Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Bungkil Inti Sawit | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MEMBERI NILAI TAMBAH PADA PALM KERNEL MEAL SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN TERNAK

PKM, jika di handling dengan benar dapat menjadi substituen bungkil kedelai dan jagung

Pandemi Covid-19 nyatanya juga berpengaruh terhadap kenaikan harga bahan baku pakan ternak. Terhambatnya suplai dan menumpuknya cargo akibat pandemi menyebabkan kenaikan harga bahan baku pakan impor semisal bungkil kedelai dan jagung. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh Makmun dalam sebuah acara launching bahan baku pakan berbasis bungkil inti sawit (Palm Kernel Meal / PKM) di Bogor, Senin (26/4) yang lalu.

"Peternak butuh solusi alternatif bahan baku pakan terutama sumber energi dan protein yang harganya terjangkau dan kontinuitasnya panjang. Nah Indonesia sebagai penghasil sawit nomor wahid di dunia seharusnya lebih bisa memanfaatkan PKM untuk kepentingan ini," tutur Makmun.

Mengamini pernyataan Makmun, perwakilan GPMT Sri Subekti juga memaparkan beberapa kendala mengapa hingga saat ini PKM belum menjadi primadona dalam komponen penyusunan ransum ternak, terutama unggas di Indonesia.

"Permasalahan utamanya itu pada cangkangnya, banyak rumor beredar bahwa kandungan cangkang PKM ini menyebabkan luka pada usus ayam. Selain itu kecernaan dari PKM juga masih diperdebatkan karena kandungan serat kasarnya yang tinggi. Yang tidak kalah penting adalah perubahan warna pada pakan yang menjadi kehitaman apabila menggunakan PKM, ini juga menyangkut selera dari orang Indonesia," tutur Sri.

Memanfaatkan Teknologi

Nyatanya memang butuh perlakuan khusus agar PKM benar - benar dapat digunakan dan memberi manfaat pada suatu ransum pakan ternak untuk unggas. Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University Prof. Nahrowi menyatakan bahwa proses hidrolisis pada PKM merupakan sebuah solusi untuk meningkatkan nilai tambah pada PKM.

Dengan label Palmofeed, Nahrowi menjabarkan beberapa keunggulan produk yang diluncurkan pada hari itu. Beberapa keunggulan Palmofeed dibanding PKM biasa adalah : 1. Kandungan cangkang lebih rendah, 2. Warna lebih cerah, 3. protein dan energi lebih tinggi, dan 4. serat kasar lebih rendah.

"Dengan menambahkan proses hidrolisis, kami memberi nilai tambah pada PKM ini. Trial pun sudah dilakukan di ayam petelur komersil, dan hasilnya pun tidak mengecewakan. Meskipun begitu kami baru akan mengnajurkan pemakaian PKM ini pada fase grower dan finisher saja. Dari segi cost pun ini masih affordable dan menguntungkan," papar Nahrowi.

Nahrowi menghimbau kepada para peternak, feedmill, dan nutrisionis agar mau dan berani menggunakan PKM sebagai bahan baku pakan. Karena menurutnya ini adalah sebuah keniscayaan bahwa ketika suatu bahan baku pakan sulit didapatkan atau harganya melangit, maka bahan baku alternatif merupakan suatu solusi.

"Saya mengajak kepada saudara - saudara sekalian, ayo kita pakai PKM, enggak harus palmofeed enggak apa - apa. Yang penting kita manfaatkan ini, hasil bumi kita sendiri, supaya kita enggak tergantung lagi dari bahan baku pakan impor," tutup Nahrowi. (CR) 



HITPI GELAR WEBINAR PENINGKATAN KAPASITAS HIJAUAN PAKAN

Webinar HITPI ke-10. (Foto: Dok. Infovet)

Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI) kembali menyelenggarakan webinar nasional ke-10, pada Senin (27/7/2020), mengangkat isu terkini mengenai peningkatan kapasitas hijauan pakan untuk menjaga keberlanjutan bisnis peternakan selama masa pandemi COVID-19 dan era new normal.

Panitia Pelaksana, Dr Suharlina dalam sambutannya menyampaikan bahwa pelaksanaan webinar bertujuan mewadahi para ilmuwan tumbuhan pakan untuk memaparkan hasil-hasil kajiannya, agar dapat diadopsi peternak dalam membantu meningkatkan produktivitas ternak.

“Diseminasi hasil penelitian sangat diperlukan, HITPI telah memfasilitasi anggotanya hingga ditahun ke-10 ini,” kata Dr Suharlina. Di webinar HITPI kali ini menghadirkan Drh Makmun Junaidi (Direktur Pakan), Dr Shokri Jusoh (Universiti Putra Malaysia), Dr Ir Nafiatul Umami (dosen Universitas Gadjah Mada) dan Achmad Wahyudin (Ketua Kelompok Ternak Hurip Mekar).

Ketua HITPI, Prof Dr Ir Luki Abdullah, menyambut baik antusias peserta. “Sepuluh tahun HITPI mengabdi untuk para peternak, para anggota HITPI terus berkarya hingga menemukan hal-hal baru. Tumbuhan pakan tumbuh subur di beberapa wilayah Indonesia, varietas baru ditemukan dan didiseminasikan langsung ke peternak untuk ditanam dan dibudidayakan guna mencukupi kebutuhan ternak,” kata Luki yang juga Guru Besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan IPB.

Prof Luki menambahkan bahwa saat ini masih banyak hal yang perlu mendapat perhatian, mulai dari keterbatasan lahan, bibit unggul dan lain sebagainya. Namun demikian, ia tidak menampik bahwa sukses para Ilmuwan Indonesia di bidang tumbuhan pakan patut diacungi jempol.

“Kita telah banyak membukukan temuan-temuan mutakhir, misalnya Indigofera yang masih trending sebagai konsentrat hijau dan Hijauan Pakan Ternak (HPT) lainnya dari berbagai daerah dengan berbagai varietas unggul yang dilaporkan para anggota HITPI,” ungkapnya.

Sementara terkait pengembangan HPT akan segera diprogramkan menjadi tugas utama Direktur Pakan, Makmun Junaidin. “Kita paham hampir 75% agro input tersebut didominasi pakan ternak termasuk HPT itu sendiri, sehingga jika pemerintah menginginkan negeri ini mampu mengurangi importasi daging dan sapi hidup, maka upaya yang perlu dibenahi adalah penyediaan pakan ternak,” kata Makmun kepada awak Infovet.

Di samping HPT lanjut dia, bahwa sumber bahan pakan ternak lainnya dapat diambil dari produk samping kelapa sawit. “Seperti Bungkil Inti Sawit dan turunannya sangat potensial dijadikan sumber bahan pakan ternak, tinggi protein dan disukai ternak,” tambahnya.

Namun akses untuk mendapatkan bahan pakan tersebut masih menjadi persoalan. Makmun pun mengimbau pemerintah daerah bisa memfasilitasi hal tersebut.

“Hal menarik di kawasan perkebunan kelapa sawit Bangka Belitung, para pemilik kelapa sawit yang membudidayakan ternak, mereka mengantarkan sawitnya ke pabrik, lalu saat pulang mereka akan membawa produk samping kelapa sawit untuk ternak menggunakan sistem penggilingan padi dan model ini dapat dikembangkan ke seluruh daerah yang mempunyai pabrik kelapa sawit” imbuh Makmun. 

Di samping penyediaan pakan dan HPT, teknologi preservasi HPT juga perlu ditingkatkan. Preservasi HPT yang diadopsi oleh sebagian peternak adalah pembuatan silase. Walau silase telah diperkenalkan sejak lama, namun teknologi preservasi ini masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan peternak saja, belum mengarah komersil. Hal tersebut disampaikan Achmad Wahyudin.

“Pembuatan silase dapat membantu peternak dalam penyediaan pakan pada masa sulit mendapatkan HPT. Kita pun telah mengomersialisasikan silase pada peternak di wilayah kami maupun daerah lain,” katanya. (Sadarman)

Potensi Besar Bungkil Inti Sawit untuk Pakan Unggas

Bungkil inti sawit.
Bungkil Inti Sawit (BIS) merupakan hasil ikutan dari industri pengolahan kelapa sawit, dengan ketersediaannya di Indonesia sangat tinggi. Penelitian penggunaan BIS sebagai salah satu bahan pakan potensial telah banyak dilakukan. Salah satu factor pembatas penggunaan BIS adalah kandungan seratnya yang tinggi, dengan komponen dominannya adalah berupa mannosa yang mencapai 56,4% dari total dinding sel BIS. Kandungan mannan yang tinggi disatu sisi merupakan faktor pembatas nutrisi, namun di sisi lain memiliki potensi sebagai bahan imbuhan pakan seperti prebiotik yang akan meningkatkan kesehatan ternak.

Hingga saat ini, BIS hanya dipakai sebagai salah satu sumber pakan, padahal melihat potensi tersebut dapat ditingkatkan nilai tambahnya menjadi bahan baku pembuatan imbuhan pakan. Peneliti Asosiasi Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia, Dr Ma’ruf Tafsin, dalam sebuah seminar tentang Palm Kernell Meal di Industri Pakan di Jakarta, Juli 2018 lalu, memaparkan, kandungan β-mannan yang tinggi pada BIS yang tergolong polisakarida bukan pati atau Non Starch Polysaccharides (NSP) menjadi salah satu pembatas penggunaan BIS, terutama pada ternak monogastrik. Padahal, dari berbagai hasil penelitian para ahli nutrisi dan pakan, mannan sangat potensial untuk menjadi pengganti Antibiotic Growth Promoter (AGP) pada unggas.

Sejak 1 Januari 2018, Indonesia telah secara resmi melarang penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan ternak. Kebijakan tersebut sebenarnya sudah diwacanakan sejak tahun 2015, namun baru dapat diterapkan secara penuh pada 2018. Keputusan tersebut tertulis pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) No. 14071/PI.500/F/07/2015 tentang Pelarangan Penggunaan Antibiotik dan Antibakteri dalam Imbuhan Pakan. Kebijakan ini muncul sebagai dukungannya terhadap penyediaan pangan yang aman dan sehat. Adanya residu dari penggunaan antibiotik dikhawatirkan akan memunculkan resistensi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Kebijakan ini bukan hanya di Indonesia saja, di belahan dunia lain seperti Amerika dan Eropa, aturan pelarangan penggunaan AGP sudah diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan pangan yang aman itulah yang mendorong pemerintah setempat memberlakukan kebijakan ini. Pemerintah Indonesia dalam hal ini melalui Ditjen PKH, Kementerian Pertanian, akhirnya dengan tegas memutuskan Januari 2018 penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan resmi dilarang.

Adanya kebijakan tersebut, sebelumnya telah dilakukan sosialisasi dan persiapan sejak 2015-2017, nyatanya masih memberikan pekerjaan rumah terutama bagi para ahli nutrisi dan pakan dari berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan pakan, maupun obat ternak dalam usahanya mencari alternatif pengganti AGP. Berbagai solusi produk seperti probiotik, prebiotik, sinbiotik, herbal dan enzim sudah mulai diproduksi sejak tahun-tahun lalu sebagai pengganti AGP. Harapannya, bahan-bahan tersebut dapat berperan menjadi pengganti AGP sebagai pengontrol keseimbangan pertumbuhan bakteri prolifik dan yang patogen di dalam usus.

Upaya alternatif pengganti AGP yang telah diteliti oleh para ahli nutrisi diantaranya Mannanoligosakarida (MOS) yang banyak dikembangkan dari dinding sel mikroba seperti ragi Saccharomyces cerevisiae sebagai bahan bakunya. Produksi melelalui ragi tersebut dipakai karena kandungan gula mannosa-nya yang tinggi mencapai 45% dari keseluruhan dinding selnya. Masalahnya adalah, hal itu menyebabkan harga produknya sangat mahal, dan masih diimpor. Oleh karenanya, BIS sangat berpotensi untuk menghasilkan ekstrak yang mengandung mannan mengingat kandungannya yang tinggi dan mempunyai potensi yang besar sebagai alternatif AGP dengan harga yang kompetitif, tidak semahal MOS.

Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan diketahui pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam menempelnya patogen, dengan demikian mannosa dapat menghambat proses penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan. Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan dan efek ini juga berperan dalam melawan bakteri Salmonella.

Tafsin mengungkapkan, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa BIS mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber mannan karena kandungan gula mannosa yang dimilikinya. Uji resistensi terhadap Salmonella dan E.Colli  menunjukkan bahwa penggunaan Polisakarida Mannan (PM) dari BIS tidak mempunyai aktivitas yang bersifat membunuh (bakterisid). Pengamatan terhadap uji aglutinasi yang dilanjutkan dengan pengamatan secara mikroskopik menunjukkan adanya penggumpalan pada penggunaan PM dari BIS. Hasil tersebut menunjukkan adanya penempelan antara reseptor bakteri dengan komponen mannosa dari PM yang diekstrak oleh BIS.

Tanaman kelapa sawit.
Penggunaan mannan dari BIS dalam ransum juga terbukti mampu menurunkan kolonisasi bakteri Salmonella pada sekum. Hasil penelitian tahap pertama yang dilakukan Tafsin membuktikan, penggunaan 4.000 ppm menunjukkan tingkat infeksi pada hari kelima setelah infeksi dan juga pengamatan keseluruhan sampai 15 hari setelah infeksi. Pengamatan pada hari ke-15 setelah infeksi menunjukkan penggunaan 2.000-4.000 ppm sudah tidak ditemukan adanya Salmonella. Hal itu menunjukkan bahwa kecepatan pengeluaran (exclution) Salmonella lebih tinggi akibat penggunaan mannan dari BIS.

Komersialisasi Turunan BIS
Komersialisasi produk turunan BIS sebagai alternatif antibiotik masih belum berkembang sekarang ini. Sangat diperlukan upaya penelitian secara berkesinambungan, terkait dengan teknologi proses untuk mendapatkan bahan aktif berupa komponen mannan oligosakarida yang dimiliki BIS. Beberapa upaya yang dilakukan antara lain, melalui penggunaan secara kimia (NaOH, Asam Asetat) maupun secara enzimatis. Jumlah komponen mannosa yang terekstrak perlakuan tersebut sejauh ini baru mencapai sekitar 30%.

Dari uraian di atas, ternyata BIS mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi produk turunan yang dapat dikembangkan sebagai alternatif AGP, immunostimulan dan juga sebagai prebiotik untuk ternak. Perbaikan teknologi proses untuk mendapatkan komponen mannosa yang lebih tinggi masih sangat diperlukan agar produk tersebut dapat dikembangkan secara komersial dalam skala besar demi kemandirian bahan pakan domestik. ***

Andang S. Indartono,
Pengurus Asosiasi Ahli Nutrisi
dan Pakan Indonesia (AINI)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer