Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

GRATIS ! SEMINAR PERKEMBANGAN OBAT HEWAN DI INDONESIA

KAWAL PROGRAM UPSUS SIWAB, KEMENTAN GANDENG TNI-AD

JAKARTA, 28 April 2017. Bertempat di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Drh. I Ketut Diarmita, MP dan  Asisten Teritorial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Aster TNI AD) mendeklarasikan kerjasama dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau.
“Kerjasama ini dilakukan untuk mempercepat pencapaian kecukupan pangan hewani asal ternak, termasuk di dalamnya keberhasilan Upsus Siwab,” ujar I Ketut Diarmita.
Menurut Diarmita, perjanjian kerjasama ini juga sekaligus untuk menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara Menteri Pertanian dengan Panglima TNI Nomor 10/MoU/RC.120/M/12/2016 tentang Ketahanan Pangan. Sebagaimana diketahui bahwa terkait dengan penyediaan pangan hewani asal ternak,  Kementan mempunyai program percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau dalam rangka pemenuhan daging sapi dan kerbau di dalam negeri. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting.
Lebih lanjut disampaikan, Upsus Siwab merupakan suatu kegiatan yang terintegrasi dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau secara masif dan serentak, melalui pendekatan sistem manajemen reproduksi yang terdiri dari unsur-unsur: (a) pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi, (b) pelayanan inseminasi buatan (IB) dan kawin alam, (c) pemenuhan semen beku dan nitrogen cair, (d) pengendalian pemotongan sapi/kerbau betina produktif, dan (e) pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat.
“Upaya ini dilakukan sebagai wujud komitmen pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan asal ternak dan meningkatkan kesejahteraan peternak sekaligus mengejar swasembada sapi tahun 2026 seperti yang ditargetkan Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2017, kita targetkan kebuntingan ternak sapi dan kerbau mencapai 3 (tiga) juta ekor. Selain dari kelahiran anak sapi/kerbau, target lain yang akan dicapai yaitu menurunnya angka penyakit gangguan reproduksi dan menurunnya pemotongan sapi betina produktif,” kata I Ketut Diarmita.
Foto bersama jajaran Kementerian Pertanian dan TNI AD.
“Untuk mensukseskan pelaksanaan Upsus Siwab, kami perlu dukungan dan sinergi dengan program/kegiatan TNI yang bertujuan untuk peningkatkan populasi dan produksi sapi dan kerbau di Indonesia,” ucapnya. Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan, TNI-AD sebagai instansi negara bidang pertahanan negara yang tugas pokoknya dalam pemberdayaan wilayah pertahanan di darat, serta menciptakan kondisi sosial wilayah yang kondusif dan ketersediaan logistik wilayah, sehingga diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam mewujudkan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau.
“Deklarasi ini menunjukkan adanya komitmen bersama antara Kementerian Pertanian dan TNI AD untuk bekerjasama melaksanakan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau,” ungkap Diarmita.
Menurutnya, Perjanjian Kerjasama ini dimaksudkan sebagai upaya bersama untuk meningkatkan keterpaduan yang sinergi melalui kegiatan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau dalam rangka mendukung sistem pertahanan negara.
Dalam kerjasama ini, Ditjen PKH Kementan dan TNI-AD akan bersama-sama menggerakan peternak dan petugas teknis dalam pelayanan Upsus Siwab. Kedua belah pihak juga akan meningkatkan kapasitas aparatur, personil TNI AD (Babinsa), dan peternak dalam rangka pelaksanaan kegiatan Upsus Siwab, serta melakukan pendampingan kegiatan Upsus Siwab dalam rangka pengembangan sapi dan kerbau, terutama untuk pengembangan perbibitan sapi Brahman Cross ex impor yang ada di Aceh, Sumatera Utara dan Riau.
Selanjutnya disampaikan, pelaksanaan kerjasama ini akan ditindaklanjuti oleh wakil-wakil para pihak yang dalam hal ini pihak Ditjen PKH adalah Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak dan Direktur Pakan, sedangkan dari pihak Aster TNI AD yaitu Perwira Pembantu III/Perlawanan Wilayah Staf Teritorial Angkatan Darat (Paban III/Wanwil Sterad).

Dirjen PKH I Ketut Diarmita didampingi
Wakil Aster TNI AD Brigjen Budi Sulistijono
saat melayani pertanyaan wartawan. 
Mencegah Penyelewengan
Dalam kesempatan tersebut Dirjen PKH I Ketut Diarmita juga menilai bahwa banyak kecurangan yang terjadi di lapangan dalam program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab). Untuk itu pihaknya menggandeng Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Ia mengatakan TNI AD memiliki banyak pesonil (Babinsa) yang tersebar di seluruh wilayah dan dinilai mampu melakukan pengawasan. "Target kita semua sapi-sapi yang kita masukkan dari 2016 harus diawasi karena kita ingin hasilnya nanti jangan sampai menurun," ujar Diarmita.
Selain itu keamanan selama ini juga menjadi kendala. Ia mengakui program Upsus Siwab yang difokuskan di tiga provinsi Sumatra Utara, Aceh dan Riau belum terekam dengan baik. Misalnya ketika sapi indukan sakit atau mati tidak tercatat apa penyebabnya dan total jumlahnya. "Kenapa mati, bukti-buktinya, semua harus dipertanggungjawabkan dengan baik," kata dia.
Sebab selama ini tidak sedikit sapi indukan yang justru sakit atau dipotong untuk dijual dagingnya. Wakil Asisten Teritorial TNI AD Brigjend Budi Sulistijono mengatakan, pengawalan dan pendampingan Upsus Siwab merupakan implementasi pihaknya dalam mewujudkan swasembada pangan. Dalam lima tahun terakhir, kata dia, perkembangan situasi nasional khususnya komoditas daging menjadi masalah serius terutama menjelang hari raya keagamaan.
Ia mengaku, kerjasama Upsus Siwab ini sebenarnya sudah diuji coba selama lima bulan dan berjalan lancar. Pengawasan yang dilakukan pihaknya termasuk pengawasan terhadap semen beku, inseminator, petugas inseminasi buatan dan sebagainya.
"Melalui pendampingan dan pengawasan diharapkan bisa mengatasi kurang optimalnya program pemerintah membuat sapi bunting," ujar Budi.
Ia meminta Kementan membuat panduan berupa buku petunjuk atau Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) sebagai pedoman kerja. Hal tersebut nantinya bisa menjadi petunjuk kepada Babinsa dan masyarakat petani untuk meminimalisir terjadinya kesalahan di lapangan.
Untuk diketahui, total pengadaan sapi indukan 2016 sebanyak 15.824 ekor dengan rincian sapi indukan Brahman Cross ex impor sebanyak 4.397 ekor dan 11.427 ekor sapi lokal.
“Saya berpesan kepada para wakil yang ditugaskan agar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sehingga tujuan kerjasama ini dapat terlaksana dengan baik dan saya ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Asisten Teritorial TNI-AD beserta jajaran, atas waktu dan kehadirannya di tengah-tengah kesibukan melaksanakan tugas negara,” pungkas I Ketut Diarmita menutup sesi tanya jawab dengan wartawan. (WK)

Prof. Widya Asmara akan Bahas Penyebab Penurunan Produksi Telur pada Seminar Nasional Kesehatan Unggas

Prof. Widya Asmara
Beberapa bulan terakhir ini para peternak ayam petelur di beberapa daerah diresahkan oleh merebaknya penyakit pada ayam petelur yang menyebabkan penurunan produksi telur yang cukup tajam. Para peternak mengalami kebingungan mengenai bagaimana mengatasi penyakit tersebut. Disinyalir penyebabnya adalah AI Low Pathogenic.

Sehubungan dengan hal tersebut pakar virologi dari UGM Prof. Drh. Widya Asmara direncanakan akan menyampaikan informasi tentang penyakit pada ayam petelur khususnya Update penyakit AI, dalam Seminar Nasional Kesehatan Unggas. 

Seminar Nasional Kesehatan Unggas diselenggarakan oleh Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) pada tanggal 18 April 2017 di Hotel Santika TMII dengan tema “Dampak La Nina Terhadap Kasus Penyakit Pada Unggas di Indonesia”

PEMERINTAH PERLU SEDERHANAKAN PROSEDUR EKSPOR OBAT HEWAN

JAKARTA, 24 Februari 2017. Ekspor obat hewan asal Indonesia makin berkembang ke berbagai negara. Sayangnya pengurusan prosedur ekspor masih berbelit dan membutuhkan waktu lama, terkesan belum ada dukungan nyata dari pemerintah terhadap perusahaan obat hewan yang telah membawa nama Indonesia di pasar internasional.
Demikian kesimpulan dari presentasi Ketua Sub Bidang Eksportir ASOHI Peter Yan dalam rapat pleno pengurus ASOHI Februari lalu di Jakarta. Dalam paparannya, ia menyampaikan, masih ada beberapa kendala yang dihadapi oleh beberapa perusahaan eksportir obat hewan, yaitu mengenai prosedur di dalam negeri seperti registrasi dan prosedur ekspor, kemudian prosedur di negara tujuan ekspor.
Peter Yan (berjaket hitam) ditengah rapat pleno ASOHI (24/02/2017)
saat menyampaikan kendala soal ekspor obat hewan.
Untuk proses registrasi di dalam negeri Peter menyebutkan, registrasi obat hewan membutuhkan waktu yang sangat lama hingga 2 tahun. Proses registrasi juga sulit di-trace (dilacak) untuk mengetahui sudah sejauh mana proses registrasi tersebut berjalan. Selain itu proses antriannya sangat panjang, berbarengan dengan antrian produk impor.
“Kalau pemerintah serius mendukung ekspor, mestinya ada jalur khusus untuk produk registrasi berorientasi ekspor. Jangan disamakan dengan antrian produk impor,” ujar Peter.
Kemudian untuk proses pembuatan Health Certificate (HC) dan Surat Keterangan Ekspor (SKE) saat ini memakan waktu yang sangat lama kurang lebih 35 hari (2016) dan 45 hari (2017). Padahal negara lain cukup sehari atau beberapa jam saja.
“Sekarang kabarnya dengan penerapan e-billing bisa tujuh hari. Kalau bisa proses e-billing dapat dipercepat. Dan untuk tanda tangan HC serta SKE sebenarnya tidak perlu sampai Dirjen. Yang membuat lama adalah karena yang tandatangan harus Dirjen padahal negara tujuan ekspor tidak mempermasalahkan siapa yang tanda tangan, yang penting resmi dari Kementerian,” ucapnya.
Masih dalam permasalahan yang sama, untuk tarif layanan ekspor yang diatur dalam PP No. 35/2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Pertanian, mengatur bahwa jasa sertifikasi obat hewan, yakni SK Impor bahan baku dikenakan tarif Rp 100.000 per produk, SK Ekspor (Certificate of Free Sale, Certificate of the Origin, Certificate of Pharmaceutical Product, HC) dengan tarif Rp 100.000 per produk dan tarif Pre-Shipment Rp 830.000 per orang (minimal dua orang).
“Harusnya ada insentif untuk produk ekspor atau gratis. Kalau toh ada tarif, jangan per produk tapi per surat. Saat ini kalau ekspor 10 produk, walaupun suratnya satu lembar, bayarnya 10 kali tarif yang berlaku. Kami mengharapkan segala tarif untuk ekspor dihapus saja. Semuanya gratis. Ini sangat wajar karena eksporkan menghasilkan devisa,” tambahnya.
Masih soal yang sama, Peter juga menyoroti tentang proses karantina oleh Badan Karantina Pertanian sebelum pengiriman barang. Ia menilai adanya double check, karena di negara tujuan ekspor kembali dikarantina. Menurutnya lebih baik tidak perlu dilakukan proses karantina. Mestinya yang dikarantina adalah barang yang akan masuk ke Indonesia. Kalau yang mau dieksporkan yang akan menjalankan fungsi karantina adalah negara tujuan. “Sebenarnya apa fungsi Karantina untuk ekspor? Kan ini menghambat pengusaha yang sudah atau akan mengembangkan ekspor,” tambahnya.

Prosedur di Negara Tujuan 
Peter memaparkan, secara umum sudah menjadi prosedur wajib sebelum melakukan registrasi untuk melengkapi format dokumen registrasi seperti CTD (Common Technical Documents) format dan GMP inspection/onsite inspection. Namun ada beberapa variasi  kebijakan registrasi obat hewan di berbagai negara yang perlu dipahami oleh perusahaan yang akan ekspor. Misalnya di Malaysia, sudah melakukan registrasi online dari badan registrasi. Lembaga yang mengurus obat hewan bermacam-macam. Untuk produk antibiotik melalui Biro Pengawalan Farmaseutikal Kerajaan, vitamin melalui Departement of Veterinary Service) dan vaksin melalui Ministry of Health. Kemudian di Bangladesh yang menetapkan produk impor harus sudah ter-registrasi minimal di satu negara maju.
Sementara di Filipina, India dan Nepal membuat kebijakan larangan impor vaksin asal Indonesia, oleh karena Indonesia masuk dalam daftar OIE (World Organisation for Animal Health) sebagai negara endemik flu burung (Avian Influenza/AI). Peter mengharapkan pemerintah bisa melakukan lobby ke negara tersebut agar kebijakannya diubah.
Peter menjelaskan, kendala lain yakni soal kebijakan impor di negara ekspor, misalnya bea masuk produk impor yang lumayan cukup tinggi sekitar 20-30%, terutama di negara-negara Afrika. “Karena itu, saya usul agar ada kerjasama atau negosiasi antar pemerintah untuk melakukan tax reduce,” katanya.
Kendati begitu, Peter berterima kasih kepada Kementerian Perdagangan yang belakangan ini cukup membantu promosi produk obat hewan Indonesia di luar negeri, melalui pameran dan forum lainnya. Ini harus terus ditingkatkan. (RBS/BS/WK)

LUAR BIASA, NILAI EKSPOR OBAT HEWAN INDONESIA CAPAI RP. 26,35 TRILIUN


JAKARTA, 5 April 2017. Pada era pemerintahan Jokowi-JK, yaitu tahun 2015 dan 2016 Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) telah mengeluarkan rekomendasi ekspor obat hewan senilai Rp 26,357 Triliun.
Dalam keterangan persnya, Dirjen PKH Drh. I Ketut Diarmita, MP menyebutkan, ekspor obat hewan Indonesia sebesar Rp 7,843 triliun berhasil menembus pasar ekspor pada tahun 2015, dan dengan dukungan yang disyaratkan pengimpor untuk jaminan mutu dan  keamanan obat hewan, sehingga ekspor pada tahun 2016 naik menjadi sebesar Rp 18,514 triliun. “Artinya terjadi peningkatan nilai ekspor obat hewan sebesar Rp 10,671 triliun atau terjadi peningkatan sebesar 136%,” ungkap Dirjen PKH tersebut.
“Besarnya jumlah ekspor obat hewan tahun 2016 adalah sebesar 459.902 ton, sedangkan nilai ekspor tahun 2015 adalah sebesar 211.631 ton,” kata I Ketut Diarmita.
“Angka ini menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mendukung ekspor obat hewan dengan kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 248,271 ton (46%) dibandingkan dengan jumlah impor obat hewan tahun 2016 adalah sebesar 297.468 ton, sedangkan nilai impor tahun 2015 adalah sebesar 395.656 ton, artinya terjadi penurunan impor sediaan farmasetik dan premik sebesar 68,1 ton (17,5 %),” ungkap Dirjen PKH menjelaskan.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan, peningkatan nilai ekspor ini tentunya sangat menggembirakan bagi dunia usaha di bidang obat hewan dan menunjukkan bahwa obat hewan mempunyai kontribusi yang besar dalam peningkatan devisa negara, sekaligus merupakan keberhasilan yang luar biasa dari Kementerian Pertanian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat terutama di bidang obat hewan.
“Saat ini Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor berbagai komoditi strategis dalam rangka meningkatkan perekonomian negara. Ternyata obat hewan ini mempunyai kontribusi yang luar biasa. Nilai ekspor bahan pangan dan obat hewan saat ini didominasi oleh obat hewan dimana obat hewan menjadi primadona ekspor yang mendatangkan devisa negara yang cukup besar,” ungkap I Ketut Diarmita.
Menurut I Ketut Diarmita, pada era perdagangan bebas sekarang ini dan seiring pesatnya perkembangan teknologi obat hewan, menyebabkan Indonesia menghadapi tantangan untuk meningkatkan produksi dan ekspor obat hewan. Selain itu juga, dengan diterapkannya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada tahun 2016, Pemerintah juga terus berusaha untuk meningkatkan jumlah Produsen Obat Hewan dalam negeri untuk tercapainya pemenuhan kebutuhan obat hewan baik di dalam negeri maupun ekspor ke luar negeri.

Kesibukan karyawan di salah satu pabrik obat hewan
yang telah menerapkan CPOHB.
Menjamin Mutu Lewat CPOHB
Lebih lanjut disampaikan, Kementerian Pertanian melalui Ditjen PKH berperan penting dalam memberikan jaminan mutu obat hewan yang akan diekspor ke luar negeri. Pemerintah selaku regulator tidak hanya melakukan peningkatan jumlah dari segi kuantitas saja, akan tetapi juga kualitas mutu produk dengan melakukan pengawasan obat hewan dari hulu yakni produsen obat hewan, distributor obat hewan sampai dengan ke hilir yakni para peternak selaku pengguna produk obat hewan.
“Untuk itu, Ditjen PKH selaku regulator terus berupaya untuk meningkatkan standar penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB) kepada para produsen, sehingga kualitas mutu obat hewan yang dihasilkan sesuai dengan standar Good Manufacturing Practices (GMP) Internasional, dan mampu berdaya saing dalam perdagangan internasional,” kata I Ketut Diarmita.
“CPOHB merupakan salah satu rambu pengaman dan sebagai salah satu bentuk sistem pengawasan kualitas secara dini sejak produksi. Dengan menerapkan CPOHB akan diperoleh jaminan mutu obat hewan sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing obat hewan produk dalam negeri,” tuturnya menambahkan.
Hasil yang telah dicapai dari penerapan CPOHB pada dua tahun terakhir (2015 - 2016) yaitu adanya perkembangan nilai ekspor di Kementerian Pertanian yang cukup signifikan, khususnya di Ditjen PKH yang berasal dari obat hewan. Hal ini menunjukkan bahwa produk obat hewan Indonesia memiliki kemampuan daya saing yang tinggi sehingga produk tersebut dapat diterima atau diekspor ke luar negeri.

Obat Hewan Harus Terdaftar
Selanjutnya dijelaskan oleh I ketut Diarmita, untuk menjamin mutu obat hewan yang beredar dalam masyarakat dan memudahkan dalam pengawasannya, maka obat hewan yang akan diproduksi dan diedarkan harus didaftar dan diuji mutunya. “Semua obat hewan yang akan diedarkan di dalam wilayah Republik Indonesia harus mendapatkan nomor pendaftaran (Registration Number) yang salah satu komponen penting dalam pemberian jaminan mutu dan keamanan terhadap ekspor obat hewan,” ujar I Ketut Diarmita.
Menurut Drh. Fadjar Sumping Tjatur Rasa (Direktur Kesehatan Hewan), untuk mendapatkan nomor pendaftaran semua obat hewan yang akan diedarkan harus memenuhi persyaratan minimal pengujian mutu obat hewan. Pengujian mutu obat hewan dilakukan di Balai Besar Besar Pengujian Mutu Obat Hewan (BBPMSOH), Gunungsindur Bogor. Selanjutnya, BBPMSOH akan mengeluarkan Sertifikat Hasil Uji yang merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan mutu dan  keamanan obat hewan.
Fadjar Sumping Tjatur Rasa menjelaskan, BBPMSOH oleh negara lain dikenal sebagai National Veterinary Drug Assay Laboratory disingkat NVDAL adalah satu-satunya institusi pemerintah Indonesia yang mempunyai wewenang melakukan pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan yang beredar di Indonesia. Selain itu, BBPMSOH juga berperan dalam pembinaan teknis kepada produsen obat hewan untuk meningkatkan jaminan mutu obat hewan produksi dalam negeri.
“Saat ini, peran Indonesia semakin penting dalam percaturan jaminan mutu obat hewan di kawasan Asia Tenggara. Hal ini karena BBPMSOH merupakan salah satu unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen PKH Kementan telah ditunjuk sebagai focal point untuk vaksin hewan di tingkat ASEAN sejak tahun 1993” ungkap Fadjar.  Lebih lanjut disampaikan, sebagai lembaga pengujian mutu obat hewan, BBPMSOH telah diakreditasi di tingkat nasional sejak Juni 1998 dan tingkat ASEAN sejak Agustus 2002.
Selanjutnya setelah memperperoleh Sertifikat Hasil Uji tersebut Ditjen PKH melalui Direktorat Kesehatan Hewan akan mengeluarkan Registration Number (Nomor Pendaftaran) Obat Hewan. Keberadaan Sertifikat Hasil Uji dan  Registration Number bagi unit usaha obat hewan menjadi sangat penting dalam melakukan eksportasi.
Direktur Keswan ini kembali menegaskan, jaminan mutu obat hewan dari Pemerintah sangat diperlukan dalam rangka peningkatan ekspor obat hewan Indonesia ke manca negara. Dalam kurun waktu satu tahun ini nyatanya pemerintah telah berhasil meningkatkan jumlah produsen obat hewan, sehingga peningkatan jumlah produsen obat hewan dalam negeri berhasil menekan jumlah impor obat hewan secara signifikan. Hal ini terlihat dari penurunan angka impor obat hewan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 tercatat 90 perusahaan dimana 79 perusahaan merupakan Perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) dan 11 perusahaan merupakan Perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing).
Berdasarkan data rekomendasi ekspor dari Direktorat Kesehatan Hewan Ditjen PKH Kementerian Pertanian, memperlihatkan bahwa produsen obat hewan dalam negeri telah berhasil menembus pasar Internasional, tidak hanya ekspor ke negara berkembang, tetapi telah menembus negara maju seperti negara bagian Eropa dan Amerika.
Pada tahun 2016 Indonesia telah berhasil melakukan ekspor obat hewan ke 57 negara, yang tersebar di 4 benua yaitu Eropa, Amerika, Asia dan Afrika. Negara bagian Eropa seperti Belgia, Bulgaria, Croatia, Perancis, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Belanda, Norwegia, Polandia, Serbia, Slovenia, Rumania, Yunani, Albania, Georgia, Yordania, Kroasia, Ukrania dan Rusia. Negara Amerika, Brazil, Guatemala dan Argentina merupakan empat negara di bagian benua Amerika yang berhasil ditembus. Untuk benua Afrika seperti Negara Mesir, Montenegro, Maroko, Tunisia, Nigeria, Tanzania, Ethiophia, Bhutan, Uganda, Zimbabwe, Zambia dan Kenya. Sedangkan di benua Asia Negara tujuan ekspor obat hewan kita adalah Jepang, China, India, kamboja, libanon, Malaysia, Nyanmar, Nepal, Pakistan, Bangladest, Fhilipina, Thailand, Timor Leste dan Vietnam, Arab Saudi, Iran, Irak, Lybia, Taiwan, Yaman dan Yordania.
Negara tujuan untuk eskpor sediaan-sediaan farmasetik antara lain China, Ethiophia dan Filiphina. Sedangkan sediaan biologik ke Negara Albania, Hongkong, Libanon, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Syria, Timor Leste dan Zambia. Selain itu adalah Negara tujuan untuk sediaan premix.
“Dari banyaknya negara yang berhasil kita tembus menunjukkan bahwa obat hewan Indonesia telah mampu bersaing dengan negara maju baik dari segi mutu, khasiat serta keamanannya. Target Pemerintah dalam hal ekspor obat hewan adalah di tahun 2026 Indonesia mampu memenuhi kebutuhan obat hewan dalam negeri dengan target pengurangan jumlah impor sampai dengan kurang dari 30%,” ujar I Ketut Diarmita. (DitjenPKH/WK)

HARGA AYAM DAN TELUR JEBLOK, RIBUAN PETERNAK GERUDUK ISTANA NEGARA



JAKARTA, Kamis 30 Maret 2013. Ribuan peternak ayam pedaging (broiler) dan petelur (layer) hari ini menggelar aksi di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut pemerintah segera turun tangan membantu mengendalikan harga ayam dan telur yang terpuruk sejak tahun 2013.
Sugeng Wahyudi, Koordinator Sekretariat Bersama Aksi Penyelamatan Peternak Rakyat dan Perunggasan Nasional (PPRPN), mengatakan anjloknya harga ayam dan telur terjadi karena kelebihan pasokan di pasar, sehingga membuat harganya turun di bawah harga pokok produksi (HPP).
"Jika kondisi terpuruk ini terus berlanjut, bisa dipastikan peternak unggas rakyat yang merupakan aset bangsa dalam memproduksi pangan protein hewani yang terjangkau akan hilang dari Indonesia, akibat usaha peternak unggas rakyat bangkrut," kata Sugeng dalam keterangannya kepada wartawan Infovet di sela aksi.
Sedikitnya 3.000 peternak melakukan aksi damai menuntut
perhatian pemerintah atas anjloknya harga komoditas unggas. 
Dalam aksi ini, sedikitnya 3.000-an peternak ayam baik pedaging maupun petelur memadati lokasi yang dijadikan tempat aksi. "Ada sekitar 3.500 yang ikut aksi," tutur Sugeng.
Ribuan peternak ini berasal dari berbagai wilayah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten. Sebagian lagi datang dari Kalimantan Selatan, Lampung, dan Sumatera Selatan. Mereka tiba di Lapangan IRTI Monas pada pukul 09.00 WIB.
Selain berdemo di depan Istana Merdeka, ribuan peternak ini akan berjalan kaki ke Kantor Kementerian Perekonomian di Lapangan Banteng, Kantor Kementerian Perdagangan di Tugu Tani, dan kemudian melanjutkan dengan menumpang bus untuk berdemo di Kementerian Pertanian di Ragunan, Jakarta Selatan sampai sore hari.

Perwakilan peternak diterima Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita
dan Dirjen PKH Kementan I Ketut Diarmita. 
Bawa Empat Tuntutan
Sehari sebelumnya sebanyak 20 Armada bus membawa 1.500 peternak ayam petelur dari Blitar menuju Jakarta. Mereka seluruhnya adalah peternak dari Malang, Madiun, Solo, Yogya, Bogor dan Bandung dengan tujuan untuk menemui Presiden Jokowi dan berdialog terkait makin terpuruknya kondisi peternak di Indonesia.
Rombongan yang direncanakan tiba Jakarta Kamis pagi (30/3/2017) ini membawa empat tuntutan. Yakni hentikan integritor, hentikan peredaran telur tunas di pasaran, sediakan jagung dengan harga murah dan stok cukup serta berlakukan larangan import tepung telur, sehingga pengusaha kue bisa membeli telur fresh dari para peternak.
"Kami mohon presiden menemui kami walaupun hanya sebentar. Biar tahu kondisi yang sebenarnya, jangan hanya menerima laporan baik-baik saja. Kami menuntut copot Mentan Amran yang membiarkan kami peternak makin sekarat," teriak koordinator aksi, Sukarman saat orasi jelang keberangkatan di depan SPBU Srengat Kab Blitar, Rabu (29/3/2017).
Menurut Sukarman, kinerja mereka hanya sebatas pencintraan. Ini terbukti dengan naiknya harga jagung sebagai pakan ternak di kisaran Rp 4.400 per kg.
"Kondisi kami makin parah dengan naiknya harga jagung. Belum lagi aturan yang masih memperbolehkan telur tunas dijual ke pasar 'becek' (Istilah pasar tradisional)," katanya.
Saat ini, jelas dia, harga telur di tingkat peternak masih dikisaran Rp 14.200/kg. Sementara berdasarkan hitungan matematis, peternak bisa mendapat keuntungan jika harga telur sama dengan 3,5 kali harga pakan.
"Jadi kalau diambil rata-rata harga pakan Rp 5 ribu/kg, peternak baru untung jika harga telur Rp 17.500/kg," tuturnya kepada wartawan.
Peternak menuntut dihentikannya budidaya yang dilakukan oleh perusahaan Integrator. 
Kerugian Rp 3.300/kg ini harus ditanggung peternak sejak Desember 2016, hingga banyak dari peternak yang harus menggadaikan harta benda mereka.
"Ini sudah banyak yang sertifikat rumah, tanah dan kandangnya yang masuk pegadaian dan bank. Buat nambah kredit modal biar mampu bertahan. Tapi kalau kondisi seperti ini belum berubah, bulan depan peternak sudah tidak bisa bayar cicilan, sekarat semua," tambah Rofi Yasifun, peternak ayam petelur.
Sebelumnya, pada 8 Maret 2016 lalu Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) diundang Kementan di Jakarta untuk forum grup diskusi membahas revisi Permentan No 61 tahun 2016.
Saat itu disepakati bahwa pembagian DOC (Day Old Chick: bibit ayam petelur) untuk layer yang keluar dari breding farm integrated. Peternak minta DOC 2% untuk internal integrated test farm, dan 98% untuk peternak rakyat atau UMKM koperasi. Namun sampai saat ini, ternyata aturan itu belum ditandatangani Kementan.
Sebelum berangkat, seorang peternak membanting beberapa telur sebagai simbol makin terpuruknya kondisi peternak, tidak hanya di Blitar namun seluruh Indonesia. Sekitar pukul 09.00 wib, satu per satu bus yang membawa rombongan peternak mulai berjalan untuk memulai perjalanan menuju Jakarta. (RBS,WK/detik.com)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer