Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Sapi Canchim dan Prospek Pengembangannya di Indonesia


Sapi Canchim merupakan sapi potong hasil persilangan dari Brazil yang memiliki proporsi darah sebesar 62,5% Charolais (Bos taurus) dan 37,5% Zebu (Bos indicus) (Andrade et al., 2008). Pada tahun 1922 sampai 1936 pemerintah Brazil mengimpor sapi Charolais untuk program persilangan (crossbreding) dengan sapi Zebu. Beberapa sapi Zebu seperti Gir dan Nelore telah didatangkan ke Brazil sebelumnya sejak akhir abad ke-20 dari India. Sapi Charolais dipilih untuk program persilangan karena mampu beradaptasi dengan baik di wilayah Brazil tengah yang beriklim tropis.

Pada tahun 1940, Dr Antonio Teixeira Viana melakukan pengamatan terhadap sapi-sapi Zebu yang memiliki proporsi darah sapi Charolais berbeda, yaitu 62,5% dan 37,5%. Hasil dari pengamatan tersebut mendapatkan data bahwa sapi Zebu dengan proporsi darah 62,5% Charolais memiliki perdagingan yang baik, tahan terhadap stress panas dan parasit, serta memiliki warna yang seragam. Bangsa sapi Zebu yang digunakan untuk membentuk sapi Canchim umumnya adalah sapi Nelore atau Ongole.

Tahun 1971 dibentuk Brazilian Association of Canchim Cattle Breeders (BACCB), yaitu suatu organisasi peternak sapi Canchim di Brazil dan telah memulai program rekording pada tahun 1972. Pada 1983 Pemerintah Brazil menetapkan sapi Canchim sebagai bangsa sapi (breeds) asli Brazil. Nama Canchim pada sapi ini diambil dari nama pohon yang tumbuh subur di habitat asalnya. Sapi Canchim memiliki warna tubuh yang sama seperti sapi Charolais. Hal itu disebabkan karena proporsi darah sapi Charolais pada sapi Canchim lebih banyak dibandingkan dengan sapi Zebu.

Produktivitas 
Meirelles et al. (2015) melaporkan bahwa berat potong, luas mata rusuk dan tebal lemak punggung pada sapi Canchim masing-masing sebesar 318,78 ± 58,62 kg; 47,50 ± 9,86 cm² dan 2,13 ± 0,78 mm.

Selain itu, pertambahan berat badan harian sapi Canchim jantan pada tahap penggemukan mencapai 1,26 kg/hari dengan persentase karkas sebesar 52,40% (Baldin et al., 2013). Pires et al. (2017) telah melaporkan beberapa sifat produksi pada sapi Canchim, antara lain berat lahir (34,70 kg), berat sapih (202,00 kg), berat setahunan (305 kg) dan umur pertama kali beranak 36,65 bulan. Dari data tersebut terlihat bahwa sapi Canchim memiliki potensi genetik yang baik sebagai sapi potong di Brazil.

Prospek Pengembangan 
Upaya untuk membentuk sapi Canchim di Indonesia sangat memungkinkan, karena salah satu bahan baku persilangan yaitu sapi Zebu tersedia dalam jumlah yang banyak. Beberapa bangsa sapi lokal di Indonesia yang termasuk sapi Zebu adalah sapi Brahman, Aceh, Madura, Peranakan Ongole (PO) dan Sumba Ongole (SO). Sapi PO, SO dan Brahman merupakan tipe sapi yang memiliki ciri fenotip sama seperti sapi Nelore, sehingga dapat digunakan untuk membentuk sapi “Canchim Indonesia” melalui teknik inseminasi buatan (IB) menggunakan sperma beku (straw) sapi Charolais. Sperma beku sapi Charolais telah tersedia di beberapa Balai Inseminasi Buatan (BIB). Sebagai informasi awal, pedet dengan proporsi darah 50% Charolais dan 50% SO yang dipelihara di PT Karya Anugerah Rumpin, Bogor, memiliki berat lahir sebesar 40 kg (jantan) dan 30 kg (betina). Skema persilangan untuk membentuk sapi Canchim bisa dilihat pada gambar yang disajikan dalam artikel ini.


Model persilangan seperti pada sapi Canchim secara teknis dapat dilakukan di Indonesia, karena ketersediaan materi genetik yang sama. Akan tetapi, dalam program persilangan tersebut harus dievaluasi apakah sapi potong dengan proporsi darah seperti sapi Canchim mampu beradaptasi di Indonesia. Selain itu, darah sapi Zebu yang digunakan untuk program persilangan harus dievaluasi, lebih cocok menggunakan sapi PO, SO atau Brahman. Pola persilangan pada sapi Canchim sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut guna mendapatkan tipe sapi potong yang bernilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, kontribusi para breeder di Indonesia dalam membentuk sapi komposit unggul sangat diharapkan agar cita-cita swasembada daging sapi dapat terwujud.

Widya Pintaka Bayu Putra
Peneliti Pemuliaan dan Genetika Ternak
di Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI
widya.putra.lipi@gmail.com

Mahasiswa Fapet Unsoed Raih Prestasi di COAS 2018

Para peraih prestasi dalam COAS 2018 yang diselenggarakan di Fapet Unsoed.
Mahasiswa Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), berhasil memenangkan beberapa perlombaan di Competition of Animal Science (COAS) yang berlangsung di Kampus Fapet Unsoed Purwokerto, 23-25 Maret 2018.

Beberapa lomba di kegiatan COAS berikut juaranya antara lain, untuk kategori Judging juara I (Unsoed), juara II (STPP Magelang) dan juara III (UNS). Kategori lomba debat, juara I (UGM), juara II (Unsoed) dan juara III (UNS). Kategori lomba business plan juara I (Unsoed) dan juara II (Undip). Kategori lomba Essay juara I (Undip), juara II (Unsoed) dan juara III (UGM). Kategori lomba poster juara I (Unsoed), juara II (STPP Magelang) dan juara III (SMK N 1 Wanayasa).

Wakil Dekan III Fapet Unsoed, Dr Yusuf Subagyo, memuji prestasi seluruh mahasiswanya. Ia berharap acara COAS berikutnya para mahasiswa dapat lebih berprestasi lagi.

Acara COAS sendiri diselenggarakan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI) Wilayah III regional Jateng, Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana BEM Fapet Unsoed bertindak sebagai tuan rumah. Seluruh rangkaian acara dikelola oleh mahasiswa Fapet Unsoed. Sebelumnya kegiatan keilmiahanan di organisasi diberi nama TIMPI WIL III (Temu Ilmiah Mahasiswa Peternakan Indonesia Wilayah III). Menurut catatan Kafapet-Unsoed.com TIMPI pertama kali diadakan di Universitas Brawijaya Malang tahun 1988, pada saat itu berkumpul pengurus Senat Mahasiswa Peternakan seluruh Indonesia. Selanjutnya TIMPI diselenggarakan secara reguler di berbagai kampus.

Acara COAS 2018 dibuka langsung oleh Yusuf Subagyo. Kegiatan ini juga sekaligus untuk memeriahkan acara Dies Natalies Fapet Unsoed ke 52 bertajuk “Insan Peternakan Membangun Peradaban”. Acara COAS dihadiri oleh 10 universitas se-Jateng yakni Universitas Gadjah Mada, Universitas Boyolali, Universitas Sebelas Maret, Universitas Wijaya Kusuma, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Tidar, Universitas Mercubuana Yogyakarta, Akademi Peternakan Karanganyar, STPP Magelang. Selain lomba, COAS 2018 juga menyisipkan kegiatan Training Class yang bertemakan Jurnalistik dan mengenai Kepemimpinan. Kegiatan ini juga didukung oleh Charoen Pokphand Indonesia, serta Majalah Poultry Indonesia, Livestockreview.com dan Majalah Infovet sebagai media partner. 

Yusuf mewakili Fapet Unsoed mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang mendukung acara ini, termasuk BBPTU HPT Baturraden yang turut menyediakan beberapa fasilitas. “Semoga dengan diadakannya acara ini dapat menjadikan kekuatan bersama kepada seluruh mahasiswa peternakan Indonesia, civitas akademika, instansi pemerintahan dan pengusaha yang terlibat untuk terus bertekad menjadi insan peternakan yang membangun peradaban Indonesia,“ kata Yusuf. (RBS/INF)

Grand Opening Ceremony, PT. Farmsco Feed Indonesia


Grand Opening Ceremony

PT. Farmsco Feed Indonesia

Peresmian Pabrik Pakan Farmsco Feed Indonesia berlangsung cukup meriah. Dihadiri tak kurang 400 tamu undangan yang terdiri dari para pejabat daerah di Provinsi Banten hingga tingkat kecamatan, juga hadir para customer dan supplyer Farmsco, perwakilan asosiasi bidang peternakan hingga para wartawan media terkemuka.
Kwun Chun Nyun

Dalam sambutan opening-nya Presiden Direktur Farmsco Feed Indonesia, Kwun Chun Nyun menyampaikan sekilas perjalanan bisnis Farmsco sejak dari negeri asalnya, Korea Selatan. “Sejak Mei tahun 1973 di Seoul, Farmsco mulai memproduksi pakan dan kemudian terus berkembang dalam upaya berkontribusi terhadap peningkatan nilai konsumsi dan kualitas suplai protein hewani. Kiprahnya kian nyata setelah menjadi bagaian dari keluarga Harim Group yang merupakan industri peternakan nomor 1 (satu) di Korea Selatan.” Jelas Kwun dalam pidato teks bahasa Indonesia.


PT Farmsco Feed Indonesia yang berdiri di Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten yakin dapat masuk ke pasar Indonesia dengan membawa segala keunggulannya. Menurut Kwun Chun Nyun, ketertarikannya berinvestasi di Indonesia salah satunya dikarenakan ekonomi Indonesia yang terus meningkat setiap tahun, sehingga konsumsi daging ayam pun kian meningkat. Di masa depan, ia memiliki ekspektasi bahwa kenaikan ini akan terjadi beberapa kali lipat.

Kualitas menjadi perhatian yang utama bagi Farmsco sejak awal. “Kami memproduksi pakan berdasarkan pengalaman dari Korea, sehingga kami siap menyediakan produk yang memiliki kualitas tinggi. Saya yakin hal ini dapat mendukung peningkatan usaha serta benefit bagi peternak di sini,” ungkap Kwun.

Pabrik Farmsco Feed Indonesia seluas 8 hektar berkapasitas produksi 40.000 ton per bulan. Untuk saat ini, Farmsco memproduksi pakan ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler), dan breeder yang didukung teknologi dan berbagai fasilitas moderen yang menghasilkan pengolahan pakan terbaik. PT Farmsco Feed Indonesia juga didukung secara penuh oleh divisi Research and Development (R&D) Center dari Korea.

“Produksi awal kita sudah melebihi target dari yang direncanakan. Kita berharap kedepan lebih mendapat kepercayaan dari customer,” ungkap Lee Kang Cheol, Production Director PT Farmsco Feed Indonesia. Awal tahun 2018 menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh industri pakan di Indonesia terhadap penerapan bebas penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP free) dalam pakan. Kwun berujar, bahwa pakan produksinya yang di Korea sudah AGP free empat tahun lalu. Sehingga pihaknya sangat paham bagaimana seharusnya menyediakan pakan berkualitas tanpa AGP. “Teknologi ini pula yang akan kami terapkan di produk pakan PT Farmsco Feed Indonesia,” tutur Kwun. Ke depan Farmsco akan mengembangkan pakan untuk ternak unggas lainnya, serta pakan aqua. “Farmsco akan memperluas bisnis yang terintegrasi di Indonesia,” jelas Kwun.
Pengguntingan pita bersama-sama peresmian PT. Farmsco Feed Indonesia
Farmsco No 1 Partner

Banyaknya banner yang tak hanya sekadar menghiasi meriahnya Grand Opening Ceremony Farmsco, nyatanya slogan yang kian merebak di kalangan peternak kini adalah Farmsco No 1 Partner, Everyday With Farmsco. Taglines tersebut tak sekadar janji manis, karena komitmen Farmsco seperti dalam hal “Quality bukan janji tapi pasti” karena “Quality Important, Satisfaction is Our Goal” sehingga apa bila kualitas DOC anda baik, maka dengan pakan Farmsco menjamin “Zero Case Disease”. Dan hal itulah yang membedakan produk-produk pakan Farmsco dibanding poduk pakan yang lain, “Farmsco is Different”.

Terkait taglines tersebut, beberapa pelanggan Farmsco telah membuktikannya. Customer Layer dari Krida Permai Group adalah satu pelaku bisnis peternakan yang telah memberikan testimoni, bahwa pakan Farmsco layak menjadi pilihan utama peternak Indonesia. “Kami siap melayani untuk kepuasan dan keberhasilan usaha bersama para peternak Indonesia,” tegas Kurniawan Eko Santoso, Marketing Manager Farmsco Feed Indonesia.

Banyak Doorprize

Hadiah Utama doorprize berupa sebuah sepeda Motor
Salah satu doorprize berupa hadiah 1 ton pakan
Hadir pada acara tersebut seluruh manajemen Farmsco Feed baik dari kantor pusat Korea Selatan maupun dari Farmsco Feed Indonesia. Hadir pula para pejabat daerah Provinsi Banten dan pejabat Kabupaten Serang, serta Kepala Dinas Peternakan. Selain jamuan yang komplet, acara Grand Opening ditutup dengan pengundian Doorprize, antara lain berupa: Paket Cosmetics Produk Korea, Produk 1 ton Pakan, Hand Phone Samsung serta hadiah utama berupa sepeda motor Supra X 125 F1.(Adv/DS)


Indeks Obat Hewan versi Online

Kabar gembira untuk Anda. Menyambut usulan dan saran para pembaca, buku Indeks Obat Hewan Indonesia (IOHI) kini terbit dalam versi online. Dengan versi online ini data obat hewan akan terupdate setiap ada produk baru yang terdaftar di Ditjen Peternakan & Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Buku IOHI merupakan satu-satunya buku yang menyajikan daftar obat hewan yang telah mempunyai nomor registrasi dari Kementan, daftar alamat produsen/importir/distributor obat hewan, daftar withdrawal time (waktu henti) obat hewan, disertai data instansi pemerintah Lingkup Kementerian Pertanian dan instansi lain yang terkait obat hewan.

Bagaimana cara mengaksesnya IOHI versi online?

1. Bagi Anda yang sudah order dan membayar di muka pembelian buku IOHI versi cetak, anda tinggal konfirmasi untuk meminta username dan pasword. Dengan pasword yang Anda pegang, Anda tinggal klik untuk mencari produk yang dibutuhkan sesuai kategori produk obat hewan. Password tersebut berlaku sampai buku edisi cetak sudah terbit.

2. Bagi Anda yang hanya membutuhkan data indeks obat hewan versi online, Anda cukup membayar 150.000 untuk mengakses IOHI selama setahun. (ini harga promo, harga normalnya Rp. 300.000)

3. Bagi anda yang butuh akses IOHI versi online selama setahun sekalgus  buku IOHI edisi cetak, cukup membayar 300.000 (belum termasuk ongkos kirim).

Berikut ini perbedaan IOHI versi online dengan versi cetak:
- Edisi cetak terbit 2 tahun sekali, artinya update data hanya 2 tahun sekali.
- Edisi online diupdate setiap ada produk baru yang terdaftar di Kementan atau ada produk yang dicabut no registrasinya.

IOHI edisi online bisa dibuka di www.indeksobathewanindonesia.com, menampilkan data obat hewan sesuai dengan pembagian kategori yang ada di IOHI versi cetak. Jika membaca IOHI versi online, Anda bisa print out sesuai kebutuhan.

Pembayaran melalui :
Bank Mandiri
No rek. 126.000 207 4119 
a/n PT Gallus Indonesia Utama

Jika ada yang kurang jelas atau mau langsung order silakan telp/wa ke  08568800752 (Wawan) dan 08561555433 (Aris) 

Munas IDHKI Berlangsung Semarak


Musyawarah Nasional (Munas) ke-6 Ikatan Dokter Hewan Karantina Indonesia (IDHKI) diselenggarakan pada Jumat, 23 Maret 2018 di IPB International Convention Center, Bogor. Kegiatan Munas IDHKI berlangsung semarak dengan dihadiri 250 dokter hewan karantina Tanah Air.

Salah satu agenda Munas adalah memilih ketua IDHKI periode 2018-2022. Terpilih Drh Mulyanto MM sebagai Ketua IDHKI periode 2018-2022 menggantikan Drh Sri Yusnowati. Drh Mulyanto MM dikenal sebagai mantan Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani yang kini digantikan Drh Agus Sunanto MP. 

Drh Mulyanto MM (nomor 4 dari kiri), ketua terpilih IDHKI

Drh Nuryani Zainudin MSi selaku Ketua Panitia Munas IDHKI ke-6 mengatakan, kesuksesan kegiatan ini tidak terlepas dari kerjasama seluruh panitia dan dukungan penuh dari Badan Karantina Pertanian.

“Selain menyusun rancangan kode etik, program kerja, dan anggaran, kami berharap akan terpilih ketua baru yang nantinya membawa IDHKI ke dalam perjuangan sebesar-besarnya serta memberi manfaat bagi seluruh anggota dan masyarakat,” jelas Nuryani.  

Dalam Munas kali ini juga terdapat acara pemberian anugerah IDHKI untuk tiga anggotanya yang berdedikasi dalam penerapan peraturan karantina secara konsisten sekaligus koordinasi yang baik dengan instansi/mitra terkait. Ketiga penerima IDHKI Award tersebut antara lain Drh Emmy Krismarwati (BBKP Surabaya), Drh Ahmad Nadif (SKP 1 Parepare), dan Drh Asep Sudrajat (SKP Kelas 1 Ambon).

IDHKI merupakan organisasi non-teritorial dan berada di bawah organisasi PDHI. Dikukuhkan pada kongres PDHI XIII di Lampung, tahun 1998. (NDV) 

Arah Pembangunan Peternakan Indonesia, Menuju Swasembada Protein Hewani


Oleh: Drh I Ketut Diarmita MP
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional, pembangunan pertanian khususnya pada sektor peternakan pada intinya bertujuan untuk mencapai ketahanan pangan melalui penyediaan protein hewani asal ternak. Hal ini perlu diketahui publik khususnya insan pelaku usaha peternakan.

Indonesia akan menuju Swasembada Protein Hewani. Sumber protein hewani yang dikonsumsi masyarakat kita, berasal dari keanekaragaman ternak, tidak semata-mata bersumber dari daging sapi dan kerbau. Penguatan peningkatan produksi dan reproduktivitas selain sapi dan kerbau, kita juga mendorong bertumbuh kembangnya ternak kecil seperti kambing, domba, kelinci, unggas, sapi perah dan ikan.

Selaku Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Saya berpandangan, ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengaksesnya (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.

Terkait penyediaan protein hewani asal ternak, saat ini Indonesia telah mencapai swasembada daging ayam, bahkan telah mampu mengekspor telur ayam tetas (hatching eggs) ke Myanmar dan telah mengekspor daging ayam olahan ke Papua New Guinea.

Pemerintah Jepang dan Timor Leste juga telah menyetujui Indonesia untuk mengekspor daging ayam olahan ke negaranya, tinggal menunggu realisasi. Pemerintah terus melakukan upaya untuk membuka negara baru tujuan ekspor daging ayam olahan, untuk mencegah terjadinya kelebihan pasokan daging ayam di dalam negeri.

Sementara itu, untuk komoditas kambing dan domba, saat ini Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sedang proses persiapan ekspor ke Brunei Darussalam dan Malaysia.

Pemerintah terus mendorong masyarakat untuk diversifikasi konsumsi protein hewani, jadi tidak hanya menkonsumsi daging sapi atau kerbau saja, bisa daging ayam, telur, daging kambing/domba dan kelinci, bahkan ikan yang jumlahnya sangat melimpah. 

Esensi Upsus Siwab
Guna memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dan tercapainya swasembada protein hewani nasional, dilaksanakan percepatan peningkatan populasi sapi/kerbau. Ketersediaan produksi daging sapi lokal tahun 2018 belum mencukupi kebutuhan nasional. Prognosa produksi daging sapi di dalam negeri tahun 2018 sebesar 403.668 ton, namun perkiraan kebutuhan daging sapi di dalam negeri 2018 sebesar 663.290 ton. Sehingga kebutuhan daging sapi baru terpenuhi 60,9% dari daging sapi di dalam negeri.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri selama ini 98% berbasis peternakan rakyat. Peternakan sebagai lokomotif pembangunan pertanian adalah suatu keniscayaan apabila 4.204.213 Rumah Tangga Peternak/RTP (Sensus Pertanian 2013) yang menguasai lebih dari 98% ternak di Indonesia tersebut diorganisasi dan dikonsolidasikan dengan baik.

Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan pembiayaan di sub sektor peternakan khususnya sapi, diantaranya dengan memperbesar alokasi anggaran untuk peternakan sapi, di mana sejak 2017 alokasi APBN difokuskan kepada Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Dengan program yang dijalankan pemerintah, diharapkan produktivitas sapi lokal bisa meningkat.

Esensi Upsus Siwab adalah merubah pola pikir petani ternak kita, yang cara beternaknya selama ini masih bersifat sambilan, menuju kearah profit atau menguntungkan bagi dirinya. Sesungguhnya dalam roadmap pembangunan peternakan di Indonesia telah tertuang sasaran utama pengembangan sapi tahun 2045. Kita berupaya terus secara sungguh-sungguh untuk terwujudnya Indonesia sebagai lumbung pangan Asia.

Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 akan dicapai melalui empat tahapan: 1) Swasembada dan Rintisan Ekspor akan dicapai pada 2022, 2) Ekspor akan dicapai pada 2026, 3) Pemantapan ekspor akan dicapai pada 2035, 4) Lumbung Pangan Asia akan dicapai pada 2045. Kebijakan pengembangan sapi adalah peningkatan populasi, sehingga share produksi daging lokal meningkat, meningkatnya kemampuan ekspor dan bertambahnya usaha sapi berskala komersil.

Pondasi untuk menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber produksi. Program Upsus Siwab yang diawali pada 2017, dengan target kebuntingan sapi/kerbau tiga juta ekor, dari aseptor sebanyak empat juta ekor.

Program tersebut diatur dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/ PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting yang ditandatangani Menteri Pertanian pada 3 Oktober 2016. Upaya ini dilakukan sebagai wujud komitmen pemerintah dalam mengejar swasembada daging yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo tercapai pada 2022, serta mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam pemenuhan pangan asal hewan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat.

Upsus Siwab 2018 dilaksanakan melalui strategi optimalisasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di 34 provinsi yang dibagi menjadi tiga bagian, 1) Daerah sentra sapi yang pemeliharaan dan IB-nya sudah dilaksanakan secara intensif, yaitu Jawa, Bali dan Lampung. 2) Daerah sentra peternakan dengan sistem pemeliharaan semi intensif (Sulawesi Selatan, Sumatera dan Kalimantan). 3) Daerah ekstensif yang tersebar di Provinsi NTT, NTB, Papua, Maluku, Sulawesi, NAD dan Kalimantan Utara. Tujuh provinsi yang menjadi tumpuan Upsus Siwab yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Upaya mewujudkan capaian tersebut yaitu Pertama, melakukan sosialisasi tentang program dan kegiatan tersebut baik pada jajaran pemerintah, akademisi, swasta dan masyarakat peternak. Kemudian mendorong kinerja petugas teknis di lapangan dengan melakukan bimbingan teknis pelaporan untuk petugas inseminator. Di samping itu, juga melakukan pelatihan petugas baru dibidang IB (inseminator, PKb dan ATR) dan menyediakan alat dan sarana IB, yaitu semen beku, N2 cair, kontainer, gun, plastik glove dan lain lain, serta menyediakan insentif berupa biaya operasional pelayanan kepada para petugas inseminator, PKb dan ATR.

Kedua, memperkuat aspek perbenihan dan perbibitan untuk menghasilkan benih dan bibit unggul berkualitas dan tersertifikasi dengan penguatan tujuh Unit PelaksanaTeknis (UPT) Perbibitan yaitu BPTU HPT (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Padang Mangatas, BPTU HPT Siborong-borong, BPTU HPT Pelaihari, BPTU HPT Denpasar, BPTU HPT Sembawa, BPTU HPT Baturraden, BPTU HPT Indrapuri, dengan demikian diharapkan adanya peningkatan kualitas genetik dan populasi di masing-masing UPT Perbibitan.

Ketiga, penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas, Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.

Keempat, pengembangan HPT (Hijauan Pakan Ternak) melalui penyediaan lahan/penanaman HPT seluas 338,5 ha pada 2018. Pengembangan HPT untuk pengembangan sapi potong juga dilakukan melalui pengembangan padang penggembalaan dengan target pembangunan seluas 200 ha pada 2018, melalui optimalisasi lahan ex-tambang dan kawasan padang penggembalaan di Indonesia Timur. Selain itu, juga dilakukan pemeliharaan terhadap 600 ha padang penggembalaan yang sudah dibangun oleh Ditjen PKH.

Kelima, penanganan gangguan reproduksi bertujuan untuk mempertahankan jumlah sapi betina produktif, sehingga angka jumlah akseptor yang akan dilakukan IB dan bunting meningkat. Target pelaksanaan gangguan reproduksi sebesar 200.000 ekor. Operasional pendanaan penanganan gangguan reproduksi dialokasikan pada delapan UPT Kesehatan Hewan (BBVet atau Bvet) dan lima provinsi, yaitu Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. Komponen penanganan gangguan reproduksi terdiri dari pelaksanaan identifikasi status reproduksi, pengadaan obat dan hormon.

Keenam, pengendalian pemotongan betina produktif, bekerjasama dengan Baharkam Mabes Polri, bertujuan untuk menurunkan jumlah pemotongan sapi betina produktif, menambah atau mempertahankan jumlah akseptor Upsus Siwab  dan menyelamatkan kelahiran pedet melalui pencegahan pemotongan sapi betina produktif bunting.

Pemerintah juga melakukan perbaikan sistem distribusi dan tataniaga yang belum efisien, salah satunya dengan fasilitasi kapal khusus ternak. Peran pemerintah daerah adalah menjaga keseimbangan struktur populasi ternaknya dan menginisiasi pembentukan wilayah sumber bibit pada daerah padat ternak. Sampai saat ini terdapat 11 sumber bibit dan pengembangan perbibitan di pulau terpilih.

Dalam pelaksanaan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan, perlu adanya dukungan dari semua pihak untuk mendukung sub sektor peternakan dan tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari pihak swasta serta masyarakat pada umumnya. ***

Aplikasi Kandang CH, Dua Poin Krusial yang Bisa Bikin Gagal

Perhatikan poin-poin penting dalam pengaplikasian kandang sistem tertutup,
agar hasil panen lebih optimal.
Selama ini banyak argumentasi yang memaparkan tingkat keberhasilan aplikasi sistem budidaya pemeliharaan ayam dengan kandang sistem tertutup alias closed house (CH). Sangat sedikit bahkan nyaris tiada yang dengan tegas menguraikan angka kegagalannya.

Demikian pendapat Ir Dhanang Purwantoro, praktisi CH yang ditemui secara khusus di kantornya daerah Jaranan Bantul Yogyakarta. Hal ini terkait dengan realitas lapangan bahwa menurutnya, teknologi secanggih apapun jika berbagai unsur yang melingkupi operasional kurang berjalan dengan baik, maka sudah dapat dipastikan optimalisasi hasil tak akan tercapai.

Lebih dari 10 tahun menggeluti teknologi kandang modern itu, Dhanang banyak mendapatkan poin penting. Setidaknya, kata dia, bahwa teknologi se-modern apapun, jika titik-titik krusial kurang diperhatikan, maka akan tidak membuahkan hasil yang seperti seharusnya.

Dhanang, mengerti dan sangat memahami jika ada banyak praktisi yang mengaku paham dan ahli, namun pada kenyataannya lalai dan menganggap 'sesuatu' yang krusial justru diabaikan. Selama ini debat tentang variabel yang berpengaruh terhadap kesuksesan aplikasi kandang CH sangatlah banyak dan bahkan dipandang sebagai kompleks di negeri beriklim tropis ini.

Variabel ketinggian tempat kandang berada sebagai yang paling utama. Selain itu model dan tipe kandang CH dianggap lebih penting. Bahkan tidak sedikit yang mengasumsikan bahwa jumlah dan titik lokasi/tempat alat pengatur kipas udara. Juga pendapat terakhir tentang arti penting dari jadwal bibit masuk dan pilihan musim.

Selanjutnya Dhanang, yang kini masih menekuni teknologi CH itu dan juga masih aktif menggarap distribusi karkas ayam potong, menjelaskan hasil pengalamannya. Menurutnya, bahwa aneka variabel yang dipaparkan oleh para praktisi itu tidaklah salah. Namun kurang fokus terhadap pesoalan utama yang berpengaruh dalam optimalisasi, atau hasil akhir. "Hanya dua poin penting!," tegas Dhanang. *** (iyo)


Selengkapnya baca Majalah Infovet Edisi 284 Maret 2018.

Closed House, Kandang yang Sarat Akan Manfaat

Penggunaan kandang sistem closed house memiliki keunggulan yang lebih ketimbang sistem open house.
Dalam usaha budidaya ternak khususnya unggas, pastinya hal yang sangat penting dan paling utama adalah kandang. Di mana kandang merupakan tempat tinggal ternak mulai dari umur sehari sampai ternak siap panen. Tentunya peternak harus membutuhkan kandang yang benar-benar sesuai dengan kondisi cuaca di Indonesia yang beriklim tropis.

Dari berbagai jenis kandang yang umum digunakan peternak, ada beberapa kandang yang memiliki keunggulan lebih baik. Salah satunya kandang Closed House. Closed house merupakan kandang dengan sistem tertutup yang dapat diatur (suhu, kelembaban, sirkulasi udara dan kadar zat aktif) sedemikian rupa agar membuat kondisi dalam kandang bisa sesuai dengan yang diharapkan peternak. Karena itu, closed house menjadi rumah idaman ayam yang sarat manfaat.

AGP free, Closed House Bisa Jadi Pilihan
Menurut Didit Prigastono dari Japfa Comfeed Indonesia, kandang closed house memiliki banyak benefit (baik tunnel maupun evaporating system) bila dibandingkan dengan kandang sistem open house (terbuka).

“Suhu dalam closed house bisa lebih terkendali, sehingga ayam bisa dibuat lebih nyaman dan pertumbuhan bisa lebih optimal. Di samping itu, ketersediaan fresh air lebih konstan dan density-nya juga lebih tinggi, itu yang membuat kandang closed house lebih efisien,” ujar Didit saat dikonfirmasi dengan awak Infovet.

Dengan keuntungan yang tinggi, membuat closed house menjadi kandang nomor wahid, apalagi mengingat di tahun ini merupakan era bebas AGP (Antibiotic Growth Promoter), di mana peternak dituntut untuk menghasilkan produk unggas yang sehat tanpa menggunakan antibiotik dalam pakan.

“Kandang closed house bisa jadi pilihan karena lebih akomodatif. Tingkat stress dalam kandang tertutup lebih rendah ketimbang kandang terbuka, di mana tingkat stress ini sangat berpengaruh tidak hanya pada awal develop intetine tapi juga integritasnya,”

Ia menambahkan, “Di luar negeri, seperti di Thailand setahu Saya peternak broiler komersial baik kemitraan maupun mandiri sudah hampir 100% closed house. Itu berbalik dengan di Indonesia. Mengingat di era AGP free saat ini mestinya peternak bergerak ke arah closed house,” tambahnya.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Teddy Chandra, General Manager PT Unigro Artha Persada. Menurutnya penggunaan kandang closed house menjadi salah satu faktor yang mampu menurunkan pemakaian AGP. “Karena kondisi ayam lebih baik dan nyaman. Feed intake, air dan oksigennya terpenuhi dengan baik. Sehingga akan meningkatkan imun/antibodi dari ayamnya sendiri.

Kendati closed house merupakan kandang yang lebih baik dari open house, peternak juga harus memperhatikan sisi lain dalam usaha budidaya ternaknya. “Dengan kandang closed house memang kondisi lingkungan kandang menjadi lebih baik yang mendukung ayam tidak mudah teserang penyakit (asalkan ventilasi yang dibuat dan dijalankan baik dan kelembaban tidak tinggi), peternak juga harus memperhatikan kualitas DOC, pakan, air, program vaksinasi, masa brooding dan manajemen budidaya,” ungkapnya. *** (RBS)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 284 Maret 2018.

PP Otoritas Veteriner, Angin Segar Bagi Dokter Hewan



Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner yang ditandatangani Presiden Jokowi 20 Januari 2017, menjadi angin segar bagi dokter hewan profesional dalam memiliki kewenangan penuh menetapkan kebijakan tentang kesehatan hewan. Benarkah?
Kendati demikian, kebijakan tersebut belum diimplementasikan dalam struktur dan teknis operasional yang jelas.

“Sebenarnya statusnya masih menunggu diterbitkannya petunjuk teknis dan kami berharap cepat diimplementasikan,” ungkap Dr drh Heru Setijanto, Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), dijumpai Infovet di kawasan Serpong beberapa waktu lalu.

PP tentang Otoritas Veteriner, kata Heru merupakan amanat dari Undang-Undang No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Ketua PDHI, Dr drh Heru Setijanto
Berbincang-bincang dengan Infovet, Heru menjelaskan peran dokter hewan di era globalisasi tidak hanya dituntut untuk menangani masalah kesehatan hewan semata. Dokter hewan juga bertanggung-jawab menjaga kesehatan kesehatan masyarakat melalui pembangunan di bidag ketahanan pangan, jaminan keamanan pangan, dan sebagai penyangga daya saing bangsa.

Selain itu, faktor lingkungan juga menjadi tanggung-jawab seorang dokter hewan, terutama dalam perlindungan plasma nutfah dan pelestarian lingkungan yang bermuara dalam pencegahan dampak pemanasan global.

Sementara otoritas veteriner mempunyai peran dalam beberapa bidang yang terkait dengan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat, penanganan zoonosis, kesehatan satwa/konservasi, kesehatan ikan, dan kaitannya dengan pertahananan keamanan serta perdagangan.

Terpapar pada pasal 1 PP Nomor 3 Tahun 2017, bahwa otoritas veteriner adalah kelembagaan pemerintah atau pemerintah daerah yang bertanggung-jawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan.

Selain itu juga disebutkan Sistem Kesehatan Hewan Nasional yang selanjutnya disebut Siskeswanas adalah tatanan Kesehatan Hewan yang ditetapkan oleh pemerintah dan diselenggarakan oleh otoritas veteriner dengan melibatkan seluruh penyelenggara kesehatan hewan, pemangku kepentingan, dan masyarakat secara terpadu. Lingkup kerjanya diantaranya adalah kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, karantina hewan, dan kesejahteraan hewan.

Selanjutnya, tercantum pada pasal 2 bahwa otoritas veteriner bertugas menyiapkan rumusan serta melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. 

Pada Bab II Kelembagaan Otoritas Veteriner pasal 7 bahwa otoritas veteriner nasional dipimpin oleh pejabat otoritas veteriner nasional yang diangkat dan diberhentikan oleh menteri. Syarat untuk diangkat sebagai pejabat dimaksud diantaranya telah ditetapkan oleh menteri sebagai dokter hewan berwenang, memiliki keahlian dan pengalaman dan menduduki jabatan paling rendah pimpinan tinggi pratama di bidang kesehatan hewan, kesmavet, atau karantina hewan.

Otoritas veteriner pada pasal 5 PP Nomor 3 Tahun 2017 dijelaskan otoritas veteriner terdiri atas otoritas veteriner nasional, otoritas veteriner kementerian, otoritas veteriner provinsi, dan otoritas veteriner kabupaten/kota.

“Langkah pertama yang harus ditempuh dalam mewujudkan tegaknya otoritas veteriner, percepatan implementasi PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang otoritas veteriner dengan penerbitan permentan yang diamanatkan,” terang dosen tetap Fakultas Kedokteran Hewan, IPB ini.

Diharapkan hadirnya PP Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner dapat mengakomodasi kewenangan dokter hewan, lanjut Heru.  

Seiring berjalannya waktu, perubahan-perubahan terus dilakukan oleh pemerintah terhadap lembaga yang bersinggungan langsung dengan kesehatan hewan. Panjangnya proses tersebut terjadi karena peran dokter hewan yang kompleks.

Menurut Heru,  dokter hewan tidak hanya bertindak dalam mengobati hewan peliharaan/hewan kesayangan yang sakit, namun juga bertanggung-jawab pada hewan/ternak produksi yang sakit. Artinya, jika seekor hewan merupakan ternak produksi dan terserang penyakit, maka produk ternak yang dihasilkan pun merupakan tanggung-jawab dokter hewan.

Saat ada hewan sakit yang berpotensi untuk menyebarkan penyakit sehingga mengganggu kesehatan manusia (zoonosis), dokter hewan pun mempunyai peran sebagai agen preventif dan eradikatif penyakit tersebut.

“Oleh karena itu, dokter hewan mempunyai peran multi-stakeholder sehingga diperlukan sebuah otoritas veteriner di lingkup pemerintah demi menunjang perannya secara optimal,” tandas Heru. *** (NDV)

Selengkapnya, baca Majalah Infovet edisi 284 Maret 2018.



Optimalisasi Kandang Closed House Untuk Broiler Modern

Teknologi kandang closed house untuk ayam broiler modern.
Ibarat persaingan kompetisi sepakbola modern yang sangat ketat di era modern ini, bisnis perunggasan juga mengalami situasi yang sangat ketat dan membutuhkan strategi jitu untuk memenanginya. kunci suksesnya terletak pada peningkatan efisiensi produksi dan ini bisa tercapai jika performa ayam broiler yang dipelihara sesuai dengan potensi genetiknya, sehingga otomatis biaya produksinya akan lebih efisien. Salah satu critical points keberhasilan peternak ditentukan oleh jenis kandang.

Kandang ayam modern closed house dipakai di peternakan broiler (ayam pedaging) untuk memberikan iklim yang sesuai untuk ayam, menambah density dan mendapatkan performance yang baik. Ada beberapa keunggulan dari sistem kandang cloused house, diantaranya sebagai berikut: 
1. Minimalisir dampak perubahan karena suhu lingkungan dengan cara:
    • Kondisi panas ada sarana plafon dan cooling system (masa growing).
    • Kondisi dingin ada sarana pemanas (masa brooding).
2. Optimalisasi produktivitas dengan cara meningkatkan density ayam 1:15-18 (pada kandang terbuka 1:8-10 ). Potensi kandang closed house per meter persegi dapat menghasilkan 30-40 kg dengan berat rata-rata per ekor ayam 1,8-2 kg. tentunya dengan strategi penjarangan ayam disesuaikan dengan potensi kipas dan potensi ruang kandang.
3. Temperatur yang dirasakan ayam atau temperatur efektif pada kandang closed house mudah diatur sesuai dengan kebutuhan hidup ayam. Hal ini dengan pengaturan ventilasi dengan didasarkan atas suhu dan kelembaban di kandang dengan aktual pencapaian berat badan ayam tersebut.
4. Sistem biosecurity lebih mudah diterapkan karena adanya pembatas zona kotor dan bersih dengan pagar tertutup, serta tingkat tantangan penyakit lebih rendah dibanding kandang terbuka.
5. Potensi Average Daily Gain (ADG) atau pertambahan berat badan harian ayam lebih baik dan juga lebih seragam, hal ini dikarenakan kondisi ayam yang lebih nyaman karena kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan manajemen kandang closed house yang baik.
6. Lighting program lebih baik dan seragam dengan intensitas cahaya sesuai dengan kebutuhan ayam pada tingkat umurnya masing-masing.
7. Potensi pencapaian performance yang lebih baik, sehingga cost ayam per kg lebih efisien.
8. Pencucian kandang lebih mudah, sehingga bibit penyakit lebih sedikit.

Melihat potensi kandang closed house, penulis ingin berbagi langkah praktis menjalankan operasional closed house sebagai berikut: ***

Oleh: Drh Sumarno
(Senior Manager Poultry Health,
PT Sierad Produce, Tbk)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 284 Maret 2018...

Closed House: Rumah Idaman Ayam Zaman Now

Penggunaan kandang closed house efektif dalam mengefisienkan produksi ternak ayam.

((Seiring berjalannya waktu, konsumsi daging dan telur ayam per kapita masyarakat Indonesia semakin meningkat. Berbagai hal pula dilakukan oleh stakeholder di dunia perunggasan Indonesia untuk terus memacu dan mengefisienkan produksinya, salah satunya dengan membangun kandang closed house berkapasitas besar.))

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, konsumsi daging ayam ras pada 2016 lebih tinggi daripada 2015, dari 4,797 kg per kapita per tahun menjadi 5,110 kg per kapita per tahun. Hal yang sama terjadi pada konsumsi telur ayam ras di mana pada 2015 konsumsinya 97,398 butir per kapita per tahun menjadi 99,796 butir per kapita per tahun.

Kenaikan konsumsi masyarakat tentunya harus pula dibarengi oleh peningkatan produksi, bila keadaan tidak berimbang maka akan terjadi kelangkaan. Disaat yang bersamaan, keterbatasan lahan juga menjadi kendala dalam tumbuhnya bisnis perunggasan di Indonesia. Oleh karenanya upaya yang dilakukan integrator maupun peternak dalam meningkatkan kapasitas produksi dan meningkatkan efisiensi mereka yakni dengan melakukan instalasi kadang closed house. Namun sistem ini juga punya kekurangan dan kelebihan.

Efisien, Nyaman, Berperike-hewanan
Nyatanya perkembangan teknologi dibidang pemuliaan unggas sangat berimbas pada performa unggas. Misalnya saja sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu ayam broiler baru bias dipanen pada usia 40-45 hari dengan bobot satu kilogram lebih sedikit, namun kini peternak sudah bisa memanen broiler zaman now (zaman sekarang) pada usia 35-an hari dengan bobot 2 kg bahkan ada yang lebih.

Peningkatan performa seperti ini tentunya memiliki kompensasi yang harus dibayar, salah satunya pada aspek kesehatan ternak. Hal tersebut disampaikan oleh Tony Unandar, konsultan kesehatan unggas yang juga anggota Dewan Pakar ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia). Kepada Infovet Tony mengungkapkan, bahwa ayam di zaman sekarang sangat rentan terhadap penyakit.

“Karena gen pertumbuhannya dipercepat, gen-gen lainnya kan pasti di-suppress, sehingga ayam jadi mudah stress (tertekan) terutama oleh keadaan lingkungan. Nah, ketika ayam berada dalam keadaan stress oleh cekaman lingkungan, sistem imunnya otomatis menurun karena hormon glukokortikoid banyak disekresikan, sehingga mempengaruhi kinerja timus dan menghambat produksi sitokin dan interleukin yang merangsang dan mengkoordinasikan aktivitas sel darah putih,” tutur Tony.

Ia menambahkan, hal tersebut juga dapat diperparah oleh kondisi nutrisi yang kurang bergizi dan keadaan di kandang yang kurang baik. Bila tingkat amonia di kandang tinggi dan selaput mukosa teriritasi olehnya, maka infeksi bakteri yang seharusnya bersifat komensal dapat dimungkinkan, apalagi yang patogen, di sinilah penyakit pernafasan bermula. Melalui penjabaran tadi, Tony menegaskan, bahwa karakteristik ayam zaman now sebenarnya tidak cocok dengan sistem pemeliharaan zaman old (zaman dulu) yang masih banyak diterapkan peternak Indonesia.

“Ayam zaman now, idealnya akan nyaman apabila perbedaan antara suhu tertinggi (siang hari) dikurangi suhu terendah (malam hari), jumlahnya lebih dari atau sama dengan 8oC. Syarat tersebut mutlak harus terpenuhi agar ayam nyaman,” kata Tony. *** (CR)

Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi 284 Maret 2018.

Zoetis Gut Health Seminar 2018

Foto bareng Zoetis Gut Health Seminar 2018.
Bertempat di Fairmont Hotel Jakarta, PT Zoetis Animalhealth Indonesia, kembali menyelenggarakan acara rutin tahunan yakni Zoetis Gut Health Seminar, yang dilaksanakan pada Kamis, 15 Maret 2018.

Bahasan seminar kali ini berfokus pada peningkatan performa unggas tanpa penggunaan antibiotik yang pada tahun ini Indonesia telah resmi melakukan pelarangannya. Menurut General Manager PT Zoetis Indonesia, Ulrich Eriki Ginting, mangatakan, lewat seminar ini diharapkan peserta mendapat pemahaman dan pengertian yang lebih baik mengenai bagaimana meningkatkan performa ternak dan penggunaan antibiotik pada unggas.

“Diharapkan dari acara ini kita bisa bagaimana ke depannya meningkatkan performa unggas menjadi lebih baik lagi dan penggunaan antibiotik bisa lebih bijaksana serta bertanggung jawab. Tentunya ini adalah hal yang ingin kita lakukan bersama-sama demi menciptakan pangan yang sehat bagi masyarakat,” ujar Eriki dalam sambutannya.

Ia menambahkan, materi kali ini juga berkaitan dengan peraturan pemerintah mengenai pelarangan penggunaan antibiotik khususnya untuk pertumbuhan (AGP). “Intinya bagaimana kita bisa melaksanakan Permentan 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan dan Permentan 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan, di mana kita semua terlibat di dalamnya,” tambahnya seraya mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta dan pembicara yang hadir.

Pada kesempatan itu, turut hadir sebagai pembicara adalah Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Pakan kementerian Pertanian Ir Sri Widayati yang diwakili Kasubdit Mutu dan Keamanan Pakan Ossy Ponsia, kemudian Senior Director, Technical Services Poultry USA Drh Jon Schaeffer dan Peneliti Bidang Nutrisi dan Pakan Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Prof Budi Tangendjaja, serta Poultry Consultant Dr Tony Unandar.

Seminar sehari yang dimulai sejak pagi hari pukul 09:00 WIB ini rata-rata dihadiri peserta dari beberapa perusahaan pakan di Indonesia. Diakui oleh salah satu peserta, Sony Martahadi dari PT Cargill Indonesia, seminar yang menampilkan pakar-pakar yang handal dibidangnya ini sangat baik dan bermanfaat.

“Terutama dari segi teknis bahasannya. Dengan begitu peternak nantinya jadi lebih yakin bahwa feedmill ini berusaha untuk menyajikan pakan yang berkualitas dan bisa menggantikan fungsi AGP, khususnya dalam menjaga kesehatan saluran pencernaan,” katanya. (RBS)

Satpol PP Seret Sapi, Gubernur : Bertentangan dengan Prinsip Kesejahteraan Hewan

Foto : Ist 
Beredar di media sosial, video seekor sapi yang diseret mobil petugas Satpol PP Bulukumba, Sulawesi Selatan hingga tertatih-tatih kemudian terkapar. Aksi tidak terpuji yang terjadi pada 7 Maret 2018 itu dikecam ribuan warganet.

Bukannya diangkut di dalam mobil bak atau truk, dalam video tersebut seekor sapi justru diseret di belakang mobil Satpol PP. Sapi tersebut diikat di bagian belakang mobil, sementara mobil terus melaju. Sapi berwarna cokelat itu tampak kesakitan karena lehernya tertarik, sementara kakinya harus berjalan mengimbangi kecepatan mobil Satpol PP.

Tampak seorang petugas mengawasi sapi tersebut dari dalam mobil bagian belakang. Sapi itu kemudian terjatuh dan ambruk sedangkan mobil tetap melaju pelan sehingga sapi tersebut terseret. Para warga dan pengendara motor yang menyaksikan peristiwa itu berteriak meminta mobil Satpol PP berhenti.


Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pun bereaksi. Syahrul telah menerbitkan surat perintah yang ditujukan kepada Bupati Bulukumba agar memberikan teguran keras kepada anggota Satpol PP yang menyeret sapi dengan cara tak layak tersebut.

Dalam surat teguran yang tertanggal 13 Maret 2018, Syahrul menyebut apa yang dilakukan Satpol PP tersebut bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare) sesuai UU Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 66-67 tentang kesejahteraan hewan yang telah diubah menjadi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Berikut petikan surat perintah Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo :
"Sehubungan postingan media sosial di grup info kejadian Bulukumba Rabu tanggal 7 Maret 2018. Dimana seekor sapi warga tampak diseret mobil petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan cara diikat pada bagian belakang mobil sambil mobil tersebut berjalan maju. Terkait dengan hal tersebut, kiranya saudara (Bupati Bulukumba) memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan (anggota Satpol PP) dan tidak mengulangi lagi hal yang sama terhadap hewan ternak yang lainnya, karena hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kesejahteraan hewan sesuai dengan peraturan UU No 41 tahun 2014 tentang Perternakan dan Kesehatan Hewan.”

Surat perintah teguran keras ini ditembuskan kepada Menteri Pertanian serta Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Pembelajaran

Sementara itu, Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto meminta masyarakat tidak berlebihan menanggapi peristiwa penyeretan sapi ternak dengan menggunakan truk oleh petugas Satpol PP Bulukumba.

Menurut Tomy, kejadian ini dijadikan pembelajaran. Pemkab Bulukumba akan mengingatkan staf beserta jajarannya supaya lebih berhati-hati dalam bertindak.

“Kami tidak ada niat kita menyiksa. Kejadian ini murni operasi penertiban saja. Jadi, sebaiknya kita maknai tidak berlebihan,” kata Tomy.

Dia menjelaskan, Satpol PP semula menggelar razia terhadap hewan ternak yang berkeliaran di jalan. Ketika menemukan ada sapi yang terlepas, petugas mencoba menangkap. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak membahayakan pengendara.

Saat hendak ditertibkan, sapi ini justru mengamuk dengan melompat pagar. Bahkan, ada anggota yang terluka. Karena sulit ditangani, Satpol pun mengambil langkah lain meski melanggar. “Banyak saksi mata, bahwa sebelumnya (sapi) tidak bisa diamankan,” katanya.

Tomy menerangkan, memang idealnya setiap penangkapan harus menggunakan bius agar sapi mudah diamankan. Namun Satpol PP tidak punya peralatan lengkap, sementara di sisi lain mereka harus menegakkan peraturan daerah (perda).

Dalam kasus hewan ternak berkeliaran ini, lanjut Tomy, sudah banyak mengakibtkan kecelakaan lalu lintas. “Selain itu, sapi-sapi yang lepas meresahkan warga karena merusak tanaman mereka,” pungkasnya. (ndv/berbagai sumber)







Kerugian Ekonomi Akibat Wabah Penyakit Ternak

Jika terjadi wabah penyakit disuatu daerah, maka kerugian ekonomi akan terjadi,
baik secara langsung maupun tidak langsung.


Wabah memiliki arti terjadinya suatu penyakit di suatu daerah atau wilayah, terjadi secara cepat dengan angka kematian dan kesakitan cukup tinggi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Penyakit pada ternak karena infeksi viral, bakterial atau parasit yang bisa menimbulkan wabah antara lain, penyakit Jembrana (sapi bali), Septisemia epizootika, Antrak, Hog cholera, Avian influenza, Newcastle disease dan beberapa penyakit lainya. Dampak kerugian ekonomi yang diakibatkan wabah penyakit tersebut akan terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Jika terjadi wabah penyakit jembrana di salah satu daerah yang menjadi sentra sapi bali yang dipelihara secara ekstensif pada lahan sawit. Penyakit Jembrana disebabkan oleh Retrovirus, dari anggota group lentivirus yang unik dan disebut Jembrana Disease Virus (JDV). Penyakit Jembrana adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, patogenesis penyakit dimulai dari masuknya agen penyakit, masa inkubasi, virus memperbanyak diri dalam sel target, gejala klinis dan mati atau kesembuhan. Masa inkubasi berkisar antara 4-7 hari yang diikuti dengan munculnya demam hingga mencapai 41-42oC yang berlangsung 5-12 hari (rata-rata tujuh hari). Fase demam terjadi penurunan limposit terutama sel limposit B dan trombosit. Menurunya trombosit menimbulkan perdarahan dihampir semua organ tubuh dan kulit yang luka akibat gigitan serangga penghisap darah potensial seperti lalat Tabanus sp. Penurunan sel limposit B (sel dalam sistem kekebalan tubuh), menyebabkan infeksi sekunder bakteria pada organ tubuh yang berhubungan dengan udara luar seperti, paru-paru, ginjal dan saluran pencernaan menimbulkan pneumonia, nephritis dan enteritis. Akibat peradangan ginjal, ureum tidak bisa dibuang dalam urine dan kembali masuk dalam peredaran darah. Kadar ureum yang tinggi (uremia) menyebabkan sel epitel menjadi rapuh dan menyebakan erosi pada selaput lidah dan mukosa mulut. Pada umumnya kematian akibat penyakit Jembrana disebabkan oleh kadar uremia yang sangat tinggi dalam darah. Perjalanan penyakit secara imunologis menunjukkan bahwa sel limposit B adalah sel target bagi virus Jembrana. Menghilangnya sel limposit B selama 2-3 bulan pasca infeksi menyebabkan kegagalan pembentukan antibodi (kekebalan humoral).

Penyakit Jembrana bersifat akut dan hewan yang sembuh akan menjadi karier. Pada hewan karier ini, virus Jembrana akan menyatu dengan gen target limposit B mungkin selama hidupnya. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti bagaimana hewan karier ini bisa menjadi sumber penularan penyakit Jembrana. Diduga apabila sapi Bali dalam keadaan stress, kemungkinan virus yang ada di dalam limposit akan mempunyai kesempatan untuk memperbanyak diri dan keluar dari limposit B dan menjadi virus ganas yang dapat menularkan penyakit Jembrana pada sapi Bali yang peka. Kejadian penyakit Jembrana pada suatu wilayah cenderung akan bersifat endemis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih rendah dibandingkan saat kejadian wabah yang bisa mencapai 100%.

Pada lahan penggembalaan di lahan sawit, sapi bali dari pemilik yang berbeda-beda akan berkumpul pada lokasi yang sama untuk mencari makan. Penularan secara mekanis dapat terjadi melalui insekta penghisap darah, seperti lalat Tabanus rubidus. Di samping penularan secara mekanis, penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat. Secara eksperimental, penyakit Jembrana dapat ditularkan melalui oral, lubang hidung, konjungtiva mata dan semen. Pada saat demam, titer virus penyakit Jembrana dalam darah baik dalam sel maupun plasma darah dapat mencapai 108 partikel virus/ml. Pada kondisi ini, penularan melalui jarum suntik dapat dengan mudah terjadi.

Kerugian Langsung
Wabah yang terjadi di suatu daerah menimbulkan kerugian ekonomi secara langsung yang dihadapi oleh peternak. Kerugian secara langsung yang terlihat meliputi kematian ternak dan penurunan produksi, sedangkan yang tidak terlihat adalah penurunan reproduksi, terjadi perubahan struktur populasi dan penurunan efisiensi pakan. Jika wabah terjadi pada populasi 5.000 ekor sapi bali dengan kematian 100%, maka kerugian ekonomi yang terjadi adalah 5.000 ekor x Rp 10.000.000,00 (rata-rata harga sapi normal tanpa wabah). Total kerugian akibat kematian ternak sebesar 50 milyar. Asumsi lainnya, tingkat kematian kurang dari 100% maka kerugian akan kurang dari 50 milyar.

Peternak memiliki kebiasaan menjual sapi-sapi sakit atau dalam masa inkubasi penyakit ke pedagang di daerahnya dengan harga murah (asumsi 50% dari harga normal), sehingga kerugian ekonomi peternak adalah 50% dari harga sapi normal x populasi sapi. Hal ini menimbulkan masalah di tempat lain, karena jika sapi sakit dipotong di rumah potong hewan makan virus akan terbawa dan menyebar di sekitarnya. Jika sapi dibawa ke pasar hewan, maka resiko penularan penyakit akan terjadi pada sapi yang berada di pasar hewan. Ketika sapi dibawa atau dibeli oleh peternak lain untuk dipelihara di daerah bebas penyakit, maka akan sangat potensial menjadi agen pembewa penyakit pada populasi bebas menjadi populasi terancam.

Kerugian Tidak Langsung
Jika wabah terjadi pada daerah yang menjadi sumber ternak, untuk menghindari penularan penyakit maka bisa dilakukan:
• Pencegahan penyakit, Toksoplasmosis: biaya vaksinasi, keguguran pada manusia.
• Pentingnya evaluasi ekonomi:

a. Kurangnya SDM dalam pemberantasan penyakit (tenaga, uang, waktu, fasilitas, pengetahuan).
b. Pilihan harus dibuat untuk memanfaatkan sumber daya terbatas: efektif, efisien alternatif. Perlu adanya analisis secara sistematis berbagai alternatif pemberantasan penyakit hewan, mangakomodasi pandangan/kepentingan.

Contoh: Suatu dinas provinsi memiliki dana terbatas untuk melakukan pemberantasan rabies. Maka kepala dinas memilih vaksin rabies dengan harga yang lebih murah. 

a. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
b. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 70% populasi anjing.
c. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
d. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 70% populasi anjing.

Metode evaluasi ekonomi pemberantasan penyakit hewan:
a. Partial budgeting: Hanya mempertimbangkan variabel-variabel yang mengalami perubahan.
b. Cost-benefit analysis: Mempertimbangkan semua faktor biaya dan manfaat, di mana manfaat yang diperoleh dalam bentuk uang.
c. Cost-affectiveness: Sama dengan cost-benefit analysis, namun manfaat yang diperoleh tidak berupa uang melainkan satuan unit seperti jumlah hewan yang terselamatkan.

Skenario pemberantasan rabies:
1. Penyakit dibiarkan tanpa vaksinasi.
2. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
3. Menggunakan vaksinasi berdurasi pendek (setahun) cakupan 70% populasi anjing.
4. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 50% populasi anjing.
5. Menggunakan vaksinasi berdurasi lama (setahun) cakupan 70% populasi anjing.


Drh Joko Susilo M.Sc
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer