Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

DAYA TARIK SAPI SUMBA ONGOLE


Oleh: Drh. Joko Susilo

Sapi lokal untuk bahan penggemukan semakin langka, setelah sapi PO, simental, limousine sekarang banyak feedlot mencari bakalan dari jenis sapi Bali, sapi Madura, sapi Kupang, dan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) adalah sapi ongole asli Indonesia berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan perawakan seperti sapi ongole (Jawa), warna asli putih, memiliki rangka dan perfoma produksi yang lebih baik dari sapi ongole. Frame yang tinggi panjang, bertanduk, perototan dan pertulangan kuat.

Di daerah asalnya sapi ini dipelihara dalam lahan penggembalaan (ranch) dengan panasnya sinar matahari di area ribuan hektar, pemilik sapi biasanya memiliki ratusan ekor sapi dan menandai sapinya dengan sobekan di telinga atau dengan cap bakar di paha.
 
Kelebihan pemeliharaan system ranch di sana adalah mendukung pembentukan rangka yang panjang karena sapi bisa exercise dengan cukup, mendapatkan vitamin D cukup dari sinar matahari, dan mendapatkan sebagian mineral (Ca) dari tanah atau bebatuan di sekitar ranch.  Kelemahan dari  system ranch adalah tingginya kejadian inbreeding, recording reproduksi dan produksi relatif susah, susahnya kontrol penyakit parasiter (cacing), sapi kecil akan selalu kalah dalam kompetisi perebutan pakan.
 
Pada musim kemarau, ranch akan sangat kekurangan air, akibat dari asupan air yang rendah akan terjadi kekurangan rumput, rendahnya perfoma reproduksi dan produksi, meningkatnya kematian pedet karena susu induk yang kurang mencukupi. Kurangnya rumput dan air pada musim kemarau menyebabkan menurunnya kondisi fisik sapi sehingga kejadian penyakit meningkat seperti demam tiga hari (Bovine Epiferal Fever), kekurusan (skinny) dan weakness (kelemahan). Saat musim kemarau terjadi peningkatan kejadian masuknya benda asing (kain, plastik, kayu, lidi, paku, kawat) ke dalam tubuh sapi yang dapat mengganggu fungsi alat pencernakan, jantung, paru paru dan system organ lain.

Penggemukan SO
Mobilisasi sapi Sumba Ongole dari Sumba ke Jawa untuk tujuan penggemukan sudah berjalan lebih dari 20 tahun yang lalu. Sapi dibawa melalui kapal laut melewati pelabuhan di Surabaya, dan dibawa ke Jawa, di Jawa Barat penampungan sementara sapi banyak dilakukan di Tambun, Bekasi sebelum dibawa ke feedlot masing masing antara lain di Subang, Bandung, Sukabumi, Bogor, atau Banten.
 
Para pengusaha penggemukan memilih sapi SO untuk penggemukan karena memiliki beberapa keuntungan seperti: sapi SO mudah beradaptasi dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni baru dalam pen akan cepat mengenal kawan dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari). Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade berdasarkan berat badan, pen, dan target pakan.
 
Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yang dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada saat starter dan akan terus dikurangi sampai finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat secara bertahap. 
 
Pada awal 2008, sapi yang dikelola di feedlot mempunyai rangka yang panjang panjang dan bobot badan awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan karena transportasi (< 2%) dan average feed intake yang selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % - 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yang luar biasa. Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat badan 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO karena selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah  yang sangat pas untuk produksi bakso. Pada 2008 harga sapi SO jantan masih berkisar Rp. 22.500 – Rp. 23.000 dan indukan (cow) Rp. 18.000 – Rp. 19.000 /kg berat badan hidup. Pada saat itu harga karkas masih sekitar Rp. 45.000,00, sehingga apabila sapi berat 400 kg (400 X Rp. 22.500 = Rp.9.000.000,00) dipotong mendapatkan 53% karkas (212 kg) seharga Rp. 9.540.000,00 artinya ada keuntungan Rp. 540.000,00 / ekor bagi jagal. 

Akhir akhir ini, sapi bakalan yang datang dari Sumba relative lebih kecil kecil (250 kg) dan kondisi badan yang kurang ideal. Sapi dengan berat 250 – 300 kg ini termasuk dalam kategori  light – ekstra light, membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih lama yaitu di atas 120 hari. Kenaikan berat badan yang dihasilkan lebih rendah hanya sekitar 1.0 – 1.1 kg/ekor/hari, begitu juga karkas yang didapatkan hanya 50% saja. Makin rendahnya grade sapi bakalan yang masuk ke kandang penggemukan mengindikasikan telah terkurasnya sapi bakalan dengan bobot besar, meningkatnya kejadian inbreeding, atau populasi ternak tidak diimbangangi jumlah pakan yang tersedia terlebih pada musim kemarau.

Pengembang biakan SO (Breeding)
Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih menggunakan perkawinan alami. Sapi SO memiliki perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif sampai 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan. Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio seperti yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan meliputi pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat badan 280 kg, dan berat badan indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat jelek di daerah yang dingin di dataran tinggi.
 
Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga karena sapi SO memiliki kecernaan yang baik terhadap pakan yang diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yang kami berikan meliputi konsentrat 1- 3 kg ( protein kasar 10-11 %, TDN 65%  ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.
 
Dalam dialognya di media electronic beberapa waktu yang lalu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sekda NTT, KTNA, dan para ahli peternakan dan pertanian berkomitmen penuh untuk memajukan pengembangan sapi Sumba Ongole. Dalam penjelasannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan akan mengkombinasikan manajemen pemeliharaan dan bionutrisi untuk mengdapatkan hasil optimal, sementara factor kekeringan pada musim kemarau yang bisa membuat kematian pedet hingga 60% akan ditanggulangi dengan pembuatan sarana dan prasarana sumber air. Balai Inseminasi Buatan di daerah atau milik kementrian pusat juga sudah waktunya untuk memproduksi semen beku SO sehingga akan cepat menyebar luas ke seluruh pesosok Indonesia. Semoga kerja keras yang sinergis mampu mengangkat Sumba Ongole menjadi problem solving bagi ketergantungan Import. Amieen..

Penulis adalah  Medis Veteriner 
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung
Direktorat Kesehatan Hewan, Dirjennak Keswan
Kementrian Pertanian RI

Tantangan Bisnis Perunggasan Indonesia Kian Beragam

ASOHI kembali menghadirkan Seminar Perunggasan ke-8 pada 18 Oktober lalu. Inilah seminar yang selalu dinantikan kalangan pebisnis obat hewan dan bisnis unggas tentunya. Mengusung tema “Peran Indonesia Dalam Percaturan Bisnis Perunggasan Dunia”, turut menghadirkan pembicara Mr Gordon Butland, konsultan perunggasan internasional.

Krissantono, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU)  menilai prospek pertumbuhan industri perunggasan di 2013 diprediksi naik 8%, maka setidaknya DOC yang dibutuhkan untuk peternak ayam pedaging akan mengalami penambahan menjadi 2,2 miliar dari tahun sebelumnya 1,9 miliar ekor. “Itu baru untuk ayam pedaging saja, belum untuk ayam petelur,” ujar Krissantono.

Sementara itu FX Sudirman Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia, bencana kekeringan di Amerika dan beberapa sentra produksi jagung dan kedelai berpengaruh sangat besar terhadap melambungnya harga bahan pakan. Terhambatnya transportasi di Argentina juga berakibat pada kelanggakaan bungkil kedelai di pasar domestik. “Kenaikan harga bahan baku ini menyebabkan pula naiknya harga pakan,” katanya.
 
Meski demikian, Sudirman optimis tahun 2013 industri perunggasan nasional akan tumbuh. Hal ini ditandai dengan adanya investasi pabrik pakan yang gencar, baik pemain lama sebagai ekspansi, maupun dari investor atau pendatang baru.
 
“Masa depan industri pakan sangat baik, seiring dengan pertumbuhan industri peternakan, khususnya industri perunggasan,” ucapnya. Lanjutnya, produksi jagung nasional tahun 2012 cukup bagus, sehingga volume impor jagung menurun secara signifikan.
 
Berpijak dari tahun 2012, harga broiler sangat tergantung pada suplai. “Perlu diperhitungkan secara cermat, seberapa besar kenaikan produksi untuk memenuhi potensi kenaikan permintaan, sehingga terjadi keseimbangan yang membentuk harga ekonomi bagi seluruh sektor,”jelas Sekjen Pinsar, Ir Eddy Wahyudin. Eddy menambahkan, harga pakan dan bibit yang naik akan mempengaruhi kenaikan HPP sehingga menyebabkan harga broiler dan telur juga mengalami gejolak.
 
Eddy menuturkan, perlu antisipasi untuk mengatasi gangguan cuaca yang berpotensi mengganggu produksi dan distribusi broiler serta telur. Ancaman penyakit masih berpotensi menghambat secara langsung proses produksi broiler dan telur. Hal ini berdampak pada kenaikan harga bibit, karena terjadi gangguan produksi pembibitan.
 
Performa harga telur sepanjang tahun 2012, cukup bagus. Rata-rata harga jualnya yang melebihi HPP yaitu Rp 14.161/kg berbanding Rp 13.273/kg. Kendala yang dihadapi peternak layer tahun ini, salah satunya adalah kenaikan harga DOC layer mencapai Rp 13.000/ekor.
 
Sementara Mr Gordon Butland pada sesi kedua menyampaikan bahwa telah terjadi kekeringan yang melanda AS pada pertengahan 2012, di kawasan bagian mild west yang merupakan penghasil jagung dan kedelai terbesar sangat mempengaruhi harga pakan ternak dunia. Begitu juga dengan kedelai mengalami gagal produksi.
 
Permintaan kedelai dunia terus merangkak naik, sehingga cadangan kedelai menjadi rendah dan mengakibatkan mahalnya harga bungkil kedelai. Harga bungkil kedelai yang semula hanya Rp 4.000/kg pada awal tahun melesat mencapai Rp 7.000/kg saat ini. Kita ketahui, jagung dan bungkil kedelai merupakan bahan baku utama untuk ransum unggas. Penggunaannya berkisar antara 60-80 % dalam total ransum.
Hal penting yang dikemukakan Gordon yaitu negara Brazil dan Thailand saat ini giat mengekspor produk unggasnya. Selain itu akan banyak perusahaan asing menjadikan India, Indonesia, China, dan negara di bagian Asia untuk target pasar ekspor. 

BANGUN KEPERCAYAAN HADAPI TANTANGAN GLOBAL

Di kesempatan lain pada Kongres XI GPPU mengusung tema ‘Membangun Kepercayaan Menuju Efisiensi Produksi untuk Memenuhi Gizi Masyarakat Madani’ dengan sub tema ‘GPPU Siap Menghadapi Tantangan Nasional dan Global’, dihadiri 46 peserta anggota GPPU dan pada saat acara pembukaan dihadiri sekitar 75 peserta termasuk dari FMPI, GAPPI, ASOHI, GPMT, PPUN, GOPAN, PPAB, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali.

Agar para peserta kongres terinspirasi akan keindahan dan kekhusukan Pulau Dewata, oleh Krissantono, Ketua Umum BPP GPPU Indonesia menyatakan, “Dari Kongres XI ini diharapkan bisa menghasilkan putusan-putusan Kongres yang dapat lebih menyatukan para pembibit dengan insan perunggasan lainnya, dan lebih meningkatkan produktivitas kita semua,” ujar Krissantono.

Dengan demikian, sudah tepat Bali dijadikan sebagai tuan rumah kali ini, walaupun Bali belum memiliki Komda yang mensyaratkan telah memiliki minimal dua breeding dan/atau hatchery. Krissantono berprihatin, bahwa konsumsi per kapita penduduk Indonesia masih rendah dibanding Negara-Negara tetangga, kita masih sekitar 7 kg/orang/tahun atau konsumsi per orang 1 ekor ayam untuk setiap 3 bulan, sementara di Malaysia per orang 3 ekor ayam untuk setiap bulan. Dan, konsumsi telor ayam per orang 1,6 butir telor setiap minggu, sementara di Malaysia 1 butir telor setiap hari.
 
Inilah tantangan untuk kita para pembibit dan tantangan untuk seluruh pelaku bisnis perunggasan. Andaikata kita bisa meningkatkan menjadi 15 kg/orang/tahun, perlu penjabaran detail berapa DOC harus kita produksi, GPS yang diimpor, PS dan FS yang diproduksi, kandang yang harus dibangun, ton pakan yang harus diproduksi, obat yang tersedia, peternak yang handal harus kita siapkan dan lain-lain permasalahan.
Tantangan ini baru dari sisi konsumsi perkapita. Secara jujur harus kita akui bahwa daya saing perunggsan kita masih masih rendah. Produktivitas masih relatif rendah, hampir 90 % bahan baku pakan tergantung dari luar, supply bibit masih impor dan struktur pasar masih belum efisien.
 
Dengan demikian tentang adanya panggung industri yang belum kuat, dapat membuat kita kecut dan kecil hati. Tetapi, sebaliknya suasana itu harus dapat memicu dan memacu seluruh unsur yang terlibat supaya dapat lebih merapatkan barisan bergandengan tangan dan sama-sama merancang policy bersama antara pebisnis,  Pemerintah dan  Akademisi, dengan koordinator FMPI.
 
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Ir. Syukur Iwantoro, MS dalam sambutannya yang dibacakan oleh Ir. H. Abubakar, SE, MM, menyatakan bahwa industri perunggasan saat ini tumbuh cukup pesat mulai dari hulu sampai hilir. Produksi DOC broiler final stock tahun 2012 diprediksi mencapai 1,9 milyar atau setara dengan produksi daging ayam ras sekitar dua juta ton.
 
Indonesia dapat dikatakan sudah berswasembada ayam dan telur, dari segi produksi jauh lebih banyak ketimbang angka konsumsi yang masih rendah. Kontribusi terbesar yang memasok daging di dalam negeri adalah ayam ras 51,4 % disusul sapi 18,9 %. Di balik keberhasilan itu, masih dirasakan berbagai permasalahan yang masih dihadapi industri perunggasan yaitu penyediaan bibit ayam ras Grand Parent Stock (GPS) yang sepenuhnya 100 % masih impor dan sebagian Parent Stock (PS) impor. Dengan adanya ketidakseimbangan supply and demand, Dirjen berharap GPPU dapat mengatasi lewat Kongres XI kali ini.
 
Tantangan Nasional perunggasan yang turun naik, diharapkan GPPU siap bersatu untuk menyelesaikan persoalan bisnis perunggasan di Indonesia. Diharapkan perusahaan breeding dan hatchery yang belum bergabung bisa masuk menjadi anggota GPPU. Dan, menurut informasi yang didapat Infovet dari pengurus, ada dua perusahaan besar dan sekitar 15 perusahaan menengah yang belum menggabungkan diri ke organisasi GPPU.
 
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah low trust society, yaitu suatu kondisi yang sangat kronis yang tidak ada kepercayaan masyarakat terhadap komponen yang satu dengan lainnya. Ada lingkaran setan antar pembibit dengan peternak, peternak dengan pabrik pakan, dan seterusnya sehingga akan muncul energi negatif. Nah, kalau terjadi energi negatif akan terjadi hukum alam dan kita tinggal menunggu kehancuran. Jika energi habis, kita akan tepar dan tamu akan datang masuk ke Indonesia untuk mengincar peluang. Indonesia lelah, asing akan masuk.
 
Ingat, Indonesia merupakan pasar yang sangat seksi. Chicken Leg Quarter (CLQ), Chicken Wing (CW) dari AS, bahkan kalkun dan bebek dari Brazilia sudah mengintip Indonesia. Kini tinggal sisi akademisi perlu diberdayakan. Banyak Profesor dan Doktor dilahirkan dari Perguruan Tinggi yang mumpuni. Koleksi dan berdayakan potensi mereka. Mengapa Pemerintah kurang memberdayakan mereka untuk diajak kerja bareng dari sisi scientific, kalau Pemerintah pernah berkata cara menangkal sudah habis karena keterbatasan.
Di era globalisasi, penolakan produk hanya bisa ditujukan dari sisi ilmiah, bukan dengan alasan lainnya. 

Thailand saat ini sudah bebas dari AI karena kerja bareng dari berbagai pihak, sehingga bisa masuk pasar global Eropa dan Indonesia. Ini merupakan proses pembelajaran bagi kita semua dan merupakan pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan secepatnya.
 
Sementara itu, Don Utoyo dari Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), mengingatkan, Indonesia jangan ekspor dulu, tetapi memperbesar pasar dalam negeri. Pemerintah membuat regulasi yang baik dan kondusif untuk menghadapi tantangan importasi peternakan. Beda pendapat boleh saja yang penting dapat memperbaiki kondisi peternakan. Faktor pendukung berupa pengadaan lahan serta bahan baku pakan perlu diperhatikan dan Pemerintah sebaiknya tidak hanya bicara target saja.

Akhir dari acara Kongres XI GPPU, Dirjen melantik pengurus GPPU periode 2012-2016, yang masih tetap dikomandani oleh Krissantono. (Mas Djoko R/Bali )/Infovet nov 12

PEMBERANTASAN RABIES PERLU PERAN SERTA BANYAK PIHAK


"Tuntutan atas kualitas vaksin rabies yang baik menyeruak seiring dengan sulitnya rabies diberantas di daerah endemik."
- Prof. Bambang Sektiari, FKH UNAIR.


Rabies merupakan penyakit paling mematikan yang bersumber dari hewan, maka di Indonesia jika hanya mengandalkan peran dari satu instansi/lembaga Pemerintah, sudah pasti akan sangat sulit untuk me­ngatasinya sampai kapanpun. Apalagi untuk memberantas hingga tuntas, akan memakan waktu yang lama dan panjang. Untuk itu peran serta banyak pihak secara sinergis akan membuahkan hasil yang jauh lebih cepat, lebih konkrit, dan lebih baik.

Peran serta Sanbe Group dalam hal ini PT Caprifarmindo Laboratories, jelas merupakan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam usaha pemberantasan rabies terutama di negeri ini agar dapat segera mendeklarasikan sebagai negara atau setidaknya daerah yang bebas dari penyakit Rabies.

Demikian cuplikan wawancara singkat dengan Prof. Dr. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA dengan Infovet usai presentasinya di forum Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional ke-12 di Hotel Saphir Yogyakarta.
Menurut Prof Bambang, Rabies sebagai penyakit zoonosis sudah lama diketahui ada di muka bumi ini. Korban tewas yang ditimbulkannya sudah terlalu banyak, maka jika tidak ada inisiatif dan peran nyata dari masyarakat dan pihak-pihak swasta, maka kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan. 

“Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dalam setahunnya korban meninggal karena tertular penyakit Rabies mencapai 55.000 orang di seluruh belahan bumi ini. Terbanyak berada di benua Asia dan Afrika,” papar Prof Bambang yang merupakan seorang ayah dari 4 orang anak ini.

Selanjutnya Doktor lulusan Universitas Rene Descartes (Paris V), Perancis 1997, mengungkapkan bahwa benua Asia dan Afrika masih merupakan daerah endemis yang menyeramkan. Di Indonesia sendiri sampai saat ini, hampir sebagian besar provinsinya masih merupakan daerah tertular dan belum bebas dari penyakit itu. Menurut catatan dari Kementerian Pertanian RI, hanya Jawa Tengah dan Jawa Timurlah yang dinyatakan sebagai daerah yang bebas dari penyakit itu.

Di Indonesia problema klasik dalam pemberantasan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis adalah kompleks. Koordinasi antar instansi terkait belum sinergis, dan diperparah dengan kurangnya ketersediaan vaksin yang memadai dan berkualitas. Koordinasi memang gampang diucapkan, namun pada realitas di lapangan merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan.

Instansi yang kompeten membuat dan menyediakan vaksin untuk kasus penyakit itu, ternyata belum mampu untuk secara signifikan berkontribusi terhadap permasalahan klasik ini.  Peran serta banyak pihak memang menjadi sebuah keharusan agar penyakit zoonosis itu dapat dienyahkan, atau setidaknya semakin dipersempit kawasan geografis yang menjadi daerah endemis.

Berbicara masalah produk vaksin yang mempunyai peran penting dalam pemberantasan penyakit Rabies di Indonesia ini, menurut Prof Bambang yang juga Koordinator Bidang Akreditasi Pusat Penjaminan Mutu dan Mantan Ketua LPPM Universitas Airlangga Surabaya itu, bahwa ketersediaan terkait jumlah dosis mungkin dapat diatasi, namun terkendala dalam distribusi dan aplikasi di lapangan.

“Selain itu mungkin yang pa­ling memprihatinkan adalah kualitas vaksin yang ada di lapangan. Tuntutan mutu vaksin yang berkualitas agar menghasilkan tingkat proteksi yang optimal dari hewan yang divaksinasi akan semakin meningkat. Bukan saja untuk memberikan perlindungan, namun juga aspek lama proteksi yang didapatkan,” ujar pria yang tahun ini genap berusia 50 tahun ini.

Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia yang selama ini terpublikasi, bahwa kegagalan vaksinasi rabies tidak hanya disebabkan karena level proteksi yang rendah dan program pelaksanaannya yang belum optimal. Namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah produk vaksinnya yang belum mampu memberikan proteksi dalam jangka lama.

Ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan titer antribodi pasca vaksinasi yang rendah meskipun dalam jangka waktu yang pendek pasca vaksinasi. Atas kondisi tersebut mendesak munculnya inovasi yang menghasilkan vaksin rabies dengan potensi proteksi yang tinggi dan efek proteksi bertahan lama.

Dengan demikian tutur pria kelahiran Surabaya, 11 Agustus 1962 yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Klinik Veteriner pada Januari 2009 silam, peran serta pihak manapun dalam rangka untuk meredam ancaman penyakit hewan yang zoonosis itu harus diterima dengan tangan terbuka dan didukung penuh oleh semua pihak, khususnya Pemerintah.

PT Caprifarmindo Laboratories, sebagai perusahaan nasional yang berskala internasional, akhirnya mampu menjawab problema kompleks dari pemberantasan penyakit rabies ini. Melalui produk vaksin rabiesnya CAPRIVAC RBS®, vaksin produksi Capri ini telah sesuai dengan harapan Prof. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA.

Vaksin ini memiliki standar kualitas melebihi kualitas vaksin yang selama ini beredar di pasaran. Apalagi didukung sistem distribusi yang mampu menjangkau wilayah Indonesia yang luas.

Dari hasil pengujian dibuktikan vaksin rabies Caprifarmindo mampu memberikan proteksi yang optimal serta bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga aman untuk aplikasi di lapangan.

Presentasi Prof Bambang, menjadi sangat istimewa oleh karena dipaparkan dalam forum yang sangat berkelas bagi para dokter hewan praktisi di Indonesia, yaitu KIVNAS yang berlangsung sejak tanggal 10-13 Oktober 2012 di Yog­yakarta. (iyo/infovet nov 12)

VAKSINASI KOLERA JARANG DILAKUKAN?

Guna melacak jejak Kolera unggas atau Fowl Cholera, Infovet Jawa Timur menembus pegunungan Malang Barat melalui jalan panjang yang berliku-liku, lewat berbagai peternakan hingga di kota Malang bertemu dengan Drh Setyono Al Yoyok Direktur Poultry Shop Pakarvet di Kabupaten Malang. Apa statement yang didapatkan dalam wawancara di poultry shop berlanjut di rumah dokter hewan yang juga membuka praktek dokter hewan ini?

”Di lapangan tidak begitu menjadi masalah. Selama pegang program pullet jarang terjadi,” kata Drh Setyono Al Yoyok sang direktur Pakarvet Malang. Intinya, tindakan yang dibutuhkan, katanya, ”Persiapan kandang, brooding atau pemanas pengindukan buatan, biosecurity.”

Vaksinasi bakterial tidak terlalu diperhatikan dan jarang dipakai dalam penanganan Kolera Unggas dan umumnya penyakit bakterial. Berbeda dengan vaksinasi bakterial untuk penyakit Coryza. Ya, Coryza saja yang diperhatikan. Sedangkan vaksinasi parasit Koksidiosis, jarang divaksin walau ada vaksin Koksi. Demikian menurut Drh Setyono Al Yoyok.

Berdasar pemantauan lapangan oleh sumber Sentral Ternak, vaksin yang banyak beredar di lapangan dan banyak digunakan pada ayam umumnya untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus. ”Karena virus tahan terhadap obat antibiotika,” kata sumber Sentral Ternak. Vaksin tersebut antara lain vaksin AI, Gumboro, ND, Cacar, IB dan Mareks.

Namun perhatikan statement ini, ”Ada juga beberapa vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti vaksin Kolera dan Coryza.” Ya, memang vaksin bakterial ini ada, cuma penggunaannya yang menurut Drh Yoyok jarang.

Bagaimana sesungguhnya ihwal vaksin Kolera Unggas, Infovet mendapatkan data dari Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner Bogor yang telah memproduksi vaksin ini. Sumber Bbalitvet mengungkap telah diproduksi vaksin bivalen isolat lokal untuk pengendalian penyakit kolera unggas Vaksin Kolera Unggas.

Vaksin tersebut adalah vaksin bivalen inaktif yang dikembangkan dari isolat lokal  Kolera Unggas sendiri adalah penyakit bakterial yang menyerang ayam dan itik, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Komposisi vaksin dibuat dalam bentuk inaktif yang terdiri dari dua isolat (bivalen).
 
Drh Rondius Solfaine MP Staf pengajar bagian patologi anatomi FKH Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dalam artikel untuk FKH Blog berpendapat tentang vaksinasi Kolera ini, ”Apabila memungkinkan, vaksin dapat digunakan untuk pencegahan infeksi penyakit Kolera unggas.” Menurutnya beberapa jenis vaksin dapat digunakan baik vaksin aktif (kuman Pasteurella dilemahkan) dan vaksin inaktif (kuman Pasteurella dimatikan).
 
”Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal cara pemakaian, daya proteksi dan titer antibodi yang dihasilkan. Hal tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi peternakan yang bersangkutan,” kata Drh Rondius. Bagaimana kenyataan lapangan?
 
Dari banyak program vaksinasi peternakan, memang tidak didapatkan adanya program vaksinasi Kolera ini. Ambillah salah satu contoh jadual vaksinasi pada ayam petelur suatu peternakan. Pada saat ayam umur 2-3 minggu divaksin IB dan ND. Umur 6 minggu divaksinasi IB dan ND lagi. Umur 10 minggu ILT dan Cacar Ayam. Umur 6-16 minggu divaksin AE (Avian Encephalomyelitis). Mana yang untuk Kolera? Tidak tercantum.
 
Majalah Kesayangan Anda Infovet pernah memberitakan bahwa Kolera unggas telah lama ada di Indonesia dengan kejadian pertama dilaporkan Bubberman pada 1912. Pernah ada letupan di Bogor-Jawa Barat, pada ayam petelur dan itik. Dan, ada anjuran, diperlukan vaksinasi apabila ditemukan dengan jelas penyakit Koleranya. Tentang hal ini mesti dikonsultasikan dengan dokter hewan anda untuk meneguhkan diagnosa. Waktu vaksinasi yang dianjurkan adalah pada saat ayam umur 6–8 minggu dan diulang umur 8–10 minggu.
(Yonathan/Infovet Nov 12)

KOLERA, ANTISIPASI SAMPAI AKHIR

Antisipasi peternak sudah tergolong bagus? Bila ayam sudah mengalami kembung, berarti sudah banyak bakteri yang berkembang di dalam tubuh ayam.
Menurut Drh Dyah Mei Anggraini dari PT Tekad Mandiri Citra wilayah kerja Jawa Timur kebanyakan penyakit Kolera jarang ditemukan. Meski, akhirnya ia mengakui kepada Infovet, pernah menjumpai penyakit yang gejalanya antara Kolera dan AI di daerah Pakis Malang. Begitupun secara umum diakui penyakit Kolera jarang ditemukan.

Satu kunci penting untuk terciptanya kondisi sebagus itu menurut Drh Dyah adalah, dilihat kesehatan waktu ayam kecil atau umur muda (umur 3 hari sampai 1 minggu). Hal ini dilambari antisipasi peternak menurutnya sudah tergolong bagus, “Dengan penyemprotan kandang,” katanya, “Ayam mau masuk, kandang disemprot lagi dengan antiseptik atau desinfektan.”

Seorang peternak yang mengaku telah puluhan tahun bergelut dengan ayam mengatakan, “Pelihara ayam dari starter sampai dengan grower jangan di kandang tanah. Karena alas kandang seperti sekam bila basah atau lembab dapat menjadi media penularan yang baik bagi berbagai macam penyakit.”

Tegasnya, serangan Kolera dapat dihindari bila pemeliharaan ayam diatur dengan baik. “Litter harus sering dibolak-balik agar tidak menggumpal,” kata seorang peternak menerangkan kiatnya dalam mencegah timbulnya penyakit ini di kandang.

Adapun untuk peternak yang tidak mau repot melakukan pekerjaan membolak-balik sekam pada lantai pertama kandang, ia lebih memilih kandangnya kandang panggung, bahkan ada yang mendirikan kandang di atas kolam. Dalam kandang kolam ini, kotoran ayam pun langsung jatuh jadi santapan ikan yang dipelihara dalam kolam.

Selain itu juga menjaga kebersihan tempat pakan dan minum dengan seri dicuci dan dibilas dengan desinfektan.

Kemudian kalau toh kasus Kolera terjadi juga, dengan angka kejadian Kolera pada 5-10 ekor dari 3000 ekor ayam, menurut kesaksian Drh Dyah, cirinya langsung mati secara mendadak. Berdasar pengalamannya pula, diagnosa serangan Kolera Unggas ini pada pemeriksaan bedah bangkai dengan mengamati perubahan yang terjadi pada organ-organ tubuh adalah paru-baru membengkak dan mengalami nekrosis.

“Biasanya serangan Kolera terjadi pada ayam usia 27-30 hari pada broiler atau lebih dari 30 hari pada ayam jantan,” ujar seorang praktisi. Masa inkubasi penyakit Kolera sendiri berlangsung selama 3-9 hari. Seorang praktisi yang banyak mengamati kasus kolera pada ayam petelur di Blitar mengatakan, “Serangan kolera terjadi pada umur lebih dari 4 bulan. Kadang-kadang ayam mati tanpa gejala klinis yang jelas, biasanya pada malam hari.” 

Diagnosa banding Kolera berak ayam berwarna hijau keruh, tidak seperti ND yang hijau muda. Beda lagi dengan serangan NE (Necrotic Enteritis) yang beraknya berwarna merah. 

Untuk mengetahui ayam terserang Kolera, tanda-tandanya adalah ayam berak hijau yang tampak pada warna kotorannya yang mengotori air, pakan dan lain-lain, keluar cairan dari mulut dan tubuh ayam, nafsu makan ayam turun yang dapat dilihat juga, pial bengkak berwarna biru. Pada saat bangkai ayam dibedah, tampak hatinya membesar, perdarahan pada hati, lambung (proventrikulus).

Dengan memperhatikan tanda-itu disertai dengan penurunan produksi, adanya telur yang pecah di dalam perut ayam serta hati yang terlihat seperti belang-belang, dicurigai telah terjadi kasus  Kolera. 

Kematian akibat serangan Kolera kelihatan dengan memastikan melalui pembedahan bangkai. Sebaliknya, adalah penting untuk memastikan ayam sudah sembuh dari penyakit Kolera yang dideritanya setelah tahap-tahap pengobatan yang tepat.

Bila menghadapi kasus Kolera ayam di lapangan yang lebih sering muncul karena permasalahan air, di mana pada musim penghujan, sekam kandang acapkali basah, treatment sekam harus diperhatikan. Bila ayam sudah mengalami kembung, berarti sudah banyak bakteri yang berkembang di dalam tubuh ayam. Dianjurkan peternak memberikan antibiotik pada ayam, pada kasus pencernaan ayam yang jelek ini.
(Yonathan/Infovet Nov 2012)

SIDIK JADI KEMENANGAN


Bambang Suharno

“Setiap orang adalah unik. Setiap orang punya cara tersendiri untuk meraih kemenangan dengan lebih cepat. Cara tersebut mungkin hanya berlaku pada dirinya dan tidak berlaku bagi orang lain. Ya, unik seperti sidik jari. Sebut saja Sidik Jari Kemenangan.”

Kalimat di atas saya kutip dari buku 7 keajaiban Rezeki karya Ippho Santosa. Sidik Jari Kemenangan adalah istilah khas dari Ippho untuk menggambarkan bahwa setiap orang sejatinya memiliki cara sendiri untuk meraih kemenangan. Kita boleh belajar tentang bermacam strategi dan taktik, tapi dalam merealisasikannya bisa berbeda-beda hasilnya. Misalkan anda berada dalam satu kelas training marketing yang diajar oleh suhu marketing Hermawan Kertajaya. Jika dalam satu kelas mempraktekkan ilmu Hermawan sama persis, hasilnya tidaklah akan sama. Anda berguru kepada seorang pengusaha yang mencetak laba miliaran rupiah tiap hari dan langsung mempraktekkannya, apakah hasilnya sama? Tidak juga. Ingat, ada sidik jari kemenangan. Kita perlu melihat pada diri kita, berdasar pengalaman-pengalaman lampau, berdasarkan minat dan bakat kita sehingga dapat menulis kalimat demi kalimat mengenai kehebatan kita untuk meraih kemenangan. Dengan cara ini, anda akan tahu bahwa cara sukses anda berbeda dengan orang lain.

Menurut Ippho, apapun bentuk sidik jari kemenangan anda, dibutuhkan beberapa pendukung untuk dapat meraih keajaiban rezeki. Saya tidak dapat merangkum semua isi buku itu dalam satu halaman artikel ini. Saya akan menyampaikan poin menarik yang sepengetahuan saya belum disampaikan oleh pengarang lainnya.

Yaitu tentang sepasang bidadari. Ippho menyebutkan, ada sepasang bidadari yang akan membantu anda meraih keajaiban dalam hidup. Siapakah dia?

Dikisahkan seorang sahabat ingin membeli satu unit rumah di sebuah kompleks perumahan. “Saya ingin membeli rumah ini untuk investasi, tapi saya juga ingin membiayai ibu saya menjalankan ibadah umrah. Saya jadi bingung ngatur duitnya” kata calon pembeli.

Sang penjual mengatakan, “kalau begitu tunda dulu beli rumahnya, kapan lagi dapat membahagiakan sang ibu kalau bukan sekarang?” (Penjual ini agak aneh, ada pembeli potensial kok malah menyuruh menunda beli rumah hehe).

Singkat cerita pembeli tersebut akhirnya memutuskan akan tetap membiayai umrah sang ibunda tercinta dan tetap berniat membeli rumah. Rupanya si penjual sangat beruntung, menyuruh calon pembeli mendahulukan yang lain malah tetap dapat pembeli.

Kemudian apa yang terjadi? Tidak disangka-sangka, pembeli tadi malah memenangkan salah satu doorprize yang memang disediakan dan diundi untuk setiap pembeli. Anda mau tahu doorprizenya? Satu unit sepeda motor senilai biaya umrah. Luar biasa, yang awalnya mau dapat satu malah dapat semuanya. Begitulah, berbakti pada orang tua tidak akan berakhir dengan sia-sia.

Itu adalah bidadari pertama, yaitu ibu. Pesan utama dari cerita ini, kalau anda serius ingin meraih kemenangan, berbaktilah pada orang tua. Iphho menegaskan, berbakti pada orang tua akan menguak langit dan memanggil rejeki. Doa orang tua membuat rezeki betul-betul tercurah. (Dan hati-hati karena yang sebaliknya juga berlaku, cerita Malin Kundang adalah contohnya). Begitu doa orang tua selaras dengan doa kita, maka energi doa akan berlipat ganda. Orang tua adalah bidadari pertama.

Siapakah bidadari kedua? Tidak lain adalah pasangan kita. Percaya atau tidak, adanya pasangan akan membuat rejeki bertambah. Banyak kaum muda menunda pernikahan karena alasan belum siap secara ekonomi. Mereka mensyaratkan punya rumah sebelum menikah. Setelah punya rumah, ingin punya perangkat rumah sebelum menikah, selanjutnya ingin kendaraan dan seterusnya.

Untuk anda yang belum punya pasangan dan mempertimbangkan kesiapan ekonomi, disarankan untuk segera menikah dalam keadaan ekonomi sulitpun, karena dengan menikah akan terbuka pintu rezeki. Lihat buktinya di kanan kiri anda. Betapa banyak orang yang menunda pernikakan akhirnya malah tidak dapat mengumpulkan uang, sebaliknya yang berani menikah dalam keterbatasan, secara bertahap mereka dapat “memanggil rejeki”. Ini terjadi karena adanya keselarasan impian di dalam pasangan tersebut. keselarasan impian akan diikuti dengan keselarasan doa.

Jika anda sudah punya impian kemenangan, sampaikankah pada sepasang bidadari agar menyelaraskan doa mereka dengan doa anda. Kekuatan doa akan mengalirkan energi kebaikan dan kesuksesan.

Kembali ke sidik jari kemenangan, Ippho Santosa dalam bukunya memberikan halaman kosong yang harus diisi oleh pembaca mengenai sidik jari kemenangan. Setahu saya memang belum ada teknologi yang dapat memotret sidik jari kemenangan setiap individu. Untuk anda yang ingin meraih kemenangan, mulailah menulis keunikan anda, keunggulan anda dan bagaimana cara anda meraih kemenangan yang mungkin berbeda dengan orang-orang di sekitar anda. Selanjutnya sampaikan kepada sepasang bidadari agar keduanya mendukung dan mendoakannya.

Selamat meraih kemenangan. 

Ultah PT Gallus ke-10 : Terus Tingkatkan Kinerja Divisi

Dalam rangka memperingati hari ulang tahun PT Gallus Indonesia Utama yang ke-10, diadakan syukuran pada tanggal 10 September 2012, sekaligus halal bihalal. Acara syukuran digelar dengan sederhana, dihadiri Ketua Umum ASOHI, Sekjen ASOHI Drh Irawati Fari, serta tamu undangan dari PT Paeco Agung. Seluruh karyawan PT Gallus dan para tamu berkumpul dalam suasana keakraban dan kehangatan.

PT Gallus resmi menjadi badan hukum pada 30 November 2001. Pengesahan oleh Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 9 September 2002. Saat ini PT Gallus mempunyai divisi-divisi seperti Majalah Infovet, divisi penerbitan GITA Pustaka, GITA Organizer, GITA Multimedia, dan GITA Consultant.

Dalam sambutannya, Pemimpin Umum PT Gallus Drh Tjiptardjo SE menyampaikan harapannya. Untuk ke depan PT Gallus mudah-mudahan akan semakin kokoh dan memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis veteriner dan peternakan khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya.

Ketua Umum ASOHI turut mengungkapkan kebahagiaannya memperingati lahirnya PT Gallus yang tepatnya jatuh pada tanggal 9 September. “Pengembangan kinerja divisi-divisi harus senantiasa ditingkatkan. Jangan mudah puas dengan hasil yang ada sekarang ini,” katamya. Ia melanjutkan, tidak ada salahnya seperti divisi Majalah Infovet menciptakan terobosan baru dalam memunculkan informasi-informasi yang pintar dan tetap sedap dibaca.

BENARKAH “CLOSED HOUSE” MENYIMPAN SEGUDANG PENYAKIT?

Memang di lapangan banyak muncul pertanyaan kritis oleh peternak yang sedang diperkenalkan tentang sistem pemeliharaan kandang tertutup atau Closed House (CH). Mulai yang benar-benar mengkritisi system itu sampai ke jenis pertanyaan yang cenderung menyesatkan. Demikian paparan Ir Dhanang Purwantoro ketika tulisan Infovet edisi Maret 2012 yang lalu mengupas tentang CH dan banyak muncul perasaan skeptis dari yang belum menerapkan sistem itu.
 
Beredar informasi menyesatkan bahwa CH menjadi sarang aneka penyakit bagi kawasan sekitar, juga tentang aneka penyakit jamur yang tumbuh subur di kawasan sekitar dan bahkan ada informasi tentang tingginya kasus penyakit pernafasan dan penyakit lain yang penularannya melalui udara.
Dengan ringan Dhanang menjawab aneka keraguan yang belum menerapkan itu dengan mengajaknya berkunjung dan bertanya langsung yang sudah menerapkan sistem itu. Para peternak yang sedang berminat dan belum mengaplikasikan sistem itu dipersilakan bertanya langsung kepada peternak lain yang sudah menerapkannya.
 
Hasilnya berupa tanggapan yang memang beraneka ragam. Ada yang langsung memutuskan untuk mengaplikasikan dan ada yang masih terus berfikir ulang. Namun demikian mayoritas yang berminat akan dengan mantap untuk segera menerapkan sistem itu. Sebuah keraguan adalah hal yang biasa dialami oleh pelaku bisnis termasuk peternak. Sebab dengan keraguan akan muncul banyak pemikiran dan pertimbangan sehingga akhrinya dibuatlah sebuah keputusan.
 
Jika saja CH masih banyak persoalan dengan penyakit dan juga dengan hasil/ produktifitas, maka tentu saja CH sudah tidak akan lagi diaplikasikan dan berhenti dalam pengembangan dan penyempurnaan. Buktinya bahwa sistem CH di luar negeri menjadi keharusan dan di Indonesia sendiri, hingga saat ini terus berkembang dan menjadi pilihan para peternak yang cerdas dan ingin meraih keuntungan berlipat.
 
“Kalau memang CH menjadi masalah baru dalam sistem pemeliharaan ayam, maka sudah pasti tiada lagi pengembangan dan penyempurnaan sistem itu, bahkan tidak ada lagi yang membuat peralatan pendukung untuk sistem itu. Namun buktinya, justru model dan bentuk peralatan pelengkap untuk CH terus diperbarui dan terus disempurnakan oleh para produsennya. Ini bukti nyata bahwa CH bukan menjadi biang munculnya aneka penyakit” ujar Dhanang dengan tegas, menolak sinyalemen yang salah.
 
Dhanang memang mengakui, banyak penawaran pembuatan CH yang diterima oleh para peternak di Indonesia, dengan tidak jelas jejak rekam perusahaannya. Kandang yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit itu, meskipun mampu memberikan peningkatkan produktifitas, ternyata ada yang tidak sepadan dengan nilai investasinya. Hal itu menurut Dhanang oleh karena ada segelintir perencana dan pembuat konstruksi kandang CH yang tidak menerapkan layanan lengkap atau paripurna. Antara perencana dan penyedia perlengkapan CH tidak satu atap, sehingga akan menghasilkan kandang sistem CH yang asal-asalan. “Jika perencana dan equipment untuk kandang CH tidak kualified, maka hanya akan menghasilkan kandang CH “ecek-ecek” dan barangkali benar jika kemudian banyak aneka penyakit dan gangguan pertumbuhan pada ayam-ayamnya” tegas Dhanang.
 
Sepertinya Dhanang memang berniat menyanggah pendapat yang salah tentang sistem kandang tertutup, maka kepada Infovet ditawarkan untuk melihat sendiri di lapangan akan hasil yang diperoleh para peternak yang sudah mengaplikasikan CH. Memang benar adanya, bahwa ada beberapa konstruksi CH yang asal-asalan, meski equipment yang digunakan berkualitas relative bagus. Akhirnya memang kurang optimal, alias tidak setara dengan nilai investasi pembuatan kandang CH. Sedangkan pada CH dengan disain konstruksi dan equipment yang sesuai rekomendasi pembuat peralatan, akan diperoleh hasil yang sungguh mencengangkan.
 
Bahkan ketua APAYO Drh Hary Wibowo, dengan nada berkelakar bahwa jika CH sudah banyak menjadi pilihan peternak, akan mengancam para peternak skala menengah seperti dirinya.
“Kalau CH sudah banyak diterapkan oleh para peternak, maka tidak perlu ada lagi model kemitraan, karena hasil pemeliharaan dengan sistem itu mampu memelihara dalam jumlah banyak dalam satu kandang dan irit tenaga kerja. Sedangkan model kemitraan, sampai saat ini lebih cenderung memberi kesempatan peluang usaha kepada para peternak skala gurem” jelasnya.
 
Berkaitan dengan intensitas gangguan kesehatan atau serangan penyakit pada kandang CH, menurut Hary, memang harus diakui menjadi sangat minimalis. Artinya problema penyakit yang sering menjadi masalah pada sistem terbuka, akan dipangkas pada titik terkecil dan sebaliknya produktifitas akan mencapai titik maksimal. Hal yang sama ditekankan oleh Dhanang, bahwa CH akan membuat produktifitas ayam mencapai titik optimal, dengan resiko gangguan kesehatan atau serangan penyakit sangat rendah sekali.
Di samping itu, memang harus diakui pula, bahwa tingkat keseragaman pertumbuhan dapat terjaga dengan baik. Namun dengan catatan jika CH dibuat dengan aturan yang benar. Disain dan equipment yang ditawarkan oleh Dhanang, memberikan jaminan akan hasil yang memuaskan. Dan bahkan ia mengklaim sebagai perencana dan pelaksana pembuatan CH yang terbaik di Indonesia sampai saat ini.
 
Infovet yang melihat dan membuktikan di lapangan pada kandang CH hasil pekerjaan Dhanang, bahwa aspek uniformitas/ keseragaman pertumbuhan nyaris mencapai 95% atau jauh di atas rata-rata keseragaman pertumbuhan pada sistem kandang terbuka yang hanya mencapai 65-75% saja. Dan dari hasil recording /catatan harian, terlihat sekali tingkat mortalitas yang sangat rendah sekali dan bahkan nyaris total dalam periode pemeliharaan selalu di bawah 1%. Sebuah angka yang selalu dinanti dan diharapkan oleh para peternak.  Memang harus diakui, bahwa meski secara kasat mata terlihat, bahwa begitu padat dan rapat populasi ayam dalam suatu kandang, namun ternyata ayam sangat nyaman dan tidak terlihat sedikitpun ayam terganggu dalam bernafas maupun gerakannya. Inilah yang dimaksud dengan efisiensi ruangan dan kenyamanan.
 
Selanjutnya terkait dengan informasi adanya gangguan penyakit yang berasal dari Jamur dalam pakan dan penyakit CRD kompleks, Dhanang menyanggah dan menjelaskan akan sinyalemen itu. Memang tidak salah jika sinyalemen akan munculnya penyakit itu pada kandang CH, namun itu terjadi umumnya pada kandang CH yang konstruksinya ecek-ecek. Mengapa bissa terjadi demikian ? Oleh karena umumnya, kandang CH yang dibangun tidak sesuai dengan disain yang benar, justru akan menjadi masalah bagi ternak yang berada di dalamnya. Kasus penyakit oleh karena jamur yang terjadi pada CH ecek-ecek, lebih disebabkan mekanisme penyimpanan dan pengelolaan pakan yang tidak baik. Pada CH yang baik, lanjut Dhanang, tempat utama pakan / silo,ada treatment pakan sebelum di alirkan ke tempat-tempat pakan pada kandang. Sehingga potensi terjadi kontaminasi agen infeksi jamur relative akan sangat kecil terjadi. Begitu juga dengan tangki penyimpan air minum yang selalu rutin mendapatkan treatmen, maka akan diperoleh air minum yang sangat hiegynis. Jadi CH konstruksi yang ditawarkan Dhanang dengan tempat pakan dan minum yang serba otomatis.
 
Selain itu, sistem pengatur udara yang bersifat otomatis dan didukung mega blower keluar/ exhaust fan yang penempatannya selalu diperhitungkan dengan matang, maka potensi gangguan penyakit CRD ataupun penyakit pernafasan lainnya,  akan sangat kecil terjadi. Penempatan mega blower yang asal pasang, tidak sesuai dengan seharusnya, maka tidak akan mampu memberikan kenyamanan ayam yang berada di dalam. Mega blower tidak hanya berfungsi untuk membantu mengatur suhu udara di dalam kandang saja, namun juga berfungsi membuang gas amoniak dan sulfida yang  menjadi gas iritans pada sistem pernafasan ayam. Dengan demikian, efek buruk gas iritans itu tiada akan merusak kesehatan ayam. Sebab gas itu menjadi pemicu awal munculnya gangguan pernafasan yang disebabkan oleh agen penyakit virus, mycoplasma maupun bakteri serta jamur.
 
Pada kandang CH 'ecek-ecek' sering justru kasus penyakit CRD maupun mycotoxin, memang menjadi masalah serius setelah kasus penyakit konvensional lainnya mampu ditekan. Hal itu jelas sekali oleh karena penempatan dan penataan alat pengatur suhu ruangan yang salah dan atau kurang tepat. Juga oleh karena pengatur suhu ruangan yang tidak bersifat otomatis. Mestinya jika mau menerapkan CH, maka semua haruslah bersifat otomatis, dengan mengurangi kontak sekecil mungkin pekerja dengan ayam.
 
Kasus penyakit CRD ataupun penyakit lainnya yang penularannya lebih cenderung melalui udara, pada kandang sistem CH akan dapat ditekan sekecil mungkin. Namun dengan syarat, bahwa disain dan konstruksi CH harus sesuai dengan rekomendasi termasuk peralatan yang digunakan.(iyo)

DAHLAN ISKAN BICARA SOAL TERNAK SAPI INDONESIA

Gebrakan Dahlan Iskan tidak hanya berhenti di sektor energi Listrik, polemik Impor Gula dan Jalan Tol, tetapi ternyata merangsek masuk juga di sektor peternakan. Ketika berkunjung di Yogyakarta menjadi pembicara pada sebuah seminar “Pemimpin Muda Belajar Merawat Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 29 Maret 2012, sedikit menyinggung masalah pembangunan sektor pertanian termasuk subsektor peternakan.
Meski hanya sekilas namun nampaknya menteri yang penuh dengan kejutan dan gebrakan ini, begitu memahami benar akan basis kuat Negara Indonesia adalah harus bertumpu pada bidang agraris. Ia mencontohkan di negeri Cina yang dikenal dengan pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia, bahwa petani begitu diperhatikan kesejahteraannya. Meskipun lahan pertanian yang digarap oleh petani di Cina hanya merupakan pinjaman dari Negara, dan petani hanya sebagai penggarap, namun toh jauh dari sejahtera di banding dengan petani Indonesia.
 
Indonesia memang tidak menganut paham sosialisme yang menguasai tanah dan hasil tambang oleh Negara, namun jika menilik dan merujuk kepada pasal 33 UUD 1945 (Amandemen) bahwa semang­at untuk mensejahterakan warga Negara juga nyaris mirip sekali. Pada pokok substansinya amanat Konstitusi Indonesia, bahwa tanah dan hasil bumi yang berada di dalamnya di kelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
 
Berbicara tentang basis kuat dan tumpuan pembangunan Indonesia, yang seharusnya dipilih menurut mantan pimpinan perusahaan raksasa media Jawapos Grup ini, tiada lain memang bidang pertanian. Untuk itu, Dahlan merasa sangat heran sekali kenapa Indonesia harus impor daging dan ternak sapi, jika potensi dan sumber daya alam yang ada sebenarnya mampu dioptimalkan.
 
Ia pertama menggebrak perusahaan bibit padi PT Sang Hyang Sri untuk meningkatkan produksi bibit dan kualitasnya. Kemudian dilanjutkan dengan merevitalisasi PT Berdikari. Seperti kita ketahui, bahwa perusahaan itu didirikan sebenarnya untuk mengembangkan peternakan sapi di Indonesia. Namun justru kini lebih banyak bergerak di usaha me­bel dan pariwisata. Akhirnya ujar Dahlan di depan peserta seminar, ia perintahkan menutup usaha yang tidak terkait dengan misi dan tujuan didirikannya Perusahaan itu, dan kini kembali beralih ke sektor peternakan sapi.
 
Menurut Dahlan, sangat tidak masuk akal jika keluhan ketersediaan pakan untuk ternak sapi di Indonesia tidak mencukupi. Sebab perusahaan perkebunan Negara yaitu PTP misalnya, banyak tersedia lahan kosong yang infrastrukturnya sudah tersedia dengan baik. Akan tetapi lahan sela yang kosong itu tidak dimanfaatkan, bahkan limbah perkebunan sawit, kopi, teh dan nanas, serta cengkeh belum dimanfaatkan  secara optimal.
 
Maka PT Berdikari kini menurut Dahlan, harus fokus dan serius menggarap usaha peternakan sapi. Untuk tahun 2012 ini Dahlan menugaskan kepada PT Berdikari agar mampu memasok 100.000 ekor sapi bagi kepentingan domestik. Impor daging dan ternak sapi harus segera di akhiri, jelas Dahlan. Kemudian tahun 2013 mendatang menurutnya target nya 250.000 ekor sapi.
Menurut Dahlan, keluhan tiadanya infrastruktur bagi pengembangan ternak sapi di kawasan PTP pada saat ini sudah tidak pantas dikeluhkan oleh para investor plat merah maupun swasta, khususnya BUMN yang bertugas di sektor pertanian.
 
Dahlan menjelaskan bahwa kawasan perkebunan yang dikelola oleh Negara (misalnya PTP) umumnya adalah peninggalan kolonial Belanda dan sebagian kecil hasil pembangunan bangsa Indonesia pasca merdeka, merupakan kawasan yang sudah sangat mapan kesediaan infrastrukturnya. Mulai dari jalan raya yang relatif panjang dan memadai menuju kota pelabuhan, jaringan irigasi yang tersedia sudah tertata representatif serta tersedianya pasokan energi listrik yang mandiri. Selain itu sebagai kota satelit, kawasan perkebunan selalu melimpah tersedia tenaga kerja yang handal dan juga tersedianya lahan maupun limbah perkebunan untuk ternak sapi.
 
Hanya sayangnya memang paparan sepintas namun cukup mendalam itu, tidak mendapat tanggapan dari peserta yang sebagian besar adalah civitas akademika fakultas hukum. Maka menjadi menarik jika ASOHI, GOPAN atau ISPI maupun PDHI mengagendakan sebuah pertemuan khusus yang membahas masalah pembangunan peternakan dengan menteri yang memang konsern terhadap potensi domestik. Alangkah kecewanya jika kemauan mulia dan ide Dahlan ini tidak mendapat sambutan dari para pelaku usaha peternakan dalam negeri.
 
Momentum menarik ini memang harus segera direspon oleh organisasi profesi peternakan dan para pelaku usahanya. Kita patut menunggu siapa yang lebih dahulu memulai ! Apakah ASOHI memulai lebih dahulu? Atau malah ISPI dan PPSKI? (iyo)

JIMPITAN UNTUK MEMBESARKAN INDUSTRI PERUNGGASAN

Jika masyarakat perunggasan Indonesia mau dan mampu bersatu, maka bukan mustahil omzet industri perunggasan yang mencapai Rp 120 triliun/tahun bakal terus melambung. Caranya pun tidak tergolong sulit. Mereka cukup mengumpulkan ‘jimpitan’ untuk menggelorakan kampanye ayam dan telur.


Memang sekilas terdengar tradisional seperti yang berlaku di kampung-kampung masyarakat khususnya di daerah Jawa dengan menaruh jimpitan dalam kaleng di pojok rumah demi mendukung keamanan lingkungan. Padahal, mekanisme serupa dilakukan masyarakat di negara maju seperti di Amerika Serikat dengan istilah keren Commodity Checkoff Programs.
Menurut Dr Ir Arief Daryanto, MEC, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB (MB-IPB), yang memaparkan upaya bersama tersebut dalam diskusi Round Table FMPI-US  Grains Council di Jakarta belum lama ini. Arief menjelaskan, Commodity Checkoff Programs atau pemasaran bersama lewat program promosi dan R&D untuk meningkatkan permintaan pasar dan meningkatkan penerimaan produsen suatu komoditas. 

Mengingat ini membawa kepentingan bersama, maka advertising bersifat generik namun tetap terukur. Parameter keberhasilan generic advertising dapat dilihat dari peningkatan permintaan pasar, harga yang diterima produsen meningkat, benefit > cost, dan porsi pembelian pemerintah menurun. Arief menyebutkan, B/C ratio untuk generic advertising program di kisaran antara 4 : 1 dan 6 : 1. Sebagai catatan, B/C ratio daging sapi 5.6:1, babi 4.8 : 1, susu 4.6 : 1, bunga 6.6 : 1, dan telur 4.7 : 1.

Arief mengatakan, di AS terdapat sekitar 17 program checkoff di tingkat federal dan banyak program sejenis di tingkat “state”. Program pungutan wajib (mandatory) ini berhasil mengumpulkan sekitar US $ 1 milyar. Tujuh besar Commodity Checkoff Programs di Amerika Serikat seperti American Egg Board, American Lamb Board, Dairy Checkoff Works, Cattlemen’s Beef Promotion and Research Board, National Pork Board, United Soybean Board, National Corn Growers Association.

Dr. Desianto Budi Utomo di tempat yang sama mendukung program pemasaran bersama tersebut karena secara obyektif dapat meningkatkan ‘pie’ market size perunggasan nasional melalui peningkatan konsumsi dan proaktif kampanye gizi. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa dan terus bertumbuh 1,4%/tahun tentunya akan mendorong permintaan produk unggas seperti daging dan telur.
Sistim Check-off, lanjut Desianto, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi daging per kapita per tahun yang masih rendah. Selain itu, sistem ini juga dinanti dapat menekan jumlah ‘free riders’, berkurang beban pajak dan kompetisi yang berlangsung fair. Karenanya, Desianto berharap ada insentif yang berperan sebagai ‘attractant’ yakni pengurangan pajak, termasuk bagian dari CSR, ‘free advertising’ dan mitra pemerintah.

Meski secara tradisional sudah dilakukan masyarakat terutama di Jawa, jika diterapkan dalam industri perunggasan Indonesia perlu memperhatikan beberapa hal. Permasalahan yang perlu dicari solusinya antara lain aspek legalitas, aspek perpajakan, badan/lembaga yang auditable, sistem enforcement. Demikian pula asosiasi apa yang akan berperan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan.
Desianto menekankan, melihat asosiasi bidang perunggasan di Tanah Air yang belum terintegrasi, implementasi sistem check-off dibutuhkan syarat komitmen panjang semua pihak terkait. keberadannya harus dapat diterima dan direstui oleh KPPU. Perlu kesadaran kebersamaan dalam hal koordinasi dan komunikasi, dan diperlukan pula keahlian dalam “manajemen implementasi”.

Karena di Kolombia butuh waktu untuk merealisasikan poultry check-off hingga sekarang membudaya. Seperti disampaikan Prof. Budi Tangendjaja, konsultan untuk U.S. Grains Council, Kolombia berhasil mewujudkan sistem check-off setelah beberapa asosiasi yang ada berintegrasi tahun 1990 – 1994. Asosiasi Propollo yang telah berkibar sejak 1972, Asohuevo (1970) dan Incubar (1967) bersatu menjadi FENAVI. Selanjutnya, asosiasi industri perunggasan tersebut bersama legislatif dan eksekutif membahas undang-undang hingga tepatnya tanggal 9 Februari 1994 Presiden menandatangani regulasi National Poultry Check-off Fund. Dana dikumpulkan dari produsen broiler dengan memungut 1% dari harga DOC. Sedangkan produsen layer dikenakan 5% dari harga DOC.

Dana terkumpul tersebut, lanjut Budi, digunakan untuk kegiatan kampanye dalam rangka menstimulus dan meningkatkan konsumsi daging ayam. Demikian pula kampanye untuk mendongkrak konsumsi telur dan menghapus mitos yang keliru dalam konsumsi telur.

Budaya maju bersama menjadi kunci penting dalam implementasi sistim jimpitan perunggasan tersebut. Pemerintah selaku regulator dan fasilitator juga dituntut menjalankan perannya dalam menjembatani terbentuknya wadah yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh pelaku bisnis. (sugeng)

CRD BANYAK DITEMUI DI KANDANG TERTUTUP

Pantas dan perlu untuk diungkapkan tentang sinyalemen sebagian pengamat dan praktisi yang selalu berasumsi bahwa penyakit pernafasan terutama Chronic Respiratory Disease (CRD) banyak dijumpai di kandang model tertutup. Sistem perkandangan yang lebih dikenal dengan istilah Closed Housed (CH) memang di Indonesia meskipun sudah dikenal cukup lama, namun aplikasi di lapangan tidak begitu cepat diadopsi oleh peternak.

Hal itu oleh karena memang iklim untuk diterapkannya system itu kurang kondusif, terutama kala itu ada regulasi yang mengatur jumlah kepemilikan ayam/populasi setiap peternak atau perusahaan. Regulasi yang dibuat saat rezim Orde Baru itu memang seolah ada niat baik pemerintah untuk mengkapling usaha budidaya ayam negeri (ayam potong dan petelur) sebagai wilayah peternak dan pemodal skala menengah. Sedangkan para pemodal kuat dan perusahaan besar untuk diarahkan menggarap segmen usaha di hulu dan hilir.
 
Toh pada kenyataannya, aturan yang kala itu dikenal dengan Keppres No 50 tahun 1981 dan kemudian diperbaharui menjadi Keppres No 22 tahun 1990 tentang pembatasan skala usaha budidaya ayam potong dan petelur itu, tidak mampu efektif berlaku. Skala usaha kala itu tetap saja menggiurkan bagi investor besar untuk menggarap, namun secara kamuflase alias tersembunyi. Muncul kiat para pemodal besar untuk menyikapi aturan itu dengan membagi skala usaha dengan berbagai cara dan modus. Argumentasi para pemodal besar, yang mengakali aturan itu adalah aspek efisiensi dan target capaian keuntungan. 
 
Akhirnya ketika rezim Soeharto jatuh dan beralih ke Orde Reformasi, saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, aturan Skala Usaha Budidaya Ayam potong dan petelur itu dicabut dan diganti dengan Keppres No 85 tahun 2000. Keppres baru yang ditanda tangani oleh Gus Dur itu pada intinya kembali menegakkan Undang-undang (UU) No 6 tahun 1967 (kini No UU No 19 tahun 2009) dan UU No 9 tahun 2000 tentang Usaha Kecil dan UU No 9  tahun 2000 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
 
Uraian sekilas itu merupakan gambaran latar belakang mengapa perkemba­ngan aplikasi CH di perunggasan Indonesia terkendala. Hal itu diungkapkan oleh para praktisi perunggasan Drh  Drh Boris Budiarto dan  Drh Harry Wibowo yang ditemui secara terpisah.
 
Menurut Boris, lambannya aplikasi CH di Indonesia memang dapat memunculkan penafsiran yang beraneka macam. Salah satunya memang, terkait erat de­ngan aspek kepercayaan peternak tentang titik impas usaha dan nilai/besarnya investasi untuk pembuatan CH. Padahal kendala terbesar aplikasi itu justru pada aturan/regulasi dari pemerintah. Dan setelah hampir satu dekade (10 tahun) pasca dicabutnya regulasi pembatasan skala usaha peternakan ayam, kini semakin nampak respon positip para pelaku usaha untuk menerapkan system kandang CH,
 
Berkaitan dengan sinyalemen bebe­rapa praktisi tentang potensi kasus penyakit CRD di  kandang CH, menurut Boris adalah sah-sah saja. Karena bagaimanapun pendapat itu tentu atas dasar pe­ngalaman dan pengamatan lapangan dari mereka selama ini. Namun demikian, jika saja hal itu kemudian menjadi ke­simpulan dan harga mati, maka justru hal itu menjadi yang tidak benar. “Mengapa demikian? Potensi penyakit apapun dapat terjadi dimana dan kapan saja. Namun jika tatakelola dengan benar dan baik, sudah barang pasti tidak akan dijumpai hal yang merugikan itu,” ujar Boris yang menjabat sebagai Direktur Operasinal PT Biotek Indonesia.
 
Boris menduga bahwa disamping kurang baik dalam tatakelola CH oleh para operator, maka kemungkinan terbesar justru oleh karena konstruksi dan cara pengoperasian sistem kandang CH yang salah. Seperti diketahui, bahwa para peternak ayam banyak sekali mendapatkan penawaran untuk pembangunan kandang CH dari para pemasar dan kontraktor CH. Namun hanya sedikit sekali, kontraktor/pelaksana pembuatan CH yang benar-benar memahami konstruksinya yang baik dan benar. Maka benar saja, seandainya saat ini banyak keluhan dari para peternak CH yang mengeluhkan optimalisasi produktifitas ayamnya. Termasuk dalam hal ini potensi yang tinggi kasus penyakit CRD. Namun, jika konstruksi CH nya benar dan baik serta tatakelolanya juga benar dan baik, maka dengan sendirinya produktifitas akan optmal sebagaimana yang selama ini di iklankan.
 
Menurut Boris, sebenarnya tidak hanya CRD saja yang berpotensi tinggi menyerang ayam di kandang CH. Artinya penyakit lainpun juga mempunyai probabilitas tinggi untuk menyebabkan wabah besar di dalam kandang CH. Hanya memang selama ini penyakit pernafasan dan pencernaan lah yang sering menjadi masalah. Hal itu oleh karena umumnya fungsi peralatan pengatur sirkulasi udara dalam CH yang tidak berfungsi secara baik.
 
Aplikasi kandang CH pada usaha budidaya ayam komersial pada saat ini memang sedang menjadi trend. Maka menjadi wajar, jika persoalan yang bersifat mendasar masih sering dijumpai dan butuh pendampingan ekstra intensif dari para praktisi CH. Maka tidak tepat jika kemudian muncul kesimpulan bahwa penyakit CRD banyak dijumpai pada kandang sistem CH.
 
Sedangkan menurut Drh Harry Wibowo, sebenarnya kasus penyakit konvensional akan jauh berkurang pada kandang CH. Sebab ayam di dalam kandang CH akan mencapai tingkat kenyamaan dan terpenuhinya kebutuhan sesuai prasyarat pertumbuhan ayam. Hal itu terutama jika dibandingkan dengan system kandang terbuka yang selama ini masih banyak dipakai oleh para peternak di Indonesia. Aspek produktifitas sudah pasti akan mencapai tingkat tertinggi, yang de­ngan kata lain faktor gangguan penyakit akan berada pada titik terendah. Namun demikian jika operasionalisasi kandang CH yang tidak tepat akan berakibat yang sebaliknya. Yaitu produktifitas yang tidak baik dan bahkan aneka gangguan ke­sehatan termasuk CRD yang sangat mungkin sangat sering terjadi.
 
Baik Boris maupun Harry berpendapat bahwa peluang kasus penyakit CRD memang  akan sangat tinggi terjadi di kandang terbuka dan konvensional da­ripada kandang sistem CH. Namun bukan berarti kasus penyakit itu tidak dijumpai pada kandang sistem CH, bahkan akan bissa terjadi sangat tinggi munculnya kasus penyakit itu, jika tatakelola dan operasionalisasi CH kurang baik.
 
Oleh karena itu menurut kedua praktisi itu, bahwa penyakit CRD akan mampu muncul dan menyerang ayam-ayam dimana saja ayam itu berada. Persoalan tingkat besar dan kecilnya kasus penyakit CRD sangat tergantung dari aspek pengelolaan saja. (iyo)

MENGATASI CRD di Broiler Dan Layer

Kondisi cuaca yang tidak menentu seringkali dijadikan sebagai indikator awal akan munculnya berbagai jenis penyakit. Betapa tidak, cuaca yang awalnya panas dalam hitungan menit bisa berubah mendung dan berakhir dengan turunnya hujan. Sejalan dengan itu, suhu yang terlalu panas akan menimbulkan kelembaban yang tinggi dan sebaliknya. Hal ini akan berefek pada memburuknya kondisi lingkungan. Sejatinya, lingkungan merupakan interaksi hidup dari semua makhluk hidup, mulai dari makroorganisme maupun mikroorganisme. Terkait dengan mikroorganisme tersebut, para pakar zoologi menyebut bahwa tidak semua mikroorganisme dapat bersahabat dengan makhluk lainnya. Artinya, kejadian penyakit pada unggas pun dapat berawal dari interaksi yang tak sehat antara mikroorganisme penyebab penyakit/patogen dengan unggas itu sendiri.

Penyakit yang sering kali muncul namun sering diabaikan peternak adalah Chronic Respiratory Disease (CRD). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum ini merupakan penyakit menular menahun yang sebenarnya harus diwaspadai. Hal ini diungkapkan secara tegas oleh pakar kesehatan unggas Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dalam bukunya dengan judul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Jilid 1. Hal yang sama disampaikan Hanggono SPt di depan para peserta seminar sehari dengan topik Manajemen Pemeliharaan Ayam Pedaging Modern dan Seni Mengobati yang dibesut oleh PT Riau Feed Centre bulan lalu.

Menurut Hanggono, kejadian CRD di lapangan sering dijumpai, baik pada ayam pedaging ataupun pada ayam petelur. “Penyakit yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus adalah penyakit pernafasan menahun atau CRD karena bagaimanapun, penyakit ini tetap dapat merugikan secara ekonomis,” ujar alumni Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ini. Kerugian secara ekonomis dapat saja berupa memburuknya nilai konversi ransum akibat menurunnya konsumsi ransum, sehingga capaian berat badan panen pun tidak akan optimal.

Hal senada juga disampaikan Syafrinaldi SPt melalui pesan singkatnya, “Kejadian CRD bisa dikatakan terus ada disetiap periode produksi ayam pedaging.” Alumni Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang ini menyebutkan bahwa penyakit CRD sama halnya dengan api, kecil dibiarkan aman namun jika membesar akan menjadi lawan yang akan mendatangkan kerugian.

Terkait dengan kondisi tersebut, Prof Dr HM Partadiredja MSc (Almarhum) dalam bukunya dengan judul Manual Penyakit Unggas, menyebutkan bahwa penyakit CRD disebut juga dengan penyakit ngorok ayam. Penyakit ini ditandai dengan ingus katar yang keluar dari lubang hidung, kebengkakan muka, batuk dan terdengarnya suara sewaktu ayam bernafas. Selanjutnya, pada kondisi tertentu menurut Prof Partadiredja, kemungkinan besar penyakit ini dapat menyebabkan gangguan pernafasan akut terutama pada ayam muda/pullet, sedangkan pada bentuk kronis efek nyata yang dapat diamati adalah terjadinya penurunan pada produksi telur. Menariknya, meskipun angka kesakitan/morbiditas dari penyakit bakterial ini sangat tinggi, namun angka kematian/mortalitasnya cukup rendah jika dibandingkan dengan penyakit bakterial lainnya.
Hal ini ditanggapi Drh Jalaluddin MSc sebagai faktor kewajaran jika di tingkat peternak kurang perhatian terhadap penyakit ini. “Kemungkinan fenomena inilah yang menyebabkan sebagian peternak kurang intens menghadapi penyakit CRD ini,” ujar Jalaluddin.

Jika boleh dikata jujur, sebagai akademisi, drh Jalal sedikit miris dengan kondisi tersebut, betapa tidak, meskipun tingkat mortalitas penyakit tersebut cukup rendah namun yang perlu diwaspadai menurutnya adalah ikutan mikroorganisme sekunder yang akan memperburuk kondisi tubuh ayam itu sendiri.

“Penyakit apapun yang mendera ayam, ujung-ujungnya tetap ada kaitannya dengan melemahnya sistem pertahanan tubuh. Ayam yang terpapar bibit penyakit CRD, secara alami jelas telah melakukan pengurasan terhadap sediaan produk pertahanan tubuh atau imunitas, lalu jika tidak ditangani cepat, kondisi tubuh yang lemah tersebut, jelas akan memudahkan terpaparnya ayam dengan berbagai mikroorganisme penyebab penyakit lainnya, sebut saja, apakah itu virus ND, IB dan atau virus dan bakteri patogen lainnya,” tutur alumni Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Jalal menegaskan, peternak harus fokus, jika dijumpai kasus mengarah pada gejala spesifik dari penyakit tersebut, harus cepat tanggap memberikan tindakan awal, yang dapat berupa pemisahan atau isolasi individu yang sakit dengan yang sehat, lalu individu yang sehat tersebut diberi antibiotika yang sesuai dengan target pencetus penyakit itu sendiri, dan untuk ayam yang sakit, lakukan tindakan pengobatan. Dengan demikian, kekuatiran akan munculnya infeksi sekunder dapat dilenyapkan dari ranah pikir peternak.

Terus Berulang

Penyakit CRD sering disamaartikan dengan lagu wajib, hal ini dimaknai sebagai penyakit yang kemunculannya terus berulang di lokasi peternakan/farm, baik di ayam pedaging maupun di ayam petelur. Melenyapkan penyakit CRD dari satu farm bukanlah suatu usaha yang mudah dilakukan peternak, hal ini mengingat bahwa penyakit tersebut dapat ditularkan secara vertikal dari induk ke anak melalui telur yang terinfeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum.

Merujuk pada data lapangan hasil kerja keras para Technical Service (TS) PT Medion, penyakit CRD termasuk “Top Ten Diseases in 2007” di Indonesia. Data tersebut mendudukkan penyakit CRD pada urutan keempat. Walaupun menduduki posisi keempat, penyakit CRD bukanlah suatu penyakit yang dapat dianggap enteng oleh peternak, karena bagaimanapun dampak yang ditimbulkan cukup besar jika dihitung secara ekonomis.

Kejadian berulang pada CRD dapat saja berawal dari sistem pengelolaan usaha peternakan yang salah. Hal ini dibenarkan Syafrinaldi SPt, “Penerapan manajemen yang salah sering disebut sebagai pemicu munculnya kasus ini. Hal dimaksud misalnya peternak yang kebagian anak ayam (DOC) jelek, lalu dipelihara dan hasilnya tetap jelek,” urai Syafrinaldi yang juga technical services PT Sanbe Cabang Pekanbaru.

Senada dengan Syafrinaldi, Drh Jalalluddin MSc mengingatkan bahwa DOC dengan berat badan di bawah standar (<42 g) lebih rentan terserang penyakit pernapasan. Munculnya penyakit pernafasan tersebut menurut dosen FKH USK Nanggroe Aceh Darussalam ini dipicu oleh pemaksaan kerja paru-paru dalam menyuplai oksigen untuk proses metabolisme tubuh. Tindakan ini jelas salah karena dapat berdampak pada gangguan organ dan sistem organ pernapasan. Pemaksaan kerja keras pada paru-paru juga akan merusak organ pernapasan lainnya, seperti hidung (sinus hidung), trakea dan kantung udara. Akibat dari itu semua Kondisi tubuh akan melemah. Disamping itu, DOC yang berukuran tubuh lebih kecil tetap lebih mudah terinfeksi bakteri M. gallisepticum ataupun jenis mikroorganisme lainnya.

Sehubungan dengan itu, Salman peternak ayam pedaging yang tinggal di Desa Alam Panjang Kecamatan Rumbio Kabupaten Kampar menyebutkan bahwa kasus CRD dapat saja muncul disetiap periode pemeliharaan. Namun sejauh upaya peternak dalam menerapkan prinsip beternak aman dengan CRD, kasus tersebut setidaknya dapat diminimalisir kehadirannya.

Hal yang dimaksud Salman adalah memperhatikan semua hal terkait dengan manajemen pemeliharaan, mulai dari pemilihan DOC yang berkualitas tinggi sampai pada proses pemanenan. “Informasi yang saya dapatkan dari Majalah Infovet disebutkan kalau CRD merupakan penyakit yang muncul akibat kesalahan manajemen, jelaslah jika ingin penyakit tersebut tidak uncul di lokasi peternakan, maka perbaiki sistem manajemen yang ada di lokasi peternakan tersebut,” tutur Salman.

Salman melanjutkan, hal yang paling mudah dilakukan peternak sebenarnya adalah hanya menerima bibit atau DOC dengan kualitas prima saja, dan katakan tidak untuk sebaliknya. “Sulit memang dilakukan mengingat sebagian besar peternak beternak dengan pola kemitraan kan, artinya DOC dengan kualitas apa saja pastilah diterima, tak tau untung atau rugi, inilah risiko yang sebenarnya yang harus ditanggung peternak,” ujar peternak mandiri ini.

Hal lain yang dapat diterapkan disamping terkait dengan kualitas DOC adalah perbaiki sistem pemanas/brooding karena bagaimanapun, indikator keberhasilan dimulai dari fase tersebut. Lalu, menekan lajunya kadar amoniak yang ada di dalam kandang. Hal ini dilakukan Salman dengan jalan memperbaiki sistem turun naiknya tirai kandang yang digunakan, termasuk mengurangi tumpukan feses di bawah lantai kandang (jika kandang panggung).

Hal ini senada dengan apa yang dituliskan Prof Charles dalam bukunya  dengan judul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Jilid 1 bahwa tumpukan feses dapat memperburuk kondisi udara di dalam kandang akibat terjadinya peningkatan kadar amoniak yang bersumber dari tumpukan feses. Batas kadar amoniak yang aman sekitar 15-20 ppm. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Melengkapi apa yang dikatakan Salman, yang tidak kala pentingnya menurut Drh Jalaluddin MSc adalah penerapan aspek biosekuriti menyeluruh di lokasi peternakan. Hal ini dapat saja berupa membatasi lalu lalang angkutan umum, masyarakat atau apa saja yang terkait dengan kegiatan mobilitas di sekitar lokasi peternakan. Lalu, memisahkan ayam yang terpapar bibit penyakit dan atau ayam-ayam sakit dengan ayam yang tidak sakit, dan penerapan aspek sanitasi diseluruh areal kandang termasuk kandang itu sendiri, ayam dan anak kandangnya.

Hal ini diamini Fajar Datif Antariksawan, sejauh ini penyakit-penyakit yang berarti secara ekonomis belum sempat mampir (baca; tidak dijumpai) di lokasinya, kuncinya kata alumni Fapertapet UIN Suska Riau ini hanya satu, tetap menjaga kebersihan di seluruh lini area kandang. Dengan demikian, ternak tenang peternak pun senang, dan fulus pun datang (sadarman/riau).

NGOROK TIDAK SELALU CRD NAMUN CRD SUDAH PASTI NGOROK

Sebagai penyakit konvensional yang terlalu sering dijumpai oleh para peternak, maka hampir pasti mereka paham sekali gejala klinis dan tanda-tanda ayamnya yang terserang penyakit Chronic Respiratory Diseases (CRD) dan CRD Kompleks. Maka tidak salah jika peternak meyakini dengan kuat bahwa jika ayamnya menunjukkan tanda ngorok, mereka sudah berani “memastikan” itu terserang CRD atau jenis penyakit pernafasan yang lain.

Mereka umumnya memegang pedoman bahwa jika terserang penyakit CRD akan selalu ditandai dengan ngorok atau terdengar keras suara pernafasan yang seolah ada gangguan dalam saluran pernafasannya. Selain itu dijumpai adanya leleran dari hidung yang kental dan sesekali ayam menujukkan refleks batuk-batuk.

Untuk membedakan apakah Ngorok itu akibat dari penyakit lain, menurut pengalaman beberapa peternak jika bukan oleh karena CRD maka kalaupun ada leleran hidung, namun umumnya bersifat encer dan sama sekali tiada dijumpai batuk-batuk. Misal karena serangan ND, Coryza dan IB.

Menurut Drh Arief M Dimyatie, praktisi perunggasan yang telah lama malang melintang sebagai konsultan kesehatan ayam, bahwa CRD adalah salah satu penyakit yang sangat sering menyerang pada peternakan komersial. Umumnya terjadi oleh karena diawali oleh stres dan juga disebabkan oleh daya tahan tubuh ayam yang melemah. Melemahnya daya tahan tubuh itu umumnya oleh karena pergantian musim ataupun pergantian kualitas pakan serta oleh karena perlakuan pemeliharaan yang salah.

Sangat sering terjadi, peternak mengganti merk pakan oleh karena hanya alasan dan pertimbangan harga. Akibatnya ayam mengalami cekaman dan kemudian daya tahan menurun sehingga akhirnya muncul penyakit itu. Menjadi lebih parah jika kemudian penyakit lain ikut menginfeksi, baik itu penyakit yang memang special menyerang pernafasan maupun penyakit pada sistema organ yang lain.

Dari manakah organisme itu berasal? Memang menjadi pertanyaan umum yang sering disampaikan peternak. Penjelasannya lanjut Arief, bahwa agen penyebab CRD dan agen penyakit lainnya, bahwa pada dasarnya sudah banyak berada di sekitar kandang. Oleh karena itu, seolah agen penyakit itu selalu siap selalu masuk untuk menyerang ketika status kesehatan ayam menurun. Hal ini yang tidak sedikit para peternak tidak memahaminya. Oleh karena itu begitu pentingnya program desinfeksi kandang dan lingkungan yang teratur untuk menekan populasi agen penyakit yang berada disekitar kandang.

Sedangkan Ir Alex Puspoyojati, seorang petugas lapangan pendamping peternak,   mengungkapkan bahwa memang CRD tidak memandang tingkat kebersihan kandang. Artinya meskipun kandang itu seolah nampak bersih, namun program biosecurity termasuk program desinfeksi tidak berjalan dengan baik, maka potensi untuk munculnya penyakit itu sangat besar. Terlebih jika kandang yang sama sekali melalaikan program rutin desinfeksi, maka kemungkinannya jauh lebih besar dan diperparah dengan adanya infeksi penyakit lain yang ikut masuk.

Senada dengan Arief, Alex melihat bahwa pengalaman para peternak dalam menghadapi penyakit CRD memang menjadi penting untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Peternak yang menjalankan program biosecurity dengan ketat dan terprogram, umumnya dapat memperkecil potensi terserang penyakit itu. Namun tidak bisa menjadi jaminan mutlak untuk bisa membebaskan dari potensi terserang penyakit itu. Faktor cuaca yang berubah-ubah secara ekstrim, sangat sering sekali menjadi pemicu munculnya CRD.
Umumnya peternak yang menjalankan program biosecurity secara baik mempunyai kemampuan dan kepekaan mendeteksi secara dini akan munculnya infeksi CRD pada kandangnya. Sehingga langkah cepat antisipatif dapat menekan menyebarnya penyakit itu. Berbeda dengan peternak yang belum berpengalaman dan yang tidak mau belajar dari pengalaman, umumnya akan mengalami kerugian besar, oleh karena terlambat mengambil penanganan. Akibatnya populasi ayam akan banyak yang terserang sakit, dan meskipun mampu menyelamatkan dari kefatalan, namun tetap merugi, oleh karena pertumbuhannya yang terganggu (broiler) atau produksinya menurun (layer).

Kasus CRD, menurut Alex lebih sering dan banyak terjadi oleh karena cuaca yang ekstrims. Namun terkadang oleh karena dampak lain dari program vaksinasi yag tidak tepat, akan memicu munculnya penyakit itu. Pergantian musim, menurut Arief sering membuat suhu dan kelembaban berubah secara cepat dan intensitasnya tinggi. Malam hari misalnya, dengan suhu yang rendah dan tiupan angin yang kencang, akan membuat status kesehatan ayam terkoreksi secara cepat.

Bisa juga terjadi siang hari dengan suhu lingkungan yang tinggi, dan kelembaban rendah, akan membuat ayam tercekam. Mengingat ayam tidak mempunyai mekanisme berkeringat, akhirnya akan membuat ayam terganggu keseimbangan tekanan osmose pada cairan tubuhnya yang kemudian berakhir dengan stres.
Baik Arief maupun Alex, sering mengamati bahwa aspek lingkungan yang tidak kondusif menjadi pemicu paling banyak munculnya kasus penyakit CRD, maka membuat situasi lingkungan kandang yang kondusif mutlak. Selain itu langkah antisipatif dengan selalu menyiapkan suplemen vitamin dalam air minum, untuk menekan potensi melemahnya kesehatan ayam. (iyo)

Mikoplasma: Sang Perampok

Oleh: Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)

Di Indonesia, frekuensi kasus Mikoplasmosis pada peternakan ayam moderen, baik itu yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum (Mg) ataupun Mycoplasma synoviae (Ms), dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir tampaknya terus meningkat.  Lalu, benarkah ayam moderen memang ditakdirkan lebih sensitif terhadap infeksi mikroba yang tergolong mikroorganisme prokariotik ini?  Atau, apakah progres efisiensi pemeliharaan ayam moderen yang notabene “kebablasan” yang menjadi faktor pencetus utama kasus ini dilapangan?  Artikel singkat ini mencoba mengulasnya dari “kaca mata” seorang praktisi lapang yang tengah mencermati alternatif-alternatif tindakan yang jitu untuk mengurangi kerugian peternak akibat kinerja “sang perampok” yang berdarah dingin ini.

Latar Belakang
Perbaikan genetika ayam ras moderen ternyata menuntut kondisi tatalaksana dan lingkungan pemeliharaan yang prima, agar ayam moderen tersebut dapat menunjukkan potensi genetiknya secara optimal.  Namun di sisi lain, tingkat keuntungan peternak yang semakin marginal jelas menuntut pelaku perunggasan harus melakukan efisiensi proses pemeliharaan secara terus menerus.  Secara tidak sadar, kondisi ini pasti mengakibatkan suatu keadaan kontra-produktif yang ujung-ujungnya dapat menciptakan suatu gangguan signifikan pada dinamika interaksi antara ayam dengan mikroorganisme disekitarnya yang notabene berada dalam mileu yang sama.

Pada industri perunggasan moderen, aspek efisiensi yang telah diterapkan secara luas dengan mudah dapat diamati pada:
  1. Adanya kepadatan ayam yang sangat tinggi per-satuan luas kandang, sehingga produktifitas per-satuan luas ruang­an meningkat.  Hal ini tampak dengan jelas pada sistem perkandangan baik yang terbuka (konvensional) maupun yang tertutup (closed house system). 
  2. Adanya penerapan sistem operasional yang bertingkat alias “multi-age system”, sehingga produk akhir akan dihasilkan secara kontinyu, sesuai dengan tuntutan pasar produk pertanian yang sangat sensitif terhadap “supply – demand” yang berkesinambungan.
  3. Adanya waktu istirahat kandang yang semakin singkat (pada peternakan rakyat bahkan sering diabaikan), sehingga produktifitas kandang dan tenaga kerja dalam satu tahun dipercaya akan meningkat. 
Kepadatan ayam yang tinggi per-satuan luas kandang jelas mengakibatkan beberapa efek “domino” lanjut, salah satunya adalah meningkatnya prevalensi kasus-kasus “man-made disease” seperti Mikoplasmosis, karena dalam kepadatan ayam yang tinggi, suasana anaerob dengan mudah akan tercapai dan replikasi (perkembangbiakan) Mikoplasma pada permukaan sistem pernafasan akan berlangsung lebih cepat. Kepadatan yang tinggi juga mempermudah penularan agen penyebab penyakit (Mikoplasma) secara horizontal lebih efektif, dari ayam yang satu ke ayam yang lain.  Manifestasinya adalah morbiditas yang seolah-olah lebih cepat. Kondisi tersebut juga jelas akan mengakibatkan konsentrasi bibit penyakit per-satuan volume udara atau bahan litter akan meningkat.

Kepadatan ayam yang tinggi juga akan mengakibatkan ayam mengalami stres sosial (social stress). Kondisi stres yang berkesinambungan jelas akan mengakibatkan gangguan pada mekanisme pertahanan tubuh ayam.  Dalam situasi seperti ini, maka jelaslah bahwa tatalaksana pemeliharaan ayam dengan mengandalkan kekuatan reaksi imunitas dari vaksin jelas kurang bijaksana, apalagi reaksi imunitas yang terbentuk adalah marginal.

Sekilas tentang Mikoplasma
Secara umum, mikroba Mikoplasma pada ayam Mg maupun Ms dikategorikan sebagai mikroorganisme yang sangat rapuh, karena tidak dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama diluar tubuh induk semang (ayam).  Namun manusia, burung atau hewan liar lainnya yang ada disekitar peternakan ayam (ferret animals) serta peralatan peternakan dapat bertindak sebagai sumber kontaminan dan atau vektor mekanis penyebaran Mikoplasma dalam suatu populasi ayam dari satu kandang ke kandang lainnya, atau bahkan dari suatu flok ke flok ayam lainnya (Kleven, 1990).

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah data penelitian yang dilaporkan oleh Yamamoto (1989) yang mengindikasikan bahwa baik Mg atau Ms dapat bertahan hidup pada komponen bulu ayam ataupun bahan organik yang berasal dari ayam sampai dengan 2 hari.  Itulah sebabnya, dalam kondisi lapangan yang kurang ideal (misalnya tanpa istirahat kandang, kepadatan ayam yang tinggi, pengaturan ventilasi dan sanitasi peternakan yang buruk) serta sistem pemeliharaan ayam yang “multi age” (banyak umur dalam satu lokasi farm), maka kasus Mikoplasmosis yang disebabkan oleh Mg atau Ms seolah-olah selalu berulang dengan derajat keparahan yang semakin lama semakin hebat.

Salah satu keunikan partikel sel Mikoplasma adalah tidak mempunyai dinding sel.  Itulah sebabnya preparat antibiotika kelompok Beta-laktam (Penisilin dan derivatnya) serta kelompok Sefalosporin tidak efektif digunakan untuk mengatasi kasus-kasus yang disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.

Keunikan lainnya dari Mikoplasma, baik itu Mg atau Ms, adalah mempunyai variasi yang sangat besar antar strain-strain yang ada (Yoder, 1989), terutama dari karakter virulensi (keganasan), antigenisitas, maupun jaringan target infeksi (tissue tropism).  Variasi yang besar dalam beberapa aspek tersebut diatas mengakibatkan bervariasinya derajat keparahan kasus dan atau bervariasinya manifestasi gejala klinis yang tampil dilapangan. Ujung-ujungnya adalah kesulitan yang besar dalam menegakkan diagnosa yang akurat dan cepat bagi praktisi lapangan.   

Pola Penularan Mikoplasma, Gambaran Sekilas Kasus Mikoplasmosis Lapangan, Bagaimana Uji Serologis Mikoplasmosis, Bagaimana Kasus Mikoplasma Pada Breeder serta Rekomendasi Praktis Lapangan yang dapat dijadikan panduan bagi peternak dalam menghadapi kasus Mikoplasmosis disajikan secara khusus dan lengkap oleh Drs Tony Unandar, Baca selengkapnya  di majalah Infovet edisi 213/April 2012.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer