Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Slow Growth | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENELISIK TEMBANG LAWAS “SLOW GROWTH”

Gangguan pertumbuhan alias slow growth pada ayam modern merupakan suatu problem yang multi faktor dengan masa perjalanan kasus yang tidak singkat. Oleh sebab itu, dalam menegakkan diagnosa lapangan harus mencermati data kandang alias anamnese terlebih dahulu. (Foto: Istimewa)

Oleh: Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant - Jakarta)

Kasus gangguan pertumbuhan alias "Slow Growth" (SG) pada ayam modern seolah tak lekang oleh waktu, ibarat lagu lawas yang terus diputar.  Kemunculannya tidak saja terjadi secara berulang dan acak, tapi juga tak mudah diterawang dengan baik. Alhasil setiap ada kasus, di situ pula selalu muncul kambing hitam baru. Mengapa? Tulisan ini mencoba menelisik dimensi lain yang mungkin menjadi faktor adekuat dalam kasus Slow Growth yang terjadi di lapangan, terutama jika diteropong dari kausa non-infeksius.

Sejak kemunculannya pada tahun 1994 dalam industri perunggasan universal, para peneliti genetika dan imunofisiologi unggas terus mencari akar penyebab kasus SG. Karena banyaknya faktor penyebab, baik eksternal maupun internal dan kombinasi antar faktor penyebab itulah, maka eradikasi kasus SG pada ayam modern menjadi sulit.

Hasil survei yang dilakukan para peneliti Universitas Leuven Belgia menemukan suatu hal menarik. Ternyata pada tataran praktis tata laksana pemeliharaan ayam komersil di lapangan, rata-rata ayam baru mendapatkan pakan berkisar antara 36-72 jam pasca menetas (post-hatching) (Decuypere et al., 2001).

Lamanya waktu mendapatkan pakan pasca menetas disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Adanya “hatching window” yang terlalu lebar, artinya perbedaan “hatching time” (saat tetas) antar telur tetas yang ada sangat signifikan, sehingga umumnya waktu panen DOC (pulled chick) ditunda oleh para penanggung jawab hatchery.
2. Waktu untuk seleksi, sexing dan potong paruh alias debeaking (khusus untuk ayam petelur).
3. Waktu untuk vaksinasi awal di hatchery.
4. Waktu untuk istirahat pasca vaksinasi Mareks (berkisar > 6 jam pasca vaksinasi).
5. Waktu untuk tranportasi dari hatchery sampai ke lokasi farm komersil (variatif).

Dilain pihak, para peneliti fisiologi unggas menemukan fakta bahwa jika lebih dari 36 jam pasca menetas DOC tidak mendapatkan pakan dan air minum, maka anak ayam tersebut secara fisiologis akan mengalami cacat (efek negatif) yang sifatnya tidak bisa dikompensasi (Noy dan Sklan, 2001; Batal dan Parsons, 2002; Juul-Madsen et al., 2004).

Anak ayam tersebut akan lebih peka terhadap patogen dan mengalami gangguan pertambahan bobot badan (Geyra et al., 2001; Bigot et al., 2003; Dibner dan Richards, 2004; Dibner et al., 2008), serta mengalami gangguan pertumbuhan jaringan usus dan otot kerangka (Halevy et al., 2003; de Oliveira et al., 2008).

Perlu juga diketahui, pada proses menetas (hatching process) embrio ayam banyak menggunakan cadangan glikogen sebagai sumber energi untuk memecah kerabang telur sampai keluar dari telur (Lu et al., 2007) dan cadangan glikogen tersebut terus dikuras selama DOC belum mendapatkan akses pakan secara penuh. Jika cadangan glikogen tidak mencukupi, maka DOC akan memobilisasi protein otot untuk memenuhi kebutuhan energi tubuhnya via reaksi glukoneogenesis. Kondisi ini tentu saja akan mereduksi kecepatan pertumbuhan awal, terutama pertumbuhan hiperplasia yang jelas sangat progresif terjadi dalam minggu pertama (Vieira dan Moran,1999). Jadi tegasnya, proses-proses metabolisme dan fisiologi sebelum, saat menetas dan beberapa saat sesudah menetas sangat menentukan kualitas DOC dan juga titik awal pertumbuhan selanjutnya (Halevy et al., 2014), baik itu pada DOC broiler maupun layer.

Itulah sebabnya ketika terjadi stres yang signifikan pada titik-titik poros “proses menetas-panen DOC di hatchery-transportasi/saat tebar DOC ke dalam brooding” (hatching process-pulled chick-chick placement) ditanggapi oleh anak ayam dengan pelbagai derajat keparahan. Yang nyata tampak di lapangan adalah gangguan keseragaman (uniformity) dan gangguan pertumbuhan bobot badan yang tidak bisa dikompensasi dengan baik saat panen atau masa laying (Surai P, 2018; Halevy O, 2020).

Pertumbuhan Otot Kerangka (Fleshing)
Berbeda dengan fetus pada hewan menyusui (mamalia), embrio ayam secara mandiri bertumbuh dan berkembang di luar tubuh induknya (hewan ovipar). Oleh sebab itu, secara potensial embrio ayam jauh lebih rentan… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2021. (toe)

SLOW GROWTH: MASALAH KLASIK TAK KUNJUNG USAI

Seleksi DOC meminimalisir Slow Growth akibat kualitas DOC buruk. (Foto: Istimewa)

Slow Growth atau Runting-Stunting Syndrome, yaitu sindroma pada ayam muda, terutama ayam pedaging, dengan berbagai derajat gangguan pertumbuhan berupa kerdil dan lambat tumbuh. Pelaporan pertama kali penyakit ini terjadi pada tahun 1940 dan menjadi lebih dikenal sejak tahun 1970-an ketika industri perunggasan mulai berkembang. Kejadian Slow Growth hingga saat ini masih belum usai dan seringkali muncul pada budi daya ayam pedaging.

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya Slow Growth atau pertumbuhan yang lambat pada ayam. Sampai saat ini tidak ada data akurat yang menyatakan bahwa kekerdilan dipengaruhi oleh faktor genetik dari bibit ayam. Faktor penyebab Slow Growth kebanyakan dilaporkan terkait dengan faktor praktik manajemen pemeliharaan yang bisa berasal dari lemahnya manajemen yang ada pada pembibitan, tapi lebih sering justru ditemukan karena kurang baiknya manajemen yang diterapkan pada peternakan komersial, diantaranya:

• Faktor lingkungan
- Kelembapan dan temperatur tinggi dalam kandang.
- Kualitas dan sirkulasi udara dalam kandang yang kurang memadai.
- Pencemaran amonia yang tinggi dalam kandang.

• Faktor pakan dan air 
- Feed intake dari ayam berkurang, kualitas dan keseimbangan nutrisi dalam pakan tidak sesuai dengan nilai gizi yang dibutuhkan.
- Pakan yang tercemar dengan mikotoksin, baik yang diberikan pada induk maupun pada anak ayam itu sendiri.
- Tingkat pencemaran mikroorganisme patogen dan kadar logam berat dalam air yang cukup tinggi.
- pH air yang tidak sesuai, terlalu asam atau alkalis sehingga berpengaruh pada tingkat konsumsi air minum ayam.

• Faktor perlakuan masa brooding  
- Meliputi lama waktu pemanas dan kualitas panas yang diberikan tidak sesuai dengan keadaan lingkungan (musim panas/hujan).
- Ketersediaan tempat pakan dan minum yang kurang dalam kandang, sehingga ayam jadi berebut untuk mendapatkan pakan atau minum.
- Kepadatan ayam yang cukup tinggi dalam kandang, sehingga ayam susah untuk makan dan minum.

• Faktor kualitas DOC  
- Berat badan DOC di bawah standar, seperti dihasilkan dari telur bibit muda, atau induk yang sedang terinfeksi penyakit yang mengganggu kualitas telurnya.
- Dehidrasi selama proses penetasan atau karena proses transportasi.
- Adanya infeksi penyakit seperti Omphalitis, infeksi Yolk Sac, Aspergillosis.
- Kasus mikotoksikosis yang terjadi pada induknya.

• Faktor penyakit
- Yaitu penyakit, baik yang infeksius maupun yang non-infeksius dan yang bersifat imunosupresif, seperti adanya kasus Avian Leukosis Virus-J yang menginfeksi pada breeder sehingga berpengaruh langsung pada kualitas DOC yang dihasilkan. Maupun infeksi agen penyakit seperti Reovirus, Gumboro, Chicken Anemia Virus, Koksidiosis, Kolibasillosis, Mycoplasmosis dan lain-lain.
 
Upaya Pencegahan dan Penanganan
Solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus Slow Growth adalah dengan… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Januari 2021.

Drh Yuni
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl. DR Saharjo No. 264 JAKARTA
Telp: (021 8300300)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer