Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Konsumsi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENYIASATI TRAUMA KONSUMSI DAGING AYAM

Daging ayam bukan hanya murah, tetapi banyak kandungan gizinya yang menyehatkan, salah satunya bisa dibuat menjadi sup. (Foto: Shutterstock)

Ibu rumah tangga yang pintar masak, bisa jadi “terapis” andal untuk menghilangkan trauma konsumsi daging ayam pada keluarga. Bagaimana caranya?

Tak semua orang suka mengonsumsi daging ayam karena alasan tertentu. Ada yang lebih memilih makanan yang bersumber dari tumbuhan dengan asumsi lebih rendah lemak atau karena vegetarian. Namun ada juga yang sudah tidak mau sama sekali mengonsumsi daging ayam lantaran “trauma”.

Untuk alasan trauma rasanya perlu dicari tahu penyebabnya. Umumnya, bukan karena tersedak tulang ayam di tenggorokan, namun karena adanya kejadian tak mengenakkan yang dilihatnya sendiri saat akan mengonsumsinya.

Akibat kejadian tersebut bisa menimbulkan seseorang tak mau lagi mengonsumsi daging ayam. Bisa hanya sementara waktu, bahkan bisa juga ada yang selamanya. Inilah yang disebut trauma dalam tulisan ini.

Hal tersebut seperti dialami oleh Isfahani, warga Perumahan Bumi Sawangan Indah, Kota Depok, Jawa Barat, yang sudah hampir lima tahun lebih tidak mau makan daging ayam. Apapun jenis olahannya, ia akan menolak saat disuguhi. “Pokoknya walaupun kata orang lain olahan ayam di restoran enak banget, saya tetap enggak mau makan,” tuturnya kepada Infovet.

Pensiunan ASN di Kementerian Perhubungan ini mengaku, setiap kali istrinya memasak olahan daging ayam, ia tak pernah menyentuh sama sekali. Sang istri pun memahami kondisi suaminya, maka itu sajiannya hanya untuk anak-anaknya saja. Pun di saat mengikuti acara jamuan makan-makan di manapun, ia menghindari menu makanan yang sebenarnya sangat sehat dan lezat ini.

Apa gerangan yang terjadi sampai-sampai pria berumur 59 tahun ini antipati dengan olahan daging ayam? Apakah karena sedang menjalani ritual tertentu dan berpantangan makan daging ayam?

Ternyata ada kejadian kurang mengenakkan yang pernah ia lihat sendiri, terkait proses pemotongan ayam di pasar tradisonal tempat istrinya biasa berbelanja. Isfahani menuturkan, waktu itu ayam-ayam pedaging hidup yang baru saja diturunkan dari mobil boks, tak semua dalam kondisi hidup. Ada juga yang sudah mati dan bau menyengat. Ayam-ayam yang sudah mati itu dijadikan satu di tempat pemotongan di pasar itu. Rupanya, ayam yang sudah mati dan banyak mengundang lalat pun dipotong juga oleh juru sembelih di rumah pemotongan ayam tersebut.

“Aduh, saya lihat sendiri kok begini mereka jualannya. Ayam yang sudah mati juga dipotong dan dicampur dengan ayam-ayam yang tadinya masih hidup,” ujarnya.

Gara-gara kejadian tersebut, Isfahani langsung mengajak istrinya pergi dan tidak jadi membeli ayam di tempat itu dan memutuskan membeli bahan makanan lain. Sejak saat itu, dia benar-benar trauma mengonsumsi daging ayam. Padahal, sebelumnya orang ini gemar makan ayam goreng.

Tapi itu kejadian setahun lalu. Dalam beberapa bulan, Isfahani perlahan sudah mulai mau mengonsumsi daging ayam. Hanya saja bukan daging ayam yang disajikan secara utuh, seperti ayam goreng atau olahan gulai.

“Saya mau makan kalau sudah dalam bentuk olahan campuran dengan bahan lain, misalnya jadi risoles atau makanan bentuk lainnya. Pokoknya asal jangan masih bentuk utuh paha ayam atau bagian dada,” tukasnya.

Ngibuli Suami untuk Asupan Gizi
Apa yang menjadi penyebab Isfahani akhirnya mau “come back” konsumsi daging ayam? Ternyata semua itu berkat kelihaian sang istri, Mintarsih, dalam memasak. Setelah hampir lima tahun tak pernah menyuguhkan masakan daging ayam untuk suaminya, ia mulai mencari cara agar Isfahani mau kembali mengonsumsi daging ayam.

Dengan berbagai cara sang istri mencampurkan daging ayam yang sudah digiling halus ke dalam olahan lauk seperti bakwan, nasi goreng, tahu atau tempe goreng yang dibalut dengan tempung.

“Kadang juga saya bikin kue yang bisa dicampur pakai daging ayam giling. Ternyata suami saya suka karena ternyata jadi lebih gurih. Awalnya tanya ke saya, ini tumben bikin lauknya enak? Nah, setelah selesai makan baru saya jawab, itu dicampur daging ayam,” tutur Mintarsih sembari tertawa.

Ngibuli suami tapi untuk asupan gizi yang baik, begitu Mintarsih mengibaratkan. Upaya ibu rumah tangga yang satu ini tergolong smart dan bijak dalam menjaga asupan gizi keluarganya. Ternyata mengonsumsi daging ayam tak selalu dengan sajian ayam utuh, tetapi bisa diolah menjadi beragam menu makanan yang menggoda selera.

“Buat saya daging ayam atau telur itu lauk yang harganya cukup terjangkau, tapi kandungan gizinya sangat baik untuk keluarga. Enggak perlu setiap hari, biar enggak bosan,” ucapnya.

Nalar Kesehatan
Contoh lain kasus trauma terhadap olahan daging ayam juga terjadi pada Hadi Rahman, seorang jurnalis sebuah media online di Jakarta. Hanya saja tidak separah Isfahani. Hadi, hanya enggan menyantap daging ayam yang diolah menjadi sup ayam kuah bening.

Tampilan daging ayam yang masih tampak putih, mirip dengan daging ayam mentah membuat ia langsung menggeser mangkuk supnya yang tersaji di meja makan. Hadi hanya mau memakan ayam yang sudah digoreng agak kering atau daging ayam yang berbalut tepung krispi.

“Dulu gara-garanya waktu makan di warung dekat stasiun kereta di Jakarta, waktu pesan sup ayam begitu digigit ternyata daging ayamnya masih ada darahnya. Saya enggak jadi makan. Selera makan jadi hilang, geli banget,” tuturnya kepada Infovet.

Sejak itu, baik di rumah atau kemana pun tugas kerja, ia menghindari menu sup ayam. Kendati demikian, Hadi tetap mengonsumsinya jika dalam bentuk ayam goreng atau menu lainnya. Menurutnya, daging ayam bukan hanya murah, tetapi banyak kandungan gizinya yang menyehatkan orang yang mengonsumsinya.

Apa yang dialami oleh Isfahani dan Hadi hanyalah sebagian kecil persoalan konsumsi daging ayam. Masih banyak hal lain yang menjadi penyebab orang enggan mengonsumsi daging ayam. Bukan karena persoalan daya beli masyarakat yang rendah. Tetapi bisa juga dipengaruhi nalar kesehatan sebagian masyarakat yang masih rendah.

Sebagai contoh, ada orang yang pengeluarannya di luar urusan makan mencapai Rp 300 ribu per bulan hanya untuk membeli rokok. Per hari para perokok bisa menghabiskan uang Rp 10 ribu untuk urusan bakar-bakar keretek. Gaya hidup merokok sangat sulit untuk dihentikan, karena sudah candu.

Andai saja pengeluaran uang tersebut dibelanjakan dengan nalar yang sehat, bisa untuk membeli 10 ekor daging ayam dalam sebulan. Artinya, dalam tiga hari sekali satu keluarga bisa makan olahan daging ayam. Sementara jika dibelikan rokok, hanya dinikmati seorang diri.

Ibu Terapis Jitu
Kembali ke topik awal, tentang menghapus trauma konsumsi daging ayam. Memang bukan hal mudah untuk dipraktikkan menghilangkan trauma terhadap konsumsi daging. Apalagi jika penyebab trauma adalah kejadian menjijikan yang dilihatnya sendiri. Sungguh akan menyayat jiwa dan butuh waktu untuk memulihkan dan mau “bersahabat” lagi dengan daging ayam.

Terapis yang paling pas untuk mengatasi trauma ini adalah istri (jika yang trauma adalah suami) dan ibu (jika yang trauma adalah anak-anak). Ibu rumah tangga yang pintar memasak akan menjadi “dokter” keluarga dalam urusan makanan.

Sajian daging ayam panggang yang menggugah selera. (Foto: Food Network)

Dia harus pintar membuat olahan apapun untuk keluarganya, dengan bahan daging ayam yang tersembunyi. Artinya, daging ayam tak harus dimasak dalam bentuk sajian daging utuh. Namun bisa diolah dengan berbagai bentuk yang menggugah selera.

Selain itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yakni bagaimana mengolah daging ayam secara baik dan sehat. Sebab, daging ayam yang dibeli di pasar atau bakul sayur, tetap harus dicermati kebersihannya. Cegah potensi bahaya. Setelah mengetahui ada potensi tersebut, tak perlu panik apalagi sampai menghindari makan ayam pedaging.

Yang harus dilakukan hanya memastikan ayam tersebut diolah dengan baik, agar kandungan bakteri dan zat berbahaya lainnya yang ada di dalamnya hilang atau berkurang ke level aman bagi kesehatan manusia.

Simpanlah daging ayam yang belum dimasak dalam wadah tertutup dan masukkan ke dalam kulkas. Masak daging ayam hingga benar-benar matang. Salah satu tanda kematangan adalah tidak ada lagi darah yang merembes maupun tersisa pada daging.

Masaklah ayam dengan cara merebusnya, sebagai cara terbaik untuk mengurangi risiko yang menyangkut kesehatan. Jangan letakkan ayam matang ke wadah yang sama dengan wadah bekas ayam mentah. Selain itu, hindari penggunaan talenan serta pisau bekas memotong ayam mentah untuk mengiris daging ayam yang sudah dimasak.

Pastikan pula mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan setelah mengolah daging ayam. Dan dengan memasak hingga matang seluruhnya sebelum menyantapnya, bisa meminimalisir rasa khawatir dalam mengonsumsi daging ayam. ***


Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet daerah Depok,
Konsultan media dan penulis buku,
Writing Coach Griya Menulis (Bimbingan Menulis Buku & Jurnalistik),
Juara I Lomba Jurnalistik Tingkat Nasional (Unsoed, 2021) & Juara I Kompetisi Menulis Artikel Tingkat Nasional dalam rangka HATN, 2022

OBAT ASAL TUMBUHAN BANTU ATASI KECACINGAN

Salah dua dari obat asal tumbuhan untuk membantu mengobati kecacingan. (Foto: Istimewa)

Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh infestasi parasit cacing yang bisa menyerang manusia maupun hewan yang dapat bersifat zoonosis. Lokasi penyerangan bisa di saluran pencernaan, jantung, ginjal, mata, otak, dan lain-lain.

Pada manusia, cacing yang sering ditemukan di antaranya cacing tambang (Ancylostomum sp.), cacing gelang (Ascaris sp.), cacing pita (Taenia sp.). Penularan biasanya disebabkan oleh tertelannya telur cacing yang kemudian menetas dan cacing pun tumbuh dewasa seiring berjalannya waktu.

Gejala dari kasus kecacingan adalah sakit perut hingga diare, mual, muntah, badan terasa lemas, rasa gatal pada anus, berat badan menurun drastis, gangguan pencernaan, terkadang buang air besar berdarah, perut buncit, dan diikuti nafsu makan menurun.

Dewasa ini jika ada kasus kecacingan, sering diberikan obat kimiawi dan jarang menggunakan obat berasal dari tumbuhan atau bahan nabati. Bahkan di pakan ternak pun belum banyak menggunakan bahan nabati.

Kali ini akan disampaikan pemakaian obat cacing yang berasal dari bahan nabati yang dapat digunakan sebagai terapi atau pencegahan untuk manusia maupun hewan/ternak:

• Bawang putih mengandung asam amino yang memiliki sifat anti-parasit, juga dapat membunuh mikroba di dalam tubuh secara cepat.

• Buah mangga merupakan buah favorit banyak orang, karena rasanya yang manis dan menyegarkan. Di sisi lain, kulit mangga yang awalnya dibuang sebagai limbah ternyata dapat digunakan sebagai obat cacing karena mengandung AHA (Alpha Hydroxy Acid) yang bersifat antel mintik dan mampu membunuh bakteri dalam tubuh, yaitu pada kelompok asam alaminya. Jika diberikan untuk manusia, cukup merebus kulit mangga yang sudah dicuci bersih, lalu minum air rebusannya setiap hari sampai cacing keluar dari tubuh. Sedangkan untuk ternak, kulit mangga diolah bersama bahan pakan lainnya.

• Biji labu terdapat asam amino, senyawa berberin, asam lemak, palatine, cucuritine, cucurbitacin yang dapat melumpuhkan cacing di dalam perut dengan melepaskannya dari dinding usus dan mengeluarkannya melalui feses. Menurut International Journal of Molecular Sciences pada 2016, biji labu dapat membunuh parasit yang bersarang di dalam usus. Biji labu dikeringkan lalu dibuat serbuk menjadi kapsul atau diseduh dengan air hangat, sedangkan untuk ternak bisa dicampurkan dalam pakan.

• Biji pepaya yang sudah matang mengandung hentriacontane, carpaine, benzyl isothiocyanate, caricin, dan benzyl thiourea yang berperan sebagai senyawa pembunuh parasit. Mampu menurunkan risiko peradangan di dalam usus yang disebabkan oleh telur cacing dan cacing dewasa. Pada hewan ternak, biji papaya kering dapat dicampurkan pada bahan baku pakan.

• Daun pepaya juga mampu mengatasi penyakit kecacingan. Untuk terapi manusia, cuci selembar daun pepaya dan 15 gram akar pohon bunga melati sampai bersih, lalu rebus bersama 600 ml air. Didihkan air sampai terjadi perubahan warna dan berkurang hingga 50%. Air rebusan tersebut diminum dua kali sehari untuk hasil optimal. Selain membantu mengatasi kecacingan, air rebusan daun pepaya juga mampu mengobati penyakit pencernaan lainnya seperti diare, perut kembung, sembelit, peradangan usus, sakit ulu hati dan mual yang diakibatkan infeksi bakteri. Untuk ternak, campurkan daun papaya kering pada bahan baku pakan dalam jumlah secukupnya. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan komposisinya.

• Wortel kaya akan vitamin A yang bagus untuk kesehatan mata juga bisa membantu mengatasi penyakit kecacingan. Untuk manusia, lima buah wortel diiris dan dihaluskan sampai sarinya keluar. Diminum setiap pagi saat perut masih kosong. Untuk ternak, wortel bisa ditambahkan saat pembuatan pakan.

• Jahe telah dijadikan obat alami untuk berbagai penyakit. Senyawa yang disebut dengan gingerol dapat meningkatkan kesehatan pencernaan dan membantu menghilangkan cacing dalam usus.

• Cengkeh mengandung senyawa eugenol yang merupakan agen antibakteri yang kuat. Cengkeh berperan sebagai zat germicidal dan antelmintik dapat memicu penghancuran parasit usus, termasuk larva maupun telurnya. Konsumsi larutan ini secara teratur dapat membantu menghancurkan cacing usus, larva, dan telurnya. Hanya diperlukan 2-3 siung cengkeh ke dalam secangkir air yang dididihkan selama lima menit dan disaring.

• Minyak jarak organik atau biji jarak dapat digunakan sebagai obat kecacingan, karena memiliki sifat laksatif yang kuat. Minyak ini dapat meningkatkan sekresi dari lendir usus apabila diminum bersama air hangat, yang dapat memaksa keluar racun dan parasit yang ada di dalam pencernaan.

• Kunyit mengandung zat curcumin memberikan banyak manfaat, termasuk kemampuan menyingkirkan cacing usus. Curcumin memiliki sifat antelmintik dan antimikrobial.

• Cabai bubuk mengandung zat capsaicin yang membantu membunuh parasit di dalam saluran pencernaan. Cabai juga dapat meningkatkan kerja pencernaan yang membuat proses penyingkiran cacing usus lebih mudah.

• Daun mimba membantu membunuh dan menghilangkan parasit dari dinding usus. Hal ini karena terdapat kandungan sifat anti-parasitik.

• Kayu manis dapat meningkatkan suhu di dalam usus, sehingga parasit sulit untuk bertahan. Hal ini juga dapat meningkatkan aktivitas pencernaan dan membuat ekskresi parasit lebih mudah.

• Lidah buaya adalah salah satu solusi terbaik untuk mengobati cacing usus, mempunyai efek pencahar yang membantu membersihkan semua racun serta parasit dari perut.

• Biji anggur mengandung oligomeric proanthocyanidin complexes (OPCs) yang memberikan sifat antimikrobial yang dapat membantu menyingkirkan cacing usus.

• Biji lemon dapat menghilangkan parasit dari perut dengan cara menghambat aktivitas cacing karena adanya kandungan vitamin C.

Obat anti-parasit nabati yang telah dipaparkan di atas dapat mempercepat proses pembersihan usus, sehingga sangat membantu mengeluarkan cacing dari dalam pencernaan.

Kendati demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut sebagai bahan campuran pakan ternak guna pengganti antelmintik berasal dari bahan kimiawi. Mungkin peternak bisa mencoba sendiri agar pengeluaran cost untuk obat-obatan bisa ditekan.

Sebagai langkah pencegahan cacingan pada manusia, dapat memperhatikan hal di antaranya, mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan, maupun dari toilet, hindari mengonsumsi ikan dan daging mentah/setengah matang, cuci dan kupas buah dan sayuran sebelum dimasak, sterilkan peralatan yang mungkin berhubungan dengan daging, hindari kontak langsung dengan tanah, dan selalu membawa pembersih tangan. ***


MELAWAN TRADISI “NGASREP” DENGAN TELUR

Telur ayam merupakan sumber gizi yang sangat baik dan dibutuhkan bagi kaum ibu yang baru melahirkan atau sedang masa menyusui. (Foto: Istimewa)

Ngasrep atau hanya makan nasi putih masih menjadi tradisi sebagian orang di desa-desa. Meski edukasi tentang nutrisi digencarkan, namun tak mudah menghilangkan lelakon yang sudah jadi tradisi.

Dina Nuraini merasa khawatir dengan kondisi bayinya yang baru berumur tiga bulan. Maklum sejak lahir, berat badan anaknya hanya bertambah 1 ons. Air susu ibu (ASI) yang diberikan tak terlalu banyak. Meski secara fisik terlihat sehat dan ia termasuk ibu muda, namun produksi ASI-nya tergolong kurang.

Usut punya usut, ternyata warga Kampung Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, ini sedang menjalani tradisi ngasrep. Tradisi yang hanya mengonsumsi nasi putih tanpa lauk sama sekali. Kalaupun ditambah lauk, porsinya sangat sedikit.

Kepada Infovet Dina menceritakan sudah tiga bulan lebih dirinya hanya makan nasi putih dan jarang sekali mengonsumsi lauk, baik ikan, daging, ataupun sayur-sayuran. Lelakon ngasrep ini ternyata bukan kemauan Dina sendiri. “Ini yang suruh ibu saya, masih ngikutin kebiasaan orang zaman dulu di kampung sini. Katanya sudah tradisi orang-orang di sini sejak dulu,” tuturnya.

Lantaran tak tahan tiap hari ngasrep, Dina mensiasati agar tetap bisa menikmati menu lainnya. Perempuan berusia 29 tahun ini mengaku sering “kucing-kucingan” dengan ibunya soal urusan makanan. Contohnya saat sang ibu tak ada di rumah, Dina kerap mengambil lauk dan memakannya.

Sebab ia mengaku sering lemas dan produksi ASI-nya tak sebanyak ibu-ibu lain yang juga baru melahirkan. Agar bayinya tak menangis karena haus, Dina memberikan susu formula sebagai tambahan. Ini pun juga atas saran dari sang ibu.

Penasaran dengan tradisi ngasrep, Infovet mencoba mengorek informasi dari warga lainnya di kampung tempat tinggal Dina. Ada seorang tukang pijat bayi, Sumiyati (70), yang menceritakan bahwa ngasrep sudah menjadi tradisi di lingkungannya untuk perempuan yang baru melahirkan. “Tapi enggak semua orang mau jalani tradisi ini. Ada juga yang makan bebas, enggak ada pantangan,” ujarnya.

Menurut perempuan yang sudah menekuni profesi tukang pijat bayi selama 10 tahun lebih ini, ngasrep tidak selalu hanya makan nasi putih saja. Tetapi bisa juga diganti dengan singkong atau ubi. Yang pasti tidak memakan lauk. “Orang zaman dulu nyebutnya mutih, makan makanan yang warna putih,” ungkapnya.

Sumiyati mengaku tidak tahu persis sejak kapan tradisi ngasrep berlaku di kampungnya. Ia hanya menyebut sudah turun-temurun. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, tradisi ngasrep perlahan makin sedikit yang menjalaninya. Hanya orang-orang yang masih percaya saja yang melakoninya. “Sekarang zamannya beda, orang sekarang pada pinter soal urusan makanan. Tapi masih tetap ada yang jalani tradisi ini,” ucapnya.

Jika ditelisik asal mula tradisi ngasrep yang juga masih terjadi di beberapa daerah, ternyata ini ada kaitannya dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia. Banyak literatur yang menuliskan riwayat tradisi ngasrep.

Seperti diketahui, penjajah Belanda dikenal licik dalam mengelabuhi rakyat Indonesia. Konon, tradisi ngasrep merupakan taktik penjajah yang diterapkan kepada rakyat Indonesia. Setiap wanita yang baru melahirkan hanya disuruh makan nasi, singkong, atau ubi saja. Tidak diperbolehkan mengonsumsi sayuran atau makanan lainnya yang bergizi.

Tujuannya jelas, dengan ngasrep maka asupan gizi anak-anak pada masa itu sangat sedikit. Pertumbuhan anak hingga dewasa menjadi kurang dan tubuh menjadi lemah. Dengan begitu, generasi muda Indonesia pada masa itu mudah dikalahkan pasukan penjajah Belanda.

Sayangnya, taktik tersebut malah menjadi tradisi oleh sebagian masyarakat hingga sekarang. Mungkin saja ini ada kaitannya dengan orang-orang Indonesia zaman dulu yang sedang lelakon untuk ilmu yang berkaitan dengan supranatural. Untuk mencapai puncak kekuatan fisiknya (bisa dibilang sakti) salah satu syaratnya adalah puasa dan berbuka hanya dengan ngasrep. Puasa ngasrep, begitu orang zaman dulu menyebutnya.

Mitos Ngasrep
Yang pasti tradisi ngasrep ini sungguh miris. Di era yang sudah maju dan informasi seputar gizi mudah didapat, mengonsumsi makanan minim gizi masih berlaku bagi sebagian masyarakat. Semestinya masyarakat yang masih bersikeras menjalankan tradisi ini mulai sadar bahwa kebutuhan gizi tidak bisa dianggap sepele.

Apalagi bagi kaum ibu yang baru saja melahirkan, ini akan berbahaya bagi pertumbuhan sang anak yang membutuhkan asupan gizi cukup. Tradisi ngasrep ini tak cuma mengganggu pertumbuhan, namun bisa menimbulkan efek kesehatan bagi anak dan ibunya.

Anak bisa mengalami masalah stunting atau kekerdilan pertumbuhan. Daya tahan atau imun juga akan rendah karena terbatasnya asupan gizi. Sementara ibunya juga akan sedikit produksi ASI-nya.

Ada mitos kuat yang masih berlaku di kampung ini, tentang seorang ibu menjalani tradisi ngasrep. Sumiyati juga sempat menyebutkan dengan ngasrep maka bayinya akan keliatan putih bersih kulitnya.

Selain itu, jika sang ibu mengonsumsi telur dikhawatirkan anak akan bisulan. Begitu juga kalau makan lauk lainnya, seperti daging ayam, daging sapi, ikan, atau lauk lainya, akan berdampak buruk bagi bayinya. Ini benar-benar pemahaman yang sungguh keliru.

Telur dan daging ayam merupakan sumber gizi yang sangat baik dan dibutuhkan bagi kaum ibu yang baru melahirkan atau sedang masa menyusui. Fakta membuktikan, konsumsi telur ayam bagi wanita yang baru melahirkan membuat produksi ASI melimpah.

Konsumsi telur ayam juga sangat diperlukan, khususnya untuk wanita yang baru saja melahirkan melalui bedah sesar. Fungsinya untuk mempercepat penyembuhan bekas luka jahit dan lainnya.

Harga telur ayam masih di bawah harga makanan lainnya yang kandungan gizinya sangat minim. (Foto: Dok. Infovet)

Mitos Bisul
Mitos tentang konsumsi telur bisa mengakibatkan bisul pada anak-anak juga terkadang diperparah oleh pendapat segelintir dokter anak yang “mengiyakan” mitos tersebut. Dokter anak yang masih menganut pemahaman keliru macam ini sudah selayaknya segera diluruskan.

Menurut dokter spesialis anak, dr Triza Arif Santosa, kekhawatiran munculnya bisul pada anak bukan semata-mata karena mengonsumi telur. Diakui, memang ada beberapa anak yang alergi terhadap telur. “Tapi bukan semata-mata karena konsumsi telur, lalu keluar bisul,” ujarnya dalam Diskusi secara online tentang “Pentingnya Nutrisi dan Pertumbuhan Anak”.

Ahli gizi ini menjelaskan, pemberian telur satu butir setiap hari pada bayi usia 6-9 bulan dapat mencegah gangguan pertumbuhan dan stunting. Penelitian dari Washington University, bayi-bayi dengan rentang usia tersebut yang diberikan satu butir telur setiap hari, kadar kolin dan DHA-nya lebih tinggi dibandingkan pada bayi-bayi yang tidak diberikan telur.

Konsumsi telur untuk ibu menyusui juga berkhasiat untuk menjaga daya tahan tubuh. Vitamin A, B12, dan selenium di dalam telur penting untuk sistem pertahanan tubuh. Nutrisi ini penting agar ibu menyusui tidak mudah sakit meski harus sering begadang mengurus bayi.

Di zaman yang sudah maju sekarang ini sudah seharusnya para orang tua tak lagi memercayai mitos-mitos yang tak jelas sumbernya. Sekali lagi, telur merupakan sumber nutrisi penting yang dibutuhkan oleh anak balita dengan harga terjangkau.

Jika dihitung, harga telur ayam masih di bawah harga makanan lainnya yang kandungan gizinya sangat minim. Edukasi tentang pentingnya mengonsumsi telur dan daging ayam kepada masyarakat tampaknya masih harus terus digalakkan. Maraknya bergam jenis kuliner berbahan daging ayam dan telur mestinya menjadi media edukasi yang efektif. ***

Ditulis oleh:
Abdul Kholis
Koresponden Infovet, tinggal di Depok

Hasil Survei: Masyarakat Lebih Pilih Pulsa Dibanding Daging

Daging ayam. (Sumber foto: meatworld.co.za)
Pantauan tim Infovet di lapangan membuktikan bahwa beberapa masyarakat Indonesia kini lebih cenderung gemar “mengonsumsi” pulsa ketimbang protein hewani.

Hal ini dibuktikan dari salah satu narasumber yang Infovet temui di daerah Depok, Jawa Barat. Irawan (30) saat berbincang dengan Infovet mengaku, rata-rata mengeluarkan tak kurang dari Rp 200 ribu per bulan untuk membeli “amunisi” telepon seluler miliknya. “Kadang bisa lebih,” ungkapnya.

Ketika ditanya, seberapa sering ia membeli daging ayam untuk konsumsi dalam sebulan, pekerja pabrik garmen di kawasan Ciputat ini hanya tersenyum. Ia mengatakan, jarang mengonsumsi daging ayam. Ia lebih suka membeli ikan air tawar. Kalau dirata-rata membeli daging ayam, katanya, hanya sekitar Rp 30 ribu per bulan. Artinya, perbandingan antara biaya beli pulsa dan beli daging ayam Irawan dalam sebulan adalah 200:30.

Di lain kesempatan, Infovet mencoba untuk mencari perbandingan dengan narsumber lain. Kali ini sasarannya seorang karyawati minimarket yang lokasinya masih berada di kawasan Depok. Yulianti-nama narasumber ini, mengaku dalam sebulan rata-rata mengeluarkan biaya lebih dari Rp 100 ribu untuk membeli pulsa.

Untuk membeli daging ayam ia mengaku kurang begitu suka. Wanita ini lebih sering mengonsumsi mie instan, atau makanan olahan instan lainnya yang ia stok dalam sebulan. “Sesekali aja mengonsumsi ayam, paling dua atau tiga kali dalam sebulan. Kurang begitu suka,” katanya.

Anggap saja, sekali membeli sepotong daging ayam goreng, Yulianti mengeluarkan uang Rp 12 ribu. Maka, dalam sebulan ia hanya membeli daging ayam Rp 36 ribu per bulan, perbandingan yang didapat dengan pembelian pulsa adalah 100:36. 

Data BPS Membuktikan
Dari contoh dua narasumber di atas, membuktikan bahwa konsumsi pulsa lebih tinggi daripada mengonsumsi daging ayam. Fenomena ini sebenarnya sudah diendus dalam beberapa tahun oleh para peneliti dan surveyor di Indonesia.



Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas, BPS) 2016 menunjukkan, dalam enam tahun terakhir, biaya pengeluaran pulsa bulanan masyarakat Indonesia terus meningkat. Rata-ratanya mengalahkan jumlah pengeluaran pembelian buah dan daging (termasuk daging ayam).

Jumlah rata-rata pengeluaran pulsa secara nasional per bulan pada 2016 mencapai Rp 22.182 per kapita. Sedangkan pengeluaran buah Rp 19.268 dan daging Rp 20.526 per kapita. Meski begitu, nilai pengeluaran pembelian pulsa belum mengalahkan rata-rata pengeluaran bulanan untuk kebutuhan pokok seperti beras, sebanyak Rp 64.566.

Dengan selisih sedikit berbeda, biaya pengeluaran pulsa telepon bulanan ini lebih tinggi dari biaya rata-rata pengeluaran SPP bulanan anak sekolah, yakni sebesar Rp 21.276 per kapita pada 2016. Dengan pengeluaran sebesar itu, kini posisi pulsa dalam masyarakat Indonesia bukan lagi kebutuhan tersier, melainkan kebutuhan sekunder-setelah terpenuhinya kebutuhan pokok.

Dalam sebuah rilis Kementerian Keuangan empat tahun lalu menyebutkan, membanjirnya ponsel di Indonesia mendorong tingginya konsumsi atau pembelian pulsa di masyarakat. Peningkatan jumlah kepemilikan telepon seluler terlihat paling tidak dalam dua tahun terakhir. Pada 2015, persentase kepemilikan mencapai 56,9%, sedangkan pada 2016 mencapai 58,3% atau sebanyak 137 juta jiwa.

Kalangan berumur 18-55 mendominasi kepemilikan telepon seluler. Sebanyak 76,2% diantaranya memiliki ponsel. Sedangkan usia di atas 55 tahun yang memiliki telepon seluler sebanyak 32,4% dan rentang usia 5-17 tahun sebanyak 32,1%.


Ilustrasi (Sumber: Google)
Dari 34 provinsi di Indonesia, kepemilikan telepon seluler terbanyak di DKI Jakarta (75,78%), Provinsi Kalimantan Timur (74,47%), Kepulauan Riau (73,77%), Kalimantan Utara (68,72%), Bali (65,19 %). (lihat kartogram warna skala merah).

Perputaran Uang Pulsa vs Daging 
Fenomena konsumsi pulsa jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar gizi. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto, menyebutkan, fenomena semacam ini sungguh miris. Kebutuhan asupan gizi dikalahkan oleh kebutuhan pulsa hanya untuk gaya hidup.


Yuny Erwanto
“Dapat dibayangkan dengan Rp 20 ribu daging, berarti kalau diasumsikan sebagai daging unggas atau ayam hanya sekitar 0,5 kg sebulan. Kalau diasumsikan dengan daging sapi malah prihatin lagi, 20 ribu hanya setara dengan 200 gram per bulan per kapita,” ujar Erwanto.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk biaya komunikasi, dalam hal ini pulsa, hanya akan berputar pada kurang dari 10 perusahaan besar saja. Sementara untuk konsumsi daging perputaran uangnya sangat luas, mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan, beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya, kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk daging akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang berputar untuk biaya pulsa,” ungkapnya.

Erwanto tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli pulsa masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Sederhananya, masyarakat mau makan pulsa atau makan daging yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan.

Menurutnya, kalangan yang menggunakan telepon atau data internet dalam rentang yang panjang dan kadang tidak terkontrol dapat terjadi pada semua segmen ekonomi. Bahkan, sampai yang tidak punya uang sekalipun, bila ada kesempatan mereka kadang akan menggunakan pulsa dan data tanpa kendali. “Pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan budaya kita memang lebih suka ngobrol dan kurang produktif,” ucapnya.

Melihat kondisi di atas, lanjut dia, idealnya adalah seluruh komponen bangsa melakukan rekonstruksi ulang dan perubahan tata nilai, serta memulai sesuatu dengan budaya literasi atau pengetahuan yang semakin diperkuat. Selama pengetahuan masyarakat tidak dibimbing kepada faktor pemahaman yang lebih mendasar, maka mereka akan terjebak pada pragmatis, serta budaya melihat dan berbicara, bukan budaya berpikir dan membaca. “Kalau budaya berpikir, membaca dan berdiskusi semakin meningkat, maka perlahan budaya ngobrol akan berkurang,” jelas dia.

Menurut pakar gizi ini, penyebab rendahnya konsumsi masyarakat terhadap daging ayam tidak sekadar karena faktor pengetahuan atau pemahaman. Kalau pengetahuan dan pemahaman lebih cenderung keseimbangan gizi yang sering tidak dipahami. Namun dalam kasus daging, faktor utamanya adalah pendapatan. Semakin maju negara, maka semakin meningkat konsumsi dagingnya.

Seperti diketahui, saat ini konsumsi Indonsesia untuk total daging sekitar 10 kg, Malaysia sekitar 50 kg dan negara maju sekitar 100 kg per kapita per tahun. Secara karakter makanan yang lebih bercita rasa akan dihargai lebih tinggi, karena manusia membutuhkan lebih dibanding yang kurang bercita rasa. (Abdul Kholis)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer