Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TENTUKAN SPEKTRUM ANTIBIOTIK SECARA TEPAT

Umumnya untuk tidak susah-susah melakukan pengobatan tepat yang njelimet, bila terjadi suatu serangan penyakit, peternak atau petugas pelayanan kesehatan hewan melakukan tindakan yang salah kaprah: langsung memberikan pengobatan dengan antibiotik spektrum luas.
Salah kaprah, karena hal itu sebetulnya bukanlah tindakan yang tepat dan dapat beresiko menimbulkan bahaya!
Drh Abadi Soestisna mengungkap kapan kiranya antibiotik spektrum luas patut diberikan. Yaitu: bila perlu, dan sesuai dengan agen infeksi.
Sesuai agen infeksi, artinya bila yang menyerang adalah bakteri gram negatif maka pakailah antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri gram negatif.
Atau, bila yang menyerang adalah bakteri gram positif, pakailah antibiotik yang hanya bekerja pada bakteri gram positif.
“Jangan menembak burung bibit dengan meriam, karena yang rusak bisa semuanya!” tegas Drh Abadi Soetisna memberi ilustrasi.
Kenapa orang pada memakai antibiotika spektrum luas (broad spektrum)? Menurut Drh Abadi, hal ini bisa timbul bilamana yang terjadi adalah infeksi gram positif sekaligus gram negatif. Atau, dokter hewannya tidak tahu mendiagnosa, sehingga berprinsip pakai saja antibiotik spektrum luas.
Jelas hal ini sangatlah berbahaya (baca artikel jangan smpai terjadi superinfeksi). Sekali lagi, pilihlah antibiotika berdasar spektrum kerjanya terhadap bakteri secara tepat.

Jangan Salah Spektrum
Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan jenis bakteri atau kumannya. Karena antibiotika bersifat membunuh semua bakteri dalam tubuh, maka jika tak ada bakteri ‘jahat’ dalam tubuh sebaiknya tidak mengkonsumsinya.
Seorang peneliti dari Harvard University, menemukan bahwa banyak sekali kuman dan bakteri yang hidup di alam semesta ini, tapi hanya kurang dari dua persen saja bakteri yang merugikan.
Untuk mengenali penyebab infeksi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang akurat melalui beberapa tes, salah satunya tes kultur, dengan mengambil spesimen dari bakteri tersebut kemudian dibiakkan.
Setelah pemeriksaan, akan diketahui jenis bakteri penyebab infeksi misalnya, kuman gram positif contoh methicillin Stphylococcus aureus, atau kuman gram negatif seperti E coli, Pseudomonas sp untuk memberikan antibiotik yang sesuai.
"Tidak ada antibiotik yang dapat membunuh semua kuman gram positif dan kuman gram negatif. Ada beberapa antibiotik yang `kuat’ menghancurkan kuman gram positif namun agak `lemah’ pada kuman gram negatif," ujar farmakolog, dr Yati Harwati Pujiarto, SpAK.
Pemberian antibiotika spektrum luas tanpa indikasi yang tepat dapat mengganggu flora normal usus berupa bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman anaerob, serta jamur yang digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan makanan dalam tubuh.
Bakteri yang ada di dalam tubuh umumnya menguntungkan, misalnya bakteri pada usus yang membantu proses pencernaan dan pembentukan vitamin B dan K.

Kembali Mengenal Bakteri
Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok raksasa dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas.
Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel mengenai prokariota, karena bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota.
Istilah "bakteri" telah diterapkan untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung pada gagasan mengenai hubungan mereka.
Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar (berada di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen merupakan bakteri.
Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita).
Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel hewan dan jamur, tetapi dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain. (YR)

DOSIS PENCEGAHAN TIDAK ADA?

Menurut Drh Toto Purwantoro Kepala Seksi Penjualan PT Romindo Primavetcom di Jawa Tengah, Antibiotik banyak diperlukan pada penanganan Kolibasilosis, Kolera, Nekrotik Enteritis dan CRD Kompleks.
Kolibasilosis banyak terjadi terkait dengan air, sehingga harus mencari sumber infeksi, tidak hanya mengobati. "Itu yang biasanya dilupakan untuk dilakukan oleh peternak," katanya seraya menambahkan bahwa, "Kontrol harus dilakukan secara terus-menerus."
Terkait dengan kontrol ini maka akan diketahui kondisi ternak dan peternakan. Bisa saja diketahui ternak mengalami stres lingkungan, stres vaksinasi, stres perubahan pakan dari fase strater, grower, finisher.
Pada kondisi semacam inilah potensi serangan bakteri bisa muncul Jumlah bakteri bisa meningkat, dalam tubuh ternak. Dengan kondisi ini akan masuk pada suatu tindakan yang disebut flushing yang intinya pencucian kuman!
Tindakan pencucian kuman ini dapat dikatagorikan dengan pemberian antibiotik dosis pencegahan. Namun Toto Purwantoro tidak setuju dengan istilah dosis pengobatan. Menurutnya pemberian antibiotik tetaplah pemberian antibiotik dengan dosis standar dan di manapun antibiotik harus diberikan dan dikonsumsi sampai habis, tuntas.
Dengan kata lain, untuk dosis Pencegahan yang diberikan lebih tepat dosis pengobatan. Atau, menurutnya dosis pencegahan itu sebetulnya tidaklah ada, karena dengan pemberian tidak sesuai standar sampai tuntas bisa menyebabkan resistensi kuman terhadap antibiotik.
Sehingga pengobatan tidak manjur karena kuman sudah kebal, akibat antibiotik yang diberikan tidak tuntas.
Perlakuan pencucian kuman ini patut dilakukan sebelum perbanyakan kuman menjadi merugikan peternakan.
Memang orang biasanya memakai dosis pencegahan, tidak langsung dosis pengobatan, namun menurut Toto hal ini sangat riskan karena kuman sudah berkembang biak Di kalangan umum, dikenal apa yang disebut sebagai dosis pencegahan untuk pemberian antibiotik. Namun Drh Toto Purwantoro dari PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah berpendapat tidak ada yang namanya dosis pencegahan.
Bahkan, menurutnya, apapun namanya dosis pencegahan atau dosis pengobatan sama-sama diberikan antibiotik dengan dosis yang sama: yaitu dosis pengobatan!
Meskipun mungkin ayam tidak sakit, pemberian antibiotik dianggap untuk pencucian kuman. Artinya ayam tetap diobati (diberi antibiotik) dengan dosis pengobatan. Sebab pada ayam dianggap sudah ada infeksi, walau tanpa pemeriksaan.
Berdasar pengalaman, hal itu sudah pasti, ada bakteri karena bagaimanapun kondisi ayam/kandang tidak mungkin steril.
Anggota Komisi Obat Hewan Drh Abadi Soetisna MSc menengahi, benar bahwa dosis pencegahan harus sama dengan dosis pencegahan. Tindakan pemberian dosis yang dikurangi dari dosis yang seharusnya disebut sebagai sub terapi. Sub terapi macam ini bisa menimbulkan resistensi, di mana kuman dapat resisten terhadap obat tersebut!
Tindakan sub terapi dengan mengurangi dosis antibiotik yang mestinya diberikan biasanya diberikan oleh peternak, bukan dokter hewan. Biasanya diberikan ½ dosis, paling banyak pada ternak babi.
Pengobatan antibiotika lazim punya rentang waktu 3-5 hari pertama. Orang juga menganggap pemberian pada rentah terendah (3 hari) sebagai dosis pencegahan, dan rentang hari tertinggi (5 hari) sebagai dosis pengobatan. Mereka menganggap, untuk pencegahan, waktu pemberian dipersingkat (menjadi 3 hari saja).
Namun halitu sebetulnya sama saja,yaitu dosis pengobatan. Karena memang rentang pengobatan dengan antibiotik adalah 3 hari sampai 5 hari pertama. “Dosis pencegahan tidak ada,” tegas Drh Abadi Soestisna.
Ada pula yang melakukan dengan cara menurunkan dosis.Misalnya antibiotika penisilin yang dosisnya 10-20 iu/kg BB (international unit per kilogram berat badan). Untuk pencegahan orang memberikan 10 iu/kg BB.
Menurut Drh Abadi Soetisna, itu pun sebetulnya sama-sama dosis pengobatan. Dan kembali ditegaskan, “Sebetulnya dosis pencegahan tidak ada.”
Kalau begitu, bagaimana?
“Gunakan antibiotik bila perlu, seperlunya. Janagn ketakutan. Dosis sekian ya sekian. Tidak usah lama-lama. Setelah itu tahu bagaimana efeknya. Bila timbul penyakit, bagaimana menangani,” tegas Drh Abadi Soetisna memberi jalan keluar. (YR)

PROGRAM YANG AMAN, BERMUTU DAN MANJUR

Aman, bermutu dan Ampuh/Manjur! Itulah syarat-syarat utama pemberian antibiotik.
Demikian Anggota Komisi Obat Hewan Drh Abadi Soetisna MSc kepada Infovet seraya menguraikan lebih lanjut:
Aman, berarti antibiotik itu aman untuk hewan, manusia dan lingkungan. Cari obat yang paling aman, yaitu tidak menimbulkan residu dan mudah diurai. Kata lainnya adalah: aman, efektif, efisien, mudah diurai.
Dalam hal penggunaan antibiotik yang aman, kalau masih ada obat lain,carilah obat yang lain. Namun tetap harus dipikirkan unsur lain yaitu soal mutu dan kemujarabannya. Apapun obat, soal aman, bermutu dan mujarab merupakan syarat mutlak.
Lazimnya, pemberian antibiotika adalah kala ternak/peternakan sudah kedatangan penyakit. Untuk mencegah penyakit masuk itulah harus dilakukan biosecurity yang ketat! Biosecurity yang bagus dapat mencegah masuknya penyakit.
Bisa juga sebelum pemberian antibiotik, diberikan obat-obat yang dapat merangsang ketahanan tubuh (imunostimulan).
Jadi ada kombinasi tindakan pengobatan, Biosecurity untuk mencegah kuman masuk. Imunostimulan untuk meningkatkan ketahanan tubuh, dan antibiotik bila kuman telanjur masuk dan menyerang!
Untuk sifat kemanjuran, ilustrasinya adalah sebagaimana obat pusing berarti mujarab bila dapat menghilangkan sakit kepala.
Antibiotik sendiri, menurut Drh Abadi Soestisna adalah peluru ajaib.peluru ajaib antibiotik ini punya sifat ideal untuk membasmi kuman dan tidak mengganggu organ tubuh.
Istilah ideal untuk membasmi kuman adalah parasitotrop maksimum.
Sedangkan istilah uintuk tidak mengganggu organ tubuh adalah organototrop minimal!
Tidak mengganggu organ tubuh berarti tidak menimbulkan resistensi dan tidak mempengaruhi biologi dalam tubuh baik itu tubuh manusia maupun tubuh hewan.

Program Antibiotika
Menurut Drh Toto Purwantoro dari PT Romindo Primavetcom Cabang Jawa Tengah, program antibiotika pada ayam broiler dimulai pada 3 hari pertama ayam.
Selanjutnya antibiotika diberikan pada minggu ke 3.
Pada saat-saat itu (baik pada hari ke 3 maupun pada minggu ke 3), kuman sudah berkembang biak karena stres vaksinasi, maupun stres karena perubahan pakan dari fase strater-grower-finisher.
Adapun program antibiotika pada ayam layer adalah pada umur ayam 3 hari, lalu umur 3 minggu, lalu umur 2 bulan saat ayam naik kandang baterai sampai puncak produksi.lalu, setelah puncak pada umur 40 minggu atau 10 bulan.
Dengan demikian, kita mengenal berbagai macam jenis katagori obat-obatan untuk ternak. Sebutlah enzim sebagai imbuhan pakan, gunanya untuk efisiensi pakan, misalnya reformulasi sehingga harga pakan menjadi turun dengan hasil produksi yang sama.
Kemudian kita kenal ACD-fier yang dibutuhkan karena tujuannya menurunkan populasi bakteri jahat di dalam lambung, menurunkan pH asam lambung dan memberi laktobasili yang bermanfaat dalam lambung.
Soal enzim dan ACD-fier yang punya sedikit perbedaan/persamaan ini Drh Toto Purwantoro menganjurkan dua-duanya dipakai, tergantung kebutuhan.
Sedang vaksin kita sudah sangat kenal, untuk menciptakan kekebalan tubuh pada ayam! Demikian juga antibiotik untuk melawan kuman yang menyerang.
Menurut Drh Toto Purwantoro dan dikuat Drh Antonius Sigit Pambudi dari PT Romindo Primavetcom Jawa Barat, biaya menggunakan obat-obatan (ACD fier, enzim,antibiotik, dan vaksin) untuk seekor ayam pedaging selama 34 hari tergantung kasus bisa mencapai lebih dari Rp 400.
Kalau tidak ada kasus, berarti efisien, hanya mencapai Rp 300 sampai Rp 350 per ekor ayam pedaging.
Adapun pada ayam petelur, secara normal biaya semua obat-obatan itu hanya berkisar Rp 200 per ekor per bulan.
Sedangkan untuk menghitung potensi, biaya obat-obatan umur 0 hari sampai afkir bisa mencapai Rp 4.000 per ekor ayam petelur. (YR)


MENYOAL ANTIBIOTIKA UNTUK TERNAK

Merujuk pada batasan antibiotika, Peter Salim dalam The Contemporary Medical Dictionary, antibiotika merupakan zat, misalnya penisilin atau streptomisin yang berasal dari jamur atau bakteri yang merusak dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
Dalam dunia kesehatan apakah itu human medic atau veterinary, penggunaan antibiotika sangat diperlukan untuk proses penyembuhan suatu penyakit.
Hanya saja, dalam penggunaan antibiotika perlu banyak pertimbangan, mengingat residu antibiotika itu sendiri pada ternak, dan ini harus dihindari agar tidak merugikan konsumen yang mengkonsumsinya.
Di samping itu, penggunaan antibiotika di usaha peternakan perlu mendapatkan pengawasan dari pihak berwenang dalam hal ini adalah dokter hewan.
Sementara itu, perlu juga dipastikan jenis antibiotika mana yang tepat untuk mikroorganisme penyebab penyakit, artinya agar tepat sasaran dalam pengobatan.
Keberhasilan dalam penggunaan antibiotika juga dapat ditentukan oleh kejelian veterinay dalam menentukan aktifitas dan efektifitas antibiotika yang digunakan serta efisiensi proses farmakokinetik yang mencakup absorbsi, penyampaian ke daerah infeksi, difusi dari plasma ke jaringan, penetrasi ke tempat infeksi dan lamanya obat bertahan dalam tubuh.
Menurut drh Agus SR Konsultan di Business Development CECOM Foundation, penggunaan antibiotika sebagai obat di usaha peternakan harus dibawah pengawasan pihak berwenang yakninya dokter hewan.
Biasanya setiap pabrikan obat hewan telah menyediakan Technical Services untuk selalu memantau aktifitas peternak binaan mereka dalam hal penggunaan obat-obatan, misalkan saja penggunaan antibiotika, ini ditujukan agar tidak terjadi kesalahan dalam indikasi, dosis dan aplikasinya.
Di samping itu, Agus menambahkan, semestinya untuk mendapatkan daya penyembuhan yang optimal dalam penggunaan antibiotika, perlu diperhatikan azas penggunaan antibiotika yang rasional pada ternak. Yakni, antibiotika tersebut harus mempunyai daya selektifitas yang tinggi terhadap mikroorganisme penginfeksi dan antibiotika tersebut harus mempunyai potensi toksisitas kecil atau reaksi alerginya minimal.
“Makanya untuk pencapaian hasil pengobatan yang memuaskan bila dengan antibiotika, diperlukan pemilihan rute yang tepat pula, karena hal ini disinyalir sebagai faktor penentu, pertimbangannya adalah konsentrasi darah yang dicapai, lokasi infeksi dan derajat keparahan infeksi.
Di samping itu, distribusi obat dalam tubuh ternak juga perlu diperhatikan, demikian pendapat drh Syakban Mahmud Feed Coordinator PT. Charoen Pokphan home base Pekanbaru.
Menurutnya, faktor pengendali distribusi obat dalam tubuh ternak adalah (1) konsentrasi darah, (2) ukuran molekul, (3) derajat fiksasi pada protein plasma, (4) daya larut lemak, (5) derajat fiksasi pada jaringan, (6) ada atau tidaknya inflamasi dan (7) rute eksresi.
Terkait dengan rute ekskresi ini, lebih lanjut dijelaskannya yaitu perlunya pemilihan antibiotika yang tepat pada infeksi yang melibatkan organ ekskresi dan insufisiensi organ ekskresi dapat meningkatkan resiko toksisitas antibiotika.
Hanya saja ini membutuhkan dana yang cukup besar bagi kalangan peternak, meskipun hasil dari metode ini cukup menjamin keamanan bahan pangan asal ternak, namun penerapannya ditingkat peternak masih jauh dari harapan apalagi untuk usaha peternakan rakyat.
Terkait resistensi pada penggunaan antibiotika yang tidak berdasarkan aturan penggunaannya, drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan, selagi penggunaan antibiotika berdasarkan kelas kasusnya, maka resistensi antibiotika dapat dianulir.
Dilanjutkan Jully, pada ternak kasus resistensi tidak separah pada manusia, malahan seringkali ditemukan manusianya yang resistensi terhadap salah satu antibiotika akibat mengkonsumsi bahan pangan asal ternak yang mengabaikan petunjuk pengobatan dengan antibiotika.
Bila menyoal resistensi obat, sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotika pada manusia diawali dari ditemukannya staphylococcus yang resisten terhadap penicillin pada awal 1940-an. Sejak itu resistensi tunggal maupun multiple (multidrug resistance) yang dimediasi oleh plasmid yang dapat dipindahkan dari satu ke lain mikroorganisme di traktus gastrointestinal juga dilaporkan sekitar tahun 1950-an.
Penyebaran bakteri resisten semakin dramatik di medio 1990-an. Dua faktor penting ikut berperan dalam penyebaran resistensi yaitu kemampuan organisme untuk mentransfer, memperoleh dan merekayasa gena resisten, serta penekanan selektif bakteri akibat penggunaan antibiotika spektrum luas (broad spectrum) secara berlebihan.
Interaksi antara dua komponen utama inilah yang lebih dikenal sebagai (drug resistance equation) hingga saat ini menjadi bagian dari masalah resistensi bakteri yang tak pernah terpecahkan secara tuntas. (Daman-Suska)

OBAT HEWAN: SUDAH TEPATKAH PENGGUNAANNYA

Satu dari lima kunci sukses dalam beternak adalah pencegahan dan pengobatan penyakit.
Mencegah penyakit berarti upaya yang dilakukan peternak agar ternak peliharaannya terhindar dari berbagai penyakit.
Sedang pengobatan, lebih ditujukan pada usaha peternak untuk membunuh sumber penyakit dengan cara menggunakan preparat yang mempunyai daya membunuh atau melumpuhkan bibit penyakit.
Demikian disampaikan drh Hanggono TS PT Medion cabang Pekanbaru.
Penyakit dan obat di usaha peternakan sama sekali tidak bisa dipisahkan, artinya pada saat hewan sakit, peternak dengan segenap daya dan upayanya berusaha membebaskan ternak peliharaannya dari cengkeraman bibit penyakit.
Penyakit diartikan sebagai disfungsi anggota tubuh ternak atau kondisi saat ternak tidak mampu menjalankan fungsi organ yang dimilikinya, dalam arti adanya gangguan yang mendera pada organ dimaksud.
Membicarakan penyakit ternak, banyak hal yang perlu diperhatikan antara lain kebersihan lokasi, kandang ataupun ternak yang dipelihara. Ini merupakan hal krusial yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari peternak.
Selain itu, kecukupan gizi yang dikandung makanan juga perlu mendapat perhatian, karena dari sinilah awal mula ternak mudah terpapar penyakit.
Dilain pihak, peternak pada dasarnya tidak menginginkan ternak peliharaannya sakit karena hal ini menimbulkan kerugian baik finansial ataupun psikis peternak yang berhubungan langsung dengan ternak.
Banyak kerugian yang didapat bila ternak tidak sehat. Secara nyata menurut Hanggono adalah menurunnya produksi telur pada layer, terhambatnya pertumbuhan pada broiler, demikianpun halnya pada sapi, kambing, domba dan ternak-ternak lainnya dan terhalang semua aktifitas hanya karena sakit yang dideranya.
Lebih lanjut dijelaskannya, secara kasat mata bila peternak jeli, terlihat perbedaan antara ternak sehat dengan ternak sakit.
Ternak sehat biasanya dicirikan dengan konsumsi pakan dan air minum normal, feses normal dan tidak encer, bersuara normal, produksi telur pada layer normal sedang pada broiler laju pertumbuhannya bagus, giat melakukan aktifitas.
Pada ayam atau unggas temperatur tubuh normal dengan kisaran 105-107 ºF dengan rataan 106 ºF. Sedang untuk denyut nadi dan totalitas pernafasan ayam per menit adalah 200-400 kali dan 15-16 kali.
Di luar batasan ini, peternak seharusnya mencurigai ada apa dengan ternak peliharaannya, sakitkah atau sehat. Bila ternak sakit, maka langkah tepat yang harus dilakukan peternak adalah memberikan obat yang mampu menghilangkan rasa sakit sekaligus mampu melenyapkan bibit penyakit.

Patuhilah Rambu-Rambu
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi bidang peternakan, memungkinkan peternak tahu lebih banyak terkait budidaya peternakan, baik usaha komersial ataupun usaha pembibitan.
Tentang kesehatan ternak, banyak hal yang dapat dilakukan peternak agar ternak tetap sehat. Hal utama yang harus dilakukan adalah menjaga kebersihan disemua lini, artinya kebersihan tidak hanya ditujukan pada lingkungan dan kandang, namun kebersihan ternak dan anak kandangnya pun perlu diperhatikan.
“Peternak tetap harus berpegang pada prinsif mencegah lebih baik dari mengobati,” kata drh Agus Syafiq Riyadi pada koresponden Infovet Riau.
Menurutnya, tidak ada alasan peternak untuk tidak menjaga sanitasi kandang, lingkungan, ternak dan manusianya. Karena, sekali peternak lengah maka dipastikan benteng pertahanan ternak direbut oleh bibit penyakit, artinya apa, ternak dengan mudahnya terserang penyakit karena kekebalan tubuhnya yang selalu digerogoti oleh mikroorganisme penyebab penyakit.
Bagi peternak, jalan terbaik yang sering dilakukan adalah menggunakan obat untuk mempercepat proses penyembuhan penyakit yang diderita ternaknya. Karena bagaimanapun obat merupakan sesuatu yang menyembuhkan atau meredakan penyakit.
Obat dapat diberikan kepada pasien melalui beberapa cara, ini tergantung pada cepat atau lambatnya hasil yang dikehendaki peternak, lama kerja obat dalam tubuh, bentuk atau macam obat, sifat fisis atau kimiawi obat dan derajat absorbsi obat dalam tubuh.
Di samping itu, peternak juga mampu mempilah-pilah obat berdasarkan pada indikasi obat tersebut, artinya peternak dalam memberikan obat pada ternaknya jangan terkesan hantam kromo atau sembarangan, sehingga petunjuk penggunaannya diabaikan.
Bila ini terjadi maka hasil yang dicapai tidak maksimal bahkan diasumsikan adanya kemungkinan resistensi ternak terhadap preparat obat dimaksud.
Untuk peternakan ayam pedaging komersial, hal ini dapat menimbulkan kerugian baik terhadap peternak ataupun pada konsumennya.
Kerugian bagi peternak misalnya saja membesarnya cost pengobatan atau over budget, sedang bagi konsumen dikuatirkan terjadinya akumulasi obat dalam tubuh, sehingga pada kondisi tertentu tubuh mempunyai daya resistensi yang tinggi terhadap preparat obat yang digunakan atau drug resistance, yakni keadaan berkurangnya respon terhadap obat yang umumnya menghambat pertumbuhan sel atau mematikan sel.
Lalu bagaimana solusinya? “Penggunaan obat yang tepat dalam arti tepat indikasi, tepat dosis dan tepat aplikasinya, inilah yang memberikan nilai lebih, baik bagi ternak, bagi peternak ataupun bagi konsumen yang mengkonsumsinya,” jawab alumni FKH Unsyiah Negeri Serambi Mekah ini.
Di sisi lain, drh Hanggono tetap berprinsif pada withdrawal yaitu masa henti obat, yang lebih difokuskan pada pengobatan dengan preparat antibiotika. Biasanya menurut Hanggono, masa henti obat pada broiler adalah seminggu sebelum panen, ini ditujukan agar obat yang diberikan pada broiler dapat terabsorbsi sempurna, sehingga kekuatiran pada residu obat dapat dikesampingkan.
Setidaknya apa yang dikemukakan TS senior PT Medion ini diaminin oleh Firdaus peternak lima ribu ekor broiler yang lokasi kandangnya di kabupaten Kampar.
Menurutnya, pada dasarnya pemberian obat-obatan pada broiler sudah terjadwal sedemikian rupa dan tetap mengacu pada program sukses pemeliharaan broiler.
Lebih lanjut dikatakannya, pemberian obat biasanya selalu dipantau oleh TS, sedang aplikasi obat yang biasa dilakukan adalah melalui air minum, dan tetap mengacu pada ketentuan yang tertera pada bungkus obat.
“Pemberian obat dalam hal ini antibiotika disesuaikan dengan jadwal dan biasanya dihentikan pada hari ke dua puluh dua atau dua puluh tiga periode pemeliharaan, hal ini ditujukan agar obat yang diberikan telah diabsorbsi oleh tubuh ternak.Ini ditujukan agar konsumen tidak merasa kuatir lagi mengkonsumsi daging karena takut terjadinya residu antibiotika tadi,” tutur Firdaus yang juga sebagai Inseminator di Dinas Peternakan Kabupaten Kampar.
Sejauh ini, sejak awal memulai usaha peternakan broiler tepatnya dua tahun yang silam, Firdaus yang juga tercatat sebagai mahasiswa gaek (red: tua) di Fakultas Peternakan UIN Suska Riau ini tetap exist menggeluti usaha ini.
Menurutnya, apapun bentuk usahanya, yang penting dikerjakan dengan sungguh-sungguh, tetap bisa memberikan hasil optimal.
“Ingin sukses beternak broiler, patuhilah rambu-rambunya dalam hal ini program pemeliharaan broiler dimaksud,” pungkas Firdaus. (Daman-Suska)

PETERNAK, PENYAKIT BAKTERI DAN ANTIBIOTIK

Tukiman seorang peternak broiler di Pathuk Gunung Kidul Yogyakarta, kepada Infovet mengungkapkan bahwa sebagai peternak ayam potong yang ikut program kemitraan, tidak begitu paham tentang tata cara penggunaan antibiotika yang baik dan benar.
Menurutnya ia hanya menurut saja apa yang telah disarankan oleh Petugas Kesehatan Lapangan pihak Perusahaan Inti. Begitu ada masalah dengan kesehatan ayam yang dipeliharanya, maka sang petugas yang akan menyediakan obat dan lainnya untuk atasi hal itu.
”Pokoknya saya hanya tinggal memberikan paket obat yang diberikan oleh pak petugas pendamping lapangan (PPL). Umumnya para petugas hampir setiap hari menyambangi dan melihat ayam di kandang. Kalau ada yang sakit maka, paket obat itu diberikan dan saya tinggal menyiapkan untuk pemberianke ayam. Jenis obat apa yang dipilih dan kapan harus dihentikan saya bear-benar tidak mengerti,” tuturnya polos.
Bahkan kemudian kepada Infovet Tukiman menanyakan mengapa harus ada aturan batas waktu pemberiannya. Menurutnya kalau memang belum sembuh obat akan terus diberikan, dengan disediakan oleh PPL, tidak peduli besok atau lusa akan di panen oleh pedagang ayam.
Begitu juga ketika ayam-ayam, terlihat sudah sembuh, meski obat sebenarnya masih ada dan seharusnya dihabiskan, maka Tukiman akan menghentikan. Dasar pertimbangannya kalau terus diberikan, maka nanti akan memboroskan pihak dirinya sebagai plasma.
Petugas lapangan umumnya memang ada kecenderungan lebih mengutamakan dan lebih menyelamatkan ayamnya dari sergapan penyakit, dibanding dengan pertimbanan residu obat antibiotika dan sulfa pada ayam.
Memang hal itu sangat umum terjadi di lapangan, mengingat jika harus menunggu waktu henti obat, maka pihak peternak akan terbebani dengan ongkos produksi dari aspek pakan, energi dan tenaga kerja.
Drh Mardiatmi Mv.Sc pakar dari Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Bandar Lampung secara khusus kepada Infovet menengarai aplikasi Antibiotika di peternakan ayam komersial dan peternakan Babi sudah pada tataran yang sangat mengkhawatirkan.
Hasil pengamatannya di lapangan bertahun-tahun bahwa tatalaksana pemakaiani antiniotika pada ayam dan babi sangat serampangan. Kontrol dan bimbingan dari pihak yang seharusnya bertugas dan kompeten dengan masalah itu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibatnya dapat diduga jika ekspor produk unggas dan ternak babi selalu menemui kendala di pasar internasional. Dan bahkan pada jangka panjang dapat muncul masalah baru yang tidak hanya pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga kesehatan ternak secara umum.
Sehingga ia menduga jika sementara ini sudah banyak penyakit bakterial pada unggas yang sebenarnya pada awalnya sangat mudah untuk diatasi, sekarang ini memberi kesan penyakit bandel dan sulit dituntaskan.
Dugaan beberapa banyak pihak tentang kemungkinan terjadinya resistensi mikroorganisme terhadap preparat antibiotika tertentu, sangat mungkin karena serampangannya pemakaian di lapangan. Untuk itu ia menyarankan, agar tidak terlambat perlu ada pengawasan yang ketat dalam tataniaga dan aplikasi lapangan.
Mardiatmi melihat bahwa di breeding ayam dan juga di peternakan hewan besar jauh lebih tertata dan taat pada aturan pemakaiannya.
Hal ini dibenarkan oleh seorang Praktisi Dokter Hewan yang sangat disegani di Yogyakarta,Drh Agus Abadiyanto. Sebagai seorang yang merasa dididik dan mencoba patuh pada sumpah janji profesi, Agus merasa tuntutan dan panggilan hati nurani untuk memperlakukan hewan ternak sebagai makluk Tuhan.
Ada sebuah tanggung jawab besar yang tidak bisa dilalaikan, yaitu mensejahterakan dan menyehatkan hewan ternak. Menurut pendapatnya sebagian besar Dokter hewan sudah pasti untuk berlaku seperti itu. Ketika diinformasikan bahwa di peternakan ayam komersial dan ternak babi ada kecenderungan pemakaian preparat Antibiotika dan Sulfa kurang terkjontrol, Agus memilih bersikap diam, agar tidak menimnulkan polemik.
”Terus terang saya tidak banyak terjun di jenis komoditi peternakan itu, jadi saya tidak tahu pasti. Namun yang jelas hasil pengamatan saya terhadap teman sejawat sebagai praktisi Dokter hewan kesayangan dan ternak besar, terus mencoba patuh pada sumpah dan janji profesi. Saya melihat apa yang dilakukan sejawat saya sudah pada track yang benar dan bertanggung jawab.” ujarnya.
Selain atas dasar kepatuhan atas sumpah itu,menurut Agus juga ada aspek ekonomisnya, yaitu jika pemakaian berlebih dan tidak sesuai rekomendasi akan merugikan kedua belah pihak, dokter hewan dan peternak/klien.
Sedangkan Drh Sapta Haryono seorang peternak layer yang juga seorang Dokter Hewan merasa tidak sependapat dengan Mardiatmi. Sebab menurutnya, sebenarnya jauh lebih banyak peternak yang mencoba taat dan patuh dengan aturan pemakaian dibanding dengan yang serampangan.
Sebagai peternak yang bertujuan meraup keuntungan, sudah pasti akan melakukan usaha dan tatalaksana secara efisien dan efektif. Termasuk dalam hal ini adalah pemakaian obat maupun vaksin. Jika berlebih akan merugikan alias membengkakan ongkos produksi.
Namun demikian Sapta, mencoba bersikap fair bahwa masalah penyakit pada ayam komersial adalah bukan masalah yang sepele dan selalu bersifat kompleks. Sehingga sangat wajar jika ada sejumlah peternak yang panik, jika pemberian preparat antibiotika tidak segera membuahkan hasil dan kemudian segera di”tembak” dengan yang broad spektrum bahkan dengan golongan Quinolone.
Langkah terbiasa dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi masalah penyakit pada ayam dengan preparat dari golongan quinolone padahal sebenarnya masih bisa diatasi dengan antibiotika spesifik atau broad spektrum.
Pihak produsen melalui para pemasarnya adalah salah satu faktor pendukung kesemrawutan dan serampangan pemakaian antibiotika di lapangan, khususnya pada ayam. Oleh karena itu jika ingin menertibkan, barangkali paling tepat adalah dari sumber nya dahulu.
Sudah menjadi rahasia umum lanjut Sapta, bahwa peredaran preparat antibiotika dalam sediaan pure atau murni sangat mendominasi dan sangat digemari para peternak. Jika peternak tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang obat/farmakologi, tentu akan semakin mengkhawatirkan aplikasi di lapangan.
Menurut Sapta, proporsi peredaran preparat antibiotika antara yang terregistrasi dibanding dengan yang sediaan murni 1 : 5 untuk sediaan pure. Sehingga, kasus itu tidak saja berdampak pada volume pemasaran preparat yang legal, akan tetapi juga aspek keamanan dan keselamatan konsumen produk unggas.
Lain lagi dengan Misaljo Samudra pemilik Samudera PS di Jl Raya Wates Jogja, menyikapi pemakaian preparat antibiotika di lapangan yang semakin amburadul.
”Saya tidak mengerti secara persis tatacara dan dosis masing-masing merk antibiotika. Sebagai pelaku usaha, saya hanya menyediakan selengkap mungkin kebutuhan peternak. Lepas itu legal dan tidak legal, serta aturan yang seharusnya ditaati pemakai. Yang jelas, jika obat itu laris manis berarti obat itu hebat dan ampuh untuk atasi masalah penyakit. Apakah obat itu termasuk dalam obat keras dan harus cermat dalam pemakaian, tetapi yang penting saya selalu berusaha menyediakan sesuai selera peternak,” tutur Misaljo.
Kapan harus dihentikan pemakaian obat itu dan kapan masih diberikan pada ayam lanjut Misaljo, ia sangat tidak paham. Perihal obat murni, memang dari waktu ke waktu ada kecenderungan meningkat permintaannya. Apakah hal itu karena obatnya murah dan ampuh, yang jelas banyak para peternak yang terus meminta sediaan obat murni itu. (iyo)

Pesimis Perunggasan 2007 Tetapi Harus Tetap Optimis

Berbeda dengan pelaku bisnis perunggasan yang lain, Drh Hadi Wibowo dari PT Sumber Mulitivita justru menyatakan pesimis menghadapi tahun 2007 ini. Namun ia tetap menaruh harapan dan optimisme besar terhadap masa depan peternakan dan kesehatan ayam di Indonesia.

Ia menguraikan berbagai masalah yang menurut prediksinya masih akan menggelayuti sektor peternakan di tahun 2007. Diantaranya adalah penurunan produksi yang terjadi pada petelur kurang dipahami oleh mayoritas peternak petelur, demikian pula disektor broiler. Sementara pada hewan ruminansia terdapat sederetan penyakit yang sampai dengan sekarang masih terasa merugikan, diantaranya Brucellosis dan IBR (terutama pada sapi perah), Anthrax, Rabies dan SE, juga Kempis (hog cholera/PPLO) pada babi. Dikhawatirkan juga kemungkinan masuknya penyakit eksotik lain ke Indonesia, seperti FMD dan BSE.
Hadi menambahkan, hal ini masih diperparah dengan dampak psikologis publik akibat pemberitaan media massa yang kurang seimbang tentang kematian manusia Indonesia akibat Flu Burung (FB). Pemberitaan tersebut serta merta mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat atas protein asal unggas. Ironisnya masih sering terdengar penyakit pada manusia Indonesia seperti Kwashiorkor (gizi buruk akibat defisiensi protein), marasmus (defisiensi protein dan kalori), padahal semua ini bisa diatasi dengan menjamin tersedianya protein hewani secara memadai. “Karena asam amino bahan pembentuk protein sangat dibutuhkan untuk pembentukan antibodi berbagai penyakit. Nah, kalau asupan proteinnya saja sudah kurang apalagi kalau penyakit datang pastinya akan lebih mudah terserang,” kata Hadi.
Sementara itu Pemerintah dalam melakukan upaya penangulangan penurunan produksi telur masih dalam tingkat regulasi dan program penanggulangan penyakit tertentu, seperti Avian Influenza. Tetapi secara spesifik program untuk mengatasi penurunan produksi telur diserahkan kepada peternak itu sendiri
“Masalah lain adalah harga pakan yang terus melambung, (yang jelas terpantau adalah pada ayam petelur dan broiler) yang merupakan dampak naiknya harga jagung, MBM (meat bone meal) dan PMM (poultry meat meal) sebagai pengganti tepung ikan yang sulit didapat dan harganya mahal, bungkil kedelai juga naik dan mencari dedak yang berkualitas bagus juga sulit. Biasanya jika harga pakan naik, turunnya akan susah, tetapi faktanya harga jual telur dan daging ayam tidak sebanding dengan kenaikan harga pakan. Inilah fakta lapangan yang sesungguhnya! Dan hal ini selalu dan selalu terjadi dari dulu sampai sekarang dan mungkin sampai waktu yang tidak ditentukan,” tegas Hadi.
Ia mengatakan, “Jujur harus saya katakan bahwa masa depan peternakan akan suram dan saya pesimis melihatnya. Tetapi semua itu akan menjadi baik dan optimis jika semua pihak yang berkompeten memahami dan mau melaksanakan hal-hal untuk mencapai target pemenuhan ketahanan pangan nasional sebagai tolok ukur keberhasilan, semua harus diselesaikan secara simultan”.

Peran Dokter Hewan
Kalau melihat Target Nasional Konsumsi Protein Hewani 6 gram/kapita/hari, sedangkan di tahun 2002 baru mencapai 4,08 gram/kapita/hari atau baru 68% dari target nasional. Pencapaian itu juga merupakan kontribusi dari daging (60,8%), telur (27,4%) dan susu (11,8%) dan untuk mencapai target Nasional diperlukan peningkatan produksi daging 4,8%, telur 5,1% dan susu 4,7%. Untuk peningkatan produksi tadi, diperlukan peningkatan populasi ternak: Sapi (1,8%), kambing (2,5%), domba (11,5%), babi (10,6%), ayam ras (9,9%), dan ayam buras (4,4%). Sementara hambatan perkembangan populasi ternak 61-68% disebabkan oleh gangguan kesehatan hewan atau penyakit. Disinilah peran profesi Dokter Hewan yang sangat strategis dalam mendukung program peningkatan ketahanan pangan.

Masih Penyakit yang Sama
Menurut Hadi kasus penurunan produksi pada layer sepanjang tahun 2007 ini masih akan sama yaitu lebih banyak disebabkan oleh agen penyakit infeksius seperti virus dan bakteri. Penyakit dari virus contohnya adalah ND, IB, AI dan EDS, sedangkan yang dari bakteri adalah Snot Coryza, Coli, CRD, Kolera, Pasteurella dan Pseudomonas. Juga kasus infeksi parasit seperti Leucocytozoonosis dan cacing. Sementara penyakit lain adalah kasus non infeksius seperti kualitas pullet, air minum dan kondisi lingkungan yang jelek, contohnya suhu lingkungan yang tidak nyaman bagi ayam.
Sementara pada broiler modern kondisi diramalkan masih tetap rentan terhadap adaptasi lingkungan yang mempengaruhi respon fisiologis dan imunologis ayam. Yang penting diperhatikan disini adalah stres disaat awal pemeliharaan. Terutama Karena setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius, metabolisme akan meningkat 20-30%, contohnya saat suhu lingkungan 28oC nafsu makan menurun sekitar 12 %. Idealnya suhu pemeliharaan dipertahankan 32-35oC dan bisa dikurangi seiring dengan bertambahnya umur.
Misalnya bila menebar DOC dengan suhu dibawah 25oC terjadi fenomena “renyatan temperatur” atau stres yang ditandai dengan anak ayam tidak mau bergerak, makan, dan minum. Disebabkan meningkatnya produksi hormon ACTH (Adenocorticotropic Hormon) yang bisa menggangu penyerapan kuning telur. Pada akhirnya menghambat pembentukan zat kebal dari induk, menghambat penyerapan nutrisi, rentan terhadap berbagai mikroorganisme dan respon vaksinasi yang jelek. Sehingga yang sering terjadi di lapangan adalah kekerdilan/keterlambatan pertumbuhan sementara FCR membengkak, padahal kematian tidak terjadi dan kalaupun terjadi masih dianggap normal.
Terakhir ia menekankan selain penerapan biosekuriti yang ketat dan rutin, perbaikan manajemen pemeliharaan dan program vaksinasi penting dilakukan guna menjamin kesehatan dan produktivitas ternak. Sehingga guna menunjang pembentukan sistem kekebalan diperlukan imbuhan imunomodulator pada pakan ternaknya. (wan)

Standar Berat Badan Pemeliharaan Ayam Broiler
Umur Berat Badan Standard
7 hari 120 s/d 140 gr Minimal 160 gr
21 hari 600 s/d 700 gr Minimal 900 gr
32 hari 1400 s/d 1500 gram Minimal 1700 gram



Perunggasan 2007 di Mata Peternak “Meski Suram tetap Ada Harapan”

Kondisi perunggasan tahun 2007 ini masih tidak akan jauh berbeda dengan kondisi tahun 2006 yang lalu. Dapat dipastikan awal tahun 2007 situasinya masih berat dan bahkan bisa membawa korban peternak pada kebangkrutan.
Demikian Drh Zahrul Anam seorang praktisi perunggasan dari Yogyakarta mengungkapkan prediksinya. Indikator yang menjadi argumen Zahrul adalah kenaikan harga pakan yang terus menjadi faktor terbesar dalam menekan gerak laju perkembangan.
Meski kegagalan panen jagung dan beras tidak separah tahun 2005 namun hasil panen komoditi pertanian itu pada tahun 2006 belum mampu memberikan kontribusi nyata bahwa ada jaminan harga pakan tidak naik.
Jika beberapa waktu yang lalu ada faktor nilai tukar rupiah yang labil dan menjadi penyebab naiknya harga pakan, maka selama 3-4 tahun terakhir ini justru harga komoditi itu di pasaran internasional yang cenderung fluktuatif, naik turun.
Jika melihat perjalanan perunggasan domestik tahun 2006, dimana pada awal tahunnya juga kurang menggembirakan, namun syukurlah pada semester kedua tahun itu, justru telah mampu memberikan sinar terang kepada para peternak.
Sayang memang, menurut Zahrul kemudian menjelang akhir tahun badai kecil menghempaskan para peternak.
”Problema harga jual hasil produksi awal dan akhir tahun 2006 telah menggoyahkan sendi-sendi kemapanan pelaku usaha perunggasan. Kemudian pada akhir tahun 2006 diterpa kelangkaan dan menjulangnya harga DOC maupun pakan,” ujar Zahrul.
“Saya pribadi memperkirakan situasi berat ini masih akan terus berlanjut sampai pada kuartal pertama tahun 2007. Dan jika ada kondisi yang menggembirakan hampir pasti setelah kuartal pertama,” lanjutnya.
Sebenarnya pada tahun 2006 kemarin, situasi dan kondisi yang membuat peternak bisa bernafas lega berlangsung berlangsung cukup lama yaitu 6,5 bulan. Sebuah periode yang bisa membantu para peternak memperkuat struktur permodalan dan berekspansi.
Namun menurut Zahrul waktu yang relatif lama itu, di samping mampu mendorong ekspansi usaha juga memperkokoh. Hanya sayang hambatan kembali muncul dengan faktor internal perunggasan seperti diungkapkan dimuka yaitu kelangkaan DOC dan naiknya harga pakan.
Maka jika saja tahun 2007 ini masalah klasik itu bisa diatasi oleh semua pelaku usaha, sudah pasti akan membuat cerah dunia usaha perunggasan Indonesia.

Mirip dengan 2006
Menengok perjalanan dunia perunggasan Indonesia tahun 2006 yang lalu meski tidak begitu menggembirakan, namun juga tidak seburuk yang selama ini dikhawatirkan.
Kala itu, awal tahun 2006 memang terasa berat sekali situasi perunggasan. Bukan saja harga jual hasil produksi (telor maupun daging) yang nyaris menggerogoti kantong peternak alias hanya mendekati titik impas, akan tetapi juga faktor eksternal lain yang lebih memperparah kondisinya.
Di sisi internal perunggasan tahun lalu, harga DOC belum meroket seperti yang terjadi menjelang akhir tahun 2006. Namun, aspek kualitas DOC yang performansnya di bawah standar dan harga pakan yang nyaris bergejolak untuk terus naik, membuat ‘pening’ para peternak.
Panen ayam potong kurang berhasil meski sebenarnya harga jual sedikit diatas titik impas. Ternyata, hanya mampu membuat peternak dalam situasi bertahan. Baru menjelang pertengahan akhir tahun 2006 tepatnya awal bulan Mei, harga daging dan telor ayam mulai memperlihatkan tanda-tanda yang melegakan peternak.
Kala itu peternak bisa bernafas lepas oleh karena ada sisa keuntungan yang bisa digunakan untuk menguatkan modal dan juga dinvestasikan dalam bentuk lain. Namun sayang menjelang penghujung akhir tahun 2006, harga DOC langka lalu meroket dan diperberat dengan kenaikan harga pakan yang terjadi beberapa kali.
Bahkan kemudian diperparah dengan anjlognya harga daging dan telor. Sangat berbeda dengan tahun 2005 yang mana fakror eksternal berupa kenaikan harga BBM yang sangat memukul daya beli masayarakat, maka tahun 2006 justru faktor internal yang paling dominan menjadi lambannya gerak dunia usaha perunggasan.

Optimis
Tentang prospek dunia usaha perunggasan pada tahun 2007, ”Seorang pelaku usaha harus selalu optimistis dengan yang digelutinya. Rasa percaya diri itu perlu dipupuk untuk memperkuat semangat dan menaruh harapan,” ujar Ir Danang Purwantoro, yang juga seorang praktisi perunggasan di Yogyakarta mencoba optimis.
“Rasa Pesimis harus dibuang jauh-jauh dan setiap masalah bukanlah sebuah rintangan apalagi sebagai hambatan. Karena justru hal itu sebagai sebuah tantangan yang harus segera diupayakan solusinya,” jelas Danang dengan penuh semangat.
Danang mecoba melihat tahun 2007 ini sebagai harapan baru untuk maju dan terus berkembang. Keyakinan dan kepercayaan itu didasarkan oleh situasi makro ekonomi dan sosial politik domestik. Secara kasat nyata, sudah jelas bahwa saat ini roda perekonomian Indonesia sudah bergerak nyata, terutama jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Contoh nyata, bunga kredit perbankan sudah mulai turun dan pelaku usaha lain sangat antusias bergerak. Meski masih ada yang menghambat lanjut Danang yaitu ledakan angkatan kerja, syukurlah iklim sosial politik sudah sangat kondusif. Jika ada kendala dan penghambat bergeraknya dunia perunggasan menurut ayah 1 (satu) anak yang asli Wonogiri Jawa Tengah ini, adalah kebijakan perpajakan.
Rencana Pajak Pertambahan Nilai Rumah Potong Ayam (PPN RPA) adalah salah satu yang sempat merisaukan pelaku usaha perunggasan.
Jika saja rencana itu akan tetap diberlakukan secara efektif maka sudah pasti akan kembali memukul dunia perunggasan. Namun, ia yakin bahwa implementasi PPN itu pasti akan dipertimbangkan secara matang oleh pihak pemerintah dan DPR. Sebab kebijakan itu sangat kontraproduktif dan justru akan menganggu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
”Saya yakin esktensifikasi pajak oleh pemerintah di sektor perunggasan tidak akan diberlakukan, sebab dampak negatif lebih banyak dibanding manfaatnya. Namun yang lebih penting adalah kerja keras dan kesungguhan pelaku usaha perunggasan itu sendiri dalam memecahkan masalah internalnya seperti pasokan DOC yang memadai dan berkualitas serta harga pakan pada skala ekonomis yang pas,” ujarnya.
Lebih lanjut menurut Danang, jika harga pakan terus merangkak naik, maka sebenarnya tidak saja memukul para peternak, namun juga akan efeknya pada pihak produsen itu sendiri. Maka memang harga yang ideal dan pas dari sudut keekonomian pakan, akan mampu memacu berkembangnya perunggasan Indonesia.
Secara umum baik Danang maupun Zahrul berpendapat bahwa prospek dunia usaha perunggasan Indonesia tetap ada harapan. Bahkan akan mampu mencapai pertumbuhan spektakuler jika ada kebijakan pemerintah yang nyata dalam mendukung bergeraknya roda usaha perunggasan secara komprehensif. Kita tunggu dan lihat saja. (Untung Satriyo)

KEPASTIAN KEMENANGAN PERUNGGASAN 2007 VS PENYAKITNYA

Berdasarkan komunikasi dengan berbagai narasumber, bacaan kepustakaan, dan situasi penyakit unggas di Indonesia, Asia, maupun internasional, maka menurut pakar penyakit unggas Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dari FKH UGM, pada tahun 2007, tidak akan terjadi wabah penyakit unggas yang baru.
Harusnya, kata Prof Charles, “Dengan pengalaman sejak tahun 2003 sampai 2006 dalam menanggulangi AI, para peternak/pengusaha perunggasan telah lebih memahami dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pentingnya manajemen peternakan yang optimal pada berbagai aspek, khususnya praktek biosecurity yang ketat.”
Hal ini, tambah Charles, tentu saja tidak hanya untuk menanggulangi AI, tetapi juga berlaku untuk penyakit-penyakit lainnya. Yang paling penting adalah bagaimana peternak dapat lebih efisien dan dapat meningkatkan kualitas produk. Sehingga harga produk yang dihasilkan bersifat lebih kompetitif.
Jika biaya produksi terus meningkat karena berbagai faktor yang tidak terhindarkan, sementara harga produk perunggasan sangat berfluktuatif, Charles berpendapat para peternak cenderung akan melakukan modifikasi manajemen yang kerapkali berdampak merugikan pada penanggulangan berbagai penyakit.
Untuk review, Prof Charles menuturkan, penyakit-penyakit yang dominan pada broiler maupun layer selama tahun 2006 adalah Gumboro, Newcastle disease (ND), kolibasilosis, dan kelompok penyakit pernapasan (khususnya CRD, infectious coryza).
Pada broiler juga sering ditemukan gangguan pertumbuhan dan mikotoksikosis pada periode tertentu.
Sedangkan pada layer, sering muncul gangguan produksi telur, khususnya berhubungan dengan infectious bronchitis (IB) dan kadang EDS-76.
Selanjutnya, juga perlu mendapat perhatian khusus terhadap kejadian Marek’s disease (MD) yang cenderung meningkat pada layer selama tahun 2006,.
Menurut Prof Charles, penyakit-penyakit tersebut sulit diberantas karena faktor pendukungnya kompleks dan sulit diatasi, khususnya menyangkut berbagai aspek manajemen (DOC, pakan, perkandangan, kualitas air minum, biosecurity, program kesehatan) yang suboptimal.
Beberapa penyakit, khususnya ND, CRD, kolibasilosis, infectious coryza juga erat hubungannya dengan efek imunosupresif penyakit lain dan kondisi iklim yang sangat berfluktuatif.
“Program vaksinasi dan jenis vaksin yang kurang sesuai juga mempunyai andil pada kejadian beberapa penyakit, khususnya Gumboro, IB, dan MD,” kata Doktor alumnus Amerika ini.
Penyakit-penyakit tersebut (misalnya Gumboro, ND, IB) mempunyai dampak ekonomik yang besar pada peternakan ayam sehingga jika tidak ditanggulangi secara benar dapat berakibat fatal bagi suatu usaha peternakan.
Untungnya, kata Prof Charles, para peternak telah mempunyai berbagai upaya untuk menanggulanginya walaupun hasilnya belum maksimal. Inilah yang merupakan tantangan bagi para ilmuan dan praktisi perunggasan di Indonesia.
Menurutnya, peranan pemerintah dalam menangani berbagai penyakit unggas lebih terfokus pada sektor-4 (kelompok unggas skala kecil). Sedangkan pada sektor-1, -2, dan -3 pemerintah lebih banyak berperan sebagai pemegang kebijakan sehingga sangat tergantung pada kondisi manajemen dan komitmen suatu usaha perunggasan.
Selama tahun 2006, ujarnya, sebetulnya kejadian avian influenza (AI) pada peternakan ayam komersial di sektor-1, -2, dan -3 hampir tidak pernah ditemukan, sedangkan pada sektor -4 banyak sekali diagnosis AI yang dikelirukan dengan penyakit lain, khususnya ND.
“Perluasan kasus ke beberapa propinsi selama tahun 2006, sebetulnya hanya berdasarkan temuan kasus baru yang segera dapat dihentikan penyebarannya dengan cara stamping out dan bukan berbentuk letupan pada suatu peternakan atau wilayah yang luas,” tambahnya.
Bahkan, banyak propinsi yang sebelumnya dinyatakan tertular AI, telah “bersih” dari penyakit tersebut (tidak ada laporan kasus baru) dalam waktu yang lama.

Butuh Komitmen yang Tinggi
Beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dalam penanganan penyakit pada unggas, menurut Prof Charles Rangga Tabbu adalah harus adanya komitmen yang tinggi dari pengusaha perunggasan atau bidang yang terkait sesuai dengan peranannya masing-masing sejak dari hulu sampai hilir.
Hal ini untuk menjaga kualitas dan kontinuitas produk yang dihasilkan, misalnya DOC, pakan/bahan baku pakan, dan sarana kesehatan (vaksin, obat, vitamin, bahan imbuhan pakan, desinfektan).
Demikian juga, tambahnya, di bidang budidaya perunggasan, para pengusaha atau peternak haruslah menjalankan manajemen yang optimal dan sistem pemasaran produk/produk ikutan yang selalu mengacu pada prinsip biosecurity ketat yang dilandasi oleh tanggung jawab moral terhadap masyarakat perunggasan dan masyarakat umum.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan (“juri”) hendaklah selalu menyediakan dan menjaga agar semua peraturan/kebijakan dijalankan secara disiplin dan penuh tanggung jawab.
“Mungkin secara bertahap perlu restrukturisasi sistem peternakan unggas dan sistem pemasaran produknya (termasuk kotoran) agar kontrol lalulintas unggas/produknya dan pelaksanaan biosecurity lebih terkendali,” anjur Prof Charles.
Adapun peranan dari Karantina Hewan, khususnya pada entry dan exit point dan Pos Pemeriksaan Ternak hendaknya lebih ditingkatkan.
“Tindakan-tindakan tersebut diharapkan dapat menekan penyebaran penyakit seminimal mungkin,” tegas Dekan FKH UGM ini.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya Charles berkata, adalah restrukturisasi organisasi Otoritas Veteriner dari tingkat pusat sampai kedaerah. Tujuannya, agar diperoleh kesamaan pandangan dan analisis terhadap berbagai kebijakan dan kondisi di lapangan yang berhubungan dengan kesehatan unggas, khususnya yang menyangkut penyakit-penyakit stratejik, misalnya AI, ND, Gumboro.
Adapun jika dihubungkan dengan aset industri perunggasan di Indonesia yang cukup tinggi dan peranannya dalam aspek perekonomian pada sejumlah besar rakyat Indonesia, konsultan perunggasan ini mengungkapkan harusnya para peternak/pengusaha perunggasan dan pemerintah tidak begitu saja menyerah pada berbagai gejolak yang datang silih berganti.
Sebagai contoh, katanya, ”Peranan industri perunggasan sebagai penyedia sekitar 55% kebutuhan daging nasional, penyedia lapangan kerja langsung pada sekitar 2,5 juta peternak, dan sebagai pendorong pertumbuhan bidang pertanian lain dan perikanan, industri, serta usaha rumah makan.”
Untuk menyelamatkan semuanya, Ketua Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan ini menyatakan, tentu saja diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara pemerintah, pelaku perunggasan, praktisi, para pakar di bidang perunggasan/bidang yang terkait, dan semua komponen masyarakat untuk secara bersama-sama membangun, memelihara, dan mendukung keberlangsungan industri perunggasan di tanah air tercinta ini.
Misalnya, dengan selalu membudayakan untuk makan daging dan telur di lingkungan keluarga, membeli produk perunggasan (telur, daging, bahan olahan) dalam negeri, dan ikut memberikan informasi yang benar tentang kegunaan dan tingkat keamanan daging dan telur.
Jika semua pihak yang terlibat dalam mata rantai indutsri perunggasan di Indonesia dapat memainkan peranannya secara baik, maka pakar ini memastikan, industri perunggasan di negeri tercinta ini masih memiliki potensi yang amat besar dan masih tetap menjanjikan. (Ardi Winangun)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer