Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini IBH | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

DUET MAUT AI & IBH PENGHANCUR MASA DEPAN PETERNAK

Ayam layer dengan gejala jengger kebiruan yang  terinfeksi virus H5N1 clade 2.3.2.1. (Istimewa)

Avian influenza (AI) dan Inclusion body hepatitis (IBH) merupakan penyakit fenomenal di tahun 2018 dan diperkirakan masih menjadi momok di tahun-tahun berikutnya. Bagaimana tidak, peternak zaman now dibuat frustrasi dengan kehadiran penyakit tersebut dan seolah-olah peternak justru semakin “teledor” dalam mengelola ayam karena sifat penyakit yang sulit dikendalikan dan menyerang semua tipe kandang, baik kandang terbuka (open house) maupun tertutup (closed house).

Perkembangan penyakit AI sejak ditemukan pertama kali di Indonesia pada 2002 sangat pesat, dan baru-baru ini ditemukan jenis terbaru Low Pathogenic Avian Influenza (H9N2) yang menjadi menjadi ancaman terbesar peternak layer dengan penurunan produksi 90% menjadi 40%. Demikian juga dengan IBH, sejak ditemukan di Indonesia pada 2017 penyakit ini kini telah tersebar ke seluruh Indonesia dengan tingkat mortalitas rata-rata 10-80%.

Avian Influenza
Penyakit ini masih menjadi primadona dan banyak diperbincangkan, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Agustus 2017 lalu, pemberitaan tentang teridentifikasinya virus AI H5N1 di Filipina juga tidak luput menjadi perbincangan, sedangkan di Indonesia H9N2 lebih banyak dibicarakan porsinya dibandingkan H5N1 karena ada beberapa laporan baru mengenai teridentifikasinya virus ini di lapangan.

Penyakit AI secara garis besar dikategorikan menjadi dua, yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), misal H5N1 dan Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI), misal H9N2. 

• HPAI
Sudah lama diketahui bahwa ayam petelur yang mendapatkan serangan virus H5N1 akan mengalami gangguan produksi telur dengan atau tanpa kematian. Variasi gejala dan tingkat kematian yang muncul pada ayam masa produksi sangat tergantung kekebalan ayam, kepadatan virus yang menantang dan kondisi umum ayam.

Virus H5N1 yang akhir ini didominasi clade 2.3.2.1 juga masih menjadi ancaman bagi ayam petelur. Tidak jarang gejala yang muncul hanya penurunan produksi telur tanpa ada kematian, hal ini salah-satunya diakibatkan perlindungan dari program vaksinasi hanya melindungi dari kematian tetapi tidak terhadap penurunan produksi.

Untuk mendapatkan perlindungan yang bagus terhadap tantangan H5N1 di masa produksi, tingkat dan keseragaman kekebalan juga penting. Penggunaan vaksin kill AI H5N1 sangat membantu perlindungannya dan tentu saja didukung dengan antigenic matching dari bibit vaksin yang digunakan.

• LPAI
Salah-satu virus AI yang digolongkan LPAI antara lain H9N2, virus ini pertama kali dilaporkan di kalkun yang mengalami gangguan pernafasan ringan tahun 1966 silam. Di dunia, virus H9N2 dibagi menjadi dua garis keturunan utama, yaitu North America dan Eurasian, sedangkan Eurasian dibagi menjadi tiga, yaitu G1-like, Y280-like dan Y439-like.

Sifat virus ini mayoritas bereplikasi di sel epitel pernafasan dan pencernaan yang bersifat lokal dikarenakan cleveage site yang monobasic. Hal ini yang menyebabkan penyebaran virus... 

Drh Sumarno
Head of AHS Central & Outer Island PT Sierad Produce, Tbk


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

Kasus Penyakit Penting di Tahun 2018

Salah satu penyakit CRD kompleks yang diikuti oleh infeksi E. Coli.

Fenomena kejadian penyakit di tahun 2018 relatif meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini dilatarberlakangi juga oleh kondisi challenge penyakit yang tinggi disebabkan bibit penyakit yang semakin berkembang dan kompleks. Penyakit kekinian seperti Inclusion body hepatitis (IBH) mejadi catatan spesial dimana penyakit ini secara valid dan terbukti menyerang pada umumnya ayam broiler dengan diagnosa final melalui histopatologi.

Berdasarkan pengalaman penulis, disini kami akan membagikan beberapa kasus penyakit paling penting dan sering terjadi di tahun 2018 baik yang menimpa ayam broiler maupun layer.

Chronic Respiratory Diseases (CRD)
Mycoplasmosis terutama yang disebabkan oleh Mycoplasma Gallisepticum (MG) merupakan ancaman yang nyata dan sangat berperan dalam gangguan sistem pernapasan ini. Kuman MG yang menempel di silia sel pernafasan akan mengeluarkan endotoksin kemudian melemahkan sistem mukosiliaris. Sumber kontaminasi MG di broiler farm terutama dari burung liar, mobilitas pekerja kandang, kendaraan yang terkontaminasi serta DOC yang terkontaminasi akibat infeksi vertikal dari induknya. Sejatinya Mycoplasma mudah mati dalam lingkungan dengan temperatur tinggi, kadar oksigen yang tinggi, kelembaban yang relatif rendah, dan hampir semua jenis desinfektan mampu membunuhnya. Tetapi kondisi ventilasi kandang yang jelek akan mengakibatkan kelembaban udara dan kadar amonia dalam kandang akan meningkat dan konsekuensinya adalah tekanan oksigen akan menurun. Hal ini yang menyebabkan Mycoplasma yang sudah berada di permukaan sel pernafasan akan berkembang biak dengan cepat dan menggangu sistem mukosiliaris sehingga rentan akan munculnya infeksi sekunder.

Kontrol yang paling tepat untuk meminimalkan munculnya kasus pernafasan yang dipicu oleh MG adalah melalui kedisiplinan pelaksanaan program sanitasi, pemilihan DOC yang minim kontaminasi MG dan didukung dengan pengaturan ventilasi atau tatalaksana kandang yang berhubungan dengan kecukupan oksigen di kandang. Program kontrol di broiler dengan antibiotik khusus untuk MG merupakan pilihan terakhir dan program sebaiknya didasarkan dengan melihat status MG di DOC yang diterima pada saat kedatangan. Untuk memudahkan kontrol, sangat disarankan memilih DOC yang induknya sudah divaksin dengan vaksin MG live.

Infectious Bronchitis
Dari berbagai faktor di atas, ada beberapa faktor pencetus utama yang sering dijumpai dan menyebabkan integritas sistem kekebalan mukosiliaris ini terganggu antara lain kadar amonia dan debu yang berlebih, infeksi kuman Mycoplasma terutama Mycoplasma Gallisepticum, infeksi virus Infectious Bronchitis dan reaksi pasca vaksin pernafasan seperti ND dan IB live.

Inclusion Body Hepatitis (IBH)
IBH menjadi momok yang menakutkan bagi para peternak, hakekat penyakit ini mirip dengan IBD tetapi lebih hebat dampaknya terhadap mortalitas dan perubahan organ kekebalan tubuh. Kematian yang disebabkan oleh IBH bisa terjadi lebih awal di umur 15 hari dan dapat diperparah oleh kondisi ventilasi yang buruk. Manifestasi fase dini IBH biasanya ada pembengkakan ringan organ...


Drh Sumarno
Manager AHS, PT Sierad Produce, TBK


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

DINAMIKA PENYAKIT AYAM RAS 2018

Pada 2019 kasus IBH masih perlu dicermati selain penyakit-penyakit viral lain pada unggas. (Sumber: Google)

Sepanjang 2018 bagi para praktisi dan ahli kesehatan hewan merupakan tahun tantangan “The Year of Challenge” yang sangat menyita banyak waktu, pikiran, keahlian, keterampilan dan kerjasama dengan berbagai pilar perunggasan Indonesia dalam strategi pengendaliannya. Tiga hal pokok tantangan utamanya adalah tidak diperbolehkannya lagi penggunaan Antibiotic Growth Promotor (AGP) pada pakan, munculnya penyakit baru Avian Influenza (AI) strain H9N2 dan merebaknya penyakit Inclusion Body Hepatitis (IBH) yang sudah lama ditemukan di Indonesia tetapi "hibernasi" dan epidemiologinya tidak termonitor secara seksama.

Merebaknya wabah AI-H9N2 pada peternakan  ayam petelur di Indonesia menjadi topik utama pembicaraan para ahli kesehatan hewan. Industri perunggasan terguncang karena bukan hanya turunnya produksi telur yang fenomenal, bahkan menjadi “Icon” yang disebut sebagai penyakit 90/40 yang gejalanya berupa penurunan produksi telur pada saat puncak produksi yaitu ketika mencapai sekitar 90% dan terjun bebas produksi telurnya menjadi hanya 40% ketika terserang penyakit, tetapi juga karena virus AI-H9N2 merupakan virus donor bagi virus AI yang lain, sehingga dapat terbentuk strain virus baru yang lebih ganas. Berbagai Institusi bekerja sama untuk menangani penyakit ini, bahkan juga kerjasama Internasional dengan beberapanegara yang memiliki masalah serupa serta badan-badan internasional yang terkait dengan masalah ini seperti FAO, OIE dan WHO.

Di 2018 juga mencatat kejadian penting dengan banyak ditemukannya kasus penyakit IBH yang umumnya menyerang ayam broiler. Penyakit yang sudah lama “hibernasi” ini marak pada peternakan ayam broiler muda dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, bahkan menyebabkan angka kematian hingga 50% karena masuknya infeksi sekunder. Penanggulangan masalah penyakit ini menjadi pekerjaan rumah yang terasa berat bagi para konsultan kesehatan hewan karena belum adanya vaksin yang tersedia. Pihak yang berwenang dalam pengambilan kebijakan pengendaliannya belum dapat teryakinkan bahwa IBH merupakan penyakit yang serius, sehingga pengadaan vaksin dari luar negeri bukan merupakan prioritas, apalagi IBH bukan merupakan penyakit zoonosis.

Permasalahan dunia perunggasan di Indonesia mulai tahun 2018 ini juga menjadi semakin kompleks karena tidak siapnya industri dan stakeholder lainnya ketika AGP tidak diperbolehkan lagi digunakan dalam pakan unggas. Untuk masalah ini bukan hanya tantangan bagi para Nutrisionist, tetapi juga  kompetensi Dokter Hewan yang juga dituntut untuk semakin dalam memahami kompleksitas kesehatan ternak, karena pencabutan AGP berdampak pada kualitas kesehatan unggas. Para peternak melaporkan bahwa ayam menjadi sangat rentan terhadap serangan penyakit, berat badan tidak dapat mencapai standar, tingginya angka kematian, dan afkir ayam kerdil meningkat. Situasi ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan hewan semata, tetapi juga menjadi masalah ketersediaan pangan dan keamanannya bagi masyarakat, karena turunnya tingkat produksi dan meningkatnya distribusi ayam sakit sehingga kuman penyakit semakin tersebar ke lingkungan sekitar.

Pendekatan kesehatan hewan memerlukan langkah preventif praproduksi, kendali produksi yang komprehensif, serta biosekuriti yang mengikuti rantai distribusi mulai dari pembibit, distributor, kelompok peternak hingga ke tingkat budi daya akhir. Oleh karena itu, sejalan dengan platform kesehatan unggas, maka mata rantai pencegahan dan biosekuriti menjadi penjaga pintu utama dalam pencegahan penyebaran penyakit unggas.

Langkah pengendalian suatu penyakit memerlukan panduan terpadu yang dimulai dari penetapan keberadaan suatu penyakit di suatu daerah, atau masih bebasnya suatu daerah dari satu penyakit menular, kemudian diikuti dengan penetapan...

Drh Dedi Kusmanagandi, MM
Kontributor Infovet, Praktisi Bisnis Obat Hewan


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Desember 2018.

Menghindari Serangan IBH (Inclusion Body Hepatitis) di Farm Broiler

Pemeliharaan broiler prosesnya sangat cepat. Untuk mencapai finish dengan normal
diperlukan kondisi fit sejak kedatangan DOC di farm, yang tidak hanya berpedoman pada
kondisi fisik secara kasat mata, melainkan kualitas DOC secara internal quality.
(Foto: Ridwan)

Oleh: Suryo Suryanta
Konsultan Manajemen Ayam

Lagi-lagi kasus gangguan kesehatan menyeruak di lapangan yang mengakibatkan kerugian yang signifikan karena kematian ayam dengan kisaran 5-65%, sehingga konversi pakan menjadi membengkak. Kasus IBH menjadi pelik karena gejala infeksinya agak sulit dibedakan dengan kasus Gumboro (IBD), meskipun disebutkan bahwa kontaminasi IBH dapat terdeteksi sejak dini saat penerimaan DOC bila terjadi kontaminasi di breeder ataupun di hatchery, ditulis Drh Eko Prasetio, Infovet edisi Februari 2018.

Kejadian infeksi IBH muncul setelah ayam sudah mulai besar (800 gr) atau di umur sekitar 18 hari dengan meningkat kematiannya. Yang paling repot kejadian tidak terdeteksi, namun kematian tinggi saat pelaksanaan panen, baik kematian saat penangkapan hingga saat  ayam sudah di kendaraan. Berikut tanda-tanda IBH yang terjadi di lapangan dari (kontributor Dokter Hewan yang aktif di lapangan):

Gambar: Dok. Pribadi
Contoh kasus di lapangan, pada flok yang terdiri dari tiga kandang, hanya satu kadang yang mengalami serangan IBH tersebut yang diikuti dengan gejala ND dan colli, sehingga kematian menjadi meningkat tajam hingga 20%. Meskipun yang terkena hanya satu kandang, namun memberikan kerugian secara total menyeret kandang lain yang performance-nya normal. Tentunya kondisi ini merugikan bagi peternak broiler, meskipun harga livebird tinggi tetap tidak memberi keuntungan, hanya mampu mengurangi tingkat kerugian yang dialami peternak.

Meskipun tingkat morbiditas kasus IBH ini tidak meluas atau dapat disebutkan hanya spot-spot, namun kejadian ini seolah menjadi trauma bagi peternak atau “down mental”, karena mereka ragu-ragu untuk melakukan chick-in lagi, karena khawatir akan terserang kasus IBH kembali. Mereka sadar masih belum dapat mengatasi secara preventif apalagi mengatasi setelah terjadi wabah. Oleh karena itu, perlu dituntaskan mengenai kasus IBH ini untuk menghindarkan dari farm, sehingga mendorong semangat para peternak untuk kembali berusaha.

Budidaya Broiler seperti Lomba Lari Sprint
Pemeliharaan broiler hanya sampai 30-35 hari dengan bobot panen mencapai 1,6-2,2 kg, bahkan tidak sedikit yang dipanen pada umur 22-25 hari dengan bobot 0,9-1,2 kg. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan broiler adalah proses yang sangat cepat ibarat lomba lari sprint. Untuk mencapai finish dengan kecepatan normal diperlukan kondisi yang fit sejak kedatangan DOC di farm. Kondisi yang fit sampai sekarang masih berpedoman hanya pada kondisi fisik yang kasat mata, seperti tidak cacat, berat DOC, kekeringan, warna bulu dan kelincahan. Tentu sudah perlu diarahkan pada pedoman kualitas DOC secara internal quality, yaitu dari aspek kecukupan nutrisi penyusunnya, serta memastikan bebas kontaminasi dari induk, baik bebas salmonella, bebas jamur atau fungus, bebas bakterisidal, seperti colli dan pseudomonas dan bebas kontaminasi yang bersifat virusidal.

Mengapa DOC harus full nutrisi, karena jumlah sel dasar dan kekebalan tubuh terstruktur oleh nutrisi yang akan menjadi pondasi dasar untuk pertumbuhan dan pembentukan organ kekebalan. Dengan pertumbuhan broiler yang cepat, maka harus diimbangi dengan perkembangan organ kekebalan yang cepat pula, sehingga jumlah sel dasar penyusunnya harus dalam jumlah yang ideal.

Sebagai ilustrasi sederhana ayam breeder 32 minggu dengan standar berat HE 60 gram, sehingga akan memiliki variasi berat DOC 35-47 gram, selanjutnya pada umur 40 minggu akan memiliki standar berat HE sudah 65 gram, sehingga berat DOC akan bervariasi dari 40-52 gram, artinya pada umur 40 minggu harus sudah tak lagi ditemukan berat DOC di bawah 40 gram. Namun kondisi yang dihadapi di lapangan belum tentu bisa terwujud dengan baik, sehingga masih dijumpai berat DOC di bawah 40 gram meskipun umur induk sudah di atas 40 minggu.

Apakah yang Mengganggu Nutrisi Telur Tetas (HE)
Ada anomali gangguan yang sangat riskan pada breeder broiler, yaitu jatuhnya telur ke perut ayam, disebut anomali karena kejadian yang tidak mudah dideteksi secara dini, namun hanya bisa diketahui dari akibatnya. Kejadian ini pun bisa diketemukan karena ada faktor lain yang involve yaitu bila ada kontaminasi bakteri, sehingga muncul yang disebut Egg Peritonitis dengan kejadian mortalitas yang tinggi. Lebih lanjut disebut anomali karena kejadian telur jatuh atau bisa disebut internal laying disebakan oleh yang disebut Erratic Oviposition And Defective Egg Syndrome (EODES), yaitu terjadi ketika ayam memiliki terlalu banya folikel ovarium yang besar, sehingga akan banyak kejadian double yolk dan prolapsus. Kejadian EODES karena terjadi stimulasi cahaya dini pada ayam ayam yang underweight atau yang juga overweight, sehingga cara preventif mengatasi EODES hanya dengan menunda stimulasi cahaya pada ayam pullet yang underweight, serta menghindari ayam yang overweight.

Gambar: Dok. Pribadi
Kejadian telur jatuh ke perut juga akan aman karena akan diserap kembali ke tubuh ayam sejauh bila tidak ada kontaminasi bakteri. Namun bila muncul gangguan Toksikasi, yaitu adanya toksin yang masuk meracuni atau  terjadi akumulasi toksin di dalam tubuh ayam. Toksikasi menyebabakan daya tahan tubuh menurun (imunosupresi), maka salmonella ataupun colli di dalam tubuh akan mengalami replikasi dan mampu mengintervensi tubuh ayam. Proses replikasi menjadi berkepanjangan bila ada kuning telur ada di perut ayam karena menjadi tempat tinggal dan berkembangbiak.

Kondisi ini akan menjadi problem yang berkepanjangan karena tidak akan mudah diatasi dengan perkembangbiakkan bakteri di perut ayam. Kondisi inilah yang menjadi “biang bertunas” ke telur tetas yang dihasilkan ayam tersebut, sehingga menjadi HE yang terkontaminasi bakteri colli dan salmonella. Meskipun secara jumlah telur yang tertunas tidak banyak namun seperti menyimpan “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak saat proses inkubasi, sehingga menjadi spreading atau penyebaran yang meluas pada telur yang embrionya sudah berkembang, serta waktu yang krusial di hatcher pada saat telur piping atau ayam sudah siap menetas dengan mulai paru DOC keluar dari cagkang, maka DOC akan menghirup kontaminan colli maupun salmonella ke saluran pernapasan dan pencernakan DOC tersebut.

Resiko Berganda dan Solusi
Dengan adanya telur jatuh ke perut dan terkontaminasi bakteri maka menjadi simpanan kontaminan yang siap bertunas di telur yang diproduksi pada ayam tersebut. Meskipun semua ini menjadi potensial yang aman bila tidak ada “si pemantik api” yaitu toksin. Dengan adanya toksin menyebabkan gizzard errotion dan usus juga terjadi enteritis maka penyerapan nutrisi menjadi menurun, akibatnya nutrisi penyusun dalam telur menjadi tidak optimal.

Dapat disimpulkan bahwa akibat Toksikasi di breeder akan menyebabkan kematian tinggi, menyebabkan kontaminasi telur tetas, sehingga hatchability turun dengan kualitas DOC juga menurun. Selanjutnya DOC yang dihasilkan juga memiliki nutrisi yang kurang, serta memungkinkan tertunas atau terkontaminasi bakteri colli dan salmonella sehingga culling juga tinggi.

Dengan DOC yang seperti ini tentu pertumbuhan juga kurang optimal, serta pertumbuhan organ kekebalan juga tidak maksimal yang akan mudah terserang oleh bakteri maupun virus. Kondisi broiler farm yang terwabah IBH muncul tanda gizzard errotion, artinya juga terjadi munculnya IBH oleh adanya Toksikasi. Dengan adanya Toksikasi maka penyerapan nutrisi menjadi kurang maksimal, serta terjadi penurunan daya tahan tubuh yang akan memunculkan outbreak IBH.

Perlu digaris-bawahi bahwa kronologis munculnya kasus IBH di farm broiler bukan IBH-nya diturunkan dari induk breeder, namun diawali dengan kontaminasi bakteri dan salmonella pada DOC, serta komposisi nutrisi penyusunnya yang kurang sempurna, sehingga daya tahan tubuh DOC menjadi rendah. Selanjutnya DOC yang lemah ini menjadi rentan untuk masuknya outbreak IBH. Jadi dapat disimpulkan bahwa secara kronologis munculnya IBH dipicu oleh pengaruh toksin yang melanda di induk breeder, serta di farm broiler-nya. Oleh karena itu, hanya satu solusi yang harus dilakukan secara simultan di farm breeder dan farm broiler dengan menjinakkan toksin melalui Detoksikasi.

Detoksikasi
Mengambil istilah dari proses perawatan kesehatan untuk manusia, Detoksikasi merupakan proses menurunkan toksisitas pada tubuh ayam, sehingga mampu menetralisir efek toksisitas dari toksin yang mampu mengondisikan gizzard menjadi lebih baik, vili-vili usus sempurna, serta organ hati memiliki tingkat kekenyalan yang normal.

Dengan kondisi organ dalam yang sempurna ini mampu mendorong pertumbuhan sel-sel telur atau ovum dan ovarium juga sempurna. Hasil dari penerapan Detoksikasi yang sudah konsisten mampu memberikan pengaruh yang baik pada performance produksi, sehingga HD di breeder akan dimudahkan mencapai produksi HD 88-90%, serta berkelanjutan pada broiler yang dimulai dari kualitas DOC yang baik hingga bisa disebut zero komplen, serta memiliki performa broiler yang terbebas dari kasus IBH. ***

Gambar: Dok. Pribadi

Badai IBH, Apa Bedanya dengan Serangan IBD?

Virus IBH
Masih hangat dalam ingatan, dalam waktu 3-4 bulan terakhir muncul kejadian penyakit “aneh” terutama di ayam pedaging (broiler), meskipun juga terjadi sebagian di ayam petelur (layer). Terutama terasa sekali di ayam pedaging, kondisi tersebut yang akhirnya “diduga” menjadi langkanya ayam berukuran besar ukuran 1,6-1,8 kg ke atas, sehingga harga ayam besar menjadi lebih tinggi dan bertahan cukup lama. Kejadian ini marak baik pada peternakan ayam pedaging konvensional (open house) maupun pada kandangan closed house. Dampak keparahan dari kasus ini sangat bervariasi. Peternak dengan tatalaksana pemeliharaan yang baik serta tingkat biosekuriti yang ketat tidak begitu menggerus performa produksinya. Namun sebaliknya, pada saat wabah ini menyerang akan terasa berat pada pemeliharaan ayam dengan tatalaksana dan penerapan biosekuriti yang lemah.

Tidak hanya sampai di sini, ratapan kemalangan terjadi dengan adanya kasus IBH (Inclusion Body Hepatitis), yakni penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang ayam pedaging saat masa akhir pemeliharaan (umur 18-26 hari) dengan tingkat kematian variatif 5-65%. Hal yang menciri dari penyakit ini adalah dengan gejala yang mirip dengan IBD (Infectious Bursal Desease) atau Gumboro. Beberapa peternak menyebut penyakit ini sebagai “Gumboro Tua”. Sehingga sebagian besar peternak yang menganggap pola serangan penyakit ini sebagai Gumboro dan mereka cenderung menunda untuk panen dengan harapan setelah puncak kematian 3-4 hari paska serangan awal, kematian akan turun dan kembali normal. Hal tersebut sepintas wajar, mengingat gejalanya yang memang mirip dengan IBD/Gumboro. Namun ternyata kasus IBH ini berbeda, kematian tidak kunjung turun bahkan paska 6-8 hari dari serangan awal. Justru tidak hanya kematian yang meningkat, adanya perlambatan pertambahan berat badan harian (ADG/Avarage Daily Gain) dan munculnya infeksi sekunder, inilah yang menjadi performa produksi ayam semakin terpuruk.

Bagaimana membedakan antara IBH dengan IBD? IBH ini termasuk penyakit yang disebabkan oleh virus dalam kelompok Adenoviridae, mempunyai rangka DNA ganda dengan ukuran virus yang lebih besar dibandingkan dengan virus lain pada umumnya. Karena ukurannya besar dalam hal imunologi, virus ini akan menggertak kekebalan yang bersifat seluler (Celluler Mediated Immunity), sehingga porsi terbentuknya kekebalan tersebut akan lebih dominan dibandingkan dengan kekebalan humoral (yang terlarut dalam zat kebal). Karena hal tersebutlah yang menyebabkan kekebalan asal induk tidak sepenuhnya bisa ditransfer dengan baik kepada anak ayam (DOC) sebagaimana kekebalan yang berasal dari virus lain (IBD, AI, IB, ND, dan sebagainya).

Selain ukurannya besar, virus ini termasuk virus yang tidak beramplop, di mana sebagian besar virus yang tidak beramplop, mempunyai katahanan yang lebih kuat dibandingkan dengan virus yang beramplop. Virus ini tahan di lingkungan lebih lama (bahkan sampai lebih dari sembilan bulan di lingkungan dan tahan terhadap panas, ditergen, zat asam, bahkan mampu menginfeksi saluran cerna dan tahan terhadap situasi asam di sepanjang saluran digesti. Dalam jumlah tertentu, virus ini normal ada pada kalkun, unggas air (bebek, angsa, dan lain lain), bahkan burung liar. Virus ini mampu bertahan hidup pada suhu 60-70oC lebih dari satu jam. Resisten terhadap sebagian besar disinfektan, meskipun dilaporkan formaldehid dan glutaraldehid mampu menumpas dengan daya bunuh yang lebih baik. Apabila dibandingkan dengan IBD yang mampu menggertak kekebalan humoral dengan porsi yang lebih banyak diturunkan ke DOC dibanding IBH, dan virus ini masih relatif sensitif terhadap beberapa jenis disinfektan (phenol, iodin, formalin, dan sebagainya). ***

Drh Eko Prasetio,
Broiler Commercial Poultry Consultant
Tinggal di Bekasi, Jawa Barat


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018.

Analisa Lapangan IBD vs IBH: Menelisik Gambaran Hasil Nekropsi (Tony Unandar)


Kasus-kasus infeksius dalam industri perunggasan seolah terus berpacu bermunculan (emerging diseases) seiring dengan perkembangan industri perunggasan itu sendiri. Tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas. Contoh yang paling anyar dalam setahun terakhir adalah kasus penyakit Hepatitis Syndrome alias Inclusion Body Hepatitis (IBH). Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan situasi gamang di lapangan, baik bagi peternak maupun praktisi perunggasan. Paparan tulisan ini mencoba membantu peternak maupun kolega praktisi lapangan untuk menentukan diagnosa yang akurat berdasarkan nekropsi dalam membedakan kasus IBD (Infectious Bursal Disease) dengan IBH yang sekilas serupa, tapi tak sama.

Pengamatan Jaringan Limfoid 
Pada ayam, dari DOC (Day Old Chick/ayam umur sehari) sampai dengan umur sekitar empat minggu, proses pendewasaan sel-sel limfosit yang bertanggung jawab bagi sistem imunitas ayam terjadi baik di dalam bursa Fabricius (sel limfosit-B) maupun timus (sel limfosit-T). Itulah sebabnya kedua organ itu disebut Organ Limfoid Primer (OLP) dan ketergantungan respon imunitas ayam umur di bawah empat minggu pada kedua organ tersebut sangatlah besar. Demikian juga jika terjadi kerusakan kedua organ tersebut, baik oleh agen infeksius maupun non-infeksius, efek imunosupresi yang ditimbulkannya akan jauh lebih signifikan dibanding dengan kejadian serupa untuk ayam berumur di atas empat minggu. Hal ini bisa terjadi karena proses pendewasaan sel-sel limfosit (baik B maupun T) pada ayam umur di atas empat minggu tidak hanya tergantung pada OLP, akan tetapi dapat juga terjadi dalam Organ Limfoid Sekunder (OLS) seperti limpa, sumsum tulang, HALT (Head Associated Lymphoid Tissue), BALT (Bronchiol Associated Lymphoid Tissue), maupun GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue).

Terhadap jaringan limfoid, patogenesis (proses perjalanan agen infeksius dalam membuat kerusakan jaringan atau organ tubuh induk semang) pada infeksi virus IBD sangatlah berbeda dengan pada IBH (Fowl Adenovirus grup I atau Aviadenovirus). Virus IBD mempunyai tropisma (sel atau jaringan kesukaan/target) terutama sel-sel jaringan bursa Fabricius, sedangkan virus IBH mempunyai tropisma terutama sel-sel epitelium dan sel-sel limfosit, baik sel limfosit muda maupun sel limfosit yang sudah dewasa. Itulah sebabnya, secara kasat mata, dari sudut pandang patologi-anatomis, pada kasus IBD lesio-lesio hanya ditemukan pada organ limfoid bursa Fabricius saja, sedangkan pada kasus IBH lesio-lesio dapat dijumpai pada hampir semua organ limfoid, baik OLP maupun OLS. Kondisi inilah yang bisa menjelaskan mengapa efek imunosupresi pada kasus IBH lebih hebat dibanding IBD, baik itu humoral immunity maupun cell-mediated immunity. Inilah perbedaan Pertama gambaran patologi-anatomis pada nekropsi antara IBD dan IBH.

Pada pengamatan secara histologis, serangan virus IBD terhadap sel-sel jaringan bursa Fabricius dapat mengakibatkan kematian sel-sel jaringan bursa, kerusakan dan regresi folikel-folikel di dalam plika bursa (termasuk sel limfosit muda), serta kerusakan sistem vaskularisasi pada jaringan bursa. Itulah sebabnya, secara kasat mata atau secara patologi-anatomis, pada kasus IBD ada manifestasi reaksi peradangan yang hebat dari organ bursa Fabricius (tampak baik secara internal maupun secara eksternal), adanya regresi dari beberapa plika (bursal plicae) dengan derajat keparahan yang bervariatif, serta tampak adanya perdarahan-perdarahan yang sifatnya sporadik sampai difus (merata). Pada kasus IBD, imunosupresi yang ditimbulkan terutama terhadap humoral immunity (kekebalan dengan perantaraan antibodi) dan bersifat temporer, karena pada ayam di atas empat minggu proses pendewasaan sel limfosit B tidak lagi tergantung pada bursa Fabricius.

Di lain pihak, pada kasus IBH, manifestasi fase dini biasanya ada pembengkakan ringan semua organ limfoid yang kadangkala disertai perdarahan ringan yang cenderung difus dan adanya regresinya organ limfoid tersebut (karena kematian sel-sel limfosit) pada fase lanjut yang derajat keparahannya belum tentu sama antar organ limfoid. Itulah sebabnya, secara patologi-anatomis, relatif lebih sulit untuk membedakan kelainan bursa pada kasus akibat IBD dengan IBH kalau berhenti hanya mencermati organ bursa Fabricius saja. Yang jelas, pada IBH umumnya perdarahan maupun regresi pada plika terjadi relatif bersamaan karena yang diinfeksi adalah sel-sel limfosit, sedangkan pada IBD tidak, tergantung aktivitas virus pada masing-masing jaringan plika.  Inilah perbedaan Kedua gambaran patologi-anatomis pada nekropsi antara IBD dan IBH (Lihat foto 1). ***

Tony Unandar
(Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018...

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer