Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

ISU HARGA DAGING KERBAU TINGGI, KEMENTAN SEGERA BENTUK TIM PANTAU

Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) segera menurunkan tim pada Senin dini hari, 2 Januari 2017 untuk turun ke beberapa pasar di Jakarta, menyusul adanya laporan penjualan daging kerbau beku di atas ketentuan pemerintah.
Menanggapi isu tingginya harga daging kerbau impor,
Tim Ditjen PKH segera merespon cepat dengan membentuk tim
untuk melakukan monitoring, Senin (2/1). 
Menurut laporan dari salah satu media, harga daging kerbau di pasar Jatinegara, Jakarta Timur dijual Rp 110.000/kg. Padahal pemerintah memberikan izin impor daging kerbau supaya harga daging bisa di bawah Rp 80.000/kg. Saat awal masuknya daging impor tersebut, harga daging kerbau dijual di pasar dengan kisaran harga Rp 70.000.
Menanggapi laporan tersebut, Dirjen PKH, Drh I Ketut Diarmita MP, langsung gerak cepat dan memerintahkan jajarannya di eselon dua untuk langsung turun ke pasar, Senin dini hari sekitar jam 04.00. Tujuannya ke Pasar Jatinegara dan beberapa pasar lainnya sekaligus melakukan Operasi Pasar. Diharapkan dengan langkah tersebut dapat menghasilkan solusi untuk mengembalikan harga daging seperti yang diharapkan pemerintah.

Hasil Monitoring   
Dari hasil monitoring Tim Ditjen PKH Kementerian Pertanian telah melakukan monitoring penjualan daging sapi dan kerbau ex-impor di Pasar Jatinegara, Pasar Kramat Jati, Pasar Minggu, Pasar Pecah Kulit dan Pasar Mampang Prapatan. Dari siaran pers hasil monitoring sebagaimana  dikutip Majalah Infovet pada Senin siang (2/1) dilaporkan sebagai berikut:                   
1.         Tidak ditemukan pedagang yang menjual daging kerbau ex-impor dengan harga Rp. 110 rb/kg;
2.         Harga rata-rata daging yang dijual ke konsumen yaitu :
a.         Daging sapi segar Rp. 110-120 rb/kg tergantung jenis potongan dan harga diatas sudah tidak mengandung lemak (daging murni),
b.         Daging sapi ex-impor (sudah thawing) Rp. 90-100 rb/kg (Pasar. Kramat Jati & Pasar. Minggu) dan Rp. 80-90 rb/kg (Pasar. Jatinegara, Pasar. Pecah Kulit dan Pasar. Mampang)
c.          Daging kerbau ex-impor Rp. 80-90 rb/kg (Pasar Kramat Jati dan Pasar Minggu) dan Rp. 75-80 rb/kg (Pasar Jatinegara, Pasar Pecah Kulit dan Pasar Mampang)
d.         Tetelan (lokal/impor) Rp. 55-70 rb/kg;
3.         Umumnya pedagang menjual daging kerbau ex-impor sebagai daging sapi, apabila pembeli teliti baru akan diinfokan sebagai daging kerbau;
4.         Beberapa pedagang yang menjual daging kerbau ex-impor dengan harga diatas 80 ribu adalah jenis daging yang sudah dibersihkan dari lemak, sehingga harga jualnya lebih tinggi;
5.         Freezer di pasar sudah tersedia, namun kapasitasnya hanya untuk menyimpan stock atau sisa daging yang tidak laku terjual;
6.         Belum ada pengawasan terhadap peredaran atau penjualan dari importir/distributor daging sapi/kerbau ex-impor;
7.         Tidak ditemukan pengoplosan antara daging sapi segar dengan ex-impor, karena secara kasat mata cukup berbeda karena daging sapi/kerbau ex-impor yang telah di thawing masih basah dan dingin.


Dirjen PKH I Ketut Diarmita menyampaikan, “Pengawasan peredaran daging di pasar adalah tanggungjawab bersama, termasuk ADDI (Asosiasi Distributor Daging Indonesia) yang telah menandatangani  MoU dengan Bulog terkait dengan pengawasan distribusi atau penjualan daging kerbau. Namun demikian, Ditjen PKH akan segera berkoordinasi dengan institusi atau lembaga terkait untuk menindaklanjuti hal tersebut.” (wan) 

DUKUNG PETERNAK RAKYAT, KEMENTAN TERBITKAN REGULASI BARU TERKAIT PERUNGGASAN

Dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani asal ternak, terutama daging ayam di dalam negeri dan untuk memperbaiki bisnis perunggasan di tanah air, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 61/Permentan/PK.230/12/2016 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras.
“Kebijakan baru perunggasan ini merupakan salah satu bentuk dukungan positif pemerintah di era pemerintahan Jokowi-JK dalam mengatur keseimbangan suplai-demand di bidang perunggasan, terutama untuk perlindungan terhadap peternak, koperasi  atau peternak mandiri dengan tidak merugikan perusahaan karena melalui perencanaan produksi nasional, sehingga dapat tercipta iklim usaha yang kondusif dan berkeadilan,” demikian disampaikan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rilisnya yang diterima Redaksi Infovet Jumat, (30/12/2016).
Berdasarkan data Statistik Peternakan Tahun 2015, untuk memenuhi kebutuhan protein hewani asal ternak, terutama komoditas daging ayam di dalam negeri, ayam ras menyumbang 55 % daging dan 71 % telur. Sedangkan ayam lokal menyumbang 11 % daging dan 11% telur. Selain itu, keberadaan ayam ras telah menimbulkan revolusi menu bagi orang Indonesia dari Red-meat ke White-meat, yaitu semula konsumsi daging sapi/kerbau 55%, turun menjadi 17% dan beralih mengkonsumsi daging ayam dan naik menjadi 67% selama kurun waktu 50 tahun terakhir yang sebelumnya 15%.
Dalam perkembangannya, usaha peternakan ayam ras pedaging (broiler) menjadi suatu industri mulai hulu hingga hilir yang dilengkapi dengan industri pendukungnya yaitu pakan, bibit, obat-obatan dan industri pendukung lainnya.
Untuk meningkatkan efisiensi usaha ayam ras, pelaku usaha telah mengintegrasikan usahanya dari hulu, budidaya, hingga hilir. Sebagian besar usaha peternakan ayam ras pedaging (broiler) dikuasai perusahaan integrasi. Peternak mandiri  ayam ras pedaging (broiler) sulit bersaing dengan perusahaan integrasi dilihat dari sisi penguasaan sarana produksi dan efisiensi usaha, sehingga biaya produksi pada peternak mandiri cenderung tinggi.
Hasil produksi ayam ras pedaging dari perusahaan integrasi baru sebagian kecil untuk pengolahan dan sebagian besar dijual ke pasar tradisional, sehingga market share peternak, koperasi, maupun peternak ayam mandiri di pasar tradisional menjadi turun. Perusahaan integrasi yang juga sebagai merupakan perusahaan inti dan dominan, memiliki Rumah Pemotongan Ayam (RPA) telah melakukan penyimpanan dengan fasilitas cold storage, namun kapasitas cold storage hanya mampu menampung stock sebesar 15-20% dari total produksi.
Untuk mengatasi permasalahan perunggasan terutama ayam ras di Indonesia tersebut di atas, maka Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah melakukan revisi Permentan Nomor 26 Tahun 2016 menjadi Permentan Nomor 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran dan Pengawasan Ayam Ras. Peraturan Menteri Pertanian yang baru tersebut telah ditandatangani oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2016.
Setelah ada peraturan yang baru ini, maka penyediaan ayam ras melalui produksi dalam negeri dan pemasukan dari luar negeri dilakukan berdasarkan rencana produksi nasional untuk menciptakan keseimbangan suplai dan demand. Penambahan dan pengurangan produksi ayam ras dapat dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan suplai dan demand.
Kelebihan lain dari diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian yang baru ini dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, yaitu: peternak bebas mendapatkan pakan dan obat-obatan. Selain itu, dalam Permentan yang baru juga diatur bahwa jika produksi livebird (LB) lebih dari 300.000 ekor, maka harus memiliki Rumah Potong Unggas dan fasilitas rantai dingin.
Selanjutnya DOC yang beredar, wajib memiliki sertifikat benih/bibit yang dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri, dan yang tidak memiliki sertifikat dilarang untuk diedarkan. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menyiapkan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang berlokasi di Gedung C Lantai 7 Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Dalam Permentan Nomor 61 Tahun 2016 juga mengatur tentang alokasi DOC FS broiler dan layer untuk internal integrator sebanyak 50% dan sebanyak 50% untuk pelaku usaha mandiri, koperasi dan peternak. Selain itu, pelaku usaha atau perusahaan dalam melakukan kegiatan penyediaan dan peredaran ayam ras wajib melaporkan produksi dan peredaran kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dengan tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota, dilakukan paling kurang 1 (satu) bulan sekali setelah selesai kegiatan penyediaan dan peredaran ayam ras.
Selanjutnya pengawasan penyediaan dan peredaran ayam ras dilakukan secara berjenjang yaitu oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan, sesuai dengan kewenangannya. (wan)

Simbiosis Kementan dan Badan POM Tingkatkan Daya Saing Peternakan

Bertempat di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Drh. I Ketut Diarmita, MP (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian) dan Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) menandatangani kesepakatan bersama dalam rangka Peningkatan Jaminan Keamanan, Mutu dan Daya Saing Pangan Olahan Hasil Peternakan.
Menurut Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmita, MP, penandatanganan kesepakatan bersama ini bertujuan untuk meningkatkan jaminan keamanan dan mutu pangan olahan hasil peternakan untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Selain itu juga untuk meningkatkan kesejahteraan peternak melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing pangan olahan hasil peternakan.
Penandatanganan nota kerjasama Kementerian Pertanian dan Badan POM yang diwakili oleh Dirjen PKH Drh I Ketut Diarmita MP dan Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Drs Suratmono MP.
Dalam pembukaan saat jumpa wartawan pada Selasa, (20/12/2016) Dirjen PKH Drh. I Ketut Diarmita, MP mengungkapkan bahwa kerjasama ini dilakukan dalam rangka percepatan pencapaian izin edar bagi Unit Pengolahan Hasil (UPH) Peternakan. Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Pertanian sejak tahun 2004 melalui Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) yang selanjutnya pada tahun 2016 diteruskan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan telah memfasilitasi sarana dan prasarana berupa bangunan dan alat pengolahan susu, daging, unggas dan telur kepada 372 UPH Peternakan berbasis kelompok dan gabungan kelompok. Sebagian besar produk olahan UPH tersebut belum memiliki sertifikat izin edar sebagai jaminan atas keamanan dan mutu, serta peningkatan daya saing produk.
Kendala yang dihadapi UPH dalam mendapatkan izin edar produk olahan baik berupa izin edar Makanan Dalam (MD) yang dikeluarkan oleh Badan POM maupun izin edar Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan antara lain: (1). biaya pengurusan izin usaha; (2). kesulitan memenuhi persyaratan teknis standar bangunan dan sarana prasarana pengolahan; (3). proses produksi yang belum memenuhi "Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB); (4). kesulitan memenuhi persyaratan administrasi terutama izin usaha.
Untuk mengatasi permasalahan di atas Kementerian Pertanian telah melakukan langkah-langkah antara lain: (1). memberikan fasilitasi bangunan dan alat pengolahan sesuai standar Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) dan SNI; (2). melakukan pendampingan dan pembinaan dalam rangka pengembangan pengolahan produk peternakan unggulan dan potensial; (3). melaksanakan bimbingan teknis untuk meningkatkan mutu produk olahan hasil peternakan bagi UPH peternakan; (4). menyiapkan pedoman/standar operasional prosedur pengolahan pangan hasil peternakan; (5). melakukan kajian Clustering Unit Pengolahan Hasil Peternakan di 10 provinsi melalui kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB yang bertujuan untuk mengkelaskan Unit Pengolahan Hasil (UPH) Peternakan dan merumuskan langkah strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan pengolahan hasil peternakan selanjutnya.
Sementara itu, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Suratmono mengatakan rencana kerja sama itu sudah mulai dikoordinasikan sejak April silam.
“Kita sudah diskusikan bagaimana bentuk kerja samanya. Kerja sama ini diharapkan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan,” ujar Suratmono.
Berdasarkan data Kementan, sejak tahun 2004, Kementan telah memfasilitasi sarana dan prasarana berupa bangunan dan alat pengolahan susu, daging, unggas dan telur kepada 372 UPH peternakan berbasis kelompok. Namun, sebagian besar produk olahan UPH-UPH belum memiliki sertifikat izin edar sebagai jaminan atas keamanan dan mutu pangan.
“Berdasarkan hasil koordinasi tersebut disepakati adanya Kesepakatan Bersama antara Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan dengan Deputi Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan POM dalam Peningkatan Jaminan Keamanan, Mutu dan Daya Saing Pangan Olahan Hasil Peternakan,” ujar Dirjen PKH menambahkan.
Ruang lingkup kesepakatan bersama ini meliputi: (1). Penyusunan roadmap dan pedoman pelaksanaan kegiatan; (2). Pendampingan dalam rangka penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB); (3). Pemberian Bimbingan Teknis kepada UPH Peternakan; (4). Koordinasi dengan pemerintah daerah terkait dengan penerbitan izin usaha; (5). Fasilitasi sarana prasarana; (6). Sosialisasi pelaksanaan kegiatan kepada jajaran dan UPH Peternakan; (7). Peningkatan kompetensi SDM; (8). Pertukaran data dan informasi terkait dengan pelaksanaan kegiatan; (9). Fasilitasi pengujian produk akhir; dan (10). Fasilitasi sertifikasi halal.
"Kerjasama ini diharapkan dapat berjalan sinergis dan berkelanjutan untuk menjamin keberlangsungan peningkatan jaminan keamanan, mutu, dan daya saing produk pangan olahan peternakan yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat," pungkas Ketut. (wan)

Dirkeswan Pastikan Pelarangan AGP

Dirkeswan (no 2) bersama Tim Infovet
Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoters) adalah amanat UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jadi harus kita patuhi. Tentang bagaimana implementasinya harus melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan). Demikian dikemukakan oleh Direktur Kesehatan Hewan Ditjen PKH Drh. Fajar Sumping Tjaturasa, PhD saat diwawancarai Infovet hari ini 28 Desember 2016 di ruang kerjanya.

Fajar mengatakan, UU tersebut disahkan tahun 2009, sekarang sudah berusia 7 tahun sehingga amanatnya (tentang pelarangan penggunaan AGP dalam pakan ) harus segera dilaksanakan. Draft Permentan sudah disusun, tinggal public hearing dan segera dilakukan pengesahan. "Kemungkinan Januari 2017 sudah efektif dilaksanakan pelarangan AGP tersebut," ujarnya.

Mumpung masih ada waktu untuk penyempurnaan, pihak pelaku usaha obat hewan, produsen pakan maupun peternak memiliki kesempatan untuk memberikan masukan terhadap draft Permentan tersebut.

Seiring dengan rencana pelarangan AGP Fajar menyarankan perlunya perhatian lebih serius terhadap pelaksanaan biosekuriti di peternakan. Dengan begitu maka penggunaan antibitika untuk pengobatan menjadi berkurang. "Jangan sampai berpikir penggunaan antibitika sebagai pengganti lemahnya biosekuriti," tambahnya.

Harapan Terhadap ASOHI & Infovet

Kepada Infovet, Fajar menyampaikan apresiasinya terhadap ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) yang telah banyak bekerjasama dengan pemerintah. Ia mengharapkan kerjasama ini dapat terus ditingkatkan. "Saya bukan orang baru di dunia obat hewan. Cukup lama di BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan), ikut dalam berbagai tim, ikut nulis buku yang diterbitkan ASOHI, ikut tim PPOH, juga ikut Komisi Obat Ikan, bahkan juga aktif di Badan Standarisasi Nasional untuk Codex Pangan," urai Fajar.

"Selama bergaul dengan dunia obat hewan, saya banyak melihat kerjasama pemerintah dengan ASOHI dalam menyusun sistem peraturan obat hewan sangat produktif. Bahkan kemudian menjadi referensi bagi pengaturan obat ikan. Saya percaya kerjasama yang baik ini dapat terus ditingkatkan," tambahnya.

Terhadap majalah Infovet, ia mengharapkan untuk terus berperan menjembatani informasi antara pemerintah dengan masyarakat di bidang peternakan dan kesehatan hewan. "Infovet sebagai media, bisa berperan sebagai ruang diskusi antara kami di pemerintah dengan masyarakat," ujarnya

Sekilas Karir

Fajar Sumping Tjaturasa adalah alumni FKH IPB angkatan 17 (1981-1986). Mengawali karirnya di BBPMSOH semenjak meraih gelar dokter hewan hingga tahun 2007. Selanjutnya diangkat sebagai kepala Balai Pengujan Mutu Produk Peternakan (BPMPP) tahun 2007-2009, pindah ke Direktorat Kesmavet tahun 2009-2011, kemudian dipercaya sebagai Kepala Balai Besar Veteriner (BBV) Wates, Jogjakarta tahun 2011-2016. Sejak Desember 2016 ia diangkat sebagai Direktur Kesehatan Hewan.

Doktor lulusan Jepang ini dikenal pekerja keras dan aktif di berbagai kegiatan lingkup peternakan dan kesehatan hewan termasuk kegiatan kerjasama dengan ASOHI.***



Mentan Lantik Pejabat Eselon 2

Hari ini, Selasa 20 Desember 2016 jam 08.00, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melantik pejabat eselon 2 di lingkungan Kementerian Pertanian. Terjadi beberapa pergeseran pejabat, antara lain Dr. Ir. Riwantoro yang semula sekretaris Ditjen PKH menduduki jabatan baru di Badan Ketahanan Pangan, sebagai Kepala Pusat Distribusi dan Cadangan Makanan. Drh. Enuh Rahardjo Jusa yang semula Kepala Balai Besar Pengujuan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) kini harus pindah ke Surabaya sebagai Kepala Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma). Sedangkan Drh. Sri Mukartini yang belum lama diangkat sebagai Direktur Kesemavet harus pindah kantor ke Gunung Sindur sebagai kepala BBPMSOH menggantikan posisi Enuh Rahardjo Jusa.
Direktur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD,
saat ditemui Infovet usai pelantikan. 

Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD yang sebelumnya menjabat Kepala Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta, kini balik ke Jakarta menduduki posisi strategis, Direktur Kesehatan Hewan yang semula ditempati oleh Drh Ketut Diarmita MP yang beberapa bulan lalu diangkat sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Bagi kalangan dunia usaha obat hewan Fadjar Sumping bukanlah orang asing. Sebelum menjadi kepala BBvet Wates, ia adalah "orang lama" di BBPMSOH yang aktif di berbagai kegiatan. Beberapa tim yang dibentuk ASOHI untuk membahas topik tertentu melibatkan Fadjar karena dinilai punya daya kepakaran yang baik, memiliki pemahaman masalah lapangan serta memiliki dedikasi untuk kemajuan peternakan dan kesehatan hewan.

Selamat kepada para pejabat baru, semoga dapat mengemban amanah sebaik-baiknya.

Mengenal Tipe Berpikir Customer Untuk Pemasaran


Agus Purwanto
Pada umumnya para praktisi marketing melakukan segmentasi pasar didasarkan pada data demografi target customer. Namun saat ini ada baiknya di lakukan pendekatan baru berupa segmentasi dengan mempertimbangkan aspek psikometri. Demikian Agus Purwanto dalam seminar yang diselenggarakan Infovet bersama divisi lain dalam naungan PT Gallus Indonesia Utama, Kamis 15 Desember 2016 di Jakarta.

Seminar ini diikuti oleh para eksekutif pemasaran berbagai perusahaan peternakan dan pengurus asosiasi bidang peternakan. Hadir pula perwakilan dari USSEC (United State of Soyben Export Council). Seminar ini mengangkat tema Improving Marketing Effectiveness with Undertanding Customer Thinking Types.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer