Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Jangan Heboh dan Panik Sikapi Kasus AI (H9N2)

Lakukan investigasi mendalam soal penurunan produksi
yang terjadi pada unggas.
((Sejak merebak di Indonesia pada 2003 lalu, virus Avian Influenza (AI) menjadi momok nomor satu di dunia perunggasan Indonesia. Celakanya, AI yang sekarang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan zaman, sehingga semakin merepotkan dunia perunggasan di zaman now, benarkah begitu?))

Selalu membuat heboh dan kepanikan massal. Beberapa tahun belakangan jika diperhatikan pemberitaan media massa terkait AI pastinya semua pihak akan geger. Pergerakan cepat langsung dilakukan dan segala usaha dikerahkan untuk menanggulanginya. Walaupun jarang dilaporkan, AI selalu menjadi topik seksi yang tidak pernah ada habisnya untuk dibahas.

Tahun 2017, virus AI baru ditengarai menjadi faktor utama penurunan produksi telur pada layer di Sulawesi Selatan. Saat itu peternak dikejutkan dengan turunnya nilai hen day dari 90% menjadi 40%. Tanpa sebab yang jelas tiba-tiba virus AI H9N2 langsung dituduh menjadi penyebabnya.

Menegakkan Diagnosis
Sebagai upaya mencari penyebab utama dari penurunan produksi telur yang sangat fantastis tersebut, para ahli di bidang perunggasan melakukan investigasi demi mencari kebenaran akan hal tersebut. Tanpa terkecuali dengan yang dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof I Wayan Teguh Wibawan, kepada awak Infovet ia berbagi pengalaman, data dan fakta yang ia dapatkan di lapangan.

Fakta Pertama yang ia beberkan adalah mengenai keberadan material genetik dari virus H9N2 yang telah terdeteksi pada ternak komersil dan breeding farm yang ada di beberapa daerah di Indonesia. “Memang sudah ada dan terdeteksi, kemarin kita lakukan bersama antara pemerintah dan industri vaksin,” kata Prof Wayan.

Kedua ia juga membeberkan bahwa virus AI H9N2 tersebut juga berhasil diisolasi dan propagasi dari ayam yang mengalami penurunan nilai hen day. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata ditemukan adanya titer antibodi spesifik pada kelompok ayam yang tidak divaksin H9N2. “Nah, kalau dari segi ilmu imunologis kan artinya virus tersebut ada di lingkungan kandang atau dari luar kandang, sehingga menginduksi antibodi spesifik,” ungkapnya.

Fakta Ketiga yakni melihat gejala klinis pada bedah bangkai yang hasilnya menunjukkan adanya kelainan berupa perdarahan organ dan jaringan (seperti kasus H5N1), peradangan pada organ pernafasan (tracheitis, bronchitis, baik ringan maupun berat yang disertai perkejuan), serta peradangan pada folikel dan saluran telur. “Para ahli yakin ini bukan hanya H9N2, karena LPAI tidak sekompleks itu seharusnya. Pasti ini juga ada infeksi campuran dari penyakit lainnya,” kata dia.

Temuan yang dilaporkan oleh Prof Wayan dan para ahli lainnya dilaporkan kepada pemerintah dan kemudian ditindaklanjuti. Dengan menggunakan Uji Postulat Koch ditemukan hasil sebagaimana berikut:

1. Pada infeksi isolat murni dari virus H9N2 tidak ditemukan adanya gejala PA yang berarti, ayam petelur yang digunakan dalam pengujian (SPF) juga tampak sehat.
2. Infeksi isolat virus murni H9N2 dapat menurunkan tingkat produksi telur sekitar 80% sampai jatuh ke level produksi 20%.
3. Penelitian tersebut tadi masih bersifat terbatas. (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018.

Badai IBH, Apa Bedanya dengan Serangan IBD?

Virus IBH
Masih hangat dalam ingatan, dalam waktu 3-4 bulan terakhir muncul kejadian penyakit “aneh” terutama di ayam pedaging (broiler), meskipun juga terjadi sebagian di ayam petelur (layer). Terutama terasa sekali di ayam pedaging, kondisi tersebut yang akhirnya “diduga” menjadi langkanya ayam berukuran besar ukuran 1,6-1,8 kg ke atas, sehingga harga ayam besar menjadi lebih tinggi dan bertahan cukup lama. Kejadian ini marak baik pada peternakan ayam pedaging konvensional (open house) maupun pada kandangan closed house. Dampak keparahan dari kasus ini sangat bervariasi. Peternak dengan tatalaksana pemeliharaan yang baik serta tingkat biosekuriti yang ketat tidak begitu menggerus performa produksinya. Namun sebaliknya, pada saat wabah ini menyerang akan terasa berat pada pemeliharaan ayam dengan tatalaksana dan penerapan biosekuriti yang lemah.

Tidak hanya sampai di sini, ratapan kemalangan terjadi dengan adanya kasus IBH (Inclusion Body Hepatitis), yakni penyakit yang disebabkan oleh virus yang menyerang ayam pedaging saat masa akhir pemeliharaan (umur 18-26 hari) dengan tingkat kematian variatif 5-65%. Hal yang menciri dari penyakit ini adalah dengan gejala yang mirip dengan IBD (Infectious Bursal Desease) atau Gumboro. Beberapa peternak menyebut penyakit ini sebagai “Gumboro Tua”. Sehingga sebagian besar peternak yang menganggap pola serangan penyakit ini sebagai Gumboro dan mereka cenderung menunda untuk panen dengan harapan setelah puncak kematian 3-4 hari paska serangan awal, kematian akan turun dan kembali normal. Hal tersebut sepintas wajar, mengingat gejalanya yang memang mirip dengan IBD/Gumboro. Namun ternyata kasus IBH ini berbeda, kematian tidak kunjung turun bahkan paska 6-8 hari dari serangan awal. Justru tidak hanya kematian yang meningkat, adanya perlambatan pertambahan berat badan harian (ADG/Avarage Daily Gain) dan munculnya infeksi sekunder, inilah yang menjadi performa produksi ayam semakin terpuruk.

Bagaimana membedakan antara IBH dengan IBD? IBH ini termasuk penyakit yang disebabkan oleh virus dalam kelompok Adenoviridae, mempunyai rangka DNA ganda dengan ukuran virus yang lebih besar dibandingkan dengan virus lain pada umumnya. Karena ukurannya besar dalam hal imunologi, virus ini akan menggertak kekebalan yang bersifat seluler (Celluler Mediated Immunity), sehingga porsi terbentuknya kekebalan tersebut akan lebih dominan dibandingkan dengan kekebalan humoral (yang terlarut dalam zat kebal). Karena hal tersebutlah yang menyebabkan kekebalan asal induk tidak sepenuhnya bisa ditransfer dengan baik kepada anak ayam (DOC) sebagaimana kekebalan yang berasal dari virus lain (IBD, AI, IB, ND, dan sebagainya).

Selain ukurannya besar, virus ini termasuk virus yang tidak beramplop, di mana sebagian besar virus yang tidak beramplop, mempunyai katahanan yang lebih kuat dibandingkan dengan virus yang beramplop. Virus ini tahan di lingkungan lebih lama (bahkan sampai lebih dari sembilan bulan di lingkungan dan tahan terhadap panas, ditergen, zat asam, bahkan mampu menginfeksi saluran cerna dan tahan terhadap situasi asam di sepanjang saluran digesti. Dalam jumlah tertentu, virus ini normal ada pada kalkun, unggas air (bebek, angsa, dan lain lain), bahkan burung liar. Virus ini mampu bertahan hidup pada suhu 60-70oC lebih dari satu jam. Resisten terhadap sebagian besar disinfektan, meskipun dilaporkan formaldehid dan glutaraldehid mampu menumpas dengan daya bunuh yang lebih baik. Apabila dibandingkan dengan IBD yang mampu menggertak kekebalan humoral dengan porsi yang lebih banyak diturunkan ke DOC dibanding IBH, dan virus ini masih relatif sensitif terhadap beberapa jenis disinfektan (phenol, iodin, formalin, dan sebagainya). ***

Drh Eko Prasetio,
Broiler Commercial Poultry Consultant
Tinggal di Bekasi, Jawa Barat


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018.

Animo Tinggi, ASOHI Kembali Adakan Pelatihan PJTOH

Ketua Panitia, Drh Forlin Tinora, saat memberikan sambutan
pembukaan PPJTOH angkatan ke-15.
Antusiasme Pelatihan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PPJTOH) terlihat dari padatnya peserta yang memenuhi ruangan Lengkong I-III, Hotel Santika Teras Kota BSD City, Tangerang. Acara yang diselenggarakan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI), 13-15 Februari 2018 ini, bekerjasama dengan Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

Menurut Ketua Panitia, Drh Forlin Tinora, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan Penanggung Jawab Teknis Obat Hewan (PJTOH). “Selama pelatihan ini kita sajikan banyak materi, diantaranya soal perundang-undangan, kajian teknis obat hewan dan pemahaman organisasi, serta etika profesi sebagai PJTOH,” ujar Forlin saat menyambut peserta pelatihan PJTOH Angkatan ke-15, Selasa (13/2).

Ia mengatakan, agar peserta memperoleh pemahaman yang mendalam, pihaknya sengaja menghadirkan pembicara yang kompeten di bidangnya. Diantaranya dari Direktorat Kesehatan Hewan, Pengawasan Obat Hewan; Direktorat Pakan; Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH); Komisi Obat Hewan (KOH); tim CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik dan Benar); PDHI; Pusat Karantina Hewan; PPNS (Pendidik Pegawai Negeri Sipil); Ketua ASOHI beserta Dewan Pakar dan Dewan Kode Etik ASOHI. “Selama pelaksanaan pelatihan ini ada 18 materi yang akan dipresentasikan oleh 15 narasumber,” jelasnya.

Ruangan penuh, antusiame peserta PPJTOH sangat tinggi.
Selain pemberian materi, kegiatan ini juga dilengkapi dengan kunjungan ke laboratorium BBPMSOH. “Tujuannya agar peserta dapat melihat lebih jauh mengenai kegiatan penelitian yang dilakukan di sana. Ini merupakan kesempatan yang langka,” katanya.

Ketua Umum ASOHI, Drh Irawati Fari, menambahkan, pelatihan ini menjadi sangat penting karena tugas bagi seorang dokter hewan atau apoteker sebagai penanggung jawab teknis di perusahaan obat hewan sudah diatur oleh pemerintah. “Salah satu tugasnya yakni memastikan perusahaan obat hewan (tempatnya bekerja) menjalankan usaha sesuai aturan, memastikan produk obat hewan yang dijual adalah legal (teregister) dan wajib menolak peredaran obat hewan ilegal,” kata Ira.

Sedangkan untuk di pabrik pakan, sebagai PJTOH wajib menolak penggunaan bahan baku atau obat hewan yang dilarang dicampur dalam pakan. “Seperti kita ketahui AGP yang sudah dilarang. Ini wajib dilakukan sesuai aturan,” ucapnya.

Ia pun berharap, lewat pelatihan ini semoga peserta yang hadir dari perusahaan obat hewan, perusahaan pakan maupun peternak, dapat memahami tugas dan tanggung jawabnya, serta mendapat pengetahuan yang memadai.

Sementara, apresiasi datang dari Kasubdit Pengawas Obat Hewan (POH), Drh Ni Made Ria Isriyanti. Mewakili Direktur Kesehatan Hewan, ia menyatakan, pelatihan ini menjadi kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu. “Pelatihan ini lah yang kami harapkan. Sebab antusiasme mengenai peraturan obat hewan jadi semakin tinggi dan semakin aware,” ucapnya.

“Kami pun pemerintah juga terus berupaya memberikan pembinaan terhadap industri obat hewan, agar bisa memberikan solusi yang terbaik, asal usaha obat hewan tersebut mau mengikuti aturan,” tukasnya seraya membuka resmi PPJTOH.

Usai sambutan-sambutan, hari pertama pelatihan langsung memasuki inti acara. Kasubdit POH langsung memaparkan materi mengenai sistem kesehatan hewan nasional dan peraturan obat hewan, dilanjutkan oleh Direktur Pakan, Ir Sri Widayati tentang Permentan No. 22/2017 (Pendaftaran dan Peredaran Pakan), kemudian pembahasan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait bidang obat hewan oleh Drh Zulfikli (Biro Hukum), peran PPNS penanganan obat hewan ilegal oleh Drh Widiarto (Koordinator PPNS) dan materi peran ASOHI dan Kode Etik ASOHI oleh Drh Irawati dan Drh Lukas.

Peserta PPJTOH saat mengunjungi lab. BBPMSOH.
Di hari kedua, ditampilakan pemateri Prof Budi Tangendjaja soal sediaan feed additive dan feed suplement, Dr Drh Agus Wiyono (tim KOH) mengenai sediaan farmasetik dan obat alami, Dr Drh Heru Setijanto (Ketua PDHI) tentang kode etik profesi dokter hewan, Drh Bambang Haryanto pembahasan tindakan karantina obat hewan, serta M. Zahid (BBPMSOH) mengenai pengujian mutu obat hewan dan rantai dingin pengiriman obat hewan. Dihari terakhir, pelatihan ditutup dengan kunjungan peserta ke laboratorium BBPMSOH di Bogor, Jawa Barat. (RBS)

Analisa Lapangan IBD vs IBH: Menelisik Gambaran Hasil Nekropsi (Tony Unandar)


Kasus-kasus infeksius dalam industri perunggasan seolah terus berpacu bermunculan (emerging diseases) seiring dengan perkembangan industri perunggasan itu sendiri. Tidak hanya dari segi kuantitas, tetapi juga kualitas. Contoh yang paling anyar dalam setahun terakhir adalah kasus penyakit Hepatitis Syndrome alias Inclusion Body Hepatitis (IBH). Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan situasi gamang di lapangan, baik bagi peternak maupun praktisi perunggasan. Paparan tulisan ini mencoba membantu peternak maupun kolega praktisi lapangan untuk menentukan diagnosa yang akurat berdasarkan nekropsi dalam membedakan kasus IBD (Infectious Bursal Disease) dengan IBH yang sekilas serupa, tapi tak sama.

Pengamatan Jaringan Limfoid 
Pada ayam, dari DOC (Day Old Chick/ayam umur sehari) sampai dengan umur sekitar empat minggu, proses pendewasaan sel-sel limfosit yang bertanggung jawab bagi sistem imunitas ayam terjadi baik di dalam bursa Fabricius (sel limfosit-B) maupun timus (sel limfosit-T). Itulah sebabnya kedua organ itu disebut Organ Limfoid Primer (OLP) dan ketergantungan respon imunitas ayam umur di bawah empat minggu pada kedua organ tersebut sangatlah besar. Demikian juga jika terjadi kerusakan kedua organ tersebut, baik oleh agen infeksius maupun non-infeksius, efek imunosupresi yang ditimbulkannya akan jauh lebih signifikan dibanding dengan kejadian serupa untuk ayam berumur di atas empat minggu. Hal ini bisa terjadi karena proses pendewasaan sel-sel limfosit (baik B maupun T) pada ayam umur di atas empat minggu tidak hanya tergantung pada OLP, akan tetapi dapat juga terjadi dalam Organ Limfoid Sekunder (OLS) seperti limpa, sumsum tulang, HALT (Head Associated Lymphoid Tissue), BALT (Bronchiol Associated Lymphoid Tissue), maupun GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue).

Terhadap jaringan limfoid, patogenesis (proses perjalanan agen infeksius dalam membuat kerusakan jaringan atau organ tubuh induk semang) pada infeksi virus IBD sangatlah berbeda dengan pada IBH (Fowl Adenovirus grup I atau Aviadenovirus). Virus IBD mempunyai tropisma (sel atau jaringan kesukaan/target) terutama sel-sel jaringan bursa Fabricius, sedangkan virus IBH mempunyai tropisma terutama sel-sel epitelium dan sel-sel limfosit, baik sel limfosit muda maupun sel limfosit yang sudah dewasa. Itulah sebabnya, secara kasat mata, dari sudut pandang patologi-anatomis, pada kasus IBD lesio-lesio hanya ditemukan pada organ limfoid bursa Fabricius saja, sedangkan pada kasus IBH lesio-lesio dapat dijumpai pada hampir semua organ limfoid, baik OLP maupun OLS. Kondisi inilah yang bisa menjelaskan mengapa efek imunosupresi pada kasus IBH lebih hebat dibanding IBD, baik itu humoral immunity maupun cell-mediated immunity. Inilah perbedaan Pertama gambaran patologi-anatomis pada nekropsi antara IBD dan IBH.

Pada pengamatan secara histologis, serangan virus IBD terhadap sel-sel jaringan bursa Fabricius dapat mengakibatkan kematian sel-sel jaringan bursa, kerusakan dan regresi folikel-folikel di dalam plika bursa (termasuk sel limfosit muda), serta kerusakan sistem vaskularisasi pada jaringan bursa. Itulah sebabnya, secara kasat mata atau secara patologi-anatomis, pada kasus IBD ada manifestasi reaksi peradangan yang hebat dari organ bursa Fabricius (tampak baik secara internal maupun secara eksternal), adanya regresi dari beberapa plika (bursal plicae) dengan derajat keparahan yang bervariatif, serta tampak adanya perdarahan-perdarahan yang sifatnya sporadik sampai difus (merata). Pada kasus IBD, imunosupresi yang ditimbulkan terutama terhadap humoral immunity (kekebalan dengan perantaraan antibodi) dan bersifat temporer, karena pada ayam di atas empat minggu proses pendewasaan sel limfosit B tidak lagi tergantung pada bursa Fabricius.

Di lain pihak, pada kasus IBH, manifestasi fase dini biasanya ada pembengkakan ringan semua organ limfoid yang kadangkala disertai perdarahan ringan yang cenderung difus dan adanya regresinya organ limfoid tersebut (karena kematian sel-sel limfosit) pada fase lanjut yang derajat keparahannya belum tentu sama antar organ limfoid. Itulah sebabnya, secara patologi-anatomis, relatif lebih sulit untuk membedakan kelainan bursa pada kasus akibat IBD dengan IBH kalau berhenti hanya mencermati organ bursa Fabricius saja. Yang jelas, pada IBH umumnya perdarahan maupun regresi pada plika terjadi relatif bersamaan karena yang diinfeksi adalah sel-sel limfosit, sedangkan pada IBD tidak, tergantung aktivitas virus pada masing-masing jaringan plika.  Inilah perbedaan Kedua gambaran patologi-anatomis pada nekropsi antara IBD dan IBH (Lihat foto 1). ***

Tony Unandar
(Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi 283 Februari 2018...

Inovasi Takesi Dukung Program UPSUS SIWAB

Kepala BBLITVET Dr drh NLP Indi Dharmayanti MSi bersama Kepala Balitbangtan Dr Ir Muhammad Syakir MS ketika me-launching aplikasi Takesi.

Bogor - INFOVET. Takesi, selintas mengingatkan kita pada nama salah satu aktor kebangsaan Jepang, namun bukan. Ini Takesi yang merupakan aplikasi kesehatan sapi yang dikembangkan Badan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui unit kerja Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLITVET).

Aplikasi Takesi dapat diunduh secara gratis melalui Appstore. Aplikasi ini memiliki empat menu utama antara lain penyakit dan gangguan reproduksi pada sapi indukan, penyakit dan gangguan pada anak sapi, manajemen kesehatan, dan kontak ahli.

Berdasarkan jenis penyakitnya, aplikasi ini dibagi menjadi penyakit infeksius dan noninfeksius. Takesi dikemas menggunakan bahasa yang sederhana, singkat, dan jelas, termasuk memasukkan beberapa bahasa daerah popular terkait nama-nama penyakit tertentu pada ternak ruminansia, yakni sapi.

Kepala Balitbangtan Dr Ir Muhammad Syakir MS mengemukakan teknologi dan inovasi yang dihasilkan para peneliti di BBLITVET sejalan dengan yang disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa pertanian dapat maju dengan inovasi dan teknologi.

"Karena itu, semua program strategis nasional yang dimiliki Kementerian Pertanian berbasis riset dan teknologi," kata Dr Ir Muhammad Syakir MS di BBLITVET Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/2/2018).

Kepala BBLITVET Dr drh NLP Indi Dharmayanti MSi mengatakan, Takesi adalah satu dari sejumlah inovasi yang diluncurkan untuk mendukung program strategis Kementerian Pertanian dalam mewujudkan swasembada daging melalui UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting).

"BBLITVET memiliki inovasi lengkap mulai dari tahap pertama proses pemeriksaan hewan sampai tahap akhir pengembangbiakkan dan menghasilkan sapi indukan yang berkualitas," katanya.

Imbuhnya, saat ini sudah ada 1.700 orang yang mengunduh aplikasi tersebut sejak disosialisasikan November 2017. Sosialisasi masih terbatas di sejumlah wilayah yang menjadi sentra peternakan sapi, seperti Jawa Tengah, Sulawesi, dan NTB.

Sekitar 30 dokter hewan tergabung dalam aplikasi Takesi sebagai ahli, yang bersiap membantu peternak dalam menjawab berbagai pertanyaan dan persoalan yang dihadapi oleh peternak.

Takesi dilengkapi dengan galeri foto dan video tentang penyakit-penyakit sapi di Indonesia. Selain itu, aplikasi ini memiliki mesin pencari jenis penyakit berbasis gejala. Misalnya pengguna dapat memasukkan kata kunci "lumpuh" (sesuai dengan gejala klinis yang dilihat pada sapinya), maka dengan menyentuh tombol "cari", layar ponsel pintar akan menyajikan beberapa alternatif kemungkinan penyakit yang menyerang ternaknya.

Menurut salah satu peneliti BBLITVET, April Hari Wardhana SKH MSi PhD, Takesi dirancang sebagai bentuk pengabdian para dokter hewan, konsultasi kesehatan hewan melalui aplikasi ini tidak dipungut biaya.

“Kecuali ada tindakan yang mengharuskan dokter turun ke lokasi dan harus dilakukan pengobatan, atau pemberian vaksin kemungkinan ada biaya yang dikenakan," pungkasnya. (ndv)

Delegasi Alumni Fapet Unsoed Kunjungi Timor Leste


Delegasi Alumni Fapet Unsoed saat bertemu dengan
Mentri Petroleum Timor Leste, 
Hernanio C. Da Silva (paling kanan).
2-4 Februari 2018, empat alumni Fakultas Peternakan (Fapet), Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, yakni Ir. Agus Kadarisman, Ir. Ign. Hariyanta Nugraha, Ir. Eri Sasmita dan Ir. Teguh Sudaryanto, melakukan perjalanan ke Dili, Timor Leste.

Kunjungan tersebut, menurut Agus Kadarisman, bertujuan untuk melihat kondisi Timor Leste setelah kurang lebih 19 tahun memisahkan diri dari Indonesia, sekaligus bersilaturahmi dengan sesama alumni Unsoed yang saat ini menjadi Menteri Petrolium Timor Lese, Hernanio C. Da Silva, yang pada tahun sebelumnya menjabat sebagai Mentri Luar Negeri Timor Leste periode 2015-2017.

“Sesampainya di Bandar Udara Internasional Presiden Nicolau Lobato, rombongan langsung disambut hangat oleh Icha salah satu staf Ministry of Petroleum Timor Leste untuk check-in penginapan di Dili, bersamaan dengan jadwal kunjungan yang disusun langsung oleh Menteri Petrolium,” kata Agus.

Sebelum bertatap muka langsung, keempatnya diajak mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kota Dili, diantaranya Palacio do Governo yang merupakan gedung pusat pemerintahan, kemudian Palacio Lahane yang merupakan salah satu situs sejarah di mana dulunya adalah kediaman Gubernur Portugis, Taman Makam Pahlawan Seroja yang merupakan tempat pejuang-pejuang Indonesia gugur selama kurun waktu tahun 1975-1999 saat Timor Leste masih menjadi  bagian dari Indonesia, kemudian mengunjungi Patung J. Paulus VI dan Tais Market, pasar yang menyediakan kerajianan khas Timor Leste.

Pertemuan pun dilakukan di restoran “Katuas”, yang terletak di pinggir pantai dekat dengan tempat bersejarah Patung Cristo Rei yang dibangun oleh Presiden Suharto. “Di restoran ini kami bertemu dengan beliau dan dua orang teman yang dulu sama-sama sekolah di Magelang, yaitu Valentino Varella dan Manuel Justino. Valentino pernah menjabat sebagai Menteri Muda Veteriner dan saat ini aktif di Partai CNRT yang didirikan oleh Xanana Gusmao (2008). Sementara, Manuel Justino adalah pelukis profesional yang karyanya banyak dikoleksi oleh presiden dari negara-negara di Amerika Latin,” cerita Agus Kadarisman.

Dalam perbincangannya bersama Hernanio, ia terlihat sangat bahagia bertemu teman lama sembari mengingat-ingat pengalaman manisnya selama menuntut ilmu di Magelang dan Purwokerto. Ia pun juga menggambarkan kondisi Timor Leste saat ini.

“Sejak 19 tahun memisahkan diri dari Indonesia merupakan era yang berat, khususnya bagi kesejahteraan rakyatnya. Masih banyaknya pengangguran, pendapatan perkapita yang rendah, pasokan kebutuhan barang konsumsi dan produksi yang masih bergantung dari negara lain, itu mengindikasi bahwa negara ini masih harus bekerja keras agar sejajar dengan negara lain di Asean,” jelas Hernanio seperti dikatakan Agus.

Lebih lanjut seperti yang disampaikan Hernanio, “Peluang lain yang bisa digarap yakni sub-sektor peternakan yang mulai tahun ini sudah mengimpor sarana produksi peternakan dari Jawa Timur. Hernanio berharap, perusahaan-perusahaan peternakan di Indonesia bisa berinvestasi ke negaranya dan beliau bersedia untuk membantu dalam hal perijinan,” tukasnya. (AK/INF)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer