Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini PT Novindo Agritech Hutama | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEWASPADAI ANCAMAN BIOTOKSIN PADA AYAM

Webinar relaunch Calibrin Z. (Foto: Istimewa)

Toksin atau racun merupakan hal yang kerap didengar oleh manusia, dalam terminologi dunia peternakan toksin diidentikkan dengan mikotoksin. Pada kenyataannya, peternak belum menyadari betul bahwa toksin baik yang dihasilkan oleh jamur dan bakteri menyebabkan kerugian yang berdampak negatif pada performa ternak terutama unggas.

PT Novindo Agritech Hutama selaku salah satu perusahaan yang bergerak di bidang obat hewan melakukan edukasi lebih lanjut kepada masyarakat terutama peternak terkait dampak buruk toksin pada ternak. Kegiatan tersebut berupa webinar yang dilakukan pada Selasa (28/9) melalui daring zoom meeting.

Tony Unandar praktisi senior perunggaan sekaligus anggota dewan pakar ASOHI hadir sebagai narasumber utama. Dalam presentasinya Tony menjelaskan secara mendetail mengenai toksin dan dampak negatifnya pada ternak.

"Toksin tidak hanya dihasilkan oleh jamur saja (mikotoksin) tetapi juga bakteri, banyak peternak yang sering terlambat mendeteksi keberadaan toksin, dan bahkan kadang dokter hewan pun bisa "tertipu" dengan hal ini," kata Tony.

Ia menambahkan bahwa di Indonesia mindset peternak dan dokter hewan terpaku pada mikotoksin saja, sementara toksin bakterial masih luput dari perhatian. Terkait toksin bakteri, Tony menjelaskan mengenai endotoksin dan eksotoksin.

"Toksin bakteri ini bisa jadi lebih berbahaya, misalnya saja yang dihasilkan oleh C. perfringens, dimana ketika bakteri tersebut mati akibat pengobatan dengan antibiotik, toksinnya akan keluar dan memberikan dampak negatif di saluran pencernaan. Celakanya, produk pengikat toksin yang ada rerata belum banyak yang memiliki kapasitas untuk mengikat toksin bakteri ini," papar Tony.

Di sesi kedua, Dr. Kim Huang yang merupakan Regional Technical Service Manager Amlan International lebih lanjut membahas mengenai zat yang dapat mengikat berbagai jenis toksin baik dari jamur maupun bakteri.

"Sebuah unsur mineral yang bernama monmorilonite yang diaktivasi terbukti secara klinis dapat mengikat berbagai jenis toksin dari jamur maupun bakteri. Hal ini tentunya menjadi inovasi yang bagus dalam mengatasi permasalahan ini," tutur Kim Huang.

Kim juga menjelaskan bahwa mineral tersebut merupakan alternatif yang baik dalam substitusi antibiotik growth promoter yang tentunya juga ramah lingkungan. Oleh karenanya dengan penggunaan mineral tersebut, peternak tidak perlu khawatir lagi terkait performa ternaknya. (CR)

Waspada: Acanthocephala Melabrak

Gambar 1: Kutu frenki.
Infestasi cacing pada unggas bukanlah hal yang baru, para peternak layer dan breeder pasti sudah paham betul. Hal ini dimaklumi mengingat kejadiannya melibatkan vektor biologis. Frenky atau Alphitobius diaperinus adalah vektor yang cukup populer selain lalat rumah Musca domestica, semut ataupun kutu pakan Sitophillus, Tribolium. Meskipun kejadian infestasi Nematoda bisa tanpa vektor yakni dengan cara menelan  telur cacing.

Litter memberikan peluang ideal terhadap suburnya perkembangan telur cacing dan vektornya. Telur cacing bisa bertahan beberapa bulan hingga satu tahun lebih di litter atau tanah. Oleh karena itu sekali flok itu terinfeksi oleh cacing maka seluruh lingkungan farm akan mudah terkontaminasi oleh telur cacing yang infektif. Dengan demikian propilaktik program terhadap cacing sebaiknya dijadikan standar prosedur manajemen di peternakan layer dan breeder.

Beberapa temuan baru di lapangan saat ini adalah munculnya beberapa kasus cacing Acanthocephala yang telah diidentifikasi sebagai famili Gigantorhyncidae, genus Mediorhynchus. Meskipun kejadian serupa beberapa tahun lalu pernah dilaporkan oleh team Parasitologi, FKH, UGM didaerah Klaten dan Yogyakarta. Namun saat ini kasus outbreak meluas didaerah sentral peternakan layer Solo. Ketika dilakukan post-mortem oleh team Novindo, Drh Ditya Pangesta pada ayam secara acak ditemukan puluhan cacing Mediorhynchus gallinarum di dalam intestinal.

Gambar 2: Mediorhynchus gallinarum.
(Dok. Ditya)
Dari temuan itu kemudian diamati bahwa bentuk cacing gilig berwarna putih agak kekuningan dan kulitnya tebal. Dibagian ujung anteriornya menempel/ mengait pada dinding usus sehingga agak sulit untuk melepasnya. 

Gejala Klinis dan Perubahan Patologi
Pada observasi di lapangan derajat infestasi yang ringan sampai sedang cenderung tidak menampilkan gejala klinis yang spesifik. Ayam terlihat sehat, tidak pucat ataupun lesu dan produksi normal. Ketika dilakukan post-mortem tidak nampak gambaran patologi yang spesifik, hanya data recording di farm menunjukkan feed intake yang lebih tinggi. Hal ini dimungkinkan karena kompetisi antara cacing dan intestinal ayam dalam absorpsi nutrien.

Adapun perubahan patologi yang di sebabkan oleh infestasi cacing Acanthocephala dalam jumlah banyak menyebabkan radang granuloma pada dinding intestinal.

Infeksi berat menyebabkan terjadinya obstruksi dan peradangan yang serius pada intestinal yang bisa menyebabkan colitis (Dorcas P et al., 2015). Disamping itu terjadi emasiasi (kurus) dan kelemahan, penetrasi pada dinding usus menyebabkan peritonitis (Urquhart et al., 1987)

Proses Transmisi Acanthocephala
Acanthocephala merupakan endoparasit yang dalam siklus hidupnya membutuhkan dua hospes atau inang. Hospes awal biasanya insekta atau moluska yang menelan telur cacing yang ada ditanah atau feces kemudian bergerak ke intestinal inang dan bertransformasi menjadi infektif. Kemudian dilepaskan oleh hospes awal atau ditelan oleh hospes utamanya yakni unggas dan akan menjadi dewasa di intestinal. Dengan cara mengkait ujung anteriornya berupa proboscis  ke dinding intestinal untuk menyerap nutrisi.

Distribusi infestasi cacing ini diperkirakan penyebarannya  tergantung pada seberapa jauh dan meratanya insekta yang bertindak sebagai hospes awal atau inang antara. Dan saat ini keberadaannya mungkin masih berkisar di area tertentu atau telah meluas masih  belum teridentifikasi dengan baik. 

Diagnosa 
Diagnosa simptomatis infestasi cacing secara umum sulit dilakukan karena beberapa gejala yang muncul bisa mirip dengan coccidiosis atau penyakit infeksi lainnya. Namun beberapa kejadian perlu dicatat sebagai diagnosa awal: mortalitas yang berlebihan, tingkat keseragaman flok yang tidak merata, pertumbuhan yang jelek, bulu kasar, pial pucat/anemis, berat telur berkurang, daya tetas menurun, diare.

Observasi telur cacing Acanthocephala dari feses ayam yang terinfeksi adalah cara yang tepat. Dengan teknik sedimentasi menggunakan ethyl acetat/ formalin lebih disarankan (Markell et al., 1999). Dibawah mikroskop akan terlihat gambaran membran yang mengelilingi Acanthor spine.


Diagnosa paling mudah dan tepat adalah dengan melakukan post mortem pada beberapa sampel ayam yang dicurigai. Telusuri pada seluruh bagian usus halus, maka akan ditemukan cacing Acanthocephala dengan spesies Mediorhynchus gallinarum.

Gambar 3: Infestasi ringan
Mediorhynchus gallinarum. (Dok. Ditya) 
Telur Cacing Sulit Dirusak
Pada umumnya telur cacing masih tetap infektif selama beberapa bulan bahkan satu tahun lebih pada lingkungan yang mendukung. Mempunyai dinding yang tebal sehingga hampir semua desinfektan tidak mampu merusaknya. Bahkan tetap survive pada 0.1 N sulphuric acid atau 2% formol. Kritikal lingkungan adalah temperature < 15°C atau > 34°C, tidak ada oksigen, sinar matahari langsung.

Strategi Pengendalian Cacing
Jamaknya peternak komersial dan mungkin breeder tidak secara implisit melakukan deworming program. Mereka lebih memilih treatment pada waktu muncul kasusnya (conventional deworming). Padahal sekali lagi bahwa kasus cacing lebih sering subklinikal, jadi sulit mendeteksi dini. Sehingga jika dibuatkan grafik akan nampak kurang menarik.

Dok. Jenssen Animal Health.
Jika demikian maka perlu dibuatkan suatu strategi yang benar agar kasusnya bisa ditekan seminimal mungkin. Pada ayam umur dibawah 10 minggu sebaiknya cukup diberikan program pemberian piperazine atau levamizole mengingat kejadian infeksinya kerap hanya nematoda (cacing gilig). Namun menginjak umur 13-16 minggu sebaiknya diberikan program pencegahan menggunakan yang broad spectrum (Flubendazole). Kemudian ulangi dengan berdasar periode prepaten agar eradikasinya bisa maksimal. Untuk cacing Acanthocephala karena penulis belum menemukan referensi periode prepatenya, maka disarankan pengulangannya mengikuti periode prepaten yang terpendek.

Species
Hospes
Periode Prepaten
Ascaridia galli
Ayam muda
35-42 hari

Ayam dewasa
50-56 hari
Heterakis gallinarum
Ayam
24-30 hari
Raillietina spp.
Ayam
14-21 hari
Mediorhynchus gallinarum
Ayam
ND


Program ini jelas jauh lebih baik dibandingkan pola konvensional, baik dari segi biaya ataupun kerugian yang diakibatkan infestasi cacing di lapangan.

Pengobatan Outbreak Acanthocephala
Pemberian golongan piperazine, levamisol, ivermectin ataupun flubendasol bisa dijadikan pilihan. Bila mengacu pada cara kerjanya ketiga produk yang pertama mempengaruhi sistem neuromuskuler sehingga mengakibatkan paralisa dari cacing dewasa. Berbeda dengan flubendasol yang kerjanya selektif ikatan terhadap ᵝ tubulin struktur tubuh cacing. Sehingga terjadi kegagalan formasi mikrotubuli yang berakibat hambatan pembentukan kutikula, digesti & absorpsi juga produksi telur cacing. Dengan demikian telur, larva dan cacing dewasa akan mati, re-infestasi bisa ditekan.

Pengendalian Insekta
Hal yang tidak boleh dilupakan dalam pengendalian cacing adalah eradikasi optimal insekta di farm. Mustahil memberantas kasus cacing tanpa melibatkan pengendalian vektor. Dengan menggunakan berbagai jenis golongan insektisida, perlu dicatat mengenai jenis formulasinya serta  konsultasikan dengan produsennya. Karena akan mempunyai efektifitas yang berbeda meskipun zat aktifnya sama.

Drh Hananto PT Bantoro
Head of Technical & Marketing
PT Novindo Agritech Hutama

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer