Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Kesepakatan Benahi Perunggasan Tanah Air

Peternak unggas khususnya yang rakyat atau mandiri kini bisa sedikit lega. Pasalnya, pada Senin (21/3), Kementerian Pertanian (Kementan) menjalin kesepakatan bersama para stakeholder perunggasan lewat penandatanganan nota kesepahaman (MoU) memperbaiki industri perunggasan di tanah air.
Mentan Amran saat menggelar konferensi pers hasil pertemuan
dengan para peternak besar dan kecil serta asosiasi perunggasan, di kantornya (21/3).
“Kita hari ini menggelar pertemuan, sudah tanda tangan bersama. Tujuannya agar peternak kecil dan pengusaha mendapat keuntungan yang wajar, dan konsumen mendapat harga yang bagus. Alhamdulillah sudah mencapai kesepakatan. Kita melakukan ini dalam satu jam,” ujar Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman, usai pertemuan tersebut di kantornya, Senin (21/3).
Tindak lanjut dari hasil kesepakatan itu, kata dia, akan dibahas lebih lanjut guna mencapai keseimbangan pasokan unggas. “Bila perlu nanti kita akan bentuk tim untuk menindaklanjuti dengan mengeluarkan Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) dalam waktu dekat,” katanya.
Sementara menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Muladno Basar, dari hasil kesepakatan itulah akan dituangkan dalam pementan yang akan mengatur usaha perunggasan di Indonesia. “Terkait poin-poin kesepakatan itu akan dibuat permentannya oleh Pak Menteri. Supply-demand pasti akan diatur lagi. Mari kita bangun ini (perunggasan) secara kekeluargaan,” kata Muladno.
Untuk mengatur hal itu, lanjutnya, akan menunggu perhitungan dari SAI Global sebagai auditor intenasional. “Setelah dihitung semua sepakat, berdasarkan hasil itulah supply-demand akan diatur dan akan dikeluarkan permentannya agar semua nyaman,” tuturnya.
Ia menambahkan, pihaknya akan menggandeng orang-orang yang ahli di bidangnya untuk terus bekerjasama membenahi polemik perunggasan ini. “Substansi yang akan diatur nanti orang hukum yang akan memberikan fatwa-fatwanya, karena kita negara kan kalau terlalu ngatur takutnya salah, tapi kalau di-diemin malah lebih salah lagi,” ucapnya.
Menyambut kesepakatan kerjasama itu, Ketua Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), Herry Dermawan, mengaku yakin permasalahan di industri perunggasan akan selesai secara perlahan. “Dari kesepakatan ini salah satunya juga menjamin ketersediaan DOC untuk peternak rakyat/mandiri atau UMKM. Dalam waktu tiga-empat bulan kalau on the track saya yakin semua akan selesai. Walau agak lama, mending beberapa bulan pasti daripada bertahun-tahun engga selesai,” katanya.

Harga Unggas Terus Berfluktuasi
Ia mengungkapkan, terkait supply-demand yang tidak seimbang, membuat harga unggas di tingkat peternak terus berfluktuasi. “Kemarin pertengahan bulan Maret sempat naik drastis, kita perwakilan peternak langsung bertemu dengan perusahan unggas besar, kita tuntut mereka supaya bisa menaikan harga, waktu itu harga sedang turun Rp 10.000 per kg, kemudian langsung naik ke Rp 19.000-lah per kg,” ungkapnya.
Pada saat itu, ia bersama perwakilan peternak lain meminta perusahaan unggas integrator untuk melakukan pemotongan sampai tiga shift dan menyimpannya dalam cold storage. “Caranya kami minta perusahaan ini melakukan pemotongan ayam di RPA sampai tiga shift dan dimasukan di cold storage masing-masing atau sewaan. Tapi memang ada harga psikologis, ketika harga ayam Rp 8.500-10.000 per kg menjadi Rp 19.000 per kg. Ini ayam yang di cold storage-kan keluar, karena cold storage juga perlu biaya, nah sekaranglah (21 Maret 2016) kejadiannya ayam beku keluar dan mempengaruhi harga menjadi turun lagi Rp 11.500-13.000. Tapi diharapkan penurunan ini tidak lama karena tadi saat bertemu, kita minta perusahaan melakukan hal yang sama agar minggu depan mencapai harga BPP Rp 18.500-19.000, dan kita harap hari ini sudah harga terendah,” paparnya.

Peternak Minta Benahi Rantai Pemasaran dan Segmentasi Pasar
Selain itu, Herry juga menyebut, para peternak meminta pengamanan harga pasar. Sebab jika harga ditingkat peternak turun, harga di pasar cenderung stabil. “Karena rantai pemasarannya terlalu panjang. Dari kandang peternak ke broker, kemudian ke bandar, lalu ke pengepul, dari pengepul ke tukang potong, baru ke konsumen, masing-masing ini punya keuntungan. Untuk itu kita minta ditertibkan oleh pemerintah agar disvaritas harganya sekarang ini menurut kita sampai 250%. Gini, kalo harga ayam  Rp 13.000 per kg, itu harusnya di pasar harga Rp 20.000 per kg saja sudah untung, namun kenyataannya sekarang Rp 34.000-35.000 per kg,” sebutnya.
Selain rantai pasar, segmentasi pasar, kata dia, juga menjadi kendala. Karena sebagian besar pasar khususnya pasar tradisional dikuasai oleh peternak integrator dalam memasarkan hasil produksinya. Memang hal itu tidak melanggar undang-undang, namun secara perlahan mematikan usaha peternak rakyat.
“Tadi juga ada usulan supaya peternak besar tidak masuk ke pasar tradisional, dan sudah ada semangatnya. Dikatakan Pak Mentan dan KPPU, dalam waktu tiga tahun itu harus terbagi dua (50%-50%), untuk peternak besar sisanya kita dorong untuk membuat produk-produk sampai akhir dan buat RPA, dll,” jelas dia.
Untuk itu, dengan adanya MoU ini ia berharap, semua unsur perunggasan bisa bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang terjadi bertahun-tahun. “Pak menteri juga sudah berinisiatif MoU ini akan dijadikan sebagai bahan baku terbitnya permentan, dengan membentuk tim yang terdiri dari semua unsur perunggasan, diantaranya perwakilan peternak besar dan kecil, breeding farm dan pabrik pakan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, MoU perunggasan ini dilakukan di Gedung Kementan dan dihadiri oleh KPPU, Bareskrim Polri, perwakilan peternak besar dan kecil, serta perwakilan asosiasi (stakeholder) perunggasan. (rbs)

Membangun Peternakan Dengan Kekuatan Sosial

Bukan lagi soal teknis. Peternak akan berdaya, jika menghimpun diri dan memiliki seorang leader yang visioner.

Republik ini tidak pernah kekurangan orang untuk menciptakan inovasi dan temuan mengagumkan. Jika di webometrik kita masih kalah dengan beberapa negara tetangga, sebut saja itu perihal ketertinggalan jumlah tulisan ilmiah, itu saja. Selebihnya banyak yang bisa dimanfaatkan peternak kita untuk mengembangkan usaha ternaknya melalui penarapan ilmu dan teknologi kekinian.
Bahkan internet-pun sudah masuk di setiap sudut desa. Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengenal teknologi peternakan terefisien. Namun, apakah peternak sudah lebih terjamin mendapatkan pundi-pundi emasnya? Ternyata belum. Banyak hal masih tidak bersahabat bagi peternak. Terutama yang terkait dengan pasar. Sebuah kata yang cocok dijadikan judul film, “Misteri dan Keajaiban Pasar”.

Penggambaran Jangkauan Kontrol Peternak Terhadap Biaya (A.A. Sakti, 2016).
Harga Pasar? Profesor-pun “Menyerah”
Para ahli, akademisi, dan ilmuwan sangat lihai menjawab pertanyaan tentang masalah teknis peternakan yang telah berhasil mereka pecahkan di laboratorium atau di lapangan. Para expert sosial ekonomi peternakan begitu mudahnya melakukan komunikasi dan membangkitkan semangat peternak untuk mau menggunakan teknologi, dan atau memberdayakan mereka dengan berbagai kegiatan.
Namun ketika seorang peternak mengeluh, bahwa sapi sudah berhasil mencapai target pertambahan berat badan dengan teknologi pakan terbaru, mereka takluk di tangan harga pasar. Semua ahli akan tertegun sejenak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bagi yang sudah sering mendapat pertanyaan itu, seringkali langsung dijawab, “saya menyerah jika ditanya tentang harga pasar”.
Teknologi yang diintroduksikan ke suatu titik usaha peternakan, biasanya akan memberikan tambahan cost, yang bisa jadi akan memberikan tambahan keuntungan. Namun, belum tentu margin keuntungan lebih besar daripada margin biaya produksi.
Jika pun berhasil lebih besar, masalah berikutnya yaitu tidak adanya kepastian harga pasar. Peternak kembali dipusingkan. Dari sinilah muncul pemikiran, bahwa improvement teknis produksi harus diimbangi dengan penguatan sabuk manajemen usaha. Peternak mampu menjangkau manajemen usaha yang kuat, jika mereka menghimpun diri dalam suatu kesatuan. Kemitraan ayam broiler yang dikelola perusahaan multinasional digunakan sebagai contoh, bagaimana kekuatan kelompok mampu mengatasi segala permasalahan bisnis. Lalu bagaimana nasib ternak lokal kita yang dikelola masyarakat umum? Sambil kita menjaga martabat ayam kampung (Sakti, 2013), atau mempopulerkan sapi Bali ke masyarakat dunia, perlu pembahasan dari sudut pandang berbeda untuk meningkatkan martabat para peternak Indonesia. Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang akhir-akhir ini diperkenalkan, menjadi salah satu terobosan penting dari Kementerian Pertanian periode ini.

Pendampingan peternak puyuh di kemitraan
Puyuh Holstein Indonesia Boyolali, Jawa Tengah.
Ibarat Sapu Lidi, Kuat Jika Berhimpun Bersama
Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia (BPPTK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gunungkidul pada tahun 2015, melakukan kegiatan diseminasi hasil penelitian di Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia di Boyolali, Jawa Tengah.
Pada medio 2014, kemitraan yang baru terbentuk pada tahun 2012 kemarin mempunyai jumlah peternak binaan 21 orang dengan populasi puyuh sebesar 35.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh 6,5 juta butir per tahun. Saat ini, jumlah peternak dibina telah mencapai 55 orang dengan populasi puyuh lebih dari 100.000 ekor dan mampu memproduksi telur puyuh lebih dari 19 juta butir per tahun, dengan omset usaha mencapai 4 miliar rupiah per tahun. Jika melihat populasinya, sudah mencapai sekitar 0,8% dari populasi nasional atau 2,5% dari populasi puyuh di Jawa Tengah (Ditjenakeswan, 2015).
Namun jika dilihat berapa persentase keuntungan kemitraan, ternyata hanya maksimal 4% dari omset yang beredar. Manajemen kemitraan memutuskan untuk menjual telur dengan margin keuntungan yang tipis, sehingga tingkat serapan pasar telur puyuh mereka selalu lebih dari 98% dari total panen, bahkan selalu kurang pada momen-momen tertentu. Hal ini membuat keamanan jumlah permintaan menjadi lebih terjamin. Selain itu, pangsa pasar juga dapat terjaga dengan baik. Ini sangat penting, dan menjadi salah satu jawaban atas pertanyaan di atas tentang bagaimana mengatasi harga pasar yang fluktuatif.
Bagaimana dengan biaya produksi di tengah keputusan mengambil margin keuntungan yang tipis? Kemitraan Puyuh Holstein Indonesia merupakan bentuk perhimpunan diri para peternak. Dengan berhimpun, mereka mampu menekan biaya produksi seperti pakan, transportasi, bibit, dan sarana produksi lainnya. Harga beli modal menjadi lebih rendah, karena mereka mampu membeli secara kolektif dengan tonase yang lebih besar, langsung dari perusahaan produsen pakan.
Prinsip koperasi berlaku di sini dengan segala keuntungan lainnya seperti kemudahan peternak dalam menjual hasil panen, kemudahan mendapatkan informasi terbaru terkait teknologi, pengendalian penyakit, maupun info pasar, dan membuat mereka kuat secara sosial, karena mayoritas dari mereka yang membangun kandang, bertetangga dalam satu kawasan. Resiko penolakan terhadap imbas buruk peternakan oleh masyarakat sekitar dapat ditekan seminimal mungkin.
Ketika saya bertanya kepada salah seorang peternak, tentang bagaimana mereka memasarkan telur, dengan tersenyum  dijawabnya, “Tidak usah ikut pusing mikir hal itu, karena manajemen kemitraan lebih ahli, dan kegiatan kami dalam beternak menjadi lebih tenang dan menyenangkan,” kata peternak tersebut. Semua keuntungan ini sulit didapat jika mereka berdiri sendiri-sendiri, mengatur semuanya sendiri, tentu akan mudah patah seperti halnya sebatang lidi yang bekerja sendiri.

Pengadaan pakan terpusat di kemitraan.
Leader yang Humanis dan Visioner
Seorang Sarjana Peternakan bernama Itmamul Khuluq berada di belakang ini semua. Pada tahun 2012, saat kembali ke desanya, mereka mendapati beberapa peternak puyuh yang berusaha sendiri-sendiri. Mandiri tentang segala hal, termasuk menghadapi rumitnya fluktuasi harga dari hulu ke hilir. Tak kuat melihat kenyataan pahit yang sering kali dihadapi peternak, Itmamul mulai membentuk manajemen kemitraan dengan dirinya sebagai pemimpin yang sebenarnya adalah sebagai pelayan bisnis bagi peternak.
Suatu koperasi atau kelompok ternak, tidak akan maju dengan pesat jika tidak dipimpin oleh leader yang bukan hanya memahami hal teknis, tetapi juga visioner. Grand desain akan membawa mereka semua ke arah tujuan bisnis yang jelas. Namun, semua itu akan menemui batu sandungan jika leader tersebut kurang humanis. Leader harus paham dan mampu memahami masing-masing karakter peternak. Mampu ngemomong (mengasuh) peternak dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang berbeda-beda. Serta mampu mengkombinasikan sifat berbeda itu menjadi satu kekuatan kemitraan yang murni dan identik dibanding kemitraan yang lain.
Kemudian Leader harus mau dan mampu terjun ke pasar, sehingga bisa membuat keputusan terbaik terkait strategi pasar. Kemampuan teknis, sifat humanis, dan pandangan visioner dibutuhkan leader untuk membawa perhimpunan ke arah kesuksesan. Peternak kita membutuhkan sarjana-sarjana seperti ini untuk mengelolakan usaha mereka, dan mendampingi mereka meraih kesejahteraan bersama.

Bukan Lagi Soal Teknis, Karena Ini Bisnis
Harga pasar untuk produk peternakan bukan hanya terkait teknis produksi, melainkan lebih dipengaruhi faktor sosial-politik, termasuk spekulan dan impor. Sayangnya, di setiap kegiatan pemberdayaan, peternak kita masih saja hanya diberi improvement tentang teknis, seperti halnya teknologi pakan dan aditif, bibit yang baik, pengendalian penyakit, dan usaha peningkatan performa ternak lainnya.
Empowerment yang lebih dibutuhkan peternak saat ini adalah tentang kelembagaan, kekuatan sosial, dan manajerial usaha. Segala teknis produksi akan lebih efektif dan efisien jika diimbangi peningkatan kekuatan mereka secara sosial dan manajerial. Karena mereka menjalankan bisnis, bukan sekedar membuat bentuk peternakan ideal seperti di kandang milik lembaga penelitian dan pendidikan. Entah peternak kita setuju atau tidak jika usaha ternaknya dianggap bisnis, namun jika kita sepakat bahwa peternak Indonesia harus berdaya, maka sekecil apapun usaha peternakan, selalu kita anggap sebagai bisnis, agar kepedulian kita menjadi total. Tidak lain hanya untuk mensejahterakan dan memuliakan peternak Indonesia.

Penulis adalah Peneliti Bidang Peternakan dan Ilmu Ternak, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-LIPI
e-mail:  indojava.awistama@gmail.com / awis001@lipi.go.id

Menanti Kiprah Perdana Gapuspindo

Berangkat dari niatan Pemerintah untuk menata organisasi di bidang peternakan dan kesehatan hewan tampaknya mendapat respon positif dari kalangan pelaku usaha terkait. Mereka yang bergerak di bidang usaha sapi potong, belakangan membentuk wadah baru yang diberi nama Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia, disingkat Gapuspindo.
Pembicara seminar di Munas Gapuspindo dari ki-ka:
Bustanul Arifin, Didiek Purwanto, Muladno, dan Rochadi Tawaf.
Gapuspindo adalah nama baru bagi Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo). Perubahan nama tersebut telah diputuskan pada Munas Luar Biasa (Munaslub) Apfindo yang berlangsung 5 Nopember 2015 di Hotel Santika Premier Bintaro, Tangerang Selatan. Perubahan nama ini didasari oleh perubahan mendasar dari Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga dimana anggota organisasi ini tidak hanya pelaku perusahaan penggemukkan (feedlot) sapi melainkan juga peternak sapi lokal yang telah menjalankan kegiatannya sebagai sebuah bisnis.
Pelantikan Ketua dan Anggota Dewan Gapuspindo masa bakti 2016-2019 dilakukan langsung oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian, Muladno disela acara Musyawarah Nasional (Munas) I Gapuspindo di The 7th Hotel, Bandar Lampung, 16 Februari 2016. Turut menyaksikan acara pelantikan itu Kepala Dinas PKH Provinsi Lampung, Dessy Desmaniar Romas serta sejumlah pimpinan asosiasi di bidang sapi potong.
Dari hasil Munas pertama Gapuspindo tersebut telah ditetapkan 12 nama sebagai pimpinan dan anggota dewan Gapuspindo untuk periode kepengurusan tahun 2016-2019. Antara lain terpilih Hafid Wahyu dari PT. Agri Satwa Jaya Kencana sebagai Ketua Dewan. Sementara sebagai Wakil Ketua ditetapkan Didiek Purwanto dari PT. Karunia Alam Sentosa Abadi dan sebagai Bendahara, Dudi Eko Setiawan dari PT. Eldira Fauna Asahan.

Fokus Rekrut Peternak
Setelah “berganti baju” menjadi organisasi yang nantinya karakteristik anggotanya lebih beragam, lalu apa langkah ke depan yang akan dilakukan Gapuspindo? Hafid Wahyu Ketua Dewan Gapuspindo saat ditemui Infovet menekankan bahwa dalam jangka pendek organisasi yang dipimpinnya terlebih dulu akan melakukan upaya konsolidasi ke dalam.
Langkah berikutnya adalah fokus untuk bisa merekrut sebanyak mungkin anggota dari kalangan peternak sapi, karena pada dasarnya industri penggemukan sapi tak akan bisa dilepaskan dari usaha menghasilkan sapi bakalan. “Jadi peran peternak sapi lokal itu sangat strategis dan kami berharap akan banyak peternak sapi yang menjadi anggota Gapuspindo,” tuturnya.
Dengan terwadahi dalam organisasi Gapuspindo pihaknya mengharapkan ke depan peternak bisa berorientasi ke bisnis komoditi, sehingga memiliki jadwal produksi dan penjualan yang jelas, bukan lagi beternak sapi hanya sebagai tabungan.
Duduk berdampingan dengan kalangan industri penggemukan sapi dalam satu organisasi, menurut Hafid, akan banyak manfaat yang dipetik oleh peternak. Misalnya pihak industri feedloter bisa menularkan teknologi pembesaran ternak atau teknologi pengawetan pakan hijauan yang dikuasainya.
“Begitu juga kalau ada anggota yang sukses di kegiatan pembibitan, maka peternak bisa belajar banyak mengenai ilmu pembibitan yang efektif dan efisien. Dan yang penting lagi nantinya sesama anggota bisa saling menjalin kemitraan menyangkut pemasaran produk yang dihasilkan masing-masing,” ujar Hafid.
“Dengan adanya kemitraan dengan transfer teknologi, para peternak lokal bisa menjadi lebih baik bahkan menjadi industri sapi. Petani dapat bermitra dengan pengusaha peternakan untuk memanfaatkan teknologi yang milik pengusaha disinergiskan dengan potensi petani daerah. Hafid juga menjelaskan Gapuspindo sendiri memiliki tugas untuk menjembatani kebijakan yang telah diberikan kepada pemerintah dalam mendorong pertumbuhan industri petani sapi,” tambah Hafid.
Tantangan Gapuspindo ke depan dipandang Hafid sangat berat karena kebutuhan ternak sapi untuk memasok kebutuhan daging dalam negeri mencapai sekitar 3,5 juta ekor per tahun. Belum bisa sepenuhnya dipasok dari peternak sapi lokal sehingga sebagian harus diimpor. “Karena itu sinergi harus diciptakan antara pembibit, peternak budidaya dan pelaku industri penggemukan di dalam negeri agar kebutuhan daging sapi kita dapat terpenuhi,” katanya.

Seminar diikuti oleh ratusan tamu undangan dari kalangan peternak,
pengusaha, universitas dan instansi pemerintah.
Seminar Industri Sapi Potong 
Selanjutnya setelah pelantikan, digelar pula seminar nasional dengan menampilkan narasumber Prof. Muladno Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian, Musdalifah dari kemenko, Prof. Bustanul Arifin dari Unlam dan moderator Prof. Rochadi tawaf dari Universitas Pajajaran.
Sebanyak 97% dari populasi sapi di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 14 juta ekor, dikuasai oleh peternak kecil yang hanya memiliki 2-3 ekor sapi. Sementara 93% dari kurang lebih 6 juta peternak di Indonesia adalah peternak kecil, hanya 7% saja yang bisa digolongkan sebagai industri peternakan.
Pada umumnya peternak kecil kurang mahir berbisnis, kemampuan modalnya terbatas, cara pengelolaannya juga kurang baik. Maka perlu bantuan dari pemerintah untuk memberdayakan mereka. "Jadi 93% peternak Indonesia itu peternak rakyat, hanya punya 2-3 ekor sapi. Pemerintah perlu hadir untuk mereka," kata Muladno yang menjadi pembicara pertama dalam seminar ini.
Selain itu meski program swasembada daging sapi sudah dicanangkan sejak lebih dari 1 dekade lalu, sampai hari ini Indonesia masih bergantung pada impor sapi, terutama dari Australia dan Selandia Baru. Minimnya produksi dari dalam negeri membuat harga dan pasokan daging sapi tak stabil. Data pemerintah menyebutkan, total kebutuhan daging sapi di Indonesia di 2016 adalah 674.690 ton. Pasokan dari dalam negeri hanya 2,5 juta ekor per tahun atau 441.761 ton. Kekurangan 232.929 ton atau setara dengan 600.000 ekor sapi hidup dan daging sapi 112.953 ton harus dipenuhi dari impor.
Muladno mengungkapkan, pihaknya telah menyiapkan program untuk memberdayakan para peternak kecil, yaitu Sentra Peternakan Rakyat (SPR). SPR ini akan mengonsolidasikan para peternak kecil dalam sebuah sentra, alias 'bisnis sapi berjamaah'.
"Apa yang harus kita lakukan? Selama ini mereka beternak, bekerja sendiri-sendiri. Mereka nggak bisa berbisnis. Saya ingin mengajak peternak kecil-kecil itu bisnis berjamaah supaya seimbang dengan pengusaha-pengusaha feedloter besar, semuanya di SPR," ujarnya.
Dalam program SPR ini, 500 peternak rakyat dan 9 orang tokoh peternak diorganisir di dalam sentra, didampingi ahli-ahli peternakan dari perguruan tinggi. Litbang Kementan, dan 1 dokter hewan. Pengelolaan SPR akan dipimpin 1 orang manager. Dalam 1 SPR minimal ada 1.000 ekor sapi indukan. Pendampingan dari para tokoh, akademisi, dokter hewan, dan manager ini akan meningkatkan kemampuan pengelolaan para peternak dan membuat usaha peternakan berorientasi bisnis.
"Ada 3 prinsip dalam bisnis berjamaah, semuanya di SPR. Pertama, konsolidasi dan pengorganisasian peternak. Kedua, penguatan kapasitas dan transfer tekno. Ketiga, jejaring kerja sama. Harus ada unsur pemerintah, peternak, dan akademisi. Ini akan kita copy di seluruh Indonesia. Pengusaha juga harus gabung," cetus Muladno.
Menurut perhitungannya, dengan asumsi tingkat kelahiran sapi 90%, maka setiap SPR akan menghasilkan 450 ekor sapi indukan, 1.103 sapi siap potong, dan 653 sapi pedet jantan. Bila ada 1.000 SPR di seluruh Indonesia, maka ada tambahan 450.000 ekor sapi indukan dalam 5 tahun. "Kalau 1.000 SPR, ada tambahan 450 ribu indukan dalam 5 tahun. Tahun depan mudah-mudahan sudah ada ratusan SPR," tuturnya.
Kementan menargetkan pembentukan 1.000 SPR dalam 5 tahun ke depan. Setiap SPR membutuhkan dana Rp 1 miliar, maka butuh dana Rp 5 triliun dari APBN untuk pengelolaan SPR selama 5 tahun. Meski butuh dana besar, menurut Muladno, penghematan yang dapat diperoleh dari SPR lebih besar lagi. Peningkatan populasi sapi dari SPR bisa menghemat dana Rp 13,9 triliun karena impor sapi berkurang. "1.000 SPR selama 5 tahun perlu dana APBN 5 triliun. Ini menghemat impor indukan Rp 9,9 triliun dan sapi bakalan Rp 4 triliun, total Rp 13,9 triliun," ucapnya.
Selain itu, manfaat lain yang diperoleh dari SPR adalah peningkatan populasi sapi lokal, peningkatan kesejahteraan peternak kecil, penciptaan lapangan kerja di daerah pedesaan,juga membuat populasi sapi lebih terpantau, perhitungan populasi sapi pun bisa lebih akurat.
"Populasi indukan bertambah, ekonomi tumbuh dari pinggiran, deurbanisasi, dan terjadi revolusi mental (karena peternak rakyat menjadi bisa berbisnis). Kita akan tahu persis populasi sapi kita, akurasinya dijamin 1.000%. BPS nggak perlu repot-repot menghitung lagi," Muladno menerangkan.
Dalam pelaksanaannya, SPR memang sulit diimplementasikan di lapangan. Tetapi program ini patut dicoba untuk memberdayakan peternak-peternak kecil, supaya peternak kecil bisa 'naik kelas'. "Ini memang tidak gampang, tapi ini salah satu cara untuk mengubah cara berpikir peternak-peternak kecil kita," tutupnya.
Untuk mewujudkan swasembada, diperlukan upaya peningkatan produksi dan produktivitas, salah satu caranya dengan melibatkan seluruh pihak terkait melalui pengembangan SPR.

Dukungan Pemprov Lampung 
Sebelumnya, Wakil Gubernur Lampung Bachtiar Basri menyatakan dukungan penuh untuk pelaksanaan munas Gapuspindo digelar di wilayahnya. Apalagi menurut dia, Lampung akan dijadikan lumbung ternak serta dapat menyuplai kebutuhan daging di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan lainnya. Ia mengatakan bahwa Lampung harus terdepan dalam pengelolaan sapi potong dan menjadi salah satu lumbung ternak di Indonesia. Provinsi Lampung akan menjadi lumbung ternak sapi potong utama karena melihat situasi lahan ternak, pakan, dan serta kondisi sangat mendukung untuk pelestarian ternak sapi potong di Tanah Air
Provinsi Lampung akan menjadi percontohan peternakan sapi di Indonesia. Ini dikarenakan Lampung merupakan lumbung ternak sapi dan pakan ternak yang cukup baik terlebih dengan adanya kemitraan oleh pengusaha melalui gabungan pelaku usaha peternakan sapi potong Indonesia (Gapuspindo).
“Dia menuturkan, pelaku ternak sapi lokal di Lampung berpotensi menjadi industri sebab Lampung mempunyai ketersediaan pakan ternak yang baik dan murah. Provinsi Lampung bisa dijadikan role model pengembangan peternakan sapi di Indonesia karena Lampung merupakan lumbung ternak nasional,” ujar Bachtiar sehari sebelumnya.
Nantinya, lanjut dia, Pemerintah Provinsi Lampung akan menitipkan sapi potong di lima kabupaten, seperti Tulangbawang Barat, Tulangbawang, Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan, sedangkan untuk tempat ternak kambing terdapat di Kabupaten Tanggamus.
Provinsi Lampung akan menjadi lumbung ternak sapi potong utama karena melihat situasi lahan ternak, pakan, dan serta kondisi sangat mendukung untuk pelestarian ternak sapi potong di Tanah Air. (wan)

Pentingnya Pemberian Pakan Sedini Mungkin

Pertumbuhan yang sangat pesat pada ayam broiler adalah sebesar 85% merupakan kontribusi dari aspek perubahan genetik, sedangkan nutrisi pakan hanyalah menjawab atas kebutuhan nutrisi yang tercipta karena proses seleksi genetik tersebut. Adalah dibutuhkan keseimbangan kombinasi antara seleksi genetik untuk pertumbuhan, komposisi karkas dan efisiensi pakan terus berkembang pesat, dimana setidaknya 2-3% perbaikan performans per tahun. Walaupun perkembangan laju pertumbuhan tersebut dikarenakan adanya perbaikan terhadap status kesehatan dan kekebalan terhadap penyakit serta perbaikan dalam hal kelainan metabolik, namun bukan berarti tidak ada kendala fisiologis sebagai konsekuensi faalinya.

Kendala dalam memacu kelangsungan perkembangan embryonal dan neonatal
Telah diketahui bahwa ada pengaruh induk dalam hal ini adalah ukuran telur (egg size) pada pertumbuhan masa embryonal. Laju pertumbuhan embryo dalam masa inkubasi sangat ditentukan oleh perkembangan sistem pencernaannya. Termasuk di dalamnya adalah masalah kemampuan untuk tumbuh dan berkembang yang terkait dengan kecukupan jumlah suplai nutrien, khususnya asam amino pada anak ayam yang baru menetas.  Masalah lainnya adalah kemampuan anak ayam untuk melepaskan panas (kalor/heat increment) sebagai hasil proses katabolisme, agar anak ayam dapat segera tumbuh dengan cepat sesuai dengan potensi genetiknya
Untuk memacu pertumbuhan ayam adalah dengan cara mulai awal dengan ukuran DOC yang lebih besar, karena ada korelasi positif antara berat DOC dan berat waktu panen. Untuk menjawab tersebut ada dua pilihan , yakni (1) dimulai dengan ukuran telur tetas (hatching egg/HE) yang lebih besar atau (2) meningkatkan laju pertumbuhan semasa embryonal. Kedua opsi tersebut kelihatannya agak sulit diterapkan mengingat bahwa (1) Berat telur HE dan Hen Day Production (HDP) mempunyai korelasi negatif; (2) Pertumbuhan embryonal sangat dibatasi dalam komposisi dan ukuran telur.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan embryonal
Terdapat banyak faktor yang berkontribusi dan dapat mempengaruhi pertumbuhan pada masa embryonal, antara lain: (1) Kandungan protein dalam telur; (2) menurunnya kandungan dan ketersediaan oksigen; dan (3) inefisiensi/gangguan metabolisme dalam pengunaan nutrien telur oleh embryo; serta (4) gangguan dalam mekanisme metabolisme embryonal dan tingkat penggunaan yolk sac
Studi dari Mc-Loughlin yang mempelajari laju pertumbuhan (growth rates) embryo dari berbagai ukuran telur (HE) menunjukkan bahwa ternyata terkendala oleh terbatasnya ruang (space) dalam telur. Pada HE kecil (40-50 g) pertumbuhan mulai terhambat pada hari ke-8 masa inkubasi; dan HE medium (50-60 g) pertumbuhan mulai terhambat pada hari ke-10 masa inkubasi; sedangkan melambat pada hari ke-8 pada HE besar (60-70 g). Kendala ini akan terjadi lebih awal mengingat potensi pertumbuhan ayam (broiler) terus meningkat alias lebih maju umur pencapaian berat badannya.

Periode pemberian pakan awal (Early Feeding)
Pertanyaannya adalah apakah ada peluang bahwa anak ayam dapat dipacu untuk tumbuh lebih cepat setelah menetas?
Dalam kondisi komersial bisa saja (dan sering) terjadi bahwa DOC terkondisikan ‘puasa’ selama 48 hingga 72 jam post-hatched (paska penetasan), sebelum mendapatkan akses ke pakan dan air minum. Studi yang dilakukan oleh Noy dan Sklan (2008) menunjukkan bahwa perlakuan  pemberian pakan pada saat menetas (1 jam dari pembersihan kerabang/cangkang telur)  dengan makanan padat, semi padat atau bahan/materi non pakan dan non nutrisional/tidak bergizi (seperti serbuk gergaji).
Hasilnya menunjukkan bahwa pada pencapaian berat badan sampai umur 21 hari dibandingkan dengan ayam yang tidak diberikan pakan selama 36 jam dihasilkan peningkatan berat badan pada umur 4 hari meskipun efek serbuk gergaji  bersifat sementara. Ada beberapa stimulasi mekanik dari GIT, khususnya di ampela (gizzard) berkaitan dengan paska penetasan.
 Konsumsi pakan lebih awal menghasilkan bebarapa hal berikut: (1) yolk (kuning telur) dapat digunakan untuk pertumbuhan awal/permulaan GIT jika disuplementasi  melalui pemberian pakan dari luar (exogenous feed); (2) pemberian pakan awal juga meningkatkan penggunaan kuning telur (yolk) dan secara sempurna dicerna setelah empat hari; (3) kekurangan nutrien awal mengakibatkan perkembangan GIT yang terlambat, dan (4) pemberian pakan lebih awal pertumbuhan dan proporsi/perbandingan daging dada menjadi meningkat. Sebagaimana terlihat pada grafik tersebut di bawah ini.
Grafik perubahan dalam berat badan (BW), usus halus (SI) dan berat residual kuning telur (Yolk) secara in vivo.

Grafik penyerapan gula (glucose), asam oleat (OA) dan asam amino Metionin (Met) secara in vitro; pada ayam yang dipuasakan selama 36 jam (H) dan yang diberi pakan langsung (F) setelah menetas.

Mengapa ayam menggunakan pakan daripada kuning telur?
Ternyata jika ada pilihan diberikan pada anak ayam yang baru menetas mengonsumsi pakan atau menyerap residu (sisa) kuning telur, maka anak ayam akan memlih mengonsumsi pakan melalui insting fisiologisnya. Hal ini lebih jauh diketahui bahwa lemak residu kuning telur adalah tidak keseluruhannya adalah lemak energi tinggi. Residu kuning telur adalah tersusun dengan komposisi untuk pertumbuhan membran sel dan sistem syaraf pusat (SSP/CNS) berupa chol-esters, phospholipida, dan omega-3 PUFA
Sedangkan protein yang terkandung dalam residu kuning telur mengandung sekitar 200 mg maternal antibodi sebagai proteksi kekebalan awal, bukan sebagai cadangan sumber asam amino (protein). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam yang dipuasakan ternyata tidak lebih cepat dalam menggunakan residu kuning telur dari pada ayam yang diberi pakan. Komponen residu kuning telur diperlukan sebagai kekebalan pasif sebagai dasar dari pertumbuhan dan sistem kekebalan.

Residu kuning telur sebagai sistem kekebalan anak ayam yang baru menetas
Anak ayam sangat tergantung pada pada maternal antibodi dan kemampuan respon bawaan, itulah sebabnya anak ayam tidak memiliki kemampuan untuk merespon terhadap tantangan lingkungan. Karena itu maka pelaksanaan imunisasi pada induk breeder sudah diketahui adalah sebagai cara terbaik jangka pendek untuk memperbaiki daya hidup (livability) anak ayam. Kemampuan ayam broiler dalam merespon terhadap tantangan lingkungan berkembang selama dua minggu pertama dan mencapai optimum pada umur 4-5 minggu.
Jika dihitung masa sekarang ini empat minggu pertama adalah merupakan 80% dari total umur ayam. Kebutuhan nutrien makro umur 0-2 hari sudah dipahami dengan baik, tetapi belum banyak diketahui untuk kebutuhan akan mikro nutriennya. Sistem penunjang pertumbuhan yang didominasi pertumbuhan saluran cerna (Gastro intestinal tractus/GIT) dibandingkan organ tubuh lainnya, tumbuh sangat pesat pada umur seminggu pertama.
Pertumbuhan sistem kekebalan mukosal sangat tergantung pada asupan pakan dari luar, status mikro mineral, dan paparan mikrobial, bukan dari kuning telur. Sedangkan diketahui bahwa kondisi neonatal (post-hatched) anak ayam memiliki kadar proteksi antioksidan enzimatis yang sangat terbatas, itulah sebabnya pemberian antioksidan pada induk breeder. Diketahui juga bahwa penambahan mineral mikro pada anak ayam dapat memperbaiki status kekebalan neonatal dan produksi enzym serta metabolisme secara keseluruhan.

Dengan mengetahui dan memahami proses fisiologis tentang pertumbuhan embryonal dan pertumbuhan neonatal, maka adalah sangat penting untuk memastikan bahwa anak ayam yang baru tiba dapat kesempatan untuk akses dan mendapat asupan pakan seawal mungkin setibanya di kandang. Hal tersebut hanya bisa terjadi jika situasi kandang dan brooding yang kondusif disertai anak kandang yang mengawasi dan melaksanakan kegiatan kesehraian memiliki kesadaran dan perilaku yang menunjang pula.

Oleh : Dr. Drh. Desianto Budi Utomo - Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Vice President - Feed Technology PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk.

IVSA Indonesia Event Week 2016

Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) atau yang dikenal secara Internasional sebagai IVSA Indonesia sukses mengadakan kegiatan bertaraf Internasional yaitu IVSA Indonesia Event Week 2016 yang mengangkat topik mengenai Tropical Diseases. Kegiatan ini berlangsung selama satu minggu dari tanggal 1 sampai 8 Februari 2016 dan bertempat di dua kota yaitu Yogyakarta dan Bali. Peserta berjumlah 37 mahasiswa yang berasal dari 17 Universitas berbeda dari 9 negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Korea Selatan, Hungaria, Estonia, Finlandia dan Kroasia.
Kegiatan ini dikemas dengan menggabungkan kegiatan-kegiatan akademik seperti kuliah umum dan workshop mengenai penyakit-penyakit tropis yang diadakan di FKH UGM dan FKH Universitas Udayana, kunjungan ke beberapa instansi seperti Balai Besar Veteriner Wates dan Monkey Forest Ubud Bali, serta kegiatan-kegiatan kultural seperti belajar membatik dan tak lain juga wisata ke tempat menarik seperti candi Borobudur di Magelang dan Bali Zoo.
Fendy Fadillah Akbar sebagai President Organizing Committee mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu program kerja IMAKAHI dalam rangka meningkatkan eksistensi IMAKAHI di kancah Internasional. Selain itu, kegiatan ini juga diharapkan mampu mengenalkan dunia kedokteran hewan di Indonesia secara global. Dengan adanya kegiatan tersebut, diharapkan terjadi transfer ilmu, ide maupun perspektif di bidang kedokteran hewan sehingga kedepannya mahasiswa kedokteran hewan, khususnya dari Indonesia memiliki wawasan yang luas dan mampu bersaing secara global. (Fendy)

Mengungkap Kenaikan Fantastis Harga Broiler dan Telur

Membaca situasi pasar komoditas broiler dan telur ayam ras tiga pekan terakhir di tahun 2016 ini, sepertinya tren kenaikan harga sudah pada titik puncak pencapaian harga tertinggi dan di sisi lain "kegusaran" pelaku pasar di tingkat pengecer sudah mulai mengemuka di berbagai media.
Kegusaran para pedagang ayam terlihat dari berbagai berita di media cetak maupun elektronik  yang memuat  berita tentang keluhan pedagang ayam yang mengalami sepi pembeli dengan statemen "Dijual murah rugi, dijual mahal tak ada pembeli". Kemunculan berita ini, agaknya juga mulai menjadi perhatian pemerintah, sehingga turut mengusik KPPU dan Kementerian Perdagangan RI untuk menelaah persoalan ini lebih mendalam. Apa sesungguhnya yang menjadi faktor penyebabnya harga ayam dan telur masih tinggi? Isu adanya potensi pelanggaran terhadap Undang-undang Persaingan Usaha atau UU lainnyapun sudah mulai berhembus.
Tanpa bermaksud membahas isu tersebut, tulisan ini hanya berusaha membuka cakrawala dibalik kenaikan "fenomenal" harga broiler dan telur ayam ras di tingkat peternak ini yang berujung pada kenaikan daging ayam dan telur di tingkat pengecer.
Merunut situasi  pasar broiler dan telur tiga pekan ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kenaikan harga broiler dan telur yang fantastis ini merupakan momen lanjutan dari serangkai berbagai kisah di pasar broiler dan telur semenjak jelang libur akhir tahun lalu. Dimana  menurut catatan penulis, dari sisi permintaan, menjelang libur panjang sekolah 20 Desember 2015 lalu harga broiler hidup dan telur menemukan laju kenaikan yang sangat nyata. Momen libur panjang akhir tahun lalu yang diwarnai kemacetan fatal di jalur arah keluar kota Jakarta, sepertinya mampu mendorong permintaan broiler dan telur hingga 5 kali lipat. "Permintaan sangat kuat, saya perkirakan sampai lima kali lipat dari biasanya," ungkap Muhlis pelaku pasar broiler di Yogyakarta.
Kuatnya permintaan saat liburan akhir tahun lalu terjadi karena bertemunya beberapa momen penting yakni Libur Panjang Sekolah,Hari Raya Natal dan bulan Maulid yang secara tradisi menjadi bulan yang baik bagi umat Muslim di Indonesia untuk menyelenggarakan hajatan keluarga. Maka menjadi tidak heran permintaan broiler dan telur menguat tinggi, sehingga mendorong kenaikan harga broiler dan telur masing-masing berkisar 27 persen. Hal yang sepertinya tidak terjadi saat lebaran tahun lalu.

Pasar Broiler
Hal yang tak disangka-sangka para pelaku pasar adalah pasca libur akhir tahun lalu, ternyata harga broiler hidup tidak mengalami penurunan. Justru terjadi sebaliknya, harga broiler malah terus naik. Bahkan menurut catatan penulis, harga broiler di kawasan Jabodetabek terpantau dengan harga tertinggi mencapai Rp 23.000/kg dan secara nasional harga tertinggi dicapai di daerah wilayah-wilayah Kalimantan yakni sebesar Rp 26.000/kg. Apa sesungguhnya yang terjadi?
Tinjauan dari sisi suplai ternyata menjawab pertanyaan itu. Menurut berbagai narasumber, penulis mendapati fakta yang  sama di berbagai daerah, yakni adanya penurunan suplai yang sangat nyata. Menurut Pinsar Wilayah Sumatera Selatan ada gangguan di produksi. "Berat ayam umur 2 minggu hanya 250 gram, dan 3 minggu hanya 500 gram," ungkap Ismaidi. Turunnya performa produksi broiler juga dialami peternak di Bali, Jawa Timur dan hampir semua wilayah.
Menurut Singgih Januratmoko - Ketua Pinsar Indonesi turunnya performa produksi karena kualitas pakan yang menurun. "Ini dikarenakan dampak kelangkaan jagung yang dialami pabrikan. Kalaupun ada jagung dengan kualitas rendah dan berharga mahal," jelasnya. Situasi ini diperparah dengan dampak el nino yang menyebabkan sebagian besar farm mengalami kesulitan air. Menilik situasi ini menjadi wajar, harga broiler mengalami kenaikan tertinggi akibat suplai yang tidak mencukupi. Namun demikan, saat tulisan ini dibuat, harga broiler hidup di beberapa wilayah sudah mulai menurun. Di Kalteng dan Kalsel bahkan sudah tertekan di bawah harga HPP nya yakni di harga Rp 13.500-15.000/kg. Menurut sumber penulis, penurunan disebabkan sepinya permintaan. Masa tanggung bulan diduga menyebakan daya serap pasar broiler menurun drastis.

Telur Ayam Ras
Kondisi pasar telur ayam ras sedikit berbeda dengan dengan broiler. Memasuki awal tahun 2016 ini, harga telur tercatat mulai mengalami tekanan. Penulis mencatat di pasar telur Jabodetabek, harga tertinggi ex-farm telur dicapai sebelum akhir tahun lalu yakni Rp 23.000/kg (28/12). Namun memasuki awal tahun hingga tulisan ini dibuat harga telur ex-farm sudah menurun di Rp 21.300/kg(20/1). Sementara di sentra produksi telur Blitar dan Solo tercatat Rp 19.800/kg (20/1).
Secara umum suplai telur nasional sangat cukup dan pada titik keseimbangan yang bagus dengan permintaan untuk membentuk harga yang baik bagi kelangsungan usaha peternakan. Gangguan-gangguan selama ini yang menyebabkan koreksi terhadap harga telur adalah masuknya telur breeding farm yang tidak ditetaskan masuk ke pasar komersil. Namun satu yang mendorong kuat harga telur beberapa waktu lalu merangkak tinggi adalah kelangkaan jagung yang membuat ongkos produksi telur naik 20 persen. Tak pelak, kondisi ni membuat peternak menjerit, khususnya yang melakukan self mixing. Untuk itu, peternak layer banyak berharap ke pemerintah, ke depan impor jagung yang dibatasi oleh pemerintah segera diperlonggar, sehingga jagung segera mudah didapat dan bisa menurunkan ongkos produksinya. (Samhadi) 

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer