Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Antibiotik Growth Promotor VS Alternatif Growth Promotor

Antibiotik Growth Promotor (AGP) telah lama digunakan dalam pakan ternak untuk mencegah penyakit dan meningkatkan pertumbuhan. Cara kerja dari antibiotik pemacu pertumbuhan belum seluruhnya terjelaskan. Namun, efek pemacu pertumbuhannya dapat dihubungkan dengan pengaruh pada mikroflora usus, yaitu penambahan antibiotik pemacu pertumbuhan dalam pakan membantu menurunkan jumlah mikroflora usus, menekan bakteri patogen dan menambah ketersediaan energi serta zat gizi untuk ternak dan tercapai efisiensi penggunaan pakan.
Prinsipnya keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia setidaknya 85% berbanding 15%. Dengan komposisi tersebut fungsi “barrier effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam tubuh makhluk hidup dengan cara mencegah terbentuknya koloni bakteri patogen (colonisation resistence) bisa teroptimalkan. Ketidakseimbangan populasi antara bakteri yang menguntungkan dan merugikan (dysbiosis) berakibat turunnya produksi ternak.
Salah satu cara memodifikasi keseimbangan bakteri di dalam saluran pencernaan adalah dengan pemberian antibiotik. Antibiotik dipercaya dapat menekan pertumbuhan bakteri-bakteri patogen yang berakibat melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan. Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan bakteri patogen.
Namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikroorganisme patogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu, ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli. Pengaruh negatif lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging, telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya.
Resistensi bakteri inilah yang telah mendorong masyarakat Uni Eropa per Januari 2006 melarang penggunaan berbagai macam antibiotik dimana selama beberapa dekade belakang merupakan substans yang kerap digunakan oleh peternak di berbagai belahan dunia. Tidak dapat dipungkiri sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa pemacu pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadi peningkatan pendapatan peternak berkat kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan ada yang pro dan ada yang kontra, terutama antara ilmuwan Eropa dan Amerika.
Sebenarnya pelarangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal yang baru bagi sebagian negara Eropa. Jauh hari sebelumnya beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi pelarangan tersebut tidak menyeluruh hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin (Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin dan chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya dalam ransum ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na.
Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengembangkan alternatif yang sesuai untuk mengatasi dampak yang merugikan dengan pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan dalam pakan ternak. Substansi lain, dikenal dengan natural growth promotor, telah diidentifikasikan mempunyai khasiat dan aman untuk menggantikan fungsi antibiotik pemacu pertumbuhan. Infovet menyebut substansi tersebut dengan alternatif growth promoter.
Saat ini, banyak tersedia dan beredar alternatif growth promotor di pasar, diantaranya asam organic, imunomodulator, probiotik, prebiotik, enzim untuk pakan, dan fitogenik. Semua produk tersebut memiliki potensi meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dan performan pertumbuhan. Cara kerjanya sangatlah kompleks, pada umumnya mempengaruhi mikroflora usus, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi, tujuan utama penggunaan alternatif growth promotor adalah untuk membuat dan memelihara keseimbangan mikroflora saluran pencernaan yang melindungi ternak terhadap invasi kuman patogen.

Alternatif Growth Promotor
Samadi, staf pengajar Fakultas Pertanian Progran Studi Peternakan Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh mengungkapkan, konsep pakan ternak berdasarkan kualitas semata (kebutuhan energi dan protein ternak) mulai ditinjau ulang oleh nutritionist akhir-akhir ini. Tuntutan konsumen akan produk ternak yang sehat, aman dan terbebas dari residu berbahaya telah mengajak ilmuwan untuk mencari alternatif sumber-sumber pakan baru sekaligus zat aditif yang aman. “Feed quality for food safety“ merupakan slogan yang acap di dengungkan dimana-mana pada masyarakat Eropa.
Kerja keras ilmuwan dalam usaha menemukan zat aditif pengganti antibiotik telah membuahkan hasil yang tidak begitu mengecewakan. Beberapa alternatif zat aditif pengganti antibiotik telah ditawarkan bagi peternak untuk memicu produksi dan reproduksi seperti probiotik dan prebiotik, asam-asam organik, minyak esensial (essential oil) dan berbagai jenis enzim. Senyawa-senyawa aditif tersebut terbukti mampu meningkatkan produksi ternak tampa mempunyai efek samping bagi ternak dan konsumen yang mengkonsumsinya.

Probiotik dan Prebiotik
Sebagai pengganti antibiotik nutritionist merekomendasikan peternak menggunakan probiotik sebagai bahan aditif. Probiotik tergolong dalam makanan fungsional, di mana bahan makanan ini mengandung komponen-komponen yang dapat meningkatkan kesehatan ternak dengan cara memanipulasi komposisi bakteri yang ada dalam saluran pencernaan ternak. Berbeda dengan antibiotik, probiotik merupakan mikroorganisme yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan ternak tanpa mengakibatkan terjadinya proses penyerapan komponen probiotik dalam tubuh ternak, sehingga tidak terdapat residu dan tidak terjadinya mutasi pada ternak. Sementara antibiotik merupakan senyawa kimia murni yang mengalami proses penyerapan dalam saluran pencernaan.
Penggunaan probiotik dan prebiotik bukan merupakan hal baru dalam dunia peternakan. Fungsi zat aditif ini tidak jauh berbeda dengan antibiotik yaitu mengatur komposisi mikroflora dalam saluran pencernaan. Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus bulgaricus, Lactobacilus acidophilus, Bifidobacteria thermophilum dan jenis fungi seperti Saccharomyces cerevisiae adalah contoh-contoh probiotik yang telah diproduksi secara komersial. Lingkungan menyenangkan untuk pertumbuhan bakteri menguntungkan (penurunan pH dengan memproduksi asam laktat) akan tercipta dengan mensuplai probiotik pada ransum ternak. Probiotik juga dapat mengurangi produksi racun dan menurunkan produksi amonium dalam saluran pencernaan.
Prebiotik adalah oligosakarida yang tidak dapat dicerna oleh hewan monogastrik (ayam dan babi). Senyawa ini digunakan sebagai substrat untuk merangsang pertumbuhan bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli. Pemberian 0,1 – 0,5% dalam ransum dapat meningkatkan bakteri yang menguntungkan dan menurunkan populasi bakteri yang merugikan.

Imunomodulator
Mekanisme kerja imunomodulator adalah dengan cara meningkatkan fungsi kekebalan tubuh alamiah (activated cellular immunity). Istilah imunomodulator memang masih belum begitu familiar terdengar di telinga kebanyakan peternak. Obat atau bahan yang memiliki efek pada respon imun untuk melakukan immuno modulasi dinamakan dengan Imunomodulator.
Immunomodulator bekerja dengan beberapa cara, yaitu pertama, meningkatkan proses maturity (pematangan) sel-sel yang berperanan dalam imun respon. Kedua, meningkatkan proses proliferasi sel, terutama sel-sel macrophages (mempagosit antigen dan menghancurkan antigen dalam sel) dan lymphocyte (pembentukan antibodi dan membunuh antigen dalam sel), sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak dalam waktu yang relatif singkat. Dengan demikian jumlah antigen yang dapat diproses meningkat lebih banyak dan titer antibodi yang dihasilkan menjadi lebih tinggi. Ketiga, mengaktifkan complement, sehingga eliminasi antigen dalam sel menjadi lebih efektif.
Dengan adanya imunomodulator, maka ternak unggas-unggas dapat terhindar dari penyakit-penyakit fatal seperti ND, AI, Mareks, dll. Dengan kekebalan tubuh yang tinggi, maka segala macam penyakit tidak akan mampu membunuh ternak unggas, bahkan sebaliknya justru meningkatkan produktivitas dan memacu pertumbuhan.


Asam-asam Organik
Asam-asam organik sebenarnya diproduksi secara otomatis dalam tubuh ternak melalui proses fermentasi selanjutnya digunakan sebagai sumber energi. Perkembangan bioteknologi yang begitu pesat mengilhami industri-industri pakan ternak untuk memproduksi asam-asam organik dalam bentuk komersial seperti asam asetat, propionat laktat dan citrat yang dikemas dalam bentuk cair. Penambahan asam-asam organik dalam pakan ternak dapat menigkatkan produktifitas ternak. Peningkatan performa ternak terjadi melalui penciptaan lingkungan yang serasi bagi perkembangan mikroflora menguntungkan. Dengan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri tertentu (melalui penurunan keasaman) dapat mengaktifkan serta merangsang produksi enzim-enzim endogenous dan berakibat meningkatnya absorbsi nutrisi dan konsumsi pakan untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi.

Minyak Esensial (Essential oil)
Saat ini dikenal lebih kurang 2600 jenis minyak esensial yang dihasilkan melalui ekstraksi berbagai jenis tanaman. Jamak diketahui bahwa setiap tanaman mempunyai komponen bioaktif yang spesifik. Di dalam tubuh makhluk hidup senyawa bioaktif tersebut mempunyai aktifitas mikrobial, sebagai antioksidan, bersifat antibiotik dan juga meningkatkan kekebalan tubuh. Beberapa contoh minyak esensial yang terdapat pada tanaman misalnya cinnamaldehyde (cinnamon), eugenol (clove), allicin (garlic) dan menthol (peppermint).
Dari hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan minyak esensial dalam pakan ternak dapat memperbaiki performa ternak melalui meningkatnya nafsu makan ternak, meningginya produksi enzim-enzim pencernaan serta stimulasi antiseptik dan antioksidan dari minyak atsiri tersebut. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan keanekaragaman sumber daya alam hayati. Hal ini menjadi suatu tantangan sekaligus harapan bagi ilmuwan untuk menggali berbagai potensi yang tersedia untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemakmuran rakyat.

Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecahan senyawa-senyawa yang komplek menjadi sederhana. Saat ini telah terindentifikasi lebih kurang 3000 enzim. Walaupun dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri sesuai dengan kebutuhan, penambahan enzim pada ransum kadang kala masih dibutuhkan. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti antinutrisi faktor pada bahan pakan (lekctins dan trypsin inhibitor), rendahnya efisiensi kecernaan bahan pakan, dan ketidaktersediaan enzim tertentu dalam tubuh ternak. Xylanase dan ß-glucanase adalah contoh-contoh enzim yang digunakan pada ternak monogastrik untuk meningkatkan daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan ternak muda untuk mencerna protein pada kacang kedele (glycin dan ß-conglycin) dapat diatasi dengan penambahan enzim protease.
Phytase sebagai enzim yang mampu meningkatkan penyerapan posphor mendapat perhatian cukup besar para peneliti saat ini. Bahan-bahan basal pakan yang kaya karbohidrat seperti gandum, barley, jagung dan lainnya, mengikat unsur phosphor dalam bentuk asam phytat (myo-inositol hexaxy dihidrogen phosphat) sehingga tidak mampu dicerna oleh ternak. Dengan mensuplai phytase yang berasal dari Aspergillus atau Trichoderma strains dalam ransum ternak dapat meningkatkan ketersediaan phospor, Ca, Zn dan asam amino bagi ternak. Polusi lingkungan melalui Eutropication juga dapat dicegah dengan penambahan phytase dalam pakan ternak.

Penelitian bahan aditif alternatif sebagai pengganti antibiotik terus dilakukan tidak hanya terbatas pada lembaga penelitian, universitas, institut tapi juga merambah ke berbagai industri makanan ternak. Bagi industri pakan ternak masih terbuka peluang bisnis yang cukup besar dengan menciptakan produk-produk zat aditif baru dengan nilai ekonomis tinggi serta mampu bersaing di pasar. Bagi peternak menciptakan kondisi higienis pada farmnya jelas masih sulit namun dengan pemanfaatan bermacam alternatif growth promotor diatas tentu bisa menjadi solusi pilihan. (Wawan Kurniawan)

YANG IMPOR PUN HARUS DIKONTROL

(( Masalah kesehatan produk impor, harus terus dikontrol hingga kapanpun. ))

Dari tahun ke tahun, pasokan ternak impor dari luar negeri ke Indonesia terus menunjukkan peningkatan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah keprihatinan, mengingat tiga penentu kebijakan dalam hal ini yaitu produsen, konsumen dan pemerintah, hingga saat ini belum mencapai kapasitas kerja yang diharapkan.
Sementara masalah kesehatan produk impor tersebut, masih terus dipertanyakan hingga saat ini. Masalah kesehatan pangan impor pernah meruyak beberapa waktu lalu. Masalah sapi gila (mad cow), terinfeksinya beberapa hewan unggas oleh virus avian, dan beberapa kejadian lain cukup membuat kita memilih tidak mengonsumsi beberapa jenis produk pangan tertentu.
Bahkan pemerintah juga telah melakukan beberapa tindakan seperlunya, seperti mengefektifkan sistem pintu masuk berbagai produk pangan tersebut ke Indonesia. Hingga mengakibatkan makin tingginya kualitas produk pangan hewan yang ingin diimpor ke Indonesia.
Namun, masalahnya ternyata produk pangan hewani di dalam negeri hingga saat ini belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Ini terlihat dari catatan yang diterima dari Direktorat Jenderal Peternakan (dan Balai Pusat Statistik (BPS) hingga tahun 2002 lalu. Dari catatan tersebut menunjukkan bahwa dari target konsumsi 6 gram/kapita/hari yang ditargetkan oleh FAO, Indonesia baru mampu mencapai 4,19 gram/kapita/hari.
Hal ini diperkuat oleh hitungan yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI).

Tiga Tiang
Dalam dunia perekonomian terdapat tiga tiang utama yang mempengaruhi pasar. Yaitu produsen, konsumen dan pemerintah. Dalam bagian produsen, kendala kurangnya produksi pangan hewani memang masih menjadi momok hingga saat ini. Dan pemerintah yang mencermati hal ini, sepertinya lebih memilih jalan pintas untuk masalah ini dengan mengimpor berbagai produk pangan hewani dari luar negeri.
Di satu sisi hal ini menimbulkan dampak positif, karena berarti terpenuhinya kebutuhan daging untuk rakyat Indonesia yang semula dianggap kurang. Keuntungan yang kedua adalah keberadaan ternak lokal yang tidak terkuras habis-habisan. ”Selain itu juga peternak lokal bisa belajar untuk mulai berkompetisi dengan peternak global,” ujar Ir Yudi Guntara Noor Ketua Umum ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia) dalam suatu kesempatan.
Namun masalahnya bagaimana dengan berbedanya ukuran kesehatan hewan dari berbagai negara pengekspor dengan negara pengimpor. Belum lagi kebijakan ekonomi dan faktor musim yang tiap negara yang berbeda satu sama lain. Yang akan berpengaruh langsung pada kondisi daging yang diimpor. Kalau ini terjadi, lagi-lagi konsumen Indonesia yang kena getahnya.
”Padahal konsumen Indonesia hingga saat ini masih berada pada posisi tawar yang rendah,” kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Dra. Indah Suksmaningsih, menanggapi hal tersebut.
Faktor konsumen yang tidak korektif, sikap produsen dan pemerintah yang cenderung hanya menguntungkan diri sendiri, makin menambah ketidakjelasan faktor keamanan kesehatan produk impor tersebut.

Solusi
Berbagai faktor yang menaungi tiga tiang ekonomi di atas yang seharusnya secepatnya dibenarkan. Selain juga faktor kesepadanan persepsi dari berbagai negara untuk masalah ini, yang seharusnya juga menjadi prioritas utama pemecahan masalah tersebut.
Indah menyarankan agar masalah edukasi pada masyarakat agar lebih digalakkan. ”Agar masyarakat konsumen tidak hanya menuntut hak, tapi juga mengerti tanggung jawab dan kewajibannya.”
Selain itu Indah juga menyarankan agar konsumen lebih berani mengadu jika melihat sesuatu yang terasa tidak aman di makanan mereka. Selain solidaritas sesama konsumen yang juga harus perlu dibangun lebih baik lagi.
Sementara Yudi lebih menekankan pada equal treatment yang mengacu pada kesepakatan WTO sebagai jalan keluar semua masalah ini. ”Equal treatment ini untuk mencegah distorsi yang mungkin timbul,” ucapnya.
Dengan adanya equal treatment ini diharapkan persepsi status kesehatan dari negara pengekspor dan pengimpor menjadi sepadan. Hal equal treatment ini juga mencakup masalah tindakan terhadap hewan potong yang pantas, seperti penggunaan hormon pemacu pertumbuhan.
Sementara itu di pihak lain, kondisi kebijakan pemerintah baik di Indonesia maupun di negara pengimpor juga harus seimbang, baik secara fiskal, finansial dan retribusi. ”Dengan kondisi persyaratan tersebut di atas diharapkan bahwa akan ada suatu perlindungan terhadap peternak dan ternak lokal di Indonesia dalam era globalisasi ini,” katanya. (SH)

WASPADAI PENYAKIT PENCERNAAN DAN PERNAFASAN

Bulan Januari sampai Februari 2007 ini, menurut prediksi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Departemen Perhubungan, kawasan sebagian besar pulau Jawa; sebagian pulau Sumatera bagian barat dan pulau Sulawesi bagian Tengah serta Selatan dan juga pulau Kalimantan sisi Selatan akan memasuki puncak musim hujan. Intensitas dan frekuensi hujan di daerah itu akan berada di atas normal.

Jika demikian adanya, maka peternak ayam harus siap mengantisipasi agar tingginya kelembaban dan kurangnya intensitas sinar matahari tidak membawa dampak negatif bagi produktifitas dan kesehatan ternak itu. Mewaspadai dan bersiaga adalah cara terbaik dan seharusnya dilakukan agar tidak melahirkan problema serius yang semestinya bisa dicegah.

Atas dasar pengalaman para peternak, maka selama ini jika musim yang demikian itu tidak lain mesti akan diikuti out break penyakit-penyakit yang selalu berkaitan dengan gangguajn sistema pencernaan dan pernafasan. Memang pengalaman para peternak itu relatif tidak jauh berbeda dengan prediksi para pakar kesehatan ternak unggas. Para peternak mengungkapkan atas dasar pengalaman empirisnyaj, sedangkan pakar atas dasar sifat dan karakterisitik agen penyakit dan kondisi kesehatan umum unggas pada situasi musim yang demikian itu.

Menurut Ir. Danang Purwantoro, dari PT Biotek Industri salah satu gangguan kesehatan yang nyaris sulit dihindarkan ketika musim hujan adalah Kolibasilosis dan Koksidiosis. Atas dasar pengalaman lapangannya selama ini jika kelembaban udara yang relatif tinggi maka sudah dapat dipastikan akan muncul gangguan kesehatan dari kedua jenis penyakit itu khususnya pada ayam potong.

”Pengalaman empiris saya tentang gangguan kesehatan yang umum sulit dihindarkan pada peternakan ayam potong adalah Kolibasilosis dan Koksidiosis. Sedangkan pada peternakan petelur selain Kolibasilosis adalah CRD dan ND,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Danang sebaiknya para peternak menyiapkan dengan cermat agar kasus penyakit-penyakit itu dapat ditekan sekecil mungkin untuk muncul dan mengganggu kesehatan maupun produktifitasnya.

Tidak lain, menurutnya hanya meningkatkan biosecurity dan sanitasi. Sebab hanya dengan langkah itu dapat ditekan bahkan dicegah mewabahnya penyakit-penyakit itu yang pasti akan menambah masalah. Kebersihan dalam kandang dan lingkungan, menurut pengamatannya di lapangan masih menjadi persoalaan serius di petrnakan ayam Indonesia.

Penyadaran dan edukasi harus terus diberikan akan pentingnya kebersihan itu. Namun jika sebuah farm yang telah menerapkan hal itu,ternyata memang relatif aman dan bebas dari ancaman penyakit itu. Dan biasanya justru permasalahan yang muncul adalah produktifitas yang belum sesuai dengan ukuran ideal. Untuk masalah ini memang termasuk kompleks, maka sedikit demi sedikit proses penyadaran masalah yang lain ini terus digencarkan.

Hasil pengamatannya di lapangan bahwa fenomena tiingkat kebersihan dan tingkat kesadaran relatif lebih baik di peternakan ayam petelur. Menurutnya hal itu erat kaitannya masa pemeliharaan ternak itu yang lebih panjang dan besarnya dana yang diinvestasikan. Oleh karena itu memang wajar jika kondisi seperti itu terjadi.

Sedangkan menurut pengamatan dan pengalaman Drh Zahrul Anam dari PT Sanbe Farma selain apa yang diungkapkan oleh Danang, ia mencermati bahwa pada musim basah, maka kasus gangguan kesehatan yang cukup serius di peternakan ayam petelur adalah karena agen penyakit dari fungi atau jamur.

Gangguan kesehatan dari agen penyakit itu, ternyata dari waktu ke waktu bukan berkurang namun semakin layak untuk diperhatikan oleh para peternak ayam petelur. Hal itu bisa terjadi, menurutnya oleh karena gudang penyimpanan pakan yang kurang baik.

Namun juga bisa terjadi, oleh karena sistem alat pengangkutan yang masih menyamaratakan pengangkutan pakan dengan barang lainnya. Mestinya alat angkut pakan memang harus sudah diperbaiki dan ditingkatkan keamanan dari air hujan. Hal itu terutama jika alat angkut yang ada belum berupaalat angkut khusus.

Dengan alat angkut yang masih konvensional itu, maka potensi pakan menjadi rusak dan tercemar air hujan tidak bisa dihindarkan. Lebih diperparah jika kemudian gudang penyimpanan pakan di pihak peternak yang buruk, tiris bocor atau kurang ventilasi dan sirkulasi udaranya.

Maka potensi besar untuk tumbuh suburnya jamur tidak bisa lagi dihindarkan. Untuk itu, memasuki musim hujan yang secara rutin akan tejadia tidak salah jika kontrol kondisi pergudangan harus dilakukan.

Menurutnya, gangguan kesehatan oleh karena jamur, relatif sangat sulit untuk diatasi. Bahkan yang paling buruk pada ayam petelur, akan menyebabkan merosotnya produktifitas. Jika kondisi yang demikian terjadi bukan saja peternak menderita kerugian ganda, yaitu munculnya penyakit dan anjlognya produksi, akan tetapi juga ongkos untuk pengobatan yang tidak sedikit.

Selain penyakit karena agen penyakit dari jamur, menurutnya pada musim basah seperti ini adalah agen penyakit viral, contohnya adalah ND. Meski biasanya tidak bersifat tunggal alias kompleks dengan dipicu penyakit lain, akan tetapi ND adalah salah satu penyakit yang sering muncul juga pada kondisi musim basah alias musim hujan.

Umumnya munculnya penyakit itu pada situasi yang demikian oleh karena kondisi kesehatan ayam yang terganggu. Untuk itu ,ia menyarankan agar peternak meningkatkan status kesehatan ayamnya dengan meningkatkan pemberian multivitamin.

Dengan pemberian multivitamin yang baik kualitasnya maka akan mempertahankan ayam dalam kondisi yang cukup baik. Selain itu program vaksinasi harus tetap diperhatikan secara cermat sesuai program yang telah dibuat. (iyo)

ADAKAH PERAN KUCING DAN BABI PADA PENYEBARAN AI?

(( Tidak semudah kata orang soal peran kucing, babi dan lalat dalam penyebaran AI. Tetaplah tenang, hati-hati, jaga diri dengan biosecurity dan teruslah belajar. ))

Pemberitaan media massa soal peran kucing, babi dan lalat dalam penyebaran AI/Flu Burung ke manusia, dianggap banyak kalangan dapat membingungkan masyarakat. Sebenarnya hal ini bagaimana? Kepala Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor, Dr Drh Darminto menjelaskan, berdasar penelitian di Thailand.

Kucing

Umumnya, katanya, kucing resisten terhadap infeksi oleh virus influenza A. Tapi, peka terhadap infeksi virus influenza H5N1. Kucing yang diinfeksi secara buatan dengan diberi pakan karkas ayam terinfeksi virus AI H5N1 memperlihatkan gejala sakit: suhu badan tinggi, gejala pernafasan parah dan berakhir dengan kematian.
Kemudian, virus AI H5N1 dari kucing sakit dapat menular ke kucing lain yang sehat dan juga kepada macan (harimau). Di Indonesia banyak dideteksi/diisolasi virus AI dari kucing.

Namun demikian, menurut Darminto, hal ini masih perlu dipelajari lebih lanjut tentang peran kucing dalam epidemiologi AI (H5N1).

Babi

Menurut penelitian di Thailand, lanjut Dr Darminto, babi bisa diinfeksi secara buatan dengan virus AI (H5N1). Hasilnya tidak ada gejala klinis, kecuali peningkatan suhu badan ringan.Virus AI H5N1 ini dapat diisolasi ulang dari swab nasal.

Adapun, virus AI H5N1 dari babi ini tidak menular ke babi lain, atau unggas yang sekandang. Dengan demikian babi ini tidak penting dalam epidemiologi (penyebaran) AI. Khususnya di Indonesia, karena sangat sedikit masyarakat yang memelihara babi. Meskipun demikian, di Indonesia, banyak dideteksi/diisolasi virus AI (H5N1) dari ternak babi di Tangerang, Jawa Tengah dan Bali.

Lalat

Menurut Darminto, virus yang dapat ditularkan oleh serangga dikelompokkan dalam Famili Arboviridae, genus Arbovirus. Contohnya adalah virus penyebab JE, EE, BEF, Blue Tongue, RVF, DHF dan lain-lain.

Virus tersebut mampu menginfeksi serangga dan berkembang biak pada serangga tanpa menimbulkan sakit. Adapun, serangga memiliki Reseptor terhadap virus-virus itu.
Virus AI masuk dalam golongan Orthomyxovirus, tidak disebarkan melalui serangga, termasuk lalat. “Lalat tidak punya reseptor terhadap virus AI,” tegas Darminto.

Dengan demikian virus AI tidak dapat berkembang biak dalam tubuh lalat. Yang didengang-dengungkan orang lalat dapat menyebarkan AI, bukanlah virus tersebut tumbuh dalam hidup lalat alalu menular. Kemungkinan besar, menurut Darminto, hanya bersifat mekanis. Artinya hanya cemaran unggas yang mengandung virus AI yang dipindahkan oleh lalat.

Artinya pula, tidak semudah kata orang soal peran kucing, babi dan lalat dalam penyebaran AI. Jadi, tetap tenang, hati-hati serta jaga dirilah dengan biosecurity. Kita pun wajib terus belajar untuk pengetahuan yang lebih lanjut. (YR)

DOKTER HEWAN FLU BURUNG TIDAK DIPERHATIKAN KESELAMATAN HIDUPNYA

Pelaksanaan pemusnahan unggas di DKI Jakarta melibatkan banyak masyarakat tak terkecuali dokter hewan. Bahkan dokter hewan adalah pelaksana penentu karena merekalah yang dulu pada pemeriksaan titer antibodi virus Avian Influenza pada unggas, sebelum diputuskan untuk dimusnahkan.

Masih jelas dalam ingatan pemeriksaan dan pemusnahan ayam dan burung tahun 2005. Tahun 2007 ini, mereka pun dilibatkan lagi. Namun keikutsertaan dokter hewan menjadi terhambat karena pengalaman buruk di lapangan mereka tidak dibekali peralatan, peralatan kesehatan, obat-obatan makanan yang cukup untuk keselamatan kerja sekaligus kesehatan saat masuk kampung penduduk dan kandang ternak ayam di sektor 4 (pemeliharaan ayam di pemukiman)!

Peralatan, sarung tangan hanya satu, kantung bangkai membawa sendiri, tas kresek bawa sendiri, bahkan jarum suntik untuk menyedot darah hanya satu per orang! Obat-obatan tidak tersedia, suplemen untuk mempertahankan daya tahan tubuh sama sekali tidak diberikan. Bahkan selama tiga hari di lapangan setiap hari hanya mendapat makanan satu kali itu pun hanya nasi bungkus.

Padahal pekerjaan yang dilakukan untuk pemeriksaan darah adalah pekerjaan yang sangat riskan bisa menularkan virus infeksius Flu Burung! Padahal pula, para dokter hewan ini ikut berperan lantaran anjuran pemerintah (lingkup Departemen Pertanian) dan organisasi profesi dokter hewan (PDHI-Perhimpunan Dokter hewan Indonesia)!

Kondisi mengenaskan dokter hewan itu sangat berbeda dengan tim kesehatan manusia di bawah Departemen Kesehatan yang menyediakan obat, peralatan dan suplemen serta konsumsi untuk kesehatan. Bahkan tim dokter umum ini ada dana operasional.

Sungguh prinsip dari kerja profesi dokter hewan dan dokter manusia adalah sama, yaitu: melayani masyarakat, bukan untuk bisnis atau profit ekonomi! Karena jiwa sosial mereka maka seolah-olah tim dokter hewan ini tidak diperhatikan keselamatan kerja dan kesehatannya!

Tidak hanya dokter hewan di lapangan, tapi juga dokter hewan peneliti di lembaga penelitian veteriner yang ada, yang setiap hari memeriksa darah dari ternak dan juga manusia yang terkait dengan penyakit flu burung. Mereka tidak diperhatikan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan dalam menjalankan tugas, yang dilakukan bahkan sampai pada malam hari.

Seorang dokter hewan peneliti bahkan sampai positif mengidap virus H5N1 dalam tubuhnya, sampai demam-demam. Pertolongan obat-obatan dan vitamin suplemen tidak diberikan oleh instansinya. Obat Tamiflu bahkan harus diberikan oleh kolega dokter hewan yang datang dari Surabaya. Padahal dokter hewan peneliti yang bersangkutan bertempat di Bogor.

Dokter hewan peneliti itu harus memeriksa titer dan menguji darahnya sendiri dengan keahlian yang dimiliki. Mereka pun tidak mendapat dana untuk kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja untuk pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa itu.

Dokter hewan lapangan dan dokter hewan peneliti itu adalah korban dari perhatian birokrasi yang tidak siap dalam menjalankan penanggulangan flu burung sampai akar-akarnya. Tak mengherankan pada program pemusnahan kali ini banyak dokter hewan yang urung diri terlibat. Bukankah dana untuk penanggulangan flu burung ini begitu berlimpah? Mengapa pemerintah tidak sanggup memperhatikan kepentingan vital ini?

Cepat perbaiki dan perhatikan, jangan sampai jatuh korban dari kalangan yang masuk sangat riskan dengan penularan ini, juga demi suksesnya program pemberantasan flu burung! (YR)

LEBIH KENAL H5N1 DAN PENULARANNYA

(( Ia bergenus Virus Influenza tipe A. Yang diketahui adalah penularan terjadi secara horizontal Sedangkan penularan secara vertikal: tidak terbukti! ))

Kita kenal penyebab Avian Influenza di Indonesia adalah H5N1. Sebenarnya itu adalah subtipe. Kita perlu mengenal lebih dalam. Untuk gampang mengingat, agen penyebab Avian Influenza itu adalah genus Virus Influenza tipe A.

Selanjutnya kita tinggal menyebut penggolongan berdasar famili yaitu Orthomyxoviridae. Sedang sifat-sifatnya yang lain adalah ss RNA, Negative sense, terdiri dari 8 segmen, bersifat helical, beramplop, dan berdiameter 80-120 nanometer.

Mengapa virus AI subtipe H5N1 sangat penting, itu karena bersifat fatal untuk unggas, manusia dan mamalia lain. Kemudian menimbulkan suatu panzootik AI di Asia, kecuali Pakistan, dan banyak negara di Eropa serta Afrika.

Virus ini berpotensi untuk menular ke manusia di mana sampai sekarang belum ada vaksin influenza H5N1 untuk manusia. Sedangkan obat antiviral berharga mahal dan persediaannya terbatas.

Hal penting lagi soal virus ini adalah kekuatiran akan terjadinya pandemi influenza global sehubungan dengan kemampuan virus AI H5N1 untuk mengalami evolusi, adaptasi, dan reasorsi pada berbagai hospes.

Hal tersebut mempunyai dampak yang besar pada berbagai bidang ekonomik, ketahanan dan keamanan pangan, kesehatan masayarakat, sosial budaya, politik, psikologik.
Virus H5N1 bersifat enzootik pada burung liar dan dapat ditemukan pada unggas air liar yang kelihatannya sehat dan dapat menyebarkan virus AI melalui feses.

Karakteristik biologis virus AI yang mendukung kemampuannya untuk menimbulkan penyakit pada unggas dan manusia adalah komposisi virus AI sangat labil, yaitu mudah mengalami mutasi sementara virulensi dan patogenitasnya sangat bervariasi.

Reseptor virus AI pada berbagai sel hewan antara lain babi, puyuh, ayam mempunyai asam sialat dan galaktosa. Virus ini sangat mudah menular dengan pola penularan sulit diketahui.

Status Terkini

Status terkini virus AI di Indonesia, walaupun sudah terjadi perubahan (dinamika) pada virus AI isolat 2006, perubahan ini belum menimbulkan perubahan pada struktur antigenik virus.

Virus AI tahun 2006 masih tergolong subtipe H5N1, dengan sifat HPAI (Highly Pathogenic AI). Ketika pada Juli 2005 virus AI sudah mampu untuk menginfeksi manusia, masih terus dipertanyakan sebetulnya apanya yang berubah.

Sumber virus avian influenza sendiri adalah ayam sakit, melalui leleran tubuh (hidung, mulut dan mata) serta feses, unggas lain yang tertular virus AI yaitu burung puyuh, itik, angsa, burung peliharaan, burung liar, mungkin hewan lain seperti babi, manusia yang pernah kontak dengan virus AI, peralatan yang tercemar virus AI, dan alat transportasi.

Cara Penularan

Berbagai lokasi yang dapat merupakan sumber virus AI adalah peternakan ayam/unggas komersial, unggas peliharaan di pekarangan rumah (sektor 4), berbagai fasilitas umum pasar ayam/unggas, pasar burung, taman burung, tempat penampungan ayam, tempat pemotongan ayam, dan perkebunan yang menggunakan kotoran ayam sebagai pupuk.

Faktor-faktor yang berperan dalam penularan virus AI antar wilayah adalah lalulintas unggas dan produk asal unggas,transportasi kotoran ayam,mobilitas orang, kenaraan, bahan, peralatan, dan unggas/burung liar yang bermigrasi.

Cara penularan virus AI sendiri sebenarnya tidak diketahui secara pasti, apakah itu unggas liar yang bermigrasi, lalu lintas unggas/produk asal unggas, atau kotoran ayam.

Yang diketahui adalah penularan terjadi secara horizontal yaitu melalui udara yang tercemar virus AI atau kontak dekat lewat pernafasan, atau melalui kotoran/bahan yang tercemar virus AI (lewat mulut).

Adapun penularan secara vertikal disampaikan pakar AI Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD melengkapi uraian di atas: Tidak terbukti! (YR)

Hujan, Jamur, Amoniak dan Pakan Ternak

(( Dua musim yang dimiliki Indonesia yakni musim hujan dan musim panas dengan suhu dan kelembaban nisbi yang optimal memberikan kesempatan yang baik untuk jamur dapat tumbuh hidup dan berkembangbiak. ))

Musim hujan datang menggantikan musim kemarau yang hampir sembilan bulanan menyapa peternak di seantero bumi pertiwi ini. Kemarau panjang di beberapa belahan bumi khatulistiwa ini telah pula memberikan warna baru di percaturan dunia peternakan kita.

Berbagai kendala dan hambatan ditemui peternak, yang bermuara pada penemuan-penemuan baru yang seyogyanya harus dicarikan solusi pemecahannya. Kini, musim kemarau itu telah berlalu.

Seperti biasa, bumi pertiwi diguyur hujan, tak ayal hujan yang berkepanjangan telah pula menyebabkan banjir yang bermuara pada memburuknya kondisi perekonomian rakyat.
Betapa tidak, sejak musim hujan dengan banjirnya yang telah menyerang beberapa kota di Indonesia, beberapa kebutuhan pokok melonjak tinggi harganya, tak terkecuali itu, bahan pangan asal ternakpun harganya melonjak tajam.

Hujan dan Bisnis Perunggasan

Di bisnis peternakan unggas, sebut saja peternakan ayam potong atau ayam petelur, kedatangan musim hujan bukanlah sesuatu hal yang dinanti, malahan ini sedikit menimbulkan kekuatiran apa yang akan terjadi saat musim hujan itu datang.
Namun, bila dilihat dari sisi lain, hujan merupakan anugerah terindah alam. Semestinyalah kita mensyukuri “hujan” bukan untuk ditakuti. Bila bicara banjir sebagai manifestasi hujan, itu merupakan keserakahan manusia.

Lihat saja, bumi yang indah dan subur ini dibuat gundul oleh manusia, sehingga saat hujan datang tanah permukaan tak lagi mampu menahan air, maka terjadilah banjir yang dapat menyengsarakan jutaan nyawa bangsa ini.

Di samping itu, hujan yang berkepanjangan juga meningkatkan kelembaban udara, ini disinyalir sebagai kondisi yang mumpuni berbagai bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembang biak. Jamur misalnya, yang sudah sejak lama dikenal peternak sebagai agent penyakit yang dapat menimbulkan kerugian pada usahanya.

Mempedomani apa yang dikatakan Darnetty (2005), jamur yang lebih mendekati kebenaran adalah sebagai organisme eukaryotik, mempunyai inti sejati, tidak mempunyai khlorofil, mempunyai spora struktur somatik atau thalus berupa sel tunggal (uniseluler), dan umumnya berupa filamen atau benang-benang bercabang (multiseluler), berkembangbiak secara aseksual dan seksual.

Sedang dinding sel umumnya terdiri dari khitin dan selulosa atau gabungan keduanya. Kajian jamur yang juga dikenal dengan istilah cendawan ini dikupas tuntas dalam ilmu hayat atau biologi dan diaplikasikan didunia kedokteran umum termasuk dunia kedokteran hewan.

Sejauh ini, jamur masih saja dikelompokan menjadi dua golongan besar yaitu kapang dan ragi atau khamir. Berdasar pada sifatnya, ada yang safrofit, toksik, patogen dan alergen, yang dapat menyerang manusia, hewan dan tanaman maka penyakit yang ditimbulkannya ini disebut mikosis.


Jamur pada Dua Musim

Adalah Drs Zulfikar MSi akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan, kondisi iklim Indonesia sebagai negara tropis sangat cocok untuk pertumbuhan jamur.
Dikatakannya, dua musim yang dimiliki Indonesia yakni musim hujan dan musim panas dengan suhu dan kelembaban nisbi yang optimal memberikan kesempatan yang baik untuk jamur dapat tumbuh hidup dan berkembangbiak.

Misal saja jamur Aspergilus dengan dua spesiesnya Aspergilus flavus dan Aspergilus paraciticus dengan highly toxinitynya dapat tumbuh subur pada lingkungan kandang dengan kelembaban tinggi dibarengi temperatur yang relatif tinggi pula dengan kisaran diatas 25 ºC.

Sementara itu, tumbuhnya cendawan pada bahan pakan ternak misalnya, bersifat kontaminasi dengan peran aktif jamur dari golongan safrofit.
Masih menurut alumnus pasca sarjana Unpad Bandung ini menyatakan, jenis kontaminan yang tidak kalah pentingnya untuk mendapatkan perhatian peternak karena sebagian besar dapat menghasilkan zat-zat metabolit yang bersifat racun atau toksin yang
disebut mikotoksin.

Sedang akumulasi mikotoksin dalam tubuh ternak sampai ternak itu memperlihatkan gejala sakit disebut mikotoksikosis.


Jamur dan Pakan Ternak

Di dunia peternakan, keberadaan jamur sering dikaitkan dengan kondisi pakan ternak apakah itu berhubungan langsung dengan pakannya ataupun terkait pada manajemen penyimpanan pakan itu sendiri.

Seperti diketahui bahwa pakan merupakan campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukannya untuk pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi.

Artinya hanya pakan yang memenuhi persyaratanlah yang bisa memenuhi tuntutan dimaksud agar ternak dapat menjalankan tugas fungsionalnya sebagai penghasil produk pangan berupa daging dan telur yang notabenenya dibutuhkan oleh manusia untuk asupan protein hewaninya.

Perlakuan terhadap pakan sangat diperlukan, mulai dari pemilihan bahan penyusun pakan, perhitungan nilai nutrisi yang dikandung pakan sampai pada proses penyimpanan perlu diperhatikan dengan baik, hal ini bertujuan agar tidak terjadi kemungkinan buruk yang akan menimpa ternak pasca mengkonsumsi pakan dimaksud.

Sementara itu, dalam dunia kedokteran hewan, jamur patogen dengan toksigeniknya disinyalir dapat pula menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.

Debu dan Amoniak

Dalam sebuah kajian, debu dan amoniak dapat menurunkan performance broiler sampai 25 ppm. Di samping itu debu dan amoniak disinyalir juga dapat mengganggu kehidupan tetangga di sekitar areal peternakan.

Level debu di kandang dapat mencapai lebih dari 10 mg / m2, ini sudah diambang batas
pada level yang bisa diterima manusia. Kelembaban yang tinggi di udara dapat menyebabkan penyerapan amoniak ke dalam partikel debu, sehingga strategi kontrol debu perlu dilakukan untuk mengurangi konsentrasi amoniak.

Namun, pada usaha peternakan dengan permodalan yang pas-pasan, kondisi seperti ini jarang dijumpai, maka pada saat peternak lengah, jamur akan beraksi menggerogoti benteng pertahanan ayam yang diawali dengan mengkontaminasi pakan dengan toksinnya.
Sementara itu, kondisi Indonesia dengan iklim tropisnya, tetap disinyalir sebagai faktor pendukung berjangkitnya aspergilosis di usaha peternakan, terutama yang berhubungan dengan aspek lingkungan dan manajemen, kejadian penyakit immunosupresif yang tinggi terutama penyakit gumboro dan pencemaran pada inkubator yang sulit diatasi.

Kemudian dari segi penularannya, aspergilosis bisa berpindah pada ayam lainnya bila menghisap spora dalam jumlah yang banyak. Disamping itu, aspergilosis juga dapat ditularkan melalui telur saat dalam inkubator.

Penyakit dengan masa inkubasi 4-10 hari ini menunjukan gejala klinik dalam bentuk akut seperti adanya kesulitan bernafas atau dyspnoea, bernafas melalui mulut dengan leher yang dijulurkan ke atas, frekwensi nafas yang meningkat tajam, anoreksia, paralisa namun jarang dilaporkan, kejang-kejang oleh karena toksin Aspergillus sp menginfeksi otak penderita.

Sedang untuk gejala dalam kronis selalu dicirikan anoreksia, bernafas dengan mulut, emasiasi, sianosis yakni perubahan warna kulit di daerah kepala dan jengger menjadi kebiruan, dan berakhir dengan kematian. (Daman Suska)

HUJAN, MIKOTOKSIN DAN FLU BURUNG

Ketika hujan tiba, lebih-lebih pada musim penghujan, dengan kelembaban pada iklim kita yang sangat ekstrim perubahan cuacanya dari waktu ke waktu, sebagai kalangan yang bergelut dengan alam dan peternakan tentu kita sangat mafhum apa yang bakal terjadi.

Bagaimanapun kita adalah makhluk hidup yang harus terus menyeimbangkan diri kondisi internal tubuh kita dengan lingkungan dan segala perubahannya. Tanpa keseimbangan ini, terlebih bila kita bersikap sembrono terhadap segala macam faktor penentu kesehatan, dapat diprediksi masalah penyakit bakal menimpa.

Untuk menyiapkan diri kita siapkan segala ‘perlengkapan senjata’ yang ada. Bahkan analisa berdasar yang sudah terjadi menjadi pegangan untuk membuat prakiraan yang bakal terjadi sehingga segenap perlengkapan senjata itu berlaku secara sempurna.
Peternak sudah sangat terbiasa dengan kemungkinan menjamurnya mikotoksin di musim penghujan, maka Infovet mengangkat hal ini. Sangat berfaedah bagi peternak, itu berdasar pengakuan banyak peternak. Menampilkan berbagai tulisan ini adalah tugas kami.

Namun penyakit bukanlah pemain single kejuaraan badminton, mereka sukanya lebih dari main beregu, yaitu: Main keroyokan! Maka tulisan tentang mengeroyoknya penyakit pernafasan dan pencernaan pun kami nagkat.

Pada saat bersamaan, dunia perunggasan kembali ditimpa musibah Tsunami kedua bagi peternakan unggas, hanya karena kasus kematian manusia di sektor 4 (pemeliharaan ternak di pemukiman penduduk) bertambah memposisikan Indonesia menjadi negara dengan kasus Flu Burung tertinggi di Asia.

Padahal peternakan komersial sungguh-sungguh sudah lega dalam tahun terakhir tidak ada alias negatif kasus AI di peternakan khususnya sektor 1 dan 2 (peternakan komersial besar dengan biosecurity sangat ketat dan peternakan menengah dengan biosecurity cukup ketat). Sedangkan di sektor 3 meski terjadi sedikit, nyaris tak terdengar keluhan.

Apa yang sebetulnya terjadi? Kasus AI dan Flu Burung di sektor 4 membuat peternak di sektor 1, 2, dan 3 mesti ikut introspeksi dan lebih waspada, berperang melawan opini masyarakat luas, melawan kebijakan pemusnahan unggas, sekaligus melawan berbagai penyakit lain dengan pengelolaan peternakan sebaik-baiknya dan bersahabat denagn alam lingkungan agar tidak menyatroni peternakan.

Maka di musim penghujan kali ini, sajian Infovet menjadi sangat kaya, dan kita memberi judul yang sungguhlah akrab dengan kalangan peternakan: HUJAN, MIKOTOKSIN DAN FLU BURUNG. (Yonathan Rahardjo)

Jamur dan Flu Burung

Semua penyakit pada umumnya terkait dengan faktor immunosupresi. Begitu juga dengan infeksi jamur yang bersumber dari pakan. Kondisi musim hujan saat ini meningkatkan kelembaban ruang penyimpanan pakan yang pada gilirannya meningkatkan kadar air dalam pakan ternak. Lingkungan seperti ini yang menjadi media tumbuh suburnya jamur. Jamur yang tumbuh menghasilkan racun (toksin) sebagai sisa hasil metabolismenya.

Jika racun ini masuk dan terakumulasi dalam jumlah banyak dalam saluran pencernaan ayam mengakibatkan kerusakan yang permanen dan bahkan kematian. Racun dari jamur disebut miktoksin dan penyakitnya disebut mikotoksikosis. Terlebih bila dikaitkan dengan sistem kekebalan yang juga menurun, pastinya akan membuka peluang bagi penyakit lain untuk masuk, seperti gagalnya program vaksinasi Avian Influenza, Marek, ND, CRD, dll. Demikian diungkapkan Drh Hadi Wibowo praktis perunggasan di Jakarta saat ditemui Infovet dikediamannya.

Menurut Hadi, Jamur yang terdapat dalam bahan pakan tidak mati dengan antibiotik dan desinfektan, karena letaknya yang jauh didalam pakan, sehingga perlakuan penyemprotan dengan desinfektan dan antibiotik tidak akan mampu menjangkaunya. Nah, yang paling bisa dilakukan adalah dengan menjaga suhu lingkungan penyimpanan agar tetap tinggi dengan kelembaban sedang.

Ia pun mewaspadai akan adanya infeksi penyakit lain akibat infeksi jamur. Sebagai contoh AI, karena Avian Influenza mempunyai gejala klinik dan patologi anatomi yang lengkap, ia kadang bisa mirip dengan ND, Cholera, Coryza, Aspergilosis, dll. Karena sifat virus AI yang menyerang semua sistem.

Waspadai 3 Jenis Jamur

Hadi menjelaskan, penyakit yang disebabkan oleh jamur diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama adalah Aspergilosis yang merupakan penyakit pernapasan akibat infeksi jamur Aspergilus sp. (A.fumigatus, A.niger dan A.glaucus). Aspergilosis juga dikenal dengan nama mycotic pneumonia yang ditandai dengan lesi mengkeju pada paru dan kantung hawa, morbiditas dan mortalitas tinggi, penyebab. F

aktor pendukung timbulnya Apergilosis terutama berhubungan dengan aspek lingkungan dan manajemen, misalnya temperatur dan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan jamur, liter yang basah dan lembab, ventilasi yang kurang memadai, pakan atau bahan baku lembab dan tercemar jamur, kejadian penyakit imunosupresif yang tinggi (terutama Gumboro), dan pencemaran pada inkubator (mesin tetas) di hatchery yang kerapkali sulit diatasi.

Kedua adalah Kandidiasis yang disebabkan jamur Candida albicans. Jamur ini tersebar luas dialam sehingga digolongkan sebagai patogen oportunistis. Kandidiasis biasanya menyerang saluran pencernaan bagian atas terutama tembolok dan sering berperan sebagai penyakit sekunder. Secara normal jamur ini ada pada saluran pencernaan, dan bila kondisi badan turun, maka C. albicans akan tumbuh pada selaput lendir dan menimbulkan lesi yang ditandai dengan penebalan berwarna keputihan pada mukosa tembolok dan kadang-kadang pada rongga mulut, esofagus, dan proventrikulus.

Penyebab Kandidiasis umumnya adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotik yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh akibat strers. Dan defisiensi nutrisi.

Ketiga adalah Favus yang merupakan infeksi jamur kronis di bagian eksternal yang juga dikenal dengan Jengger Putih. Favus disebabkan oleh infeksi jamutr Trichophyton sp. penyekit ini menyebabkan lesi dan keropeng pada bagian jengger namun tidak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan dua penyakit yang disebutkan sebelumnya.

Akibat infeksi penyakit diatas menimbulkan dampak ekonomi yang besar terutama pada broiler karena rusaknya saluran pernapasan dan pencernaan menghambat proses penyerapan nutrisi yang berakibat lambatnya pertumbuhan. Pertumbuhan terhambat hingga 40% bahkan terhenti atau mati jika disertai dengan infeksi penyakit lain. Ditemukan kasus hingga umur pemeliharaan 23 hari, broiler yang terinfeksi jamur hanya mencapai bobot 6-7 ons, broiler normal pada umur yang sama mencapai bobot 1 kg.

Mekanisme menekan pembentukan kekebalan akibat infeksi jamur, dijelaskan Hadi, akibat proses penyerapan nutrisi yang tidak sempurna menyebabkan pertumbuhan terhambat. Begitu juga dengan pembentukan sel-sel yang berperan untuk membentuk antibodi dari antigen. Yaitu terganggunya proses pembentukan makrofag, sel T helper dan sel B yang berperan dalam proses pembentukan antibodi. Jika ketiga sel-sel ini jumlahnya kurang maka program vaksinasi yang kita jalankan bisa dipastikan gagal. Oleh karenanya dibutuhkan faktor penunjang seperti penggunaan imunomodulator selain mencegah infeksi jamur.

Pencegahan dan Pengobatan

Menurut Prof Charles Rangga Tabbu dalam bukunya yang berjudul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Vol 1, sesungguhnya pengobatan untuk infeksi jamur ini hingga saat ini belum ada, namun untuk menekan infeksi bisa digunakan fungistat seperti mikostatin, Na atau Ca propionat bersama pakan dengan/tanpa larutan 0,05% CuSo4 dalam air minum untuk menghambat pertumbuhan jamur. Pemberian multivitamin, terutama vitamin A akan menekan derajat keparahan penyakit tersebut.

Penting untuk menghilangkan sumber infeksi dengan menyemprot litter dengan desinfektan sekaligus menjaga kualitas litter tetap kering sehingga terhindar dari pencemaran jamur. Suhu ruang penyimpanan pakan diusahakan tetap dengan kelembaban tidak tinggi sehingga tidak kondusif untuk tumbuhnya jamur. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer