Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Infovet 144, Juli 2006 - FREE DAN FAIR BISNIS-BISNIS KITA

Bukan berarti ketika perhatian sebagian besar masyarakat dunia dan Indonesia tersedot helat akbar Piala Dunia sepakbola, perhatian terhadap peristiwa-peristiwa lain terabaikan. Malah masing-masing bisa saling belajar. Dunia kesehatan hewan dan peternakan hewan pun dapat belajar dari peristiwa-peristiwa itu.

Bagi profesional sepak bola apalagi tingkat dunia, bola sudah merupakan bisnis dan lahannya sangat menggiurkan. Jalan tol untuk menyedot perhatian salah satunya rupanya itu: bisnis. Di bidang peternakan, lihat saja kasus AI atau Flu Burung, mengapa menyedot perhatian? Bukan sekedar nyawa manusia taruhannya, tapi juga nilai bisnis di balik semua kasus tewasnya berjuta-juta ekor ayam sebelum akhirnya merayap membetot nyawa orang. Bisnis bibit, obat hewan peternakan, dan kini bisnis obat manusia!

Apa istimewanya kalau semua dikaitkan dengan bisnis? Setelah nilai-nilai kebebasan diterapkan dalam bisnis, kini perlu bisnis yang "fair", bisnis yang adil, bisnis yang beradab.

Terkait dengan kesepakatan dengan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), Indonesia tak bisa lepas dari bisnis yang bebas (free trade, perdagangan bebas). Namun terlebih dari itu dibutuhkan fair trade (perdagangan yang adil).
Itulah masalahnya, tarik ulur yang akan selalu menyeimbangkan dunia bisnis yang senantiasa menarik (bagi pebisnis tentunya). Sepak bola yang menawan butuh keadilan, sehingga berbagai disiplin diterapkan dalam permainan sampai laga pertandingan berakhir. Bisnis peternakan dan kesehatan hewan pun demikian!

Masalah flu burung dikaitkan dengan isu paha ayam impor, menjadi penyeimbang antara bisnis dan keadilan itu. Kaum peternakan pun diketuk hatinya oleh gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang secara menyedihkan memangsa nyawa penduduk tak berdosa, juga menyumbat rejeki termasuk di bidang peternakan dan kesehatan hewan ketika masalah AI masih menyisakan pekerjaan rumah berbagai taktik dan strategi dalam upaya membereskannya.

Apapun tarik ulur antara bisnis yang bebas, bisnis yang adil, dan nilai-nilai kemanusiaan, toh bisnis tetaplah jalan. Dalam konotasi negatif sering disorot upaya-upaya pengerukan kekayaan secara "free" dengan minimal "fair"nya. Namun secara positif, bagaimana pun terbukti bisnis adalah penggerak utama kehidupan masyarakat (setidaknya pada sistem yang sudah terlanjur terbentuk demikian).

Menyikapi secara arif akan memantapkan semangat para pelaku bisnis sendiri. Kita perlu saling belajar tentang kiat dan seluk beluk bisnis yang sehat ini dari sesama pelaku, baik di bidang obat hewan, bibit, pakan, sarana prasarana peternakan, maupun tetek bengek di sekitarnya. Teristimewa belajar dari berbagai bidang kehidupan lain.

Selanjutnya, tetap pada prinsip-prinsip dasar, kita lakukan segala sesuatu yang menjadi komitmen, tugas, kewajiban dan tanggung jawab kita dengan penuh kesetiaan, kesabaran, ketenangan, sampai pertandingan bisnis dan pertandingan kehidupan berakhir. Serta sekali-sekali melakukan perubahan, penyesuaian, pengembangan, setelah dalam menjalani perkembangan membutuhkan tindakan-tindakan taktis diterapkan.

Sebutlah pekerjaan rumah yang sampai kini butuh sentuhan strategis dan taktis "free" dan "fair" itu satu demi satu. Yakinkan diri pada prinsip dasar dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya. Niscaya kaum peternakan dan kesehatan hewan akan senantiasa dapat menyikapi perkembangan dan perubahan yang berlaku.ž (Yonathan Rahardjo)

Infovet 145, Agustus 2006 - CARA SAKTI UNTUK SUKSES

Suatu kegiatan yang terarah, terfokus dan terukur, menjadi satu modal kuat untuk mencapai kecuksesan. Keberhasilan usahawan mencapai puncak-puncak prestasi sehingga menjadi penggerak-penggerak utama perekonomian pasti melalui tahap yang begitu. Tidak dalam sehari usahawan berhasil membangun bangunan usaha yang dapat disimbolkan dengan menjulang tinggi mencakar langitnya gedung yang banyak menjadi lambang dan citra kesuksesan serta gengsi. Usaha keras, pikiran cerdas, disiplin ketat laksana peribahasa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, adalah cermin kuat perlunya komitmen dan konsistensi dalam melangkah.

Bahkan, perhitungan antara usaha dan dana yang dikeluarkan untuk mencapai hasil tertentu bagi usahawan, perlu dan harus dapat diperkirakan. Keberhasilan dalam mencapai target adalah kepuasan dan tolok ukur dari kecermatan dalam memprediksikan perolehan, capaian, dan hasil dari usaha yang dikeluarkan. Sehingga, setiap tenaga, dana, uang, cucuran keringat, air mata, waktu yang dikeluarkan tidak menguap secara percuma dan sia-sia.

Target yang ditetapkan bagi usahawan adalah target yang realistis, rasional dan dapat dijangkau. Meskipun ada target tertinggi, terbaik atau target optimis, tetaplah usahawan biasanya memberikan target minimal, pesimis, sehingga pada dasarnya ada yang paling mungkin dapat dijangkau dengan penuh keberhasilan. Sebab, keberhasilan mencapai target mempunyai makna dan memberi kepuasan tersendiri untuk berprestasi dan makin berprestasi.

Keberhasilan-keberhasilan perusahaan di bidang peternakan dengan citra cemerlang itu dapat terasakan ketika masyarakat peternakan dan masyarakat umum masuk arena Indolivestock Expo 2006 di pusat pameran di Ibukota Negara, Jakarta, awal Juli. Energi kesuksesan sungguh terasa. Terjadilah komunikasi antar para pengunjung dan peserta pameran. Terjadilah pertukaran energi antar mereka. Khususnya yang berani dan suka berkomunikasi.

Memang untuk meraih kesuksesan, salah satu langkah penting adalah menciptakan energi positif di antaranya dengan menanamkan nilai-nilai positif baik dengan bacaan, maupun komunikasi dengan mereka yang sukses. Transfer nilai positif inilah yang dilakukan Infovet dengan setia mengunjungi pembaca. Dengan materi dari berbagai pelaku kesuksesan bidang peternakan dan kesehatan hewan, selanjutnya tinggal cara kita merefleksikan dan mengolah hal positif untuk kehidupan sesuai dengan usaha dan kegiatan masing-masing.

Kalau usahawan sukses mempunyai cara meraih kesuksesan dengan standar ketat keseimbangan antara usaha yang dikeluarkan dan hasil yang terestimasi, siapapun baik untuk mempertimbangkan hal ini. Boleh sesama pengusaha, akademisi, pejabat, bahkan aktivis.

Walau, untuk aktivis, terdapat perbedaan paradigma antara usaha dan hasil, karena bagi aktivis sudut pandangnya bukanlah keuntungan, melainkan perubahan nilai dari sasaran yang diperjuangkan, seperti bebasnya Indonesia dari flu burung bagi aktivis pembebasan flu burung, atau nilai-nilai penyadaran bagi masyarakat terhadap pentingnya konsumsi protein hewani bagi aktivis peternakan. Memang nilai-nilai dalam aktivisme lebih bersifat kualitatif dibanding nilai kuantitatif yang secara dominan dimiliki oleh para usahawan alias pebisnis.

Namun upaya menghitung secara kuantitatif seperti yang dilakukan oleh pebisnis merupakan suatu upaya yang penting untuk mencoba memberi ukuran bagi setiap kualitas, dan rupanya membuat bidang bisnis menjadi begitu mudah membedakan antara usaha dan hasil dibanding kaum pergerakan yang lebih kompleks memperhitungkan usaha, nilai, uang, tenaga yang dikeluarkan untuk suatu hasil perubahan tertentu. Setidaknya merupakan pemikiran, saatnya mengoreksi diri apakah pelaku kegiatan di berbagai bidang sudah melakukan yang terbaik di bidangnya dengan cara-cara yang tepat dan manjur bin sakti.

Di era moderen ini, kesaktian sendiri ternyata dapat didefinisikan dan dimaknakan dalam banyak arti, terutama dalam kaitannya dengan kesuksesan. Sekedar contoh di awal tulisan ini pun boleh dikata sebagai cara sakti untuk sukses. Jaman dulu pun, para pendekar sakti mempunyai dan atau memperoleh kesaktiannya melalui cara berliku dan maha sulit. Persis yang dilakukan usahawan dengan berbagai variasi kesulitan.

Tentu Anda setuju. Maka, ayo terus maju! (Yonathan Rahardjo)

Infovet 146, September 2006 - LABIRIN KEBIJAKSANAAN

Kepercayaan diri bangsa ini sungguhlah, ternyata, lemah. Begitu melimpah ruah kekayaan alam yang dimiliki, tidak juga membuat yakin diri bahwa sesungguhnya segala kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara dapat dicukupi dengan mengelola dan memanfaatkan semua anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa pada bumi tanah air yang kaya.


Modal plasma nutfah hewan asli di tanah air Indonesia sungguhlah masuk jajaran terbanyak di dunia. Namun manusia-manusianya kedodoran mansyukuri dan menjaga serta memanfaatkan. Ketika di dunia internasional terjadi pertarungan harga diri dalam wujud imperialisme baru di bidang ekonomi, bangsa ini secara tidak sadar sudah menggadaikan berbagai anugerah itu dengan tidak mengindahkan kepemilikannya. Hak kekayaan alam dan intelektual diabaikan, dibiarkannya bangsa maju mencuri berbagai hak paten yang sebetulnya milik asli Indonesia. Berbagai plasma nutfah asli Indonesia sudah dipatenkan negara lain. Pengembangan satwa asli Indonesia (contoh Jalak Bali di Jepang) sudah jauh melebihi pengembangannya di habitat aslinya sendiri.


Siapakah yang terlibat untuk semua ‘kemiringan’ itu? Sangat mirip perlakuannya dengan di bidang peternakan. Sejak era orde pembangunan tak terhitung lagi biaya dikucurkan untuk pembangunan peternakan. Proyek demi proyek dibangun untuk mempertahankan ternak Indonesia bahkan dengan balai-balai inseminasi buatan, balai embrio ternak, balai-balai pengembangan peternakan. Acara demi acara diselenggarakan untuk mendukung proyek-proyek itu. Tak terhitung lagi seminar, pelatihan, kunjungan ke dalam dan luar negeri, pembentukan lembaga-lembaga pendukung, pengalokasian dana-dana untuk menyediakan ternak yang dikembangkan, dan lain sebagainya. Dan lain sebagainya.


Harapannya sungguhlah bisa diterima, negeri ini serba berkecukupan dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani, dengan tersedianya ternak penghasil daging, susu dan telur yang cukup. Suatu saat dibanggakanlah keberhasilan temporer. Namun apa yang terjadi sesungguhnya setelah sekian lama waktu bergulir hingga kabar terakhir? Sungguh mengenaskan. Birokrat peternakan mengaku masih saja kekurangan ternak Indonesia, dianggap tidak dapat mencukupi kebutuhan daging dan hasil-hasil produksi peternakan.


Wajar bila kita bertanya kemana semua dana yang makan pajak rakyat dalam anggaran pendapatan belanja negara? Pemerintah pun masih tak bergeming berpendapat tidak ada jalan lain untuk mencukupi kebutuhan protein hewani ini dari negeri asing.


Kran impor yang terjaga begitu ketat untuk tetap menjaga bebasnya negeri ini dari penyakit ternak menular mulai sedikit demi sedikit digoyang. Resiko penyakit menular dari negara asal ternak itu, resiko berbagai pembebasan impor dari zona-zona bebas yang diperdebatkan, seolah bukan lagi momok hanya untuk memenuhi anggapan kebutuhan produk asal ternak yang konon tidak bisa dipenuhi di dalam negeri.


Untuk membebaskan diri pada penghakiman terhadap pemerintah, kita bertanya ketidakberhasilan program pencukupan ternak selama puluhan tahun pembangunan ini, apakah semata-mata kesalahan pemerintah? Sorotan terhadap kinerja dan ketekunan, kedisiplinan peternak dilakukan. Sorotan terhadap komitmen dan dedikasi para ilmuwan untuk meneliti dan menyuarakan kebenaran pemikiran yang berpihak pada keunggulan dalam negeri dipertanyakan. Kesetiaan para pemikir untuk mempertahankan kekuatan dan kepercayaan diri pada kekayaan alam yang tidak terlalu moderat terhadap hasrat ekonomi segelintir golongan dipertanyakan. Keteguhan para pelaku ekonomi untuk tidak mengumbar hasrat penguasaan ekonomi sendiri dipertanyakan.


Betul kita telah terjerumus dalam era global di mana gurita penguasaan yang kuat terhadap yang lemah begitu kuat. Betul kita sudah terikat oleh berbagai konvensi, traktat, pakta, kesepakatan ekonomi dengan negara-negara internasional. Sungguh kita telah begitu menghamba pada keinginan ekonomi yang seolah-olah sudah menjadi kebutuhan. Sungguh kita sudah masuk labirin kebijaksanaan. Antara yang praktis dan yang hakiki sungguh kita perlu memperpendek jarak yang memisahkan keduanya. Dengan rendah hati, majalah ini hadir untuk setidaknya kita bersama-sama membangun jembatan kebijaksanaan ini. (Yonathan Rahardjo)

Infovet 147, Oktober 2006 - SELAMAT! AGAR KITA BAIK-BAIK SAJA

Pengharapan terhadap perbaikan masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat dalam pemenuhan kebutuhan produk asal ternak selalu ada, meski berbagai kendala membelit laksana gurita yang bilamana satu kaki gurita dilepas, kaki yang lain akan membelit.

Sikap yang sempurna untuk segala kebaikan dalam mengambil dan menjalankan kebijaksanaan diminta oleh alam kepada seluruh keluarga besar masyarakat Indonesia dan masyarakat peternakan dan kesehatan hewan untuk diwujudkan dalam konsep strategi serta aplikasi praktisnya.

Pemimpin pemerintahan yang mengurusi sektor peternakan dan kesehatan hewan, mau tak mau harus berperan sebagai kepala rumah tangga, suami dan ayah yang baik dalam bekerjasama dengan semua unsur masyarakat peternakan dan kesehatan hewan.

Sikap bijaksana ini mutlak dimiliki seiring dengan hak-hak dan kewenangan serta ‘berkat-berkat’ yang ternyata dengan mudah dilihat dalam kehidupan pembesar pemerintahan dengan berbagai kekayaan pribadi yang jauh kontras dibanding saat sebelum menjadi pejabat.

Lebih dari berkat ‘sampingan’ itu, yang luhur adalah bagaimana berbagai upaya dan usaha untuk perbaikan perikehidupan masyarakat dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan tidak terhambat. Laksana doa-doa untuk perbaikan taraf hidup dan perekonomian, jangan sampai terhalang oleh perbuatan melenceng dan tidak bijak dari para pemimpin dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikannya pada seluruh lapisan bawahan dan seluruh rekanan kerja pendukung.

Dibutuhkan kebenaran, keadilan, kepatutan dan kebijaksanaan setiap pengambilan kebijakan penggede itu, yang hanya bisa didapatkan dengan keheningan dan pimpinan Tuhan Yang Maha Bijaksana. Para pemimpin mesti menaklukkan kepentingan pribadi. Tanpa semua itu setiap jalan yang ditempuh untuk meningkatkan perikehidupan dunia peternakan dan kesehatan hewan kita akan selalu berputar-putar dan berkutat pada lorong-lorong labirin yang tak jelas jalan keluarnya.

Jalan keluar adalah lolosnya seluruh elemen masyarakat peternakan dan kesehatan hewan mengatasi semua permasalahan tanpa tendensi untuk membela satu golongan yang menguntungkan pribadi, tapi membela seluruh keluarga besar masyarakat peternakan dan kesehatan hewan dengan menempatkan permasalahan secara obyektif untuk kepentingan nasional yang terbangun positif dan berkelanjutan, bukan pembangunan kepentingan jangka pendek semata.

Semua tindakan mesti dilandasi dengan niat luhur tersebut. Tanpa nilai luhur, semua perbuatan dibumbui pernyataan resmi pemerintah dan slogan-slogan penyadaran masyarakat untuk mendukung dan ‘mendoktrin’ masyarakat tak akan ada gunanya. Malah bisa seperti gong yang nyaring bunyinya, tapi tanpa isi dan esensi.

Pernyataan pemerintah juga para pengambil dan pelaku kebijakan di bidang masing-masing hanya bisa sejalan dengan kebijakan yang baik bilamana terjadi hubungan, komunikasi dan silaturahmi antar segenap elemen itu. Bagaimana semua memikirkan dan melakukan hal yang baik-baik dalam tujuan besar menjadi keluarga besar masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, tanpa ada dominasi pihak tertentu, di mana ada suatu dominasi menjadi sinyal ada suatu hal yang dipertanyakan.

Sekarang adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk menjadi orang yang tepat dalam berpikir dan bertindak. Dengan memperhatikan kepentingan orang lain, sekaligus memelihara pertumbuhan internal dalam kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang justru merupakan esensi dalam kehidupan apapun termasuk bidang perekonomian, di mana perekonomian yang melepaskan diri dari nilai-nilai sosial akan menjerumuskan kita dalam masalah ketidakadilan seperti yang dialami bangsa Indonesia dalam krisis yang belum lagi usai.

Bila nilai-nilai esensi itu melekat dalam diri seluruh unsur dari pemimpin pembangunan sebagai kepala rumah tangga hingga unsur di pelosok pedesaan, hal itu akan menjadi suatu tabiat dan karakter seluruh bangsa yang kuat sebagai perwujudan pembangunan karakter bangsa yang bermartabat dan berbudaya yang diperjuangkan sejak kemerdekaan setelah melalui masa-masa panjang penjajahan.

Bila kita buat suatu garis lurus untuk mewujudkan cita agar kita baik-baik saja itu, setelah punya keyakinan yang melekat untuk semua hal yang baik, kita pun menambahkan dengan kebajikan. Kebajikan kita tambah dengan pengetahuan. Pengetahuan kita tambahkan dengan pengharapan. Pengharapan kita tambah dengan pengendalian diri. Pengendalian diri kita tambah dengan ketekunan. Ketekunan kita tambah dengan kesalehan. Kesalehan kita tambahkan dengan kasih, kepada kalangan terdekat yang sama-sama menggeluti dan menikmati rejeki di bidang peternakan dan kesehatan hewan, lalu kepada seluruh masyarakat bangsa dan negara Indonesia, dan, seluruh umat!

Garis lurus itu tentu tepat dengan suasana saat ini: Selamat Lebaran bagi yang merayakan!! (Yonathan Rahardjo)

Infovet 148, November 2006 - PENENTU PERADABAN BISNIS

SEMUA organisasi membutuhkan pengelolaan organisasi yang benar, baik itu organisasi profesional maupun vokasional. Tak peduli itu Lembaga Bisnis atau LSM, Profit Oriented atau Non Profit, yang paling dipentingkan di sini adalah spirit lembaga yang benar. Kalau spiritnya profit, jadilah profit yang beradab, bukan biadab.

Demikian juga kalau non profit, jadilah non profit yang beradab, bukan non profit kurang adab. Sekaligus perenungan terhadap kondisi dunia dan Indonesia secara keseluruhan. Mengapa lingkungan kita rusak begitu hebat padahal selama puluhan tahun kita menerapkan Ekonomi Pancasila yang dikeramatkan dan dijunjung setinggi langit kesaktian, humanisme, dan keberadabannya? Malahan kita kalah sama negara-negara barat, yang secara terang-terangan mengklaim sebagai negara kapitalis murni?

Jawabnya, ternyata dengan ekonomi Pancasila bangsa Indonesia dalam prakteknya justru menjadi KAPITALIS PRIMITIF. Kapitalisme biadab, yang semua nilai-nilai luhur hanya lewat sebatas slogan-slogan normatif yang kosong melompong bak tong kosong berbunyi berglontang. Prakteknya terlalu berat untuk menyangga predikat bangsa luhur, akibatnya terjadi hukum rimba, yang berkuasa membiadabi yang diperintah.

Jangan-jangan, hal ini juga terjadi pada sektor peternakan dan kesehatan hewan yang jadi bidang kerja kita. Kata Government yang semantiknya dari Governness, INANG PENGASUH sudah dikebiri menjadi kata PEMERINTAH yang mengekspoitasi yang diperintah. Manivestasinya merasuk dalam segala sendi kehidupan, rakyat yang seharusnya dilayani (diasuh) justru menjadi diperintah, dikuasai, dikangkangi, dijahati, yang dengan sendirinya berakibat pada lingkungan yang ikut diperkosa keberadaannya.

Boleh dipertimbangkan (benar atau tidak tergantung kacamata sudut pandang tertentu) pada negara-negara maju, sekalipun mereka kapitalis tetap dalam frame Kapitalis Beradab, yang lebih mengedepankan nilai-nilai etika, kemanusiaan, persamaan hak, demokrasi dan hak azasi.

Karena memposisikan rakyat sebagai yang dilayani, dan pemerintah adalah pelayan, maka
suara rakyat adalah SUARA TUHAN, SUARA TUAN. Apapun yang menjadi kebutuhan rakyat, permintaan rakyat, government harus mengakomodir. Efeknya cukup positif bagi lingkungan, karena lingkungan yang baik muncul dari suara-suara rakyat terhadap kebutuhan lingkungan nyaman dan itu didengarkan.

Dalam konsep yang demikian, tidak salah kita tetap berorientasi pada Bisnis, tapi tetaplah Bisnis yang beradab, sekali lagi bukan Biadab. Artinya di mana pun kita berada, sekalipun orientasi utamanya pada bisnis, asal dipagari dengan etika, norma, humanisme, dan susila yang baik, itu tetap PUTIH. Itu lebih baik daripada lembaga yang mengaku sebagi penyelamat lingkungan tapi ternyata cuma berbisnis tak kentara. Juga dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan.

Pertanyaan ini harus terus-menerus didengungkan dalam mata batin kita: apakah kita merasa cukup melakukan terbaik bagi Tuhan kita, Alam kita, Lingkungan kita, dan Sesama kita dalam posisi kita di dunia bisnis, atau dunia yang bukan bisnis? Di manakah kita merasa dapat memberikan yang terbaik untuk pilihan dalam hidup?

Semua ada konsekuensinya. Kalau memilih bisnis, tentu semakin banyak keuangan bisa dipenuhi untuk bisa melakukan banyak hal minimal lewat orang lain. Sang bisnisman cukup menyalurkan perhatiannya. Konsekuensinya, rasa untuk langsung mengabdi pada IDEALISME, berbuat baik kepada sesama dan lingkungan menjadi berkurang. Karena memang tidak tergarap langsung. Walau tentu kebenaran hal ini bisa diperdebatkan. Di sini Kita bisa merasa nyaman jika dalam mencari duit dalam bisnis Kita pun berkata, “Mencari duit itu Ibadah, saya cukup puas bila dapat menyalurkan hasil kerja keras ini pada teman-teman dan sesama yang membutuhkan.”

Maka Kita akan menggenjot diri dan waktukita untuk mencari Al Rupiah atau El Dollar. Sementara untuk mengisi kekosongan jiwa dalam berkemanusiaan, kita akan menyisihkan sebagian waktu kita dalam kegiatan-kegiatan berorganisasi dan berkemanusiaan, termasuk peduli lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Contohnya, seperti yang dilakukan banyak perusahaan obat hewan dan peternakan yang ikut memperhatikan dan membantu korban bencana alam Tsunami di Aceh, Gempa Bumi di Yogyakarta dan Tsunami di Pangandaran.

Sebagai bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) alias tanggungjawab Sosial Perusahaan, pihak perusahaan tentu sadar sesadar-sadarnya wujud dari kepedulian perusahaan itu tak cukup cuma saat ada bencana semata. Namun dalam keseharian bisnis mesti ada alokasi dana dan program penyeimbang eksplorasi dan pemeliharaan lingkungan dan kepedulian sosial!

Dengan ketrampilan dalam Memanaje, Mengelola, Memanfaatkan sekitar sumber daya yang ada, bentuk bisnis maupun tanggungjawab sosial itu dapat dijalankan secara lateral dan terintegral. Tinggal mengatur komponen-komponen yang diperlukan! Sumber Daya Manusia, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Pendukung! Dengan memegang dan menjalankan kata-kata kunci: TERPANGGIL, MAU, BATIN NYAMAN, DAN MAMPU, niscaya antara bisnis dan tanggungjawab sosial dan berlingkungan dapat berjalan secara harmonis dan beradab.ž (Yonathan Rahardjo)

Infovet 149, Desember 2006 - PINTU DUA MASA

Tiba-tiba pintu yang menjadi pemisah sekaligus penghubung antara dua tahun yang berbeda: terbuka. Bukan suatu kebetulan, namun mesti dan pasti terjadi. Sedangkan waktu telah bergulir, yang menjadikannya terasa tiba-tiba adalah kekurangsadaran bahwa masa itu akan datang. Apakah terlalu asyik bekerja, ataukah asyik menikmati hidup dan membiarkannya mengalir begitu saja.

Asyikkah kita mengejar terbang dan melayang membumbung tingginya harga jagung jauh meninggalkan ternak-ternak yang tetap tenang tinggal di kandang? Asyikkah kita mengejar meliuk-liuk naik turunnya harga-harga semua barang dagangan termasuk sarana produksi peternakan dan kebutuhan hidup yang membuat otak mesti diperas berpikir untuk menentukan prioritas utama yang mesti dibeli dan dimiliki?

Asyikkah kita terus berkutat pada perilaku teknis yang mesti terus diasah agar tak ketinggalan perpacuan bisnis, perpacuan ilmu dan teknologi bahkan parpacuan nyawa ternak sekaligus kita sebagai manusia pemelihara yang telah diberi kuasa untuk menguasai, menjaga dan mengawasi tumbuhkembangnya segala yang bernafas di bumi baik tumbuhan, maupun hewan yang telah menjadi sahabat sekaligus pemasok pangan untuk hidup?

Asyik yang mana pula? Asyik mengejar puncak-puncak peradaban, membangun, dan menata setiap batu di atas pondasi yang telah digelar dan menancap kuat pada bumi yang diciptakan Ilahi? Ataukah asyik menggali lobang demi lobang dalam segala bentuknya yang memperosokkan kita pada lembah dan jurang kebodohan yang tak terperi?

Ataukah kita merasa telah membangun peradaban namun pada kenyataannya justru menggali kubur untuk kematian diri sendiri? Seperti yang sudah nyata di mata: kekayaan minyak kita, dengan bangga dan pongah (sekaligus bodoh) kita percayakan pada investor asing dengan penguasaan mayoritas bahkan ada yang sampai 100 persen. Pun, sudahkah kita juga menyadari, aset bangsa dan negara Indonesia Raya (yang didirikan dengan tumpahan darah para syuhada yang orang tua kita sendiri) di bidang peternakan ini, siapa yang punya?

Berapa besar kontribusi penguasaan aset itu yang diberikan untuk negara dan kesejahteraan dan hajat hidup manusia-manusia keturunan para pejuang dan siapapun yang telah berdarah-darah mempertahankan setiap jengkal tanah yang menghidupi dengan air minum dan pakan yang tumbuh di atasnya?

Pun, berapa besar penguasaan negara (yang sekian persen dari yang dikuasai negara asing) yang benar-benar jatuh sampai ke tangan peternak, orang kecil, masyarakat banyak, sebagai pemilik sah negeri zamrut khatulistiwa ini? Bukan yang masuk pada penguasaan para pemilik kantong besar yang menduduki kantung-kantung strategis yang mengendalikan setiap pengambilan kebijakan dan pendistribusian aplikasinya?

Agaknya, dalam hal ini kita mesti terus diingatkan supaya tidak silau pada gemerlap-gemerlap kesuksesan materi dari bisnis-bisnis semata. Meski itu sah dan wajib hukumnya pada suatu perpacuan bisnis dan pembangunan. Kita yakin itu memang tugas untuk mengeksplorasi dan mensejahterakan hidup, namun setiap keyakinan kita mesti selalu dilandasi oleh kebijaksanaan dan hikmat menilai dan menimbang semua hal yang terjadi, telah terjadi, sedang terjadi dan bakal terjadi.

Sudahkan kita meletakkan dasar dari bisnis kita itu pada suatu karang yang kokoh yang tak bakal tersapukan oleh banjir yang bakal melanda? Banjir itu bisa berupa apa saja. Banjir bandang pertarungan bisnis, menggempur dan sanggup merobohkan pilar-pilar usaha. Banjir kritik dari dalam dan luar, akan selalu mempertanyakan posisi bisnis kita dari segi hukum, etika dan moralitas. Banjir hati nurani tak bosan-bosan berteriak atau berbisik mengingatkan apa tujuan hidup.

Mempersiapkan semua pada posisi aman, itu untuk keamanan. Menempatkan semua faktor pada ruangnya, itu suatu kebijakan. Namun kita tahu, setiap ruang dari setiap faktor, bukanlah ruang tak berpintu penghubung. Meski pintu-pintu itu kadang tertutup karena kita yang menutup dan tak mau membuka, suatu saat pintu itu pasti akan terbuka, secara alami ataupun paksa dengan berbagai cara. Sehingga, menghubungkan elemen-elemen dan faktor-faktor hidup kita.

Karena pada dasarnya semua problem, semua faktor, semua kebijakan, semua elemen dalam bisnis dan hidup, semua saling terhubung satu sama lain. Seperti juga ruang dan waktu antara tahun 2006 dan 2007, kini masuk pada pintu penghubungnya. Sehingga kita sanggup berkata: Selamat Tinggal Tahun 2006, Selamat Datang Tahun Baru 2007! Mari kita bulatkan tekad untuk membentuk, memperbaiki, memperbaharui semua elemen hidup dan bisnis kita secara lebih bertanggungjawab dan tetap sukses! Dan selalu sukses dalam setiap dan semua yang baik dan benar. (Yonathan Rahardjo)

Infovet 150, Januari 2007 - KERJA KERAS. DOA KERAS

Terpilihnya calon independen sebagai Gubernur Nangroe Aceh Darusallam Drh Irwandi Yusuf MSc, bagi kalangan kesehatan hewan dan peternakan adalah suatu sinar terang yang berbeda dengan dunia politik. Karena, yang bersangkutan adalah dokter hewan alumnus FKH Universitas Negeri Syah Kuala. Bahkan MSc nya pun di bidang penyakit dalam hewan besar, klinik dan bedah.

Sebelumnya di Propinsi Papua, Drh Konstan Karma Alumnus FKH UGM, sudah menjadi Wakil Gubernur. Menambah deret nama-nama dokter hewan yang bercokol di pemerintahan (baca: politik, kekuasaan) dengan seribu malam harapan agar yang bersangkutan turut memperjuangkan kepentingan kedokteran hewan (dan peternakan).

Maklum, kalangan kedokteran hewan merasa tersisihkan kiprahnya spanjang 32 tahun pemerintahan orde baru dengan dibonsainya dunia kehewanan menjadi bagian kecil dari dunia peternakan.

Lebih-lebih pada masa otonomi daerah yang memberi kebebasan tiap propinsi dan kabupaten/kota untuk memodeli kepengurusan bidang kehewanan dan peternakan dalam bentuk apapun. Bahkan, afiliasi dengan bidang lain, dengan penempatan kepala bidang ini bahkan oleh orang yang tak punya ‘bau’ pendidikan kesehatan hewan sama sekali!

Semangat berlomba agaknya dihembuskan dengan terpilihnya Irwandi yang tidak mewakili partai politik apapun yang diharap juga lebih perhatian pada bidang kesehatan hewan di Serambi Mekah ini. Semoga daerah lain juga akan menyusul, begitu kata dokter hewan dari berbagai tempat.

Hembusan segar pun ditemui di pusat pemerintahan Departemen Pertanian di mana Menteri Ir Anton Apriyantono MS memberi lampu hijau untuk munculnya Direktorat Jenderal Kesehatan hewan (atau Veteriner) sejajar dengan Direktorat Jenderal Peternakan, meski hari cerah bagi insan veteriner hal ini belum pasti tanggalnya, namun konon di tahun ini, 2007, juga.

Sebagian insan veteriner, mulai merasakan hasil dari jerih lelah memperjuangkan otoritas veteriner yang mulai bangkit menyusul bertubi-tubinya kasus demi kasus penyakit zoonosis Flu Burung dan lain-lain mendera dan menampar harkat profesi veteriner.

Pada dasarnya, segala sesuatu pastilah ada pemegang otoritasnya. Bahkan bumi dan langit seisinya ini hanya punya satu pemegang otoritas: Penciptanya. Dan, kita umatNya sungguh beruntung diberi kepercayaan untuk mengelola planet yang konon terindah di jagad raya.

Belajar dari kesalahan nenek moyang kita yang membuat planet ini menjadi compang-camping, kita pun punya harapan kuat pada semua orang yang punya otoritas di bidangnya untuk mengemban amanat dalam mengendalikan bidang garap untuk kemahslatan umat.

Kebanggaan terhadap kesuksesan dokter hewan menjadi pemimpin pemerintahan, kebanggaan terhadap kesuksesan para eksekutif memimpin perusahaan, kebanggaan para aktivis memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, kebanggaan keberhasilan para pemimpin spiritual mendampingi dan memimpin umat: semua adalah satu berkat yang tak akan pernah berhenti di satu titik puncak.

Berkat-berkat itu akan selalu bergulir sebagaimana bola salju yang akan menggelinding. Puncaknya kadang di bawah, kadang di atas. Dan sayangnya gaya tarik bumi membuat bola selalu menggelinding ke bawah, bahkan mencari tempat yang paling rendah, lalu berhenti bahkan pecah dan mencair.

Namun kita tak ingin perputaran kehidupan kita laksana bola salju. Kita lebih suka punya sayap yang akan terbang naik-naik-naik-dan naik, semakin tinggi dan lebih tinggi, tak pernah turun, selalu menjadi kepala, selalu berhasil dan tidak pernah menjadi ekor.

Hanya orang yang punya iman demikian yang akan membawa masyarakat, bangsa dan umat menuju mentari cerah, sorga di bumi seperti di sorga sesungguhnya. Membawa kita ke kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kita butuh pemimpin yang mampu membawa kita lebih sempurna, seperti fitrah manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Dan sesungguhnya di depan kesempurnaan itu ada suatu tabir yang mesti kita buka dengan: kerja keras.

Oleh karena itu, mari kita bekerja keras. Juga: berdoa dengan keras. Agar sukses dan bahagia tak berhenti sebagai sekedar harapan. Meski, pengharapan itu juga senjata utama walau bukan yang terutama. Karena yang terutama adalah: Kasih. (Yonathan Rahardjo)

Infovet 151, Februari 2007 - UNTUK PARA PEMENANG

Adam Air (sampai tulisan ini dibuat) black box-nya masih terus dicari. Juga sampai tulisan ini dibuat, Senopati separuh penumpangnya masih belum ditemui. Kereta Api Bengawan bangkainya masih berserak di jurang makan hati. Pada kerusuhan Poso, penerjunan tentara dan polisi masih diharap membuat kasus teratasi. Pada kerusuhan Banyuwangi, bupati dan kyai masih dicoba dimoderasi.

Langsung atau tidak hal itu berpengaruh pada kerja kaum peternakan dan kesehatan hewan. Dalam kerja. Dalam karya. Mungkin di antara korban raibnya Adam Air adalah keluarga kaum ini. Mungkin di antara korban Senopati adalah sanak kaum ini. Mungkin di antara korban Bengawan adalah famili kaum ini. Mungkin di antara semua musibah, kaum peternakan dan kesehatan hewan punya derita langsung tubuh, jiwa dan hati.

Kita pun berduka. Kita pun tunduk kepala. Kita pun bela sungkawa. Dan Kita pun makin berduka. Kala Flu Burung yang (sampai tulisan ini dibuat) karena dianggap mematikan orang penumpasan unggas masih terus mendera. Mengikuti kasus demi kasus yang telah membuat luka nganga.

Semua telah terjadi. Semua telah makan hati. Semua telah membuat luka makin nganga. Apa boleh buat. Semua telah terjadi. Dan dalam hidup kita mesti bangkit.Dan selalu bangkit lagi. Bukankah masih ada harap dalam pekat. Bukankah masih ada asa dalam derita. Bukankah masih ada iman dalam ketakutan.

Bukan saatnya saling salahkan. Bukan saatnya saling banggakan. Ini adalah saatnya saling bergandeng tangan. Ayo kita tegakkan kepala. Ayo kita bangkitkan jiwa. Segala penyakit pasti ada obatnya. Segala derita pasti ada maknanya. Segala lara pasti ada pelipurnya.

Bukankah pengalaman serupa pada masa silam kita sudah punya. Bukankah penyakit-penyakit yang dulu tak dikenal, kini kita telah punya penangkalnya. Bukankah suka duka masa lampau kita telah atasi bersama.

Pasti sekarang juga, kita tak akan terus kecewa. Pandang ke depan. Maju dengan gagah. Gunakan segenap perlengkapan senjata. Yakin dan Imani. Kitalah pemenang masalah ini.

(Yonathan Rahardjo)

Infovet 152, Maret 2007 - JALAN TERANG YANG KITA PILIH

Adam Air (sampai tulisan ini dibuat) black box-nya masih terus dicari. Juga sampai tulisan ini dibuat, Senopati separuh penumpangnya masih belum ditemui. Kereta Api Bengawan bangkainya masih berserak di jurang makan hati. Pada kerusuhan Poso, penerjunan tentara dan polisi masih diharap membuat kasus teratasi. Pada kerusuhan Banyuwangi, bupati dan kyai masih dicoba dimoderasi.

Langsung atau tidak hal itu berpengaruh pada kerja kaum peternakan dan kesehatan hewan. Dalam kerja. Dalam karya. Mungkin di antara korban raibnya Adam Air adalah keluarga kaum ini. Mungkin di antara korban Senopati adalah sanak kaum ini. Mungkin di antara korban Bengawan adalah famili kaum ini. Mungkin di antara semua musibah, kaum peternakan dan kesehatan hewan punya derita langsung tubuh, jiwa dan hati.

Kita pun berduka. Kita pun tunduk kepala. Kita pun bela sungkawa. Dan Kita pun makin berduka. Kala Flu Burung yang (sampai tulisan ini dibuat) karena dianggap mematikan orang penumpasan unggas masih terus mendera. Mengikuti kasus demi kasus yang telah membuat luka nganga.

Semua telah terjadi. Semua telah makan hati. Semua telah membuat luka makin nganga. Apa boleh buat. Semua telah terjadi. Dan dalam hidup kita mesti bangkit.Dan selalu bangkit lagi. Bukankah masih ada harap dalam pekat. Bukankah masih ada asa dalam derita. Bukankah masih ada iman dalam ketakutan.

Bukan saatnya saling salahkan. Bukan saatnya saling banggakan. Ini adalah saatnya saling bergandeng tangan. Ayo kita tegakkan kepala. Ayo kita bangkitkan jiwa. Segala penyakit pasti ada obatnya. Segala derita pasti ada maknanya. Segala lara pasti ada pelipurnya.

Bukankah pengalaman serupa pada masa silam kita sudah punya. Bukankah penyakit-penyakit yang dulu tak dikenal, kini kita telah punya penangkalnya. Bukankah suka duka masa lampau kita telah atasi bersama.

Pasti sekarang juga, kita tak akan terus kecewa. Pandang ke depan. Maju dengan gagah. Gunakan segenap perlengkapan senjata. Yakin dan Imani. Kitalah pemenang masalah ini.

(Yonathan Rahardjo)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer