Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Gangguan Reproduksi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BERSIAP MENGADANG GANGGUAN REPRODUKSI

Air minum bisa menjadi celah bagi agen penyakit untuk menginfeksi ayam. (Foto: Istimewa)

Ketika produktivitas produksi telur menurun, pendapatan peternak juga akan menurun. Begitupun jika kualitas telur menurun, tentu akan memberikan dampak yang sama. Oleh karena itu, sebisa mungkin faktor-faktor penyebabnya harus diminimalisir.

Secara umum keberhasilan suatu usaha peternakan ditentukan empat faktor, yaitu genetik ternak, nutrisi, lingkungan, dan manajemen pemeliharaan. Keempat faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dalam menunjang keberhasilan pemeliharaan. Jika salah satu dari empat faktor tersebut terjadi pergeseran, maka ketidakseimbangan akan terjadi dan efeknya sangat merugikan.

Kenyataannya di lapangan masih banyak peternak ayam petelur yang mengeluhkan kesulitan mencapai standar performa ayam sesuai standar guideline tiap strain-nya. Berbagai permasalahan yang biasa dikemukakan seperti produksi tidak mencapai puncak, produksi cepat turun, berat telur di bawah standar sehingga mengakibatkan konversi ransum yang membengkak, dan pada akhirnya mengganggu laju pendapatan.

Infovet mencoba memberikan kontribusi berupa saran dari berbagai ahli untuk mencapai produksi telur yang maksimal.

Pahami Genetika Ayam
Ayam petelur modern merupakan hasil selective breeding dengan potensi mampu menghasilkan telur dalam jumlah banyak (hen day tinggi) dalam intensitas waktu pemeliharaan yang panjang (persistensi produksi telur baik), serta mendapatkan tingkat efisiensi ransum yang baik.

Meskipun demikian, ayam petelur modern ternyata memiliki beberapa sisi kekurangan. Salah satunya relatif sulit mencapai berat badan standar terutama ketika fase starter serta memasuki awal produksi hingga puncak. Selain itu, ketertinggalan berat badan tersebut sulit dikompensasi saat fase pemeliharaan berikutnya. Ayam petelur modern saat ini juga lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dan ransum. Hal tersebut disampaikan Senior Specialist Poultry PT De Heus Indonesia, Jan Van den Brink.

Sebagai contoh, pada ras ISA brown, jika diikuti dengan penerapan tata laksana pemeliharaan yang baik, seekor ayam petelur mampu menghasilkan… Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023. (CR)

KUALITAS PULLET DAN GANGGUAN REPRODUKSI

Pemeliharaan pullet ayam petelur modern dengan sistem koloni dalam kandang tertutup ternyata selain mampu mengurangi kasus-kasus infeksius selama masa pullet, tetapi juga dapat membentuk kualitas pullet yang optimal dengan keseragaman yang tinggi.

Oleh: Tony Unandar (Private Poultry Farm Consultant-Jakarta)

Slogan "more eggs less feed" tampaknya sudah lengket dengan karakteristik umum ayam petelur modern. Sadar atau tidak, sekarang para peternak ayam petelur tengah berhadapan dengan ayam petelur “gaya baru”. Keengganan mengikuti perubahan tata laksana pemeliharaan yang seiring dengan perkembangan genetik ayam petelur modern tentu dapat memengaruhi total penampilan akhir ayam. Ujung-ujungnya, tidak saja menyebabkan keuntungan yang sudah di depan mata tereduksi, tetapi juga dapat menjadi faktor pencetus masalah baru yang kompleks dan terkesan misterius.

Dalam satu dekade terakhir, para praktisi lapangan yang jeli tentu dapat mengidentikasi meningkatnya kasus-kasus non-infeksius pada ayam petelur modern, khususnya gangguan reproduksi yang berkorelasi dengan metabolisme tubuh (penyakit metabolik). Pada kenyataannya, selain kasus yang tergolong dalam kelompok ini memang relatif sulit untuk didiagnosis secara cepat karena banyak faktor yang terlibat, juga rendahnya persentasi kesembuhan.

Dengan kata lain, kasus penyakit metabolik gangguan reproduksi pada ayam petelur modern umumnya bersifat semi permanen (non-reversible). Ini berarti, ayam yang sudah mengalami masalah umumnya mempunyai produktivitas sub-optimal pada sepanjang hayatnya.

Beberapa bentuk penyakit metabolik pada ayam petelur modern yang sering ditemukan di lapangan seperti tertera dalam tabel:

Kasus Non-infeksius (Metabolik) pada Ayam Petelur Modern

Problem yang Tampak

Efek

Prolapsus dan kanibalisme

Deplesi meningkat, % HH rendah

Kejang kalsium (calcium tetany)

Deplesi meningkat, % HH rendah

Egg-yolk peritonitis

Deplesi meningkat, % HH rendah

Kerabang telur tipis/bobot telur ringan

Bobot telur rendah, telur afkir meningkat

Kelelahan bertelur (cage layer fatigue)

Deplesi meningkat, % HH rendah

Osteoporosis

Deplesi meningkat, % HH rendah


Sekilas Tentang Ayam Petelur Modern
Perkembangan genetik ayam petelur modern memang sangat spektakuler. Jika diikuti dengan perbaikan tata laksana pemeliharaan yang sesuai, maka seekor ayam petelur modern mampu menghasilkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023. (toe)

KENALI FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN REPRODUKSI PADA UNGGAS

Ayam petelur, sebuah mesin biologis. (Foto: Istimewa)

Layaknya sistem organ lain, sistem organ reproduksi pada unggas juga memegang peran krusial. Mungkin pada broiler gangguan pada organ reproduksi jarang dibicarakan, namun bagi layer dan breeder, gangguan pada organ reproduksi akan sangat memengaruhi performa produksi.

Sebagai makhluk hidup ovipar, unggas juga berkembang biak dengan cara bertelur layaknya ikan dan reptil. Telur unggas merupakan salah satu sumber protein bagi manusia, baik diolah maupun tanpa diolah. Sebagai salah satu komoditas yang digemari masyarakat dunia, sangat penting agar produksi telur tetap terjaga.

Di era modern ini unggas petelur didesain sebagai mesin biologis penghasil telur yang sangat masif. Salah satu produsen bibit ayam petelur bahkan mengklaim bahwa ayam petelur keluaran mereka dapat bertelur sebanyak 500 butir lebih dalam kurun waktu 100 minggu, tentunya perkembangan yang luar biasa dari tahun ke tahun.

Kuantitas vs Kualitas Telur
Setidaknya ada dua aspek yang dinilai dari keberhasilan pencapaian produksi telur, yakni kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas telur berkaitan dengan hen day (produksi telur), sedangkan kualitas terkait bentuk, ukuran, konsistensi, haugh unit, dan berbagai aspek lain dari telur yang dihasilkan. Keduanya amat penting untuk dijaga peternak.

Misalnya jika produksi telur dari satu peternakan melimpah, namun kualitasnya buruk (ukuran kecil, kisut, mudah pecah, dan bermasalah lain), tentu akan banyak telur yang diafkir dan tak terjual. Begitupun sebaliknya, jika kualitas telur sudah baik namun produksinya sedikit, peternak pun akan merugi.

Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat produksi telur baru mencapai sekitar 4-5% alias baru belajar bertelur. Selanjutnya produksi telur akan meningkat secara cepat hingga mencapai puncak produksi sekitar 96%, bahkan ada yang mengklaim 98% dalam kurun waktu ± 2 bulan (di umur 26 minggu).

Sesuai pola siklus bertelur, maka setelah mencapai puncak produksi, sedikit demi sedikit jumlah produksi mulai mengalami penurunan secara konstan. Pada saat ayam berumur 90-100 minggu, jumlah produksi telah berada di bawah angka 70% dengan jumlah telur per hen house 466 butir dan pada kondisi demikian bisa dikatakan ayam siap diafkir (HyLine Brown Management Guide, 2019).

Staf pengajar sekaligus ahli Kesmavet SKHB IPB University, Drh Denny Widaya Lukman, mengatakan bahwa untuk menentukan kualitas dari sebutir telur harus melihat... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023. (CR)

KESIAGAAN MENGHADAPI GANGGUAN REPRODUKSI

Gambar kiri: Kerabang telur lunak (EDS). Gambar kanan: Albumin luar sangat encer. (Foto-foto: Dok. Romindo)

Untuk mencapai target produktivitas ayam petelur, faktor kesehatan harus selalu mendapat perhatian serius untuk mencapai performa genetik ayam yang optimal. Dengan semakin tingginya target produktivitas, menyebabkan ayam menjadi semakin sensitif terhadap perubahan lingkungan dan meningkatnya risiko penyakit, sehingga diperlukan manajemen kesehatan yang lebih baik.

Upaya yang dilakukan untuk menghindari penyakit penyebab gangguan produksi telur adalah dengan menghindari atau mengurangi faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya penyakit, antara lain iklim dan cuaca, fluktuasi temperatur, atau kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan risiko terjadinya stres pada ayam. Risiko ini akan semakin tinggi pada kandang sistem terbuka, sehingga ayam akan semakin rentan terhadap infeksi penyakit.

Selain itu, kualitas air minum pada peternakan yang menggunakan air permukaan karena sulitnya mendapat air tanah yang dalam, kualitas air minum merupakan masalah utama yang sering menjadi faktor pendukung timbulnya penyakit, terutama cemaran koliform yang melebihi batas normal.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah kualitas pakan. Bahan baku pakan asal biji-bijian yang tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan tumbuhnya jamur yang menghasilkan toksin. Selain itu, tak kalah penting adalah program kesehatan dan pencegahan penyakit. Dengan semakin kompleksnya kejadian penyakit saat ini, program kesehatan dan pencegahan penyakit semakin banyak dan membutuhkan biaya tinggi, oleh sebab itu harus dilakukan pemilihan program kesehatan dan  biosekuriti yang tepat dan efisien.

Penurunan produksi pada ayam petelur dapat disebabkan beberapa faktor:

• Usia: Produksi telur biasanya mencapai puncak ketika ayam berusia 24-50 minggu. Setelah itu, produksi telur secara alami mulai menurun seiring bertambahnya usia ayam.

• Nutrisi: Kekurangan nutrisi atau gangguan dalam pemberian pakan dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Ayam petelur membutuhkan asupan pakan seimbang, termasuk protein, vitamin, mineral, dan air yang cukup. Nutrisi yang tidak seimbang atau kekurangan pakan dapat memengaruhi kesehatan dan produksi telur ayam.

• Penyakit dan infeksi: Seperti infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran reproduksi, atau penyakit menular lainnya dapat menyebabkan... Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2023.

Ditulis oleh:
Drh Bayu Sulistya
Technical Department Manager
PT ROMINDO PRIMAVETCOM
JL. DR SAHARJO NO. 264, JAKARTA
Tlp: 021-8300300

TRAINING OF TRAINER GANGGUAN REPRODUKSI DAN SECTIO CAESARIA

Foto bersama usai praktik sectio caesaria di Rembang dengan bimbingan dari Drh Heru Rachmadi. (Foto: Infovet/Heru)

Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, mengadakan Training of Trainer (TOT) bagi dokter hewan puskeswan seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Bogor, Rembang dan Semarang, dalam rangka pengembangan kompetensi petugas medik reproduksi dalam pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi dan sectio caesaria pada sapi.

Pelatihan bertujuan menyeragamkan kemampuan teknis dokter hewan di daerah sehingga dalam penanganan gangguan reproduksi dan sectio caesaria yang mumpuni dan merata.

Pelaksanaan TOT di Bogor (14-19 September 2021), Rembang (27 September-1 Oktober 2021) dan Semarang (18-22 Oktober 2021) yang diikuti 59 dokter hewan dari Jawa Barat, Banten, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Timur, Yogyakarta, Bengkulu, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Bali, Riau, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara. Kegiatan tahap berikutnya akan dilaksanakan pada November mendatang di Malang.

Adapun materi yang diajarkan di TOT merupakan hasil penyusunan modul yang telah dilaksanakan di Yogyakarta Juni 2021 lalu. Modul yang tersusun sebanyak 11 berisi teori lengkap dilanjutkan dengan praktik dipandu oleh narasumber dan instruktur berkompeten dan berpengalaman di bidang reproduksi, diantaranya Drh R. Kurnia Achjadi MS (FKH IPB), Drh Agung Budiyanto MP PhD dan Dr Drh Surya Agus Prihatno (FKH UGM), Dr Drh Langgeng Priyatno MSi (Universitas Brawijaya), Drh Considus Tophianong MSc (Universitas Nusa Cendana), Drh Deddy Fachrudin (Malang). Sementara untuk sectio caesaria menghadirkan Drh Fathul Bahri (KPSBU Lembang) dan Drh Heru Rachmadi (Lombok, NTB).

“Diharapkan setelah mengikuti kegiatan TOT ini para peserta dapat memanfaatkan, mempraktikkan dan membagikan ilmunya kepada dokter hewan lain guna membangun peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia menjadi lebih baik,” kata Heru. (Heru Rachmadi/Infovet NTB)

TALI MEDIS UNTUK MENANGKIS DISTOKIA PADA SAPI

Alat bernama Tali Medis yang dapat membantu penanganan Distokia pada sapi yang diciptakan oleh Drh Taufik Mukti. (Foto: Dok. Pribadi)

Pemerintah telah menggulirkan program Siwab (Sapi Indukan Wajib Bunting) untuk mendongkrak jumlah populasi sapi di Indonesia. Berbagai dukungan teknis dan non-teknis digelontorkan untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, penyakit dan gangguan reproduksi pada ternak sapi masih menjadi kendala serius. Apalagi peternakan di Indonesia masih didominasi sistem tradisional dengan tingkat pemahaman manajemen peternakan yang relatif rendah.


Distokia adalah salah satu gangguan reproduksi sapi yang sering terjadi di lapangan, yaitu suatu keadaan induk sapi yang sulit melahirkan akibat posisi anak sapi yang tidak normal, kondisi panggul sapi induk yang sempit, anak sapi yang terlalu besar, melahirkan anak kembar, kekurangan pakan dan faktor-faktor lainnya. Hal ini tentu dapat membawa resiko yang mengancam keselamatan anak dan induk sapi bahkan keduanya.

Penanganan Distokia di lapangan berbeda dengan gangguan reproduksi lainnya. Dibutuhkan keahlian khusus dan tenaga yang cukup besar. Tidak aneh jika dalam penanganan Distokia melibatkan banyak orang. Dalam penanganan Distokia secara tradisional, umumnya peternak mengandalkan peralatan yang tersedia di dalam kandang, seperti potongan handuk, kain, tali bahkan rantai. Mereka memanfaatkannya sebagai tali penarik anak sapi dengan mengikatkannya pada bagian tubuh pedet, selanjutnya ditarik beramai-ramai. Hal ini tentu saja semakin membahayakan anak dan induk sapi. Tak jarang, anak sapi yang di keluarkan dari rahim mati akibat penarikan paksa tanpa konsep.

Adapula peralatan penanganan Distokia yang menyerupai dongkrak, yaitu berupa tongkat berkatrol dengan tali rantai. Biasanya alat ini hanya tersedia di peternakan komersial berskala besar. Walaupun cukup efektif, namun alat ini sangat berat dan berukuran besar, sehingga tidak mungkin digunakan oleh tenaga kesehatan hewan yang harus berkeliling menggunakan sepeda motor. Disamping itu, umumnya kejadian Distokia banyak terjadi pada malam hari dengan kondisi geografis di lapangan yang sulit ditempuh, sehingga untuk penanganan Distokia dibutuhkan metode yang sederhana, alat yang praktis dan mudah dibawa, khususnya di wilayah pedesaan.

Kondisi ini menjadi pemikiran serius bagi Drh Taufik Mukti, seorang praktisi kesehatan hewan mandiri di Kabupaten Banyuwangi. Kasus Distokia yang relatif sering terjadi di daerah ini mendorong pemikirannya untuk mengembangkan metode baru yang sederhana, sekaligus merakit alat penanganan Distokia yang praktis dan efektif. Alat tersebut harus nyaman untuk pedet dan induknya, serta aman bagi tenaga kesehatan hewan sebagai operatornya, tanpa meninggalkan unsur profesionalitas. Jiwa seni Taufik yang kental mampu melahirkan inspirasi unik dan kreatif untuk mengembangkan metode penanganan Distokia yang diberi nama “Gadis” (Gelantungan Antisipasi Distokia), sedangkan alatnya diberi nama “Tali Medis” (Tali Metode Gadis).

Lebih lanjut, dokter hewan alumni Universitas Udayana ini menjelaskan bahwa ide perakitan Tali Medis diilhami dari cara kerja petugas listrik di lapangan yang bergelantungan diketinggian. Setidaknya terdapat dua poin pemikiran yang dapat diambil dari cara kerja tersebut, yaitu tali dan titik tumpu tali yang sanggup menahan beban dengan baik tanpa membahayakan sang operator. Cara kerja petugas listrik ini dianalogikan dengan cara penanganan kasus Distokia di lapangan, yaitu tersedianya tali penghubung antara anak sapi dirahim induk dengan petugas dan kekuatan gaya gravitasi untuk menarik anak sapi keluar dari rahim. Prinsipnya, menggunakan bobot badan petugas yang menggelantung dibelakang tubuh sapi, sehingga menghasilkan tenaga yang cukup besar untuk menarik anak sapi keluar dari rahimnya. Dengan demikian, penangan Distokia dapat dilakukan hanya oleh satu orang saja tanpa melibatkan bantuan orang banyak yang berpotensi membuat indukan sapi menjadi stres.

Sempat tergelitik sebuah pertanyaan kritis dari beberapa praktisi kesehatan hewan di lapangan, bagaimana jika tenaga induk sapi yang lebih besar dari tenaga petuga kesehatan hewan? Keadaan ini cukup berbahaya bagi petugas tersebut karena mereka dapat jatuh dan tertarik oleh induk sapi. Namun, Taufik telah memikirkan dan mengantisipasi hal itu. Tali Medis dirancang menggunakan bahan polyester yang sangat kuat, sehingga tidak mudah putus. Selanjutnya, Tali Medis ini dilengkapi dengan snap (pengait bongkar-pasang) yang mudah dipasang dan dilepaskan sehingga apabila terjadi kondisi yang kurang menguntungkan bagi petugas, sambungan antara tali pada anak sapi dirahim induk dan operator dapat segera dilepas. Tali dapat dipasang kembali apabila kondisi induk sapi sudah tenang, dengan demikian penanganan Distokia dapat dilanjutkan.

April Wardhana (kiri) dan Drh Taufik Mukti saat memperkenalkan Tali Medis.

Cara Kerja Tali Medis
Tali Medis terdiri dari dua kompenen utama, yaitu sepasang tali pendek dengan dua lingkaran pada ujung-ujungnya yang diikatkan ke janin sapi dan tali panjang dengan snap yang digunakan sebagai penarik. Apabila menjumpai kasus Distokia di lapangan, maka yang harus diketahui dulu adalah posisi anak sapi dalam rahim. Diusahakan agar kaki anak sapi dapat dijangkau melalui palpasi rektal dan kondisinya dekat dengan saluran pengeluran. Jika kondisi anak sapi sudah memungkinkan untuk di keluarkan, maka tali pendek di masukkan, satu lingkaran untuk kaki kanan dan satu lingkaran untuk kaki kiri (hanya satu tali pendek yang digunakan). Kemudian snap pada tali panjang dikaitkan pada tali yang pendek dan dilingkarkan ke tubuh operator. Sementara tangan operator memberi jalan keluar pada anak sapi, tubuh operator menarik anak sapi dengan memanfaatkan gaya gravitasi bobot badan (menggelantung). Anak sapi akan mudah di keluarkan dari rahim induk. Pada kondisi tertentu jika dibutuhkan tenaga yang lebih besar, maka Tali Medis dapat dihubungkan dengan tali tampar dan diikatkan pada tiang kandang. Selanjutnya, tali tampar dapat ditarik pelan-pelan. Konsep ini mirip dengan konsep alat katrol yang banyak diaplikasikan di peternakan komersial.

Menurut Taufik, Tali Medis telah banyak menyelamatkan ratusan kasus Distokia yang terjadi di tempat beliau praktek. Untuk mendesiminasikan keefektifan alat ini, Taufik menggunakan media sosial dengan mengunggah cara kerja Tali Medis melalui akun Facebook dan Youtube miliknya. Hal tersebut mendapat respon positif dari para praktisi kesehatan hewan di berbagai daerah. Alat tersebut juga mendapat apresiasi dari luar negeri, khususnya dari akun ViralHog (akun yang menyajikan video-video inovatif dan informatif). Video yang di-share Taufik melalui Facebook-nya ditayangkan eksklusif di Youtube ViralHog dengan kata kunci “Birthing a Calf”. Dari situ Taufik juga mendapat kompensasi finansial dan pengembangan jejaring internasional, sebagai peluang memperkenalkan Tali Medis lebih luas lagi.

Sejauh ini, Taufik telah banyak memproduksi Tali Medis dan dikirim ke beberapa daerah, diantaranya Papua, Maros, Bengkulu, Sumba, Tomohon, Gorontalo, Pulau Buru, Pulau Jawa dan tempat lainnya. ***

April Hari Wardhana, SKH, MSi, PhD
Penulis adalah, Senior Researcher of Parasitology
Department Indonesian Research Centre for Veterinary Science/Bblitvet

GANGGUAN REPRODUKSI MERECOKI PRODUKTIVITAS SAPI PERAH

Peternakan sapi perah. (Istimewa)

Akhir tahun 2018 kemarin, penulis berkesempatan kembali berkunjung ke salah satu peternak sapi perah binaan yang berada di Situ Udik, Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Setelah lebih dari dua tahun tidak ke sana, perjalanan menuju Kavling 43 menurut penulis banyak mengalami perubahan. Kavling-kavling yang semula penuh dengan sapi perah, kini terlihat lengang dan kosong. Lalu-lalang truk pengangkut rumput dan pengangkut susu ke koperasi juga terlihat kian sepi. Sebagian kandang dibiarkan kosong dan ditumbuhi rumput-rumput liar yang terlihat bersemak semak. Selain itu, kavling rumah anak kandang juga terlihat kosong. Terbesit pertanyaan di benak penulis, apa benar beternak sapi perah di sana sudah tidak menjanjikan lagi?

Melihat fenomena tersebut penulis berbincang dengan H. Burhan pemilik Kavling 43 yang kini masih bertahan dengan populasi 50 ekor sapi perah. Dari populasi tersebut 21 ekor laktasi fase medium dan late dengan days in milk lebih dari 150 hari, sebanyak tujuh ekor calon dara umur kurang dari 15 bulan serta populasi lainnya periode kering, pedet dan sapi jantan.

Burhan bercerita bahwa pada puncak laktasi sapinya dapat mencapai produksi 20 liter per hari. Beberapa sapi mengalami kendala reproduksi yaitu susah terjadi kebuntingan, sehingga produksi susu akan turun terus-menerus secara alami. Ia mengatakan, selain karena faktor pelayanan petugas reproduksi dari koperasi yang masih harus dioptimalkan, banyaknya fenomena pendarahan 1-2 hari setelah inseminasi buatan atau yang dikenal sebagai metestrus bleeding kerap ditemukan.

Produksi susu akan berada pada puncak laktasi pada days in milk 30-120 hari yaitu pada fase peak. Produksi dapat bertahan pada puncak 1-2 bulan kemudian dengan manajemen pemeliharaan dan nutrisi yang bagus. Secara umum pada fase medium atau late dengan days in milk lebih dari 150 hari akan terjadi penurunan secara alami. Sapi dengan perfoma reproduksi baik akan terjadi perkawinan dan kebuntingan pada days in milk 90 -120 hari, sehingga masa kering kandang akan dilakukan pada days in milk 300-330 hari (fase late).

Pada days in milk ini kering kandang dapat berjalan dengan baik dan produksi susu selama tujuh bulan proses kebuntingan juga masih menguntungkan. Sebaliknya, jika kebuntingan terjadi pada fase late (days in milk lebih dari 210 hari), maka pengeringan terjadi pada days in milk 420 hari. Jika hal ini terjadi maka peternak akan mengalami kerugian, karena pada fase late produksi susu sudah tidak mampu menutupi biaya produksi. Kondisi yang lebih parah lagi, jika hingga fase late induk tidak bunting produksi susu akan berhenti atau diberhentikan dalam kondisi tidak bunting (dry off).

Kesempatan berikutnya penulis melakukan observasi ke kandang sapi perah milik Burhan. Desain kandang yang digunakan sangat minim cahaya matahari yang menyebabkan deteksi birahi dengan melihat faktor eksternal tanda birahi menjadi sulit (abang, abuh, anget, dinaiki, menaiki dan keluranya lendir bening). Masalah lainya yang ditimbulkan karena minimnya cahaya matahari adalah kurangnya asupan...

Drh Joko Susilo, M.Sc.
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Februari 2019.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer