Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Penyakit Antraks | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

LANGKAH PEMERINTAH KENDALIKAN ANTRAKS DI GUNUNGKIDUL

Pengendalian antraks melalui vaksinasi dan membangun kesadaran deteksi dini gejala antraks. (Foto: Istimewa)

Kementerian Pertanian (Kementan) kendalikan penyakit antraks melalui pengoptimalan vaksinasi pada hewan khusus ruminansia seperti sapi, kerbau, atau kambing. Selain vaksinasi, pihaknya bersama pemerintah daerah juga membangun kesadaran masyarakat melakukan pengecekan dini guna mengenali gejala antraks.

“Langkah kolaboratif ini diharapkan mampu menurunkan penyebaran antraks sekaligus meningkatkan sistem kekebalan hewan ternak,” ujar Kepala Dinas Veteriner dan Kesehatan Hewan Gunung Kidul, Wibawanti, di Desa Candirejo, Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Kamis (13/7/2023), melalui siaran pers Kementan.

Sementara Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma'arif, mengatakan antraks yang merupakan penyakit bakterial bersifat menular akut pada manusia dan hewan yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis yang hidup di tanah. Bakteri ini dapat menyerang hewan pemakan rumput dan dapat menular ke manusia.

“Pelaporan adanya penyakit atau kematian hewan yang tidak biasa, wajib dilakukan pemilik ternak dan perusahaan peternakan untuk menanggulangi penyebaran,” kata Syamsul.

Ia mengimbau semua pihak bisa bekerja sama, utamanya dalam melaporkan hewan yang sedang sakit. Sesuai aspek keamanan pangan, ketika hewan sakit harus dilaporkan ke dokter hewan untuk memastikan bahwa penyakit tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya.

“Bila dokter mendiagnosis penyakit antraks, maka sesuai aturan berdasarkan sifat penyakit, hewan tersebut dilarang untuk dipotong dan/atau membuka bangkainya. Sebab bakteri antraks yang keluar dari tubuh, begitu terpapar udara akan segera membentuk spora, dimana spora tersebut akan dapat bertahan di lingkungan hingga puluhan tahun,” jelasnya.

Lebih lanjut, spora tersebut akan menginfeksi manusia dan dapat menimbulkan empat tipe penyakit, yaitu tipe saluran pencernaan bila masyarakat mengonsumsi, tipe kulit yang ditunjukkan dengan adanya keropeng khas, tipe paru- paru bila mengirup spora dan tipe radang otak.

“Kalau hewan sudah mati harusnya langsung dikubur dengan kedalaman tertentu hingga tanah uruknya kira-kira dua meter, agar tidak digali oleh hewan pemakan daging lainnya,” sebutnya.

Berkaitan dengan antraks, Syamsul mengatakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) yang sangat masif pada masyarakat sangat penting untuk membangun kesadaran akan kesehatan hewan dan menjamin keamanan pangan.

“Penyembelihan hewan di RPH juga sangat penting untuk memastikan hewan yang disembelih sehat atau tak berpenyakit yang membahayakan kesehatan masyarakat,” tukasnya. (INF)

KEMENTAN INVESTIGASI KASUS ANTRAKS DI GUNUNG KIDUL

Kasus Antraks diidentifikasi terjadi di Kabupaten Gunung Kidul. (Foto: Infovet/Ridwan)

Menindaklanjuti adanya laporan kasus kematian ternak dan kasus dugaan Antraks pada manusia, Kementerian Pertanian (Kementan) langsung menerjunkan tim untuk melakukan investigasi di Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di Desa Gobang, Kecamatan Pojong.

Investigasi dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementan, yakni Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates yang ada di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH). Hal ini disampaikan berdasarkan laporan dari tim investigasi, Bagoes Poermadjaja, 11 Januari 2020. 

“Setelah menerima informasi kejadian kasus, tim langsung kami terjunkan ke lokasi untuk mengetahui penyebab kematian ternak, mengetahui pola penyebaran penyakit serta identifikasi faktor risiko yang berperan dalam menimbulkan kasus tersebut,” kata Bagoes.

Menurutnya, berdasarkan hasil investigasi diketahui bahwa sebenarnya kasus kematian ternak kambing sudah terjadi sejak 16 Desember 2019, kemudian tercatat juga ada kematian sapi pada 18 Desember 2019. Kasus ini berlangsung sampai pada 28 Desember 2019. Hasil investigasi tim menunjukkan bahwa sebagian ternak yang sakit dipotong oleh masyarakat untuk tujuan konsumsi.

“Sangat disayangkan bahwa kasus ini terlambat dilaporkan, sehingga menimbulkan kasus pada manusia,” ucapnya. Bagoes juga menyayangkan masyarakat yang masih melakukan pemotongan ternak yang sakit untuk di konsumsi. 

“Semua ternak sakit seharusnya dilaporkan ke petugas untuk diambil tindakan. Dan ternak yang sakit tidak boleh dipotong,” tegas dia. 

Berdasarkan investigasi tim dan pemeriksaan laboratoriumnya, Bagoes menyampaikan bahwa kasus kematian ternak di Desa Gobang, Kecamatan Pojong, Kabupaten Gunung Kidul disebabkan oleh penyakit Antraks. Ia berpendapat bahwa adanya pemasukan ternak baru dan konsumsi daging ternak yang sakit merupakan faktor risiko terjadinya kasus Antraks pada ternak dan manusia di desa tersebut.

“Invetigasi ini dilakukan dengan koordinasi bersama dinas pertanian dan pangan serta dinas kesehatan mengingat ini kasus zoonosis. Dinas kesehatan juga melakukan pengambilan sampel berupa tanah tempat terjadinya kasus dan sampel luka pada kulit manusia yang diduga terpapar Antraks,” tambahnya.

Sementara, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, menyampaikan sudah menerima laporan kejadian kasus tersebut dan sudah menyiapkan bantuan berupa vaksin, antibiotik dan desinfektan.

“Dihimbau kepada masyarakat agar melapor ke petugas apabila terdapat ternak yang sakit atau mati mendadak dan tidak melakukan pemotongan kepada ternak tersebut,” kata Fadjar. (INF)

WASPADA ANTRAKS JELANG HARI RAYA IDUL ADHA

Pastikan memilih hewan di tempat hewan kurban yang telah ditetapkan/diawasi pemerintah dan memastikan hewan memiliki SKKH dari dinas. (Foto: Infovet/Ridwan)

Menjelang Hari Raya Idul Adha 1440 H yang jatuh pada 11 Agustus 2019, pemerintah lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengimbau masyarakat mewaspadai adanya kasus antraks pada hewan kurban. I Ketut Diarmita, Dirjen PKH, Kementan menyampaikan pesan tersebut melalui rilisnya tanggal 11 Juli 2019.

Melalui pesan tertulisnya, Kamis (11/7/2019), Dirjen PKH I Ketut Diarmita menjelaskan, penyakit ini bisa menyerang hewan seperti sapi, kerbau, dan kambing/domba, serta bisa ditularkan ke manusia (zoonosis) melalui kontak dengan hewan tertular atau benda/lingkungan yang tercemar.

“Walaupun berbahaya, penyakit antraks di daerah tertular bisa dicegah dengan vaksinasi yang disediakan pemerintah. Sementara untuk daerah bebas antraks bisa dicegah dengan pengawasan lalu lintas hewan secara ketat,” ujar Ketut.

Ia mengungkapkan, “Saat ini beberapa provinsi di Indonesia memang tercatat pernah melaporkan kasus antraks, namun dengan program pengendalian yang ada, kasus tersebut sifatnya sporadis dan dapat terkendali, sehingga kerugian peternak dapat diminimalisir dan ancaman kesehatan masyarakat bisa kita tekan.”

Sesuai standar Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), dalam penanganan wabah antraks, jika di wilayah tersebut dalam waktu 20 hari tidak ada kasus (kematian), maka antraks di wilayah tersebut dapat dinyatakan terkendali, sehingga lalu lintas dan perdagangan hewan rentan dapat dilakukan sepanjang hewan tidak berasal dari wilayah yang sedang wabah.
“Yang terpenting hewan harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dan hasil uji laboratorium,” ucapnya.

Sebagai langkah kewaspadaan antraks, Ketut meminta dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota untuk segera melaksanakan kegiatan pemeriksaan kesehatan hewan kurban di tempat penampungan/pemasaran, pengaturan dan pengawasan tempat penampungan/pemasaran hewan, pengawasan pelaksanaan dan jadwal vaksinasi antraks, sosialisasi dan bimbingan teknis, serta pemeriksaan teknis pada hewan sebelum dan setelah pemotongan saat pelaksanaan kurban. 

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH, Syamsul Ma'arif, mengemukakan, berdasarkan data Ditjen PKH 2018, penyembelihan hewan kurban di Indonesia mencapai 1.224,284 ekor, terdiri dari 342.261 ekor sapi, 11.780 ekor kerbau, 650.990 ekor kambing, dan 219.253 ekor domba. Kebutuhan ternak kurban 2019 diprediksi meningkat sekitar 10% dari kebutuhan 2018.

“Sebagai bentuk perlindungan kesehatan masyarakat dari ancaman penyakit seperti antraks, kita terjunkan tim pemantauan hewan kurban di seluruh Indonesia yang terdiri dari petugas pusat, provinsi, kab/kota, juga dari unsur mahasiswa kedokteran hewan dan organisasi profesi,” kata Syamsul.

Sementara, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, memberikan tips dalam memilih hewan kurban yang sehat, yaitu dengan cara memilih hewan di tempat hewan kurban yang telah ditetapkan/diawasi pemerintah dan memastikan hewan memiliki SKKH dari dinas/petugas kesehatan hewan, serta pada saat dilihat/diperiksa hewan kurban tersebut bernafas teratur, berdiri tegak dan tidak ada luka, bola mata bening dan tidak ada pembengkakan, area mulut dan bibir bersih, lidah bergerak bebas dan air liur cukup membasahi rongga mulut, serta area anus bersih dan kotoran padat.

“Dengan memastikan aspek-aspek tersebut, maka hewan kurban yang dipilih aman dari kemungkinan sakit,” tandasnya. (INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer