Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Opini | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PENYAKIT MULUT DAN KUKU PADA SAPI: BAGAIMANA TEKNIK ELIMINASINYA? (BAGIAN 1)

Oleh : Prof. Dr. Mochamad Lazuardi, Drh. M. Farm

Penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi mewabah di Indonesia pertengahan April 2022, dan kita ketahui bersama bahwa penyakit tersebut sejak tahun 1983 tidak pernah muncul di Indonesia. Dengan ketidakmunculan penyakit tersebut, Indonesia mendapat predikat bebas PMK oleh World Organization for Animal Health yaitu suatu lembaga Internasional mengkontrol semua aspek persoalan penyakit hewan serta pengobatannya di seluruh Dunia.

Penyebab PMK & Gejala Tertular

Kita ketahui bersama bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh mikroba terkecil di sebut virus dengan ukuran antara 5.2 Angstrum (Å) atau sekitar 0,52 nanometer atau memiliki struktur molekul pentamer. Virus tersebut merupakan utaian pasangan basa tunggal dan hidup subur di sel hidup terutama yang berinti sel (eukaryot). Oleh sebab itu kasus gambaran klinik terhadap sapi penderita PMK adalah luka melepuh pada tempat-tempat mukosa mulut lidah bibir dan bagian tenggorokan. Luka-luka melepuh tersebut juga ditemui pada pada kulit sekitar kuku dan sela-sela kuku. Pada keadaan demikian sapi akan terlihat mengeluarkan liur serta sambil berjalan pincang. Dampak PMK tersebut sangat merugikan, karena tingkat penyebaran cukup cepat dan resiko kematian sangat tinggi. Bila menyerang pada sapi perah atau sapi bunting, maka resiko penurunan produksi serta resiko kematian induk akan sangat tinggi. Kematian terjadi akibat penurunan nafsu makan secara tiba-tiba dan sapi selalu tiduran akibat luka melepuh pada bagian kuku. Terdapat catatan khusus untuk terhadap penyakit PMK yaitu 1. PMK tidak menular pada manusia, 2. Tidak semua hewan dapat tertular PMK (hanya khusus untuk kelompok ruminan dan babi), 3. Dari kelompok hewan ruminan yang paling tak tahan adalah sapi dan kerbau. 4. Dugaan kuat penyebaran virus dapat dilakukan oleh hewan antara, 5. PMK tak diturunkan oleh induknya melalui janin.

Upaya Pencegahan Penyebaran PMK

PMK merupakan salahsatu penyakit yang mutlak harus dikendalikan dan umumnya di negara-negara maju dilakukan isolasi ketat. Bahkan ternak yang telah menderita PMK, dilakukan pemusnahan total. Sedemikian ketat perlakuan terhadap PMK, sehingga di negara-negara dengan kriteria bebas PMK masalah import ternak atau produk apapun dari ternak asal wilayah tidak bebas PMK adalah dilarang. Indonesia sebetulnya telah tergolong bebas PMK setelah berupaya bertahun-tahun dengan bantuan negara-negara maju untuk menghasilkan vaksin PMK (saat itu galur yang dipakai adalah tipe O java 83). Kota Surabaya dipilih untuk membangun pabrik vaksin PMK berbantuan negara Australia dengan teknologi produksi vaksin suspensi berbasis media ginjal anak hamster dan di inkatifkan menggunakan Asetil etilen imin atau formalin.

Secara teoritik strategi jitu pencegahan penyakit ini adalah mengidentifikasikan apakah sifat penyakit tersebut dapat dieliminir menggunakan antibodi hasil vaksinasi dengan virus serotipe tunggal atau kros-serotipe. Misalkan bila serotipe tunggal yaitu virus PMK galur O java 1983, maka pengebalan tubuh bagi sapi yang belum tertular hanya dapat dilakukan melalui antibodi spesifik PMK galur O java 1983. Kondisi tersebut sangat riskan mengingat rentang upaya kemunculan antibodi dirasakan sangat sempit yaitu hanya dapat dilakukan melalui vaksinasi serotipe tunggal. Akan lebih menguntungkan bila PMK dapat dieliminasi melalui kemunculan antibodi PMK hasil vaksinasi menggunakan galur vaksin kros-serotipe. Misal upaya perangsangan antibodi menggunakan virus PMK non-galur O (misal virus PMK galur Asia), dapat menghasilkan antibodi PMK dengan kemampuan mengeliminasi infeksi PMK yang menyerang berbagai galur. Ternyata dari laporan penelitian tahun 2017 studi didalam laboratorium diketahui bahwa penyakit PMK ini bersifat serotipe tunggal sehingga bagi sapi sehat harus muncul antibodi sesuai galur wabah yang ada. Namun dengan perkembangan IPTEK, mudah-mudahan melalui rekombinant atau cara lain menjadikan kandungan vaksin mampu menghasilkan antibodi semua galur infeksi.

Pemilihan Bahan Pensucihama

Pemilihan bahan pensucihama atau antiseptik-disinfektansia (AD), sangat penting dipahami mengingat virus PMK hanya dapat dimatikan melalui 5 hal yaitu (1) penggumpalan protein melalui AD. Selanjutnya (2) merusak susunan tubuh virus melalui penurunan pH media hidup, (3) merusak susunan tubuh virus melalui pemanasan. Demikian pula (4) merusak susunan pasangan basa virus melalui radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang lembayung ultra. Terakhir adalah (5) hilangnya inang sel hidup tempat virus berkembang. Dari ke lima hal tersebut yang dapat dilakukan oleh pemilik ternak adalah melakukan pensucihamaan semua kandang maupun perlengkapan tempat sarana prasarana perkandangan.

Terdapat 3 hal yang perlu dipilih dan dipilah mengenai bahan-bahan pensucihamaan yaitu (1) bahan AD untuk diri sapi sehat dan atau sapi penderita, (2) perangkat pensucihamaan untuk pakan dan minum atau suplemen lain. Demikian pula (3) bahan AD untuk perangkat kandang dan sarana prasarana pemelihara sapi. Pensucihamaan untuk diri sapi penderita maupun sapi sehat memiliki kriteria obat-obat dengan kera sebagai antivirus. Dengan demikian bahan antivirus tersebut tidak merusak kuman flora normal di tubuh sapi. Contoh antivirus potensial untuk membunuh virus PMK adalah larutan boorwater, larutan yodium tincture 2-3%, larutan kombinasi spritus citricum dengan boorwater pada kadar 2-3 %. Prinsip antiseptik yang digunakan untuk pengobatan luka melepuh pada sapi tidak boleh mengakibatkan racun terhadap tubuh sapi. Dengan demikian cara penggunaan yang paling tepat adalah melalui usapan menggunakan kapas atau kassa pada daerah melepuh. Perangkat pensucihamaan pakan dan minum dapat dilakukan menggunakan sinar lembayung ultra dan cukup disinari 10-20 menit. Pada sistem penyinaran radiasi tersebut yang harus diperhatikan adalah tidak boleh terkena manusia maupun ternak sapi mengingat dampak sinar dapat menimbulkan kanker kulit.

Perangkat pensucihamaan untuk kandang dan prasarana - sarana kandar terbagi menjadi tiga bagian yaitu (a) perangkat untuk mengusir lalat dan hewan kecil lain yang diduga sebagai hewan perantara. Selanjutnya (b) AD ramah lingkungan untuk pensucihamaan kandang perangkat sarana prasarana kandang. Terakhir (c) AD untuk pekerja perawat sapi. Perangkat pengusir lalat dan hewan kecil lain dapat menggunakan pensucihamaan model fumigasi dengan terlebih dahulu menyingkirkan ternak. Perangkat fumigasi dilakukan menggunakan larutan formalin yang diberi serbuk kalium permanganat dan dilakukan pemanasan sampai mendidih. Uap yang dihasilkan mampu mengusir semua hewan-hewan kecil yang selalu berada pada kandang sapi. Bahan kimia AD untuk membersihkan kandang serta perangkat sarana prasarana kandang dapat menggunakan bahan-bahan seperti chlorhexidine, larutan kalium permanganti 1/4000, asam kuat seperti asam klorida. Bahan kimia AD untuk para pekerja perawat kandang dan sapi dapat menggunakan AD yang dapat dibeli di apotik-apotik seperti rivanol, alkohol 70%, Gamexan, atau sabun hijau antiseptik. Perlu diketahui bahwa virus PMK tidak dapat di bunuh dengan obat-obat anti mikroba seperti antibiotika.

Strategi Pemotongan Rantai Penularan

Terdapat teknik pemotongan rantai penyebaran virus melalui 8 cara yaitu (a) memutus lalulintas ternak yang beresiko menular dari wilayah satu dengan wilayah lainnya. Selanjutnya (b) melakukan monitoring kewaspadaan lalu lintas manusia yang aktif bekerja di ternak sapi sumber penularan. Melakukan (c) kontrol ketat produk olahan asal hewan (PSAH) hasil ternak sapi dan kerbau asal wilayah wabah. Menempatkan (d) lampu sinar lembayung ultra pada semua lingkungan luar kandang terhadap wilayah-wilayah yang belum tertular wabah PMK. Lampu-lampu tersebut tetap nyala sepanjang malam hari, dengan demikian akan memberikan protektif bagian wilayah kandang. Memberikan (e) asupan vitamin dan suplement tinggi terhadap ternak-ternak yang belum tertular. Memberlakukan (f) management pemeliharaan ternak higienis dan terkontrol berbasis kartu kendali terhadap semua aspek beresiko penyebab penularan PMK termasuk pemberian vaksinasi. Melakukan (g) isolasi ketat terhadap ternak penderita dan melaporkan ke dinas terkait yang ada di wilayah tersebut agar dilakukan pengamanan secara ketat. Tetap (h) memandikan ternak secara teratur dengan penambahan antiseptik untuk mengeliminir virus PMK.

Pada proses perawatan dan produksi peternakan modern, teknologi yang digunakan untuk memutus rantai penularan tidak hanya menggunakan bahan kimia namun uga menggunakan gelombang suara ultrasonik. Demikian pula teknik pensucihama pada air sebagai sumber mandi dan pembersih kandang dilakukan pemanasan terlebih dahulu serta dilakukan filtrasi Diantara dua teknik tersebut yangpaling murah adalah menggunakan teknik air terlebih dahulu, sehingga air yang digunakan sudah melalui proses sterilisasi meskipun belum bebas dari zat protein pengotor penyebab panas tubuh (pirogen).

Manfaat Sinar Matahari

Peternak sapi dan kerbau di Indonesia, beruntung hidup dilingkungan tropis, sehingga dengan adanya sinar matahari akan mendukung pemutusan infeksi virus PMK pada ternak. Perlu diketahui dengan adanya sinar matahari menyebabkan liur sapi baik sehat atau sakit secara otomatis akan mengering, pada keadaan demikian sel inang tempat hidup virus akan musnah. Bila cara kebiasaan membiarkan ternak sapi makan rumput di padang luas sambil berpanas-panasan maka akan menyebabkan keringnya bekas luka disekitas mulut tempat sumber sel hidup virus PMK. Di negera-negara empat musim, terkadang dapat kita lihat saat musim panas tiba maka sekumpulan ternak sedang merumput padang penggembalaan seharian. Teknik tersebut hendaknya di budidayakan oleh para peternak sapi kerbau sebagai salahsatu upaya memutus rantai penularan virus PMK. Selama dilakukan penggembalaan pada padang penggembalaan, yang perlu diperhatikan adalah adanya hewan-hewan lain seperti burung yang sering hinggap di tubuh ternak. Para peneliti menyatakan bahwa beberapa burung disinyalir membawa virus-virus tertentu yang dapat menyerang ternak dan tidak menutup kemungkinan adalah virus PMK.

*Penulis adalah: Dosen Ilmu Farmasi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Ex President Asosiasi Farmakologi dan Farmasi Veteriner Indonesia (AFFAVETI) 2009-2017.

DATA PETERNAKAN SERING MEMBINGUNGKAN ? INI SOLUSINYA

 Berapakah sebenarnya konsumsi telur masyarakat Indonesia? Hasil survey ekonomi nasional menyebutkan 7 kg/kapita/tahun. Tapi Kemenko Perekonomian pernah menyebut 18  kg/kapita/tahun. Mana yang betul?

Data BPS menyebutkan produksi telur ayam nasional bisa naik 211% dalam setahun. Benarkah?

Pertanyaan-pertanyaan ini diulas dalam presentasi Bambang Suharno di Kanal Youtube Majalah Infovet. Silakan simak dan kasih komentar. 

Kanal Youtube Infovet adalah saluran informasi baru Majalah Infovet sebagai bentuk upaya peningkatan pelayanan Majalah Infovet kepada pembaca. Marketing Manager PT Gallus Indonesia Utama yang juga Wakil Pemred Infovet Darmanung Siswantoro mengatakan, kanal Youtube Majalah Infovet menyajikan rekaman presentasi narasumber webinar yang diselenggarakan Majalah Infovet dan GITA Organizer beserta mitra-mitranya antara lain webinar outlook bisnis peternakan yang diselenggarakan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), edukasi ayam dan telur dan sebagainya.


"Kami tidak menyajikan rekaman webinar secara utuh karena berpotensi membosankan penonton, jadi kami tampilkan video per narasumber dalam sebuah seminar. Dari rekaman webinar outlook bisnis peternakan, Anda bisa memilih presentasi Ketua umum ASOHI, GPPU, GPMT, Pinsar Indonesia, PPSKI, HPDKI atau pimpinan asosiasi lainnya dalam sesuai kebutuhan Anda," ujarnya.

Direncanakan para narasumber dan penulis majalah Infovet juga akan diajak untuk berkontribusi dalam memperkaya konten Yotube Majalah Infovet.

Kanal Youtube majalah Infovet dikelola oleh Dwijo Weliyanto bersama tim yang juga mengelola Youtube Majalah Cat & Dog.

Silakan subrcribe Kanal Youtube Majalah Infovet agar selalu mendapatkan update informasi terkini.

Anda yang mau berkontrubusi mengisi kanal Youtube Majalah Infovet atau memberi saran, hubungi 0813 1069 6307 (dwijo)


PENGERTIAN BIOSEKURITI DI PETERNAKAN UNGGAS

Ilustrasi. (Sumber: Dok. IICA)

Apakah Biosekuriti Itu? (Bio = Hidup, Sekuriti = Perlindungan)
Biosekuriti terdiri dari seluruh prosedur kesehatan dan pencegahan yang dilakukan secara rutin di sebuah peternakan, untuk mencegah masuk dan keluarnya kuman yang menyebabkan penyakit unggas.

Biosekuriti yang baik akan berkontribusi pada pemeliharaan unggas yang bersih dan sehat dengan mengunakan sumber-sumber yang ada di peternakan, mengelola ternak unggas secara semestinya, menggunakan obat lebih sedikit, serta mengurangi kontaminasi.

Tujuan biosekuriti yang baik adalah untuk membangun dan mengintegrasikan beberapa usaha perlindungan yang dapat menjaga ternak unggas supaya tetap sehat. Biosekuriti yang baik menghasilkan kematian yang lebih sedikit pada unggas, penghematan yang cukup besar dalam biaya produksi serta pendapatan yang lebih tinggi bagi peternak unggas.

Selain itu penerapan biosekuriti juga untuk mengurangi risiko adanya penyakit di peternakan dengan cara memelihara higiene yang baik, keteraturan dan disiplin, memelihara lingkungan sekitar peternakan, mengendalikan hama, serta tindakan pencegahan lainnya.

Prosedur Biosekuriti Harus Baik
Penyakit unggas berpengaruh negatif terhadap keuntungan peternak dan bahkan kadang membahayakan kesehatan manusia. Peternakan unggas selalu berisiko terserang oleh penyakit yang mengakibatkan berkurangnya produksi daging dan telur, tergantung pada tingkat keparahan penyakit.

Ketika unggas dipaparkan pada kondisi lingkungan yang tidak sehat seperti panas yang berlebihan, kedinginan, kelembapan, amonia, suara bising, kekurangan air dan/atau pakan, tingkat ketahanan mereka terhadap penyakit menjadi berkurang, membuat ayam rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur.

Biosekuriti adalah penerapan yang sangat berguna yang berperan pada perlindungan menyeluruh terhadap industri unggas dari wabah dan penyakit eksotis. Hal yang penting diingat dalam penerapan Biosekuriti adalah:

• Manusia adalah penyebar utama penyakit
• Sebanyak 90% dari kejadian penyakit unggas disebarkan dari satu peternakan ke peternakan lainnya oleh manusia, peralatan dan kendaraan yang telah terkontaminasi.
• Tenaga penjual produk-produk kesehatan hewan, pasokan unggas, pakan, peralatan dan lain sebagainya, berpindah dari satu peternakan ke peternakan lain, berbicara dengan para peternak unggas yang berbeda dan sering kali tidak mengambil tindakan pencegahan dengan membersihkan pakaian, sepatu dan kendaraan.
• Waspadai kehadiran pembeli unggas hidup dan kehadiran pembeli kompos dari kotoran unggas.
• Waspadai para pekerja peternakan unggas komersial yang memiliki unggas di pekarangan rumahnya sendiri.
• Penjaga gerbang atau peternak yang tidak melakukan prosedur sanitasi terhadap pengunjung seperti yang telah ditetapkan oleh peternakan.
• Pemilik peternakan unggas yang mengunjungi peternakan unggas lainnya.
• Penggunaan ulang karung yang sudah kosong, alas kandang dan wadah obat-obatan.
• Tidak melakukan proses pembuangan secara benar untuk unggas yang mati, membiarkan hewan lain memakannya, atau mengizinkan unggas mati untuk dijual.
• Jarak yang berdekatan antara peternakan unggas, khususnya unggas yang berbeda jenis.
• Unggas liar dari daerah berdekatan dan burung liar yang bermigrasi dari daerah yang jauh.
• Pembuangan atau penggunaan yang tidak semestinya dari kotoran unggas, alas kandang bekas pakai, bulu, boks anak ayam, jarum suntik, botol bekas vaksin dan lainnya.
• Sumber air (aliran air, kolam atau sungai) yang digunakan bersama-sama dengan peternakan unggas lain merupakan risiko besar untuk kontaminasi.
• Kehadiran hewan jenis lain di peternakan, seperti anjing, kucing, babi, kelinci, sapi, kuda, ayam-ayam pekarangan, ayam jago, bebek, angsa, burung kakak tua, merpati, kenari, puyuh, kalkun dan sebagainya.

Sebab suatu penyakit dapat menyebar antar kandang melalui manusia yang menjadi penyebar utama penyakit, ataupun melalui bangunan kandang unggas yang terlalu dekat satu sama lain, peralatan yang berpindah dari satu peternakan ke peternakan yang lain dan unggas yang berbeda umur dalam kandang yang sama, serta melalui serangga, kutu, binatang pengerat, burung dan binatang piaraan lainnya.

Pembagian 3 Zona pada Peternakan Terkait Biosekuriti
Adalah penting membagi peternakan menjadi tiga zona, yaitu zona merah, kuning dan hijau. Zona merah adalah zona kotor, batas antara lingkungan luar yang kotor, misalnya lokasi penerimaan dan penyimpanan egg tray/boks bekas telur, lokasi penerimaan tamu seperti pembeli ayam/telur, technical service, maupun pengunjung lain seperti tetangga atau peternak lain. Pada area ini kemungkinan cemaran bibit penyakit sangat banyak.

Penerapan 3 zona merah kuning, hijau untuk memudahkan isolasi dan pengaturan lalu lintas di lingkungan kandang. (Sumber: Dok. FAO)

Zona kuning merupakan zona transisi antara daerah kotor (merah) dan bersih (hijau). Area ini hanya dibatasi untuk kendaraan yang penting seperti truk ransum, DOC/pullet dan telur. Akses hanya diperuntukkan bagi pekerja kandang, lokasi tempat menyimpan egg tray/boks telur yang sudah bersih dan sudah diisi.

Zona hijau adalah zona bersih yang merupakan wilayah yang harus terjaga dari kemungkinan cemaran/penularan penyakit. Area ini merupakan kandang tempat tinggal ternak. Hanya pekerja kandang yang boleh masuk zona hijau. Untuk masuk ke wilayah ini, pekerja harus menggunakan alas kaki khusus zona hijau. Kendaraan tidak boleh masuk ke zona ini. Begitu pula dengan pengunjung, kecuali jika ada kepentingan khusus, misalnya tenaga vaksinasi (vaksinator) atau technical service yang ingin mengontrol kesehatan ayam dengan syarat harus bersedia mengikuti prosedur yang diterapkan di farm tersebut. ***

Dirangkum dari Buku Biosekuriti Peternakan Unggas (Gita Pustaka)

REVOLUSI MENTAL PETERNAK SIGI

Prof Muladno. (Foto: Infovet/Ridwan)

Tepatnya pada 6 Maret 2021, Komunitas Sosio Bisnis (KSB) LEMBU KARTINI SEJAHTERA yang bermarkas di Kota Kediri, Jawa Timur, bermitra dengan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) IPB ANUTAPURA yang bermarkas di Desa Bulubete, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Kemitraan yang dilakukan adalah usaha penggemukan sapi selama 4-5 bulan dengan total nilai mencapai Rp 200 juta. Hadir dalam penandatanganan kemitraan tersebut dari beberapa unsur yaitu Dinas Peternakan Kabupaten Sigi, LPPM Institut Pertanian Bogor (IPB), LPPM Universitas Tadulako (Untad), SASPRI-N (Solidaritas Alumni SPR Indonesia-Nasional), camat dan kepala desa setempat, jasa asuransi, serta tamu undangan. Surat perjanjian kerja sama ditandatangani oleh Ketua KSB, Ir Saptowo Salimo dan Ketua Dewan Perwakilan Pemilik Ternak SPR, Arfan.

Bagi LPPM-IPB, SPR merupakan yang pertama di Sulawesi Tengah dan didirikan sekitar akhir 2018 lalu setelah ditandatangani kerja sama antara Bupati Sigi dan Rektor IPB. Komunitas peternak rakyat di sini berasal dari suku-bangsa Kaili dan merupakan suku bangsa kelima yang ikut SPR. Komunitas peternak lain yang bergabung di SPR berasal dari suku-bangsa Jawa, Sunda, Batak dan Ende. Budaya dan kebiasaan sehari-hari menjadi faktor penting dalam melaksanakan pembelajaran partisipatif dan pendampingan di SPR-IPB selama ini. Masing-masing memiliki karakter yang khas dengan logat yang juga berbeda. Sangat menarik dan ini merupakan salah satu kekayaan bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa.

Isu penting yang ingin diangkat dalam tulisan ini adalah adanya kerja sama investasi antara dua komunitas berbeda yang lokasinya berjauhan, suku bangsa dan adat kebiasaan berbeda, tidak kenal satu sama lain secara individu dan tidak adanya jaminan dalam bentuk apapun untuk melakukan kemitraan tersebut. Ini semua dimungkinkan dan akhirnya dapat terjadi karena adanya program SPR dengan spirit kebersamaan dan berjamaah.

SPR hanya dapat didirikan di kawasan sentra peternakan sehingga beternak sudah merupakan kebiasaan sehari-hari bagi warga masyarakat. SPR mulai dapat dilaksanakan setelah ada perjanjian kerja sama dengan Bupati Sigi dan Rektor IPB, sehingga dua pemimpin ini mengetahui betul apa yang telah, sedang dan akan terjadi di komunitas peternak melalui program SPR tersebut. Dua pemimpin tersebut yang sebenarnya dapat mempertemukan komunitas akademisi IPB dan komunitas peternak rakyat Sigi. Bersatu-padunya dua komunitas yang masing-masing bersandar pada dua pemimpin tersebut membuat komunitas sosio-bisnis percaya dan tidak punya keraguan sedikitpun dalam menginvestasikan uangnya.

Melalui interaksi intens antara akademisi dan peternak yang difasilitasi oleh seorang manajer muda baru lulus sarjana, banyak perubahan terjadi pada komunitas peternak SPR ANUTAPURA. Beberapa perubahan mencolok yang dapat dilihat adalah kandang baru mulai dibangun dan kandang lama diperbaiki sehingga membuat sapi lebih nyaman; lahan tidur tak produktif diolah menjadi lahan rumput pakan sapi, pencacahan rumput sebelum diberikan ke ternak sapi dan penggunaan mesin pencacah rumput (chopper), kemudian adanya penimbangan ternak secara berkala untuk mengetahui tumbuh kembang sapi dari waktu ke waktu, perubahan orientasi beternak untuk bisnis sudah berjalan dan pikiran untuk maju dan mandiri-berdaulat dengan kekuatan berjamaah makin berkembang, serta perubahan wawasan yang tercermin dari substansi diskusinya.

Perubahan tersebut masih terjadi di sekitar tokoh peternak penggerak SPR yang berada dalam DPPT tadi dan saat ini “virus kebaikan” terus merebak ke peternak lainnya. Para peternak bergotong-royong dalam kegiatan yang berorientasi bisnis melalui SPR. Setidaknya lebih dari 3 hektare lahan sudah terolah atas jerih payah mereka sendiri. Rumput gajah telah ditanam dan telah pula dipanen. Gerakan tanam pakan dimulai dengan kesadaran sendiri karena di depannya ada harapan besar. Sapi yang dari dulu dikelola secara asal-asalan dan dipercayakan kepada alam saja, kini telah disadari sebagai mesin pencetak uang mulai mendapat perhatian lebih serius.

Adanya perubahan besar tersebut diakui oleh semua unsur yang hadir dalam acara penandatanganan kerja sama tersebut di atas, termasuk para akademisi Universitas Tadulako yang delegasinya dipimpin Wakil Kepala LPPM, Dr Ramlan. Pengakuan tersebut telah dibuktikan dengan penandatanganan kerja sama tridharma perguruan tinggi antara Rektor IPB dan Rektor Untad. Melalui kerja sama ini, maka pengembangan SPR di Sulawesi Tengah selanjutnya lebih baik ditangani oleh Untad. Dengan demikian upaya memberdayakan dan mencerdaskan komunitas peternak rakyat di sana menjadi lebih efisien, efektif dan produktif.

Diperlukan waktu minimal 2-3 tahun untuk dapat mengubah banyak hal di komunitas peternak rakyat yang salah satunya dicontohkan di Kabupaten Sigi melalui program SPR-IPB. Ini merupakan pekerjaan membuat fondasi mental dan karakter komunitas peternak. Fondasi selalu berada di bawah permukaan tanah, tidak terlihat, bahkan ketika bangunan di atasnya telah berdiri megah, fondasi tersebut tetap tak terlihat. Terbukti bagus fondasinya apabila bangunan tersebut tidak roboh dihantam tsunami atau digoyang gempa bumi berkekuatan besar sekalipun. Senada, fondasi mental dan karakter yang dibangun melalui SPR tercermin dalam sikap dan prinsip yang kuat serta tak tergoyahkan oleh kekuatan pengaruh luar dari manapun asalnya. Kita tunggu bukti kokohnya fondasi mental dan karakter mereka setelah lulus SPR nanti.

Saat ini LPPM IPB sedang dan telah membangun fondasi 52 SPR di seluruh Indonesia. Sebanyak 17 diantaranya telah dinyatakan lulus. Mereka yang sudah diwisuda bergabung ke Perkumpulan Solidaritas Alumni SPR Indonesia (SASPRI) yang akan didampingi lebih lanjut agar para peternak alumni SPR ini menjadi lebih mandiri, berdaya saing tinggi dan berdaulat. ***

Ditulis oleh: Prof Muladno
Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-IPB,
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

DARURAT SAPI PEDAGING


Presiden Joko Widodo mengingatkan para pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian terkait munculnya ancaman krisis pangan di tengah pandemi COVID-19. Mungkin ini akan menjadi kenyataan jika pemerintah tidak segera menanganinya dengan baik.

Protokol kesehatan di era pandemi ternyata telah berdampak terhadap kegiatan lalu lintas barang dan komoditas antar negara. Akibatnya tentu berdampak pula pada penyediaan pangan, terutama pada komoditas yang masih banyak di impor, diantaranya komoditas pangan strategis dan hasil peternakan, seperti daging sapi, susu, beras, kedelai, bawang putih, jagung, gandum dan lainnya.

Bencana di Australia
Australia sebagai Negara pengekspor sapi terbesar bagi Indonesia, dalam dua tahun terakhir dilanda banjir bandang pada 2019 dan kebakaran hutan di 2020. Dua peristiwa bencana alam tersebut telah memorak-porandakan kegiatan industri peternakan di Negeri Kanguru itu.

Penurunan populasi sapi yang sangat signifan (24,1%) telah terjadi dari populasi sapi sebesar 27,8 Juta ekor di 2002, kini hanya tinggal 21,1 juta ekor. Semua kondisi ini telah mengakibatkan meningkatnya harga sapi impor di Indonesia, karena kelangkaan pasokan dari Australia.

Dalam sejarah importasi sapi Australia di awal 1990-an, baru kali ini terjadi harga sapi impor sekitar Rp 56 ribuan/kg berat hidup (landed cost) lebih mahal daripada harga sapi lokal (sekitar Rp 47 ribuan/kg berat hidup). Kondisi ini membuat para pengusaha feedlot tidak mungkin lagi menggunakan sapi bakalan impor. Bagi perusahaan feedlot yang masih bertahan, mereka mulai beralih dalam penyediaan sapi bakalannya dengan memanfaatkan sapi-sapi lokal. Akibat dari kondisi ini, dikhawatirkan akan terjadi dampak yang serius dan merugikan bagi pengembangan peternakan sapi dalam negeri. Pasalnya, permintaan akan daging sapi selalu lebih tinggi ketimbang kemampuan pasokannya. Sementara itu, pemerintah melalui program yang ada (SIKOMANDAN dan SIWAB) masih memanfaatkan kemampuan penyediaan sapi kepada peternakan rakyat secara konvensioanal. Program ini selama puluhan tahun masih belum mampu membuktikan bahwa peningkatan pasokan akan melebihi dari permintaannya.

Depopulasi
Kondisi saat ini mengingatkan kita pada 2012-2013 lalu, pasca dilakukannya pendataan sapi potong dan kerbau (PSPK) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kala itu, kebijakan pemerintah menurunkan importasi dari 53% ke 17,5%. Lantaran, hasil PSPK menunjukan bahwa populasi sapi telah memenuhi kondisi swasembada berdasarkan blue print. Namun realita sebaliknya, yaitu terjadi kelangkaan pasokan sapi di pasar yang menyebabkan harga melangit dan berakibat terhadap depopulasi sapi perah mencapai sekitar 30%. Hingga kini, ketergantungan industri persusuan terhadap impor meningkat menjadi sekitar 80%, padahal sebelum krisis ekonomi lalu kontribusi produksi susu dalam negeri pernah mencapai 50%. Jika tidak segera ditangani, diduga akan terjadi kembali depopulasi terhadap sapi di dalam negeri (pedaging maupun perah). Hal ini karena kondisi usaha sapi perah yang faktanya masih belum mampu memberikan kesejahteraan bagi peternak. Sehingga peternak merasa lebih menguntungkan jika sapinya dijual sebagai sapi pedaging, daripada dipelihara sebagai sapi perah.

Darurat Sapi
Keadaan bisnis sapi pedaging, pada dua-tiga tahun ke depan dihadapkan pada kondisi titik nadir, yang memerlukan perhatian khusus. Hal ini disebabkan, Australia masih membenahi industrinya untuk meningkatkan populasi ternak sapinya. Idealnya populasi ternak sapi di Australia sekitar 25 juta ekor untuk mampu melakukan ekspor ke Indonesia. Semantara itu impor dari Negara lain seperti Brasil masih belum siap infrastrukturnya. Jika saja dalam dua-tiga tahun ke depan (2021-2023), pemerintah melalui Kementerian Pertanian tidak mengubah strategi mendasarnya dalam pembangunan peternakan sapi, dipastikan akan terjadi pengurasan sapi di dalam negeri dan untuk selamanya negeri ini akan tergantung impor komoditas daging sapi. Pantasnya, kondisi dua-tiga tahun ke depan kita sebut “sebagai darurat sapi pedaging.”

Ubah Strategi 
Perubahan strategi yang dimaksud adalah Pertama, mengubah mindset bahwa untuk meningkatkan permintaan daging sapi dengan mengintroduksi sapi-sapi premium (Belgian Blue/BB dan Glacian Blond/GB) dan importasi daging kerbau yang menyita biaya sangat besar dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Kebijakan tersebut segera dialihkan dengan mengoptimalkan peningkatan produktivitas sapi-sapi lokal, melalui intensifikasi pola breeding dan pemanfaatan lahan-lahan terluang.

Kedua, mengubah sentra produksi sapi yang selama ini ditujukan ke wilayah-wilayah konvensional seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Selatan, beralih ke sentra-sentra perkebunan besar di Sumatra, Kalimantan dan Papua, serta lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan, juga ke pulau-pulau kosong di wilayah Timur.

Sentra-sentra perkebunan ini menghasilkan limbah atau hasil ikutan industri perkebunan sebagai pakan ternak yang murah harganya. Lahan-lahan perkebunan (sawit, karet dan sebagainya), serta lahan bekas tambang yang luasnya ribuan mungkin juga jutaan hektar, selama ini dibiarkan tidak termanfaatkan secara optimal. Banyak pelajaran yang telah dan tengah dilakukan oleh para pihak, terutama swasta yang melakukan upaya ini, namun minim proteksi dan insentif pemerintah terhadap upaya tersebut. Terutama mengenai berbagai kebijakan kontra produktif bagi pengembangan usaha ternak sapi selama ini. Misalnya, kebijakan importasi daging kerbau, introduksi sapi BB/GB, kebijakan ekspor bungkil sawit ataupun insentif permodalan yang tidak merangsang  terhadap pengembangan peternakan sapi dalam negeri.

Kiranya kebijakan pemerintah menjadikan negeri ini sebagai lumbung ternak Asia di 2045 mendatang tidak akan dapat terwujud, jika tidak melakukan perubahan mendasar kebijakan importasi daging dan intervensi sapi premium, serta pemanfaatan lahan-lahan terluang dan integrasinya dengan perkebunan. ***

Oleh: Rochadi Tawaf
Dewan Pakar PB ISPI dan Komite Pendayagunaan Petani

“HUT PDHI KE-68” MENGUPAS MAKNA SIMBOL DOKTER HEWAN INDONESIA

M. Chairul Arifin
Kado ulang tahun Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) tahun ini sangat berkesan sekali, yaitu bersamaan dengan peresmian Grha Dokter Hewan suatu tempat aktivitas dokter hewan Indonesia direncanakan, disiapkan, dilaksanakan dan dievaluasi.

Sebenarnya impian memiliki Grha Dokter Hewan ini sudah sejak lama, yaitu sejak 2005 dengan dibentuknya Pantya Persiapan Pembangunan Gedung Veterinary Center yg diketuai oleh  Drh A. Bolly A. Prabantara yang pembentukannya dilakukan dengan akte notaris dan disahkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tanggal 9 Maret 2006 dengan nama PT Sentra Veta Bhakti Mulia. Modal dasar saat itu Rp 500 juta dan dari para pendiri perorangan maupun saham dari para keluarga dokter hewan yang dihimpun melalui Yayasan Hemera Zoa sebesar Rp 125 juta.

Selanjutnya tanah seluas 800 m² di daerah Tajur Bogor yang berasal dari hibah Drs Mas'hud Wisnusaputra direncanakan menjadi gedung Veterinary Centre tersebut. Pada 26 Januari 2009, dirancang untuk acara penyerahan tanah wakaf dari Drs Mas'hud di Jl. Raya Tajur 170 Bogor kepada Yayasan Hemera Zoa yang sedianya bertindak atas nama organisasi. Tetapi kemudian Drs Mas'hud Wisnusaputra dipanggil Allah SWT pada 20 November 2008. Drs Mas'hud telah wafat mendahuluinya dan penyerahan tanah wakafnya tidak dapat terlaksana. Pada zaman tersebut PB PDHI baru menyelesaikan Kongres ke-15 yang memilih Drh Wiwiek Bagja selaku Ketua Umum masa bakti 2006-2010.

Estafet kepemimpinan PB PDHI yang terus terjadi hingga pada kepemimpinan Drh M. Munawaroh MM saat ini barulah terwujud rumah dokter hewan Indonesia di hari ulang tahun PDHI ke-68, pada 9 Januari 2021, sekaligus diresmikannya Grha Dokter Hewan dilengkapi motto dokter hewan yang terkenal “Manusya Mriga Satwa Sewaka” yang berarti Mengabdi Kemanusiaan Melalui Dunia Hewan.

Simbol Dokter Hewan Indonesia
Kalaulah Grha Dokter Hewan ini dianggap simbol eksistensi dan pengembangan organisasi profesi agar dapat lebih terfokus menghadapi tantangan global, regional dan nasional, serta memanfaatkan peluang dan menghindari hambatan dalam mengembangkan organisasi, maka ada lagi simbol yang jadi kebanggaan para dokter hewan Indonesia, yaitu yang berupa logo menarik yang menggambarkan lambang tentang kedokteran hewan.

Tentu setiap dokter hewan di Indonesia akan bangga menyematkan lambang tersebut pada setiap kesempatan untuk menunjukkan profesinya. Tetapi tahukah para dokter hewan bahwa lambang tersebut sebenarnya dari hasil kongres ke-6 yang diselenggarakan di Kota Pahlawan Surabaya, 22 September 1973. Jadi lambang tersebut telah berumur 48 tahun. Pada kesempatan kongres tersebut telah ditetapkan selain simbol/lambang tetapi juga tentang perbaikan sumpah dan kode etik dokter hewan.

Akan halnya simbol dokter hewan yang digambarkan sebagai “Aesculapius” yaitu sebagai (ular yang melingkar di tongkat) merupakan simbol universal para dokter manusia, dokter hewan, dokter gigi dan apoteker. Ular digambarkan untuk pengobatan, karena obat itu sebenarnya mirip dengan bisa ular yang beracun sehingga obat selain memiliki efek kuratif juga memiliki efek samping.

Dalam simbol PDHI, tongkat berarti eksistensi instrumen dokter hewan sebagai ahli dalam aspek preventif, kuratif, promotif dan rehabilatatif, serta ularnya melingkar pada tongkat yang bermahkota tiga. Mahkota pertama melambangkan pendidikan dokter hewan yang saat ini dihasilkan oleh 11 Fakultas Kedokteran Hewan. Mahkota kedua berarti dokter hewan dan organisasi profesinya dan mahkota ketiga menggambarkan dokter hewan yang selalu berkiprah di masyarakat sesuai dengan standar kompetensi yang dimilikinya.

Huruf “V” melambangkan kata Veteriner dengan latar belakang warna ungu yang merupakan simbol dari perguruan tinggi kedokteran hewan dunia atau dapat diartikan keagungan dan keluhuran profesi dokter hewan. Dokter hewan adalah profesi yang berpijak pada dua kaki. Kaki pertama berpijak pada aspek terkait produksi dan reproduksi (warna hijau) sedangkan kaki yang lain berhubungan dengan aspek kesehatan dan kesejahteraan (warna merah). Melalui dunia hewan, dokter hewan berkiprah untuk kesejahteraan umat manusia (Manusya Mriga Satwa Sewaka).

Tetapi semua simbol ini hendaknya dapat terealisasi. Saat ini profesi dokter hewan benar-benar diuji ketahanan kompetensinya di zaman pandemi COVID-19 yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Semua lini kekuatan dokter hewan dikerahkan, baik itu dokter hewan sebagai aparatur pemerintah, di kemiliteran dan sipil dosen, peneliti, dokter hewan swasta, hingga para praktisi. Karena sejatinya profesi ini tidak dapat diremehkan dan justru berperan sentral dalam setiap kejadian wabah penyakit menular. Selamat HUT PDHI ke-68. ***

Oleh: M. Chairul Arifin (Dari berbagai sumber)
Pegawai Kementan (1979-2006)
Staf Perencanaan (1983-2005)
Tenaga Ahli PSDS (2005-2009)

PERUNGGASAN PASCA PANDEMI

Ternak unggas. (Sumber: Agrarindo.com)

Dunia sedang menghadapi ancaman pandemi COVID-19 yang telah membunuh lebih dari 1 juta orang di dunia. Sampai saat ini semua orang disarankan untuk tetap menjaga jarak, rajin mencuci tangan dan menggunakan masker lantaran vaksin belum ditemukan. Konon, ketiga hal itu akan terus dilakukan meskipun vaksin sudah ditemukan. Dampak dari pandemi ini sangat luar biasa, makhluk yang tak kelihatan ini juga telah memporak-porandakan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kira-kira pertanyaan banyak orang sama, apa dan bagaimana setelah pandemi ini berakhir khususnya di sub sektor perunggasan?

Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal terutama di sektor peternakan, khususnya perunggasan. Hari ini banyak orang lebih waspada dalam mengonsumsi makanan. Apalagi ada rumor bahwa COVID-19 bisa menular lewat makanan. Di sisi lain, ada tantangan dalam teknis perunggasan yaitu produksi, kekebalan dan kesehatan pada ternak unggas. Ketiga hal tersebut tentu menjadi pembahasan yang berkelanjutan. Lantas kita bertanya bagaimana para pelaku usaha menyikapi dampak pandemi ini dan bagaimana itu jika dikaitkan dengan kepastian keamanan pangan bagi konsumen? Muara dari semua produksi peternakan adalah pangan.

Kita harus akui bahwa masih banyak kelemahan terkait soal kesehatan ternak atau pengendalian penyakit yang terjadi, baik itu dalam kandang hingga kualitas daging pada makanan yang tersedia di meja makan. Dalam banyak praktik di kandang, tak sedikit pelaku usaha masih tetap menggunakan antibiotik dalam melancarkan pembesaran ternak unggas. Masih banyak pula rumah pemotongan ayam (RPA) yang belum menerapkan standar pemotongan yang memenuhi syarat higienis dan sanitasi untuk menjamin kualitas daging. Pandemi COVID-19 ini seharusnya menjadi momentum bagi industri peternakan di Indonesia dalam meningkatkan keamanan pangan asal hewan.

Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibotik pada pakan unggas masih menjadi diskusi yang berkelanjutan sampai hari ini. Meskipun antibiotic growth promoter (AGP) pada pakan sudah dilarang di Indonesia, tapi penggunaannya masih dilakukan oleh sejumlah praktisi peternakan khususnya pada ternak broiler. Dilema dari AGP adalah satu sisi mendorong pertumbuhan bagi ternak, di sisi lain berdampak buruk terhadap kesehatan manusia. Resisten antibiotik menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat secara global baik langsung maupun tidak langsung.

Resisten antibiotik dapat menular ke manusia secara langsung adalah dengan mengonsumi unggas, sedangkan yang tidak langsung bisa terjadi lewat kotoran unggas yang mencemari lingkungan (air dan tanah). Diperlukan upaya secara cepat dan berkelanjutan dalam menemukan alternatif antibiotik misalnya prebiotik, probiotik dan senyawa antimikroba. Bahan kimia nabati menunjukkan bahwa dalam suplementasi pakan asam kaprilat, rantai asam lemak secara konsisten mengurangi kolonisasi Campylobacter pada ayam broiler (Solis de los Santos, dkk., 2008; 2009; 2010). Kemampuan in vitro dari thymol dan carvacrol untuk menghambat Campylobacter jejuni dan Salmonella Enteritidis dalam isi sekal ayam (Kollanoor Johny, dkk., 2010). Probiotik dan prebiotik dalam studi Arsi et al. (2015 b) menunjukkan bahwa prebiotik tidak secara konsisten mengurangi Campylobacter. Namun, prebiotik secara signifikan menurunkan beban Campylobacter bila digunakan dalam kombinasi dengan probiotik spp. (Arsi dkk., 2015).

Keamanan Pangan
Bahan pangan asal ternak nomor dua paling besar dikonsumsi di dunia adalah unggas, setelah daging babi. Tapi konsumsi daging nomor wahid di Indonesia adalah daging unggas. Oleh sebab itu, perhatian semua pihak pada unggas tak boleh disepelekan. Namun berapa banyak rumah potong atau tempat pemotongan hewan unggas yang ada telah memenuhi syarat higiene dan sanitasi? Dengan mudah kita menemukan tempat pemotongan yang tidak layak di pasar atau di sekitar rumah.

Tempat pemotongan yang tidak layak ini ditandai dengan ciri-ciri kotor, sistem penangan limbah yang tidak memadai, darah atau limbah berceceran di tanah, bangunan yang terbuat dari kayu, kandang penampungan ayam hanya berjarak 2-5 meter, pekerja yang tidak mengenakan perlengkapan yang standar (tidak bersih) dan sebagainya. Kondisi tempat pemotongan seperti ini amat berpotensi membahayakan kesehatan manusia karena kontaminasi bakteri patogen.

Penyakit yang ditimbulkan jika produk pangan terkontaminasi bakteri patogen adalah infeksi dan keracunan. Infeksi yang dimaksud akibat tertelannya mikroba dan berkembang biak di dalam alat pencernaan. Gejala yang timbul dari sini diketahui adalah sakit perut, pusing, muntah dan diare (Bruckle, dkk., 1987). Sekitar 60-70% penyakit diare disebabkan makanan yang mengandung mikroba patogen (Winarno, 2004). Sedangkan keracunan agak berbeda dengan infeksi, yaitu mikroba terlebih dahulu bertumbuh dalam bahan pangan kemudian tertelan oleh manusia. WHO mendata secara global bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit akibat keracunan makanan dan 420.000 orang meninggal dunia akibat keracunan makanan.

Dalam upaya menjaga agar produk pangan asal hewan terjamin higien dan sanitasinya, pemerintah telah membuat peraturan yang cukup jelas. Bahwa untuk produk mentah pangan (karkas) yang dikomersialkan wajib memiliki sertifikat kontrol veteriner. Tapi sayangnya, hal ini masih langka di Indonesia. Kita dengan mudah menemukan tempat pemotongan yang tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Beberapa waktu lalu, salah satu pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkapkan hanya sedikit sekali RPA di Indonesia yang memiliki NKV. Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 18/2009 juncto No. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pasal 60 menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner…”

Tantangan COVID-19 terhadap Unggas
Meskipun kesamaan dalam susunan genetik manusia dan ayam adalah sekitar 60%, sistem kekebalan manusia dan spesies unggas sangat berbeda, sehingga protokol, jenis dan aplikasi vaksinasi berbeda (Hafez dan Attia, 2020). Beberapa studi terbaru tampaknya menujukkan COVID-19 tidak menular pada ternak unggas. Kendati demikian, penerapan biosekuriti yang ketat di lokasi kandang harus dipertahankan untuk membatasi penyebaran COVID-19 ke peternakan. Karena kemungkinan terjadinya mutasi bisa terjadi (Montse dan Bender, 2020).

Meskipun saat ini belum ada bukti bahwa makanan dapat menyebarkan COVID-19, masyarakat global dihadapkan pada pertimbangan dalam pembelian makanan. Bakteri dan virus bisa tumbuh di suhu 5-60° C. Sebaiknya jika masyarakat hendak memesan daging unggas bawalah kotak pendingin dan es untuk menjaga makanan pada suhu yang dingin selama diperjalanan. Jangan biarkan daging unggas berada pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam. Setelah sampai di rumah, daging unggas dimasukkan ke dalam kulkas atau freezer untuk penyimpanan yang aman.

Pandemi ini sebetulnya momentum yang tepat dalam rangka membenahi kualitas produk perunggasan nasional. Ini merupakan tanggung jawab bersama baik dari pemerintah, pelaku usaha, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan perlu menindak tegas pelaku usaha yang tidak memiliki NKV, karena ini berkaitan dengan nyawa manusia. Masyarakat memiliki peran yang cukup penting dalam memilih produk unggas yang sudah terjamin mutunya. Bagi pelaku usaha, sudah saatnya lebih peduli pada lingkungan dan masyarakat, tidak semata-mata mengejar profit belaka (People, Planet, Profit). Perguruan tinggi menjadi ujung tombak dalam mengedukasi masyarakat dan juga dalam melakukan riset/inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat. Semoga pandemi ini cepat berlalu. Usaha perunggasan Indonesia semakin maju. ***

Oleh: Febroni Purba (Praktisi Peternakan Unggas Lokal)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer