Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ko-infeksi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Ko-Infeksi pada Ayam Kampung


Diagnosa penyakit dengan metode histopatologi dan imunohistokimia merupakan sesuatu yang sangat mengasyikan bagi penulis. Kepuasan pertama seorang diagnostician adalah ketika menemukan agen penyakit pada suatu kasus penyakit atau kejadian outbreak. Histopatologi merupakan teknik diagnostic dengan melihat perubahan menciri pada organ atau jaringan terhadap suatu penyakit. Seorang pathologist dituntut untuk selalu meng-upgrade kemampuanya dengan memperbanyak membaca (buku, jurnal dan slide-slide kasus), hal ini disebabkan karena bidang yang dipelajari begitu luas. Sampel yang diperiksa sangat bervariasi dari unggas, ruminansia, babi, hewan kesayangan, ikan dan yang lainnya. Masing masing hewan dan organya memiliki perubahan spesifik yang menciri terhadap suatu penyakit. Diagnosa histopatologi akan berbunyi menjadi sebuah diagnosa pasti bila diteguhkan dengan imunohistokimia atau dengan pengujian standar lainya. Imunohistokimia merupakan pengujian berdasar pengamatan histopatologi dengan melihat adanya ikatan antigen-antibodi.

Awal tahun ini penulis cukup disibukkan dengan beberapa sampel ayam kampung yang diterima di laboratorium Patologi, Balai Veteriner Lampung. Dari sekian banyak sampel, beberapa sampel ayam kampung tersebut mati karena infeksi gabungan (ko-infeksi) dari Eimeria sp., necrotic enteritis, Ascaridia galli dan Jamur. Koksidiosis merupakan salah satu penyakit penting pada unggas di seluruh dunia dan secara umum menciri dengan enteritis. Koksidiosis disebabkan oleh protozoa, parasit uniseluler dari phylum Apicomplexa. Pada ayam kampung setidaknya ada lima dari sembilan spesies berbeda penyebab koksidiosis, yaitu Eimeria acervulina, Eimeria necatrix, Eimeria tenella, Eimeria maxima dan Eimeria brunetti. Siklus hidup Eimeria di dalam tubuh hospes diawali dengan konsumsi pakan dan minum yang tercemar ookista Eimeria. Parasit ini hidup, tumbuh dan berkembang di dalam sel hospes pada lapisan epithelial dan subepithelial pada usus dari duodenum, jejunum, ileum, sekum dan beberapa spesies dapat menyerang organ lain.

Ada empat spesies clostridium yang sering ditemukan pada unggas (Clostridium perfringens, Clostridium colinum, Clostridium botulinum dan Clostridium septicum). Nekrotik enteritis merupakan penyakit yang banyak ditemukan pada unggas. Terdapat dua bentuk penyakit yang disebabkan karena C. perfringens pada unggas, yaitu nekrotik enteritis dan cholangiohepatitis pada saluran empedu hati. Nekrotik enteritis bentuk ringan, mencakup penyakit subklinis, namun menimbulkan efek buruk pada produksi. Clostridium perfringens menunjukan parameter lingkungan yang kotor dan litter kotor. Penyakit ini diperparah dengan kerusakan dan kematian jaringan pada usus kerena toksin tipe A dan C yang dihasilkan C. perfringens.

Penularan penyakit dapat terjadi secara horizontal dan beberapa penelitian terkini menyebutkan penularan bisa terjadi secara vertikal. Penularan secara mekanik melalui konsumsi pakan dan minum tercemar dan diduga dapat ditularkan melalui vektor. Pada broiler dan layer, tepung ikan diduga menjadi sumber kontaminasi C. perfringens. Kerusakan mukosa yang diakibatkan oleh Eimeria sp. pada usus halus, merupakan faktor predisposisi penting penyakit ini. Walaupun Eimeria tenella tidak menimbulkan lesi pada usus halus, namun lesi nekrotik enteritis tetap terjadi, karena koksidiosis pada sekum meningkatkan kejadian shedding dari C. perfringens dan secara terus-menerus mengontaminasi lingkungan.

Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dan tidak spesifik. Nekrotik enteritis akut ditandai dengan meningkatnya kematian unggas, morbiditasnya rendah, yang mengindikasikan terjadi kematian secara cepat. Gejala klinis yang muncul pada kondisi wabah meliputi depresi, menurunnya feed intake, malas bergerak, bulu rontok dan diare. Bentuk nekrotik enteritis subklinis ditandai dengan hilangnya berat badan secara berkala, buruknya feed convertion ratio.

Temuan lain pada kasus yang sama adalah terlihat cacing gilig pada lapisan mukosa usus yang diteguhkan oleh laboratorium parasitologi menujukan cacing Ascaridia galli. Ascaridia galli merupakan cacing gilig ini paling sering ditemukan pada ayam kampung dan itik yang dipelihara secara ekstensif, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi. Cacing gilig ini biasanya menimbulkan kerusakan yang parah pada fase jaringan dari stadium perkembangan larva. Migrasi terjadi pada lapisan mukosa usus dan menyebabkan perdarahan (enteritis hemoraghica). Jika lesi tersebut bersifat parah akan mengalami gangguan proses pencernaan dan mengganggu proses penyerapan nutrisi, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan ataupun produksi.


Infeksi Ascaridia galli dapat menimbulkan penurunan berat badan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing yang terdapat dalam tubuh. Status nutrisi juga penting, ayam yang diberi protein tinggi lebih tinggi penurunan berat badannya dibanding dengan diberi pakan dengan protein lebih rendah. Infeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan pertumbuhan dan peningkatan kematian. Pada infeksi sangat berat akan terjadi penyumbatan usus, yang perlu menjadi catatan penting bahwa infeksi Ascaridia galli mempunyai efek sinergik/menimbulkan infeksi sekunder, seperti koksidiosis dan infectious bronchitis bahkan disinyalir dapat membawa reovirus dan menularkan virus tersebut.

Temuan yang terakhir pada kasus ayam kampang adalah terjadinya area granuloma pada paru-paru. Granuloma merupakan struktur perubahan atau lesi yang terjadi pada jaringan akibat infeksi dari agen-agen penyakit yang sulit diatasi oleh kekebalan ayam. Secara struktur perubahan jaringan, granuloma tersusun atas sentra granuloma yang berisi agen penyakit (jamur) sebagai usaha tubuh mengisolir agen tersebut, pada pewarnaan histopatologi berwarna eosinofilik (kemerahan). Tepi granuloma berisi jaringan ikat, sel-sel radang heterofil, makrofag alveolar dan sel-sel raksasa. Pada tampilan makroskopis, sayatan paru akan terlihat tuberkel, berisi eksudat (nanah) yang disinyalir merupakan aspegillus. Kerusakan paru akibat jamur ini menyebabkan gangguan pernafasan pada ayam dan jika kerusakanya sudah melebihi 50% permukaan paru kemungkinan besar metabolisme tubuh akan sangat menurun berujung kematian.

Ayam kampung yang dipelihara secara bebas (back yard) atau dikelola secara intensif tanpa biosekuritas yang memadai tidak akan mencapai produksi optimal karena kualitas dan kuantitas pakan yang kurang sesuai, serta penyakit yang memiliki paparan lebih besar seperti penyakit penyakit di atas. ***


Drh Joko Susilo, M.Sc.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer