Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

UZBEKISTAN MENINGKATKAN PRODUKSI TELUR TETAS

Perusahaan unggas Uzbek Navobod Naslli Parranda telah menjalankan kembali peternakan Tashkent untuk memenuhi permintaan telur tetas yang terus meningkat. Tashkent selama ini sudah memasok 20% telur tetas di Uzbekistan.

Tashkent dibangun sebagai peternakan unggas pada tahun 1967 dan selama beberapa tahun ini tidak beroperasi. Pada 2019 Navobod membeli peternakan di lahan seluas 50 ha itu. Navobod Naslli Parranda telah membangun kembali 45 rumah produksi, memasang peralatan impor paling modern, termasuk unit distribusi pakan dari VDL, kompleks penyortiran telur Sanovo, keduanya dari Belanda. Juga telah mengimpor Ross-308 dari Hongaria.

Pada kuartal I 2021 akan dibangun lima rumah produksi lagi. Jumlah induk akan bertambah menjadi 300.000 ekor, sehingga mampu menghasilkan 40 juta telur tetas per tahun. Navobod Naslli Parranda juga mulai mengekspor telur tetas ke beberapa bekas republik Soviet, termasuk Tajikistan, Kazakhstan, dan Kyrgyzstan. Baru-baru ini juga mulai menjual telur tetas ke Afghanistan.

Dengan proyek ini Uzbekistan tidak terlalu bergantung pada impor telur tetas yang sebelumnya hampir seluruhnya berasal dari Turki. Pada tahun 2019, pemerintah Uzbekistan memulai program baru untuk pengembangan industri, di mana pihak berwenang menghapuskan bea impor pada layer, telur tetas, semua peralatan untuk peternakan unggas, pakan dan aditif pakan pada 1 November 2021. Dana yang dikelola pemerintah untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Uzbekistan juga mengalokasikan $50 juta untuk mendukung peternakan unggas di Uzbekistan melalui pinjaman lunak. (Via poultryworld.net)

MENGAWALI 2021 PB PDHI SEGERA TEMPATI RUMAH BARU

Sabtu, 14 November 2020, Drh Munawaroh, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), dalam sambutan acara webinar bertajuk "Gumboro, ND dan AI pada Layer di Peternakan Unggas Komersial Mandiri", menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT dan kegembiraanya karena sejak ia memangku amanah menahkodai PDHI telah didukung oleh para pengurus yang luar biasa untuk ikhlas mengabdi pada negeri di bidang profesi mulia kedokteran hewan dengan terlibat aktif di PDHI.

Pak Mun-sapaan akrabnya, juga menyampaikan akan selalu lebih menjalin komunikasi intens dengan anggota, baik para junior maupun senior-senior sejawatnya. "Saat ini PB PDHI telah menerbitkan 10.100 Kartu Anggota yang berlaku untuk seumur hidup bagi anggotanya" kata dia.

Dalam keterangan yang dirilis oleh laman: http://portal.pdhi.or.id, Munawarah menyampikan bahwa sejak berdiri PDHI 9 Januari 1953, PDHI belum memiliki tempat permanen sebagai kantor tetap PBPDHI. Namun, sejak kepengurusan baru 2018-2022 telah dicanangkan untuk mengumpulkan dana iuran bagi seluruh dokter hewan untuk memberikan sumbangan pembelian rumah PDHI untuk setiap dokter hewan wajib memberikan dana sebesar Rp 100.000 setiap tahun selama empat tahun, serta (ada sebagaian-red) sumbangan dari anggota PIDHI MVI.

"Terkumpul Rp 1,5 miliar dan Rp 500 juta dari para donatur, untuk kemudian dapat membeli kantor mandiri. Jadi inilah Rumah Baru PB PDHI," tambahnya.

Dan gedung baru di Jl. Joe No. 8A, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan itupun telah bernama "Grha Dokter Hewan" yang selain PB PDHI, Perhimpunan Istri Dokter Hewan Indonesia (PIDHI) serta PT VIS (Veteriner Indonesia Sejahtera) dan VETNESIA (Media Komunikasi Dokter Hewan Indonesia) bermarkas.

Webinar PDHI yang kesekian kalinya itu diikuti 84 peserta yang menghadirkan dua narasumber ahli, yakni Drh Budi Tri Akoso MSc PhD dan Drh Baskoro Tri Caroko. (DS)

MANTIQUEIRA MENARGETKAN 2,5 JUTA LAYER CAGE FREE HINGGA 2025

Mantiqueira, produsen telur terbesar di Amerika Selatan, mengumumkan akan membangun 2 peternakan baru dengan total 2,5 juta layer cage free sebelum tahun 2025. 1 juta layer cage free ditargetkan dicapai pada akhir tahun 2021.

Mantiqueira yang memelihara 11,5 juta layer per tahunnya ini merupakan perintis cage free skala besar di Brasil. Perusahaan ini merupakan produsen telur terbesar ke-12 di dunia dan merencanakan investasi sebesar US $ 18,6 juta dalam 2 peternakan cage free. Satu di Cabralia Paulista dan yang lainnya di Lorena, keduanya di negara bagian Sao Paulo.

Mantiqueira mengikuti proses ketat yang berfokus pada animal welfare dan peternakan 4.0. Disediakan area pengunjung di unit Lorena bagi publik untuk memantau rutinitas produksi. Dalam sistem ini, ayam dijauhkan dari stres dan lebih nyaman. Kandang diganti dengan bangunan besar yang memberikan perlindungan dari hujan dan matahari.

Ayam terlindungi dengan baik dan berada dalam ruang ber-AC untuk mengontrol suhu. Kandang besar juga melindungi ayam dari kontak dengan hewan lain yang dapat menularkan penyakit dan menyebabkan cedera fisik.

Pencahayaan juga diatur. Ayam membutuhkan setidaknya 6 jam kegelapan terus menerus untuk tidur dan 8 jam cahaya untuk makan. Selain itu, ayam dapat bergerak dengan bebas, dapat mempertahankan perilaku alaminya seperti membuka sayap, menggaruk tanah, melompat, bahkan terbang jarak pendek. (Via poultryworld.net)

PDHI GELAR DISKUSI VIRTUAL BAHAS TELEMEDICINE


Telemedicine : harus diperhatikan ketentuannya

Merebaknya wabah Covid-19 tentunya membawa dampak pada seluruh sektor barang dan jasa, tanpa terkecuali jasa pelayanan kesehatan hewan. Berdasarkan survey PDHI, terjadi penurunan kunjungan pasien ke dokter hewan sampai 40%. PDHI juga menyebut bahwa selama pandemi banyak klien yang bertanya bahkan melakukan konsultasi secara daring atau online melalui media sosial.

Menanggapi hal tersebut, PDHI mengadakan diskusi virtual melalui daring zoom yang khusus membahas telemedicine/telehealth. Acara tersebut berlangsung pada Sabtu (14/11). Diskusi dimulai dengan penjabaran terkait definisi telemedicine dan telehealth oleh Ketua III PDHI Drh Bonifasius Suli Teruli. Dirinya banyak menjabarkan mengenai telehealth dan telemedicine berdasarkan beberapa referensi baik nasional maupun internasional.

"Sebenarnya secara tidak disadari kita (dokter hewan) sering melakukannya antar kolega dokter hewan,. Contohnya dokter hewan di perunggasan, kadangkala ketika sedang away, ada kasus dan masih rancu. Biasanya akan saling berkirim gambar untuk sharing penanganan kasus, itu juga termasuk telemedicine," tutur Suli.

Namun begitu Suli mengatakan bahwa belum ada regulasi atau kode etik yang mengatur hal ini di Indonesia. Ia mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan suatu isu baru di dunia kedokteran hewan yang tak terhindarkan dan juga harus segera diurus kode etik dan regulasi resminya.

Ketua Umum PDHI Drh Muhammad Munawaroh yang juga hadir dalam diskusi tersebut setuju dan juga menilai bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dan merupakan sebuah keniscayaan.

"Kita juga tidak bisa melawan derasnya arus teknologi, coba lihat itu ojek konvensional, akhirnya kalah juga kan dengan aplikasi digital?. Nah, dokter hewan ini juga mau tidak mau harus mengikuti teknologi dan harus melek teknologi," tuturnya.

Dalam diskusi, Munawaroh juga menerangkan bahwa kini aplikasi konsultasi milik dokter manusia, (halodoc), sudah memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter hewan di dalam aplikasinya. 

"Sebenarnya kami senang bahwa dokter hewan kini sudah dihargai dan benar - benar dianggap, namun begitu dengan adanya konsultasi kesehatan hewan melalui aplikasi ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru," tutur Munawaroh.

Oleh karena itu Munawaroh menghimbau kepada seluruh anggota PDHI, agar dalam melayani konsultasi kesehatan hewan via daring (telemedicine) hendaknya memperhatikan hal - hal tertentu. Misalnya saja, bahwa dokter hewan harus bisa membedakan antara telemedicine dan teleadvice.

Pada telemedicine, dokter hewan diperbolehkan mendiagnosis dan memberikan resep kepada pasien secara daring. Namun begitu, dokter hewan harus benar - benar pernah menangani secara langsung pasiennya, baru setelah itu boleh melakukan telemedicine.

Sedangkan dalam teleadvice, dokter hewan hanya boleh memberikan konsultasi yang sifatnya non-medis tetapi memberikan dampak baik bagi kesehatan pasiennya. Teleadvice juga melarang dokter hewan untuk memberikan resep dan mendiagnosis penyakit. Jikalau memang sudah dirasa darurat, dokter hewan hendaknya memberikan saran kepada klien untuk membawa hewannya ke dokter hewan terdekat. 

Selain membahas telemedicine, diskusi berlangsung sangat interaktif membahas berbagai masalah yang terjadi di dunia kedokteran hewan. Misalnya saja peredaran obat hewan ilegal, izin praktik, keorganisasian, dan lain sebagainya. 

Sebagai closing statement Munawaroh berpesan kepada seluruh dokter hewan Indonesia agar betul - betul memahami apa itu telemedicine, ia juga berpesan agar dokter hewan senantiasa melek teknologi. Tak kalah pentingnya Munawaroh juga kembali menegaskan bahwa PDHI akan selalu berada dalam koridor yang menaati peraturan. (CR)

ASOHI JAWA TIMUR DAN ASOHI PUSAT SELENGGARAKAN PELATIHAN PJTOH DI MASA PANDEMI COVID-19

Pelatihan PJTOH angkatan XX diikuti 75 peserta

Bertempat di Hotel Novotel Samator Surabaya, Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Cabang Jawa Timur menyelenggarakan pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH) XX. Acara yang diselenggarakan dengan dukungan penuh dari ASOHI Pusat ini diselenggarakan pada Rabu dan Kamis (11-12/11/2020), yang diikuti oleh 75 orang peserta, 50 orang peserta di Hotel Novotel Samator Surabaya, dan 25 orang mengikuti acara ini secara online. 

Drh Suyud, Ketua ASOHI Cabang Jawa Timur menyambut baik pelaksanaan pelatihan PJTOH di wilayah kerjanya. “Seharusnya kegiatan ini dilakukan pada 15-16 April 2020 lalu, namun dengan adanya pandemi COVID-19 ini, pelatihan PJTOH XX baru bisa digelar 11-12 November 2020,” tuturnya. 

Dikatakan Suyud, pelatihan PJTOH merupakan sesuatu yang wajib diikuti oleh para dokter hewan terutama bagi mereka yang bekerja di perusahaan obat hewan, pabrik pakan, pet shop, poultry shop dan mereka yang menjadi medis veteriner di farm broiler dan layer. 

Ketua Panitia Pelaksana Drh Forlin Tinora dalam sambutannya menyebutkan bahwa pelatihan PJTOH bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan bagi Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan. “Acara ini kita laksanakan dengan adanya kerjasama antara ASOHI dengan Direktorat Kesehatan Hewan, dilaksanakan secara berkesinambungan, bersertifikat dan telah mencapai Angkatan XX,” kata drh Forlin. Dikatakan drh Forlin, pelaksanaan pelatihan PJTOH XX ini merupakan kegiatan yang istimewah karena masih berada dalam kondisi pandemi COVID-19. “Pandemi COVID-19 ternyata tidak membendung keinginan para peserta untuk mengikuti acara ini, terbukti di Angkatan XX ini Panitia Pelaksana masih bisa mengumpulkan sebanyak 75 orang peserta, terbagi dalam 2 kelompok pembelajaran, langsung dari Hotel Novotel Samator Surabaya dan 25 orang peserta mengikutinya secara online,” tutur drh Forlin.

Ketua Umum ASOHI Drh Irawati Fari dalam sambutan via media virtual menyambut baik atas terlaksananya pelatihan PJTOH XX. “Terima kasih ASOHI Cabang Jawa Timur atas inisiasinya hingga dilaksanakannya kegiatan ini. Kita tidak bisa diam dengan kondisi yang serba tidak menentu ini, harus bergerak agar kita tidak terlena dengan tugas yang seharusnya segera kita laksanakan,” kata Ira, sapaan akrabnya. 

Menurut Ketua Umum ASOHI ini, dokter hewan merupakan garda terdepan terkait dengan obat hewan dan penggunaannya di lapangan. “Tugas dan Tanggung Jawab Dokter Hewan dan atau Apoteker sebagai Penanggung Jawab Teknis pada Perusahaan Obat Hewan dan pakan  diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 01/Kpts/SM.610/F/01/05 tahun 2005, artinya PJTOH harus dapat memberikan informasi tentang peraturan perundangan di bidang obat hewan kepada pimpinan perusahaan; dapat memberikan saran dan pertimbangan teknis mengenai jenis sediaan obat hewan yang akan diproduksi/diimpor, yang berhubungan dengan farmakodinamik, farmakokinetik, farmakoterapi dan toksikologi serta imunologi obat hewan; dan harus dapat menolak produksi, penyediaan dan peredaran dan repacking obat hewan illegal serta menolak peredaran atau repacking obat hewan yang belum mendapatkan nomor pendaftaran,” paparnya. 

Di samping itu, Ira menambahkan, khusus penanggung jawab teknis obat hewan di pabrik pakan, tugas penting yang harus diingat adalah 1) Menolak penggunaan bahan .baku atau obat hewan jadi yang dilarang dicampur dalam pakan ternak, 2) Menyetujui penggunaan bahan baku atau obat hewan jadi yang dicampur dalam pakan ternak yang memenuhi syarat mutu atau 3) Menolaknya apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang obat hewan.

Acara yang digawangi oleh GITA Organizer ini dihadiri oleh Dr drh Fadjar Sumping Tjatur Rassa, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Fadjar yang tampil sebagai narasumber, memaparkan materi secara online tentang Sistem Kesehatan Hewan Nasional (Siskeswanas). Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 disebutkan bahwa Siskeswanas merupakan tatanan kesehatan hewan yang ditetapkan oleh pemerintah dan diselenggarakan oleh otoritas veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara kesehatan hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. 

Menurut Fadjar, Siskeswanas sangat diperoleh terutama dalam kaitannya dengan perdagangan bebas, yang memberikan kebebasan atas masuknya produk-produk ternak (daging, susu dan telur) yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) sesuai dengan permintaan konsumen. “Konsumen kita membutuhkan produk yang berkualitas dengan harga terjangkau, kita bisa penuhi itu dengan adanya Siskeswanas ini,” kata Fadjar. Dikatakan Fadjar bahwa Siskeswannas dapat berperan dominan dalam proses pencegahan, pengendalian, maupun pemberantasan penyakit ternak. 

”Kita memerlukan Siskeswannas yang tangguh dalam mengamankan peternakan kita dari ancaman penyakit ternak, sehingga produk yang dihasilkan berkualitas dan ASUH saat dikonsumsi oleh konsumen kita,” jelasnya.

Pada pelantihan angkatan ke-20 ini, Forlin Tinora menghadirkan Direktorat Kesehatan Hewan beserta Subdit Pengawasan Obat Hewan (POH), Direktorat Pakan, Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH), Komisi Obat Hewan (KOH), Tim Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB), Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Pusat Karantina Hewan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Ketua Umum ASOHI, beserta Dewan Pakar dan Dewan Kode Etik ASOHI, dan Dinas Peternakan Jawa Timur, tuan rumah yang menyelenggarakan PJTOH XX ini. Terkait dengan materi yang disuguhkan untuk peserta, drh Forlin menyebut setidaknya ada beberapa materi, baik yang bersifat umum maupun khusus sesuai dengan ranah PJTOH itu sendiri. Diantara materi pelatihan yang disajikan adalah 1) Perundang-Undangan, 2) Kajian teknis (biologik, farmasetik feed additive, feed supplement, obat alami) dan 3) Pemahaman organisasi dan etika profesi. (Sadarman)

IKUTI WEBINAR DAMPAK PANDEMI COVID-19 PADA BISNIS PETERNAKAN

Sejak tahun 2014, ASOHI konsisten menyelenggarakan Seminar Nasional Outlook Bisnis Peternakan (Sebelumnya sejak 2005 setiap tahun seminar membahas bisnis perunggasan saja). Seminar ini diharapkan menjadi referensi penting bagi kalangan pelaku usaha peternakan dalam menyusun rencana dan melakukan evaluasi bisnis. Selain itu pemerintah juga menerima berbagai masukan dari seminar ini sebagai salah satu referensi kebijakan di bidang peternakan.

Webinar Outlook Bisnis Peternakan “Dampak Pandemi COVID-19 pada Bisnis Peternakan” akan dilaksanakan pada:

  • Hari/Tanggal: Selasa, 24 November 2020
  • Pukul: 08.30 – 12.30 WIB (Zoom Online)

Webinar tahun ini akan menghadirkan narasumber para pimpinan asosiasi bidang peternakan dan pembicara tamu pakar ekonomi Dr Faisal Basri. Hadirnya beliau yang ahli ekonomi dan berpengalaman di politik praktis, diharapkan memberikan informasi penting bagi para peserta. Selain itu juga hadir Prof Wiku Adisasmito yang juga juru bicara Gugus Tugas COVID-19 diharapkan memberikan paparan mengenai perkembangan penanganan COVID-19 di Indonesia tahun ini dan prediksi tahun mendatang.

Kami mengundang Bapak/Ibu pimpinan perusahaan/perwakilannya, customer maupun kolega bisnisnya untuk ikut serta dalam webinar tersebut. 

Link pendaftaran  klik http://bit.ly/FORMPESERA-OUTLOOK  

Informasi selengkapnya hubungi panitia: Aidah (0818 0659 7525), Mariyam (08777 829 6375), Ayunil (081212272678)

WEB TALK SERIES STUDI META-ANALISIS ILMU NUTRISI TERNAK

Web Talk Series mengenai studi meta-analisis dalam ilmu nutrisi ternak. (Foto: Infovet/Sadarman)

Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) UIN Suska Riau bekerjasama dengan AFENUE Research Group Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan IPB sukses menyelenggarakan Web Talk Series dengan tema "Pengenalan Studi Meta-Analisis dalam Ilmu Nutrisi Ternak". Kegiatan ini dilaksanakan pada 24 Oktober dan 7 November 2020.

Dimoderatori oleh pewarta Infovet, Dr Sadarman, acara menghadirkan dua orang narasumber masing-masing dalam dua seri, diantaranya Yulianri Rizki Yanza (PhD Student of Animal Nutrition and Feed Management, Faculty of Veterinary Medicine and Animal Science, Poznan University of Life Sciences), Muhammad Miftahkhus Sholikin (PhD Student of Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, IPB), Rakhmad Perkasa Harahap (PhD Student of Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, IPB & Lecturer, Prodi Peternakan Universitas Tanjungpura Pontianak) dan Agung Irawan (Lecturer, Vocational School, Universitas Sebelas Maret, Surakarta).

Dekan FPP UIN Suska Riau, Dr Edi Erwan, menyambut kegiatan tersebut. “Ini merupakan capaian yang luar biasa, dari dua seri pelaksanaan, antusias peserta untuk memahami dan mempelajari meta-analisis patut diapresiasi, sehingga ke depan tidak hanya bincang-bincangnya saja, harus ada action dari para peserta hingga dihasilkannya artikel-artikel dari kajian meta-analisis ini,” kata Erwan.

Hal senada juga disampaikan pakar meta-analisis Indonesia, Dr Anuraga Jayanegara, yang juga menjabat sebagai Ketua AFENUE Research Group. Ia menyebut dengan meta-analisis, dosen, peneliti dan mahasiswa dapat menghasilkan artikel yang layak terbit di jurnal bereputasi tinggi. “Saya telah menggunakan kajian meta-analisis selama puluhan tahun dan hampir semua artikel saya diterima karena disukai para publisher,” kata Anuraga.

Ia mengemukakan sebagai studi dengan cara menganalisis data yang bersumber dari data primer, lalu dipakai sebagai dasar untuk menerima hipotesis, atau menolak hipotesis yang diajukan beberapa peneliti. Selanjutnya, kajian meta-analisis merupakan kajian yang terstruktur, dimulai dari pencarian sumber data dari beragam jurnal sesuai dengan topik yang diinginkan, lalu mengoleksi data, selanjutnya dianalisis bisa dengan menggunakan SAS, R-Statistika, Phyton dan lainnya. Terakhir hasil olahan data tersebut diinterpretasi hingga didapatkan artikel yang layak terbit.

“Sebetulnya sama halnya ketika kita melakukan penelitian, kita perlu pahami dulu hal yang melatarbelakangi penelitian kita, setelah tujuan dan hipotesisnya, dilanjutkan metodologinya hingga hasil dan diskusi, terakhir disimpulkan. Inilah yang dilakukan dalam aplikasi meta-analisis untuk ilmu nutrisi ternak tersebut,” kata Anuraga yang pernah dinobatkan sebagai dosen terbaik tingkat nasional tahun lalu.

Kesimpulan dari para narasumber, yakni meta-analisis dapat dijadikan tools untuk mendapatkan artikel baru dari beragam tahapan kerja, karena pada dasarnya meta-analisis adalah upaya merangkum berbagai hasil penelitian secara kuantitatif. Dengan kata lain, meta analisis sebagai suatu teknik ditujukan untuk menganalisis kembali hasil-hasil penelitian yang diolah secara statistik berdasarkan pengumpulan data-data primer yang ada. Diharapkan dengan memperkenalkan studi meta-analisis kepada para dosen, peneliti dan mahasiswa, Indonesia bisa terdepan sebagai penyumbang jurnal bereputasi tinggi di bidang nutrisi dan pakan ternak. (Sadarman)

CBC UNPAD BAHAS DUA SISI BELGIAN BLUE

Belgian Blue, akan jadi berkah atau musibah?


Indonesia sepertinya masih berambisi untuk mewujudkan program swasembada daging sapi. Melalui berbagai peraturan pemerintah seperti SK Mentan 73/2018, SK Dirjen 6977/2018, dan bahkan Kepmentan RI No.416/2020 Indonesia resmi menjalankan program pengembangan rumpun sapi Belgian Blue.

Sebuah webinar bertajuk "Kelanjutan Perkembangan Sapi Belgian Blue Sebagai Upaya dari Pemerintah Untuk Mencapai Swasembada Daging Nasional" dihelat oleh Cattle Buffalo Club (CBC), sebuah organisasi kemahasiswaan di Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Webinar tersebut berlangsung pada Sabtu (7/11) yang lalu melalui daring Zoom Meeting.

Tiga orang narasumber hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut. Mereka adalah Yanyan Setiawan dari Balai Embrio Transfer Cipelang, Gungun Gunara mewakili Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan, dan Nuzul Widyas Akademisi dari Fakultas Pertanian UNS.

Dalam presentasinya Yanyan Setiawan menjabarkan berbagai aspek teknis terkait pemeliharaan, performa reproduksi, serta keunggulan dan potensi dari ras sapi Belgian Blue. 

"Sapi ini memiliki Double Muscle (DM) yakni perototan yang sangat berkembang, sehingga dapat menghasilkan karkas yang lebih banyak ketimbang sapi lokal. Nantinya bakalan dari Belgian Blue Cross akan dikembangkan di UPT milik pemerintah dan disebarkan kepada peternak di seluruh nusantara," tutur Yanyan.

Senada dengan Yanyan, Gungun Gunara juga mengatakan bahwa diharapkan dengan adanya program ini peternak dapat lebih sejahtera dikarenakan sapi - sapi yang dipelihara lebih cepat besar, karkasnya lebih banyak, dan lebih menguntungkan dari segi ekonomi.

Namun begitu, Nuzul Widyas memiliki pandangan lain terhadap program pemerintah tersebut. Menurutnya, dari kacamata akademisi terdapat beberapa kekurangan yang seharusnya lebih dikaji lebih dalam pada program tersebut.

Nuzul menyebutkan bahwa sapi Belgian Blue dapat memiliki Double Muscle dikarenakan faktor mutasi genetik. Jika tidak ditangani secara benar, alel mutan dari sapi tersebut berpotensi merusak populasi sapi potong di tingkat peternakan rakyat.

"Kami tidak menentang fakta bahwa sapi BB memiliki superioritas sebagai sapi pedaging, tetapi kami hanya khawatir terhadap sapi lokal kita. Yang saya omongkan ini bukan omong kosong, saya punya beberapa bukti kuat, mengapa sapi BB dengan mutasi gen DM "kurang cocok" untuk peternak rakyat kita," tukas Nuzul.

Lebih lanjut Nuzul menuturkan bahwa beberapa negara sudah tidak menggunakan Belgian Blue dalam program pengembagan sapi pedaging di negaranya karena isu Animal Welfare.

"Sebut saja USA, negeri Paman Sam mengkalim bahwa sapi ini membutuhkan perawatan yang lebih telaten dari segi teknis ketimbang sapi lainnya. Yang saya tahu, tantangan budidaya di masa kini adalah bagaimana caranya menciptakan bibit yang tahan penyakit dan stress serta lebih mudah dipelihara, kalau Belgian Blue ini kan butuh perhatian lebih (manja)," tukas Nuzul.

Dari segi genetis, Nuzul menyebut bahwa gen mutan yang menyebabkan hipertropi otot pada sapi BB dapat diwariskan pada keturunannya melalui Cross Breed. Gen tersebut memang memiliki keunggulan dalam produksi daging karena menghasilkan otot yang padat, sehingga presentase karkas akan menigkat.

Namun begitu, terdapat kompensasi akibat hipertropi otot berlebih pada mutasi tersebut. Nuzul menyebut bahwa mutasi akan terjadi pada otot di seluruh tubuh. Jika hal tersebut terjadi, akan terjadi dampak fisiologis terhadap sapi, salah satunya performa reproduksi.

"Dari beberapa jurnal penelitian, disebutkan bahwa akibat perototan yang terlalu padat, terjadi penyembitan kanal - kanal seperti saluran reproduksi, pembuluh darah, dan lain - lain. Beberapa jurnal juga menyebutkan bahwa hampir 100% sapi BB dengan mutasi genetik DM kelahirannya harus dibantu oleh dokter hewan melalui operasi cesar karena mengalami distokia," tutur Nuzul sembari memperlihatkan beberapa jurnal pendukung.

Terakhir Nuzul menyebutkan bahwa dalam mewujudkan swasembada daging sapi, pemerintah seharusnya mengoptimalkan cross breeding antara sapi dari jenis Bos taurus konvensional dengan sapi betina lokal yang berkualitas. 

Sebagai panelis atau pembahas Rochadi Tawaf yang juga pakar sosial ekonomi peternakan juga banyak menjabarkan apa - apa saja yang harus dilakukan pemerintah dalam membangun persapian Indonesia.

Poin pertama yang dibahas oleh Rochadi yakni terkait sumber daya genetik dan perbibitan ternak. Mendengar berbagai pembahasan terkait potensi kerusakan genetik pada sapi lokal akibat persilangan sapi BB, Rochadi menilai pemerintah telah melanggar PP No.48/2011 tentang sumber daya genetik dan perbibitan ternak.

"Pada pasal 20 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan budidaya yang berpotensi menguras atau mengancam kepunahan sumber daya genetik hewan asli dan lokal. Jadi pemerintah (Kementan) bisa dituntut dengan pasal ini," tutur Rochadi.

Dirinya juga mengutip pernyataan mantan Direktur Jenderal Peternakan terdahulu yakni Soehadji, bahwa dalam menentukan suatu kebijakan hendaknya suatu kebijakan harus berbasis akademik.

"Harus feasible (bisa diterapkan di masyarakat), acceptable (dapat diterima masyarakat), dan profitable (menguntungkan masayarakat). Saya tidak melihat ketiganya dalam penentuan kebijakan ini. Jadi sebenarnya pengambilan keputusan dan kebijakan ini bagaimana?," tutur Rochadi.

Selain itu Rochadi juga mengkritik pemerintah terkait Kepmentan No.616/2020 yang hendak menetapkan sapi BB sebagai rumpun sapi Indonesia. Ia berdiskusi dengan beberapa peneliti di LIPI bahwa setidaknya diperlukan waktu 15-20 tahun dan proses pengembangbiakkan selama 3-5 tahun, untuk mendapatkan hasil cross breed, sapi BB dengan sapi lokal F4 dengan level genetik 90%.

"Kok ini terkesan cepat dan terburu - buru?. Harusnya pemerintah lebih seksama, coba lihat sekarang, mengapa sapi BB hanya mau dikembangkan di Indonesia saja?, Brazil yang penghasil daging terbesar tidak pakai BB, negara - negara di Eropa juga enggak mengembangkan BB, kenapa kita bernafsu sekali mau mengembangkan BB?, sebuah tanda tanya besar itu," tutur Rochadi.

Sebagai saran kepada pemerintah Rochadi meminta agar pemerintah membentuk breed komposit yang memanfaatkan keunggulan sapi lokal. Dirinya juga menyarankan agar sapi dengan mutasi genetik DM tidak disebar ke peternak.

Kedua, pemerintah harus mengawasi dengan seksasam, apabila nantinya  introduksi sapi DM pada sapi Indonesia berdampak negatif dan mengancam populasi ternak lokal, semua F1 harus disembelih dan tidak boleh bereproduksi di masyarakat, (Dilakukan pemusnahan).

Pemerintah sebaiknya lebih concern mengembangkan rumpun sapi endemik Indonesia yang sudah teruji dan sesuai dengan ekosistem negeri ini. Hanya tinggal mengkaji lebih dalam dan melakukan seleksi yang lebih intensif. 

Yang terakhir Rochadi meminta agar pemerintah melakukan kajian akademik secara komperhensif dari aspek teknis, sosial, dan ekonomi dalam program pengembangan sapi BB di Indonesia agar tidak menyesal dan menyalahkan siapa - siapa apabila terjadi kesalahan ditegah berjalannya program tersebut. (CR)

 





SEMINAR NASIONAL II FAPET UNJA

Seminar Nasional II yang diselenggarakan Fapet UNJA. (Foto: Dok. Infovet)

Diseminasi hasil kajian bidang peternakan dan perikanan diperlukan, mengingat kebutuhan sumber informasi terkait teknologi kekinian diperlukan oleh peternak dan nelayan untuk memperbaiki usahanya. Hal inilah yang menggerakan akademisi Fakultas Peternakan Universitas Jambi (Fapet UNJA) menyelenggarakan Seminar Nasional II Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat mengenai sistem produksi peternakan dan perikanan berkelanjutan, melalui daring, Sabtu (7/11/2020).

Ketua Panitia Pelaksana, Dr Bagus Pramusintho dalam sambutannya menyebutkan bahwa teknologi kekinian bidang peternakan dan perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, sehingga perlu diwadahi melalui pelaksanaan seminar.

“Tahun kedua ini seminar mengoleksi ratusan paper dari berbagai universitas negeri dan swasta, serta dari lembaga penelitian dengan bidang ilmu sejenis yang juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini,” ujarnya.

Sementara Rektor UNJA Prof Drs Sutrisno menyambut baik pelaksanaan seminar. Dalam sambutan tertulisnya dikatakan ilmu di bidang peternakan dan perikanan akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi manusia di bidang-bidang lain yang mendukung. “Kegiatan konferensi ini harus tetap jalan, mengingat pentingnya diseminasi ilmu untuk para pengguna akhir dari ilmu itu sendiri,” kata Prof Sutrisno.

Untuk memperbarui keilmuan di bidang peternakan dan perikanan, dihadirkan narasumber dari berbagai instansi, diantaranya Dr Ir Nasrullah (Dirjen PKH Kementerian Pertanian), Prof Dr Ir Hj Nurhayati (dekan Fapet UNJA), Ir Yosef Arisanto (Vice President Head of Operation Poultry Integration Sumatra dan Jawa Barat PT Charoen Pokphand Indonesia), Dr Agr Ir Asep Anang (dosen Fapet Unpad) dan Dira SPt (Product Assistant Manager Veterinary Pharmaceutical Products Medion).

Prof Nurhayati mengatakan bahwa kondisi perunggasan dimasa pandemi COVID-19 cukup stabil, namun demikian yang perlu diperhatikan adalah saat pandemi berlalu, kemungkinan terjadi hal yang tak terduga yang berdampak langsung pada usaha perunggasan.

Sementara dikatakan Yosef Arisanto bahwa saat ini telah terjadi perubahan dalam sistem produksi unggas, seperti adanya peralihan model kandang terbuka menjadi tertutup untuk meminimalkan risiko kontak unggas dengan lingkungan luar, atau pengembangan lainnya di bidang nutrisi dan pakan, peralatan kandang dan sebagainya.

Hal senada juga disampaikan Asep Anang bahwa Pengembangan sistem produksi unggas ke arah lebih baik sangat diperlukan, upaya ini juga harus diikuti dengan peningkatan mutu genetik unggas dan ikan yang dipelihara.

“Apapun jenis ternaknya, mutu genetik dengan melakukan pemuliaan hingga didapatkan komposisi gen yang baik diperlukan untuk mendapatkan ternak yang baik dengan tingkat produktivitasnya yang tinggi,” kata Asep.

Sedangkan dari sisi kesehatan unggas, ditambahkan oleh Dira, diperlukan introduksi obat herbal seperti kunyit untuk menunjang daya tahan unggas yang dipelihara. “Unggas dengan daya tahan tubuh prima dapat menolak kehadiran bibit penyakit dalam tubuhnya,” kata Dira. (Sadarman)

MANAJEMEN RISIKO DAN PENGENDALIAN KOLIBASILOSIS DI PETERNAKAN KOMERSIAL MANDIRI

Ternak ayam broiler. (Foto: KRJogja.com)

Penyakit unggas dikenal dengan banyak ragam dan penyebabnya, mulai dari mikroba hingga makroorganisme yang dapat menimbulkan sakit pada ayam. Mengupas tuntas perihal penyakit ayam tidak akan pernah habis karena keberagaman penyebab dan cara mencegahnya, termasuk juga cara melakukan medikasi pada penyakit-penyakit tersebut.

PT Veteriner Indonesia Sejahtera (VIS) bersama Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI) menyelenggarakan webinar Kolibasilosis pada broiler komersial mandiri yang diselenggarakan Sabtu (7/11/2020). Dua pembicara kondang dihadirkan dalam acara ini, yakni Drh Baskoro Tri Caroko/BTC (Poultry Technical Consultant) dan Dr Drh Widagdo Sri Nugroho (dosen FKH UGM).

Mengawali pemaparan materinya, Baskoro menyebut, “Banyak peneliti tentang penyakit unggas, tetapi sedikit yang tertarik meneliti bagaimana caranya agar unggas tidak sakit.”

Mengondisikan unggas broiler tidak sakit selama pemeliharaan, lanjut dia, bukanlah perkara mudah, sulit dilakukan mengingat “mereka” dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh dengan kompetitor (agen penyakit).

Lebih lanjut, kondisi riil rata-rata kandang  broiler komersial mandiri juga disebut sangat memprihatinkan. Padahal kandang sejatinya memberikan kenyamanan pada ayam dari awal hingga akhir pemeliharaannya.

“Dari banyak lokasi pemeliharaan yang saya kunjungi, beragam penemuan dapat disampaikan, misalnya kondisi kebersihan kandang yang kurang, jarak antar kandang yang tidak diperhatikan, onggokan feses yang menggunung di bawah lantai kandang, kondisi alas kandang yang basah, ini semua jelas memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan,” kata BTC.

BTC pun mengimbau peternak harus berempati ternak peliharaannya. Sebab, infeksi dapat saja terjadi saat peternak lengah dengan kondisi kandangnya.
"Sejatinya lingkungan kandang yang basah dan kotor dapat menjadi perantara, artinya penyakit tersebut berasal dari lingkungan bukan dari ayam ke ayam,” ucap dia.

Narasumber webinar, Baskro Tri Caroko (kiri) dan Widagdo Sri Nugroho.

Serangan Kolibasilosis
Penyakit yang identik dengan kondisi lingkungan kandang kotor adalah kolibasilosis. Ini merupakan penyakit infeksi bakterial pada unggas yang disebabkan Escherichia coli. Menurut BTC, dampak negatif kolibasilosis pada broiler selama periode pemeliharaan adalah pertumbuhan lambat karena sistem organ pernapasan dan pencernaan terganggu, konversi pakan tidak efisien ditandai dengan keseragaman pertumbuhan rendah, hingga tingginya angka kematian.

Berdasarkan data investigasinya di lapangan, rata-rata kolibasilosis dapat terjadi pada kondisi alas kandang atau sekam basah, menyebabkan kandang pengap karena ventilasi terbatas, akibatnya terjadi peningkatan produksi amonia yang berujung cekaman stres pada ayam.

Kejadian kolibasilosis pada ayam broiler biasanya di umur tiga minggu atau saat mendekati panen. Baskoro menyebut bahwa sebagian peternak komersial mandiri mengandalkan antibiotik untuk penyakit ini. Namun demikian, jika hal ini dilakukan maka yang terjadi adalah pemborosan karena tidak efektif dan menguras biaya.

“Jangan gunakan antibiotik untuk mengendalikan kolibasilosis, pemborosan karena harganya mahal. Disamping itu beresiko terjadinya residu dan akan berpeluang terhadap kasus berulang atau re-emerging disease,” ungkapnya.

Sementara disampaikan Dr Widagdo, kolibasilosis pada dasarnya dapat menghambat tercapainya standar produk unggas yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), serta memperbesar kemungkinan residu antibiotik pada konsumen. Menurut Vello et al. (2020), jumlah kasus resistensi antibiotik dengan rata-rata prevalensi tertinggi dilaporkan pada penggunaan Cefazolin 86.8%, Fucidik Acid 84.6% dan Ampicillin 79.3%, sehingga perlu dilakukan pembenahan dan pengawasan penggunaan antibiotik terutama pada usaha broiler komersial mandiri.

"Ini telah dilakukan pemerintah kita, yakni diawal 2017, pembatasan penggunaan antibiotik sebagai pencegahan dan medikasi penyakit terutama pada ternak-ternak yang memproduksi bahan pangan,” tutur Widagdo.

Dilihat dari tren penyakit pada ayam ras pedaging pasca pelarangan penggunaan antibiotik pemacu pertumbuhan, kasus kolibasilosis menduduki peringkat kedua setelah kasus Chronic Respiratory Disease (CRD) pada 2017. Pada 2018 dan diperiode Januari-Oktober 2019, kasus kolibasilosis masing-masing menduduki peringkat kedua setelah CRD dan peringkat ketiga setelah CRD komplek. Hal ini menunjukkan bahwa kolibasilosis masih perlu diwaspadai keberadaannya di lokasi usaha peternakan unggas.

"Peternak harus memperhatikan hal ini, karena hampir disetiap tahun, ketiga jenis penyakit CRD, CRD komplek dan kolibasilosis merajai kasus-kasus penyakit pada ayam ras pedaging,” terang dia.

Namun bila melihat polanya, jelas Widagdo, kejadian kolibasilosis melandai dari Januari-Februari, lalu menurun disepanjang Maret dan naik perlahan di April-Mei. Selanjutnya terjadi penurunan kasus di Juni dan kembali naik di Juli-Agustus. Ia menyebut kerugian akibat kolibasilosis cukup besar mencapai Rp 14.2 triliun perperiode panen broiler dan Rp 13.4 triliun perperiode panen layer.

"Ini nilai kerugian yang sangat fantastik, harus dicarikan solusi agar nilai sebesar itu bisa diturunkan, bisa melalui kontrol kebersihan dengan penerapan biosekuriti maksimal di lokasi kandang,” ucapnya.

Pengendalian
Dalam pengendalian kolibasilosis, Baskoro menganjurkan untuk melibatkan berbagai disiplin ilmu yang memperhatikan interaksi semua komponen beserta lingkungannya, terutama yang terkait langsung dengan pengaruhnya terhadap kejadian dan cara penyebaran penyakit pada ayam broiler.

“Setidaknya ada keterlibatan manusia, ternak dan lingkungannya, semuanya saling memberikan pengaruh hingga penyakit itu muncul pada ayam ras pedaging yang dipelihara,” kata BTC.

Konsultan peternakan unggas inipun menyebut bahwa dalam pengendalian penyakit unggas, perlu menerapkan manajemen resiko dengan seni pengendalian yang menyertainya. Diantaranya adalah melakukan upgrade pada pelaksanaan disinfeksi dan biosekuriti dari masing-masing tipe kandang yang digunakan.

“Pada kandang postal terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan phenols air tergenang. Lalu pada kandang panggung terbuka, dicuci dengan detergen yang dikombinasikan dengan disinfeksi jenis formalin dan phenols. Sedangkan pada kandang postal tertutup, tata cara pembersihannya sama dengan kandang postal terbuka,” kata BTC. Pelaksanaan upgrade juga dilakukan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) perawatan DOC hingga panen, manajemen sumber daya manusia, prasarana kandang dan melakukan pencegahan terhadap sumber penularan penyakit.

Sementara itu, Widagdo turut menambahkan bahwa pengelolaan usaha peternakan unggas harus sangat diperhatikan, terutama menyangkut kondisi lingkungan, agen penyakit dan host-nya.

“Kita tetap memerlukan surveilens untuk mengumpulkan data-data yang ada, lalu dianalisis untuk mengetahui tingkat prevalensi dan insidensi penyakit, sehingga diketahui faktor penyebab atau resiko penyakit, disamping adanya rekomendasi dari hasil analisis untuk ditindaklanjuti oleh dokter hewan,” tutur Widagdo.

Dijelaskan, pendekatan one health untuk meredam penyakit dan memperbaiki pangan asal ternak yang sehat juga dapat dilakukan. Ia berharap meningkatnya peran peternak dan dokter hewan dalam pengendalian penyakit dan residu antibiotik dapat dilakukan melalui pemilihan bibit unggul, penerapan biosekuriti ketat, perbaikan sistem manajemen pemeliharaan dan bijak dalam menggunakan obat hewan. (Sadarman)

POULTRY INDONESIA FORUM: WUJUDKAN DEMOKRASI EKONOMI DENGAN BERKOPERASI

Webinar Poultry Indonesia Forum mengenai koperasi peternak, Sabtu (7/11/2020). (Foto: Dok. Infovet)

“Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Jalan Peternak Berkoperasi” menjadi tema pada webinar Poultry Indonesia Forum seri ke-IV yang diselenggarakan Sabtu (7/11/2020).

Dalam pembukaan acara dikatakan koperasi di bidang peternakan, khususnya perunggasan, menjadi penolong bagi para pelaku usaha kecil untuk menghadapi tantangan industri dan mencari solusinya secara bersama-sama.

“Koperasi secara ide memang memberikan satu harapan yang dapat menjawab kebutuhan pengembangan industri perunggasan dan sektor pangan di Indonesia.” 

“Koperasi sesungguhnya memberikan satu solusi bagi kelompok strategis masyarakat perunggasan untuk dapat berperan meningkatkan daya saing, kapasitas dan menjadi pilar utama pemenuhan protein hewani,” ujar Menteri Koperasi dan UKM, diwakili Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop UKM, Ahmad Zabadi.

Sebab jelas dia, kondisi yang terjadi di industri perunggasan dalam dua tahun terakhir sangat memprihatikan. Pada 2018-2019 sempat terjadi aksi demo peternak unggas rakyat, karena harga jual ayam hidup hanya Rp 8.000-10.000/kg , sementara ongkos produksinya Rp 18.500.

“Seharusnya bisnis unggas memberi manfaat bagi peternak, tapi kenyataannya tidak begitu. Sehingga dibutuhkan satu perencanaan yang baik, sistematik, berkoodinasi dengan pihak-pihak terkait termasuk pemangku kebijakan,” katanya.

Sementara disampaikan Ketua Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia, Suroto, jika ingin berjalan dengan baik, koperasi didasarkan pada nilai menolong diri sendiri, tanggung jawab, persamaan, keadilan dan solidaritas. Serta dijalankan dengan prinsip keanggotaan sukarela dan terbuka, pengendalian oleh anggota secara demokratis, patisipan ekonomi anggota, otomoni dan kemandirian, pendidikan dan pelatihan, serta informasi, kerja sama antar koperasi, hingga kepedulian terhadap komunitas/lingkungan.

“Kita harus perkuat sistem koperasi peternak rakyat. Tidak hanya fokus pada on farm-nya saja seperti yang terjadi pada kerja sama berbasis korporasi yang hanya mengatur dan membuat ketergantungan peternak akan DOC, pakan dan sapronak lainnya dari perusahaan ternak unggas kapitalis,” kata Suroto.

Manfaat koperasi rakyat ternyata banyak memberi semangat bagi peternak ayam petelur di daerah Kendal. Hal itu dikatakan Ketua Koperasi Peternak Unggas Sejahtera Kendal, Suwardi.

“Diantaranya memperpendek rantai distribusi, menjaga keseimbangan harga pasar, menjaga kecukupan stok bahan baku pakan sekaligus menyediakan jasa angkut pakan dan penyediaan DOC/pullet dengan harga terjangkau,” jelas Suwardi. Pihaknya pun bekerja sama dengan Bulog maupun perusahaan bidang perunggasan.

Hal senada juga disampaikan Ketua Koperasi Ternak Unggas Wirasakti Bogor, Sugeng Wahyudi. Dirinya memaparkan bahwa berkoperasi menjadi sangat penting apalagi sepanjang dua tahun belakangan peternak unggas broiler rakyat/mandiri kerap merugi.

“Merugi akibat harga sapronaknya tinggi, sementara harga jual ayam di tingkat peternak sangat rendah. Persaingan usaha tidak seimbang dan tidak ada perlindungan terhadap peternak. Ini juga yang membuat kami membentuk koperasi agar usaha kami tetapi eksis,” kata Sugeng.

Dijelaskan Sugeng, dengan berkoperasi identitas peternak mandiri lebih jelas karena memiliki bentuk badan usaha. Selain itu bargaining untuk akses ke supplier dan penjualan ke pasar lebih kuat.

Anggota berperan sebagai produsen dan konsumen. Akses dukungan modal juga menjadi lebih kuat baik berasal dari anggota maupun perbankan, serta kami dilindungi oleh regulasi,” pungkasnya. (RBS)

SEMINAR INTERNASIONAL VIA DARING ALA UNSOED

AnSTC 2020 digelar melalui daring


Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Fapet Unsoed) menggelar seminar internasional via daring selama dua hari pada 4-5 November 2020 yang lalu. Acara yang bernama Animal Science and Technology Conference 2020 (AnSTC 2020) tersebut dilaksanakan untuk kedua kalinya. Bedanya, dikarenakan wabah Covid-19, acara tersebut dilaksanakan via daring. Tema yang diusung pada seminar kali ini adalah Advancing Animal Production Systems for Rural Development and Environment Sustainability.

“Kegiatan dalam rangka Dies Natalis ke-54 Fapet Unsoed ini berlangsung secara daring dengan media Zoom Meeting dan ditayangkan secara live melalui streaming YouTube “Fapet Unsoed” pukul 08:30 - 15:30 setiap harinya," ujar Ir Alief Einstein M Hum, Humas Dies Natalis Fapet Unsoed.

Ketua panitia Moch Sugiarto SPt MM PhD menambahkan,  kegiatan ini akan diikuti 187 peserta berasal dari Indonesia, Afrika Selatan, India, Zimbabwe, Philippines dan Sudan. 

“Harapkan kami acara ini dapat menjadi wadah bertukar pengetahuan dan berbagi perspektif dalam memanfaakan peluang untuk memajukan industri masyarakat pedesaan secara berkelanjutan,” ujar Moch Sugiarto yang juga merupakan Sekjen PERSEPSI (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia).

Acara tersebut menghadirkan beberapa narasumber yakni Prof Henny Akit Ph D (University Putra Malaysia Malaysia), Prof Dr Yanin Opatpatanakit (Maejo University Thailand), Prof Bibin Bintang Andriana Ph D  (Kwansei Gakuin University Jepang), sementara itu Prof Vu Dinh Ton Ph D. (Vietnam National University of Agriculture Vietnam) bertindak sebagai keynote speaker.

Selain itu hadir juga Prof Suyadi (Universitas Brawijaya), Prof Edy Kurnianto (Universitas Diponegoro), Prof Dr Triana Setyawardani (Universitas Jenderal Soedirman), Prof Budi Guntoro (Universitas Gadjah Mada), Prof Juni Sumarmono Ph D (Universitas Jenderal Soedirman) dan Prof Dr Racheal Bryant (Lincoln University, New Zealand) sebagai pembicara tamu. (CR)



IKUTI WEBINAR HARI AYAM DAN TELUR NASIONAL KE 10

PROBLEMATIKA PETERNAKAN LAYER DI INDONESIA

Ternak ayam petelur. (Foto: Istimewa)

Peternakan layer atau ayam petelur yang tersebar hampir di semua pulau di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan peternakan rakyat. Ternak layer merupakan bagian dari industri perunggasan bersama breeder, broiler, bebek dan puyuh. Karenanya peternakan layer pun tak lepas dari imbas problematika industri perunggasan di Indonesia.

Hal itu disampaikan oleh Konsultan Marketing PT Cheil Jedang Super Feed, Ir Adi Widyatmoko, yang membawakan tema “Himpitan Peternakan (Layer) Rakyat Di Antara Problematik Industri Perunggasan Indonesia”, pada webinar Selayang Pandang Industri Perunggasan di Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Peternakan UGM pada September lalu. Adi membahas satu-per-satu permasalahan peternakan layer di Indonesia.

Populasi Menurun, Impor Jagung vs Impor Gandum
Data estimasi populasi layer pada 2016 sekitar 150 juta, kemudian turun pada 2018 menjadi sekitar 135 juta. Penurunan tersebut karena berbagai faktor, diantaranya akibat kerugian sepanjang 2012-2015 karena harga telur anjlok.

Faktor lain yaitu pada Oktober 2015 pemerintah mendadak menghentikan impor jagung sehingga harganya di 2016 melambung dari Rp 3.300 menjadi Rp 6.500 bahkan mencapai Rp 7.000. Ditambah lagi pada Oktober tidak ada (sedikit) panen jagung. Akibatnya banyak peternak bangkrut, sehingga otomatis populasi menurun.

Saat itu pemerintah mengharapkan swasembada jagung, padahal tidak mungkin karena lahannya tidak bertambah. Jika dipaksakan swasembada jagung bisa menyebabkan tidak bisa swasembada beras, karena lahan padi digunakan untuk menanam jagung.

Pola produksi jagung di Indonesia 65% diproduksi pada Februari-Maret, 25% pada Juni-Juli dan 10% pada September-November. Jadi jika di bulan Oktober impor dihentikan, berakibat jagung tidak ada di pasaran. Penghentian impor jagung sendiri ternyata diikuti terjadinya lonjakan impor gandum pada 2016. Impor tersebut digunakan sebagai pakan.

Pemerintah sebetulnya melarang penggunaan gandum untuk pakan. Sehingga ketika terpepet, timbul permintaan izin untuk membeli gandum yang dibeli dari industri makanan. Harga gandum lebih mahal, waktu itu jagung impor harganya sekitar Rp 2.900 dan gandum sekitar Rp 3.400, namun karena dibeli dari industri makanan harganya jadi mendekati Rp 5.000. Tentunya itu menyebabkan harga pakan menjadi tinggi dan lagi-lagi yang menanggung adalah peternak.

Ketika panen raya jagung juga sering terjadi jatuh harganya, karena banyak pabrikan yang mengimpor jagung sebelum panen raya yang memang bertujuan untuk menekan harga jagung. Pemerintah semestinya memahami hal ini dan melarang impor jagung ketika menjelang panen.

Meski banyak peternak yang bangkrut, namun tumbuh lagi peternak-peternak baru yang umumnya adalah peternak kecil. Adi mengatakan, ”Untuk 2020 saya belum melakukan survei, tapi estimasi saya populasi akan menjadi 143 juta,” ungkapnya.

Harga Telur Naik-Turun
Harga telur biasanya pada Februari-Maret akan turun. Lalu akan naik pada Mei-Juli karena ada momen yang memicu kenaikan harga seperti lebaran dan libur sekolah. Tetapi setelah masuk bulan Muharam dan Safar biasanya harga akan jatuh dan akan naik lagi di November dan Desember.

Awal Mei 2020 ini harga telur sempat jatuh sampai Rp 15.000 bahkan di beberapa tempat mencapai Rp 13.000. Hal ini disebabkan jatuhnya harga ayam sehingga terjadi penjualan hatching egg oleh breeding. Telur tetas yang seharusnya tidak boleh dijual, ternyata dijual di pasar dengan harga Rp 8.000-9.000, sehingga menyeret harga telur lokal. Sedangkan seharusnya sesuai pola dalam kondisi normal harga telur mestinya naik di bulan Mei.

Februari-Maret 2020 harga telur cukup tinggi. Hal ini karena banyak kasus penyakit seperti Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND). AI ada bermacam jenis diantaranya ada yang menyebabkan kematian dan ada yang menyebabkan penurunan produksi. Penyusutan produksi ini mencapai 20-30% dan tidak bisa kembali normal, maksimal hanya kembali 60-70% produksi. Akibatnya suplai telur berkurang dan harga naik cukup tinggi.

Rice Bran, Culling Bird dan DOC
Rice bran (bekatul) mencapai harga termurahnya pada April-Agustus. Jadi dalam setahun selama lima bulan peternak mendapatkan harga yang murah, namun bulan-bulan lainnya harga menjadi cukup tinggi. Saat harga tinggi ini biasanya banyak terjadi pemalsuan (pencampuran) rice bran yang merugikan peternak.

Dalam struktur keuntungan farm layer penjualan culling bird (ayam afkir) cukup membantu. Bahkan jika ayam afkir tidak bisa terjual dengan harga yang bagus, maka keuntungan peternak akan sangat tipis. Secara bisnis memang keuntungan layer tipis, peternak akan mendapatkan untung yang lumayan ketika harga afkir cukup tinggi. Harga ayam afkir tinggi biasanya saat Juli-Agustus karena momen puasa, lebaran dan libur sekolah. Lalu harga kembali turun mulai Oktober dan titik terendahnya terjadi di Februari.

Sementara itu harga DOC layer dalam tiga tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang cukup fantastis dan sangat memberatkan peternak. Ditambah lagi untuk mendapatkan DOC sulit sekali, karena beberapa pabrikan memelihara DOC sendiri dan baru dijual dalam bentuk pullet. Hal itu juga menyebabkan DOC yang ada dijual dengan harga tinggi.

Profitability di 2020
Profitability peternak untuk tahun ini cukup bagus jika pemeliharaannya normal. Namun realitanya banyak kasus penyakit dan dua tahun terakhir mortalitas cukup tinggi, sehingga memberatkan peternak dan menurunkan keuntungan yang seharusnya didapatkan.

Setelah mengalami kerugian yang cukup panjang sejak 2012-2017, dalam tiga tahun terakhir ini mulai pulih dan mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu belum layak.

Terpukul Policy Pemerintah
Yang paling memukul peternak adalah policy pemerintah seperti pemberhentian impor jagung dan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Entah karena efek AGP atau iklim belum bisa disimpulkan. Namun sejak dilarangnya AGP, mortalitas menjadi tinggi sekitar 20-30%.

Performa turun dan terjadi Necrotic Enteritis (NE), Dysbacteriosis (penyakit yang disebabkan oleh bakteri), wet litter dan biaya produksi naik. Untuk mengganti AGP membutuhkan biaya mahal. “Saya pernah menghitung, kalau itu di dalam konsentrat bisa menambah cost sekitar Rp 200/kilogram complete feed,” kata Adi.

Satu cage yang biasanya berisi 3-4 ekor ayam, peternak mengubahnya menjadi hanya 1-2 ekor untuk menekan kematian. Namun sekarang ini meski satu cage hanya diisi satu ekor ayam, angka kematian yang terjadi masih cukup besar.

Kemudian pemerintah mengizinkan company untuk budi daya layer komersial meski masih dibatasi maksimal 2%. Selama ini layer adalah peternakan rakyat, pemberian ruang pada perusahaan dikhawatirkan akan menjadi awal habisnya peternakan rakyat. Sebagaimana ayam broiler dimana peternakan rakyatnya sekarang sudah hampir punah.

NPP dan SNI
Dua tahun terakhir ini NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) menyulitkan industri feedmill. Registrasi pakan normalnya memakan waktu tiga bulan, tapi kenyataannya bisa butuh waktu sampai lima bulan baru selesai.

Selain itu, SNI (Standar Nasional Indonesia) juga menyulitkan karena inovasi pakan juga menjadi sulit. Misalnya pembuatan pakan yang menyesuaikan kondisi peternak. Contoh pembuatan pakan konsentrat ditambah katul, sehingga peternak hanya menambah jagung saja. Atau konsentrat ditambah jagung sehingga peternak tinggal menambah katul saja.

Contoh lain adalah jika di suatu daerah banyak limestone makan pakan yang dibuat, dibuang kandungan limestone-nya agar peternak bisa menambahkan sendiri. Ketika betul-betul tidak ada jagung maka dibuat corn homolog, terbuat dari bahan-bahan baku yang ada tetapi nutrisinya mendekati jagung.

Tetapi sekarang dengan adanya peraturan pemerintah, pembuatan pakan seperti itu sudah tidak bisa dilakukan karena tidak ada SNI-nya. Yang dibuat SNI adalah konsentrat, bukan complete feed, sedangkan konsentrat adalah bahan pelengkap maka semestinya harus lebih luwes.

Adi menceritakan, “Waktu di Payakumbuh mengambil pakannya dari Medan, saya lihat transportasinya mahal sekali kalau tidak salah Rp 700. Sehingga konsentrat yang ada saya lepas limestone-nya. Tapi sekarang ini jadi tidak bisa karena ketika didaftarkan menurut SNI tidak masuk karena tidak ada limestone-nya. Padahal limestone nanti kita tambahkan dari lokasi setempat.”

Corn homolog pun tidak ada SNI-nya, dia tidak termasuk konsentrat karena sumber energi, jadi belum ada ketentuannya.“Hal-hal seperti inilah yang membuat kita kesulitan membantu peternak sehingga cost menjadi mahal,” sambung Adi.

Potential Loss Akibat Kualitas Telur
Permasalahan juga dijumpai terkait kualitas telur seperti telur yang pecah, berkulit putih, telur yang jatuh ke bawah kandang dan lain sebagainya.


Perubahan Strategi Supplier
Kebijakan yang diambil supplier juga mempengaruhi peternak. Misalnya jika terjadi perubahan di raw material yang setiap saat bisa terjadi, feedmill akan berusaha memformulasikan dan efeknya biasanya pada farm.

Premix consultant yang memberikan masukan pada feedmill juga mempunyai pengaruh. “Saya melihat ada premix yang dipakai oleh banyak feedmill, ketika efeknya keliru, ini ke peternak dengan performa yang tidak bagus,” ungkap Adi.

Peternak biasanya memakai beberapa pakan dan suka membandingkan antara satu dengan yang lain. “Ketika dibandingkan ternyata performanya tidak bagus semua, mereka bisa berpikir kesalahan ada di pemeliharaan. Padahal itu bisa jadi karena feedmill mendapat advice yang tidak bagus,” ucapnya.

Peternak Layer Perlu Dilindungi
Jadi seolah-olah selama ini peternak layer dihimpit masalah dari segala arah. Mulai dari obat, DOC, pakan, hingga harga jual. Diantara supply chain industri layer adalah peternak yang paling tidak diuntungkan.

Maka peternak layer perlu dilindungi dan butuh regulasi dari pemerintah. Karena kalau tidak ada perlindungan, perusahaan bisa dengan mudahnya membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya menguntungkan mereka.

Namun bagaimanapun ada perbaikan signifikan yang mendukung investasi bisnis layer dalam lima tahun mendatang, yaitu stabilitas ekonomi yang terkontrol, kondisi politik yang cukup kondusif, inflasi yang cukup terjaga dan pertumbuhan populasi manusia di Indonesia. (NDV)

BB LITVET MELUNCURKAN INBIG OF IRCVS

Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) pada Kamis (5/10/2020) menyelenggarakan webinar Focus Group Discussion. Dalam webinar tersebut BB Litvet mensosialisasikan proyek perubahan PKN II-Angkatan XVII dari Project Leader DR drh NLP Indi Dharmayanti, MSI yang juga menjadi Kepala BBLitvet-Balitbangtan.

Proyek tersebut berupa platform sistem informasi yang terintegrasi terkait Bigdata BBLitvet yang diberi nama Integrated of BigData of Indonesian Research Center for Veterinary Science (InBIG of IRCVS). 

Webinar ini dihadiri oleh stakeholder dan peserta dari berbagai institusi lingkup Kementerian Pertanian, Lembaga Riset, Perguruan Tinggi, Kementerian Kesehatan, Lembaga Pemerintah (TNI/POLRI), Asosiasi, PB PDHI, peneliti, dan lainnya.

InBIG of IRCVS merupakan terobosan inovasi dalam wadah platform system informasi yang terintegrasi terkait Bigdata Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) sebagai lembaga penelitian veteriner yang telah berdiri sejak tahun 1908, dengan tujuan terintegrasinya data riset veteriner yang mencakup tiga data besar yaitu:

  • Sourcing-Absorptive Capacity
  • Research and Development Capacity 
  • Disseminating capacity

InBIG of IRCVS berisi berbagai informasi terintegrasi tentang riset veteriner yang dapat diakses secara global dan dapat dimanfaatkan dalam pengambilan kebijakan. Di dalamnya terdapat data penyakit hewan, advanced technology, fasilitas laboratorium, fasilitas sarana dan prasarana, invensi, inovasi, lisensi, hasil riset, rencana, program penelitian dan informasi terkait veteriner lainnya. (Sumber: rilis BB Litvet)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer