Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SINDROM ATAU TIDAK TETAP RUGIKAN

Apakah penyakit kekerdilan masih Sindrom? Taukah sudah pasti infeksius? Beberapa kenyataan kembali terkuak. Namun yang lebih penting tetap sikap dalam menghadapi.

Penyakit ayam kerdil yang dulu terkenal dengan nama Runting and Stunting Syndrome (RSS), pada kasus kali ini gejalanya: sama. Seperti yang bisa diduga dengan perkembangan penyakit yang terkenal memakai predikat “Syndrome” sebagai suatu penyakit diketahui gejalanya tidak diketahui dengan pasti, ternyata sampai saat ini, penyebab penyakit ini juga tidak hanya satu sebab. Demikian Drh Prabadasanta Hudyono dari PT Multibreeder Adirama Indonesia.

“Penyebab munculnya penyakit ayam kerdil ini bisa dikaitkan dengan perubahan iklim, manajemen, pakan, DOC. Yang mana penyebab secara pasti? Masing-masing berperan,” tegas Dokter hewan alumnus Universitas Airlangga Surabaya ini. Mungkin saja penyebabnya adalah virus Reo. Namun mungkin juga tidak. Selama lima tahun perkembangan ilmu pengetahuan, masih membuktikan bahwa sejak dulu masalahnya seperti itu. Kalau satu faktor bermasalah, bisa menyebabkan kekerdilan. Demikian Praba.

Secara uji klinis atau laboratorium, peternak belum tahu penyebabnya apa. “Kita serahkan kepada breeding masing-masing,” tutur Drh Anas Sudjatmiko dari PPUN seraya memberi masukan: Seharusnya pemerintah melakukan tindakan guna meneliti penyebab ini, mungkin apakah karena ada virus. “Apakah dampak dari AI, kemungkinan saya juga tidak tahu. Ini harus dibuktikan secara klinis,” tukasnya sendiri.

Perbandingan dengan kasus kekerdilan yang terjadi pada waktu sebelumnya, kasus yang sekarang tergantung kekerdilan oleh karena bibit muda, kasus malabsorbsi, virus Reo, infeksi jamur, bakteri dan lain-lain yang banyak macamnya. Demikian Drh Andi Wijanarko dari PT Pimaimas Citra.

Akibat Malabsorbsi Syndrome penyerapan zat makanan kurang, terganggulah
Pertumbuhan ayam, menyebabkan kasus ini muncul. Demikian H Nur ’Asyikin SH MH dari PT Paeco Agung Cabang Jawa Timur.

Kasus lambat tumbuh ini, merupakan, ”Kasus kompleks yang melibatkan banyak faktor. Umumnya melibatkan unsur pakan, breeder, hatchery dan manajemen farm broiler komersial,” tegas Drh Hany Widjaja dari Alltech Indonesia.

Kasus kekerdilan dapat dikarenakan kasus RSS, karena indukannya, karena lingkungan di mana pada saat seperti ini turun hujan secara terus-menerus yang menyebabkan kadar Oksigen turun drastis, terutama di daerah pegunungan, dan kurangnya pemanas. Demikian Drh Suhardi, dari PT Sanbe Farma.

Infeksi Virus Reo

Dengan demikian perlu dilacak lebih jauh bagaimana sesungguhnya peran Virus Reo dalam menyebabkan kekerdilan di tengah-tengah kepungan berbagai faktor yang saling tumpang tindih itu.

Virus Reo atau dalam bahasa Inggrisnya Reovirus merupakan penyebab kerdil pada ayam ras pada peternakan komersial. Reovirus komensal, ada di mana-mana, ada reovirus yang tidak ganas, ada yang ganas yang bisa menyebabkan arthritis yang penanggulangannya dengan vaksinasi, dan atau menyebabkan malabsorpsi yang penanggulangannya juga dengan vaksinasi. Menyebabkan pula afinitas pada sendi, ayam malas berjalan, malas ambil pakan, maka terjadilah kekerdilan. Demikian Drh Lies Parede Hernomoadi MSc PhD Pakar Peneliti dari Balai Penelitian Veteriner Bogor kepada Infovet di Kantor Balitvet Bogor Jawa Barat.

Secara pemeriksaan kelainan penyakit pada jaringan atau histopatologi, pada saluran cerna dapat ditemukan ciri enteritis (radang usus kecil) yang khas, membuat dilatasi kripta menyebabkan kriptitis. Bila dibuka ususnya terdapat cairan menggembung, lebih banyak cairannya daripada gembungnya, yang berarti cairan zat makanan ini tidak bisa terserap oleh tubuh. Terjadilah malabsorpsi. Demikian Drh Hernomoadi Huminto MS pakar Patologi dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Dengan demikian terjadi kerusakan usus dan pankreas sehingga absorpsi atau penyerapan zat makanan menjasi sulit, dan banyak yang terbuang ke feses. Sementara enterovirus (virus-virus saluran pencernaan) yang lain juga berperan bila diketahui dari pemeriksaan Reovirus bukan penyebab gangguan pertumbuhan ini. Hal ini mengacu dari pengalaman beberapa negara lain, bukan hanya Reovirus yang mampu menyebabkan gangguan, tapi juga enterovirus yang lain. Demikian Drh Hernomoadi.

Di samping itu Reovirus merupakan pemicu timbulnya sifat imonosupresi yang menekan kekebalan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan sel kekebalan terganggu karena suplemen gizi tidak terserap dengan baik, karena getah pankreas berkurang, karena ada pankreatitis. Juga karena kerusakan sel-sel kekebalan yang bisa dilihat pada bursa, thymus dan limfa mengalami kerusakan. Demikian Dr Lies.

Untuk respon imun sendiri sangat dibutuhkan protein, dan dalam kasus malabsorpsi protein ini pun terbuang. Sifat imunosupresif yang merusak thymus, bursa, folikel limfoid, limfa jelas sangat terkait dengan hilangnya protein karena malabsorpsi akibat infeksi virus Reo. Demikian Hernomoadi.

Sementara itu adanya kandida, jamur, khamir, pada tembolok jarang ditemukan. Namun kalau ada pun bisa menyebabkan malaborpsi. Dulu terjadi pada broiler, kini pun terjadi pada layer pada masa pemeliharaan dara. Pertumbuhan terhambat, masa produksi lambat umur. Secara patologi anatomi ada, terjadi malabsorpsi, rusaknya usus, pakreas, terjadinya proventrikulus. Demikian Lies dan Hernomoadi.

Pada layer dara, tidak mencapai berat yang seharusnya. Alat reproduksi pun tidak berkembang, menjadi kecil dan atau belum besar seperti normalnya. Yang mestinya sudah belajar bertelur pada umur 16-17 minggu, mundur sampai umur 19-20 minggu baru belajar bertelur. Terjadi kerusakan digesti yang menganggu asupan pakan. Demikian Lies dan Hernomo.

Periksa Lebih Teliti

Untuk mengungkapkan kasus yang terjadi di lapangan sebetulnya yang sangat diperlukan adalah data laboratorium. Perlu diperiksa tentang virus Reo-nya. Tanyakan bibit muda yang kecil-kecil itu. Apakah itu karena ayam kecil, Reo, atau Malabsorbsi Sindrom. Demikian Andi Wijanarko.

Menghadapi kasus kekerdilan, perlu ada pemeriksaan yang lebih teliti, yang lazim dibutuhkan adalah pemeriksaan ELISA untuk mengetahui antibodi virusnya. Demikian Prabadasanto Hudyono.

Hal-hal ini perlu dilakukan dengan cermat. Evaluasi vaksinasi yang telah dilakukan, termasuk dengan pemeriksaan titer Antibodinya, perhatikan vaksinasi yang akan dilakukan selanjutnya, dan lakukan diagnosa yang tepat serta perhatikan pakannya. Demikian Nur ’Asyikin.

Penelitian Membuktikan

Tentang peran Reovirus sebagai faktor utama kekerdilan, ada 2 faktor yang sudah pernah dibuktikan yang terlihat signifikan atau berbeda nyata. Dalam suatu penelitian, ada pembedaan model kandang yang susun, di mana kotoran langsung turun, amoniak turun, remultiplikasi virus pun berkurang, infeksi berkurang, jumlah ayam sakit pun lebih sedikit. Demikian Dr Lies Parede seraya memberikan tawaran solusi dengan perbaikan kandang.

Ras ayam, ada yang lebih peka terhadap infeksi Reovirus. Artinya bila terinfeksi, terjadi diare hebat, maka pertumbuhan pada broiler terlihat berbeda nyata tidak tercapai. Pada ayam petelur (layer) merusak saluran ternak atam dara lamban tumbuh, kurus, terlambat produksi. Demikian Lies.

Mekanisme infeksi virus Reo, menyebabkan enteritis dan pankreatitis, menyebabkan malabsorpsi, adapun alat reproduksi lamban berkembang, merugikan produksi telur. Alat imunitas atau kekebalan tertekan, mudah terjadi infeksi sekunder misalnya Kolibasilosis, mudah tumbuh kandida (khamir). Di tembolok dan proventrikulus mengganggu pencernaan. Demikian Lies.

Yang paling buruk, infeksi Reovirus ini terjadi secara horizontal dan vertikal atau penularan melalui telur. Penularan ini perlu diperhatikan penanggulangannya. Induk perlu menghasilkan antibodi yang tinggi supaya tidak terjadi sekresi virus. Breeding harus melakukan vaksinasi walaupun biayanya mahal. Vaksinasinya live-live-killed (booster) atau dua kali live, baru sekali killed, yang selanjutnya perlu diperhatikan titer antibodinya. Demikian Lies.

Dan sesungguhnya, boleh diyakini kebenarannya, diragukan atau diteliti lebih lanjut, penelitian pada tahun 1996 sudah membuktikan bahwa virus Reo ganas atau patogen-lah sesungguhnya biang dari segala permasalahan tentang kekerdilan itu. Dengan penelitian memakai Postulat Koch, hal itu sangat jelas. Demikian Dr Lies.

Yang berarti, bisa dinilai sendiri atau diperdebatkan untuk dicari kebenarannya lagi, kasus kerdil ini dimulai dari induk-induk bibit yang dicipta pada peternakan-peternakan pembibitan yang selanjutnya diturunkan pada bibit-bibit yang bisa muncul pada hari-hari awal pemeliharaan setelah kedatangannya pada peternakan komersial. Keganasan virus Reo tadi didukung dengan kondisi-kondisi di pembibitan dan lapangan yang begitu kompleks termasuk diterapkan tidaknya vaksinasi secara disiplin. Namun tetap akarnya pada virus Reo-ganas dan kepekaan genetik ayamnya. Karena ada genetik yang peka dan ada genetik yang tidak.

Sehingga sebetulnya istilah yang tepat bukan lagi Runting and Stunting Syndrome tapi sudah merupakan Infeksi Reovirus Patogen plus Malabsorpsi-lah yang menyebabkan runting dan stunting itu. Seperti halnya dulu dikenal CAA (Chicken Anemia Agent) tapi kini namanya sudah berubah menjadi CAV (Chicken Anemia Virus). Demikian Drh Lies.

Ayam Kerdil dan AI

Uraian tentang peran Reovirus pada kasus kerdil ini setidaknya menjadi masukan bagi peternak yang sejauh ini berpendapat deteksi ayam kerdil ini belum jelas. Peternak beranggapan hal ini bisa diraba ada beberapa hal yang dapat menyebabkan kasus kekerdilan kali ini. Antara lain, soal pemanas yang berarti terkait masalah ekonomi, lingkungan, pakan teristimewa dalam hal mutu, juga soal genetik, lantas fluktuasi harga di mana induknya terpengaruh kasus Avian Influenza. Demikian Drh Anas.

Hubungan kasus kerdil dengan AI ini, “Karena Reovirus menyebabkan Imunosupresi, maka vaksinasi ND dan AI tidak menghasilkan kekebalan yang optimal. Vaksinasi AI sendiri menggunakan vaksin mati dan tidak homolog, sehingga dibutuhkan beberapa kali vaksinasi AI untuk mencapai antibodi yang tinggi,” tutur Dr Lies Parede, yang bila diberlakukan sebaliknya ada vaksinasi AI dan menurunkan perhatian vaksinasi Reo, akan terjadi hal yang bisa dibayangkan.

“Sebenarnya ini masalahnya pada pertumbuhan, kalau AI kan baru-baru saja sementara kekerdilan sudah terjadi sejak lama tapi sempat hilang kemudian muncul lagi namun tidak merugikan dalam jumlah yang besar dibanding AI. Kalau AI kerugiannya kan sangat besar,” tutur Drh Anas.

Memang tidak sebesar kerugian karena kasus AI, namun kasus Ayam Kerdil jelas merugikan. Sindrom ataupun bukan Sindrom. (AW, YR)

DULU KERDIL SEKARANG MUNGIL

Dulu kerdil dan sekarang mungil. Apa perbedaannya? Dari segi bahasa, mungil belum tentu kerdil. Tapi dari segi bentuknya: sama-sama kecil, terutama dibandingkan dengan yang dianggap normal. Standar peternakan ayam tentu yang normal seperti biasa dijumpai. Dan antara yang mungil dan kerdil itu hanya istilah, karena kondisinya sama-sama kecil, baik yang terhambat pertumbuhannya (Runting) maupun yang berhenti pertumbuhannya (Stunting).

Lihatlah yang terjadi pada peternakan, Ahmad (bukan nama sebenarnya) peternak Legok Tangerang Provinsi Banten mendapati sejumlah ayam petelurnya mengalami kekerdilan. Jumlahnya memang tak seberapa dibanding populasi, dari 12.000 ekor misalnya, dijumpai kekerdilan sejumlah 100 ekor.

Dampak kekerdilan pada peternak bermacam-macam. Pertama, kematian pada ayam meningkat, akhirnya menurunkan indeks produksi. Kedua, terjadinya penularan yang diakibatkan oleh apakah itu bakteri atau virus yang dibawa oleh ayam yang terkena penyakit kerdil kepada ayam yang lain. Kemudian mengakibatkan biaya produksi meningkat karena kematian tinggi. Demikian Drh Anas Sudjatmiko Ketua PPUN (Persatuan Peternak Unggas Nusantara).

Sebagai peternak, Drh Anas mengungkap peternakannya mengalami penyakit kekerdilan sejak tahun 1990-an. Sebagai Ketua PPUN ia menceritakan anggota PPUN dalam dua bulan terakhir ini (sampai laporan ini dibuat 16 Pebruari 2006) banyak yang mengalami kekerdilan ayam.

Ambillah contoh satu daerah, munculnya kasus kekerdilan di wilayah Bandung dan Subang setidaknya pada broiler (ayam pedaging) sejumlah 5-7 persen, dan pada ayam layer (petelur) pejantan sampai 30 persen. Demikian Drh Supandi dari PT Sanbe Farma tentang kondisi di wilayah kerjanya.

Di Blitar dan rata-rata peternakan di Jawa Timur, kasus kekerdilan pun bermunculan. Namun persentasenya memang tidak terlalu besar. Demikian H Nur ’Asyikin SH MH Technical Service Senior PT Paeco Agung Cabang Jawa Timur di kantor Cabang Sidoarjo.

Adapun, bila dibandingkan dengan tahun 2004, di tahun 2005 hingga saat ini level dari kasus lambat tumbuh jauh lebih rendah. Demikian Drh Hany Widjaja, Technical Service Manager Alltech Indonesia. “Kondisi ini didukung dengan kualitas pakan yang lebih stabil, dan didukung dengan adanya pengurangan jumlah telur tetas dan DOC secara merata sebanyak 20 persen,” tutur Hany.

Apa yang dilakukan peternak, ada yang tidak langsung mengafkir ayam-ayam yang mengalami kelainan ini. Tetap dipelihara, meski pada saatnya berproduksi mengalami keterlambatan. Baru bila ayam yang terganggu pertumbuhannya ini benar-benar parah gangguannya, ia afkir. Kondisi parah ini, adalah bila ternyata ayam yang mengalami kekerdilan ini tidak bisa menghasilkan telur, pial warna pucat dan tidak berhasil secara normal berubah warna menjadi merah sebagaimana lazimnya ayam sehat. Demikian Drh Yuli Pancawati dari PT Intervet Indonesia yang mendapati kasus kekerdilan pada suatu peternakan.

Kejadian penyakit ayam kerdil yang kali ini dijumpai dimulai sejak Nopember 2005 di beberapa tempat. Saat itu sudah muncul secara sporadis, namun tidak semua daerah terserang. Kejadiannya muncul dan kelihatan sekali pada minggu-minggu afkir. Sedangkan pada umur kecil belum kelihatan. Demikian Drh Prabadasanto Hudyono Manager, Poultry Technical, Consultant dan Poultry Technical & Development PT Multibreeder Adirama Indonesia.

Salah satu perbandingan kasus yang sekarang dengan kasus yang dulu, “Ciri-ciri atau gejalanya hampir sama. Gejala penyakit kekerdilan pada ayam yang sekarang: kaki putih, pertumbuhan terhambat. Kematiannya tak terlalu tinggi,” ungkap Drh Praba. Sementara, “Perbandingan kasus ayam kerdil kali ini dengan kasus RSS (Runting and Stunting Syndrome) yang terjadi pada tahun 1998-an, berbanding sama,” ungkap Drh Supandi dari PT Sanbe Farma. Sama dengan yang diungkap Drh Suhardi Product Manager PT Sanbe Farma. Yaitu, kasus kekerdilan yang terjadi pada ayam pada masa sekarang kondisinya sama dengan kasus kekerdilan yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya.

Dari kesemuanya itu, kasus kekerdilan dulu dan sekarang punya makna sama: Sama-sama kerdil, mungil, dan menggemaskan justru karena merugikan. (AW, YR)

Edisi 158 September 2007 - HARI KEBANGKITAN KITA

Kita, dalam menghadapi masalah flu burung yang belum kunjung berujung itu pasti memilih teori yang paling baik dan cocok, dengan dasar observasi yang melibatkan data-data.

Ahli-ahli riset Avian Influenza yang kita punya sanggup menemukan hal-hal baru dalam perkembangan virus AI sejak tahun 2003 dan kita punya sejarah perbedaan fakta yang kita temui terhadap identifikasi virus AI berdasar data-data tentang virus AI di lapangan, bahkan sampai hari ini dengan gejala penyakit yang konon juga tidak sama lagi seperti tahun 2003.

Fakta tentang virus AI, tergantung dari cara pembacaan para ahli itu. Sedangkan datanya: Tidak bisa dimanipulasi! Ciri khas manusia yang tidak mau mengakui kesalahan, dengan sains dapat dikoreksi berdasar data-data baru sekaligus dengan fakta yangberkembang.

Memang, sesuai kata filsuf ilmu pengetahuan terbesar abad 20 Karl Popper (1902-1994), sains adalah satu dari sedikit kegiatan manusia, mungkin satu-satunya yang memungkinkan kesalahan dikritik dan cukup sering, pada waktunya, diperbaiki.

Kita pun jadi mafhum ketika ilmuwan dari balai-balai penelitian kita sudah menemukan sebegitu jauh perkembangan dari penelitian terhadap virus Avian Influenza, apakah itu HPAI (Highly Pathogenic AI) ataukah sudah menyilih menjadi LPAI (Lowly Pathogenic AI), ataukah sudah menjadi lebih ganas, ataukah terjadi perubahan drift-drift yang lain, ternyata aplikasinya terhadap masyarakat di tingkat bawah atau penanganan AI secara keseluruhan masih terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Ilmuwan Avian Influenza kita punya intuisi terhadap obyek penelitiannya, sehingga kebenaran yang mereka dapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran itu sendiri, meski pun tidak mutlak.

Namun ternyata, cara pikir ilmu kedokteran hewan dan peternakan yang kita terapkan dalam penanganan masalah flu burung itu ternyata tidak dapat sepenuhnya kita aplikasikan kaku.

Hal ini menegaskan pertanyaan, betulkah sepenuhnya metode dengan pengujian-pengujian ilmiah itu sepenuhnya rasional tanpa punya emosi dan keindahan? Boleh jadi kaku ketika kita dengan disiplin menerapkan disiplin ilmu untuk menyelidiki kasus-kasus AI.

Namun kita mesti ingat bagaimana pun juga ilmuwan itu menemukan kebenaran tentang AI dengan penuh cucuran keringat, air mata, mungkin konflik dengan keluarga, konflik antar ilmuwan, institusi, masyarakat dan pemerintah sesuai dengan fakta dari sejarah AI di Indonesia. Ada sisi kemanusiaan, emosional di situ. Termaktub pula di dalamnya sisi tanggung jawab terhadap kemahslatan hidup umat sendiri. Di sini ilmuwan bertanggung jawab terhadap lingkungannya, baik secara etis, ideologis dan implikasi cara berpikir.

Untuk itu kita mesti memperkaya dengan ilmu-ilmu sosial dengan logika ilmu sosial atau humaniora yang berbeda dengan logika ilmu pasti alam, sebab sudah terbukti dalam penanganan flu burung itu permasalahannya sangat terkait dengan masyarakat kita, semua.

Maka benarlah teori yang dikemukakan oleh filsuf metafisik Immanuel Kant (1724-1804) bahwa sains sangat erat berhubungan dengan flsafat, dengan wilayah-wilayah pembagian tentang: 1. Ada, 2. Pengetahuan, dan 3. Nilai.

Dalam menangani Avian Influenza, kita tahu ada tidaknya kasus dengan perbagai persoalannya, sementara di lain pihak ada kekuatan yang sampai kini mungkin belum kita jangkau terhadap kasus-kasus itu sehingga kondisinya tidak mengalami perbaikan yang signifikan.

Para ilmuwan dari disiplin kedokteran hewan dan peternakan pun tidak kurang-kurang, bahkan dilengkapi dengan kerjasama dengan berbagai ilmuwan dari berbagai lintas disiplin ilmu, namun permasalahan masih terus berliku-liku.

Di sisi ketiga, Immanuel kant mengatakan ada ranah nilai, di mana di situ kita menjumpaui soal estetika dan etika yang patut kita ajukan untuk mengatasi berbagai kemelutnya yang kompleks.

Mungkin kita perlu mengevaluasi apakah kita ‘mengobati tanpa menyelesaikan masalah mekanisme namun hanya mengobati dengan penanganan gejala semata’.

Mungkin kita perlu menyadari pula bahwa kita masih dalam tahap proses untuk menemukan dari hari ke hari dengan pendekatan sains sekaligus tanggung jawabnya bagi kehidupan saat ini dan masa akan datang.

Di sisi lain ada estetika yang kita punya bahwa pasti kita akan menemukan jawabnya. Sejalan dengan nilai yang diangkat dalam Hari Peternakan dan Kesehatan hewan Nasional 26 Agustus 2007, yang berarti 171 tahun dari kelahirannya saat Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan plakat pelarangan pemotongan sapi betina produktif.

Atau, peringatan ke 5 setelah tahun 2003 ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Peternakan dan Kesehatan Hewan. Hari kebangkitan kaum kita. (Yonathan Rahardjo)

Peringatan Hari Peternakan dan Kesehatan Hewan

Hari Kebangkitan Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia akhirnya diperingati kembali pada 27 Agustus 2007 sebagai peringatan ke 5 sejak 2003. Dihadiri oleh Direktur Jenderal Peternakan Ir Mathur Riyadi MS, didukung oleh para Direktur Jenderal Peternakan sebelumnya yang kini menjadi 'sesepuh' alias yang dituakan, di mana yang hadir adalah Dr Drh H Soehadji, dan Dr Drh Sofjan Sudardjat MS.

Menurut Dirjen Ir Mathur Riyadi MS penetapan hari lahir peternakan dan kesehatan hewan ini berdasar kesepakatan berbagai pihak melalui penelusuran sejarah yang cermat sehingga ditetapkan hari lahirnya peternakan dan kesehatan hewan adalah tanggal 26 Agustus 1836.

Thema peringatan tersebut pada tahun 2007 ini adalah: "Melalui Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan ke V tahun 2007, Kita Tingkatkan Profesionalisme Peternakan dan Kesehatan Hewan Menuju Tercapainya Swasembada Daging Sapi dan Restrukturisasi perunggasan."

Menurut Dr Soehadji paradigma dalam memandang hari besar bagi kaum peternakan dan kesehatan hewan itu selain bisa dari sudut historis seperti yang disampaikan Dirjen Mathur Riyadi dan Dr Drh Sofjan Sudardjat, juga bisa dari kacamata Yuridis dan Empiris.

Dari aspek yuridis ada 2 undang-undang yang dipakai sebagai dasar, yaitu Stahblat no... (?) dan UU No 6 tahun 67 tentang Peternakan. Dari aspek empiris menurut perkembangannya meliputi periode-periode tahapan peningkatan populasi, terpadu, agribisnis dan global.

Dari sisi agribisnis dikonsep pada saat Menteri pertanian Prof Dr Ir Bungaran Saragih. Sedangkan dari sisi globalisasi adalh kekinian yang mau tak mau disesuaikan oleh masayarakat peternakan dan kedokteran hewan Indonesia, yang tidak bisa dipisahkan dari situasi global.

Peringatan berlangsung sedrhana, menghadirkan berbagai tokoh peternakan dan sosiasi peternakan, dan seluruh karyawan Direktorat Jenderal Peternakan yang mengenakan seragam Deptan hijau-hijau, dihibur dengan lagu-lagu dinyanyikan Dr soehadji dan beberapa tokoh lain. (yonathanrahardjo)

Flu Burung Dalam Upaya Pengendalian yang Agak Terlambat

Infovet mengikuti acara pertemuan ASOHI dengan UPPAI (Unit Pengendalian Penyakit Unggas) di Gedung C Lantai 9, dipimpin oleh Drh Elly Rachmawati MSc, (PhD?). Sebuah pertemuan berbasis rencana kerjasama ASOHI dengan UPPAi untuk mengendalikan kasua Avian Influenza dengan melibatkan para technical Service sebagai ujung tombak perusahaan obat hewan dalam melayani peternak sampai ke dalam kandang peternak.

Pemerintah merasa kewalahan untuk masuk ke kandang berdasar banyak pengalaman penolakan oleh peternak dan pegawai kandang karena perilaku yang tidak diharapkan. Misalnya, belum-belum sudah membawa blangko sumbangan acara tujuh belasan, pembangunan masjid, dan lain-lain. Berakibat kecurigaan pada diri peternak bertumbuh subur bila didatangi oleh petugas dari pemerintah.

Alhasil bahkan kehadiran Doktor dari instansi pemerintah untuk melakukan penelitian di peternakan pun tidak semudah yang diharapkan, dan hanya dapat teratasi dengan bantuan kerjasama petugas peternakan yang dikenal Doktor yang bersangkutan. Dengan cara itulah si Doktor dapat menggunakan sampel ayam untuk penelitian, meski jumlahnya tak seberapa: 60 ekor dari ratusan ribu ekor ayam

Intinya, bagaimana mengurangi kecurigaan peternak terhadap kedatangan petugas dari pemerintahan? Sudah barang tentu bilamana perhatian yang diberikan oleh pemerintah adalah tulus dan tidak terkesan ada maunya. Hukum alam sudah menyatakan siapa yang melakukan kebaikan sudah barang tentu akan menunai hasilnya. Bila perhatian tulus diberikan, tanpa perilaku minta-minta yang tidak wajar seperti contoh permintaan bantuan acara tujuhbelasan, maka peternak pun mempunyai kepedulian bula untuk saling membantu dengan instansi pemerintah.

Contoh terdekat adalah Bupati Kabupaten Tangerang, yang dikenal peduli pada peternak dan memberikan simpati dan empati kepada peternak, membuat peternak merasa dipedulikan, diayomi oleh pemimpinnya. Tidak permintaan yang bukan-bukan dilakukan oleh pemerintah dalam pimpinan Bupati ini, sehingga rakyat pun mau mendengar setiap kebijakannya untuk didukung, bila kebijakan itu positif!

Menurut Drh Ketut dari PT Vaksindo Satwa Nusantara selaku wakil dari ASOHI, permasalahan AI memang kompleks. Ketika disinyalir sudah terjadi perubahan genetik virus AI yang high pathogenic menjadi low pathogenic, hal itu masih belum secara sempurna dapat dibuktikan kebenarannya.

Drh Elly menceritakan bahwa pihaknya telah menyerahkan 200-an sampel sediaan virus AI untuk diperiksa oleh Dr Drh Darminto Kepala BBalitvet selaku pakar penelitian virologi, dan Dr Darminto tampaknya dapat membuktikan perkembangan terbaru pada virus AI.

Sementara Drh Hadi Wibowo mengutarakan bahwa inti dari perlawanan tubuh ayam terhadap serangan virus Avian Influenza ialah dengan ketahanan yang kuat, yang dapat ditingkatkan dengan pemberian imunomodulator. Hal ini menurut Drh Hadi sudah dibuktikan dengan penelitian yang memastikan bahwa imunomodulator sangat membatu meningkatkan ketahanan tubuh ayam.

Drh Rahmat Nuri selaku Ketua Bidang Organisasi pun menyampaikan bahwa posisi ASOHI di sini adalah sebagai supporting team dalam kegiatan yang dilakukan oleh UPPAI yang telah terorganisir mulai dari pusat, propinsi, kabupaten bahkan daerah-daerah di bawahnya. (yonathanrahardjo)

Peternakan yang Bebas AI

Tak ingin kecolongan virus avian influenza (AI) seperti "tetangganya", Dinas Peternakan Kabupaten Blitar melakukan pengamanan. Caranya, memberikan vaksin (antibodi untuk unggas) dan desinfektan (cairan pembunuh kuman) ke unggas.

Ini diungkapkan Wasis Gunawan, Kasi Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Kabupaten Blitar. Katanya pada wartawan April 2007, meski saat ini di Kabupaten Blitar belum ditemukan ayam yang mati karena AI, pihaknya terus meningkatkan sosialisasi pola hidup bersih kepada pemilik ternak di seluruh kecamatan. Caranya, memberikan vaksinasi dan desinfektan kepada semua unggas.

"Mengingat Kabupaten Blitar merupakan daerah yang rawan serangan flu burung. Ya, hampir di setiap kecamatan terdapat peternak unggas," katanya.

Diucapkan Wasis, pada 2007 ini Pemkab Blitar mengalokasikan 3.500 ribu vaksin yang cukup untuk setahun. Untuk pengadaan vaksin, diambilkan dana daro ABPN, APBD Jatim dan APBD Kabupaten Blitar.

Saat ini, ungkapnya, di Kabupaten Blitar terdapat sekitar 3.000 ribu peternakan besar maupun kecil. Bantuan vaksin hanya diberikan kepada peternak kecil dengan jumlah populasi maksimal 2000 ekor. Sedangkan populasi ternak 2000 ekor ke atas dilakukan secara swadaya oleh masing-masing pemilik peternakan.

Menurut narasumber Infovet, memang ada peternakan di Blitar tidak pernah divaksin AI, namun tidak terserang penyakit Avian Influenza ini. Biosecurity-nya pun tidaklah memadai, masuk katagori biasa-biasa saja.

Namun pengalaman masa lalu menunjukkan Blitar pun mempunyai pengalaman buruk akhir 2003. Saat itu akibat flu burung, empat juta ternak ayam mati di Blitar. Bahkan pada tahun 2006 Peneliti Avian Influenza (AI) atau Flu Burung dari Surabaya Dr drh Chairil Anwar (CA) Nidom MS menengarai seluruh kawasan/ kantong-kantong peternakan di Jawa Timur sudah positif terserang Flu Burung. Dosen pada Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair Surabaya itu menjelaskan kantong-kantong peternakan di Jatim yang ditengarai positif Flu Burung antara lain Malang, Blitar, Pare (Kediri), dan banyak lagi.

Sementara biosekuriti sendiri, seperti yang dikenal umum, dapat berarti sebagai prosedur-prosedur manajemen yang dapat mencegah, menjaga, dan mengurangi risiko penyebaran dan perluasan penyakit. Biosekuriti dapat diterapkan dalam dunia peternakan unggas sebagai suatu program yang saling mengikat satu sama lain dengan didukung semua pihak yang berkepentingan dalam peternakan unggas itu. Program-program biosekuriti ini dapat berbeda-beda.

Program biosekuriti dapat dibuat tergantung pada kondisi yang ada pada suatu daerah tertentu dan juga tergantung pada penyakit yang timbul di daerah tersebut. Intinya biosekuriti meliputi program sanitasi atau kebersihan dalam kandang dan pemeliharaan serta program pencegahan penyakit.

Di Blitar pun, sesuai catatan tahun 2005, langkah antisipasi terus dilakukan para petugas Dinas Peternakan di sejumlah daerah. Dinas Peternakan setempat, selain memberikan penyuluhan tentang serangan flu burung, mereka juga telah mengambil sampel darah babi untuk diperiksa di laboratorium di Yogyakarta.

Gumboro

Upaya vaksinasi yang dilakukan sampai dengan saat ini adalah menggunakan vaksin aktif monovalen, vaksin inaktif monovalen dan vaksin inaktif multivalent tidak mendatangkan hasil yang memuaskan.

Vaksinasi tersebut menghasilkan titer antibodi yang tinggi namun tidak dapat menahan serangan virus virulen. Timbulnya varian IBD very virulent di beberapa negara telah membawa perkembangan dalam strategi pembuatan vaksin yang lebih aman dan protektif yaitu pembuatan vaksin rekombinan.

Demikian Dr Drh Rahaju Ernawati dari Laboratorium Virologi FKH Unair Surabaya dalam disertasinya berjudul

Protein VP2 merupakan protein struktural dominan pada kapsid yang mempunyai peranan penting dengan susunan epitop yang berperan dalam pembentukan antibodi netralisasi, tingkat virulensi serta mempunyai daerah hipervariabel yang berperan pada variabilitas strain.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan sekuens nukleotida gen penyandi VP2 virus IBD isolat lokal Jawa Timur (JT) dan Medan (M) dengan isolat referen serta membuktikan perbedaan imunogenitas pada ayam yang ditimbulkan oleh protein rekombinan isolat lokal dengan isolat vaksin.
Tahapan penelitian meliputi:

(1) karakterisasi biologik virus IBD isolat lokal pada ayam serta identifikasi dengan AGPT kemudian dipropagasi pada kultur sel CEF,

(2) karakterisasi protein dengan SDS-PAGE dan imunobloting,

(3) karakterisasi molekuler dengan cara isolasi RNA dan kemudian dilakukan amplifikasi VP2 dengan RT-PCR.

Hasil RT-PCR disekuensing dan homologi dengan virus IBD referens HK46 dari Genbank dianalisis dengan GenetyxMac version 8,0. Ekspresi protein kapsid dan produksi protein rekombinan dilakukan pada E.coli DH5α.

Protein rekombinan yang dihasilkan diuji imooogenitasnya pada ayam umur 21 hari sebanyak 15 ekor yang dibagi menjadi tiga ke1ompok, yaitu ke1ompok protein, kelompok vaksin dan kelompok kontrol. Pengukuran titer antibodi dilakukan setiap minggu sampai empat minggu pasca vaksinasi.

Titer antibodi diukur dengan uji ELISA indirek.Hasil penelitian membuktikan bahwa

(1) terdapat perbedaan sekuen nukleotida VP2 antara isolat lokal JT dengan isolat referen. Isolat JT dengan isolat referen menunjukkan tingkat homologi 45,2%, homologi asam amino 30% sedangkan perbedaan nukleotida antara isolat M dengan isolat referen pada tingkat homologi 45,9%, homologi asam amino 14,3% dan antara isolat JT dengan isolat M homologi nukleotida 93,3%, homologi asam amino 89,7%.

(2) Terdapat perbedaan imunogenitas (p< od =" 1,830)">O,05) terhadap presentase hidup ayam percobaan akibat imunisasi protein dan vaksin, tetapi ditemukan lesi bursa pada kelompok vaksin.Berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa sifat molekuler virus IBD isolat lokal tidak sama dengan sifat virus dari luar.

Oleh karena itu disarankan:

1) agar dilakukan pengembangan penelitian dengan menggunakan isolat IBD dari berbagai daerah di Indonesia,

(2) adanya pengembangan pemakaian vaksin subunit yang terbuat dari protein virus IBD isolat lokal,

(3) dalam pembuatan vaksin perlu diperhatikan variasi isolat yang berdasar geografik.

Flu Burung di Bali

Flu Burung yang makan korban manusia di Bali belum lama ini sebetulnya tidak perlu membuat kaget, bila sebelumnya sudah diketahui ada Avian Influenza. Pada 2004, tim peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana sudah mengisolasi virus Avian Influenza (AI) pada ayam kampung di Bali.

Kasus tersebut terjadi pada ayam kampung milik seorang peternak di Desa Kerobokan, Kota Madya Denpasar yang pada tanggal 16 Juni 2004 yang menunjukkan gejala tidak mau makan dan minum, bulu kusam, lemah, pucat, inkoordinasi dan kepala menunduk.

Adapun tim dari FKH Unud itu adalah GNK Mahardika, M Sibang, M Suamba, KA Adnyana, NMS Dewi, KA Meidiyanti, dan YA Paulus.

Pada kasus yang dilaporkan Jurnal Veteriner FKH Universitas Udayana itu, bedah bangkai ditemukan perdarahan titik atau menyebar di bawah kulit, trakhea dan paru-paru, proventrikulus dan seka tonsil.

Selanjutnya, suspensi material paru-paru, seka-tonsil, dan otak ayam contoh diinjeksikan pada ruang alantois telur ayam bertunas umur 10 hari. Sekitar 20 jam paska injeksi semua embryo telah mati dan mengalami perdarahan seluruh tubuh serta membrannya.

Sumber yang sama menyatakan, aktivitas hemaglutinasi dapat dideteksi dari cairan alantois dengan uji haemaglutinasi (haemagglutination assay/ HA). Aktivitas tersebut dapat dihambat oleh antibodi standar terhadap AI tetapi tidak dapat oleh antibodi terhadap ND dengan menggunakan teknik hambatan hemaglutinasi (haemaglutination inhibition/HI) yang baku.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa agen yang terlibat adalah virus AI. Pengujian dari agen tersebut untuk dijadikan sebagai bibit untuk pengembangan penelitian lebih lanjut.

Pemerintah pun pada 2004 sudah menyampaikan perkembangan wabah penyakit unggas menular (avian influenza) penyebarannya termasuk di Bali, meski pada saat itu hasil uji serologi dari Departemen Kesehatan terhadap peternak di Bali menunjukkan hasil reaksi negatif terhadap avian influenza/flu burung

Pemahaman tak Sempurna

Virus flu burung yang menjangkiti Indonesia termasuk Bali membuat semua pihak ekstra waspada. Tak hanya unggas yang bisa kena virus ini. Manusia pun bisa kena. Hanya saja penularannya lewat unggas yang sudah terkena virus ini. Jembrana pun sempat dikagetkan dengan pemberitaan ribuan unggas mati karena flu burung. Bahkan, ada dokter di bumi makepung itu takut masuk kandang ayam. Apa langkah-langkah yang dilakukan peternak, Dinas Peternakan, dan Bupati Winasa dalam mengantisipasi flu burung ini?

Edaran

SEJAK tersiarnya kabar adanya virus flu burung sampai berita ribuan unggas di Jembrana mati, pemantauan terhadap peternak makin intensif. Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan melalui Bidang Peternakan turun ke lapangan. Data yang mereka temukan, tidak ada kematian ternak hingga ribuan ekor. Kalau ada yang mati jumlahnya tak sampai ribuan. Peternakan yang sudah mereka sasar adalah Mitra Abadi Farm (20 ribu ayam petelur), Suwina, peternak di Sebual (3500 ayam petelur), Tantra peternak di Melaya (7000 ayam petelur) dan Adi Adnyana peternak di Negara (2000 ayam petelur).

Mengantsipasi lebih mewabahnya flu burung Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Jembrana mengeluarkan surat edaran no 524.3/140/Nak/PKL/2004 ini tentang wabah penyakit unggas. Surat edaran tersebut menekankan lima hal, yakni semua peternak unggas harus melaporkan tiap ada penyakit dan menutup lokasi peternakan yang sudah tertular. Selain itu, tidak memberdayakan unggas yang sakit dari peternakan yang sudah tertular, melakukan pemusnahan unggas yang sakit dan mati dengan cara dibakar atau ditanam, terakhir melakukan sanitasi (desinfeksi) terhadap unggas, kandang dan alat ternak lainnya dengan venol, Na/K, dan hipo klorit.

Selain surat edaran, para peternak juga dihimbau melakukan mencegahan di kandang masing-masing. Peternakan terbesar yang ada di Jembrana, Mitra Abadi Farm sampai melakukan isolasi kandang. ''Hal ini kami lakukan agar mereka yang ke luar masuk diperhatikan dan mengurangi penyebaran virus. Kami pun akan membelikan masker untuk tujuh karyawan yang bertugas di kandang,'' papar I Ketut Sudiasa, pemiliki kandang yang terletak di banjar Kebon, kelurahan Baler Bale Agung, Negara ini.

Kabid Peternakan IGN Sandjaja menambahkan, isolasi kandang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran virus, seandainya kandang sudah terjangkit virus. ''Mereka yang masuk kandang wajib memakai masker dan melakukan cuci hama,'' tandasnya. Hal ini dilakukan karena penyebaran virus melalui kontak alat dengan manusia, melalui angin dan makanan. Obat untuk virus ini belum ditemukan, yang ada adalah vaksin. ''Obat produksi Cina sudah teruji dan memang protektif sedangkan obat dari IPB belum bisa dibuktikan, apakah mampu atau tidak sebagai proteksi ternak,'' imbuh Sandjaja.

Dilakukan Pemantauan

Pihak Dinas Kesehatan Propinsi Bali bersama Dinas Kesehatan Jembrana dan Bid Peternakan pun sudah melakukan pemantauan di lokasi peternakan milik Sudiasa, Kamis (29/1) kemarin. Apa yang dilakukan ini untuk mengetahui apakah ada masyarakat sekitar lokasi kandang ayam terkena imbas virus. Sampai saat ini belum ditemukan adanya orang yang terkena virus flu burung di Jembrana, seperti diungkapkan Sandjaja. Jumat (30/1) ini komisi B DPRD Jembrana bersama Bid Peternakan direncanakan turun lagi ke lapangan.

Soal kekhawatiran terjangkitnya flu burung juga menghantui para peternak. ''Saya yang tiap hari bergelut dengan ayam juga khawatir. Kalau ada pekerjaan lain saya mau kerja yang lain saja,'' ujar Ketut Winarsa, salah seorang pengelola peternakan ayam pedaging di Banjar Dangin Berawah, Perancak, Negara.

Kebetulan kandang ayam yang dimiliki Putu Budiastra ini sedang kosong. Mereka baru saja panen dan belum tahu apakah akan melanjutkan usaha ini sehubungan dengan adanya virus flu burung. ''Melanjutkan atau tidak terserah bos saja. Kalau ternak ayam lagi, ya saya kerja kalau nggak ya nggak apa-apa,'' ujar Winarsa yang didampingi istrinya, Ni Wayan Sutarmi sudah tiga tahun mengelola peternakan ayam milik Budiastra.

Salah seorang adik Sudiasa pun mengakui ada kekhawatiran virus flu burung ini. Walaupun sudah disemprot desinfektan, rasa khawatir juga masih ada. ''Dokter saja takut masuk kandang, apalagi kita,'' ujar pria yang tidak mau namanya disebut ini. Dia menambahkan dengan adanya virus ini, produksi telur pun ikut berpengaruh.

Soal ayam-ayam yang mati, Sudiasa dan Winarsa mengakui ada yang mati, namun jumlahnya tidak sampai ribuan. ''Tiap hari paling-paling ada tiga ekor yang mati. Itu pun langsung kami bakar di dapur khusus,'' papar Sudiasa yang juga sekretaris PAC PDI-P Negara ini.

Sementara Winarsa mengatakan dari 5000 ekor ayam pedaging, yang mati dalam waktu 36 hari itu sekitar 300-400 ekor. ''Matinya ayam itu tidak bersamaan, penyebabnya juga bukan virus flu burung tetapi gumboro,'' tandasnya. Soal kebersihan kandang pun dia akui sudah dilakukan dengan baik. Tiap dua hari kandang dibersihkan dan kotoran pun sudah ada yang memesan untuk dijadikan pupuk.

Flu Burung dan Penyakit Imunosupresif

Masalah kemunculan flu burung di mana-mana, secara diagnostik tidaklah lagi sama seperti gejala-gejela flu burung di awal kasus ini pada tahun 2003-2004. Maka, ketrampilan dan kehlian mendiagnosa dengan diagnosa perbandingan dengan penyakit lain sangatlah penting. Kalau dulu tortikolis selalu identik dengan ND, sekarang Avian Influenza pun bisa mempunyai gejala ini. Bila ada penyakit gumboro yang menyerang, kasus Avian Influenza pun lebih berbahaya!

Demikian terungkap pada diskusi Infovet, ASOHI dan UPPAI di Ruang Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian baru-baru ini.

Masalah diagnosa yang sangat terkait dengan pengetahuan kondisi tubuh ayam yang kekebalannya bisa turun ini tentu saja sangat perlu dipahami. Penyakit infeksius bursal (IBD) atau penyakit Gumboro merupakan penyakit viral akut pada ayam yang menyerang organ sistem kekebalan terutama bursa fabrisius sehingga bersifat imunosupresif.

Dr Drh Rahaju Ernawati dari Laboratorium Virologi FKH Unair Surabaya mengungkap bahwa Gumboro menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar karena angka morbiditas mendekati 100% dan angka mortalitas 20 - 30%. "Penyakit IBD pada dasa warga terakhir menular hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1991 penyakit mewabah hampir melumpuhkan seluruh peternakan ayam di Indonesia," katanya.

Sementara Dr Drh Lies Parede dari BBalitvet Bogor dan Drh Hernomoadi Huminto MS dari Laboratorium Patologi FKH IPB mengungkap, "Penyakit itu baru menjadi masalah buat peternak kalau menimbulkan kerugian ekonomi. Kalau tidak ya bisa diatasi sendiri diam-diam tidak usah ribut."

Langkah-langkah bila ada flok wabah ayam, menurut Dr Lies dan Drh Hernomoadi adalah: (1) Secara diagnosa harus dilihat bedah bangkai yang mengarahkan apakah organ yang dominan terserang.(2)Ditambah dengan pemeriksaan histopatologi, kerusakan menunjukan agen primer penyebab.(3)Ditambah serologi atau isolasi, mengarah pengobatan atau pencegahan. (4)Pencegahan diarahkan untuk ayam periode (siklus) berikut: misalnya biosekuriti, program vaksinasi, monitoring.

Menurut ahli penyakit viral dan pataolog itu, gejala ND berbeda dengan AI menurut kacamata patolog maupun virolog. Tortikolis milik ND ganas, Pial biru ungu milik AI ganas. Nah, "Kalau infeksi campuran: ikuti langkah-langkah tadi," saran mereka.

Sedikitnya 500 ekor ayam mati secara mendadak di Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Kematian unggas di lokasi peternakan rakyat itu, diduga terkena penyakit gumboro atau flu burung. Akibatnya, puluhan peternak menjadi panik dalam dua hari terakhir, karena sebelumnya ayam mereka masih sehat, namun tiba-tiba mati.”Ayam yang mati itu terpaksa dikuburkan massal dalam satu lubang sementara yang masih sehat, ada yang segera disembelih,” ungkap Rusli Kadir, salah seorang warga Bontomarannu, Kamis (1/6 2006) siang.

Menurutnya, ayam yang mati tersebut umumnya ayam bukan ras (buras) alias ayam kampung. Karena itu, banyak peternak meyakini kalau ayamnya itu mati bukan karena flu burung, melainkan hanya penyakit unggas biasa yang menyerang ayamnya pada saat memasuki musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya.Untuk memastikan hal tersebut, lanjut Rusli, pihaknya bersama Dinas Peternakan setempat sudah mengirim sampel ayam yang mati ke laboratorium peternakan yang ada di Kabupaten Maros dan hingga kini masih menunggu hasil pemeriksaannya.

”Kami sangat khawatir jangan sampai flu burung menyerang unggas di Bontomarannu. Tetapi bila diperhatikan gejalanya, kelihatannya sama dengan peristiwa di Bontonompo beberapa waktu lalu dan hasil laboratoriumnya ternyata positif penyakit gumboro,’’ ujar Rusli yang juga alumni Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin itu.

Kematian Unggas, Gumboro Dikira Flu Burung. Hasil pelaksanaan surveyland di seluruh lokasi peternakan Kalbar akhirnya terindikasi negatif. Kadis Peternakan dan Kehewanan KalbarKalbar, Ir Kasiono Kasdi melalui Kasubdin Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Vetereiner, drh Mugiono mengatakan Disnak telah membuka pelayanan gratis di laboratorium penelitian penyakit hewan, bagi seluruh peternak unggas yang ada.

Pelayanan juga terbuka bagi segala kalangan baik pedagang, peternak, maupun masyarakat umum. Pelayanan ini berlangsung selama masa pemberlakuan isolasi daerah.

Selama sepekan, kepanikan masyarakan mereda, namun hal ini tak berlangsung lama. Secara mengejutkan kabar pengaduan kematian sejumlah ayam di Pal terdengar lagi. Tidak seperti sebelumnya, jumlah kematian kali ini, cukup banyak. Dari populasi 5000 ekor ayam pedaging, 268 diantaranya ditemukan tewas.

Walaupun sempat teredam, isu ini akhirnya menyebar juga di kalangan peternak. Suasana pun kembali resah.

Berdasarkan keterangan Kepala Laboratorium Disnak, drh.Joko Srianto, yang memeriksa langsung sampel-sampel ayam, ditemukan indikasi berupa penyakit gumboro ayam.

Walaupun istilahnya agak aneh, gumboro dapat dideskripsikan sebagai virus pelemah daya tahan tubuh pada ayam, jadi bukan sejenis tetelo apalagi flu burung.

Dalam penelitiannya, Joko yang dibantu dua staf ahli masing drh Ida dan drh.Erwan ini mengambil sejumlah sampel yang bersal dari organ-organ ayam, seperti jantung, pankreas, usus, dan proventrikulus (lambung).

Organ-oragan ini dibedah untuk mengetahui apakah di dalamnya terkandung titter antibody yang cukup. Titter ini semacam zat kekebalan pada tubuh ayam/unggas yang membuat daya tahan tubuh ayam kebal terhadap penyakit. Maklum, virus gumboro ini menyerang dan melumpuhkan sistim kekebalan tubuh ayam.

Jika titter antibody ini diambil. Maka kadarnya akan terlihat dalam jumlah tertentu per satuannya.

Serum darah ayam yang diambil akan dipisahkan antara bagian serum dan plasmanya, kemudian ditambahkan dengan larytan buffer berupa Pbs dan NaCl. Untuk memperlihatkan hambatan komplek terhadap hasil uji yang ditest. Apabila antigen yang dihasilkan memiliki kadar titter lebih dari dua hingga 12 kali pengenceran maka ayam positif terkena gumboro. Sebaliknya bila kadarnya di bawah itu, kondisi ayam aman.

Hingga 7 Februari, periode penelitian di Laboratorium Disnak mengindikasikan sejumlah peternakan Sanggau positif tetelo, begitupun Ambawang . Namun yang terjadi di

peternakan PAL 31 Januari silam, murni penyakit Gumboro, bukan flu burung.

Kini, Kalbar tengah menunggu hasil penelitian serelogis dari Balai Penelitian di Bogor.

Konsumsi ayam atau telur tetap saja aman, tentu dengan memasak hingga matang. Kalau daging ayam panasnya 80 derajat selama, telur 60 derajat selama lima menit.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer