Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Pandemi COVID-19 | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

WEBINAR NASIONAL ASOHI, DAMPAK PANDEMI PADA BISNIS PETERNAKAN

Webinar Nasional ASOHI Outlook Bisnis Peternakan 2020 “Dampak Pandemi COVID-19 pada Bisnis Peternakan”. (Foto: Dok. Infovet)

Selasa, 24 November 2020. Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) kembali mengadakan agenda rutin tahunannya yakni Webinar Nasional Outlook Bisnis Peternakan 2020 bertemakan “Dampak Pandemi COVID-19 pada Bisnis Peternakan”.

Kegiatan kali ini diadakan secara virtual mengingat kondisi pandemi yang urung usai. “Indonesia menghadapi pandemi COVID-19 yang terjadi di luar prediksi. Usaha peternakan menghadapi tantangan penurunan daya beli, namun di sisi lain terjadi perubahan pola belanja masyarakat dimana transaksi online mengalami peningkatan. Begitu juga pada kegiatan-kegiatan tatap muka yang kini bergeser pada kegiatan online/daring,” ujar Ketua Panitia, Drh Yana Ariana.

Namun begitu diharapkan webinar kali ini tetap bisa memberikan referensi bagi para pelaku industri peternakan dalam menyusun rencana dan melakukan evaluasi bisnis. Hal itu ditambahkan Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari dalam sambutannya.

“Kegiatan ini selalu mengikuti perkembangan situasi aktual. Pada 2020 diprediksi terjadi pelemahan ekonomi global, sehingga dunia usaha harus berhati-hati. Kini dengan adanya pandemi COVID-19, semua hal terjadi di luar prediksi. Sehingga diharapkan melalui webinar ini peserta mendapat informasi yang bermanfaat mengenai situasi peternakan saat ini dan prediksinya 2021 mendatang,” ungkap Irawati.

Khusus membahas penanganan COVID-19 dan dampak COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia, ASOHI menghadirkan pembicara tamu Koordinator Tim Pakar Satgas Penanganan COVID-19, Prof Wiku Adisasmito, dan ekonom Dr Faisal Basri.

Menurut paparan Faisal, kondisi ekonomi Indonesia saat ini shock akibat pandemi yang merajalela. “Saat ini situsinya masih memburuk, perekonomian kita menurun. Ini juga pengaruh dari perekonomian dan perdagangan dunia yang berantakan,” ujar Faisal.

Lebih lanjut, kondisi tersebut juga mempengaruhi pendapatan masyarakat yang semakin melemah, yang turut berdampak pada berkurangnya konsumsi protein hewani (daging) Indonesia.

“Pemerintah juga enggak serius menangani COVID-19 ini, karena bukannya membuat aturan darurat memerangi pandemi, malah membuat aturan antisipasi dampak pandemi. Sehingga efeknya Indonesia banyak mengalami penurunan ekonomi,” ucap dia. Dari prediksinya, tahun depan penurunan ekonomi juga masih terjadi.

Untuk keluar dari kemerosotan, Faisal mengimbau pemerintah fokus pada peningkatan konsumsi rumah tangga.

Sementara menurut Prof Wiku, untuk meminimalisir gelombang pandemi, pengontrolan penyakit melalui masyarakat menjadi kunci, selain menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati.

“Ekosistem dan keanekaragaman hayati adalah penopang dan penentu keberlangsungan hidup manusia. Bersikap eksploitatif terhadap alam adalah investasi untuk bencana di masa mendatang,” kata Prof Wiku.

Hal itu juga yang menjadi perhatian untuk meminimalisir adanya ancaman penyakit baru di Indonesia. “Kita harus waspada terhadap ancaman penyakit baru. Dalam 16 tahun terakhir ada empat penyakit baru muncul, diantaranya H1N1, H7N9, Mers-Cov dan COVID-19. Oleh karena itu, menjaga keseimbangan alam menjadi hal yang harus dilakukan,” tukasnya.

Selain mereka berdua, turut pula dihadirkan narasumber dari para ketua asosiasi bidang peternakan, diantaranya Achmad Dawami (Ketua GPPU), Desianto B. Utomo (Ketua GPMT), Eddy Wahyudin dan Samhadi (Pinsar Indonesia), Yudi Guntara Noor (Ketua HPDKI), Teguh Boediyana (Ketua PPSKI), Sauland Sinaga (Ketua AMI) dan Irawati Fari (Ketua ASOHI), yang masing-masing memberikan pemaparan mengenai situasi bisnis di 2020 dan proyeksinya pada 2021 mendatang. (RBS)

MILAD KE-41: ASOHI SERENTAK BAGIKAN 5.000 MAKANAN BAGI WARGA TERDAMPAK COVID-19

Pengurus ASOHI Nasional membagikan paket makanan berupa daging ayam dan telur bagi warga terdampak COVID-19. (Foto: Dok. Infovet)

Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Nasional maupun Daerah pada Minggu (25/10), serentak menggelar kegiatan bagi-bagi makanan dengan menu daging ayam dan telur sebanyak 5.000 paket kepada warga terdampak COVID-19 di beberapa daerah di Indonesia.

Kegiatan ASOHI Peduli bertajuk “Ayo Makan Daging Ayam dan Telur” di 17 daerah diselenggarakan dalam rangka memperingati Milad ke-41 tahun ASOHI yang menghimpun pelaku industri obat hewan di Indonesia.

Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, menyampaikan apresiasinya kepada seluruh anggota yang telah ikut melaksanakan kegiatan ASOHI Peduli bagi warga terdampak COVID-19.

“Terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus ASOHI Nasional dan Daerah yang telah meluangkan waktu, tenaga, sumber daya lainnya untuk menyukseskan acara ulang tahun ASOHI ke-41 dalam bentuk kegiatan CSR/ASOHI Peduli. Alhamdulillah acara berjalan lancar, sukses dan aman,” ujar Irawati dalam keterangannya.

Menurutnya, kegiatan ini menjadi bagian kontribusi ASOHI dalam mengedukasi masyarakat dan meningkatkan konsumsi protein hewani.

“Sebab mengonsumsi daging ayam dan telur itu menyehatkan dan mencerdaskan masyarakat, sekaligus kita membantu meningkatkan industri peternakan,” ucapnya.

Ia pun berharap kegiatan yang baik ini mendapat berkah dari Sang Pencipta “Semoga amalan yang dilakukan dengan mulia ini dibalas oleh Allah SWT dengan berkah dan rahmat yang berlipat ganda. Semoga ASOHI makin jaya, salam sehat,” pungkas Ira.

Kegiatan di Daerah
ASOHI Cabang Jawa Tengah ikut membagikan ratusan menu makanan daging ayam dan telur yang langsung dimasak besama warga di dapur darurat di Nayu Timur, RT 01 RW 08, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari.

Ketua ASOHI Jawa Tengah, Agus Eko Sulistiyo, menyatakan total sebanyak 409 paket makanan dibagikan kepada warga yang membutuhkan. “Serentak ini dilaksanakan di berbagai wilayah di Indonesia dengan total keseluruhan 5.000 paket. Kebetulan Solo menjadi kota penyelenggara khusus wilayah Jawa Tengah,” kata Agus dikutip dari Radar Solo.

Dengan dibantu warga sekitar, kegiatan amal tersebut pun berjalan lancar. “Kami libatkan masyarakat untuk meningkatkan semangat gotong royong di tengah pandemi COVID-19. Tentu selama kegiatan kami menerapkan protokol kesehatan ketat,” ucapnya.

Sementara kegiatan yang sama di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dilakukan secara maraton mulai 23-25 Oktober 2020, yang difokuskan disejumlah panti asuhan di Kota Makassar dan Maros.

Kegiatan ASOHI Peduli di daerah. (Foto: Istimewa)

Dilansir dari Otomakassar.com, Ketua ASOHI Sulsel, Drh Djatmiko, mengungkapkan bahwa pemberian asupan gizi protein hewani penting untuk menjaga kesehatan tubuh dari serangan COVID-19.

“Kita pilih panti asuhan karena komunitas masyarakatnya terbilang daya belinya cukup rendah, sekaligus ASOHI memberi perhatian untuk kelangsungan generasi muda,” kata Djatmiko.

ASOHI Sulsel sendiri menyediakan 400 boks makanan dengan menu daging ayam dan telur. Pada hari pertama diberikan ke panti Yakartuni di Kota Makassar dan sekolah Tahfidz Qur’an Rabbani di Kabupaten Maros. Hari kedua dilaksanakan di panti asuhan Al Ma’arifah dan panti asuhan Al Abrar, serta kelompok ojek online di Kota Makassar. Pada hari terakhir dipusatkan kampanye makan daging ayam dan telur di pantai Losari dan tempat pembuangan akhir sampah (TPA) di Kota Makassar. (RBS)

COVID-19 MELANDA, USAHA “MINI LAYER URBAN FARMING” BOLEH DICOBA

Mini Layer Urban Farming, budi daya ayam petelur yang bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. (Foto: Dok. Handris)

Awal 2020 ini dunia sedang dilanda pandemi COVID-19 yang melanda hampir seluruh negara-negara di dunia. Roda perekonomian pun turun drastis pada titik terendah, yang mengakibatkan banyak sekali perusahaan dan usaha kecil menengah tidak bisa bertahan oleh terpaan krisis ekonomi yang kencang ini.

Banyak cara dilakukan berbagai perusahaan agar tetap bisa bertahan menghadapi gelombang krisis ini. Mulai dari mengurangi skala produksi serta mengatur jadwal masuk kerja dari karyawan aktifnya. Dampak ini sungguh terasa pada perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi, hiburan, perhotelan, wisata kuliner dan terutama pariwisata.

Dalam kondisi sulit dan kritis seperti ini perlu mengasah insting bisnis dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam rangka menghadapi badai krisis yang belum diketahui sampai kapan akan berakhir dan seberapa parah dampaknya.

Salah satu ide kreatif dan imajinatif adalah diciptakannya model beternak ayam petelur mini atau skala kecil yang dinamakan “Mini Layer Urban Farming” oleh Koperasi Makmur Sidoarjo,  Jawa Timur. Selama ini masyarakat hanya tahu bahwa telur ayam ras yang dikonsumsi setiap hari adalah dari hasil produksi peternakan ayam petelur (layer) intensif berskala besar. Padahal model, bentuk dan cara beternak ayam petelur itu sendiri masyarakat awam masih banyak yang belum tahu.

Kendati demikian, dengan adanya Mini Layer Urban Farming ini masyarakat jadi bisa mengetahui bagaimana model, bentuk dan cara melakukan budi daya ayam petelur dalam skala kecil. Masyarakat bisa mempraktikkan sendiri bagaimana cara beternak ayam petelur yang baik dan benar. Hal yang dulu mungkin hanya sebuah impian, sekarang bisa direalisasikan menjadi kenyataan yang bisa setiap hari mereka kerjakan di rumah atau disela-sela waktu luang sebelum dan setelah jam kerja utama.

Seperti namanya, Mini Layer Urban Farming adalah kegiatan beternak ayam petelur skala kecil yang bisa dilakukan oleh masyarakat urban, yaitu masyarakat perkotaan yang tidak mempunyai lahan yang luas. Kegiatan usaha ini termasuk kategori kegiatan yang multi-purpose, yang mempunyai banyak fungsi sebagai kegiatan usaha beternak, sekaligus mengisi waktu luang, refreshing, maupun edukasi dan pelatihan bisnis pada anak-anak maupun lembaga pendidikan.

Mini Layer Urban Farming adalah konsep beternak ayam petelur dalam kandang baterai yang hanya berjumlah delapan ekor. Paket ternak ini terdiri dari kandang dan ayam dara siap bertelur. Namun, paket kandang dan ayam baru bisa direalisasi untuk wilayah Jawa Timur saja, untuk wilayah di luar Jawa timur hanya berlaku penjualan kandang saja karena terkendala pengiriman ayamnya. Kendati begitu, kandang bisa diisi tak hanya untuk ayam petelur, melainkan ayam kampung ataupun ayam arab.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada budi daya Mini Layer Urban Farming ini adalah sebagai berikut: 
• Siapkan tempat dengan luas tanah 2 x 3 meter.
• Pastikan tempat tersebut mendapat sirkulasi udara yang baik dan cukup, serta teduh.
• Buatlah lantai semen di bawahnya agar tidak becek dan mudah dibersihkan.
• Tempatkan kandang mini di atas lantai semen tersebut.
• Bersihkan tempat minum dan isi penuh dengan air bersih setiap pagi (air minum harus selalu tersedia).
• Pemberian pakan layer komplit (pakan jadi) bisa dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore. Pakan bisa dibeli di poultry shop wilayah masing-masing atau dengan mencampur sendiri (konsentrat layer : jagung : katul = 35% : 50% : 15%).
• Jatah pakan adalah 120 gram/ekor/hari. Pagi hari diberikan 60 gram dikalikan jumlah ayam, begitu juga pada pemberian pakan sore harinya. 
• Bersihkan kotoran setiap hari agar tidak menumpuk dan menimbulkan bau. Hal ini juga sebagai pencegah penyebaran penyakit pada ayam.
• Lakukan penyemprotan dengan disinfektan sesuai dosis pada label setiap hari untuk membunuh bakteri dan virus yang ada di kandang.
• Berikan penerangan lampu mulai pada pukul 18:00-22:00, setelah itu lampu dimatikan sampai pagi hari.
• Setelah itu baru bisa dilakukan pemungutan telur.
• Untuk mencegah bau kotoran, bisa diberikan probiotik melalui pakan.

Melihat aktivitas kegiatan dan cara budi daya Mini Layer Urban Farming, sangat memungkinkan usaha ini bisa dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik di perdesaan maupun perkotaan dengan lahan terbatas. Lahan yang sempit serta modal yang besar sudah bukan manjadi masalah lagi. Dari memulai berbisnis mini layer ini, nantinya bisa dikembangkan menjadi usaha peternakan ayam petelur yang lebih besar lagi. Untuk itu perlu belajar, praktek, mendalami, mencermati, serta mengevaluasi agar usaha budi daya bisa menjadi berkembang dan membawa manfaat bagi banyak orang, khususnya di era pandemi COVID-19 ini.

Konseptor Mini Layer Urban Farming, Drh Handris Nugraha (kiri) dan Drh Andy Siswanto. (Foto: Dok. Handris)

Diharapkan dengan hadirnya budi daya mini layer ini masyarakat masih bisa beraktivitas serta melakukan kegiatan usaha dengan konsep urban farming yang tentunya sangat bermanfaat. Konsep Mini Layer Urban Farming juga sangat cocok sebagai salah satu pilihan program bina lingkungan, desa dan kampung tangguh, kemandirian gizi dan ekonomi, serta program CSR (Corporate Social Responsibility) oleh perusahaan-perusahaan yang mudah dilakukan dengan biaya yang murah, serta mudah dikontrol dan dievaluasi keberhasilan maupun kendalanya.

Untuk masyarakat yang kurang beruntung, dengan mendapatkan project mini layer farm ini, mereka bisa mempunyai tambahan lapangan kerja baru, kemandirian gizi dan ekonominya.  Hasil produksi telur selain bisa dikonsumsi sendiri, juga bisa untuk dijual kepada masyarakat.

Analisis usaha Mini Layer Urban Farming

 

Investasi

Biaya

Pendapatan

Perbulan

Kandang

1.200.000

5.000

Ayam pullet

800.000

18.333

Pakan

158.400

Penjualan telur (Rp/bulan)

278.400

Total

2.000.000

181.733

278.400

 

 

 

 

Keuntungan bersih (Rp/bulan)

95.000

ROI (bulan)

21


Catatan:
• Jumlah ayam/pullet (ekor) : 8 (delapan)
• Asumsi produksi (80-90%) : 0.80
• Memproduksi telur         : 7 (tujuh) butir/hari (90% x 8 ekor)
• Produksi satu bulan (butir) : 192
• Harga pakan (Rp/kg)         : 5.500
Feed konsumsi (120 gram/ekor/hari) : 0.12
• Biaya pakan (Rp/bulan) : 158.400
Life time kandang (tahun) : 20
• Beban biaya kandang (Rp/perbulan) : 5.000 
• Beban biaya pullet (Rp/perbulan) : 18.333
• Asumsi pemeliharaan         : s/d 24 bulan
• Asumsi harga telur (Rp/butir) : 1.450
• Asumsi harga ayam afkir 8 ekor (Rp) : 360.000 
• Harga sapronak tergantung wilayah dan bisa berubah setiap saat. ***

Ditulis oleh:
Drh Handris Nugraha (Praktisi perunggasan)

KETIKA KONSUMSI TAK SETARA PRODUKSI


Oleh: Heri Setiawan

Sepenggal kalimat yang di-posting di salah satu WhatsApp Group (WAG), 21 Agustus 2020, pukul 20:03 itu, kesannya bak pisau bermata dua. Maklum, pengirimnya adalah pejabat Eselon II Kementerian Pertanian. Salah satu pejabat kunci yang memiliki otoritas tinggi dalam penerbitan rekomendasi.

Mungkin saja, maksud sang Pejabat mengirimkan pesan singkat itu sekedar berbasa-basi. Sekedar menjalin komunikasi dengan para anggota WAG, atau bisa jadi bersifat “intimidasi” yang tersembunyi.

Pada tanggal yang sama pukul 14:50, Beliau mem-posting pesan panjang. Isinya mengimbau kepada bapak/ibu pimpinan perusahaan pembibitan dan pakan ayam ras agar dapat menaikkan serta melaksanakan penyerapan live bird (LB) berdasarkan alokasi penyerapan masing-masing perusahaan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab bersama, sehingga stabilisasi perunggasan dapat tercapai dengan lebih baik.

Landasan yang dipergunakan adalah Surat Himbauan No. B-22007/PK.230/F2.5/07/2020 tanggal 22 Juli 2020 tentang penyerapan LB peternak UMKM. Selain itu, juga Surat Himbauan No. B-12005/TU.020/F2.5/08/2020 tanggal 12 Agustus 2020 tentang penyerapan LB internal dan eksternal perusahaan pembibit ayam ras pedaging.

Tunggu punya tunggu, lebih dari 5 jam sejak pesan panjang itu tayang, (mungkin) membuat sang Pejabat penasaran dan bertanya-tanya. Eksekusinya adalah, tayangan sepenggal kalimat ambigu di WAG itu: “Wa saya tdk di respon trima kasih. Gmna hp sy nt rusak tidak bisa klik rekomendasi impor GPS.

Ajaib, dalam hitungan menit, malam itu juga muncul respon positif: Siap. Keesokan paginya, respon pertama pukul 04:25. Selanjutnya, berurutan muncul respon-respon positif lainnya hingga sore pukul 17:38.

Konsumsi Daging Ayam

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 November 2019, merilis data “Demand Daging dan Telur Ayam Ras 2020.” BPS mengestimasikan bahwa demand daging ayam ras tahun 2020 sebesar 3.442.558 ton. Bila dikonversikan dengan jumlah penduduk Indonesia, berarti konsumsi daging ayam ras pada 2020 tersebut mencapai 12,79 kg/kapita/tahun.

Pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Tak terkecuali tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap daging ayam ras. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) pada 14 Juli 2020, menerbitkan skenario baru konsumsi daging ayam menjadi 9,08 kg/kapita/tahun. Berdasarkan revisi itu, demand-nya menjadi 2.447.691 ton. Surplus sekitar 1 juta ton.

Bila ditarik ke arah hulu, berarti juga terjadi kelebihan produksi DOC broiler. Semula diprediksi bahwa produksi DOC broiler pada 2020 sekitar 3,6 miliar ekor. Situasi dan kondisi pandemi COVID-19 tersebut menjadikan produksi DOC broiler berlebihan.

Dampak akhir dari semuanya itu adalah terpuruknya harga LB, khususnya di pulau Jawa. Kegaduhan pun timbul di mana-mana, apalagi di media sosial. Beraneka macam komen bermunculan di berbagai WAG perunggasan. Seperti halnya kejadian-kejadian terdahulu, Ditjen PKH pun turun tangan. Ujung-ujungnya adalah terbitnya suatu kebijakan. Kali ini bukan lagi berbentuk Surat Edaran (SE), tapi Surat Himbauan (SH).

Manfaatkan Momentum

Alih-alih memanfaatkan momentum perlunya pemenuhan gizi guna meningkatkan daya tahan tubuh dalam menghadapi pandemi COVID-19, Kementerian Pertanian (Kementan) justru me-launching kalung Anti Virus Corona Eucalyptus pada 8 Mei 2020. Promosinya luar biasa. Melibatkan berbagai media massa. Tayang di mana-mana. Bahkan, promosi lintas departemental dan institusional.

Tak ayal lagi, klaim sebagai “anti-virus” memantik polemik dan kontroversi. Masing-masing pihak berargumentasi berdasarkan sudut pandang dan latar belakang keilmuannya. Belakangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Fadjry Djufry, dalam konferensi virtual pada 6 Juli 2020 melunak. Disebutkannya “Kalaupun tidak punya khasiat membunuh virus corona (COVID-19), paling tidak melegakan pernapasan.”

Sejatinya, Kementan juga melakukan kampanye peningkatan konsumsi daging ayam guna menguatkan daya tahan tubuh. Sayangnya, video promosi itu hanya tayang dalam akun Instagram Kementan @kementerianpertanian. Tidak dipublikasikan secara massif. Tak ada penayangan oleh media mainstream.

Dalam video berdurasi satu menit tersebut Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengajak masyarakat untuk mengonsumsi daging ayam sebagai salah satu cara menjaga daya tahan tubuh dari infeksi virus corona (COVID-19).

Memang, momentum selalu ada. Kapan saja dan di mana saja. Tapi uniknya, momentum bisa lewat begitu saja. Dibutuhkan kejelian dan kecerdasan untuk menangkap dan memanfaatkan momentum itu secara pas sehingga menghasilkan manfaat bagi kebanyakan masyarakat.

Dalam situasi pandemi COVID-19, konsumsi daging ayam menurun. Di sisi lain, masyarakat membutuhkan daya tahan tubuh kuat dan sehat guna mengatasi ancaman infeksi virus corona. Tentu saja ini merupakan peluang sekaligus momentum.

Sekiranya Kementan bisa menangkap peluang dan memanfaatkan momentum tersebut secara optimal, maka secara bertahap dan pasti, konsumsi daging ayam bisa setara dengan produksinya. Tak ada lagi pesan singkat pejabat dalam WAG yang bersifat ambigu. Pesan intimidasi berbungkus basa-basi komunikasi. ***

Penulis adalah,

Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia

ASOHI ADAKAN WEBINAR NASIONAL KESEHATAN UNGGAS DI MASA PANDEMI COVID-19

Webinar Nasional Kesehatan Unggas yang dilaksanakan ASOHI. (Foto: Dok. Infovet)

Rabu, 9 September 2020. Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) sukses menyelenggarakan Webinar Nasional Kesehatan Unggas dengan tema “Perkembangan Penyakit Unggas di Masa Pandemi COVID-19” yang dihadiri sekitar 160 orang peserta.

“Ini menjadi seminar luar biasa yang membahas mengenai penyakit unggas. Sebab informasi mengenai perkembangan penyakit unggas di lapangan terkendala pandemi COVID-19 yang tentunya menyulitkan banyak pihak,” ujar Drh Andi Wijanarko, selaku moderator webinar.

Hal itu juga seperti yang disampaikan Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, dalam sambutannya. 

“Pandemi COVID-19 ini banyak mengubah pola kerja kita. Walau di industri obat hewan masih memberikan kontribusi dan pelayanan kepada peternak maupun pabrik pakan, namun tenaga technical kita agak terbatas di lapangan,” kata Ira.

Oleh karena itu, melalui webinar kali ini Ira berharap ada update informasi terbaru seputar penyakit unggas di lapangan.

“Informasi penyakit tepat sekali kita bahas, kami harapkan ada update informasi penyakit di industri unggas di tengah pandemi kali ini. Agar kita dapat menentukan langkah-langkah dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat peternakan dengan kondisi yang serba keterbatasan ini,” ucapnya.

Senada dengan hal tersebut, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, yang turut hadir mengimbau kepada masyarakat peternakan untuk tetap waspada terhadap kehadiran penyakit khususnya di sektor perunggasan.

“Kemarin kita baru terima informasi mengenai outbreak Avian influenza (AI) yang terjadi di Australia dan Taiwan, kita harus tetap waspada. Sebab di era pandemi ini informasi mengenai penyakit kurang terekspos. Padahal teknologi salah satunya di industri obat hewan sudah semakin maju guna mendukung keamanan pangan, seperti berkembangnya pengganti antibiotic growth promoter (AGP),” kata Fadjar.

Dr Drh NLP. Indi Dharmayanti dan Prof Dr Drh Michael Haryadi Wibowo saat mempersentasikan materinya. (Foto: Dok. Infovet)

Webinar yang dimulai pada pukul 13:00 WIB turut menghadirkan narasumber yang andal di bidangnya, yakni Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet), Dr Drh NLP. Indi Dharmayanti MSi, yang membahas materi “Perkembangan Penyakit Viral pada Unggas di Masa Pandemi COVID-19” dan Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Drh Michael Haryadi Wibowo MP, yang menyajikan materi mengenai “Pengendalian Penyakit Unggas di Masa Pandemi COVID-19”. (RBS)

KEHIDUPAN SETELAH PANDEMI BERAKHIR

Ilustrasi belajar secara daring. (Sumber: Detikcom)

Oleh: M. Chairul Arifin

Tidak ada seorangpun yang bisa meramalkan kapan pandemi COVID-19 ini akan berakhir, entah bulan depan, tahun ini, atau bahkan tahun berikutnya. Bahkan para ahli epidemiologi sekalipun belum dapat meramalkan kapan pandemi ini akan berhenti agar kembali bisa menjalani kehidupan normal. Mereka hanya mampu membuat berbagai skenario berdasarkan tindakan mitigasi dan penanggulangan yang dilakukan, yaitu bila tidak ada tindakan, tindakan sedang dan tindakan sesuai aturan.

Kurva penularan COVID-19 masih terus meroket dan upaya flatten the curve terus dilakukan secara bersamaan dengan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing, physical distancing, bekerja dari rumah (work from home/WFH), hingga larangan mudik. Tindakan inipun masih terkendala sifat masyarakat yang belum memenuhi aturan, dan di sisi lain para tenaga medis kerap kekurangan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar.

Apakah Kembali Normal?

Dengan segala bentuk pembatasan tersebut apakah kehidupan manusia akan kembali normal jikalau pandemi ini berakhir? Apakah seseorang, karyawan, aparatur sipil negara (ASN), siswa dan mahasiswa, cara bertani dan beternak kita akan kembali seperti sediakala? Normal yang dimaksud adalah kembali pada kebiasaan lama, mengerjakan pekerjaan kantoran yang sudah engage itu. Membentuk tim kerja  yang sudah solid bertahun-tahun sambil menunggu disposisi dari "sang bos", melaporkan, menghadiri rapat atau sesekali dinas luar (DL) seperti yang telah disampaikan oleh kawan penulis, Djajadi Gunawan, dalam artikelnya berjudul “Kapan DL Lagi”.

Dari pengalaman bekerja dari rumah yang sekian lama dialami hampir lima bulanan, kemungkinan cara kerja kita dikantor akan  berubah  secara bertahap. Dari pengalaman WFH telah memberi pelajaran suatu best practice bahwa sebagian besar pekerjaan kantoran dapat dikerjakan dirumah. Analoginya adalah pekerjaan kantor dapat dikerjakan di luaran, entah di hotel, kafe atau tempat lainnya yang memungkinkan bekerja secara daring dan luring. 

Bahkan berbagai rapat atau meeting juga tidak perlu dihadiri secara fisik. Dengan teknologi telekonferensi kita dapat hadir secara virtual dan moderator maupun pimpinan sidang sudah dapat menyimpulkan hasil rapat virtual tersebut. Jadi di luar ruangan kantorpun ternyata dapat diambil keputusan strategis dan tepat waktu. Pekerjaan macam jurnalis yang selalu dikejar deadline dapat dikerjakan secara daring dimanapun kita suka.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi pelopor untuk “merumahkan” para ASN-nya jauh sebelum terjadinya pandemi. Diberitakan bahwa 1.000-an ASN Bappenas diujicobakan kerja di lain tempat mulai Januari 2020, jauh sebelum pandemi melanda Indonesia pertengahan Maret 2020.

Untuk industri pertanian contoh yang sangat baik seperti peternakan ayam ras. Mereka ini telah sepenuhnya menggunakan sistem digital dari sejak di hulu, on farm sampai pengolahan dan pemasarannya. Didukung oleh kelembagaan dan sumber daya manusia yang kuat menjadikan bisnis ayam ras suatu contoh atau model sistem agribisnis modern.

Dalam dunia pendidikan apalagi (di luar pendidikan profesi yang menuntut praktik laboratorium dan pasien), maka sistem online dapat diperlakukan termasuk pembelajaran jarak jauh, ujian tengah semester maupun akhir semester. Sudah banyak aplikasi online semisal Ruang Guru yang memungkinkan siswa belajar mandiri serta mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan. Perhatian khusus penekanan pada pendidikan karakter yang perlu dikemas menjadi hal yang lebih menarik.

Dalam tata niaga pun sudah lama dipraktikkan belanja online. Bukan itu saja, mata rantai pasok dari produsen sampai kepada konsumen sudah semakin efisien dengan aplikasi perdagangan elektronik (e-commerce) sehingga konsumen atau produsen dimudahkan dalam memilih dan membeli barang.

Jadi, baik dikalangan pemerintahan maupun dunia swasta dan yang lainnya, sebenarnya sudah dapat terhubung satu sama lain menjadi sistem terpadu sebagai embrio big data.

Akhir Pandemi

Diakhir pandemi kelak akan terlihat beberapa perubahan mendasar dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat dan bernegara. Pemakaian gawai dan internet akan menjadi bagian dari kehidupan kita tanpa kita sadari. Membangun perkantoran yang megah sudah bukan zamannya lagi, akan tergantikan dengan ruang kerja baru yang berwujud coworking space, tempat orang bekerja sharing entah darimana orang itu.

Tapi satu hal yang perlu diingat yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi yang diramalkan menurun sampai 3% bahkan skenario terburuk pertumbuhannya minus 0,4%. Keadaan ini membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Menurut para analis sekitar 1-2 tahun. Ingatan kita masih segar bahwa pada krisis multi dimensi tahun 1997/1998 sesuatu yang berbasiskan sumber daya lokal menjadi kunci dari cepat atau tidaknya kita pulih dari suatu bencana.

Kendati demikian pandemi ini sedikit banyak memberikan pelajaran berharga, lesson learned bagi kita semua bahwa sesuatu kehidupan itu dapat berubah, bahkan diubah oleh makhluk mikroorganisme kecil yaitu COVID-19. ***


Penulis adalah:

Pegawai Kementan (1979-2006),

Staf Perencanaan (1983-2005),

Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

REFLEKSI HARI LAHIR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DI TENGAH HIMPITAN PANDEMI

Drh. M. Chairul Arifin
Tanggal 26 Agustus merupakan hari lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. Tanggal ditetapkan karena berdasarkan penelusuran sejarah pada tanggal tersebut tepatnya ditahun 1836 pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan ketetapan melalui plakat yang berisi tentang pelarangan pemotongan ternak betina bertanduk atau yang kita kenal betina produktif, baik ternak ruminansia besar maupun kecil.

Plakat ini dipandang oleh para senior, pakar, akademisi, praktisi, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya merupakan era dimulainya campur tangan pemerintah sejak 184 tahun yg lalu dan diputuskanlah sebagai hari lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. Kini 26 Agustus 2020, kalau dirunut sejarahnya maka Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) kita telah berumur 184 tahun dan kita secara resmi baru mengingatnya sejak 2003 dalam bentuk  peringatan hari lahir diikuti dengan Bulan Bhakti 26 Agustus-26 September. Berarti kita secara tak sadar telah memperingatinya 17 kali baik di pusat maupun daerah.

Merajut Masa Depan

Memperingati hari lahir peternakan dan kesehatan hewan ada baiknya kita melakukan refleksi diri, bermuhasabah dengan semata tujuan untuk lebih meningkatkan peran di masyarakat dengan bekerja lebih baik lagi untuk kepentingan para peternak Indonesia yang berjumlah lebih dari 6 juta rumah tangga peternak

Dalam hal ini pertama-tama kita kembali dulu ke aspek penanganan pengendalian pemotongan ternak betina produktif, asal-muasal ditetapkannya hari lahir PKH yang sampai sekarang masih diberlakukan pemerintah.

Sampai sekarang pengendalian pemotongan betina produktif malah ditetapkan dalam UU PKH yang dilengkapi dengan instrumen Peraturan Menteri Pertanian lengkap dengan sanksinya bila seseorang memotong ternak betina produktif (Pasal 18 UU PKH No. 41/2014 dan Permentan No. 35/2011).

Pelaksanaan Pelarangan Pemotongan Betina Produktif

Tetapi tidak bisa dipungkiri lagi di lapangan bahwa masih terjadi pemotongan ternak betina produktif yang disebabkan tuntutan ekonomi peternak. Maka sudah sejak lama diupayakan pengendaliannya oleh pemerintah. Mungkin sejak berdirinya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang didahului oleh Direktorat Kehewanan di pusat dan daerah upaya penghentian pemotongannya dilakukan dengan berbagai program dari pemberian insentif sampai memakai tindakan represif dengan menempatkan polisi di berbagai rumah pemotongan hewan (RPH) untuk melarang pemotongan betina produktif tersebut.

Namun apa hasilnya? Di RPH yang diawasi polisi tentu saja terjadi penurunan drastis pemotongan betina produktif. Tetapi ibarat balon, jika ditekan di satu sisi maka akan terjadi penggelembungan di sisi lain. Terjadi pemotongan betina produktif di sekitar RPH yang dijaga oleh Polri atau terjadi pemotongan di tempat-tempat pemotongan hewan milik rakyat yang luput pengawasan.

Dari fenomena ini dan melihat upaya pengendalian pemotongan betina produktif yang sudah lebih 1,5 abad, apakah kita tidak perlu berpikir ulang pelarangan ternak betina produktif tersebut? Coba kita lihat bersama bahwa Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan kebijaksanaan tersebut demi peningkatan populasi dan produksi ternak sapi dan kerbau. Pada waktu itu populasinya sangat kurang dan tehnologi IB ET dan berbagai rekayasa genetik belum ada dan berkembang seperti sekarang ini.

Memang terjadi kenaikan populasi sapi dan kerbau. Dari yang semula populasi sapi 1,5 juta ekor dan kerbau 2 juta ekor di tahun sebelum 1922, meningkat menjadi 3 juta ekor sapi dan 3 juta ekor kerbau di 1936. Tetapi perlu diketahui pula bahwa Pemerintah Hindia-Belanda pernah pula mendatangkan sapi Onggole dari India secara besar-besaran pada 1917 ke pulau Sumba. Sapi-sapi itu dikawin-silangkan dengan sapi Jawa yang bertubuh kecil sehingga menjadi sapi Peranakan Ongole (PO) seperti yang kita ketahui sekarang.

Kemudian dihubungkan dengan data sensus ternak BPS diadakan sejak 1967 sampai Sensus Pertanian saat ini serta berbagai survei menunjukkan bahwa ratio ternak betina dewasa produktif komposisinya ternyata tetap pada kisaran 44-45%. Artinya komposisi ternak dialam itu sangat mendukung keberlanjutan populasi (sustainibility) sebagaimana dilaporkan oleh survei UGM pada 2011 lalu, karena struktur komposisinya ini menunjukkan nilai NRR-nya lebih dari 1 (satu). Struktur seperti ini mendukung kegiatan pembibitan sapi sekaligus melestarikan populasinya.

Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan tentang adanya penurunan populasi ternak karena adanya pemotongan ternak betina produktif. Pelarangan itu hanya dapat dikenakan kepada ternak bibit dan calon bibit, serta ternak yang bunting yang ditentukan oleh dokter hewan dan pengawas mutu bibit. Selebihnya dapat dipotong atau diseleksi untuk disingkirkan sesuai UU PKH No. 41/2014.

Pelarangan pemotongan ternak betina produktif itu telah menimbulkan paranoid tersendiri bagi peternak budi daya dan petugas pemerintah sendiri. Pada masa pandemi COVID-19 ini marilah kita berpikir ulang untuk merajut masa depan. Masih tepatkah adanya aturan pelarangan pemotongan ternak betina yang sudah berumur 184 tahun diteruskan? Disrupsi kebijakan sangat diperlukan mumpung momentumnya tepat agar tidak menghambat usaha peternakan rakyat yang sekaligus dapat menjadi insentif investasi swasta dan masyarakat.

Pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB)

Pada saat ini pemerintah sangat gencar dan massif dalam melaksanakan IB. Teknologi ini pernah diintroduksikan oleh Prof Zeit, seorang dokter hewan Belanda tahun 1950-an dan banyak mendidik orang pribumi untuk menjadi dokter hewan. Maka didirikanlah semacam AI Center di Ungaran Semarang. Entah karena terjadi revolusi fisik pada waktu itu program IB terhenti.

Kini setelah lebih dari 80 tahun kegiatan IB dilanjutkan oleh pemerintah melalui berbagai program, yaitu INSAP (Inseminasi Sapi Potong), Gerakan Sejuta IB, Program Swasembada Daging Sapi, Upaya Khusus dan SIKOMANDAN. Program ini berupaya mengintegrasikan IB dengan kegiatan lainnya. 

Kegiatan ini sebenarnya baik dalam artian teknis peningkatan produksi dan populasi. Tetapi satu hal yang dilupakan pemerintah yaitu sebenarnya pelaksanaan IB merupakan sarana untuk peternak agar dapat mandiri dan berswadaya dalam pelaksanaan IB. Ini tidak terjadi tapi yang ada malah tingkat ketergantungan peternak sengaja dibuat tinggi oleh pemerintah dari sejak produksi semen, distribusinya sarana-prasarana, sampai pelaksanaannya oleh para inseminator lapangan.
Pada kesempatan ini mari kita berpikir ulang untuk menjadikan gerakan IB itu perlahan kita serahkan pada dunia swasta. Prinsipnya “tidak ada makan siang yang gratis”. Peternak itu sebenarnya mau membayar asal kualitas pelayanannya baik. Sudah waktunya IB itu diserahkan pada peternak dan swasta dan tidak dimonopoli pemerintah. Harus dibedakanana yang bersifat public good dan private good.

Obat Hewan

Senada dengan itu langkah yang lebih maju telah dilakukan di bidang obat hewan oleh pemerintah. Walaupun pemerintah sendiri memiliki produsen obat hewan Pusvetma, tetapi pemerintah membuka lebar dunia swasta untuk bersama memproduksi obat hewan.

Di sini biarkan saja terjadi “persaingan” yang adil dan sehat antara pemerintah dan dunia swasta dalam hal obat hewan. Walaupun sebenarnya produksi obat hewan itu merupakan ranah private good dan memberikan porsi ini kepada swasta agar lebih efisien.
Coba kita lihat misalnya adanya stok semen beku dan obat hewan di tempat produksi di pemerintahan. Pasti masih ada tumpukan yang menambah beban bagi APBN untuk maintenance-nya. Kalau di swasta karena menerapkan efisiensi tinggi hal itu tak terjadi.

Perbibitan dan Kesehatan Hewan

Kita sudah mengetahui bahwa tugas dan fungsi pemerintah banyak bertumpu terutama pada bidang perbibitan dan kesehatan hewan/masyarakat veteriner sebagaimana diamanatkan dalam UU PKH No. 18/2014. Dalam hal perbibitan tugas pemerintah mengembangkan bibit ternak khususnya ternak besar yang belum sepenuhnya dikuasai dan dilakukan oleh masyarakat, beda dengan ayam ras yang sudah sepenuhnya dilakukan oleh swasta atau asosiasinya. Sehingga timbul pertanyaan sekarang sudah tepatkah policy breeding untuk ternak besar dan kecil, serta operasionalisasinya di lapangan? Untuk itu pemerintah telah mendirikan berbagai UPT Pembibitan Ternak baik untuk menghasilkan benih dan bibit ternak.

Hasilnya setelah Indonesia 75 tahun merdeka, belum dapat melihat bahwasannya berbagai UPT tersebut benar-benar dapat menghasilkan bibit yang sebenarnya sesuai standar ilmiah. UPT kita lebih bersifat mengembangkan budi daya ketimbang menghasilkan bibit yang benar. Apakah hal ini kita teruskan dari generasi ke generasi tanpa akhir? Diperlukan keberanian untuk merevitalisasi fungsi-fungsi UPT tersebut agar tidak berada dalam zona nyaman seperti sekarang ini, karena sistem perbibitan ternak dan berbagai perangkat aturan dan ketesediaan sumber daya manusia pembibitan telah kita miliki serta didukung dana memadai, sehingga sayang sekali hal tersebut belum dimanfaatkan dengan benar.

Refleksi dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakatnya veteriner memang telah menunjukkan adanya perubahan berarti dalam berparadigma. Paradigma lama yang terkenal yaitu maximum security, artinya sama sekali tidak boleh masuk ternak ataukah produk-produk ternak dari negara yang belum bebas dari daftar penyakit list A OIE. Perlakuan ini kemudian berganti menjadi zone base tidak lagi country base. Jadi kemungkinan Indonesia untuk impor atau ekspor ternak dan produknya menjadi terbuka dari berbagai negara. Perubahan kebijakan ini dipandang sebagai langkah cukup berani karena di lain pihak dapat memutus kartel, monopoli perdagangan internasional ternak dan produknya yang selama ini terjadi.

Tetapi, di dalam negeri sendiri kesehatan hewan dihadapkan pada kegiatan program pemberantasan penyakit menular strategis yang tidak pernah tuntas. Contoh program pembebasan penyakit Antraks, Rabies, SE, Jembrana dan belakangan timbul emerging diseases seperti Flu Burung dan African Swine Fever. Pembebasan negara dari suatu penyakit dengan memakai pola seperti sekarang ini rasanya tidak memadai lagi, malahan penyakit tersebut sudah menjadi keseharian para peternak.

Diperlukan pola lain yaitu lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangannya dari sejak mitigasi dan pencegahan penyakit sampai ke tingkat pemberantasan dan pengendaliannya, daripada mengatakan bahwa tugas pengendalian dan pemberantasan itu semata tugas pemerintah. Analisis resiko dapat menjadi beban bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Hentikanlah pendapat bahwa tugas-tugas kesehatan hewan itu selalu menjadi domain pemerintah, diganti menjadi tugas kolaborasi antara masyarakat peternak dan swasta serta seluruh stakeholder yang ada. Perlu perubahan pola pikir bahwa penanggulangan penyakit itu bukan untuk memuaskan hati pejabat dan pimpinan, tetapi untuk kepentingan client kita yaitu para peternak dan masyarakat. Oleh karena itu, perbanyak program yang melibatkan masyarakat, karena tugas menjadi enteng kalau melibatkan masyarakat.

Muhasabah ini ditujukan tidak saja kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan, tetapi juga kepada diri penulis yang pernah ikut mengalami pasang surutnya birokrasi PKH dari dulu hingga sekarang. Remembering the past and Reinventing the Future untuk merajut masa depan peternakan dan kesehatan hewan Indonesia. Selamat Hari Lahir Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia. ***



Ditulis oleh: M. Chairul Arifin
Pegawai Kementan (1979-2006),
Staf Perencanaan (1983-2005),
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer