Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Hasil Survei: Masyarakat Lebih Pilih Pulsa Dibanding Daging

Daging ayam. (Sumber foto: meatworld.co.za)
Pantauan tim Infovet di lapangan membuktikan bahwa beberapa masyarakat Indonesia kini lebih cenderung gemar “mengonsumsi” pulsa ketimbang protein hewani.

Hal ini dibuktikan dari salah satu narasumber yang Infovet temui di daerah Depok, Jawa Barat. Irawan (30) saat berbincang dengan Infovet mengaku, rata-rata mengeluarkan tak kurang dari Rp 200 ribu per bulan untuk membeli “amunisi” telepon seluler miliknya. “Kadang bisa lebih,” ungkapnya.

Ketika ditanya, seberapa sering ia membeli daging ayam untuk konsumsi dalam sebulan, pekerja pabrik garmen di kawasan Ciputat ini hanya tersenyum. Ia mengatakan, jarang mengonsumsi daging ayam. Ia lebih suka membeli ikan air tawar. Kalau dirata-rata membeli daging ayam, katanya, hanya sekitar Rp 30 ribu per bulan. Artinya, perbandingan antara biaya beli pulsa dan beli daging ayam Irawan dalam sebulan adalah 200:30.

Di lain kesempatan, Infovet mencoba untuk mencari perbandingan dengan narsumber lain. Kali ini sasarannya seorang karyawati minimarket yang lokasinya masih berada di kawasan Depok. Yulianti-nama narasumber ini, mengaku dalam sebulan rata-rata mengeluarkan biaya lebih dari Rp 100 ribu untuk membeli pulsa.

Untuk membeli daging ayam ia mengaku kurang begitu suka. Wanita ini lebih sering mengonsumsi mie instan, atau makanan olahan instan lainnya yang ia stok dalam sebulan. “Sesekali aja mengonsumsi ayam, paling dua atau tiga kali dalam sebulan. Kurang begitu suka,” katanya.

Anggap saja, sekali membeli sepotong daging ayam goreng, Yulianti mengeluarkan uang Rp 12 ribu. Maka, dalam sebulan ia hanya membeli daging ayam Rp 36 ribu per bulan, perbandingan yang didapat dengan pembelian pulsa adalah 100:36. 

Data BPS Membuktikan
Dari contoh dua narasumber di atas, membuktikan bahwa konsumsi pulsa lebih tinggi daripada mengonsumsi daging ayam. Fenomena ini sebenarnya sudah diendus dalam beberapa tahun oleh para peneliti dan surveyor di Indonesia.



Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas, BPS) 2016 menunjukkan, dalam enam tahun terakhir, biaya pengeluaran pulsa bulanan masyarakat Indonesia terus meningkat. Rata-ratanya mengalahkan jumlah pengeluaran pembelian buah dan daging (termasuk daging ayam).

Jumlah rata-rata pengeluaran pulsa secara nasional per bulan pada 2016 mencapai Rp 22.182 per kapita. Sedangkan pengeluaran buah Rp 19.268 dan daging Rp 20.526 per kapita. Meski begitu, nilai pengeluaran pembelian pulsa belum mengalahkan rata-rata pengeluaran bulanan untuk kebutuhan pokok seperti beras, sebanyak Rp 64.566.

Dengan selisih sedikit berbeda, biaya pengeluaran pulsa telepon bulanan ini lebih tinggi dari biaya rata-rata pengeluaran SPP bulanan anak sekolah, yakni sebesar Rp 21.276 per kapita pada 2016. Dengan pengeluaran sebesar itu, kini posisi pulsa dalam masyarakat Indonesia bukan lagi kebutuhan tersier, melainkan kebutuhan sekunder-setelah terpenuhinya kebutuhan pokok.

Dalam sebuah rilis Kementerian Keuangan empat tahun lalu menyebutkan, membanjirnya ponsel di Indonesia mendorong tingginya konsumsi atau pembelian pulsa di masyarakat. Peningkatan jumlah kepemilikan telepon seluler terlihat paling tidak dalam dua tahun terakhir. Pada 2015, persentase kepemilikan mencapai 56,9%, sedangkan pada 2016 mencapai 58,3% atau sebanyak 137 juta jiwa.

Kalangan berumur 18-55 mendominasi kepemilikan telepon seluler. Sebanyak 76,2% diantaranya memiliki ponsel. Sedangkan usia di atas 55 tahun yang memiliki telepon seluler sebanyak 32,4% dan rentang usia 5-17 tahun sebanyak 32,1%.


Ilustrasi (Sumber: Google)
Dari 34 provinsi di Indonesia, kepemilikan telepon seluler terbanyak di DKI Jakarta (75,78%), Provinsi Kalimantan Timur (74,47%), Kepulauan Riau (73,77%), Kalimantan Utara (68,72%), Bali (65,19 %). (lihat kartogram warna skala merah).

Perputaran Uang Pulsa vs Daging 
Fenomena konsumsi pulsa jauh lebih besar dibandingkan dengan konsumsi daging ayam mendapat perhatian dari para pakar gizi. Pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yuny Erwanto, menyebutkan, fenomena semacam ini sungguh miris. Kebutuhan asupan gizi dikalahkan oleh kebutuhan pulsa hanya untuk gaya hidup.


Yuny Erwanto
“Dapat dibayangkan dengan Rp 20 ribu daging, berarti kalau diasumsikan sebagai daging unggas atau ayam hanya sekitar 0,5 kg sebulan. Kalau diasumsikan dengan daging sapi malah prihatin lagi, 20 ribu hanya setara dengan 200 gram per bulan per kapita,” ujar Erwanto.

Dosen Pangan Hasil Ternak Fakultas Peternakan UGM ini berpendapat, perputaran uang untuk biaya komunikasi, dalam hal ini pulsa, hanya akan berputar pada kurang dari 10 perusahaan besar saja. Sementara untuk konsumsi daging perputaran uangnya sangat luas, mulai dari petani jagung dan bahan pakan lain, peternak, perusahaan pakan ternak, perusahaan pembibitan, usaha restoran, usaha pemotongan hewan, beserta jalur pasar yang mereka lewati melibatkan banyak pelaku usaha.

“Artinya, kalau semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk daging akan mempunyai daya ungkit bagi usaha yang terlibat dan akan membuka lapangan kerja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang berputar untuk biaya pulsa,” ungkapnya.

Erwanto tak sependapat dengan anggapan peningkatan daya beli pulsa masyarakat berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan. Sederhananya, masyarakat mau makan pulsa atau makan daging yang akan meningkatkan produktivitas? Jadi tidak ada hubungannya antara biaya pulsa yang tinggi dengan tingkat kesejahteraan.

Menurutnya, kalangan yang menggunakan telepon atau data internet dalam rentang yang panjang dan kadang tidak terkontrol dapat terjadi pada semua segmen ekonomi. Bahkan, sampai yang tidak punya uang sekalipun, bila ada kesempatan mereka kadang akan menggunakan pulsa dan data tanpa kendali. “Pokok persoalan utama adalah pemahaman masyarakat dan budaya kita memang lebih suka ngobrol dan kurang produktif,” ucapnya.

Melihat kondisi di atas, lanjut dia, idealnya adalah seluruh komponen bangsa melakukan rekonstruksi ulang dan perubahan tata nilai, serta memulai sesuatu dengan budaya literasi atau pengetahuan yang semakin diperkuat. Selama pengetahuan masyarakat tidak dibimbing kepada faktor pemahaman yang lebih mendasar, maka mereka akan terjebak pada pragmatis, serta budaya melihat dan berbicara, bukan budaya berpikir dan membaca. “Kalau budaya berpikir, membaca dan berdiskusi semakin meningkat, maka perlahan budaya ngobrol akan berkurang,” jelas dia.

Menurut pakar gizi ini, penyebab rendahnya konsumsi masyarakat terhadap daging ayam tidak sekadar karena faktor pengetahuan atau pemahaman. Kalau pengetahuan dan pemahaman lebih cenderung keseimbangan gizi yang sering tidak dipahami. Namun dalam kasus daging, faktor utamanya adalah pendapatan. Semakin maju negara, maka semakin meningkat konsumsi dagingnya.

Seperti diketahui, saat ini konsumsi Indonsesia untuk total daging sekitar 10 kg, Malaysia sekitar 50 kg dan negara maju sekitar 100 kg per kapita per tahun. Secara karakter makanan yang lebih bercita rasa akan dihargai lebih tinggi, karena manusia membutuhkan lebih dibanding yang kurang bercita rasa. (Abdul Kholis)

Frisian Flag Undang 5.000 Peternak Sapi Buka Puasa Bersama

Para keluarga peternak tengah menantikan waktu berbuka puasa (Sumber:galamedianews.com) 


Sebanyak 5.000 peternak yang tergabung dalam anggota Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) diundang berbuka puasa bersama Frisian Flag Indonesia (FFI) di Lapangan Secata Rindam, Pangalengan, Bandung, Kamis (24/5/2018). Buka puasa bersama dengan keluarga peternak sapi terbanyak ini telah menciptakan rekor baru Museum Rekor Indonesia (MURI).

Informasi yang dirangkum dari galamedianews.com, acara buka puasa bersama ini dihadri juga oleh perwakilan dari MURI, Triyono. 

"Buka bersama ini kami gagas sebagai salah satu wujud apresiasi serta ajang silaturahmi bagi mitra peternak khususnya di Pangalengan," tutur Corporate Affairs Director FFI, Andrew F Saputro.

Menurut Andrew, para peternak inilah yang jadi tulang punggung dalam mendukung pemenuhan kebutuhan susu dalam negeri. Peternak juga membantu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui produk susu segar yang bergizi.

Lebih lanjut kata Andrew, bukan hanya para peternak, anggota keluarga peternak yang menjadi lingkar terdepan dalam mendukung keseharian para peternak menjadi bagian tak terpisahkan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, Indonesia memiliki populasi sapi perah 544.791 ekor dengan produksi 929,1 ribu ton susu segar dan masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di daerah dataran tinggi termasuk Jawa Barat. Saat ini anggota KPBS Pangalengan yang aktif berjumlah lebih dari 2.700 peternak.

Cetak Rekor MURI

Kegiatan buka puasa bersama yang digagas FFI yang dihadiri 5.000 keluarga peternak sapi perah ini mencetak rekor baru MURI. Perwakilah MURI, Triyono hadir menyerahkan secara langsung piagam rekor MURI kepada Corporate Affairs Director FFI.

Salah seorang warga memegang Piagam Rekor MURI

"Kategori buka puasa bersama peternak susu sapi ini merupakan rekor baru. Dengan dipecahkannya rekor MURI ini, terdapat nilai lain yakni terjalinnya hubungan emosional antar peternak susu sapi di Pangalengan," ujar Triyono.

Imbuh Triyono, kategori kegiatan tersebut merupakan yang pertama kalinya. “Ini sangat langka sekali dan yang pertama di Indonesia. Untuk itu, saya atas nama MURI menyerahkan piagam rekor untuk Kategori Berbuka Puasa Bersama Keluarga Peternak Susu Sapi Terbanyak," ungkapnya. (NDV)
-


Kerjasama dengan PT Suryo Agro Pratama dan Infrabanx, IPB Kembangkan Sekolah Peternakan Rakyat

Penandatanganan MoU berlangsung di Ruang Sidang Rektor Kampus IPB (sumber: media.ipb.ac.id)


Bertempat d Ruang Sidang Rektor Kampus IPB Dramaga, Selasa (22/5/2018), diselenggarakan acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara IPB dengan PT Suryo Agro Pratama, serta Infrabanx. Kerjasama ini dalam bidang bidang peningkatan kapasitas peternak, pemanfaatan ilmu dan teknologi, serta penerapan bisnis kolektif melalui Program Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) di seluruh Indonesia.

Rektor IPB, Dr Arif Satria berharap dengan adanya kerjasama IPB dan PT Surya Agro Pratama, inovasi kelembagaan yang telah diciptakan oleh tenaga ahli IPB dapat memecahkan problem social capital yang biasanya ada dalam usaha peternakan. Apa yang  dikembangkan dapat  mengarah pada penguatan sistem.

“Ini dapat menjadi kekuatan kita ke depan. Semoga dengan hadirnya Infrabanx akan lebih masif, lebih baik lagi dan dapat meningkatkan kesejahteraan para peternak,” ujarnya.

Selain itu, SPR dapat menjadi pusat pembelajaran dan penyuluhan yang berbasis pada riset. Kemudian, prinsip social capital dapat terus dikembangkan dan dapat menjadi solusi dari permasalahan, baik di bidang sumberdaya alam, hubungan antar kelompok, hubungan peternak dengan pihak luar atau investor.

Sementara itu, komisaris PT Surya Agro Pratama, Cipto Santosa menyampaikan bahwa perusahaannya bergerak di bidang agroindustri pertanian dengan produk utama olahan daging. PT Surya Agro Pratama telah mengembangkan prinsip tumbuh berkembang bersama masyarakat.

Perusahaan ini telah bermitra dengan masyarakat di wilayah Probolinggo. Ia berharap MoU dengan IPB dapat berkontribusi dalam mendorong swasembada sapi.

"Kami juga bermaksud ikut berkontribusi dalam pembangunan ketahanan pangan khususnya daging sapi dan susu yang saat ini masih ada gap antara kebutuhan dan jumlah yang tersedia secara mandiri," ujar Cipto yang juga merupakan alumni IPB.

Cipto menambahkan, perusahaannya berterimakasih kepada IPB bersedia kerjasama melalui pengembangan SPR, memberikan pencerahan, peningkatan kapasitas peternak melalui SPR yang didukung Infrabanx. Kesepakatan tiga pihak dan kesepahaman pelaku usaha ini diharapkan bisa menelurkan hasil dan proses yang ditargetkan bersama.

Acara penandatanganan MoU ini dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Sistem Informasi Prof Dodik Ridho Nurochmat, Wakil Rektor Bidang Inovasi Bisnis dan Kewirausahaan Prof Erika B Laconi, Prof Muladno selaku inovator SPR, dan beberapa tamu undangan lainnya. (Humas IPB/NDV)


Kandang Bersih, Kering dan Nyaman untuk Pedet



Pedet merupakan target utama keuntungan pada beef cattle breeding, sedangkan pada  dairy cattle merupakan income kedua setelah produksi susu. Selamatkan pedet kita... selamatkan pedet kita... kata-kata itu merupakan slogan utama pada breeding untuk replacement atau untuk bakalan. Angka kebuntingan yang tinggi menjadi sia-sia jika angka kematian pedet tinggi. Sebaliknya, angka kebuntingan rendah diikuti kematian pedet tinggi, maka tidak ada lagi harapan breeding (ibarat menyonsong senja). Tender loving care, sayangi pedet seperti menyayangi keluarga sendiri, tentunya dengan ilmu dan kasih sayang.

Pedet sebagai bagian dari keluarga peternak selayaknya diperlakukan sebaik mungkin. Kecukupan kebutuhan pangan (kolostrum, susu segar/susu induk, milk replacer, rumput dan calf starter sesuai standar kualitas), kebutuhan papan (kandang yang bersih, kering dan nyaman). Kecukupan pangan dan papan berbanding langsung dengan perfoma pedet ke depan akan menjadi generasi unggul dalam produksi dan reproduktivitasnya.

Kandang pedet secara umum terdapat dua macam, yakni koloni atau individual, menyusu induk (pedet sapi potong) atau terpisah dari induk (perah dan potong). Kandang koloni memiliki beberapa kelebihan dalam hal efisiensi waktu, yaitu pemberian pakan, susu dan pembersihan kandang, serta efisiensi biaya pembuatan kandang. Kelemahan kandang koloni yakni sulit melakukan kontrol asupan nutrisi dan susu masing-masing pedet, resiko penyakit dalam populasi lebih tinggi akibat kontak fisik terhadap anggota kelompok yang sakit, lebih sulit pula dalam penanganan penyakit dan potensi munculnya hairball.

Kemudian kandang individual, memiliki kelebihan diantaranya mudah dalam melakukan pengaturan pemberian pakan, susu, resiko penularan penyakit karena kontak fisik pedet lain relatif kecil, parameter perfoma dapat teramati dengan baik, pengawasan dan penanganan penyakit lebih terfokus. Kekuranganya yakni butuh biaya lebih besar untuk pembuatan kandang dan waktu membersihkan kandang lebih lama.

Berikut beberapa contoh desain kandang (koleksi pribadi dan cowsmopolitan dairy magazines)



Pedet sapi potong, pedet menyusu ke induk secara alamiah di kandang maternity. Induk harus mendapat nutrisi cukup untuk kebutuhan pokok, pemulihan pasca beranak, involusi uterus dan produksi susu untuk pedet. Induk sapi potong memiliki waktu laktasi lebih pendek dan produksi susu lebih sedikit dari sapi perah. Kandang pedet bercampur induk harus bersih, kering dan nyaman untuk induk dan pedet.




Kandang koloni pedet sapi potong, penyediaan rumput dan air minum sejak umur dua minggu, efektif mencegah terjadinya hairball, serta dilatih makan biji-bijian (grain), seperti soy bean meal dengan crude protein sekitar 44% mulai umur satu bulan.



Tidak semua pedet lahir dalam kondisi nyaman, sehat atau induk yang sehat dan baik. Pedet dengan kriteria lahir lemah, induk tidak ada kolostrum, produski susu induk kurang, induk tidak memiliki sifat keibuan (no motherly dam), lahir buta, induk tidak sehat, induk mastitis atau lahir pada kondisi tidak standar, seperti hujan deras disertai angin sehingga butuh penanganan khusus. Pedet-pedet tersebut dipisahkan dari induk ke kandang pedet model individu atau koloni dengan pemberian susu dari sapi perah.


Kandang individu harus lebih rapi, pedet terkontrol, namun merasa “dunia itu sepi”. Hati-hati memilih jenis alas, alas dari serbuk gergaji atau saw dust, debunya beresiko menimbulkan pneumonia aspirasi dan serbuk gergaji lembut jika terjilat pedet tidak bisa dicerna, menimbulkan sumbatan pada saluran cerna. Pemberian susu tidak disarankan pada ember hitam (lihat foto), karena bisa bercapur dengan bulu-bulu pedet dan rawan terjadi air susu masuk ke hidung pedet (tersedak).


Kandang koloni idealnya dilengkapi dengan hay untuk melatih perkembangan rumen, dilengkapi creep feeder, calf starter dan air minum. Beeding (alasnya) cukup comfort dan aman berupa hay atau jerami, namun butuh anggaran pembelian alas.

Drh Joko Susilo saat di kandang sapi.
Kandang pedet sapi perah individu memiliki model yang cukup bagus, namun masih memiliki beberapa kelemahan, yaitu pedet masih bisa saling menjilat (bulu dan bertukar kuman), jika petugas kebersihan kandang (pen cleaning) bekerja lebih awal dibanding kontrol oleh petugas kesehatan hewan, maka kemungkinan banyak kasus diare yang tidak terlihat karena bekas-bekas diare dilantai/tembok dan bagian bulu sekitar rektum telah bersih. Padahal diare merupakan ancaman pertama atau kedua pada kematian pedet, jika hari ini diare tidak tertangani, mungkin besok pedet mati atau menular ke pedet lain. ***

Drh Joko Susilo M.Sc
Medik Veteriner Muda,
Balai Veteriner Lampung

Indonesia Impor Bahan Baku Pakan Ternak dari 5 Negara Ini



 Sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih impor

Lima negara ini diantaranya Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Australia, dan New Zealand (Selandia Baru) merupakan negara pemasok bahan baku untuk pakan ternak di Indonesia. Sekitar 35% bahan baku pakan ternak masih diimpor. Sementara 65% sisanya seperti jagung dan bekatul dipasok dari dalam negeri.

Hal tersebut dikemukakan Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Sudirman. Informasi yang dilansir dari detikfinance, Rabu (23/5/2018), Indonesia mengimpor bungkil kedelai dari Brasil, Argentina dan Amerika Serikat (AS). Sementara, tepung daging dan tulang berasal dari Amerika, Australia dan New Zealand (Selandia Baru).

"Tahun lalu kita mengimpor bungkil kedelai 4,2 juta ton. Kalau tepung daging dan tulang itu impor per tahu sekitar 400 sampai 500 ribu ton," ungkap Sudirman.

Harga bungkil kedelai dari Rp 5.200/kg jadi Rp 7.600/kg, sedangkan, daging dan tulang naik dari Rp 7.900/kg menjadi Rp 8.500/kg. Sudirman menjelaskan pengusaha pakan ternak akan menaikkan harga antara 2-3%. Kenaikan tersebut tidak terlalu besar mengingat stok bahan baku di produsen masih cukup banyak dan persaingan ketat di antara produsen.

Dia menambahkan harga bahan baku pakan ternak bakal naik seiring penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah, yang berujung pada kenaikan harga pakan ternak. Menurut Sudirman, kenaikan harga pakan ternak tidak akan di atas 10%.

"Ada ya, seharusnya naik di atas 10% dengan hitungan. Namun paling naikkan 2% sampai 3% karena persaingan ketat. Setiap pabrik memiliki stok masing-masing kemudian harga murah. Jadi kalau di pasar persaingannya cukup ketat, nggak langsung naik," terang Sudirman.

Sementara itu Direktur Pakan Ir Rr Sri Widayati MM yang dihubungi Infovet, Rabu (23/5/2018) menyatakan beberapa bahan pakan yang masih diimpor yaitu bungkil kedelai, Meat Bone Meal (MBM) dan bahan lain seperti Corn Gluten Meal (CGM), Distillers Dried Grains with Soluble (DDGS).

“Bahan utama seperti jagung, Pemerintah tidak lagi melakukan impor jagung untuk pakan sejak 2017. Sebagai komponen utama porsi Jagung dalam pakan  40-50 persen,” tandas Sri Widayati.

Dia menambahkan, bahan-bahan pakan yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri adalah crude palm oil (CPO) dan dedak. (detikfinance/ndv)












Sapi-Sapinya Tersambar Petir, Muhammad Hidayat Rugi 50 Juta

Sapi-sapi tersambar petir di Kabupaten Hulu Suntai Utara


Muhammad Hidayat, warga Desa Baringin, Kecamatan Banjang, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan merugi sekitar 50 juta lantaran beberapa ekor sapi miliknya ditemukan mati. Kepala Bidang Produksi Peternakan setempat, Akhmad Rijani, pada Kamis (17/5/2018) memastikan penyebab kematian sapi-sapi itu adalah sambaran petir.

Memang sehari-hari, Hidayat melepas sapi-sapinya tersebut di sekitar perkebunan sawit di Desa Baringin. Semua sapi yang mati ini adalah bagian dari gembala sistem ekstensif, program integrasi sapi dan sawit dari tahun 2015 hingga sekarang.

Sebelumnya, beredar kabar sapi-sapi itu mati karena keracunan. "Pemilik sudah dimintai keterangan. Meski ada info beredar yakni keracunan, tetapi itu tidak bisa dibuktikan," jelas Akhmad Rijani.

Sample sapi yang mati didiagnosa untuk mendapatkan informasi lebih lengkap. Pihaknya pun sedang mendata dan mendokumentasi kerugian ternak. Akhmad Rijani menambahkan, sapi-sapi tersebut juga belum masuk daftar asuransi.

"Ini yang kami sesalkan, sebab belum terdaftar. Ini musibah yang tak disangka-sangka. Pendataan ternak juga sulit sebab sebagian ternak dilepas liarkan, sehingga petugas kesulitan mendata," katanya. (NDV/JPNN)


Kebijakan Antikoksidia dalam Permentan No. 14 Tahun 2017 (Opini Drh Didik Tulus Subekti MKes)


Drh Didik Tulus Subekti MKes
Seharusnya sudah tidak terjadi lagi tarik-ulur dengan implementasi kebijakan antikoksidia yang termuat dalam Permentan No. 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Apabila masih terjadi tarik-ulur, sesungguhnya lebih disebabkan egoisme dan pemahaman yang keliru dari masing-masing individu saja.

Hal demikian justru akan sangat berat apabila yang keliru memahami peraturan dan fakta ilmiah di lapangan adalah pengambil kebijakan. Dampaknya akan luas karena menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia. Ini yang akan membuat suasana gaduh dan rumit sehingga sulit diimplementasikan. Dampaknya ke depan, justru aturan sekedar hanya aturan dan situasi riil di lapangan akan menjadi semaunya sendiri.

Kaitannya dengan implementasi kebijakan antikoksi, menyoroti golongan Ionophore dalam kelompok antibiotik, apakah pemerintah melakukan uji klinis dengan dosis terapi? Pertanyaan ini memiliki dua sisi besar yang harus dipahami dengan benar dan obyektif. Penulis mencoba menguraikannya.

Definisi
Berkaitan dengan definisi antibiotik, antikoksidia dan ionofor. Menurut kami, telah terjadi kesalahpahaman dan kesimpangsiuran dalam memahami masing-masing. Ketidakpahaman ini akan semakin parah apabila dalam setiap individu yang terlibat dalam permasalahan ini hanya mengandalkan emosi dan egoisme. Marilah kita pahami dan dudukkan dahulu masing-masing secara benar dan tepat.

1. Antimikroba
Secara umum terdapat dua definisi yang berbeda mengenai antimikroba. Definisi pertama sebagaimana kita pahami dan pelajari selama ini serta terdapat dalam “Medical Dictionary” maupun beberapa jurnal ilmiah, yaitu (i) Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan mikroba. Nah, mikroba ini adalah jasad renik/mikroorganisme yang dapat berupa virus, bakteri, protozoa dan fungi. Oleh karena itu, antimikroba terbagi menjadi antiviral, antibiotik/antibakterial, antiprotozoal dan antifungal.

Definisi kedua banyak kita jumpai dalam berbagai jurnal ilmiah lainnya, yaitu (ii) Antimikroba adalah zat yang secara alami, semisintetik maupun sintetik dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (mikroba), namun menyebabkan sedikit atau bahkan tidak ada kerusakan pada inang.

Konsekuensinya, antimikroba pada definisi ini juga terbagi atas antiviral, antibiotik, antiprotozoal dan antifungal. Namun ternyata pada definisi (ii) ini antibiotik adalah zat yang bermolekul rendah yang diproduksi oleh mikroorganisme yang pada konsentrasi rendah menghambat atau membunuh mikroorganisme lainnya. Apabila mengikuti definisi ini maka antibiotik juga akan terbagi menjadi antiviral, antibakterial, antiprotozoal dan antifungal. Perbedaan utama antara antibiotic dan antimikroba dalam definisi (ii), bahwa antibiotik khusus disematkan pada zat yang memiliki molekul rendah dan diproduksi oleh mikroorganisme. Oleh karena itu, zat seperti methicillin, amoxicillin (keduanya semisintetik), atau golongan sulfonamid dan golongan kuinolon (keduanya sintetik) tidak dapat dikategorikan sebagai antibiotik. Begitu juga seperti kuersetin, alkaloid atau lisozim, karena dihasilkan tumbuhan dan hewan.

2. Antibiotika
Secara umum juga memiliki dua definisi sebagaimana antimikroba. Definisi pertama dari antibiotik adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya pada poin 1-(ii) di atas. Definisi kedua (iii) dikemukakan oleh WHO maupun NHS (UK) yaitu, “Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati beberapa jenis infeksi bakteri. Pada awalnya, antibiotic adalah zat yang diproduksi oleh satu mikroorganisme yang secara selektif menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya”.

Pengertian ini menjelaskan duduk perkara perbedaan definisi antimikroba dan antibiotik. Pada awalnya definisi antimikroba dan antibiotik adalah sebagaimana kami jelaskan pada poin (ii). Selanjutnya terjadi perubahan di mana definisi antimikroba sebagaimana kami jelaskan pada poin (i) dan antibiotik pada poin (iii). Kesimpulannya, antimikroba berdasarkan penggunaannya terhadap obyek/jenis sasaran mikroba atau mikroorganismenya dapat dibagi berupa antiviral, antibiotik=antibakterial, antiprotozoal dan antifungal.

Sampai pada poin ini seharusnya sudah jelas dan dapat dipahami, perbedaan mendasar penggolongan obat berdasarkan jenis sasaran mikroorganisme. Perbedaan dasar antara antimikroba vs antibiotik vs antiprotozoal juga seharusnya sudah dapat ditempatkan pada posisinya masing-masing.

3. Antikoksidia
Adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi oleh koksidia (Coccidia). Koksidia adalah mikroorganisme bersel tunggal yang masuk dalam kelompok protozoa. Dengan demikian antikoksidia sesungguhnya adalah salah satu jenis antiprotozoal. Antiprotozoal adalah salah satu jenis antimikroba, namun antiprotozoal berbeda dengan antibiotik (antibakterial). Dengan demikian, maka antikoksidia berbeda dengan antibiotik. Sampai pada poin ini juga seharusnya menjadi sangat jelas perbedaan antikoksidia vs antibiotik.

4. Ionofor (Ionophore).
Perhatikanlah pengertian atau definisi ionofor. Ionofor adalah molekul berukuran kecil yang larut lemak baik berasal dari produksi mikroorganisme maupun sintetik yang berperan/berfungsi/bekerja secara dinamis dengan membentuk komplek yang reversibel bersama kation untuk memfasilitasi transport ion tertentu melintasi membran biologis. Jadi, definisi ionofor sangat berbeda dengan antimikroba (baik berupa antiviral, antibiotik/antibakterial, antiprotozoal ataupun antifungal).

Definisi antimikroba mengacu pada jenis/sasaran target mikroorganismenya, sedangkan definisi ionofor mengacu pada mekanisme/cara kerja dari suatu zat/molekul obat tersebut.
Konsekuensinya, ionofor dapat berupa antibiotik/antibacterial apabila digunakan untuk bakteri, namun juga dapat berupa antiprotozoal, apabila digunakan untuk protozoa, bahkan dapat juga jika digunakan pada jenis mikroorganisme lainnya.

Pada tataran praktis di lapang, ionofor seperti monensin digunakan untuk imbuhan pakan dengan 
sasaran bakteri rumen pada sapi, terutama di USA. Pada kondisi ini maka monensin adalah antibiotik/antibakterial dengan cara kerja masuk dalam kategori ionofor.

Adapun monensin yang digunakan pada ayam (diberbagai belahan dunia) sebagai imbuhan pakan dengan sasaran Eimeria (koksidia). Pada kasus ini, monensin adalah antiprotozoal (khususnya antikoksidia) dengan cara kerja masuk dalam golongan ionofor.

Jadi, kalau ada pihak atau individu yang bersikukuh bahwa ionofor adalah antibiotik maka sesungguhnya kesalahannya sangat fatal, karena tidak memahami secara konseptual (teoritis) dan praktis (empiris) di lapangan. Kesalahan tersebut lebih cenderung karena terbatasnya informasi dan pengetahuan semata, semoga setelah penjelasan ini dapat rujuk dan menempatkan (masing-masing pengertian penggolongan obat tersebut).

Pada tataran legal formal sesuai Permentan No. 14 tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan juga sudah sangat jelas.

Pada Bab I, Pasal 1, ayat 14, disebutkan: “Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme secara alami, semisintetik maupun sintetik yang dalam jumlah kecil dapat menghambat atau membunuh bakteri”. Definisi sesungguhnya serupa atau selaras dengan definisi yang kami jelaskan pada poin (i) dan (iii), yaitu antimikroba untuk bakteri, sehingga disebut antibiotik/antibakterial.

Pada Bab II, Bagian Kelima, Pasal 16, disebutkan (intinya adalah): “Obat hewan yang dilarang penggunannya sebagai antibiotik imbuhan pakan (feed additive)”. Jadi sangat jelas bahwa yang dilarang adalah antibiotik dan bukan antikoksidia. Cobalah dikembalikan kepada definisi yang telah ditetapkan pada Bab I, Pasal 1, ayat 14.

Lampiran I: Disana dijelaskan bahwa antibiotik (nomor 1) terbagi atas antibakteri (nomor 1.a), antimikobakterium (nomor 1.b-sesungguhnya ini jugan termasuk bakteri), antifungal (nomor 1.c). Nah, lampiran I (nomor 1.c) ini sebenarnya cacat hukum karena bertentangan dengan Bab I, Pasal 1, ayat 14, di mana dengan jelas antibiotik adalah antibakteri. Juga cacat ilmiah, karena fungi sangat jauh berbeda dengan bakteria dan klasifikasi obatnya juga tidak tepat dari sisi kaidah ilmiah. Adapun antiprotozoa di tempatkan pada nomor 3 dan antiparasit pada nomor 2.

Lampiran III: Pada nomor A dijelaskan bahwa “Kelompok obat hewan yang dilarang untuk dicampur dalam pakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk ternak produksi adalah antibiotik”. Dengan demikian, secara keseluruhan bahwa antikoksidia dikecualikan/dikeluarkan dari pelarangan dalam imbuhan pakan secara hukum berdasarkan Permentan No. 14 tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, maupun secara ilmiah dari sisi ilmu kedokteran hewan. Jadi siapapun yang menyatakan antikoksidia dilarang dalam pakan HARUS MENUNJUKKAN DASAR HUKUM DAN ILMIAHNYA, karena pernyataan tersebut sangat jelas melanggar Permentan No. 14 tahun 2017.

Secara hukum tidak ada yang melarang penggunaan antikoksidia dalam pakan. Secara ilmiah, dari sisi klasifikasi penggolongan obat berdasarkan jenis sasaran atau target mikroorganismenya juga tidak dapat dikatakan adanya pelarangan antikoksidia dalam pakan. Namun, kami perlu sampaikan bahwa penggunaan antikoksidia harus mengikuti kaidah ilmiah dan medis yang dapat dipertanggung jawabkan.

Diperlukannya antikoksidia dalam pakan sesungguhnya memiliki alasan yang sama dengan antibiotika dalam pakan. Alasan ilmiah dari permasalahan ini tidak hanya berkaitan dengan kesehatan hewan tetapi juga berkaitan dengan sosioekonomi.

Secara umum dari sisi budidaya dan kesehatan hewan hal ini berkaitan dengan upaya menekan tingkat infeksi. Hal yang harus dipahami terutama pada ayam broiler (pedaging) adalah bahwa ayam yang dipelihara adalah anak ayam, bahkan sampai masa panen pun masih anak ayam. Mereka ini adalah anak ayam bongsor karena otot dan lemaknya yang bertambah besar namun secara fisiologis ia tetap sama dengan anak ayam kampung pada umumnya. Pada kondisi demikian secara imunologis mereka masih sangat rentan/peka terhadap infeksi mikroorganisme.

Adapun pada ayam petelur, umumnya peternak di Indonesia menggunakan sistem kandang terbuka. Sistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan cuaca, serta infeksi dari sekitar kandang. Selain itu, pembatasan gerak pada ayam akan mempengaruhi fisiologi hewan tersebut.

Resultan dari semua itu adalah meningkatnya risiko gangguan fisiologi dan timbulnya penyakit, karena meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Seluruh risiko tersebut salah satunya diminimalisir dengan pemberian antibiotika dan antikoksidia dalam pakan, serta intensifnya vaksinasi.

(Penulis : Drh Didik Tulus Subekti MKes, Ahli Peneliti Madya Bidang Parasitologi dan Mikologi Balai Besar Penelitian Veteriner) 

Artikel diambil dari Rubrik Opini Majalah Infovet edisi 286 -Mei 2018


Nekrotik Enteritis & Koksidiosis: Duet Maut Pembawa Kematian

Siklus hidup koksidia. (Gambar: CR)

Kombinasi atau yang biasa disebut dengan istilah Duet ternyata juga berlaku dalam penyakit unggas. Kita familiar dengan penyakit CRD kompleks sebagai penyakit mematikan pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh infeksi Mycoplasma gallisepticum dan E.coli. Ada pula yang tak kalah mematikan, yakni duet antara Nekrotik Enteritis dan Koksidiosis. Kombinasi keduanya membuat peternak ketar-ketir.

Awal Mula
Jika peternak ditanya “Pak, ayamnya sudah pernah kena koksidiosis atau nekrotik enteritis..?” Semua pasti sepakat menjawab “Aduh, jangan sampai deh”. Koksidiosis dan nekrotik enteritis, keduanya sama-sama “beroperasi” di saluran cerna, utamanya usus. Bedanya yang satu penyebabnya adalah protozoa (Eimeria sp.), yang satunya lagi adalah bakteri (Clostridium perfringens).

Jika membuka kembali buku atau diktat kuliah penyakit unggas, secara keseluruhan ada 12 jenis Eimeria yang dibedakan berdasarkan lokasi lesio, bentuk lesio, bentuk dan ukuran berbagai stadium perkembangan (ookista, schizont, merozoit), lokasi di jaringan dan waktu sporulasinya.

Dari ke-12 jenis Eimeria tersebut ada sembilan spesies yang mampu menginfeksi ayam, yaitu E. acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. necratix, E. mivati, E. mitis, E. praecox, E. tenella dan E. hagani. Namun dari kesembilan spesies Eimeria sp. itu tidak kesemuanya bersifat patogen pada ayam. Ada lima spesies Eimeria sp. yang patogen pada ayam, yaitu E. tenella, E. maxima, E. necratix, E. acervulina dan E. brunetti, kesemuanya menjadi momok bagi peternak.

Hampir senada dengan koksidiosis, nekrotik enteritis juga mengakibatkan kerusakan pada usus, bedanya nekrotik enteritis adalah penyakit bakterial yang bersifat sporadik pada ayam yang disebabkan infeksi Clostridium perfringens tipe A dan tipe C. Seperti yang disebutkan di atas tadi, di lapangan kasus koksidiosis dan nekrotik enteritis sering berjalan beriringan.

Hal ini bisa terjadi karena saat koksidia menyerang terjadi perdarahan dan kerusakan jaringan pada ileum yang mentrigger adanya kolonisasi bakteri anaerob, yaitu Clostridium perfringens. Adanya kolonisasi bakteri anaerob tentunya berlanjut dengan serangan nekrotik enteritis atau kematian jaringan usus.

Tak Kenal Ampun
Technical Education & Consultation PT Medion, Drh Christina Lilis, menyatakan bahwa kedua penyakit yang sering “hangout bareng” ini benar-benar mematikan. “Kalau sudah kena penyakit ini akan benar-benar merepotkan, terutama koksidia, karena protozoa itu berbeda dengan bakteri dan virus, jadi agak susah dieradikasi,” katanya.

Ia melanjutkan, secara normal di dalam usus ayam yang sehat terdapat bakteri C. perfringens sebagai bakteri komensal (tidak menyebabkan terjadinya outbreak penyakit). Namun, hubungan ini bisa berubah menjadi parasitisme disaat kondisi ayam sedang buruk atau tidak fit dan didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak nyaman (tantangan agen penyakit, stress, dll), maka wabah nekrotik enteritis dapat terjadi. Pada ayam yang mati karena NE, jumlah C. perfringens yang dapat diisolasi pada usus ialah > 107-108 CFU per gram isi usus, sedangkan jumlah bakteri C. perfringens di dalam usus ayam pedaging yang sehat berkisar 0-105 CFU tiap gram isi usus.

Jika berbicara mengenai kerugian, serangan koksidiosis (apalagi berkombinasi dengan nekrotik enteritis) adalah jagonya. Tingkat kematian yang disebabkan penyakit ini bisa mencapai 80-90% dari total populasi pada ayam broiler, selain itu produksi telur pada layer sudah pasti terganggu. Seakan tidak puas sampai di situ, serangan koksidiosis juga akan menimbulkan efek imunosupresif yang menjadikan ayam rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Bagaimana bisa sampai imunosupresif? Lilis lebih lanjut menerangkan. Hal pertama yang terjadi adalah kerusakan pada jaringan mukosa usus menyebabkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi tidak optimal. Akibatnya, terjadi defisiensi nutrisi pembentukan antibodi jadi terganggu.

Kedua Peyer's patches dan caeca tonsil (organ pertahanan di mukosa usus) mengalami kerusakan, jika kedua organ ini rusak akan mengakibatkan ayam lebih rentan terinfeksi penyakit lainnya. Ketiga, di sepanjang jaringan mukosa usus terdapat jaringan limfoid penghasil antibodi (IgA), di mana IgA tersebut akan terakumulasi di dalam darah. Kerusakan mukosa usus akan mengakibatkan keluarnya plasma dan sel darah merah, sehingga kadar IgA sebagai benteng pertahanan di lapisan permukaan usus pun menurun. “Sudah menyebabkan kematian, produksi turun, imunosupresif, kurang mengerikan apalagi coba duet penyakit ini?,” ucap Lilis. *** (CR)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Pengendalian NE dan Coccidiosis Jaman Now

Gambaran lokasi kejadian koksi. (Gambar: Sumarno)

Overview
Kebijakan berbagai negara termasuk Indonesia terkait dengan pelarangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP) telah berlaku sejak Januari 2018. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017. Pro dan kontra terkait kebijakan ini telah terjadi di masyarakat bahkan sebelum kebijakan tersebut berlaku, mengingat selama ini AGP sangat jamak digunakan oleh masyarakat (peternak) untuk meningkatkan performa unggas.

AGP secara umum digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen dalam usus dan biasanya spesifik mengarah ke bakteri gram positif, yaitu bakteri Clostrodium perfringens. Bakteri ini adalah agen penyebab penyakit Necrotic enteritis (NE). Dengan dilarangnya penggunaan AGP maka kemungkinan besar kemunculan penyakit ini akan semakin sering terjadi. Menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) menyatakan bahwa kejadian NE meningkat setelah dilarangnya penggunaan antibiotik sebagai AGP. Masih menurut Paiva D., and McElroy A J. (Appl. Poult. Res. 23: 557-566) bahwa kejadian NE yang bersifat sub-klinis menyebabkan kerugian ekonomi lebih besar. Fenomena kejadian NE seperti fenomena gunung es, di mana yang bersifat sub-klinis justru lebih besar dibandingkan dengan klinis. Kejadian NE sub-klinis ditandai dengan ayam tampak tidak sehat, ADG yang tidak tercapai dan feed conversion yang buruk.

NE-Koksidiosis dan Dampak Ekonominya
Kemunculan NE pada broiler tidak bisa lepas dari infeksi parasit awal yakni coccidiosis. Gejala jika dilihat dari ekskreta yang di keluarkan broiler pun hampir sama cirinya, yakni cenderung berdarah. Infeksi awal NE pada saluran pencernaan akan mengikuti setelah koksi yang akan menyerang terlebih dahulu dan biasanya di sekitar duodenum. Masuknya koksi, akan menembus vili-vili usus. Banyaknya sel usus yang rusak merupakan pintu bagi masuknya Clostridium perfringens, serangannya pun tak tanggung-tanggung, yakni sepanjang usus itu sendiri. Kasus yang terjadi pada broiler lebih banyak disebabkan oleh buruknya manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang, kepadatan yang berlebihan, serta buruknya sirkulasi udara yang mengakibatkan sekam basah.

Menurut Van der Sluis, W. 2000, dalam “Clostridial enteritis is an often underestimated problemWorld Poultry. 16 (7): 42-43, menyatakan bahwa kerugian ekonomi  yang diakibatkan oleh NE dan koksidiosi adalah US$ 0,05 (setara Rp 500) tiap ekornya. Kerugian besar ini disebabkan karakter NE yang menimbulkan kerusakan jaringan (nekrosis) usus, sehingga menghalangi proses penyerapan nutrisi pakan dalam saluran digesti. Dampaknya, konsumsi pakan yang merupakan porsi terbesar dalam biaya produksi dan belakangan harganya menggila tidak sanggup oleh tubuh dikonversi menjadi daging. Alhasil, pertumbuhan lambat, FCR pun membengkak. ***

Drh Sumarno Wignyo
Senior Manager Poultry Health
PT Sierad Produce, Tbk

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Benarkah Koksidiosis Masih Mengancam Peternak Ayam Ras Komersial

Serangan koksi dapat menyebabkan tingkat mortalitas tinggi. (Sumber: Google)

“Menjaga infestasi parasit Coccidia sp., di puncak teratas dalam manajemen kesehatan unggas merupakan satu hal penting agar dapat terhindar dari Koksidiosis,” demikian disampaikan Jake Davies yang dikutip dari laman poultryworld.net. Pernyataan Jake Davies membuka mata pembudidaya unggas komersial dunia akan pentingnya menjaga kebersihan kandang, baik di dalam maupun di luar kandang.

Kebersihan kandang dan peralatannya menjadi topik hangat dari beragam diskusi semi-ilmiah sampai ilmiah, sehingga tidak sedikit para pemerhati bidang produksi ternak unggas melakukan kajian terkait dengan korelasi kebersihan kandang dengan kejadian berbagai penyakit.

Sebuah laporan hasil penelitian menyebutkan bahwa kandang dengan tingkat kebersihan minimal, ternaknya lebih mudah dijangkiti oleh beragam bibit penyakit jika dibandingkan dengan kondisi kandang dengan tingkat kebersihan maksimal. Hal inilah yang mengantarkan statement Prof Drh Ekowati Handharyani PhD APVet, bahwa semua bibit penyakit merupakan ancaman bagi pembibit, pembudidaya ataupun pemelihara unggas komersial, seperti ayam ras pedaging dan petelur.

“Ancaman penyakit itu tidak hanya dari Coccidia sp., saja, namun dari beragam virus dan bakteri dapat menjadi ancaman bagi peternak,” kata Prof Ekowati mengawali diskusinya dengan awak Infovet.

Menurut dia, sebagai negara yang beriklim tropis, Indonesia disebut sebagai surganya bagi mikroorganisme, baik yang patogen maupun non-patogen. Hal ini berarti bahwa kondisi lingkungan usaha peternakan komersial dapat dikatakan tidak aman karena bibit penyakit dapat mengancam kapan saja.

Pembicaraan terkait dengan penyakit di dunia perunggasan tidak pernah habis. Hal ini disebabkan karena sektor perunggasan merupakan sektor inti yang mendukung penyediaan bahan pangan hasil ternak, bernutrisi tinggi dan disukai hasil olahannya oleh semua kalangan konsumen.

Sebagai ternak yang disebut memiliki potensi gen pertumbuhan terbaik, ayam ras komersial harus dipelihara pada kondisi lingkungan luar dan dalam kandang yang sesuai, pakan yang cukup dan bernutrisi tinggi, serta minimum paparan mikroorganisme patogen. Ada banyak mikroorganisme patogen yang dapat menyerang unggas dalam tatanan budidaya, baik komersial maupun non-komersial, seperti bakteri, fungi, virus maupun dari jenis parasit. Salah satu parasit yang sering menggerogoti usaha peternakan ayam ras komersial adalah protozoa Coccidia sp., sebagai penyebab penyakit koksidiosis pada unggas.

Koksidiosis dan Heat Stress
Menurut Michels et al. (2011), koksidiosis merupakan penyakit umum terpenting pada unggas yang menyerang intestinal yang disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Eimeria. Penyakit yang terkenal dengan istilah berak (feses) darah ini merupakan penyakit parasiter yang dapat mengganggu saluran pencernaan bagian aboral. Kerusakan bagian ini biasanya dapat terlihat dari gejala yang muncul, yakni diare yang diikuti oleh dehidrasi, yang dapat berakhir dengan kematian. Menurut Retno et al. (1998) dan Tabbu (2002), angka kesakitan ayam yang terpapar protozoa genus Eimeria dapat mencapai 100% dari populasi, sedangkan angka kematian dapat berkisar 80-90% dari total populasi di kandang. Tingginya angka kematian ini menyebabkan trauma atau ketakutan bagi peternak terhadap koksidiosis dimaksud.

“Koksidiosis itu sebenarnya adalah penyakit umum pada unggas termasuk ayam ras komersial yang dapat dijumpai di negara beriklim tropis, memiliki dua musim, panas dan musim hujan, dengan kelembaban yang ekstrim, menjadi tempat yang disukai oleh banyak bibit penyakit untuk tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat,” tambah Prof Ekowati.

Prof Ekowati yang juga Alumni Program Doktoral Graduate School of Veterinary Medicine Hokkaido University Jepang ini, juga menyebut protozoa genus Eimeria menyukai daerah-daerah dengan temperatur tinggi, namun kelembabannya rendah. Munculnya kasus koksidiosis biasanya dipicu oleh kondisi ayam yang dipelihara, di samping kondisi lingkungan kandang yang juga dapat mendukung berjangkitnya penyakit.

Merujuk pada buku yang ditulis oleh Nuhad J. Daghir berjudul “Poultry Production in Hot Climates” edisi kedua yang terbit pada 2008, dijelaskan bahwa stress menjadi faktor predisposisi penyakit tertinggi pada unggas khususnya di daerah-daerah beriklim panas. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tabbu (2000), bahwa stress terutama heat stress berdampak jelek pada ayam ras komersial. Dampak tersebut dapat berupa turunnya intake pakan, sehingga produksi optimal tidak dapat dicapai. Di samping itu, stress diduga juga dapat menurunkan sistem imun, sehingga ayam dapat dengan mudah terpapar oleh bibit penyakit.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Mashaly MM et al. (2004) yang dimuat di Poultry Science 83: 889-894, menyebutkan bahwa ayam ras petelur pada kelompok yang di-treatment dengan heat stress menunjukkan terjadinya penurunan jumlah sel darah putih dan produksi antibodi secara signifikan. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pada kondisi heat stress, angka kematian jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi un-heat stress, hal yang sama untuk produktivitas berupa produksi telur dan mutu dari telur yang diproduksi, lebih jelek dari ayam ras petelur pada kondisi un-heat stress. Hal ini berarti bahwa heat stress tidak hanya dapat memengaruhi kinerja produksi, namun juga dapat menghambat fungsi kekebalan tubuh ayam ras petelur, sehingga ayam ras petelur dan/atau unggas lainnya mudah dipapari oleh bibit penyakit.

Terkait dengan kondisi tersebut, peternak sejatinya harus paham dan cepat tanggap, bagaimana menurunkan atau menghambat terjadinya stress pada ayam komersial yang dipeliharanya. “Jika stress dapat membuka jalan bibit penyakit masuk ke dalam tubuh ternak, maka peternak seharusnya dapat menjaga ternak yang dipeliharanya untuk tidak stress,” kata Prof Ekowati. (Sadarman)


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Mei 2018.

Rupiah Terus Melemah, Daging Ayam Melambung

Kurs dolar menguat terhadap rupiah pengaruhi harga daging ayam


Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS sedari 8 Mei lalu hingga hari ini berada di angka Rp 14.025, membawa dampak naiknya harga pakan ternak. Kenaikan harga pakan ini merembet hingga harga daging ayam dan telur pun ikut melambung.

Kementerian Pertanian menyatakan harga daging ayam ras segar mengalami kenaikan karena dipengaruhi naiknya harga pakan ternak yang dipicu penguatan kurs dolar terhadap rupiah.

Kepala Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, Agung Hendardi mengakui terjadi kenaikan harga untuk dua komoditas pangan tersebut pada 2-3 hari belakangan ini.

Hal tersebut dikemukakan Agung pada Diskusi Forum Merdeka Barat (FMB) 9 di Kementerian Kominfo Jakarta, Jumat (11/5/2018). Dia menegaskan komoditas pangan menjelang Ramadhan tidak mengalami kenaikan harga, kecuali daging ayam dan telur.

"Saya akui daging ayam dan telur naik karena harga pakan juga naik. Karena dolar menguat, harga pakan naik mencapai 100 sampai 150 rupiah per kilogram," kata Agung.

Ia memaparkan naiknya harga pakan ternak, khususnya dari konsentrat yang masih impor, menyebabkan kenaikan ayam DOC (day old chicken) sebesar Rp 500 per ekor. Kenaikan daging ayam ras dari Rp 32.000 per kg menjadi Rp 36.000 per kg.

Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga telur naik sekitar Rp300 per Kg dari dua hari lalu, yakni semula Rp25 ribu per Kg menjadi Rp25.300 per Kg. Pada 3 Mei 2018 lalu, harga telur ayam masih Rp24.200 per Kg.

Data PIHPS Nasional per 11 Mei 2018, harga rata-rata nasional daging ayam ras segar mencapai 35.700 per kg. Harga terendah terdapat di Sulawesi Selatan sebesar Rp27.100 per kg, sedangkan 
harga tertinggi daging ayam ras segar di Kepulauan Bangka Belitung mencapai Rp47.150 per kg.

Sementara itu, harga rata-rata telur ayam ras segar per 11 Mei 2018, sebesar Rp25.250 per kg. Harga terendah telur terdapat di Sumatra Utara sebesar Rp19.650 per kg, sedangkan harga tertinggi di Papua mencapai Rp36.150 per kg.

Dalam menstabilkan harga dan pasokan, Agung menambahkan, sjumlah langkah sinergis yang dilakukan Kementan bersama Bulog dan Kementerian Perdagangan. Langkah tersebut antara lain menggelar bazar pasar murah, monitoring harian, dan pasar e-commerce bahan pangan pokok. (NDV/berbagai sumber).



Stok Pangan Aman Jelang Puasa dan Lebaran

Dirjen PKH, I Ketut Diarmita. (Foto: Ridwan)

Melalui Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, pemerintah menegaskan ketersediaan telur dan daging ayam cukup menjelang Puasa dan Idul Fitri 2018. Hal tersebut ia sampaikan saat konferensi pers di kantornya, Jumat (11/5).

Ia menyampaikan, berdasarkan prognosa ketersediaan, produksi daging ayam 2018 sebesar 3.565.495 ton, sedangkan kebutuhan konsumsi sebesar 3.047.676 ton, sehingga terjadi surplus sebanyak 517.819 ton. “Khusus untuk bulan Puasa dan Lebaran yang jatuh pada Mei dan Juni 2018, diperoleh ketersediaan daging ayam sebanyak 626.085 ton dengan kebutuhan konsumsi sebanyak 535.159 ton, sehingga terjadi surplus sebanyak 90.926 ton,” kata Ketut.

Ia melanjutkan, sama halnya dengan ketersediaan telur ayam yang juga kelebihan pasokan nasional sebesar 202.195 ton, karena produksi 2018 sebanyak 2.968.954 ton dengan jumlah kebutuhan konsumsi 2.766.760 ton. Khusus untuk ketersediaan telur selama bulan Puasa dan Lebaran terdapat produksi sebesar 521.335 ton dan jumlah kebutuhan sebanyak 485.831 ton. “Sehingga ada kelebihan stok sebanyak 35.504 ton. Dan kita harapkan harganya stabil terjangkau, jika naik pun diharapkan tidak terlalu tinggi,” tambahnya.

Dalam konferensi yang dihadiri oleh beberapa pelaku usaha ini, Ketut meminta kerjasama untuk menjaga kestabilan harga, agar tercipta iklim usaha yang sehat dan suasana tenang. Para pelaku usaha juga meyakinkan pemerintah tidak ada kenaikan harga DOC FS dan kenaikan harga ayam, daging ayam, maupun telur selama bulan Puasa dan Lebaran. Adapun Isu kelangkaan dan kenaikan harga DOC FS karena ulah oknum yang memanfaatkan situasi.

Menurut Ketua Peternak Layer Nasional (PLN), Musbar, pelaku usaha siap mendukung dan ikut menjaga harga daging dan telur ayam tetap stabil menjelang hari besar keagamaan. “Ketersediaan telur cukup untuk memenuhi kebutuhan selama Puasa dan Lebaran,” katanya.

Sementara, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Sugiono, mengimbau untuk bisa bersinergi bersama-sama dalam memajukan industri perunggasan. “Para pelaku usaha dan asosiasi perunggasan bisa berperan aktif menjaga stabilitas harga dan ketersediaan, sehingga masyarakat dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk,” ucapnya. Pihaknya juga sudah mempersiapkan beberapa titik operasi pasar yang dapat dimanfaatkan pelaku usaha untuk ikut memperlancar distribusi dan mendukung stabilisasi harga.

Selain daging dan telur ayam, sebelumnya Kementan juga memastikan pasokan daging sapi menjelang Puasa dan Idul Fitri aman terkendali. Pasokan daging dipenuhi dari sapi bakalan siap potong yang tersedia sebanyak 165.228 ekor atau setara 31.491 ton daging. Kemudian impor daging sapi dari Australia, New Zaeland, Amerika Serikat dan Spanyol sudah tersedia 12.531 ton, lalu stok daging kerbau India sebanyak 3.948 ton di Bulog. “Jadi setelah di total (Mei-Juni) kita surplus ketersediaan daging sebesar 7.034 ton,” kata Ketut, Selasa (8/5).

Ia menambahkan, “Selain itu, kita juga sudah merekomendasikan Bulog untuk impor daging kerbau sebanyak 50 ribu ton, tinggal menunggu implementasinya. Dan dengan hadirnya impor itu kita sudah sangat aman (Puasa dan Lebaran)”.

Soal keamanannya, lanjut ketut, pihaknya bekerjasama dengan Satgas Pangan Mabes Polri untuk menjaga situasi hari besar keagamaan. “Agar umat muslim bisa menjalankan ibadah dengan tenang dan nyaman,” pungkasnya. (RBS)

Aksi Cerdas Antisipasi Koksi



Pakar ilmu penyakit parasiter dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada ( FKH UGM) Yogyakarta Dr Drh Dwi Priyo Widodo, MP mengungkapkan bahwa problema utama wabah penyakit koksidiosis atau berak darah pada ayam ras erat terkait dengan stress, pakan dan manajemen. Oleh karena itu, upaya yang bersifat antisipasif dan bersifat mencegah adalah langkah yang paling utama dan terbukti membuahkan hasil nyata yang lebih pasti.

Untuk itu program biosekuriti yang benar dan baik adalah salah satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Khusus untuk menghadapi sergapan penyakit pada saluran pencernaan, yang “sangat membandel” maka pilihan koksidostat adalah kunci penting yang kedua.

Terlebih organisme penyebabnya yakni Eimeria (E) necatrix dan E. tenella umumnya selalu menunjukkan gejala nyata atau bersifat klinis. Hal ini menjadi pedoman dasar yang mutlak untuk dipertimbangkan oleh para pengelola kesehatan ayam di lapangan. Sedangkan jenis yang lain pada umumnya bersifat sub klinis seperti E. maxima dan E. acervulina. Demikian rekomendasi Dwi Priyo ketika memaparkan materi tentang koksidiosis pada saat seminar di UGM, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Perihal stress pada ayam yang terkait dengan timbulnya wabah penyakit berak darah pada kejadian di lapangan, menurutnya juga akibat dari perubahan  jenis pakan dan suhu lingkungan yang ekstrim, serta tindakan potong paruh.

Khusus masalah perubahan jenis pakan, hal itu adalah suatu menejemen yang jelas nyata dan diketahui akan adanya dampak sesudahnya. Akan tetapi umumnya para penanggung jawab di lapangan selalu menganggap remeh dan ringan. 

Stress yang muncul itu tidak selalu berkait dengan rentetan yang berubah dari kualitas pakan yang baik ke kualitas kurang baik/buruk saja. Namun, juga akibat sebaliknya, dapat menyebabkan hal yang sama. Menurutnya pria kelahiran Bantul 29 Januari 1969 itu, bahwa persoalan penyakit berak darah pada ayam komersial jauh lebih tinggi prevalensinya dibanding ayam di farm pembibitan. Hal ini karena program biosekuriti yang diterapkan farm pembibitan lebih ketat dan pengawasan yang lebih intensif.

Seperti diketahui ada beberapa spesies dari eimeria, diantaranya E. tenella, E. acervulina, E. mitis, E. maxima, E. mivati, E. praecox dan E. hagani. Setidaknya ada dua yang paling sering membuat ulah dan masalah yang sangat merepotkan peternak ayam komersial, yakni E. tenella dan E. necatrix. Keduanya sangat patogen dan lebih banyak membawa akibat yang sangat merugikan. *** (iyo)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Juni 2018.

Infovet Selenggarakan Annual Meeting dan Familly Gathering

Sesuai dengan rencana kerja yang telah disusun awal tahun 2018, Majalah Infovet menyelenggarakan annual meeting di kantor Infovet 11 Mei dilanjutkan dengan acara familly gathering PT Gallus Indonesia Utama tanggal 12-13 mei di pulau Tidung, kepulauan Seribu. Acara ini sekaligus dalam rangka ulang tahun Infovet ke 26.

Acara annual meeting dengan tema "Bersama Membangun Organisasi yang Lebih Tangguh",  diikuti oleh tim Infovet pusat dan wartawan daerah Yogyakarta drh Untung Satriyo, wartawan daerah Jatim Drh Yonathan Rahardjo dan wartawan daerah Riau Sadarman MSi. Wartawan daerah Bali Drh Masdjoko Rudyanto berhalangan hadir karena pada waktu yang bersamaan sudah ada agenda yang tidak bisa ditinggal, berupa kegiatan sebagai narasumber di acara MUI.

Annual meeting dipimpin oleh Manager Infovet Darmanung Siswantoro, dimulai dengan presentasi Dirut PT Gallus Indonesia utama sekaligus Pemimpin Umum Infovet Bambang Suharno, direktur keuangan dan HRD Rakhmat Nuriyanto, kemudian dilanjutkan dengan presentasi materi redaksi oleh Ridwan Bayu Seto dan Nunung Dwi Verawati.

Ridwan menyampaikan materi tentang penulisan artikel liputan, sedangkan Nunung menyampaikan materi tentang teknik penyusunan artikel advertorial.

Sabtu, 12 Mei tim Infovet dan PT Gallus Indonesia Utama beserta keluarga yang jumlahnya 40an orang mengadakan familly gathering ke Pulau Tidung, kawasan wisata di kepulauan seribu.

Rombongan berangkat Sabtu pagi, menempuh perjalanan ke Muara Angke, kemudian naik kapal menuju Pulau Tidung. Acara dimulai dengan acara ramah tamah, kemudian naik sepeda bersama-sama, jalan kaki menyusuri jembatan cinta menuju Pulau Tidung Kecil.
Malam hari, dilakukan acara renungan malam serta barbequa dan acara hiburan antara lain tukar kado, karaoke, baca puisi beberapa hiburan lainnya.

Hari Minggu pagi 13 Mei diisi dengan acara menikmati sunrise, olah raga sepeda, snorkeling, naik banana boat, dan kembali ke Jakarta di sore
hari

Acara ini merupakan acara refreshing yang maknanya tim lebih fresh dan semangat lagi untuk mengejar prestasi terbaik.

Melalui acara ini, diharapkan tim Infovet dan PT Gallus Indonesua Utama semakin solid dan bersemangat untuk meraih prestasi terbaiknya. (Bams)



ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer