pemilik apotik Pratama Kabupaten Kampar.
Di lain sisi, drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau lebih menekankan pada faktor mudah didapat dengan harga yang cukup terjangkau. Di samping itu, tidak ada masalah krusial yang perlu diperdebatkan terkait aman atau tidaknya obat manusia untuk hewan, yang terpenting adalah ketepatan dalam penggunaannya.
Namun Jully menyarankan agar tetap berkoordinasi dengan orang yang mengerti dengan obat, dalam hal ini adalah apoteker, dengan harapan agar obat yang diberikan ke hewan kesayangan tersebut tidak menimbulkan efek di kemudian hari.
Sementara itu, drh Djaelani praktisi dokter hewan yang tinggal di Rumbai kota Pekanbaru menyatakan, sejauh ini belum ada owner hewan kesayangan yang mengeluhkan kesehatan hewan peliharaannya pasca pengobatan dengan obat manusia. “Selama masih berpegang pada prinsif penggunaan antibiotika yang benar maka hasil yang didapat pasti lebih memuaskan,” jelas alumnus FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darusslam ini dengan mantap.
Artinya, kaidah takaran dan lain-lain prosedur penggunaan tetap menjadi prioritas utama dalam pengambilan sikap. Sebab bagaimana pun antara hewan dan manusia ada perbedaan-perbedaan prinsip baik dari segi faali tubuh maupun segi biologi yang akan sangat dipengaruhi dengan kaidah pengobatan yang tepat. (Daman Suska/YR)

Siaga Satu Serangan Coryza, Kolera dan Kolibasilosis

Seakan tak pernah ada habisnya Infovet mengorek informasi dari Drh Hadi Wibowo praktisi perunggasan yang syarat pengalaman di industri perunggasan selama lebih dari 15 tahun. Sehingga bisa dibilang wajahnya tak pernah absen muncul di Infovet setiap bulan. Begitulah memang, ditengah kesehariannya sebagai product manager PT Sumber Multivita ia memang dituntut keliling Indonesia menyambangi peternak.
Berkenaan topik fokus yang diangkat berkaitan dengan penyakit bakterial dan penggunaan antibiotik yang ideal, Hadi menyoroti kini sudah tidak ada lagi yang namanya obat dewa artinya tidak ada lagi satu jenis obat untuk mengatasi semua jenis penyakit seperti yang terjadi pada antibiotik. Kunci dalam pengobatan lebih kepada ketepatan diagnosa penyakit yang berdampak pada penggunaan obat antibiotik yang tepat dengan dosis yang wajar.
Ia menambahkan fungsi imunomodulator yang meningkatkan jumlah sel, mengaktifkan dan mematangkan sel-sel yang berfungsi untuk pertahanan tubuh bila aplikasinya dikombinasi dengan antibiotik maka efek kesembuhannya akan lebih cepat 3 kali lipat dari biasanya.
Kenyataan dilapangan peternak sering salah mendiagnosa penyakit yang buntutnya menyebabkan ketidaktepatan antibiotik yang digunakan. Namun begitu, setelah merasa obatnya kurang manjur peternak terus menambah dosis hingga akhirnya begitu tertular penyakit bakteri lain malah menjadi resisten. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa peternak pembibit atau layer telah terikat kontrak dengan suplier obat hewan untuk menggunakan satu jenis obat tertentu guna melawan berbagai penyakit yang belum tentu cocok dengan penyakit yang menginfeksi ternaknya. Mereka terus menggunakan obat tersebut meskipun kemanjurannya tak seperti yang diharapkan. Hal ini dilakukan lebih karena ikatan emosional, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ada segelintir perusahaan obat hewan di tanah air yang biasa memberikan hadiah dan bonus menarik kepada peternak asalkan bisa menyerap sejumlah tertentu obat hewan yang ditawarkan suplier.
“Namun perlu ditekankan disini bahwa hanya sedikit suplier obat hewan yang melakukan praktik semacam itu. Sehingga disarankan peternak memiliki tenaga ahli kesehatan hewan yang berpengalaman untuk mendiagnosa penyakit dengan tepat,” ujar Hadi.

Waspada 3 Penyakit Bakterial
Untuk penyakit bakterial yang kini sedang hot-hotnya mengintai di peternakan layer maupun broiler, Hadi mengungkapkan bahwa Coryza, Kolera dan Kolibasilosis masih potensial muncul diwaktu-waktu seperti saat ini. Penyakit coryza atau snot yang disebabkan bakteri Haemophilus paragallinarum mempunyai arti ekonomis yang penting dalam industri peternakan, karena angka penularannya mencapai 70-90%. Sementara angka kematian mencapai 20% bahkan bisa 50% bila disertai infeksi gabungan. Kerugian lain adalah terganggunya pencapaian berat badan, penurunan produksi telur (10-40%) dan peningkatan biaya pengobatan.
Gejala khas adalah muka bengkak, diam dan tidak mau makan karena bengkak dimuka akibat infeksi saluran pernapasan atas. Meskipun kematian yang disebabkan infeksi Coryza rendah tapi infeksi penyakit ini menurunkan aktivitas makan ayam yang menyebabkan meningkatnya angka morbiditas. Hadi menekankan, antisipasi paling awal adalah dengan vaksinasi Coryza dan penggunaan antibiotik tidak selamanya efektif sehinga diperlukan bantuan imunomodulator. Tak cukup hanya itu medikasi perlu juga diperlengkapi dengan pemberian multivitamin guna membantu pemulihan pasca sakit. Untuk itu Hadi memberikan konsep solusi 3-Si yaitu Sanitasi, Seleksi dan Medikasi.

Waspada Koli
Lain lagi dengan Kolibasilosis yang dikenal sebagai penyakit oportunis disebabkan oleh bakteri Escherechia coli galur patogen. Biasanya timbul akibat dari infeksi sekunder, karena ayam mengalami cekaman atau infeksi lain. Timbulnya kolibasilosis erat kaitannya dengan lingkungan kandang yang jorok. Selain itu patut dicermati bila satu kandang pernah terjangkit koli maka pada periode pemeliharaannya berikut harus diwaspadai munculnya infeksi ulangan meskipun kandang sudah disanitasi dan didesinfeksi total.
Bakteri jenis ini dapat menyebabkan penyakit primer pada ayam, tetapi dapat juga sekunder mengikuti penyakit lainnya, misalnya penyakit pernapasan dan pencernaan. Kolibasilosis di lapangan umumnya timbul akibat pengaruh imunosupresif dari Gumboro. Sementara sebagai penyakit ikutan (sekunder) Koli biasanya menyertai terjadinya kasus CRD (chronic respiratory disease), Coryza, SHS (swollen head syndrome), ILT (infectious laryngotracheitis) dan koksidiosis.
Ventilasi yang baik seperti lancarnya pertukaran oksigen keluar masuk kandang mampu meminimalisasi timbulnya kasus kolibasilosis. Kuman ini dapat ditemukan di dalam litter, pakan, debu, udara dan air. Penyemprotan kandang dengan desinfektan secara rutin mampu mengurangi jumlah E. coli.
Kualitas air harus dijaga “bersihnya” sejak mulai DOC masuk dalam kandang. Bisa dengan cara dimasak, dengan infra-red atau Chlorinasi rutin secara bertahap dan terprogram pada pullet dan ayam dewasa. Kualitas air penting karena kecuali air sehat memang dibutuhkan ayam, juga merupakan jalur utama yang potensial untuk terjadi infeksi E. coli. Jika kontrol kualitas air optimal, harusnya tidak ada lagi asumsi E. coli datang berkali-kali di tiap kandang.
Lebih jauh, untuk menyiasati kuman koli yang ada di pakan ternak paling tidak saluran pencernaan ayam itu harus dibersihkan selama 5-7 hari setiap bulan dengan pemberian antibiotik. Koli merupakan kuman normal dalam saluran pencernaan, namun begitu populasinya melampaui batas normal bisa menimbulkan patogen. Tidak ada jalan lain untuk mencegah munculnya koli perlu terus diupayakan kebersihan kandang sekaligus diperkuat dengan pemberian imunomodulator.

Jangan Lupakan Kolera
Terakhir adalah penyakit Kolera yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe A Carter atau tipe O grup 5 Namioka atau tipe 2 dan 4 Rober yang bersifat ganas atau kronis. Gejala kronis penyakit dengan nama keren Fowl Cholera itu adalah diare berair berwarna kuning coklat kehijauan, ayam sukar bernapas, jengger kebiruan dan leher sering dimasukkan ke badan. Angka kesakitan penularan sampai 50% dan kematian sampai 20%.
Kejadian Kolera sangat erat kaitannya dengan berbagai faktor stres, misalnya pergantian cuaca yangmendadak, fluktuasi temperatur dan kelembaban yang ekstrim, pindah kandang, potong paruh, perlakuan vaksinasi yang berlebihan pergantian pakan yang mendadak, dan serangan penyakit imunosupresif ataupun penyakit parasi. Di wilayah padat populasi Kolera biasa muncul saat musim kemarau panjang dan saat pergantian musim.
Pesan Hadi sebagai praktisi unggas berpengalaman dalam menghadapi tiga penyakit ini ayam harus selalu PRIMA dan SEHAT, artinya hasil vaksinasi dalam tubuh ayam harus optimal apakah vaksin oleh viral (ND, IB, AI, EDS) maupun vaksin oleh bakterial (Snot Coryza, Kolera). Penggunaan jenis vaksin harus tepat dan mengingat banyaknya program vaksin dan banyaknya penyakit yang menghambat pembentukan kekebalan, maka diperlukan bala bantuan Imunomodulator. Selalu dilaksanakan perlakuan seleksi ayam yang sakit dan tidak produktif dan jangan biosekuriti jangan ditinggalkan.
Sekali lagi Hadi mengingatkan agar peternak dalam penanganan penyakit mengutamakan 3-Si yaitu Sanitasi, Seleksi dan Medikasi. Lebih lanjut, “Sebaiknya peternak juga mendampingi dirinya dengan konsultan kesehatan ternak yang berpengalaman guna mendapatkan diagnosis yang tepat agar tidak salah dalam proses medikasi,” ujar Hadi. (wan)

Peternak, Penyakit Bakteri dan Antibiotik

Tukiman seorang peternak broiler di Pathuk Gunung Kidul Yogyakarta, kepada Infovet mengungkapkan bahwa sebagai peternak ayam potong yang ikut program kemitraan, tidak begitu paham tentang tata cara penggunaan antibiotika yang baik dan benar.
Menurutnya ia hanya menurut saja apa yang telah disarankan oleh Petugas Kesehatan Lapangan pihak Perusahaan Inti. Begitu ada masalah dengan kesehatan ayam yang dipeliharanya, maka sang petugas yang akan menyediakan obat dan lainnya untuk atasi hal itu.
”Pokoknya saya hanya tinggal memberikan paket obat yang diberikan oleh pak petugas pendamping lapangan (PPL). Umumnya para petugas hampir setiap hari menyambangi dan melihat ayam di kandang. Kalau ada yang sakit maka, paket obat itu diberikan dan saya tinggal menyiapkan untuk pemberianke ayam. Jenis obat apa yang dipilih dan kapan harus dihentikan saya bear-benar tidak mengerti,” tuturnya polos.
Bahkan kemudian kepada Infovet Tukiman menanyakan mengapa harus ada aturan batas waktu pemberiannya. Menurutnya kalau memang belum sembuh obat akan terus diberikan, dengan disediakan oleh PPL, tidak peduli besok atau lusa akan di panen oleh pedagang ayam.
Begitu juga ketika ayam-ayam, terlihat sudah sembuh, meski obat sebenarnya masih ada dan seharusnya dihabiskan, maka Tukiman akan menghentikan. Dasar pertimbangannya kalau terus diberikan, maka nanti akan memboroskan pihak dirinya sebagai plasma.
Petugas lapangan umumnya memang ada kecenderungan lebih mengutamakan dan lebih menyelamatkan ayamnya dari sergapan penyakit, dibanding dengan pertimbanan residu obat antibiotika dan sulfa pada ayam.
Memang hal itu sangat umum terjadi di lapangan, mengingat jika harus menunggu waktu henti obat, maka pihak peternak akan terbebani dengan ongkos produksi dari aspek pakan, energi dan tenaga kerja.
Drh Mardiatmi Mv.Sc pakar dari Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Bandar Lampung secara khusus kepada Infovet menengarai aplikasi Antibiotika di peternakan ayam komersial dan peternakan Babi sudah pada tataran yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil pengamatannya di lapangan bertahun-tahun bahwa tatalaksana pemakaiani antiniotika pada ayam dan babi sangat serampangan. Kontrol dan bimbingan dari pihak yang seharusnya bertugas dan kompeten dengan masalah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibatnya dapat diduga jika ekspor produk unggas dan ternak babi selalu menemui kendala di pasar internasional. Dan bahkan pada jangka panjang dapat muncul masalah baru yang tidak hanya pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga kesehatan ternak secara umum.
Sehingga ia menduga jika sementara ini sudah banyak penyakit bakterial pada unggas yang sebenarnya pada awalnya sangat mudah untuk diatasi, sekarang ini memberi kesan penyakit bandel dan sulit dituntaskan.
Dugaan beberapa banyak pihak tentang kemungkinan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap preparat antibiotika tertentu, sangat mungkin karena serampangannya pemakaian di lapangan. Untuk itu ia menyarankan, agar tidak terlambat perlu ada pengawasan yang ketat dalam tataniaga dan aplikasi lapangan.
Mardiatmi melihat bahwa di breeding ayam dan juga di peternakan hewan besar jauh lebih tertata dan taat pada aturan pemakaiannya.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Praktisi Dokter Hewan yang sangat disegani di Yogyakarta,Drh Agus Abadiyanto. Sebagai seorang yang merasa dididik dan mencoba patuh pada sumpah janji profesi, Agus merasa tuntutan dan panggilan hati nurani untuk memperlakukan hewan ternak sebagai makluk Tuhan.
Ada sebuah tanggung jawab besar yang tidak bisa dilalaikan, yaitu mensejahterakan dan menyehatkan hewan ternak. Menurut pendapatnya sebagian besar Dokter hewan sudah pasti untuk berlaku seperti itu. Ketika diinformasikan bahwa di peternakan ayam komersial dan ternak babi ada kecenderungan pemakaian preparat Antibiotika dan Sulfa kurang terkjontrol, Agus memilih bersikap diam, agar tidak menimnulkan polemik.
”Terus terang saya tidak banyak terjun di jenis komoditi peternakan itu, jadi saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas hasil pengamatan saya terhadap teman sejawat sebagai praktisi Dokter hewan kesayangan dan ternak besar, terus mencoba patuh pada sumpah dan janji profesi. Saya melihat apa yang dilakukan sejawat saya sudah pada track yang benar dan bertanggung jawab.” ujarnya.
Selain atas dasar kepatuhan atas sumpah itu,menurut Agus juga ada aspek ekonomisnya, yaitu jika pemakaian berlebih dan tidak sesuai rekomendasi akan merugikan kedua belah pihak, dokter hewan dan peternak/klien.
Sedangkan Drh Sapta Haryono seorang peternak layer yang juga seorang Dokter Hewan merasa tidak sependapat dengan Mardiatmi. Sebab menurutnya, sebenarnya jauh lebih banyak peternak yang mencoba taat dan patuh dengan aturan pemakaian dibanding dengan yang serampangan.
Sebagai peternak yang bertujuan meraup keuntungan, sudah pasti akan melakukan usaha dan tatalaksana secara efisien dan efektif. Termasuk dalam hal ini adalah pemakaian obat maupun vaksin. Jika berlebih akan merugikan alias membengkakan ongkos produksi.
Namun demikian Sapta, mencoba bersikap fair bahwa masalah penyakit pada ayam komersial adalah bukan masalah yang sepele dan selalu bersifat kompleks. Sehingga sangat wajar jika ada sejumlah peternak yang panik, jika pemberian preparat antibiotika tidak segera membuahkan hasil dan kemudian segera di”tembak” dengan yang broad spektrum bahkan dengan golongan Quinolone.
Langkah terbiasa dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi masalah penyakit pada ayam dengan preparat dari golongan quinolone padahal sebenarnya masih bisa diatasi dengan antibiotika spesifik atau broad spektrum.
Pihak produsen melalui para pemasarnya adalah salah satu faktor pendukung kesemrawutan dan serampangan pemakaian antibiotika di lapangan, khususnya pada ayam. Oleh karena itu jika ingin menertibkan, barangkali paling tepat adalah dari sumber nya dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum lanjut Sapta, bahwa peredaran preparat antibiotika dalam sediaan pure atau murni sangat mendominasi dan sangat digemari para peternak. Jika peternak tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang obat/farmakologi, tentu akan semakin mengkhawatirkan aplikasi di lapangan.
Menurut Sapta, proporsi peredaran preparat antibiotika antara yang terregistrasi dibanding dengan yang sediaan murni 1 : 5 untuk sediaan pure. Sehingga, kasus itu tidak saja berdampak pada volume pemasaran preparat yang legal, akan tetapi juga aspek keamanan dan keselamatan konsumen produk unggas.
Lain lagi dengan Misaljo Samudra pemilik Samudera PS di Jl Raya Wates Jogja, menyikapi pemakaian preparat antibiotika di lapangan yang semakin amburadul.
”Saya tidak mengerti secara persis tatacara dan dosis masing-masing merk antibiotika. Sebagai pelaku usaha, saya hanya menyediakan selengkap mungkin kebutuhan peternak. Lepas itu legal dan tidak legal, serta aturan yang seharusnya ditaati pemakai. Yang jelas, jika obat itu laris manis berarti obat itu hebat dan ampuh untuk atasi masalah penyakit. Apakah obat itu termasuk dalam obat keras dan harus cermat dalam pemakaian, tetapi yang penting saya selalu berusaha menyediakan sesuai selera peternak,” tutur Misaljo.
Kapan harus dihentikan pemakaian obat itu dan kapan masih diberikan pada ayam lanjut Misaljo, ia sangat tidak paham. Perihal obat murni, memang dari waktu ke waktu ada kecenderungan meningkat permintaannya. Apakah hal itu karena obatnya murah dan ampuh, yang jelas banyak para peternak yang terus meminta sediaan obat murni itu. (iyo)

JANGAN SAMPAI TERJADI SUPER INFEKSI

Pemberian antibiotik yang dilakukan secara spektrum luas dalam waktu lama dapat menimbulkan efek yang disebut sebagai super infeksi.
Pengertian super infeksi bukanlah berarti sebagai infeksi yang hebat sekali. Namun, super infeksi adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroba yang tadinya tidak patogen. Timbul karena populasi mikroba menjadi berlebihan karena resistensi terhadap antibiotika karena pemberian antibiotika yang berlebihan.
Contohnya adalah pemberian antibiotika dalam waktu lama dengan dosis besar, dapat menyebabkan terjadinya jamuran.
Ketika jamur ada dan bakteri ada maka muncullah persaingan di antara keduanya. Jamur dapat tumbuh berlipat ganda, di tempat-tempat tersembunyi, di lipatan paha, lipatan ketiak, bahkan memunculkan keputihan karena kandida pada lipatan alat kelamin betina.
Bila sudah terjadi demikian, pengobatan menjadi lebih susah. Mengobati jamur perlu waktu yang lebih lama. Minimal 3 minggu. Celakanya dengan diobati terus-menerus dapat menimbulkan gangguan terhadap hati atau ginjal.
Rata-rata hal itu terjadi karena peternaknya sok jadi dokter hewan, sedang dokter hewannya tidak sampai ke sana.
Untuk solusi, Drh Abadi Soetisna menganjurkan untuk:
1. Tingkatkan pengetahuan peternak terhadap kemungkinan menggunakan antibiotika.
2. Jangan terlalu egois menggunakan antibiotika tanpa memperhatikan kepentingan konsumen.
3. Pertimbangkan untung/rugi penggunaan antibiotika.

Mekanisme Resistensi Bakteri
Pada awalnya, problema resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dapat dipecahkan dengan adanya penemuan golongan baru dari antibiotik, seperti aminoglikosida, makrolida, dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotik yang sudah ada.
Namun, tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi resisten.
Demikian Rochman Naim Dosen FKH dan Pascasarjana IPB pada suatu media massa nasional.
Menurut Dosen FKH dan Pascasarjana IPB itu, berdasarkan hasil studi tentang mekanisme dan epidemiologi dari resistensi antibiotik telah nyata bahwa bakteri memiliki seperangkat cara untuk beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik.
Mekanisme resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotik secara enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotik, perubahan jalur metabolik, efluks antibiotik, perubahan pada porin channel, dan perubahan permeabilitas membran.
Mutasi genetik tunggal mungkin menyebabkan terjadinya resistensi tanpa perubahan patogenitas atau viabilitas dari satu strain bakteri. Perkembangan resistensi terhadap obat-obat antituberkulos, seperti streptomisin, merupakan contoh klasik dari perubahan tipe ini.
Secara teoretis ada kemungkinan untuk mengatasi resistensi mutasional dengan administrasi suatu kombinasi antibiotik dalam dosis yang cukup untuk eradikasi infeksi sehingga mencegah penyebaran bakteri resisten orang ke orang.
Namun, adanya emergensi yang meluas dari multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis memperlihatkan bahwa tidak mudah untuk mengatasi resistensi dengan formula kombinasi.
Contoh lain resistensi mutasional yang juga penting adalah perkembangan resistensi fluoroquinolone pada stafilokokki, Pseudomonas aeruginosa, dan patogen lain melalui perubahan pada DNA topoisomerase. Kejadian mutasi mungkin juga mengubah mekanisme resistensi yang ada menjadi lebih efektif atau memberikan spektrum aktivitas yang lebih luas.
Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenus yang mengantarkan terjadinya resistensi. Spesies pada peneumokokki dan meningokokki dapat "mengambil" materi DNA di luar sel (eksogenus) dan mengombinasikannya ke dalam kromosom.
Banyak materi genetik yang bertanggung jawab terhadap resistensi ditemukan pada plasmid yang dapat ditransfer atau pada transposon yang dapat disebarluaskan di antara berbagai bakteri dengan proses konjugasi.
Transposon merupakan potongan DNA yang bersifat mobile yang dapat menyisip masuk ke dalam berbagai lokasi pada kromosom bakteri, plasmid atau DNA bakteriofag.
Beberapa transposon atau plasmid memiliki elemen genetik yang disebut integron yang mampu "menangkap" gen-gen eksogenus. Sejumlah gen kemungkinan dapat disisipkan ke dalam integron yang menghasilkan resistensi terhadap beberapa bahan antimikroba.
Mekanisme yang mirip mungkin terlibat dalam pembentukan elemen genetik yang mengode resistensi vankomisin pada enterokokki. Enterokokki, yang merupakan komensal saluran usus dan genital, meningkat menjadi patogen di rumah sakit.
Hal ini, menurut Rochman Naim mengakhiri bahasannya, berhubungan dengan resistensi alami enterokokki terhadap antibiotik yang paling umum digunakan dan kapasitasnya untuk memperoleh sifat resistensi melalui mutasi (penisilin) atau transfer gen resistensi pada plasmid dan transposon (aminoglikosida dan glikopeptida). (YR)


PILIH SIDAL ATAU STATIK PAHAMI CARA KERJA ANTIBIOTIK

Dalam pemilihan antibiotik, perlu sikap hati-hati supaya tidak menimbulkan kekecewaan. Soal spektrum, ada ketentuan ketat pemilihan antibiotik yang spektrum luas maupun yang spektrum sempit (Baca artikel: Jangan sembarangan: Tentukan Spektrum Antibiotik Secara Tepat).
Demikian pula di dalam memilih sifat antibiotik berdasar cara kerjanya. Kita mengenal ada 2 (dua) cara kerja/mekanisme kerja bakteri dalam melawan kuman. Yaitu, dengan mematikan bakteri (bakterisidal), dan dengan mentidakaktifkan bakteri (bakteriostatik).
Drh Abadi Soetisna menganjurkan supaya yang dipakai terlebih dahulu adalah yang sidal (mematikan), supaya bakteri tidak resisten!
Cara kerja dalam dua tujuan itu sendiri ada beberapa, yaitu:
1. Mengganggu pembentukan dinding sel bakteri, misalnya antibiotika jenis penisilin.
2. Mengganggu sintesa protein bakteri, misalnya antibiotika dari jenis streptomisin.
3. Mengganggu pembentukan DNA (Asam Deoksiribo Nukleat), misalnya antibiotika dari jenis sulfa.
4. Mengganggu enzim DNA Girase, misalnya antibiotika dari jenis quinolon.
Sebagai ilustrasi, DNA yang merupakan kode genetik bagi bakteri berwujud spiral yang berputar dari kiri ke kanan. Untuk memisahkannya, spiral diputar dari kanan ke kiri hingga terpisah, sehingga terjadi proses pemretelan oleh antibiotik yang bersifat mengganggu DNA ini.
Untuk itulah antibiotik yang bersifat khusus ini diberikan. Demikian juga dengan pentingnya ketepatan pilihan pemberian antibiotik yang lain!
Lalu di mana letak antibiotik tersebut bersifat mematikan (sidal) dan bersifat menghambat (statik) bakteri?
Menurut Drh Abadi Soetisna, semua jenis antibiotik dengan cara kerja tersebut dapat bersifat mematikan atau menghambat antibiotik.
Antibiotik bersifat mematikan, bila dosisnya tinggi. Sedangkan antibiotik bersifat menghambat bila dosisnya rendah.
Untuk memilihnya, selain tergantung spektrum kerja antibiotik(bacaartikel: Jangan Sembarangan, Tentukan Spektrum Antibiotik Secara Tepat), juga tergantung kondisi lapangan.
Artinya, jangan pakai obat yang sama itu-itu juga. Perlu dilakukan perputaran penggunaan antibiotik,jangan sampai antibiotik yang sama kerjanya melulu.
Bisa saja obat antibiotika yang diberikan jenisnya berbeda,namun ternyata cara kerjanya sama. Hal itu bisa menimbulkan resistensi.Untuk itu, jelas, pahami lebih dalam tentang jenis-jenis antibiotik ini.
Untuk lebih mempertegas pembahasan masalah tersebut, maka Rochman Naim Dosen FKH dan Pascasarjana IPB dalam sebuah media massa menuliskan sudut pandang lain tentang cara kerja dan mekanisme resistensi antibiotik.
Rochman Naim mengungkap, sejak awal penemuannya oleh Alexander Fleming pada tahun 1928, antibiotik telah memberikan kontribusi yang efektif dan positif terhadap kontrol infeksi bakteri pada manusia dan hewan.
Namun, sejalan dengan perkembangan dan penggunaannya tersebut, banyak bukti atau laporan yang menyatakan bahwa bakteri-bakteri patogen menjadi resisten terhadap antibiotik. Resistensi ini menjadi masalah kesehatan utama sedunia.
Penggunaan antibiotik ini (pada manusia dan hewan) akan menghantarkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme target.
Hal ini dimungkinkan karena adanya transfer materi genetik (plasmid atau transposon) di antara genus bakteri yang berbeda yang masih memiliki hubungan dekat, meliputi bakteri Escherichia coli, Klebsiella, dan Salmonella.
Penggunaan antibiotik pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik yang umum digunakan untuk terapi infeksi pada manusia.

Cara kerja Antibiotik
Dititurkan Rochman Naim, antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung) atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak mikroorganisme.
Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein, merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat sintesis metabolit esensial.
Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan makromolekuler yang disebut peptidoglikan. Penisilin dan beberapa antibiotik lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga dinding sel akan melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis.
Riboson merupakan mesin untuk menyintesis protein. Sel eukariot memiliki ribosom 80S, sedangkan sel prokariot 70S (terdiri atas unit 50S dan 30S). Perbedaan dalam struktur ribosom akan mempengaruhi toksisitas selektif antibiotik yang akan mempengaruhi sintesis protein.
Di antara antibiotik yang mempengaruhi sintesis protein adalah kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin. Kloramfenikol akan bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang terbentuk.
Kebanyakan antibiotik yang menghambat protein sintesis memiliki aktivitas spektrum yang luas. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang dibentuk terhambat.
Antibiotik aminoglikosida, seperti streptomisin dan gentamisin, mempengaruhi tahap awal dari sintesis protein dengan mengubah bentuk unit 30S ribosom yang akan mengakibatkan kode genetik pada mRNA tidak terbaca dengan baik.
Antibiotik tertentu, terutama antibiotik polipeptida, menyebabkan perubahan permeabilitas membran plasma yang akan mengakibatkan kehilangan metabolit penting dari sel bakteri. Sebagai contoh adalah polimiksin B yang menyebabkan kerusakan membran plasma dengan melekat pada fosfolipid membran.
Rochman Naim menegaskan, sejumlah antibiotik mempengaruhi proses replikasi DNA/RNA dan transkripsi pada bakteri. Contoh dari golongan ini adalah rifampin dan quinolon. Rifampin menghambat sintesis mRNA, sedangkan quinolon menghambat sintesis DNA. (YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer