Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini muladno | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

POTRET BISNIS PETERNAKAN 2017 DAN PREDIKSI 2018 (Opini Prof. Muladno)

Selama 2017 dan mungkin masih dilanjutkan pada 2018, ada dua program nasional di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang terkait langsung dengan pembangunan binis dan industri peternakan secara umum. Program pertama adalah Siwab (Sapi Indukan Wajib Bunting) dan program kedua adalah Awam (Ayam Wajib Mati). Dalam upaya meningkatkan populasi sapi pedaging di Indonesia, diperkirakan 3 juta ekor sapi indukan wajib bunting. Sebaliknya untuk ayam ras pedaging, diperkirakan 6 juta ekor DOC per minggu wajib mati dalam dua bulan ini (November dan Desember 2017) untuk mengurangi populasi ayam dewasa agar harganya terangkat naik.
Kedua program nasional tersebut memerlukan biaya tidak kecil. Untuk sapi, ada alokasi anggaran sekitar satu trilyun rupiah dari pemerintah. Sebaliknya untuk ayam, dengan asumsi harga Rp 4.000 per DOC perusahaan membuang aset senilai sekitar Rp 192 milyar rupiah. Pemerintah dalam hal ini hanya menyediakan anggaran untuk kegiatan pengawasan pemusnahan 48 juta ekor DOC selama kurun waktu dua bulan tersebut. Dua program itu didedikasikan untuk kepentingan peternak kecil.
Mengherankan memang dan sekaligus mengejutkan. Selama 72 tahun Indonesia merdeka, puluhan trilyun rupiah anggaran negara telah dikuras untuk pembangunan peternakan sapi di Indonesia tetapi sampai 2017 masih berstatus “kekurangan populasi sapi dan dagingnya”. Impor daging kerbau dari India hingga saat ini merupakan salah satu cara pemerintah menurunkan harga daging walaupun ternyata tidak turun harganya.
Sebaliknya sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, bisa dikatakan hampir tidak ada anggaran negara digunakan untuk pembangunan peternakan ayam ras pedaging tetapi sampai 2017 berstatus “kebanyakan populasi ayam” sehingga harga ayam hidup lebih murah dari harga pokok produksi.
Potret bisnis peternakan pada sapi dan ayam pada 2017 juga makin kelam ketika KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha) menuduh belasan perusahaan penggemukan sapi dan belasan perusahaan pembibitan ayam melakukan praktek kartel dengan denda rata-rata milyaran rupiah per perusahaan. Hingga saat ini para pemilik perusahaan masih melakukan upaya banding dan berita terkini memastikan bahwa pengadilan negeri menganulir keputusan KPPU, sehingga perusahaan pembibitan ayam tidak melakukan praktek kartel.
Kisruh tentang tuduhan KPPU tersebut merupakan rentetan kejadian intervensi pemerintah yang berniat menata industri perunggasan dan persapian. Niatnya baik tetapi instansi pemerintah lainnya justru menghambat niat baik tersebut. Tampaknya tak ada konsolidasi yang baik diantara instansi pemerintah dalam menelurkan kebijakan. Pada unggas, kesepakatan untuk afkir dini ayam indukan atas perintah Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), dianggap kegiatan bernuansa kartel. Untung tuduhan itu dibatalkan pengadilan negeri. Demikian juga pada sapi penggemukan, kegiatan menggemukkan sapi agar mencapai bobot badan siap potong dianggap kegiatan penimbunan barang. Akibatnya, impor sapi bakalan dikurangi yang justru membuat lonjakan harga daging.
Kebijakan
Apakah keterlibatan pemerintah secara praktis sebagai aktor pembangunan sebagaimana dicontohkan pada komoditas sapi justru menghambat lajunya pertumbuhan usaha dan industri peternakan itu sendiri? Terlepas benar atau tidak pandangan tersebut, potret suram di dua komoditas tersebut harus dapat dijadikan pelajaran berharga untuk membangun industri peternakan di Indonesia secara lebih baik mulai 2018 mendatang.
Pengalaman tahun 2017 pada industri sapi maupun ayam mengajarkan kepada kita semua bahwa peran pemerintah amat sangat signifikan. Pemerintah dalam hal ini bukan hanya Kementan saja, tetapi termasuk kementerian lain yang terkait. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa peran pemerintah yang signifikan tersebut bukan untuk menciptakan suasana kondusif dalam usaha peternakan tetapi justru sebaliknya. Walaupun pemerintah selalu menggunakan dalih membela peternak rakyat, faktanya kondisi peternak rakyat makin terpuruk di 2017 ini.
Ijin impor dan penentuan kuota bahan baku pakan atau bibit ayam yang diimpor merupakan kewenangan pemerintah pusat. Rekomendasi teknis termasuk penentuan kuota diberikan dari Kementerian Pertanian dan ijin untuk pelaksanaan impor diterbitkan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Tanpa rekomendasi teknis dari Kementan, ijin dari Kemendag tak akan diterbitkan. Tanpa ijin Kemendag, impor tak dapat dilakukan. Padahal masih banyak kebutuhan input produksi dalam bisnis peternakan tergantung impor.
Dengan kewenangan pemerintah yang besar ini, semua kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk mewujudkan suasana kondusif bagi semua pelaku usaha terutama peternak kecil. Pemahaman tentang rencana bisnis mulai dari kuota barang yang diimpor, negosiasi dengan eksportir, distribusi kepada para pelanggan dan lain-lain masalah teknis menjadi sangat penting sebelum menelurkan suatu kebijakan. Jadi ada makna “melayani” dari pemerintah kepada pengusaha dalam menjalankan bisnisnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Namun demikian, bukan berarti pemerintah harus mengikuti kehendak para pengusaha sesuai rancangan bisnis yang dibuatnya.
Dalam industri ayam ras pedaging misalnya, pemerintah dapat mengendalikan populasi ayam yang sudah berlebih populasinya dengan membuat National Replacement Stock (NRC) terhadap kebutuhan ayam bibit Grand Parent Stock (GPS) yang hanya diimpor oleh 13 perusahaan saja. Melalui komunikasi yang baik antara tim independen, perusahaan importir dan pemerintah, penentuan kuota impor masing-masing perusahaan dan waktu impor dapat dikalkulasi secara lebih tepat sesuai kebutuhan masyarakat.
Tiap minggu membunuh DOC yang baru menetas atau memusnahkan telur siap menetas karena kebanyakan populasi ayam ras merupakan pekerjaan yang menyedihkan sebenarnya. Bagaimana tidak, asupan telur di Indonesia masih rendah tetapi di sisi lain, jutaan telur dimusnahkan. Tapi hal itu jauh lebih baik daripada membiarkan ayam dewasa melimpah dengan harga jual di bawah harga pokok produksi.

Regulasi
Banyak regulasi dibuat dan bahkan Undang Undang No.18/2009 memberi banyak amanah kepada pemerintah untuk mengatur industri dan bisnis di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Peraturan pemerintah dan peraturan menteri telah banyak diterbitkan tetapi seringkali berhenti di meja atau tersimpan rapi di lemari.
Regulasi dalam bentuk peraturan menteri untuk mengurangi 6 juta telur fertil per minggu ternyata tidak dibarengi dengan ketersediaan anggaran pengawasan pelaksanaan pengurangan telur sebanyak itu. Birokrat juga mengeluh dan sebenarnya malu karena kedodoran dalam melakukan pengawasan akibat ketidaksiapan anggaran.
Pengalaman satu tahun di pemerintahan mengajarkan kepada penulis bahwa di Ditjen PKH perlu menyediakan anggaran lebih besar untuk “mengendalikan” industri perunggasan yang tampaknya sudah tidak sehat persaingannya. Selama ini, pemerintah hampir tidak mengalokasikan dana pembangunan untuk ayam ras pedaging/petelur, karena dianggap sudah mandiri dan maju. Dengan adanya anggaran yang cukup untuk melakukan pengendalian diharapkan pemerintah bisa lebih berperan dalam menata industri perunggasan yang ujungnya dapat meningkatan kesejahteraan peternak.
Saat ini peternak mandiri berskala menengah ke bawah makin berkurang dan bisa-bisa habis sebagai akibat terjadinya perang bisnis antar pelaku usaha kelas kakap. Ini sangat membahayakan jika kondisi persaingan tidak sehat terus terjadi dan tidak dikendalikan karena bisa menimbulkan kerawanan sosial yang lebih besar di Indonesia.

Penganggaran
Suatu kebijakan yang amat sangat tidak tepat jika pemerintah mengalokasikan anggaran sangat banyak satu komoditas ternak tertentu dan sedikit atau bahkan tidak ada untuk komoditas ternak lainnya. Lebih tidak tepat lagi apabila anggaran tersebut digunakan oleh pemerintah untuk terlibat langsung urusan teknis budidaya. Makin tidak tepat lagi apabila anggaran tersebut hanya sekedar untuk beli ternak yang kemudian dibagikan ke masyarakat.
Boleh saja pemerintah bagi-bagi sapi kepada masyarakat kurang mampu sebagai bentuk bantuan untuk mulai usaha beternak. Namun demikian, karena ini berupa bantuan, kegiatan bagi-bagi sapi jangan dibebankan ke Kementan, tetapi sebaiknya ke Kementerian Sosial. Anggaran di Kementan harus benar-benar untuk peningkatan profesionalitas peternak, penguatan fasilitas dan peningkatan daya saing usaha peternakan, khususnya peternakan rakyat.
Pada dasarnya pengembangan peternakan dilakukan oleh dua kelompok besar yaitu Pelaku Usaha Skala Kecil (PUSK) dan Perusahaan Besar (PB).  PUSK berlaku untuk semua komoditas ternak, sedangkan PB masih terbatas pada industri ayam ras, penggemukan sapi dan kombinasi pembiakan/penggemukan babi. Baik bagi PUSK maupun PB, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup dan tepat sasaran.
Anggaran pemerintah untuk PB lebih dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar industrinya tertata, memberikan manfaat bagi masyarakat dan memperluas ketersediaan lapangan pekerjaan. Ini penting untuk stabilitas sosial ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Misalnya, di industri perunggasan khususnya pembibitan, hanya ada 14 PB pembibitan ayam, begitu juga belasan PB sapi. Jumlah yang sangat sedikit bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk pembinaan dan pengawasan, tetapi akan berdampak sangat besar bagi bangsa.  Hingga 2017 ini, tidak ada anggaran seperti dimaksud.
Anggaran Kementan untuk PUSK disediakan dengan syarat dan ketentuan, seperti: 1) PUSK harus kolektif berjamaah dengan jumlah minimal tertentu yang bisa dikelola seperti PB. Untuk sapi, minimal 1.000 ekor indukan, sedangkan untuk kambing domba minimal 5.000-7.000 ekor, ayam pedaging minimal 350 ribu ekor per minggu. 2) PUSK yang bersedia berjamaah harus berpengalaman beternak dan sudah punya ternak, bukan peternak jadi-jadian yang hanya ingin memperoleh pembagian ternak dari pemerintah. 3) Tidak ada anggaran untuk beli ternak tetapi mungkin bisa untuk membeli pejantan unggul. 4) Subsidi harus dalam bentuk penguatan kapasitas usaha seperti pembangunan gudang pakan, renovasi kandang komunal, penyediaan fasilitas air, atau pembangunan pagar untuk pembuatan paddock di padang penggembalaan di daerah yang memliki lahan dan lain lain yang diperlukan PUSK agar dapat dikelola seperti PB.
Jadi, pemerintah harus benar-benar menjalankan peran dan fungsinya sebagai regulator dan stimulator saja. Selebihnya percayakan kepada para pelaku usaha. Yang terpenting dari sisi pemerintah adalah, bahwa para birokrat harus lebih luas wawasannya, lebih tahu permasalahannya, lebih paham penguasaan aturan mainnya daripada PUSK dan PB, jangan sebaliknya. Dengan peran seperti itu, pemerintah hanya memerlukan anggaran sedikit tetapi kewibawaan pemerintah terjaga. Para pelaku usaha juga merasa diayomi dalam rangka berpartisipasi membangun bangsa Indonesia di bidang ekonomi. ***



Prof Muladno Basar
Guru Besar Genetika dan Pemuliaan Ternak IPB
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Pendiri Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

Baru 13 Bulan Menjabat, Muladno Diberhentikan Sebagai Dirjen PKH


"Tidak simpang siur Pak. Sudah lurus Pak. Saya diberhentikan," demikian jawaban tegas Muladno via whatsapp, menjawab pertanyaan Infovet mengenai kesimpangsiuran informasi pemberhentian dirinya sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kamis (14 Juli 2016).

Informasi perihal pemberhentian Dirjen PKH pada Kamis kemarin demikian ramai di sosial media kalangan peternakan dan kesehatan hewan. Pasalnya Muladno menjabat sebagai Dirjen baru 13 bulan. Ia dilantik Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada 1 Juni 2015.

Sebagai pakar yang juga aktivis di berbagai organisasi, Muladno sejak menjabat langsung bisa menyatu dengan stakeholder peternakan dan kesehatan hewan. Di kalangan internal Ditjen PKH sendiri Muladno sosok yang sudah lama dikenal kiprahnya baik sebagai pakar, narasumber maupun pengurus beberapa organisasi peternakan. Konsep dan gagasan tentang peternakan langsung diungkap ke publik dan mendapat respon positif.  Konsep yang paling menonjol adalah SPR (Sentra Peternakan Rakyat) yang sudah dijalankannya semenjak dirinya masih bertugas di kampus IPB sebagai dosen.  Konsep ini dikembangkan menjadi sebuah program pemerintah, dan telah disosialisasikan ke berbagai daerah dan berbagai asosiasi. Program SPR telah mulai berjalan dengan angaran APBN.

Kepada asosiasi bidang peternakan dan kesehatan hewan, Muladno mengharapkan agar dapat menjalankan aktivitasnya secara profesional. Ia menyelenggarakan dialog revitalisasi asosiasi peternakan saat pameran Indolivestock Expo di Surabaya, Juli 2015. Di forum itulah disepakati bahwa asosiasi yang diakui Ditjen PKH adalah yang berbadan hukum di Kemenhukham.
Pembenahan ini merupakan langkah strategis karena menurut Muladno ada lebih dari 70 asosiasi dan sebagian hanya ada pengurus tanpa anggota, sehingga suaranya belum tentu mewakili pihak yang diakui sebagai anggotanya.

Langkah lainnya antara lain persetujuan adanya afkir dini Parent Stock ayam untuk membantu peternak unggas agar harga tidak terus-menerus di bawah BEP. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sempat mempermasalahkan adanya kesepakatan afkir dini oleh para breeding farm karena dianggap kartel, namun Muladno secara tegas menyatakan bahwa kesepatakan itu disetujui Dirjen demi menyelematkan peternak dari kerugian yang berkepanjangan.

Banyak pihak mengakui dialog dengan stakeholder berlangsung peternakan berlangsung produktif karena Muladno mau mendengar dan sudah cukup lama mendalami persoalan lapangan. "Meski baru setahun menjabat, sudah terlihat banyak langkah pembenahan yang positif," kata seorang pengamat, yang sangat menyayangkan adanya pergantian tersebut.

Perihal pemberhentian dirinya, Muladno menyatakan belum tahu penyebabnya. Sejumlah menduga pemberhentian ini karena selama ini Muladno kerap berbeda pandangan dengan Menteri Pertanian.
Ketidak harmonisan Menteri dengan Dirjen PKH tampak makin nyata tatkala sebuah acara peresmian bibit ternak kambing di Jateng, dimana Mentan hadir tanpa didampingi Muladno, beberapa waktu lalu.
Beberapa sumber lain menyatakan karena kegagalan Dirjen menurunkan harga daging sapi menjadi Rp. 80.000/kg.

Dengan pemberhentian ini, Muladno menjabat sebagai Dirjen PKH hanya 13 bulan. Sejak era reformasi, pergantian Dirjen dalam waktu singkat sudah beberapa kali terjadi. Wasito, guru besar UGM sempat menjabat Dirjen hanya dalam waktu 9 bulan. Sementara Prabowo Respatio menjabat 1 tahun.

"Tragedi pejabat gonta-ganti, tak akan ada solusi yang berarti," kata Heri Setiawan, pemerhati perunggasan nasional menanggapi pergantian ini.

Ditanya tentang langkah selanjutnya setelah tidak menjabat Dirjen, Muladno menyatakan akan kembali ke kampus. Hingga artikel ini disusun belum ada informasi siapa yang akan menggantikan Muladno sebagai Dirjen PKH. Untuk sementara pelaksana tugas (Plt) Dirjen PKH adalah Sekjen Kementan Hari Priyono. ***

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer