Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Kuliner | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

USAHA KULINER DAGING: BEDA GENERASI, BEDA RASA

Dalam usaha apapun, termasuk rumah makan, kepuasan pelanggan merupakan hal terpenting. (Foto: Detikcom)

Tak mudah untuk mengelola usaha kuliner berbahan daging agar pelanggan tak berpindah ke lain hati. Apalagi jika usaha tersebut merupakan warisan dari orang tua. Bagaimana cara untuk “mengikat” pelanggan agar tak pindah?

Jarum jam dinding di warung makan itu masih menunjukkan angka 5 lewat 30 menit. Namun para penikmat Nasi Grombyang di warung Pak Warso, di kawasan Pelutan, Kota Pemalang, Jawa Tengah, sudah memenuhi ruangan. Sekitar 30 menit lagi memang akan segera berkumandang Azan Magrib, tanda buka puasa.

Meski masih cukup lama, sebagian meja sudah terisi penuh dengan sajian Nasi Grombyang, lengkap dengan sate khas daging sapi berkuah. Sate ini rasanya gurih dan nikmat. Dalam satu porsi Nasi Grombyang berisi nasi dan daging sapi yang dipotong dadu, adapun tambahan sate yang akan menambah kenikmatan bersantap.

Infovet tak ketinggalan untuk berbuka puasa di sini, sembari mengenang masa-masa silam bersantap di warung ini sebelum merantau ke Jakarta. Waktu itu, warung ini masih dikelola langsung oleh pemiliknya, Pak Warso. Ia pula yang memiliki resep khusus dagangannya.

Kini Warung Nasi Grombyang Pak Warso dikelola anak-anaknya. Menurut cerita salah satu anaknya, ayahnya mendirikan warung ini sejak 1980-an. Bermula dari warung tenda, hingga akhirnya memiliki bangunan rumah makan sendiri dengan ukuran cukup luas.

Animo pembeli Nasi Grombyang di warung ini memang sekilas sama dengan dulu. Meski di sepanjang jalan raya tersebut terdapat 10 lebih warung tenda yang menjual makanan yang sama, namun Warung Nasi Grombyang Pak Warso tetap menjadi yang terlaris.

Hanya saja, olahan Nasi Grombyang Pak Warso yang sekarang di mata sebagian pelanggannya sudah berbeda rasa dengan sebelumnya. Hartono, perantauan Jakarta yang kali ini sedang mudik ke kampung halaman mengungkapkan, rasa Nasi Grombyang sekarang sudah agak berubah.

“Dari dagingnya juga sudah enggak sama seperti zamannya Pak Warso dulu. Dulu dagingnya empuk banget dan enggak ada uratnya seperti sekarang. Jadi agak alot,” tuturnya.

Infovet pun merasakan hal sama, olahan daging dalam Grombyang kali ini tidak seempuk dulu. Mungkin karena beda generasi, beda bahan baku, beda teknik mengolahnya, sehingga beda rasa.

Sayangnya, Infovet tak berkesempatan mewawancari salah satu anak pemilik warung makan ini. Mereka tampak sibuk melayani pembeli yang terus berdatangan silih berganti.

Warisan Usaha 
Menjaga rasa masakan yang diwariskan secara turun temurun bukanlah hal mudah. Meski dengan resep, alat masak dan bahan baku yang sama, namun beda tangan maka beda pula teknik mengolahnya. Alhasil, hasil masakannya juga akan berbeda.

Bisnis di produk makanan berbahan baku daging sapi maupun ayam, membutuhkan konsistensi dalam urusan rasa. Terlebih jika bisnis tersebut akan diwariskan kepada penerusnya sebagai pelanjut usaha. Konsistensi dalam pemilihan bahan, resep perpaduan bumbu dan teknik penyajian menjadi salah satu kunci menjaga pelanggan agar tak berpindah ke lain hati.

Menurut Head Chef di Hotel Royal Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, Bagus Sumargono, untuk pengolahan masakan pada generasi pertama (pemilik usaha pertama), biasanya akan menjaga mutu atau kualitas dan rasa. Dia tahu persis ukuran bahan baku dan bumbunya. Artinya dia memiliki standar dalam mengolah masakannya. Itu sebab rasa dan aromanya tidak berubah dan bahan baku juga akan terjaga, karena orientasinya adalah pembeli.

“Cuma sayangnya, hal-hal seperti itu tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Generasi selanjutnya juga kurang ada kemauan untuk memperdalam teknik pengolahan yang dilakukan oleh orang tuanya. Apalagi kalau usaha tersebut berbahan daging,” ujar Bagus Sumargono.

Menurut pria yang biasa disapa Chef Margo ini, pola usaha semacam ini biasanya terjadi pada rumah makan yang mengolah Indonesian food. Resep generasi pertama kurang diperhatikan. Akibatnya, begitu usaha rumah makannya beralih ke anaknya, akan terjadi perubahan produk makanannya.

Berbeda dengan rumah makan Chinese food atau rumah makan negara lainnya. Mereka sudah punya resep yang jelas, ukuran bahan baku dan bumbu-bumbu yang ditimbang secara akurat. Sehingga saat usahanya diturunkan, tetap menghasilkan produk olahan yang tetap sama dari sisi rasa, aroma dan selera.

“Kalau di Chinese food mereka biasanya sudah mempunyai kitchen modern, jadi sudah memiliki standar nutrisi, bahan baku dan bumbu diukur sedemikian rupa. Tapi kalau masakan tradisional kita umumnya hanya menggunakan feeling si pembuat masakan tersebut,” tuturnya.

Masakan daging, menurut Chef Margo, walaupun gramasinya sama tetapi kurang satu jenis bumbu atau beda teknik pengolahannya, maka hasil olahannya akan beda juga. Dari sisi bisnis, ini akan memengaruhi konsumen, terutama yang sudah menjadi pelanggan setia. Pelanggan bisa beralih ke rumah makan lain. Kesalahan lain yang umum terjadi adalah karena pemilik rumah makan generasi pertama tidak melakukan transfer skill memasak secara detail.

“Proses masak untuk menu tertentu itu ada tahapannya. Mulai dari pemilihan bahan, proses pengolahan daging, sampai terhidang di meja makan. Tidak bisa hanya mengandalkan feeling saja,” ujarnya.

Agar Tak Pindah ke Lain Hati
Dalam usaha apapun, termasuk rumah makan, kepuasan pelanggan merupakan hal terpenting. Kepuasan pelanggan berperan mendapatkan keuntungan dari usaha. Kepuasan pelanggan berpengaruh untuk kelangsungan sebuah usaha, apakah bisnis yang dibangun bisa berlangsung lama atau kandas di tengah jalan.

Dalam usaha rumah makan, apabila konsumen mendapat kepuasan dari olahan yang dinikmati, maka kemungkinan besar konsumen akan terus datang dari masa ke masa. Sebaliknya, sajian menu yang disuguhkan ke pembeli sudah “bergeser” rasa, kemungkinan besar pelanggan enggan kembali lagi.

Berikut adalah tips yang bisa dicoba para pemilik usaha rumah makan berbahan daging untuk mempertahankan pelanggan.

Pertama, jaga kualitas olahan. Jika rumah makan yang dikelola merupakan warisan usaha orang tua, satu hal paling penting dijaga adalah kualitas olahan. Kualitas olahan meliputi rasa, aroma dan porsinya. Ingat baik-baik bagaimana teknik orang tua mengolah menu. Jika orang tua sebagai pendiri usaha masih hidup, usahakan agar bisa menjadi tempat untuk bertanya.

Kedua, jika usaha masih dikelola sepenuhnya oleh orang tua sebagai pendiri. Libatkan anak sebagai calon penerus dalam pengelolaan usaha rumah makan, terutama dalam meracik bumbu dan bahan baku. Wariskan ilmu teknik memasaknya sedetail mungkin, agar si penerima waris benar-benar menguasai usaha rumah makan yang dijalani.

Ketiga, pastikan pendiri usaha membuat sistem usaha agar menjadi semacam prosedur tetap (protap) dalam menjalankan usaha. Terlebih protap pengolahan menu, sebagai jualan utamanya. Banyak rumah makan yang disebut-sebut “legendaris” tetapi kemudian bangkrut setelah dikelola generasi berikutnya, lantaran tak dibuatkan sistem usaha ketika masih menikmati masa jaya.

Keempat, berikan perhatian pelanggannya. Hal yang sering dilakukan tentang penawaran yang diberikan, bagaimana penawaran itu dapat menarik para pelanggan, namun tidak memperhatikan apa saja kebutuhan pelanggan. Berikan perhatian khusus terhadap konsumen, contohnya tanyakan bagaimana keadaan pelanggan ataupun memberikan perhatian khusus sebelum dan sesudah melakukan transaksi. Artinya, pemilik usaha rumah makan juga harus pintar-pintar dalam berkomunikasi dengan pelanggan. Latih gaya komunikasi yang “cair” dengan pelanggan agar pelanggan merasa diperhatikan.

Kelima, sesekali berikan tawaran bonus untuk loyalitas konsumen. Tak ada salahnya jika pemilik rumah makan memberikan bonus menu olahan kepada pembeli yang sudah layak disebut sebagai pelanggan. Misalnya, untuk pembelian lebih dari satu porsi menu akan mendapatkan gratis satu porsi.

Jika tips ini diterapkan, kemungkinan pelanggan setia akan pergi sangatlah kecil. (AK)

SATE BABAT, DITAKUTI TAPI TETAP NIKMAT

Nasi Grombyang dengan sate babat. (Sumber: Istimewa)

Sebagian masyarakat tak berani menyantap menu babat sapi lantaran takut kolesterol dan asam urat. Namun dengan olahan bumbu rempah berlimpah, sate babat bisa jadi lebih nikmat untuk disantap.

Khasanah kuliner Indonesia memang tiada duanya. Hampir di setiap kota memiliki makanan khas. Olahan khas setiap daerah juga memiliki ciri dan nama yang unik. Salah satunya adalah Nasi Grombyang, sajian khas Kota Pemalang, Jawa Tengah. Menu khas ini tak bisa didapatkan di kota manapun, selain di Pemalang.

Jika pernah berkunjung di kota yang menjadi lintasan jalur Pantura (pantai utara) ini, Anda akan menjumpai puluhan penjual Nasi Grombyang di pusat kota. Tidak sulit untuk mencari makanan ini, karena berlokasi tak jauh dari pusat pemerintahan daerah Kota Pemalang.

Di kedai-kedai khusus Nasi Grombyang Anda juga akan dimanjakan dengan menu pelengkapnya, yakni sate jeroan yang menggoda selera. Sate babat dengan kuah penuh rempah nan gurih membuat penikmatnya bisa lupa kalau yang disantap itu jeroan.

Di kedai khas Nasi Grombyang, sebagian pembeli menyebutnya sate handuk karena babat mirip handuk. Dengan tusukan lidi kelapa sate babat ini memiliki ukuran lebih panjang dibanding sate kambing atau sate ayam. Per porsi berisi 10 tusuk sate dibanderol Rp 25 ribu.

“Sate babat paling nikmat kalao disantap bareng nasi Grombyang panas-panas. Empuk dan enggak ada aroma prengus-nya,” tutur Wariman saat bersantap di kedai Nasi Grombyang Pak Warso.

Warung Nasi Grombyang Haji Warso, menjadi salah satu ikon yang cukup populer di Pemalang. Di warung yang berukuran 10 x 12 meter persegi, pengunjung datang silih berganti. Warung yang berada di Jalan Martadinata, Pelutan, Pemalang, ini tak pernah sepi pembeli. Terlebih setiap akhir pekan.

Satu-satunya hidangan yang disajikan di rumah makan itu adalah Nasi Grombyang. Nasi itu terdiri atas potongan daging sapi yang dikuahi mirip rawon, namun lebih memiliki warna kecoklatan.

Sepintas, Nasi Grombyang mirip dengan semangkuk soto khas Semarang atau soto khas Kudus. Sebab, cara penyajian Nasi Grombyang adalah dihidangkan dalam sebuah mangkuk kecil berdiameter sekitar 15 cm. 

Sementara, kuah hitamnya yang mirip rawon itu dibiarkan penuh hingga tumpah-tumpah. Tumpukan potongan daging juga mengumpul di tengah dan dihiasi daun bawang yang dipotong-potong, serta ditaburi bawang goreng, menambah rasa gurih pada Nasi Grombyang. “Pelanggan biasanya enggak puas kalau makan grombyang enggak sama sate babat,” ujar Warso sang pemiliki warung. 

Gampang-gampang Susah
Mengolah babat gampang-gampang susah. Butuh keahlian khusus untuk mengolah jeroan ini agar tak menyisakan bau prengus, aroma khas jeroan. Butuh proses cukup panjang untuk menghasilkan sajian yang lezat. Mulai dari mencuci lembaran babat hingga terpisah dari kotoran yang melekat.

Proses perebusan juga memerlukan waktu cukup lama hingga empat jam, agar tekstur babat menjadi lembut saat disantap. Setelah itu, baru proses masak dengan menggunakan bumbu rempah.

Gurihnya sate babat di warung Warso ini tak lepas dari bumbu rempahnya. Beberapa bumbu andalan sate babat warung ini antara lain kelapa parut yang disangrai, bawang merah, bawang putih, ketumbar, kunyit, jahe, keluwek dan merica. “Sate babat di sini memang khasnya berkuah gurih. Cocok untuk teman makan nasi Grombyang,” ujar Warso.

Dari pantauan Infovet, saat berada di lokasi, dari sekian banyak warung yang ada, Warung Nasi Grombyang Pak Warso tampak paling ramai pengunujung. Selain warungnya permanen, bisa jadi soal rasa menjadi pertimbangan pengunjung. 

Terlebih pada saat akhir pekan. Pada hari biasa warung ini bisa menghabiskan 50 kilogram daging sapi dan 30 kg lebih babat. Sementara, pada saat Ramadhan, mereka bisa menghabiskan hingga 100 kilogram daging sapi.

Nikmat, Tapi Berisiko
Jeroan seperti babat dan lainnya sebenarnya sudah menjadi bagian dari “budaya” kuliner. Tak hanya di Indonesia, tetapi seperti yang ditulis para pemilik bloger kuliner, penduduk di belahan bumi sana seperti Spanyol, Skotlandia, Turki, Korea, Jepang, Italia, juga suka mengonsumsi jeroan.

Di tengah kekhawatiran sejumlah orang untuk mengonsumsinya, jeroan dianggap masih memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh. American Heart Association dalam situsnya menuliskan, dalam 100 gram jeroan (termasuk babat sapi) mengadung 138 mg kolesterol, 46-69% lebih banyak daripada batas harian yang direkomendasikan untuk asupan kolesterol.

Dalam situs tersebut diulas, dalam satu porsi yang sama, (100 gram jeroan) mengandung 1,6 miligram zinc, 96 kalori, 13.64 gram protein dan kurang lebih 4 gram lemak total (hanya 1,5 gramnya berupa lemak jenuh). Batas harian lemak jenuh per hari untuk pria dewasa adalah 30 dan 20 gram untuk wanita dewasa.

Dalam 100 gram jeroan mengandung 1,57 mg vitamin B-12, memenuhi hampir 65% dari angka rekomendasi harian untuk orang dewasa, lebih sedikit dari 60% batasan untuk wanita hamil dan 56% dari rekomendasi AKG untuk ibu menyusui. Vitamin B12 penting untuk sistem kekebalan tubuh dan fungsi neurologis yang baik. Niacin membantu Anda menjaga kesehatan rambut, kulit, hati dan mata, sekaligus meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu, B-12 membantu tubuh bisa beradaptasi lebih baik terhadap stres dan membantu produksi DNA, serta mencegah anemia.

Dari 100 gram jeroan sapi, Anda akan mendapatkan 72 gram fosfor, 10% lebih banyak daripada rekomendasi AKG harian. Fosfor banyak terdapat dalam tulang dan gigi karena mineral ini penting untuk produksi dan kesehatan tulang-gigi. Fosfor juga membantu tubuh memecah lemak dan karbohidrat, serta membantu produksi protein dan memperbaiki sel maupun jaringan. Anda juga memerlukan fosfor untuk mempertajam indera perasa dan penciuman.

Namun demikian, pecinta jeroan mesti hati-hati, sebab konsumsi makanan ini bisa meningkatkan kadar zat purin dalam tubuh. Zat ini diproduksi secara alami di dalam tubuh dan juga ditemukan pada makanan tertentu, salah satunya jeroan. Nah, tingginya kadar purin inilah yang bisa menyebabkan asam urat.

Menurut para ahli, semakin tingginya purin yang dihasilkan makanan yang dikonsumsi, maka semakin tinggi pula kadar asam urat yang dikeluarkan tubuh. Kadar purin yang tinggi dalam tubuh akan berubah menjadi kristal dan menumpuk di sekitar sendi dan jaringan tubuh lainnya. Itulah alasan sendi menjadi nyeri dan bengkak. Oleh sebab itu, pengidap asam urat mesti kurangi makan jeroan agar asam urat tak semakin memburuk. Maka, hati-hatilah. (Abdul Kholis)

POTENSI RUPIAH DIBALIK TREN KEKINIAN KULINER DAGING AYAM

Olahan fried chicken. (Foto: Pixabay)

Inovasi olahan daging ayam sangat berkembang di dunia kuliner. Masyarakat Indonesia pasti sudah tidak asing dengan olahan daging ayam goreng yang begitu populer.

Beragamnya varian olahan daging ayam baik yang digoreng maupun dimasak dengan teknik lain di pasaran bukan saja memberi kontribusi ekonomi, namun sudah menjadi tren atau gaya hidup masa kini.

Mulai dari ayam goreng tepung, ayam geprek, ayam penyet dan segala ayam goreng dengan varian topping saus yang tidak hanya saus pedas saja melainkan pilihan saus kekinian lainnya seperti barbeque, teriyaki, black pepper, asam manis, keju mozzarella dan sebagainya.

Menurut Country Manager Hubbard Indonesia, Ir Suryo Suryanta, tren di bidang kuliner ini berkembang terlihat dari semakin banyaknya warung makan ataupun resto yang menyajikan perpaduan ayam goreng tepung dan topping kekinian.

“Kita lihat bermunculan sajian hidangan ayam geprek bukan saja dipadukan dengan sambal pedas, namun ada keju leleh, mie dan lainnya yang memang menarik perhatian konsumen,” kata Suryo dalam petikan wawancara dengan Infovet, Senin (2/3/2020).

Fun Fact 
Daging ayam memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang penting untuk kelancaran proses metabolisme di dalam tubuh.

Ayam broiler merupakan salah satu ternak penghasil daging yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan masyarakat asal protein hewani. Merangkum dari berbagai sumber, kebutuhan daging ayam mengalami peningkatan yang cukup pesat karena empat alasan di bawah ini:
1. Daging ayam harganya relatif terjangkau
2. Daging ayam lebih baik dari segi kesehatan karena mengandung sedikit lemak dan kaya protein
3. Daging ayam mempunyai rasa yang dapat diterima semua golongan masyarakat dan segala usia
4. Daging ayam cukup mudah diolah menjadi produk bernilai tinggi, mudah disimpan dan mudah dikonsumsi

Perbaikan Sektor Hulu ke Hilir 
Seiring dengan berkembangnya zaman, diikuti meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini mendorong pertumbuhan rupa dan industri pengolahan daging unggas.
Dalam waktu beberapa tahun terakhir, industri perunggasan di indonesia telah tumbuh pesat sepertinya halnya dengan peningkatan konsumsi daging ayam.

Kendati demikian menurut Suryo, pertumbuhan industri perunggasan di sektor hulu yang begitu pesat belum bisa diikuti dengan pertumbuhan yang seimbang di struktur bagian hilir. “Kondisi sektor hilir yaitu rumah pemotongan ayam (RPA) masih banyak yang ala kadarnya,” kata Suryo.

Kondisi ini menyebabkan sejumlah produksi unggas hidup dan telur melebihi permintaan RPA dan industri pengolahan daging unggas, sehingga memicu terjadinya over supply. Kemudian berdampak pada rendahnya harga jual, bahkan seringkali terjadi berada di bawah biaya produksi (HPP).

Suryo berpendapat bahwa kebiasaan dari masyarakat indonesia yang lebih menginginkan daging unggas dalam bentuk hangat (hot carcass), memicu munculnya lokasi-lokasi pemotongan ayam dengan kondisi yang ala kadarnya.

Sementara RPA di skala besar sudah dilengkapi dengan fasilitas rantai dingin dan bisa menghasilkan daging unggas dingin (chilled chicken) maupun beku (frozen chicken). “RPA  yang tidak memenuhi standar maupun di lokasi pemotongan di pasar yang kurang higienis dalam konteks segi proses pengeluaran darah, harus ditertibkan,” saran Suryo.

Lanjutnya, bahwa sangat pentingnya edukasi mengenai teknik pemotongan ayam di Indonesia, khususnya dari konteks kehalalan. “Berapa banyak darah yang keluar salah satunya menjadi faktor penentu kualitas ayam negara kita,” tandasnya.

Tentunya, semua berharap pelaku usaha industri perunggasan ini mampu bersaing dan berkembang secara maksimal.

Gaya Hidup
Saat ini telah banyak produsen-produsen, baik skala menengah maupun rumahan, yang turut meramaikan industri pengolahan daging. Salah satu pemicunya adalah untuk mengefisienkan sumber daya di tengah fluktuatifnya harga ayam di indonesia.

Disamping itu, dari segi permintaan juga menunjukkan peningkatan. Kenaikan tersebut  disebabkan perubahan tren atau gaya hidup. 

Ima (29), karyawati di sebuah apotik kawasan Depok sekaligus ibu rumah tangga ini mengatakan pada era globalisasi dan emansipasi dimana sebagian besar ibu rumah tangga juga bekerja, membuat waktu mereka untuk memasak terkadang terbatas.

“Saya sebagai pekerja dan ibu dua anak, membutuhkan bahan pangan yang bisa disiapkan dengan cepat tanpa proses memasak yang lama dan rumit,” tutur Ima, ditemui Infovet, Rabu (4/3/2020).

Selain itu, imbuh Ima terkait dengan masalah daya beli, produk ayam olahan seperti nugget selain mudah dimasak, harganya pun masih dapat dijangkau. “Daging ayam masih terbeli ketimbang daging sapi sih,” ujarnya sembari tertawa.

Semestinya harga ayam bisa murah jika dinilai dari aspek pasar, menurut Suryo. Dilihat secara kacamata internasional, harga ayam di Indonesia tergolong sangat tinggi. Gejolak harga ayam yang belakangan naik-turun hingga terjadi demo peternak menuntut kestabilan adalah realita yang terelak.

Harga yang tinggi di pasar tidak memberikan keuntungan bagi peternak, sehingga terjadi keterbatasan pembeli. “Produsen juga turut memprotes kebijakan pemerintah soal ketentuan harga ayam. Dari sini kita simpulkan bahwa peternak dan produsen harus sama-sama untung,” tukas Suryo menutup perbincangan. (NDV)

AYAM SEHAT BERASAL DARI RPHU

Workshop rahasia bisnis kuliner daging ayam. (Foto: Dok. BPPI)

Keamanan pangan merupakan hak konsumen dan telah menjadi prioritas dalam konteks perdagangan global. Sistem keamanan pangan harus didasarkan pada penilaian risiko yang terintegrasi, mulai dari peternakan sampai ke meja makan. Sistem tersebut harus mendorong penetapan manajemen risiko yang tepat dalam bentuk peraturan, yang berasal dari pendekatan konsultatif dan terpadu guna diterapkan secara nasional dan diakui secara internasional.

Hal itu disampaikan oleh Imron Suandy dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam workshop tentang rahasia bisnis kuliner daging ayam. Acara yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Peternakan Indonesia (BPPI) tersebut dilaksanakan di Bandung, Sabtu (29/2/2020), dan dihadiri kalangan milenial yang memiliki minat di bidang wirausaha kuliner berbahan dasar utama daging ayam.

"Untuk penjaminan keamanan pangan, pemerintah berkewajiban mengawasi, memeriksa, menguji, menstandardisasi, mensertifikasi dan meregistrasi produk hewan untuk menjamin produk hewan aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Pengawasan, pemeriksaan dan pengujian dilakukan sepanjang rantai produksi produk hewan, from farm to table,” kata Imron. 

Daging ayam digunakan untuk bahan kuliner dan diedarkan ke masyarakat, Imron menyarankan untuk menggunakan bahan dari ayam sehat, yang dipotong di rumah pemotongan hewan unggas (RPHU), telah menjalani pemeriksaan ante dan post mortem oleh tenaga kesehatan hewan yang berwenang, serta telah dinyatakan aman dan layak dikonsumsi. (IN)

SIERAD - WAHYOO KEMBANGKAN BISNIS AYAM GORENG EKONOMIS KUALITAS FANTASTIS

Seiring dengan kenaikan taraf hidup dan pendapatan masyarakat Indonesia, konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia pun mengalami kenaikan, terutama tingkat konsumsi kelas menengah.

Bisnis restoran cepat saji berbasis daging ayam pun tumbuh sangat cepat, bukan hanya yang berafiliasi dengan merek global, tetapi juga tumbuh dengan pesat merek-merek lokal asli Indonesia. Cara pemasarannya pun beragam, mulai dari yang berbentuk restoran mewah dengan sasaran pasar kelas atas, hingga yang menjual di pinggir jalan.

Sesuai dengan misi perusahaan, yakni menyediakan sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat dan dalam rangka penetrasi ke pasar ayam goreng tersebut, PT Sierad Produce Tbk sebagai salah satu produsen ayam terbesar di Indonesia, menjalin kerjasama dengan Wahyoo, untuk membuka outlet penjualan ayam goreng di Mitra warung Wahyoo di area Jabodetabek.

Sierad - Wahyoo Akan Bangun 1000 Outlet Ayam Goreng di Jabodetabek


Wahyoo sendiri adalah perusahaan start up berbasis teknologi yang mempunyai anggota ribuan mitra warung yang tersebar di Jabodetabek. Model bisnis Wahyoo yakni sebagai pemasok segala kebutuhan warung anggotanya, sangat mendukung model bisnis ayam goreng kios ini. Jumlah Mitra Wahyoo hingga kini mencapai 5000 anggota dan akan terus tumbuh secara eksponensial dan mendukung pengembangan bisnis ayam goreng ini.

Dengan didukung oleh Rumah Pemotongan Ayam yang modern, berpengalaman dan bersertifikasi halal membuat ayam goreng kios ini akan terjamin keamanan pasokannya, kualitasnya dan kehalalannya. tiga faktor ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat Indonesia.Sierad Produce juga memiliki ahli nutrisi produk yang sangat berkompeten di bidangnya, sehingga mampu memformulasikan resep ayam goreng yang tidak hanya lezat tetapi juga terjamin dan keamanan pangannya.

Dengan dibangunnya 100 outlet awal di wilayah Jabodetabek pada tahap pertama, bisnis kios ayam goreng ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan bisnis Sierad secara keseluruhan. (CR)

MENEKUNI USAHA KALKUN YANG SEMAKIN MENINGKAT

Ternak kalkun. (Sumber: Google)

Memulai bisnis unggas ini peternak bisa memilih, usaha kalkun hias atau kalkun pedaging. Namun demikian, keduanya sama-sama memiliki prospek yang cerah dan pasar mulai menanti.

Melintas di area Perkampungan Gondosuli, Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, di pagi hari terasa nyaman, udaranya masih terasa segar. Suasana tenteram di kampung ini makin terasa dengan kicauan ayam hias yang saling besautan. Suara kokok ayam kate yang melengking dan kokok puluhan ayam kalkun menjadi keunikan suasana Desa Gondosuli.

Sejak sepuluh tahun lalu, desa ini dikenal sebagai salah satu sentra peternakan ayam hias, termasuk ayam kalkun. Di sini terdapat dua jenis ayam kalkun yang diternakkan, yakni kalkun pedaging dan kalkun hias dari berbagai ras.

“Sebagian besar peternakan kalkun di sini bukan untuk pedaging, tapi lebih kepada ternak hias,” ujar Mugiyanto, salah satu peternak ayam kalkun hias desa ini kepada Infovet. Bukan tanpa alasan warga di kampung ini lebih memilih kalkun hias sebagai sumber penghasilan. Selain peminatnya lebih banyak, juga tak terlalu repot dalam pengelolaan usahanya.

Pria yang akrab disapa Yanto ini menceritakan, sebelumnya ia pernah mencoba usaha kalkun untuk konsumsi. Namun karena agak sulit, ia kembali fokus pada kalkun hias. Konsumen kalkun pedaging umumnya hanya mau menerima dalam bentuk daging bersih atau bentuk daging kalkun siap olah. “Artinya saya harus memiliki rumah potong ayam dan mesin pendingin yang memadai, butuh pekerja juga yang khusus mengurusi itu. Jadi lumayan ribet dan pekerjaaanya jadi dobel,” kata dia.

Kendati demikian, Yanto tak menyangkal jika pasar daging ayam kalkun saat ini sudah cukup besar. Makin banyaknya restoran penyedia olahan daging kalkun di kota-kota besar bisa menjadi indikator. Harganya pun cukup mahal, sehingga jika ditekuni dengan baik bisa jadi sumber penghasilan yang cukup menggiurkan.

“Tapi ya itu, karena ribet peternak di sini kebanyakan lebih memilih fokus pada kalkun hias. Hanya ada beberapa peternak saja yang fokus pada kalkun untuk konsumsi,” jelas pria yang mulai mengenal bisnis kalkun sejak SD ini.

Selain Desa Gondosuli, para peternak kalkun hias juga ada di desa lain Kecamatan Muntilan. Menurut Yanto, meski jumlah peternak cukup banyak, namun hasil penjualan ayam hias di sini cukup lumayan karena peminatnya kian bertambah. Model usahanya bervariasi, ada yang khusus sebagai usaha ada juga yang hanya sebagai usaha sampingan.

Terbukanya peluang pasar kalkun membuat warga Muntilan banyak yang menjadikan ternak unggas ini sebagai sumber penghasilan tambahan. Bagi Yanto, banyaknya jumlah peternak kalkun di daerahnya bukan berarti mengurangi pendapatan. Justru saling membantu antar peternak. “Kalau pas di kandang saya lagi kosong dan ada konsumen yang mau beli, saya bisa ambil dari teman-teman peternak lain. Jadi, kami saling membantu,” ungkapnya.

Usaha Turun-temurun
Usaha yang kini ditekuni Yanto merupakan usaha turun-temurun. Ia melanjutkan usaha sang ayah yang sudah dirintis sejak 20 tahun lalu. Di lahan seluas 600 meter persegi, Yanto membuat beberapa kandang berderet, termasuk kandang khusus untuk anakan kalkun. 

Di peternaknnya, 40 ekor indukan kalkun miliknya menghasilkan ratusan butir telur per periode bertelur. Dalam setahun kalkun memiliki 5-6 masa bertelur. Satu masa bertelur perindukan menghasilkan hingga 15 butir. Satu jantan kalkun mampu mengawini 5-6 kalkun betina. Telur-telur tersebut dierami langsung oleh induknya, dengan tingkat mortalitas (kegagalan menetas) sekitar 5%. Dalam sebulan, rata-rata tingkat produksinya mencapai 50 ekor anakan.

Ia mengaku menjual semua kelompok umur kalkun, tergatung permintaan konsumen. “Kadang ada yang minta anakan umur sehari, ada yang umur sebulan, ada juga yang beli indukan. Semua saya layani,” ujar Mugiyanto yang mempromosikan usahanya itu melalui portal Hobiternak.com.

Per ekor anakan kalkun umur sehari ia jual Rp 30 ribu. Sedangkan untuk kalkun umur satu bulan dibanderol Rp 60-75 ribu per ekor. Sementara untuk kalkun dewasa harganya bervariasi, tergantung jenis dan keindahan bulunya. Rata-rata harga di atas Rp 1 juta per ekor.

Pembeli kalkun hias milik Yanto tak hanya dari sekitar Magelang, namun juga dari luar kota  bahkan luar Pulau Jawa. Para pembeli ada yang datang langsung ke peternakan, ada juga yang pesan melalui online dan dikirim melalui jasa pengiriman. 

Kuliner Kalkun Makin Banyak
Selain di Muntilan, di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), juga ada peternak ayam kalkun. Salah satu peternaknya adalah Erzani. Dia membangun peternakan kalkun berawal dari pemanfaatan lahan kosong di belakang rumahnya. Bahan baku untuk pakan kalkun cukup melimpah, seperti pohon pisang, lumbu, ketela pohon, dedak, eceng gondok dan lain sebagainya.

Dalam bisnis kalkun, Erzani boleh dibilang sukses. Keberhasilan itu dia bangun dari bawah. Ketika membuka peternakan kalkun, pria yang juga berprofesi sebagai apartur sipil negara (ASN) ini hanya punya lahan seluas 10 meter persegi, diisi empat ekor kalkun yang dibeli di bawah harga Rp 2 juta. Kini dia sukses membangun kandang kalkunnya di areal yang lebih luas dan telah memiliki 20 kandang dengan luas total 1.000 meter persegi.

Sebelum sukses seperti sekarang, Erzani mengaku tak tahu persis cara beternak kalkun yang baik dan benar. Dengan semangat untuk mengubah nasib yang lebih baik, dia pun melakukan prinsip learning by doing sebagai cara ampuh yang dipilih Erzani dalam beternak.

Melihat peluang usaha, Erzani memulai usahanya pada akhir 2010. Saat itu kalkun masih dikenal oleh masyarakat sebagai ayam hias. Berawal dari empat ekor indukan betina dan satu ekor indukan jantan, setelah dipelihara selama tiga bulan, dua ekor kalkun ternyata mati. Namun Erzani tidak menyerah.

Kemudian dalam waktu enam bulan ia sudah bisa balik modal hingga mendapat keuntungan Rp 7 juta per bulan. Karena tidak punya latar belakang pendidikan peternakan, dia belajar secara otodidak dengan cara mempelajari teorinya melalui internet.

Referensi di Indonesia dari pengalaman peternak tidak begitu banyak, sehingga ia terpaksa belajar dari referensi luar negeri. Namun pada akhirnya ia harus mencoba sendiri di lapangan. “Saya harus mencoba sendiri karena dari luar negeri agak berbeda,” jelasnya.

Memulai usaha ternak kalkun dianggap cukup menantang bagi Erzani. Oleh karenanya, Erzani terus mencari referensi dengan berbagai macam bacaan, serta mempraktikkan di kandang. Semisal mengenai jumlah kalkun dalam kandang. Perbandi¬ngan yang ia ketahui adalah lima ekor betina dan satu jantan.

Namun setelah dicoba, ternyata tidak proporsional. Terdapat kalkun yang bersifat dominan. Akibatnya, ada telur-telur yang kosong dan tidak bisa ditetaskan. Kemudian juga me¬ngenai tinggi kandang. Telur kalkun juga dipengaruhi oleh tata letak kandang, karena hal itu berkaitan dengan cuaca. “Hingga akhirnya saya menemukan cara terbaik dalam breeding kalkun,” tuturnya.

Awalnya Erzani menganggap, kalkun sekadar ayam hias. Namun setelah sukses breeding kalkun, permintaan kalkun sebagai konsumsi terus meningkat dan ia memandang bisnis kalkun memiliki prospek besar. Kini, ia dibanjiri pesananan kalkun untuk konsumsi khususnya dari usaha rumah makan serta hotel di berbagai wilayah di Indonesia. “Dari segi usaha untuk ke depannya, ada kecenderungan arahnya bukan ke hias, tapi ke potong (daging),” katanya.

Ia memperkirakan, ada kecenderungan konsumsi kalkun terus meningkat. Jika dahulu kalkun di Eropa hanya dikonsumsi para raja, sekarang kalkun bisa dikonsumsi siapa saja. Di Yogyakarta sudah mulai banyak hotel, restoran, kafe, warung, bahkan lesehan menawarkan bermacam menu olahan berbahan daging kalkun. (AK)

Jangan Takut Konsumsi Daging Kelinci

Rica-rica daging kelinci yang menggugah selera. (Sumber: Istimewa)

Selain memiliki tekstur daging yang lembut, kandungan gizinya luar biasa. Daging ini hampir bebas kolesterol, namun kandungan kalsium dan fosfornya lebih banyak dibandingkan dengan daging hewan lainnya. Cobalah kalau tak percaya.

Pernah menikmati olahan daging kelinci? Kalau belum, sekali-kali bisa dicoba. Menurut yang sudah merasakan olahan daging hewan yang memiliki nama latin Oryctolagus cuniculus ini, nikmatnya bukan main. Teksturnya empuk dan sulit diungkapkan dengan kata-kata soal gurihnya. Jika Anda tinggal di Bogor, Jawa Barat, di sana cukup banyak warung sate yang menyediakan sate kelinci.

Salah satunya warung Sate Kelinci Kang Ibing. Lokasinya di jalan Veteran, Panaragan, Pasir Kuda. Warung sate ini cukup terkenal di seputaran wilayah Bogor. Selain menyajikan menu sate kelinci, di warung Kang Ibing juga menyediakan sate kambing, ayam, sop kelinci dan sop kambing. Ada juga Saung Indira yang lokasinya di Jalan Raya Sindang Barang, Bogor Barat. Warung yang satu ini mempunyai menu andalan antara lain sate kelinci, bakso kelinci dan nugget kelinci.

Pamor sate kelinci memang tak setenar sate kambing. Di Indonesia, menu olahan ini masih belum familiar. Wajar jika ada yang tidak “berani” menikmati sate kelinci. Buka lantaran rasanya, namun ada rasa tak “tega” menyantap mengingat kelinci merupakan hewan yang imut dan menggemaskan.

“Kalau kambing kan memang untuk dipotong, tapi kelinci itu umumnya dipelihara karena lucu,” ujar Windu Safitri, warga Depok, Jawa Barat yang mengaku tak berani menikmati olahan daging kelinci.

Wanita yang sehari-hari bekerja di toko digital printing ini mengaku sama sekali belum pernah mencicipi olahan daging kelinci. Dia juga mengaku sudah tahu bahwa daging hewan ini memiliki kandungan gizi luar biasa dari membaca artikel kuliner maupun kesehatan. “Tapi ya itu, belum berani nyobain,” katanya lagi sambil tersenyum.

Banyak macam olahan daging kelinci yang disajikan di warung-warung penyedia menu daging kelinci, mulai dari sate, gulai, dendeng, abon, hingga diolah menjadi nugget. Harga seporsi sate kelinci masih sebanding dengan harga seporsi sate kambing. Kisarannya antara Rp 20.000-30.000, berisi 10 tusuk sate.

Daging kelinci sebenarnya bisa menjadi alternatif sumber protein hewani, khususnya jika harga-harga daging ternak lainnya meningkat atau sulit didapat. Prof Dr Husmy Yurmiati, guru besar Fakultas Peternakan Unpad, menyebutkan dari segi kesehatan daging kelinci memiliki banyak manfaat. Tekstur daging kelinci hampir sama dengan daging ayam, bertekstur halus dan berwarna putih.

Daging kelinci memiliki kadar protein yang sama dengan daging ayam namun memiliki kadar kolesterol yang rendah, sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita darah tinggi, jantung dan kolesterol. Daging ini juga bisa diolah menjadi penganan apa saja, seperti sate, bakso, burger, nugget, tongseng, bakso tahu, hingga abon. “Daging kelinci memiliki rasa yang enak. Setiap jenis kelinci pedaging memiliki cita rasa tersendiri dan membutuhkan resep pembuatan yang khas,” ungkapnya.

Kelinci juga bisa menjadi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan daging di Indonesia. Ahli gizi ini pernah melakukan penelitian tentang hewan ini. Ada lima potensi yang bisa dihasilkan dari seekor kelinci, yakni food (makanan), fur (kulit bulu), fancy (binatang hias), fertilizer (pupuk), dan laboratory (penelitian), seperti dilansir unpad.ac.id

Kandungan Gizinya
Kenikmatan olahan daging kelinci juga setara dengan kandungan gizi pada daging ini. Laman kesehatan Rise and Shine Rabbitry menyebutkan, kelinci memiliki daging putih dengan nutrisi terbaik dibandingkan dengan hewan lain yang memiliki daging putih. Daging kelinci mengandung lebih banyak protein yang mudah dicerna tubuh. Dibandingkan dengan daging hewan lainnya, daging kelinci mengandung lemak yang lebih sedikit.

Daging kelinci juga mengandung lebih sedikit kalori dibandingkan dengan daging lain. Info kesehatan ini bahkan menyebutkan, daging kelinci hampir bebas kolesterol, karena itu akan sangat baik untuk dikonsumsi tanpa khawatir daging tersebut akan berbahaya untuk jantung penikmatnya. Dibandingkan dengan daging hewan lain, daging kelinci mengandung kadar garam atau sodium yang lebih sedikit. Namun, kandungan kalsium dan fosfornya lebih banyak dibandingkan dengan daging hewan lainnya.

Secara fisik, jika mempertimbangkan rasio tulang dan daging, kelinci memiliki lebih banyak daging yang bisa dimakan jika dibandingkan dengan ayam. Daging kelinci memiliki rasa yang enak dan aroma yang tak terlalu kuat seperti daging kambing atau sapi. Dalam hal ini, daging kelinci sering dibandingkan dengan daging ayam.

Jadi, selain memiliki banyak kelebihan di atas, daging kelinci juga bermanfaat untuk kesehatan. Daging kelinci cukup sehat untuk dikonsumsi karena mengandung lebih sedikit lemak, kolesterol dan garam.

Penampakan sate kelinci. (Sumber: Istimewa)

Menarik untuk Usaha 

Dibalik nikmatnya olahan daging kelinci, usaha kuliner berbahan daging yang satu ini juga memiliki prospek usaha cukup bagus. Tak percaya? Hal ini sudah dibuktikan oleh Sri Astuti, yang menggeluti usaha kuliner berbahan baku daging kelinci. Pengusaha ini mengaku mampu meraup untung hingga puluhan juta rupiah per bulan. Warga Desa Ngariboyo Kecamatan Ngariboyo, Magetan, Jawa Timur, ini telah menggeluti bisnis kuliner berbahan daging kelinci sejak 2016 lalu.

Harga hasil olahannya pun cukup tinggi. Sekilo abon daging kelinci dijual Sri Rp 280 ribu. Dari pembuatan abon saja, dia mengaku mampu menghabiskan 30-50 kg per bulan. “Kalau ada acara bisa sampai 70 kg daging kelinci yang saya olah. Kalau penghasilan masih di bawah Rp 50 juta,” ujarnya merendah.

Kisah sukses usaha Sri Astuti ini bermula dari keluhan peternak kelinci yang merasa harga kelinci hasil panen mereka yang tidak pernah stabil. Pada saat itu, kelinci hanya dimanfaatkan dagingnya untuk pembuatan sate. Di Magetan, sate kelinci sudah menjadi kuliner khas daerah yang banyak dijajakan di sepanjang jalan. Ia pun berinisiatif mengolahnya menjadi abon. Hasilnya, selain memberi nilai lebih pada produk olahan daging kelinci, juga  membuat harga jual kelinci menjadi lebih stabil karena harga abon dari daging kelinci juga stabil.

Tak berhenti hanya mengembangkan daging kelinci menjadi abon, wanita kreatif ini juga mengembangkan inovasi daging kelinci yang rendah kolesterol dan tinggi protein tersebut menjadi olahan kuliner lainnya, seperti nugget dan rica-rica kelinci. Produk rica-rica daging kelinci juga dikemas dalam bentuk kemasan beku. Dengan harga Rp 15.000 dalam kemasan 200 gram, produk ini cukup laku di pasaran. (Abdul Kholis)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer