Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Sapi Pedaging | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KEMENTAN LAKUKAN PERCEPATAN VAKSINASI PMK JELANG RAMADAN

Tim vaksinator memberikan vaksinasi PMK pada sapi. (Foto: Istimewa)

Sebagai upaya mencegah munculnya kembali penyakit mulut dan kuku (PMK) jelang Ramadan, Kementerian Pertanian (Kementan) didukung FAO ECTAD Indonesia melakukan percepatan vaksinasi PMK.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di delapan kabupaten pada lima provinsi, yaitu Kabupaten Indragiri Hulu di Riau, Kabupaten Sukabumi di Jawa Barat, Kabupaten Barru di Sulawesi Selatan, Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Pati, Rembang, dan Wonogiri di Jawa Tengah.

“Akselerasi vaksinasi ini kita lakukan di daerah padat ternak, daerah yang merupakan produsen ternak, dan juga tinggi lalu lintas ternaknya” ujar Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Nasrullah, dalam siaran resminya di Jakarta, Kamis (7/3/2024).

Lebih lanjut dijelaskan, vaksinasi tidak hanya dilakukan di daerah-daerah tersebut, namun dilaksanakan juga di wilayah lainnya di daerah tertular PMK.

Dalam program percepatan vaksinasi ini, pihaknya meminta dinas kabupaten menyiapkan tim vaksinator di setiap lokasi target untuk memetakan target wilayah vaksinasi, hewan, dan jumlah ternak yang akan divaksin, hingga merencanakan kegiatan edukasi ke peternak.

“Saya berharap bahwa dari kegiatan ini dinas dan tim vaksinator, serta semua pihak yang dilibatkan untuk berkomitmen bersama dalam memacu vaksinasi PMK di Lapangan,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Tim Pusat Darurat FAO ECTAD di Indonesia, Luuk Schoonman, mengatakan bahwa pihaknya akan terus mendukung program pemerintah dalam pengendalian PMK. Dengan dukungan pemerintah Australia yang telah mengalokasikan anggaran khusus untuk hal tersebut termasuk dukungan percepatan vaksinasi.

Menurut Luuk, vaksinasi merupakan salah satu kunci pengendalian PMK dan diperlukan kolaborasi untuk mempercepat vaksinasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Kesehatan Hewan, Kementan, Nuryani Zainuddin, menyampaikan bahwa hingga saat ini kasus PMK masih terus dilaporkan dari beberapa provinsi. Munculnya PMK menandakan bahwa virus masih terus bersirkulasi sehingga potensi penularannya tetap mungkin terjadi.

“PMK disebabkan oleh virus yang sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif, sehingga langkah terbaik yang bisa dilakukan adalah pencegahan dengan vaksinasi secara periodik, yaitu setiap enam bulan” kata Nuryani.

Ia menambahkan bahwa hasil pemetaan untuk kegiatan percepatan yang dilakukan dalam lima hari tersebut dengan total target vaksinasi diperkirakan akan mencapai 73.247 ekor dengan target jenis hewan sapi, kambing, dan domba.

Kegiatan percepatan vaksinasi direncanakan akan terus dilakukan secara bertahap di wilayah potensial hingga menjelang Idul Adha. Hal tersebut penting menurutnya, mengingat 1-3 bulan menjelang Idul Fitri dan Idul Adha, lalu lintas ternak sapi, kambing, dan domba akan tinggi untuk persiapan kebutuhan daging di hari raya tersebut.

“Kami tidak ingin ada lonjakan kasus PMK yang dapat menyebabkan kerugian bagi peternak akibat ternak sakit menjelang masa panen di hari raya, sehingga penting bagi kami untuk terus mengampanyekan vaksinasi dan mendorong dinas bersama tim vaksinator untuk terus meningkatkan capaian vaksinasi,” pungkasnya. (INF)

PELATIHAN DARING GENETIK SAPI LOKAL SESI 3

Pelatihan daring genetik sapi lokal sesi 3. (Foto: Dok. Infovet)

Pelatihan secara daring soal genetik sapi lokal kembali dilanjutkan. Pada sesi 3 kali ini pelatihan dilaksanakan pada Jumat (30/7/2021) dengan kerja sama Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian bersama UNE (University of England-Australia) dan MLA (Meat and Livestock Australia) yang difasilitasi GITA Organizer dan Majalah Infovet.

Pelatihan kali ini diikuti 92 peserta dari berbagai perusahaan dan instansi terkait. Prof Julius van der Werf yang menjadi narasumber langsung menampilkan “Wrap up Modul 1” yang menyangkut to day‘s plan, desicions in breeding programs, animal breeding in nutshell, question breeding objectives, question (trait) measurement, design example, identifity the breeding program in you case.

Julius menyoroti tentang SNI (Standar Nasional Indonesia) untuk sapi pedaging dengan beberapa pertanyaan lanjutan dan dianalisis dengan logical process, breeding objactives trait and selection criteria traits dan which traits in the selection index.

Adapun peserta yang mewakili grup 2, Agung dari BBTUHPPT (Balai Besar Ternak Unggul & HPT) Baturaden, mempresentasikan Breeding Program (case study from BBTUHPPT Baturaden farm) dengan topik The traits of Saanen Goat, menyangkut increase the milk production, economic contribution andviability, population Saanen from July dan distribution  of Saanen on 2021 (male, female and location), yang langsung ditanggapi oleh Lecture Shool of Envirnental and Rural Science UNE, Dr Samuel Clark.

Peserta berikutnya mewakili grup 4, Yayu Kholifah dari BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan) Singosari Malang, mempresentasikan “Breeding Program: Genetic Improvement for Beef Cattle (Performance Test)” menyangkut traits to be considered (body weight, body length, girth, shoulder height and scrotal circumference/bull), related  or correlated traits (direct related trait body weight, correlatedtraits body weight, girth, shouder height and scrotal circumference/bull, all these traits should be recorded at birth, weaning, 1 year olds and 2 years olds, pedigreegrandsire, grandam, sire and dam), other consideration (culture, market).

Sementara peserta selanjutnya mewakili grup 5, Irma dari beef cattle memprentasikan dengan topik “Breeding Objectives of Kebumen Ongole Crossbreed (PO) Cattle” menyangkut identifity  the traits to be considered, weather these traits will be measured orinformed by correlated traits, is the SNI suitable as a breeding objective dan other consideration about breeding objective.

Pada acara question & answer, Julius dibantu Samuel Clark menjawab keseluruhan pelatihan dari peserta. Pelatihan terus akan dilanjutkan pada Agustus-September 2021 mendatang. (SA)

LANJUTAN PELATIHAN DARING GENETIK SAPI LOKAL

Pelatihan genetik sapi lokal sesi II. (Foto: Infovet/Sjamsirul)

Jumat, 23 Juli 2021. Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH, Kementerian Pertanian bersama University of New England dan Meat & Livetocks Australia (MLA) yang difasilitasi GITA Organizer dan Majalah Infovet, kembali melanjutkan Online Traning on Indonesian Local Cattle Genetics bagi peternak/pengusaha sapi lokal di Tanah Air.

Prof Julius van der Werf mengawali training-nya dengan meminta home work session I yang diajukan pada webinar sebelumnya untuk mengetahui situasi, kondisi, serta permasalahan pemuliaan sapi lokal di Indonesia dan bersama-sama mencari solusinya.

Paparan diberikan oleh Argi Argiris yang mewakili grup III peternak sapi perah lokal. Ia mempresentasikan kondisi dan permasalahan pemuliaan sapi perah di Indonesia secara singkat dengan topik “Improvement of Local Dairy Cattle Production”, antara lain dengan menampilkan breeding sceme to increase production berlandaskan recording (identification, measure performance, reproduction and economic trait), serta permasalahan pada recording yaitu microchips for identification, measure mobility of cattle, recording production, body composition score and predicted EBV/Estimated Breeding Value).

Sedangkan tantangan yang sering dihadapi antara lain menyangkut production/reproduction/mobility recording, foundation for project dan geografical or cultural bariers, disamping permasalahan dengan pemerintah menyangkut breeding, feeding, healty, kemudian dengan pemerintah daerah, organisasi peternak, peternak/perusahaan pribadi, teknisi AI dan perekam data, serta kemampuan menyerap ilmu pengetahuan.

Adapun presentasi lain disampaikan oleh Koko dari BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan) Singosari, Malang, mewakili grup I peternak sapi lokal pedaging. Ia memaparkan masalah pemuliaan sapi pedaging lokal yang ditujukan untuk memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia). Sebagai contoh persyaratan minimum kuantitatif bibit sapi Bali pejantan dan betina menyangkut umur (bulan), parameter (tinggi pundak, panjang badan, lingkar dada, lingkar skrotum) dan kelas (I, II, III) yang telah digariskan pemerintah sebagai “Breeding Objectives for Indonesian Cattle”.

Sapi pedaging lokal di Indonesia digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk usaha komersial sapi pedaging milik pribadi (peternak kecil) mendapatkan sertifikat SNI yang memungkinkan mereka mempermudah penjualan sapi bibit pejantan/induk betina dengan harga terbaik. Kedua, untuk kepentingan pembibitan di pusat dan provinsi, dimana EBV digunakan untuk menentukan sapi-sapi pejantan/betina hasil seleksi terbaik untuk menggantikan stok bibit saat ini. Juga SNI memberikan patokan bahwa penentuan umur sapi berdasarkan gigi seri permanen, misalnya bila tumbuh satu pasang gigi seri permanen, maka taksiran umur adalah 18-24 bulan. Sedang bila tumbuh dua pasang gigi seri permanen, maka taksiran umur di atas 18-24 bulan.

Prof Julius pada pelatihan kali ini membahas secara mendetail permasalahan sapi perah maupun sapi pedaging lokal, mulai dari Selection Index Concept sampai didapatkan Bio Economic Model, yang pada akhirnya harus diperoleh keuntungan dari tiap ekor sapi setelah dilakukannya seleksi dan pemuliaan sapi jantan/betina terbaik yang ada.

Diakhir seminarnya, Julius memberikan home work session III yang akan dibahas pada pelatihan berikutnya Jumat, 30 Juli 2021. (SA)

DARURAT SAPI PEDAGING


Presiden Joko Widodo mengingatkan para pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian terkait munculnya ancaman krisis pangan di tengah pandemi COVID-19. Mungkin ini akan menjadi kenyataan jika pemerintah tidak segera menanganinya dengan baik.

Protokol kesehatan di era pandemi ternyata telah berdampak terhadap kegiatan lalu lintas barang dan komoditas antar negara. Akibatnya tentu berdampak pula pada penyediaan pangan, terutama pada komoditas yang masih banyak di impor, diantaranya komoditas pangan strategis dan hasil peternakan, seperti daging sapi, susu, beras, kedelai, bawang putih, jagung, gandum dan lainnya.

Bencana di Australia
Australia sebagai Negara pengekspor sapi terbesar bagi Indonesia, dalam dua tahun terakhir dilanda banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan di 2020. Dua peristiwa bencana alam tersebut telah memorak-porandakan kegiatan industri peternakan di Negeri Kanguru itu.

Penurunan populasi sapi yang sangat signifan (24,1%) telah terjadi dari populasi sapi sebesar 27,8 Juta ekor di 2002, kini hanya tinggal 21,1 juta ekor. Semua kondisi ini telah mengakibatkan meningkatnya harga sapi impor di Indonesia, karena kelangkaan pasokan dari Australia.

Dalam sejarah importasi sapi Australia di awal 1990-an, baru kali ini terjadi harga sapi impor sekitar Rp 56 ribuan/kg berat hidup (landed cost) lebih mahal daripada harga sapi lokal (sekitar Rp 47 ribuan/kg berat hidup). Kondisi ini membuat para pengusaha feedlot tidak mungkin lagi menggunakan sapi bakalan impor. Bagi perusahaan feedlot yang masih bertahan, mereka mulai beralih dalam penyediaan sapi bakalannya dengan memanfaatkan sapi-sapi lokal. Akibat dari kondisi ini, dikhawatirkan akan terjadi dampak yang serius dan merugikan bagi pengembangan peternakan sapi dalam negeri. Pasalnya, permintaan akan daging sapi selalu lebih tinggi ketimbang kemampuan pasokannya. Sementara itu, pemerintah melalui program yang ada (SIKOMANDAN dan SIWAB) masih memanfaatkan kemampuan penyediaan sapi kepada peternakan rakyat secara konvensioanal. Program ini selama puluhan tahun masih belum mampu membuktikan bahwa peningkatan pasokan akan melebihi dari permintaannya.

Depopulasi
Kondisi saat ini mengingatkan kita pada 2012-2013 lalu, pasca dilakukannya pendataan sapi potong dan kerbau (PSPK) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kala itu, kebijakan pemerintah menurunkan importasi dari 53% ke 17,5%. Lantaran, hasil PSPK menunjukan bahwa populasi sapi telah memenuhi kondisi swasembada berdasarkan blue print. Namun realita sebaliknya, yaitu terjadi kelangkaan pasokan sapi di pasar yang menyebabkan harga melangit dan berakibat terhadap depopulasi sapi perah mencapai sekitar 30%. Hingga kini, ketergantungan industri persusuan terhadap impor meningkat menjadi sekitar 80%, padahal sebelum krisis ekonomi lalu kontribusi produksi susu dalam negeri pernah mencapai 50%. Jika tidak segera ditangani, diduga akan terjadi kembali depopulasi terhadap sapi di dalam negeri (pedaging maupun perah). Hal ini karena kondisi usaha sapi perah yang faktanya masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi peternak. Sehingga peternak merasa lebih menguntungkan jika sapinya dijual sebagai sapi pedaging, daripada dipelihara sebagai sapi perah.

Darurat Sapi
Keadaan bisnis sapi pedaging, pada dua-tiga tahun ke depan dihadapkan pada kondisi titik nadir, yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini disebabkan, Australia masih membenahi industrinya untuk meningkatkan populasi ternak sapinya. Idealnya populasi ternak sapi di Australia sekitar 25 juta ekor untuk mampu melakukan ekspor ke Indonesia. Semantara itu impor dari Negara lain seperti Brasil masih belum siap infrastrukturnya. Jika saja dalam dua-tiga tahun ke depan (2021-2023), pemerintah melalui Kementerian Pertanian tidak mengubah strategi mendasarnya dalam pembangunan peternakan sapi, dipastikan akan terjadi pengurasan sapi di dalam negeri dan untuk selamanya negeri ini akan tergantung impor komoditas daging sapi. Pantasnya, kondisi dua-tiga tahun ke depan kita sebut “sebagai darurat sapi pedaging.”

Ubah Strategi 
Perubahan strategi yang dimaksud adalah Pertama, mengubah mindset bahwa untuk meningkatkan permintaan daging sapi dengan mengintroduksi sapi-sapi premium (Belgian Blue/BB dan Glacian Blond/GB) dan importasi daging kerbau yang menyita biaya sangat besar dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Kebijakan tersebut segera dialihkan dengan mengoptimalkan peningkatan produktivitas sapi-sapi lokal, melalui intensifikasi pola breeding dan pemanfaatan lahan-lahan terluang.

Kedua, mengubah sentra produksi sapi yang selama ini ditujukan ke wilayah-wilayah konvensional seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan, beralih ke sentra-sentra perkebunan besar di Sumatra, Kalimantan dan Papua, serta lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan, juga ke pulau-pulau kosong di wilayah Timur.

Sentra-sentra perkebunan ini menghasilkan limbah atau hasil ikutan industri perkebunan sebagai pakan ternak yang murah harganya. Lahan-lahan perkebunan (sawit, karet dan sebagainya), serta lahan bekas tambang yang luasnya ribuan mungkin juga jutaan hektar, selama ini dibiarkan tidak termanfaatkan secara optimal. Banyak pelajaran yang telah dan tengah dilakukan oleh para pihak, terutama swasta yang melakukan upaya ini, namun minim proteksi dan insentif pemerintah terhadap upaya tersebut. Terutama mengenai berbagai kebijakan kontra produktif bagi pengembangan usaha ternak sapi selama ini. Misalnya, kebijakan importasi daging kerbau, introduksi sapi BB/GB, kebijakan ekspor bungkil sawit ataupun insentif permodalan yang tidak merangsang  terhadap pengembangan peternakan sapi dalam negeri.

Kiranya kebijakan pemerintah menjadikan negeri ini sebagai lumbung ternak Asia di 2045 mendatang tidak akan dapat terwujud, jika tidak melakukan perubahan mendasar kebijakan importasi daging dan intervensi sapi premium, serta pemanfaatan lahan-lahan terluang dan integrasinya dengan perkebunan. ***

Oleh: Rochadi Tawaf
Dewan Pakar PB ISPI dan Komite Pendayagunaan Petani

DISTRIBUSI SAPI PESISIR KE MENTAWAI DAN BENGKALIS

Sapi pesisir yang siap didistribusikan kepada peternak

Unit Pelaksana Teknis (UPT) pembibitan sapi dan hijauan pakan ternak, Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Padang Mengatas yang berada di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya memberikan kontribusi bagi masyarakat.

Kontribusi yang dimaksud khususnya untuk peternak sapi guna memproduksi bibit sapi yang unggul. Beberapa jenis sapi yang dikembangkan adalah jenis simental, limosin dan sapi pesisir.

"Bibit sapi yang sudah terseleksi akan dikeluarkan untuk dapat dikembangkan bagi masyarakat atau balai-balai pembibitan daerah," ujar Direktur Jenderal Ditjen PKH Kementan RI, I Ketut Diarmita.

Pada tanggal 30 Juni 2020 lalu sudah didistribusikan sapi pesisir sebanyak 26 ekor ke Kabupaten Bangkalis. Rinciannya, terdiri dari 12 ekor betina dan 14 ekor jantan.

Sedangkan pada tanggal 1 Juli 2020 BPTU-HPT Padang Mengatas mendistribusikan lagi sapi pesisir sebanyak 20 ekor, yang terdiri dari 15 ekor jantan dan 5 ekor betina ke Kabupaten Mentawai.

Sekadar informasi, untuk sampai ke Kabupaten Bengkalis dari BPTU Padang Mengatas harus menempuh jarak sekitar 10 jam perjalanan darat, sementara ke Pulau Mentawai dibutuhkan waktu sekitar 40 jam perjalanan melalui jalur darat.

Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH Kementan, Sugiono menjelaskan, sapi pesisir merupakan plasma nutfah dan sudah ditetapkan sebagai rumpun sapi lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Sumatera Barat. Sapi pesisir ini juga sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2908/Kpts/OT.140/6/2011 tanggal 17 Juni 2011.

"Sejak tahun 2013, BPTU-HPT Padang Mengatas sudah memurnikan sapi pesisir untuk mendapatkan genetik aslinya," ungkap Sugiono.

Ia menambahkan, selama ini sistem pemeliharaan sapi pesisir di masyarakat secara ekstensif berpotensi memungkinkan terjadinya inbreeding atau kawin sedarah yang sangat tinggi, sehingga akan menyebabkan penurunan produktivitas.

Namun, sapi pesisir juga diketahui memiliki beberapa keunggulan, di antaranya sangat toleran dengan lingkungan ketersediaan pakan yang minim, sistem reproduksi sangat produktif, tingkat keberhasilan diatas 90 persen dan sampai saat ini belum ada satupun penyakit khusus yang ditemukan pada sapi tersebut.

"Sapi Pesisir lebih tahan terhadap penyakit, produktivitas tinggi, dan pakannya hemat. Diakui memang sapi ini memiliki banyak keunggulan," ucap Sugiono.

Pada saat ini populasi sapi pesisir di Padang Mengatas mencapai 540 ekor per 30 Juni 2020. Lalu, dari hasil seleksi tercatat ada 124 ekor sapi jantan pesisir yang siap dipasarkan.

"Sebagai informasi, bagi para peternak yang ingin memelihara sapi pesisir maupun Simmental dan Limousin silahkan berkirim surat ke email bptu_patas@yahoo.com atau menghubungi tim penjualan melalui nomor WhatsApp di 0821169064719," tutur Sugiono. (INF)

KEMENTAN GENJOT PERTAMBAHAN POPULASI SAPI BELGIAN BLUE

Sapi Belgian Blue,menjadi andalan Indonesia dalam memperbaiki genetik sapi Indonesia

Kementerian Pertanian terus berupaya memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat terutama yang berasal dari daging sapi. Salah satunya adalah pengembangan sapi Belgian Blue (BB) yang sudah dilakukan sejak tahun 2017 melalui Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang. Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) ini sudah berhasil memproduksi embrio sapi BB murni pertama di Indonesia.

"Produksi ini menggunakan dua sapi donor jenis BB murni hasil Transfer Embrio (TE) di BET Cipelang yakni Srikandi dan Arimbi," ujar I Ketut Diarmita, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan RI, Selasa (9/6).

“Pengembangan sapi BB dilaksanakan oleh dua belas UPT lingkup Kementerian Pertanian yang berasal dari tiga eselon 1 di Kementerian Pertanian, yaitu Badan Litbang Pertanian BPPSDMP dan Ditjen PKH, dengan dukungan pakar pendamping yang berasal dari perguruan tinggi terbaik di Indonesia”, ucap Ketut.

Pengembangan BB sendiri dilakukan di UPT yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, tujuannya untuk mengetahui lingkungan terbaik di Indonesia bagi sapi BB sehingga sapi BB bisa beradaptasi dan berkembang dengan baik di Indonesia.

"Pengembangan BB di Indonesia dilakukan dengan dua acara yaitu melalui TE dan Inseminasi Buatan (IB)," jelas Ketut.

Ketut menambahkan, embrio dan semen BB yang digunakan untuk program pengembangan BB berasal dari negara asalnya, yaitu Belgia. Hal ini dikarenakan, pihaknya ingin sapi BB yang dikembangkan di Indonesia berasal dari sapi BB asli dari Belgia.

Selain itu, penggunaan embrio dan semen BB dalam program pengembangan sapi BB ini dinilai Ketut memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan harus mendatangkan sapi BB hidup dari Belgia.

"Biayanya juga lebih murah dan handling lebih mudah dibandingkan menghandling sapi hidup. Embrio BB digunakan untuk menghasilkan sapi BB murni sedangkan semen beku digunakan untuk menghasilkan sapi BB persilangan," paparnya.

Jadi cara kerjanya yaitu dengan menanam atau menitipkan embrio pada sapi lokal Indonesia yang memenuhi syarat. Lalu, untuk semen BB disuntikan pada sapi lokal Indonesia yang juga sudah memenuhi syarat.

Karena, sapi BB murni yang merupakan hasil transfer embrio membutuhkan bantuan untuk kelahirannya. Sekitar 95% sapi BB murni lahir dengan bantuan caesar, sedangkan sapi BB persilangan seluruhnya (100%) dapat lahir secara normal.

"Sampai dengan hari ini, kami mencatat kelahiran 455 ekor sapi BB yang tersebar di seluruh UPT pelaksana pengembangan BB," ungkap Ketut.

Ketut menyebut, BET Cipelang bersama dengan UPT pelaksana lainnya telah mampu melaksanakan program pengembangan sapi BB yang dibuktikan dengan kelahiran sapi BB di seluruh UPT pelaksana. Sedangkan, Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari dan Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang juga sudah mampu memproduksi semen beku sapi BB.

"Ini merupakan hal yang membanggakan bagi Kementan, kita sudah mampu memproduksi embrio sapi BB, dan memproduksi semen beku sapi BB," kata Ketut.

Diketahui, produksi embrio sapi BB murni ini sudah dilaksanakan pada 10 Februari 2020. Embrio yang dihasilkan dari sapi donor BET Cipelang ini berhasil menghasilkan embrio BB dengan komposisi darah BB 100 persen.

BET Cipelang sebagai satu-satunya UPT dengan tupoksi melaksanakan produksi, pengembangan dan distribusi embrio ternak telah mampu menghasilkan embrio sapi BB sebanyak 166 embrio (27 embrio BB murni dan 139 embrio BB persilangan).

"Embrio persilangan yang dihasilkan oleh BET Cipelang sudah dicoba untuk ditransferkan pada sapi resipien di BET Cipelang dan seluruhnya dapat lahir secara normal. Namun, untuk embrio BB murni belum dicoba," ucap Ketut.

Sapi BB persilangan ini, baik yang memiliki darah BB 50% mapun 75% mampu melahirkan secara normal, dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa sapi persilangan BB dengan sapi lainnya tidak memiliki kelainan reproduksi.

Sedangkan, semen beku BB yang dihasilkan oleh BBIB Singosari dan BIB Lembang terhitung sebanyak 27.862 dosis (17.579 dosis semen beku sapi BB murni dan 10.283 dosis semen beku BB persilangan).

Sebagai catatan, semen beku “Gatot Kaca” sapi BB jantan pertama di Asia Tenggara sudah dicoba untuk IB pada sapi Aceh di BPTUHPT Indrapuri. Sampai saat ini sudah terdapat 5 ekor sapi persilangan BB dengan sapi Aceh yang lahir, dan semuanya lahir secara normal.

Ketut menegaskan, dengan keberhasilan produksi semen dan embrio sapi BB oleh UPT lingkup Kementan, ketergantungan impor semen dan embrio beku BB Indonesia berkurang dan harapan pemenuhan kebutuhan daging akan dapat terwujud.

"Semen beku dan embrio beku BB ini akan didistribusikan kepada masyarakat setelah mendapatkan rekomendasi dari pakar pendamping pengembangan BB," tuturnya.

Lokasi sebaran tempat kelahiran sapi BB yaitu, BET Cipelang, BBPTUHPT Baturraden, BPTUHPT Padang Mengatas, BPTUHPT Sembawa, BPTUHPT Indrapuri, Balitnak, Polbangtan Bogor, BBPKH Cinagara, Polbangtan Yogyakarta - Magelang, Polbangtan Malang, BBPP Batu dan Loka Penelitian Sapi Potong Grati.

Sementara itu, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sugiono, mengatakan sebelum disebar ke masyarakat akan dilakukan kajian lebih dulu untuk mendapatkan data yang akurat terkait pertumbuhan sapi BB. Dikatakan Sugiono, saat ini pengembangan sapi BB sudah dikaji di tingkat UPT lingkup Kementan.

"Hasilnya bagus, kita akan kaji terus di tingkat peternak yang sudah bagus manajemenya, setelah itu baru didistribusikan ke masyarakat," imbuhnya.

Menurut Sugiono, sperma sapi BB baru bisa disebar ke masyarakat pada tahun 2022 setelah melalui tahapan kajian yang berjenjang dari lingkup UPT, dan uji coba di peternakan dengan manajemen pengelolaan yang bagus. Hal-hal yang akan dikaji sebelum disebar yaitu pertambahan bobot badan, pertumbuhannya baik, aspek kesehatan, dan aspek lingkungan.

"Kajiannya perlu dua tahun, dicoba dulu di kelompok tertentu, kalau punya manajemen bagus baru dilepas ke peternak. Tahun ini Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan) juga sudah pakai semen BB di wilayah tertentu," jelas Sugiono.

Ia berharap ke depannya, sapi BB ini bisa terus dikembangkan sebagai salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri yang kebutuhannya cukup tinggi.

"Sapi Belgian Blue ini memiliki bobot lebih besar dibanding sapi pada umumnya, jadi diharapkan dapat meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri," pungkasnya.

Sekadar informasi, Sapi Belgian Blue atau yang lebih dikenal dengan Sapi BB ini merupakan sapi hasil pemuliaan yang dilakukan dalam kurun waktu yang sangat lama di negara asalnya, Belgia. Sapi ini merupakan hasil persilngan antara Sapi Shorthorn dengan sapi lokal Belgia saat itu.

Pembentukan sapi BB sendiri berawal dari upaya pemerintah Belgia untuk menghasilkan sapi dwiguna (penghasil susu dan penghasil daging). Namun, untuk memenuhi kebutuhan protein hewani di negara tersebut, arah pengembangan sapi BB membentuk sapi BB ini menjadi sapi potong penghasil daging.

Program pemuliaan sapi Belgian Blue ini sendiri pada saat itu dipimpin oleh seorang professor dari Belgia yaitu Professor Hanset pada tahun 1973, dengan keunggulan sapi BB yaitu 'double muscling'.

Performa sapi BB yang besar dan potensi karkas yang dimilikinya sangat menarik negara lain untuk ikut mengembangkannya. Sapi BB ini sudah mulai tersebar ke 40 (empat puluh) negara di dunia. (INF)

PRINSIP PEMBERIAN PAKAN SAPI PEDAGING

Ternak sapi pedaging (Sumber: Istimewa)

Dalam penggemukan sapi, pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah tertentu dengan kandungan energi dan protein yang cukup, sehingga menghasilkan pertambahan berat badan (PBB) sesuai yang diharapkan.

Pakan ternak sapi pedaging di Indonesia saat ini sebagian besar masih menggunakan bahan pakan lokal. Hijauan sebagai sumber bahan pakan utama masih menjadi andalan peternak mencukupi kebutuhan energi ternak. Namun demikian, ketersediaan dan kualitas hijauan merupakan masalah utama dalam penyediaan pakan di Indonesia.

Pada musim hujan ketersediaan hijauan di Indonesia cukup berlebih, namun pada musim kemarau hijauan menjadi langka. Pada saat ketersediaan hijauan berlebih, peternak mestinya memanfaatkannya dengan mengolah menjadi hay (hijauan kering), silase atau pengolahan lainnya, sehingga dapat disimpan dan dimanfaatkan pada saat kelangkaan hijauan terjadi. Namun, keterampilan peternak masih sangat rendah sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat melakukannya.

Menurut Dr Idat Galih Permana dari Fakultas Peternakan (Fapet) Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam sebuah pelatihan tentang pakan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) di Bogor pada September 2019 lalu, menyatakan bahwa di samping ketersediaan hijauan yang fluktuatif, kualitas hijauan di Indonesia masih relatif rendah. Seperti halnya di daerah tropis, pertumbuhan hijauan untuk mencapai fase generatif sangat cepat, sehingga hijauan yang dipanen cenderung mengandung protein yang rendah dengan kandungan serat kasar tinggi. Rendahnya penggunaan pupuk pada lahan hijauan semakin menyebabkan menurunnya kualitas hijauan. Disamping itu, sebagian besar peternak masih sangat mengandalkan hijauan alam atau rumput alam, sehingga kualitasnya sama sekali tidak dapat dikontrol.

Sementara pemakaian konsentrat untuk ransum ternak ruminansia di Indoensia masih didominasi oleh bahan baku lokal. Hal tersebut terjadi karena ternak ruminansia tidak terlalu menuntut bahan baku dengan kandungan tinggi nutrien. Beberapa bahan baku yang umum digunakan dalam konsentrat ternak ruminansia diantaranya onggok, dedak padi, polar dan jagung sebagai sumber energi, serta bungkil sawit, bungkil kelapa dan ampas tahu sebagai sumber protein. Kendati demikian, permasalahan yang juga terjadi dalam penyediaan konsentrat adalah fluktuatif dan kualitas bahan baku yang tidak stabil.

Program penggemukan atau feedlot pada sapi pedaging ditujukan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan dalam waktu 3-5 bulan pemeliharaan sapi bakalan. Dalam program tersebut sapi bakalan diberi pakan dalam jumlah tertentu dengan kandungan energi dan protein yang cukup, sehingga menghasilkan pertambahan berat badan (PBB) yang diharapkan.

Pertambahan berat badan sapi tergantung dari banyak hal, antara lain jenis sapi, kelamin, umur, kualitas pemeliharaan pada masa pertumbuhan, serta jenis dan cara pemberian pakan. Selain pakan hijauan, sapi pedaging juga harus diberikan konsentrat khusus untuk penggemukan. Sebagai acuan dalam pembuatan pakan konsentrat sapi pedaging, dapat digunakan SNI Konsentrat Sapi Potong (3148-2:2017).

Jenis-jenis Bahan Pakan
Bahan pakan secara umum dikategorikan dalam empat jenis, yaitu hijauan, konsentrat, pakan suplemen dan imbuhan (additive). Konsentrat merupakan bahan pakan yang mengandung energi dan protein tinggi, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Terdiri dari biji-bijian/serealia, umbi-umbian, maupun limbah industri pertanian (agroindustry wastes). Kualitas bahan pakan konsentrat sangat ditentukan pada proses pengolahan, komposisi nutrisi, palatabilitas, kontaminasi dan proses penyimpanannya.

Bahan konsentrat yang berasal dari limbah industri pertanian pada umumnya berupa bungkil dan ampas. Bungkil adalah limbah hasil ekstrasi minyak dari suatu bahan, misalnya bungkil kedelai, bungki kelapa, bungkil inti sawit dan lain sebagainya. Bungkil bisa mengandung protein yang tinggi dan kaya akan mineral. Sedangkan ampas adalah limbah industri pertanian yang berasal dari proses ekstraksi sari pati suatu bahan, misalnya ampas singkong (onggok), ampas tahu, ampas sagu dan lain sebagainya. Kandungan nutrien ampas lebih rendah dari bungkil, bahkan memiliki serat yang lebih tinggi.

Proses pengolahan bungkil dan ampas ini sangat berpengaruh terhadap kulitas bahan pakan. Hal itu dikarenakan komposisi nutrisi bahan pakan yang pada akhirnya akan  menentukan kualitas bahan pakan tersebut. Kandungan nutrien yang digunakan dalam penentuan kualitas adalah nutrien makro seperti karbohidrat/energi, protein, lemak dan pati, disamping kandungan mineral (makro maupun mikro), serta vitamin.

Penentuan kandungan nutrien makro dapat dilakukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat terdiri dari bakan kering, abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrat tanpa nitrogen (BETA-N). Adapun untuk serat kasar, berhubungan negatif dengan kualitas, semakin tinggi serat kasar maka kualitas bahan pakan semakin rendah.

Sedangkan untuk segi palatabilitas yang merupakan daya suka ternak terhadap suatu bahan pakan, bisa dipengaruhi oleh komposisi nutrisi, bentuk fisik, rasa, serta kandungan anti-nutrisi. Bahan pakan yang berkualitas baik akan memberikan palatabilitas tinggi dan sebaliknya bahan pakan yang palatabilitasnya rendah dianggap kurang berkualitas. Kandungan nutrisi tentu akan mempengaruhi palatabilitas. Pakan yang mengandung energi dan protein tinggi lebih disukai ternak dan sebaliknya kadar serat memberikan palatabilitas yang rendah.

Selain itu, bentuk fisik seperti tekstur, warna, bau, juga turut mempengaruhi palatabilitas. Ternak ayam misalnya, lebih menyukai butiran jagung yang berwarna cerah dibandingkan jagung dalam bentuk tepung dan berwarna pucat. Demikian juga dengan kandungan anti-nutrisi sangat mempengaruhi palatabilitas. Contohnhya adalah biji kedelai utuh yang mengandung tripsin inhibitor, memiliki palatabilitas yang rendah dibanding dengan bungkil kedelai, atau sorgum yang mengandung tanin yang tinggi akan dikonsumsi lebih rendah dibandingkan dengan sorgum yang mengandung tanin yang rendah. Pada level tertentu, anti-nutrisi juga akan mengganggu pencernaan dan kesehatan ternak.

Faktor lain yang juga mempengaruhi palatabilitas adalah kontaminasi benda asing. Onggok atau ampas singkong yang dipalsukan dengan pasir laut akan memiliki palatabilitas yang rendah, demikian juga dengan bungkil inti sawit yang banyak mengandung tempurung sawit atau dedak padi yang dicampur sekam, tingkat konsumsi atau palatabilitasnya akan rendah. Perhatikan juga dengan proses penyimpanan, apabila kurang baik sangat mempengaruhi kualitas konsentrat. Penyimpanan yang buruk seperti lembab, kotor, sirkulasi udara kurang baik akan menyebabkan bahan pakan menjadi rusak, berjamur, yang akhirnya mengubah kandungan nutrisinya. Hal ini tentu menurunkan kualitas bahan pakan.

Selain konsentrat, pakan utama yang terpenting untuk ternak ruminansia besar dan kecil adalah hijauan. Hijauan dapat terdiri dari rumput dan legum, baik yang dibudidayakan maupun dari alam. Rumput budidaya memiliki produksi dan kualitas yang relatif baik, dibandingkan hijauan alam yang kualitasnya bervariasi. Kualitas hijauan budidaya tergantung pada beberapa hal, antara lain umur pemanenan, kualitas lahan, varitas, palatabilitas, bulkiness dan laksatif efek.

Untuk mendapatkan performa sapi pedaging yang baik dalam masa pemeliharannya, bahan pakan yang tersedia harus diberikan dengan prinsip formulasi ransum yang benar. Maksudnya adalah teknik meramu atau mengombinasikan beberapa bahan pakan agar mencapai kandungan nutrien sesuai kebutuhan ternak dengan harga ekonomis. Ransum yang baik harus memenuhi seluruh nutrien yang dibutuhkan ternak. Pakan harus menggunakan berbagai bahan pakan, karena tidak ada satupun bahan pakan yang memiliki kandungan nutrien yang cukup untuk memenuhi kebutuhan ternak. Jadi untuk mencukupi kebutuhan seekor ternak, berbagai bahan pakan harus dikombinasikan. Dan karena tidak ada bahan pakan yang sempurna, maka setiap bahan pakan dalam ransum peran masing-masing. Dengan mengombinasikan dengan bahan lain, maka akan terjadi supplementary effect atau efek saling melengkapi.

Idat Galih menegaskan, ransum yang baik adalah ransum yang seimbang dengan harga yang murah (balance least cost ration), yaitu ransum yang memiliki kandungan nutrien yang cukup, serta menggunakan bahan pakan yang seimbang dengan harga rendah. Untuk menghasilkan ransum yang seimbang dan murah, maka harus menggunakan bahan pakan yang tersedia, berkualitas dan relatif harganya murah. Ransum harus berharga relatif murah karena untuk menghasilkan produk ternak dengan biaya per unit produksi yang murah maka ternak harus diberi pakan yang relatif murah. Namun demikian yang dimaksud dengan murah bukan berarti “murahan”, karena untuk sekadar menyusun ransum dengan harga murah sangat mudah, namun untuk menyusun ransum yang baik dan seimbang serta murah tidak mudah.

Untuk melakukan formulasi ransum, seorang peternak atau ahli nutrisi pakan harus mengetahui beberapa hal, antara lain kebutuhan nutrien ternak, ketersediaan bahan pakan dan komposisi nutriennya, harga bahan pakan tersedia, serta batasan penggunaan bahan pakan. Ada banyak metode dalam menyusun ransum, mulai dari metode sederhana, metode coba-coba sampai dengan menggunakan komputer dengan bantuan software tertentu. Penggunaan sotware pada prinsipnya adalah dengan menggunakan metode linier, yaitu suatu metode optimasi dalam meminisasi harga atau mekasimumkan keuntungan. *** 

Andang S Indartono
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer