Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini bisnis | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Upaya Percepatan Pelayanan dan Kewajiban Alih Teknologi



Ada sebuah Peraturan Presiden (Perpres) baru yang agaknya kurang mendapat perhatian dari masyarakat peternakan Indonesia. Peraturan Presiden itu bernomor 91 tahun 2017 berisi peraturan tentang “Percepatan Pelaksanaan Berusaha”, ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 22 September 2017. Perpres ini diterbitkan sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri, sehingga dunia usaha dapat menjalankan kegiatannya dengan lebih produktif.

Sesuai namanya isi Perpres nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha meliputi beberapa upaya pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan bisnis oleh investor baru, di mana upaya percepatan pelayanan ini akan dilakukan dalam dua tahap.

Tahap pertama, meliputi tiga kegiatan, yaitu pembentukan satuan tugas untuk mengawal sistem perizinan, pelaksanaan perizinan dalam bentuk pemenuhan persyaratan (checklist) yang dilakukan di kawasan ekonomi dan  pelaksanaan perizinan berusaha dengan menggunakan data sharing.

Tahap kedua, meliputi kegiatan pelaksanaan reformasi peraturan perizinan berusaha dan penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission).

Satuan tugas itu sendiri meliputi satuan tugas tingkat nasional, satuan tugas kementerian, serta satuan tugas di tingkat provinsi dan kabupaten. Hingga tulisan ini disusun, belum diperoleh informasi bagaimana perkembangan satuan tugas di Kementerian Pertanian yang di dalamnya tentunya termasuk peternakan.

Sementara itu, Direktorat Kesehatan Hewan sejak tahun lalu sudah mulai mendiskusikan Draft Pementan baru mengenai Penyediaan dan Peredaran Obat Hewan. Salah satu pasal yang cukup hangat didiskusikan dikalangan dunia usaha obat hewan adalah kewajiban alih teknologi. Dalam salah satu pasal disebutkan, bahwa Penerbitan Nomor Pendaftaran Obat Hewan Asal Impor hanya diberikan satu kali masa berlaku selama 10 tahun. Apabila nomor pendaftaran  telah habis masa berlakunya, maka nomor pendaftaran dimaksud tidak dapat diperpanjang.  Dalam ayat berikutnya disebutkan, setelah habis masa berlaku nomor pendaftaran obat hewan, pelaku usaha pemegang nomor pendaftaran harus dapat melakukan alih teknologi obat hewan untuk diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu paling lama 10 tahun.

Seperti biasanya setiap ada rancangan peraturan baru, pro-kontra bermunculan. Seorang pengusaha obat hewan berpendapat, peraturan ini tidak memungkinkan untuk diimplementasikan jika diberlakukan untuk semua jenis produk obat hewan impor. “Perlu ada pengecualian untuk produk-produk tertentu,” usulnya.
“Negara-negara maju saja tidak semua obat hewannya produksi lokal. Mereka tetap membuka peluang obat hewan impor, meskipun sudah bisa dibuat di dalam negeri,” ujarnya memberi alasan.

Ada pula yang mempertanyakan tentang masa persiapan 10 tahun. Masalahnya, jika peraturan ini berlaku mulai tahun ini dan produk perusahaan tahun ini sudah habis masa pendaftarannya, berarti dia hanya punya waktu persiapan alih teknologi 10 tahun saja. Sementara itu, produk yang baru setahun diregistrasi berarti masih punya waktu 9 tahun sampai habis masa berlakunya registrasi, baru kemudian melakukan proses alih teknologi 10 tahun, artinya ia punya waktu persiapan selama 19 tahun.

Di lain pihak dari hasil wawancara dengan beberapa pengusaha, tak sedikit pula yang bersikap positif, dalam arti, prinsipnya pihaknya siap melakukan alih teknologi dan melakukan investasi di Indonesia, bahkan siap membuat basis produksi di Indonesia bukan hanya untuk pasar Indonesia melainkan juga untuk pasar internasional.

Hal terpenting adalah jika ada perusahaan yang berniat investasi lebih cepat di Indonesia, apakah pemerintah akan memberikan insentif yang menarik, sehingga investor lebih bergairah membangun pabrik di Indonesia, bukan di negara tetangga.

Sekedar catatan, negara-negara di kawasan ASEAN semakin baik pelayanannya kepada investor, karena mereka bersaing memperebutkan investor baru termasuk investor di industri obat hewan yang masuk ke negaranya.

Diskusi yang berkembang ini menunjukan, bahwa apapun yang akan dilakukan pemerintah, pada umumnya dunia usaha semakin peduli dan ingin mendukung upaya pemerintah untuk memajukan peternakan dan kesehatan hewan. Bahwa di sana-sini ada yang mengajukan keberatan, hal itu perlu didengar sebagai masukkan, sehingga keputusan akhirnya adalah sebuah peraturan yang dapat menaungi semua pelaku usaha.

Niat pemerintah untuk memperkuat industri obat hewan nasional pantas kita apresiasi. Di lingkungan peternakan dan kesehatan hewan, ekspor terbesar berasal dari obat hewan yang telah menembus lebih dari 30 negera. Data Ditjen PKH menyebutkan, ekspor obat hewan tahun 2017 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya dengan nilai sekitar 27 triliun rupiah. Ini sebuah prestasi yang sangat bagus. Sebuah perusahaan eksportir feed supplement mengatakan, pihaknya memang mengalami peningkatan ekspor meskipun kondisi ekonomi global sedang mengalami stagnasi.

Selama ini insentif yang nyata untuk para eksportir obat hewan belum begitu dirasakan oleh kalangan perusahaan obat hewan. Mereka sukses menembus berbagai negara bisa dikatakan dengan keringat sendiri. Bahkan pameran internasional pun dengan biaya sendiri. Berbeda dengan negara lain di mana setiap ada pameran peternakan internasional pemerintahnya membiayai pameran itu secara gratis untuk eksportir mereka.

Oleh karena itu, wacana untuk memperkuat industri dalam negeri dengan melakukan alih teknologi selayaknya dibarengi dengan insentif yang menarik, bukan hanya untuk investor baru, tapi juga untuk usaha dalam negeri yang selama ini sudah berjuang mengibarkan bendera Indonesia di berbagai negara.

Untuk itu, wacana kewajiban alih teknologi yang akan dimuat dalam Permentan tentang Penyediaan dan Peredaran Obat Hewan hendaknya memiliki semangat seiring dengan amanat Perpres tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Hal ini agar Permentan tersebut menjadi bagian dari semangat untuk melakukan pelayanan dalam percepatan pelaksanaan berusaha. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 284 Maret 2018

PEMERINTAH SUSUN ROADMAP PENGENDALIAN HOG CHOLERA

Sebagai upaya mengembangkan komoditas unggulan ekspor, yakni ternak babi di Provinsi NTT, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Drh I Ketut Diarmita, mengatakan pentingnya pengendalian dan pemberantasan penyaki Hog Cholera pada Babi. Hal tersebut ia sampaikan pada acara seminar dan lokakarya multipihak di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT (Nusa Tenggara Timur), Senin (6/11).
Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, saat acara seminar dan lokakarya
penyusunan roadmap pengendalian Hog Cholera.
“Hog Cholera merupakan penyakit yang sangat signifikan berpengaruh secara ekonomi, untuk itu perlu segera dikendalikan dan diberantas,” kata Diarmita. Karena itu pihaknya bekerjasama dengan dinas peternakan setempat menyusun roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera.
Menurutnya, penyakit Hog Cholera cepat menyebar dalam populasi babi dan dapat menyerang segala umur. Morbiditas dan mortalitasnya sangat tinggi mencapai 95-100%. Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) atau juga dikenal dengan Sampar Babi, merupakan penyakit yang disebabkan virus yang masuk salah satu dari daftar 25 jenis penyakit hewan menular strategis berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/4/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis.
Karena menjadi penyakit strategis, roadmap pengendalian dan pemberantasan penyakit Hog Cholera ditujukan untuk meningkatkan populasi ternak babi, mengamankan daerah sumber bibit ternak babi, meningkatkan pendapatan dari hasil usaha peternakan babi, meningkatkan perdagangan ternak babi baik domestik maupun eskpor dan meningkatkan pendapatan daerah.
“Saya sarankan agar pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera difokuskan ke daerah-daerah tertentu saja, seperti  Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara,” ucapnya. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain, potensi daerah sebagai produsen ternak babi, kepadatan populasi, penyakit Hog Cholera sudah menjadi endemis, daerah tersebut berisiko menyebar Hog Cholera ke daerah lain, komitmen pemerintah daerah cukup tinggi dan sudah memiliki program pengendalian.
Sebab, kata dia, pengendalian dan pemberantasan Hog Cholera menjadi sangat penting, sebab komoditi ternak babi merupakan aset ekonomi bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia, adanya perkembangan peningkatan populasi babi dalam lima tahun terakhir, komoditi ternak babi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu di Indonesia, komoditi ternak babi merupakan salah satu sumber daging dan pemenuhan sumber protein hewani yang sangat efisien bagi masyarakat tertentu di Indonesia dan ternak babi sudah menjadi komoditi ekspor.
“Meningkatnya produksi daging babi di Indonesia dan terbatasnya segmentasi pasar daging babi, menjadi peluang peningkatan ekpor daging babi,” tukasnya. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer