Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Kasubdit POH | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PEMUTAKHIRAN DAN REGISTRASI OBAT HEWAN MELALUI ONLINE SINGLE SUBMISSION

Portal OSS Ditjennak Pertanian (Sumber: Subdit POH)


Acara Sosialisasi Bidang Obat Hewan Tahun 2019 yang digelar Subdit Pengawasan Obat Hewan (POH) Direktorat Kesehatan Hewan di Ruang Rapat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Jakarta, Senin (19/8) salah satunya menguraikan tata cara registrasi obat hewan melalui sistem Online Single Submission (OSS).

Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) POH, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD didampingi Dameria Melany MSi Apt menjelaskan registrasi obat hewan diarahkan untuk memasuki portal OSS selanjutnya memasukkan berkas penyampaian serta pemenuhan komitmen paling lama satu bulan.

Sesuai dengan Permentan Nomor 40 Tahun 2019, telah dilakukan pemutakhiran aplikasi terkait pendaftaran obat hewan yang mencakup registrasi baru, registrasi ulang serta pengalihan nomor registrasi.

Tahap berikutnya, evaluasi pemenuhan komitmen oleh Ditjen PKH kemudian akan ada pemberitahuan pemenuhan komiitmen yang bisa dilihat di portal OSS.

Persyaratan registrasi baru untuk produk dalam negeri telah memperoleh persetujuan Penilaian Pendaftaran Obat Hewan  (PPOH) serta sertifikat hasil pengujian dari BPPMSOH.

“Ditambah sertifikat Keamanan lingkungan dari KKHPRG untuk produk GMO, kemudian sertifikat CPOHB paling lambat satu tahun sejak ditetapkan nomor registrasi,” terang Ria dalam paparan presentasinya.

Menjadi pembeda dengan registrasi produk dalam negeri adalah adanya point CoO, CoFS, CoR, Certificate of GMP, dan LoA pada aturan pendaftaran produk obat hewan dari luar negeri.

“Sementara registrasi ulang produk luar negeri harus ada surat pernyataan dari pimpinan perusahaan bahwa obat hewan tidak mengalami perubahan secara teknis dan dilampirkan Letter of Appointment dari principal,” lanjutnya.

Proses pengalihan nomor registrasi obat hewan yang merupakan produk dari luar negeri harus ada melampirkan berkas Letter of Termination dan Letter of Appointment dari principal.  

Portal OSS juga menyedian fitur menu pemutakhiran yang terdiri dari pemutakhiran izin usaha obat hewan serta pemutakhiran data obat hewan. (NDV)


SOSIALISASI PERMENTAN NOMOR 40 TAHUN 2019



Dirkeswan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa didampingi Kasubdit POH.

Bertempat di ruang rapat lantai 6 Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Senin (19/8) digelar Sosialisasi Bidang Obat Hewan Tahun 2019. Acara ini diadakan dalam rangka mensosialisasikan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 40 Tahun 2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian.

Permentan ini jug berisikan diantaraya pemutakhiran aplikasi terkait pendaftaran obat hewan. Acara ini dihadiri 192 undangan yang terdiri dari pimpinan maupun Registration Officer perusahaan obat hewan (prosuden, eksportir, importir), perwakilan dinas, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), mitra market place, serta pet shop. 

Sosialisasi bidang obat hewan dihadiri 192 undangan. 

Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD mengemukakan acara sosialiasi ini tidak sekadar menjabarkan isi permentan yang baru, namun juga pastinya dilakukan pembinaan.

“Pemerintah berkomitmen sebagai regulator yang juga bersiap mendampingi pelaku usaha obat hewan,” ungkapnya.

Pada kesempatan tersebut, Dirkeswan juga memaparkan data terkini perkembangan obat hewan serta potret kegiatan produksi, ekspor obat hewan, dan impor obat hewan di Indonesia tahun 2019.

Terdapat peningkatan jumlah produsen dan eksportir obat tahun dilihat dari tahun 2015 ke tahun 2018.

“Tahun 2015 terdapat 77 unit usaha eksportir, meningkat 23,4% di tahun 2018 bertambah menjadi 95 unit usaha,” urai Fadjar.

Sementara itu Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Pengawasan Obat Hewan (POH) Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD mengatakan Permentan Nomor 40 Tahun 2019 merupakan perubahan dari Permentan Nomor 29 Tahun 2018.

Mengenai izin usaha obat hewan mencakup izin importir, ekportir, produsen, distributor, apotek obat hewan, depo, pet shop, poultry shop, dan toko obat hewan.

Tahapannya, pemohon menyampaikan permohonan izin usaha melalui OSS (Online Single Submission). “Pemenuhan komitmen badan usaha ini maksimal 14 hari kerja serta evaluasi komitmen 14 hari kerja,” jelas Ria. (NDV)

Pemerintah Gandeng Peternak Tekan Antimicrobial Resistance

Kasubdit POH, Ni Made Ria Isriyanthi (tengah), saat menjadi pembicara pada Sarasehan Peternak Unggas di Malang, Jumat (16/11). (Foto: Istimewa)

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menggandeng peternak yang tergabung dalam Pinsar Petelur Nasional (PPN) Cabang Jawa Timur, Pinsar Indonesia Cabang Jawa Timur dan Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN), serta Komunitas Peternak Ayam Indonesia dalam mendukung pengendalian resistensi antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR).

Hal tersebut dikatakan Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Ni Made Ria Isriyanthi dalam kegiatan Sarasehan Peternak Unggas, pada rangkaian kegiatan Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia di Malang, Jumat (16/11).

“Peternak merupakan salah satu subyek yang memungkinkan dalam pengguna antibiotik untuk ternak. Dikhawatirkan jika penggunaan dalam dosis yang cukup tinggi, maka dapat berkontribusi mempercepat perkembangan dan penyebaran AMR,” ujar Ria dalam keterangan persnya.

Menurutnya, penggunaan antimikroba di sektor peternakan Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Hal itu terlihat dari hasil survey penggunaan antimikroba yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama FAO Indonesia pada 2017 lalu di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

“Hasilnya cukup mencengangkan, 81,4% peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan, 30,2% untuk pengobatan, serta 0,3% digunakan untuk pemacu pertumbuhan,” ungkap dia.

Oleh karena itu, melalui Permentan No. 14/2017 yang berlaku awal tahun ini, pemerintah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) pada pakan ternak. “Ini dilakukan untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di peternakan, sekaligus mendorong peternak menghasilkan produk yang sehat untuk masyarakat,” ucapnya.

Lebih lanjut, peternak harus mulai bisa menerapkan biosekuriti tiga zona dan beternak dengan bersih, termasuk melakukan vaksinasi dengan tepat. “Antibiotik tetap diizinkan untuk tujuan terapi dan diberikan dengan resep dokter hewan, serta di bawah pengawasan dokter hewan,” papar Ria.

Pada kesempatan yang sama, Tri Satya Putri Naipospos, dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), menyampaikan, pada 2010 Indonesia merupakan negara nomer lima pengonsumsi antibiotik tertinggi di dunia. Tanpa adanya pengendalian, posisi ini dapat menanjak pada 2030 mendatang. “Apalagi populasi ternak kita cukup tinggi, terutama unggas,” kata dia. Untuk mengganti AGP, ia menyarankan peternak menggunakan alternatif seperti probiotik, prebiotik, asam organik, minyak esensial maupun enzim.

Sementara, Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Harri Parathon, menyebutkan, peternak harus lebih aktif dalam pengendalian bakteri resisten. Sebab, saat ini obat kolistin untuk memerangi bakteri resisten terhadap antibiotik terkuatpun telah dilaporkan tidak efektif lagi. “Makin sering kita minum antibiotik, bakteri makin bermutasi dan menjadi ganas. Demikian juga pada produk unggas yang dapat menyimpan residu lalu masuk ke tubuh manusia ketika dikonsumsi,” katanya. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer