Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

KETIKA ND GENOTIPE 7 MENJADI SOROTAN UTAMA

Penyakit ayam yang sangat terkenal di kalangan peternak ayam, ND (New Castle Disease), yang juga menyerang pernapasan, tetap menjadi sorotan utama dari berbagai penyakit yang lain. Demikianlah kesimpulan Infovet dalam mengamati perkembangan peta penyakit ternak unggas 2012-2013.
 
Belum lama ini pada 2012, dua seminar bertema ”Perkembangan Virus ND di Indonesia: ND G7B” diangkat oleh PT Medion Bandung dengan pembicara Drh Witarso dan Drh Budi Purwanto dari PT Medion. Sedangkan seminar bertema ”Pengendalian Genotipe 7 Newcastle Disease di Indonesia” diangkat oleh PT Romindo Primavetcom dengan pembicara Dr Michael Lee.
 
Belum lama ini juga, Seminar bertema ”Penanganan ND yang masih mendominasi penyakit unggas di Indonesia” diangkat oleh PT Caprifarmindo Laboratories Bandung dengan me­ngetengahkan pembicara Prof DR Drh Fedik Abdul Rantam MPhil dari Universitas Airlangga Surabaya. Seminar bertema ”Newcastle Disease” diang­kat oleh  PT Japfa Comfeed Indonesia dengan mengetengahkan pembicara DR Teguh Prajitno. Adapun Seminar tentang ND bertema ”Reaksi ringan, perlindungan Tinggi, Pendekatan baru dalam ND” diangkat oleh PT Intervet Indonesia dengan menampilkan pembicara Dr Jay F Peria.
 
Dari berbagai liputan terhadap seminar tentang Perkembangan Virus ND di Indonesia tersebut, Infovet melengkapi dengan wawancara khusus dengan pakar penyakit unggas di Indonesia Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD yang Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan dengan studi literatur dari berbagai sumber. Dari hasil semua sumber ini Infovet melaporkan kepada pembaca bahwa secara garis besar virus ND dapat diklasifikasikan berdasarkan serotipe, patotipe, dan genotipe (yang muncul sebagai hasil perkembangan teknologi terkini).
 
Klasifikasi virus ND berdasar serotipe adalah mengacu pada protein HN dengan melakukan HA/HI test, di mana ND hanya punya 1 serotipe. Sedangkan klasifikasi virus ND berdasar patotipe adalah mengacu pada virulensi atau tingkat keganasan. Sementara klasifikasi virus ND berdasarkan genotipe adalah mengacu pada tingkat susunan asam amino penyusun gen.
 
Berdasarkan patotipe/tingkat keganasannya, terdapat 3 jenis virus ND. Ketiga patotipe virus tersebut yaitu Velogenik, Mesogenik dan Lentogenik. Karakteristik serangan virus Velogenik ditandai terutama dengan infeksi saluran pencernaan (viserotropik) dan organ syaraf (nerotropik) yang parah, sehingga sering disebut dengan serangan VVND (velogenic viscerotropic Newcastle disease). Sementara karakteristik serangan virus Mesogenik memiliki keganasan menengah dan terutama menyebabkan gangguan pernapasan, bahkan terkadang menunjukkan gangguan syaraf. Sedangkan karakteris­tik virus Lentogenik merupakan penyebab dari penyakit ND tipe ringan, kadang-kadang tidak menampakkan gejala yang spesifik.
 
Perkembangan teknologi terkini memunculkan klasifikasi virus secara genotipe. Identifikasinya dengan melihat materi inti virus. Klasifikasi virus ND secara genotipe sesungguhnya berawal dari analisis secara filogenetik (kekerabatan), di mana virus ND dikelompokkan menjadi 2 divisi; yaitu Klas I (yang menyerang unggas air dan terdiri dari golongan virus bervirulensi rendah) yang minimal terdiri dari 9 genotipe, dan Klas II (yang menyerang unggas darat dan terdiri dari virus bervirulensi rendah tapi mayoritas virulen/ ganas) yang terdiri 10 genotipe.
 
Dengan penggolongan klas ini tentu saja masyarakat peternakan (bakal) lebih familiar dengan 10 genotipe pada virus ND Klas II ini. Baik untuk diketahui bahwasanya dari 10 genotipe (1-10), genotipe “awal” yang ditemukan pada tahun 1930-1960 adalah genotipe 1, 2, 3, 4 dan 9. Sementara genotipe “belakangan” yang ditemukan setelah tahun 1960 adalah genotipe 5, 6, 7, 8, dan 10. Dan, setelah pada tahun 2011 ditemukan isolat NDV dari Madagaskar, diusulkanlah adanya  genotipe 11 yang merujuk pada isolat ini
 
Virus ND Klas II genotipe 2 termasuk virus ND virulensi rendah yang digunakan sebagai galur vaksin, yaitu virus LaSota, B1 dan VG/GA. Kemudian, muncul pendapat bahwa vaksin yang banyak beredar di Indonesia umumnya dibuat dengan isolat virus La Sota dan Hitchner B1 asal Amerika yang tergolong ke dalam genotipe 2 tersebut.
 
Sementara itu, isu yang berkembang menyebutkan bahwa dari kasus ND sepanjang 2009-2011 yang dominan terjadi di Indonesia saat ini disebabkan oleh virus ND genotipe 7. Keyakinan itu didasarkan pula pada hasil isolasi virus dari kejadian ND terkini di lapangan. Di sinilah kemudian ND Genotip 7 menjadi perhatian utama masyarakat peternakan di Indonesia. Tak mengherankan, berbagai seminar diselenggarakan menyoal hal tersebut.

TIGA PANZOOTIK ND
Untuk membahas ND Genotipe 7 yang sedang menjadi sorotan masyarakat, dapat dimulai dari kenyataan bahwa Virus ND mempunyai patogenisitas dan virulensi yang sangat bervariasi, meliputi virus ND apatogenik sampai virus ND sangat patogen, dan Virus ND ini dapat menginfeksi berbagai jenis  unggas dan burung liar.
Infovet mengajak pembaca menelusuri masa lalu tentang penyebaran ND yang padanya dikenal ada 3 panzootik ND (kejadian infeksi ND dari berbagai spesies unggas meliputi area yang luas). Panzootik ND pertama terjadi sebagai akibat serangan virus ND genotipe 2, 3, 4 pada tahun 1926 di Asia Tenggara dan menyebar ke berbagai belahan dunia.
 
Panzootik ND kedua terjadi sebagai akibat serangan virus ND genotipe 5 dan 6 pada tahun 1960-an di Timur Tengah, lalu menyebar ke berbagai negara pada tahun 1973.
 
Panzootik ND ketiga terjadi terjadi akibat serangan ND genotipe 7, 8 pada tahun 1970-an yang berawal dari Timur Tengah, kemudian menyebar ke Eropa pada tahun 1981, dan selanjutnya menyebar secara cepat ke berbagai negara di dunia. Panzootik ND ketiga tersebut disebabkan oleh bentuk velogenik neurotropik, yang dikenal sebagai virus pigeon Paramyxovirus type 1.
 
Akibat Panzootik ketiga tersebut, virus ND genotipe 7, 8 ditemukan di Asia, Afrika Selatan dan beberapa negara Eropa. Genotipe 7 ini terutama bertanggung jawab untuk wabah ND di negara yang bertetangga dengan Taiwan dan China (sekitar 1985); setelah pada 1984 virus ND genotipe 7 ini diisolasi pertama kali di Taiwan. Pada 1995 pun terjadi wabah ND di Taiwan yang disebabkan oleh genotipe 7 ini.
 
Bagaimana dengan Indonesia? Wabah ND akibat virus ND Genotipe 7 telah terjadi di Indonesia pada akhir 1980. Berdasar laporan Lomniczi dan kawan-kawan pada 1998 dalam Arch Virol halaman 143, virus ND genotipe 7 ini telah diisolasi di Indonesia pada tahun 1980.
 
Selanjutnya, sejak 1990-an virus ND genotipe 7 merupakan isolat yang paling dominan di dunia, meliputi Asia Timur dan Eropa barat. Dan, jika wabah virus ND terus berlanjut, maka dapat timbul Panzootik ND keempat.
 
Klasifikasi virus ND Genotipe 7 ini masih dibagi lagi menjadi 2 subgenotipe, yaitu Genotipe 7A mewakili virus ND yang muncul tahun 1990-an di Timur jauh, lalu menyebar ke Eropa, dan Asia. Adapun Genotipe 7B mewakili virus ND yang muncul di Timur jauh dan menyebar ke Afrika Selatan. Kedua subgenotipe tersebut dibagi lagi menjadi genotipe 7C, 7D, 7E yang mewakili isolat dari China, Kazakhstan, dan Afrika Selatan; genotipe 7F, 7G, dan 7H mewakili isolat virus ND Afrika. Dari kesemua sifatnya, virus ND genotipe 7 tersebut merupakan virus Velogenic viscerotropic (VVND).  (Yonathan)

Grand Launching Buku Hari Lahir dan Bulan Bhakti PKH

SELAKU penulis Buku Hari Lahir dan Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dr drh Sofyan Sudardjat MS hadir dalam grand launching bukunya didampingi Dirjen PKH Ir Syukur Iwantoro MS MBA. Acara berlangsung di Gedung C, Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jumat (17/1).
 
Terlihat antusiasme para tamu undangan yang berkesempatan datang dalam acara launching ini. Diantaranya Ketua Umum ASOHI Drh Rakhmat Nuriyanto, Ketua Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Tri Hardiyanto, Kepala Pusvetma Drh Endang Pudjiastuti MKes, Ketua ISPI Ir Yudi Guntara Noor, dan masih ba­nyak lagi lainnya.
 
Dalam paparannya, Drh Sofyan Sudardjat MS me­nyampaikan tujuan ditulisnya buku tersebut yaitu sebagai upaya mengingat kembali akan makna hari lahir dan bulan bhakti peternakan dan kesehatan hewan, kepada pemerintah maupun masyarakat. Selain itu, diharapkan dapat memberi ins­pirasi serta motivasi pemerintah di pusat maupun daerah sekaligus pemangku kepentingan untuk turut berpartisipasi dalam peringatan hari lahir dan bulan bhakti peternakan dan kesehatan hewan di tahun-tahun mendatang.
 
Dalam proses penyusunan buku ini, Drh Sofyan dibantu oleh tim penyusun seperti Ir Baroto Suranto, Ir Bambang Suharno, Dr Ir Riwantoro MM, dan Supriyatno SIP MM. Isi buku merupakan hasil penelusuran sejarah peternakan dan kesehatan hewan dari masa ke masa.
 
“Kami kagum dengan kegigihan Bapak Sofyan bersama rekan tim penyusun. Terlebih pada usaha mengumpulkan perca demi perca data yang sudah sangat lama dan mung­kin sulit untuk ditemukan, serta dirangkai hingga terbitnya buku Hari Lahir dan Bulan Bhakti Peternakan dan Kesehatan Hewan ini,” ungkap Drh Rakhmat Nuriyanto.
(nunung)

Diskusi AI pada Itik di ASOHI

INDONESIA beberapa waktu lalu digemparkan dengan merebaknya kasus flu burung pada itik yang penyebabnya diketahui sebagai virus HPAI, H5N1 clade 2.3 subclade 2.3.2. Kasus pada itik ini pertama kalinya ditemukan di Indonesia. Dalam upaya meluruskan ramainya pemberitaan di beberapa media yang sebagian besar menyesatkan masyarakat, ASOHI mengundang seluruh stakeholder perunggasan dalam Seminar “Avian Influenza Pada Itik” pada Jumat 11 Januari 2013.                                  
 
Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD selaku Ketua Dewan Pakar ASOHI hadir sebagai pembicara kali ini. Menurut Prof Charles, laporan awal kematian pada itik diperoleh dari Jawa Tengah sekitar September 2012. “Pemerintah baru mengeluarkan berita resmi Oktober 2012,” kata Prof Charles.
 
“Salah satu kemungkinan penyebab munculnya virus HPAI subclade 2.3.2 yaitu akibat mutasi pada virus AI, setelah itik kontak berulang kali dengan virus tersebut saat mencari makan di lingkungan peternakan ayam yang terserang AI,” terang Prof Charles.
 
Kita ketahui sistem pemeliharaan itik di Indonesia adalah digembalakan secara lepas atau bebas. Sederhana saja penanggulangan dalam menghadapi kasus flu burung pada itik ini. “Biosekuriti yang baik dapat menekan dosis penyebaran virus HPAI,” tegas Prof Charles. Lanjutnya, itik dipelihara dalam kandang yang bersih dan terpisah dari unggas lain, khususnya ayam. Kemudian itik diberi pakan dengan kualitas baik serta air minum bersih.
 
Terkait dengan kegiatan produksi vaksin yang dilakukan pemerintah bersama produsen vaksin swasta, Drh Hasbullah MSc PhD Direktur PT Biotek Indonesia yang turut hadir dalam seminar menyampaikan pendapat. Menurutnya, vaksin AI dengan menggunakan teknologi reverse genetic (RE) lebih bagus hasilnya ketimbang vaksin yang diproduksi secara konvensional.
 
Diketahui China telah mengembangkan vaksin RE dan telah dicoba pada kasus AI pada itik di Vietnam dan hasilnya lumayan bagus. “Negara China dan Vietnam yang menjalankan vaksin dengan master seed virus HPAI subclade 2.3.2, dilaporkan belum memperoleh hasil memuaskan,” ungkap Prof Charles.
Vaksin rekombinan menurut Prof Charles juga pernah digunakan, namun hasilnya belum memuaskan. Sejauh ini vaksin yang direkomendasikan untuk penanggulangan AI pada itik adalah vaksin killed H5N1, subclade 2.1.3.
 
Koordinasi antara kementerian pertanian dan kesehatan sangat diperlukan dalam upaya pengendalian AI untuk mencegah kemungkinan penyebaran virus AI clade baru tersebut pada manusia. Sementara dari pihak industri perunggasan, perlu melakukan monitoring dan kajian epidemiologi molekuler secara terpadu bersama pemerintah dan peneliti untuk mengetahui dinamika virus AI clade baru dan sebaran geografisnya. (nunung)

Medion Apresiasi Prestasi dan Dedikasi

PERUSAHAAN yang besar tentu tidak lepas dari peran sumber daya manusianya yang berkualitas. Medion yang merupakan salah satu pemain utama di industri peternakan Indonesia sangat menyadari hal ini. Karena itulah, pada tanggal 30 Januari 2013 lalu, digelar sebuah acara bertajuk Employees Appreciation Day di lokasi industri Medion Cimareme, Bandung. Acara yang khusus diadakan untuk mengapresiasi para karyawan itu dihadiri oleh 200-an orang karyawan Medion, termasuk seluruh jajaran Tim Manajemen, ditambah lagi keluarga karyawan yang semakin memeriahkan suasana.
 
Malam itu, beberapa agenda telah dipersiapkan oleh panitia, antara lain Penghargaan Anak Berprestasi yang diberikan untuk anak-anak karyawan Medion yang berprestasi dalam pendidikannya. Sebanyak 15 anak mendapatkan penghargaan dan juga tabungan pendidikan untuk memasuki Perguruan Tinggi kelak. Acara pun dilanjutkan dengan pemberian penghargaan yang disebut PI2R (Productivity Improvement Reward and Recognition). Penghargaan ini diberikan untuk karyawan yang menyumbangkan ide terbaik dalam meningkatkan atau memperbaiki produktivitas kerja. Malam itu, 3 karyawan diberikan penghargaan atas ide yang telah disumbangkannya. Medion juga mengapresiasi dedikasi karyawan yang telah mengabdi melalui pemberian Anugerah Bakti. Penghargaan ini diberikan untuk karyawan yang telah bekerja selama 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 tahun.
 
Acara semakin meriah dengan adanya pelantikan promosi jabatan untuk Tim Manajemen yang baru. Dua orang yang telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam pekerjaannya, diangkat ke posisi yang lebih tinggi. Suasana haru meliputi seluruh peserta yang hadir ketika Tim Manajemen yang baru dilantik menyampaikan rasa syukur dan terima kasihnya. Seluruh rangkaian acara malam itu ditutup dengan perayaan ulang tahun Jonas Jahja, pendiri Medion dan juga karyawan yang berulang tahun di bulan Januari.  Sebelum meniup lilin, Jonas mengucapkan keinginannya untuk terus bekerja bersama dengan para karyawannya. Sukses terus, Medion! (Inf)

ANNUAL MEETING PT GALLUS INDONESIA UTAMA


GROWING AND DEVELOPING TO BE THE BEST

Mengawali agenda kerja tahun 2013, PT. Gallus Indonesia Utama menggelar acara Annual Meeting untuk tahun 2013 di negeri yang terkenal dengan lambang Merlion-nya, Singapura. Annual Meeting berlang­sung di Quality Hotel Marlow, Balestier Rd. Singapura ini diselenggarakan dari tanggal 19-20 Januari 2013 yang diikuti sebanyak 20 orang, terdiri dari jajaran Komisaris, Direktur, Manajer, staf, kar­yawan, kantor perwakilan Infovet Daerah, dan beberapa Pengurus ASOHI Pusat.
 
Mungkin Annual Meeting yang mengusung tema “GROWING AND DEVELOPING, TO BE THE BEST” ini menjadi satu-satunya kegiatan tahunan perusahaan yang mengikutsertakan seluruh karyawan sebuah perusahaan mulai dari level paling atas hingga office boy ke luar negeri.
 
Acara Annual Meeting ini dibuka oleh Direktur PT. Gallus Indonesia Utama Drh Tjiptardjo P, SE. dan dilanjutkan paparan ASSA (Asumsi, Sasaran, Strategi dan Aksi) dari Direktur Marketing Ir Bambang Suharno. Setelah laporan ASSA tiap divisi, acara dilan­jutkan dengan paparan dari Komisaris PT GITA, Gani Haryanto dan Ketua Umum ASOHI Drh Rakhmat Nuriyanto. Pada kesempatan ini juga dilakukan penandatangan peresmian pendirian Koperasi Syariah Karyawan PT GITA yang diberi nama ”Amanah Gallus Sehati” dengan Ketua Ir Darmanung dan Sekretaris Neneng Nur Aidah.
 
Usai makan siang di Quality Hotel Marlow, rombongan bergegas untuk check in hotel dan selanjutnya menikmati perjalanan keliling kota Singapura dengan konsep City Adventure. Tujuan pertama tentu saja ikon kota Singapura, dan seluruh karyawan Gallus tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto dengan Merlion. Seluruh karyawan Gallus sangat terkesan dengan keindahan pemandangan kota yang megah saat berjalan-jalan di Merlion Park dan sepanjang Singapore River, meskipun sore itu diselingi hujan gerimis.
 
Kemudian rombongan kami melanjutkan perjalanan ke Resort World Sentosa dengan naik public bus SBS Transit yang cepat dan nyaman. Disini kami juga berfoto di depan ikon Universal Studios Singapore untuk selan­jutnya bebas berkeliling theme park yang bertema unik-unik.
 
Menjelang malam hari rombongan menyempatkan waktu untuk menonton atraksi Song of the Sea. Sebuah pertunjukan bernilai 30 juta dolar menggabungkan berbagai special efect air mancur, laser, kembang api, dan fire ball menjadi satu. Pulang dari Sentosa Island kami mencoba naik kereta bawah tanah atau subway menuju ke Little India atau yang terkenal dengan pusat perbelanjaan Mustafa Center dan setelahnya kembali ke hotel di Balestier Road.
 
Keesokan paginya kami kembali menyusuri kota Singapura menggunakan public bus. Kali ini tujuannya wisata belanja berburu pernik oleh-oleh di sepanjang Orchard Road yang terkenal. Kami mampir cukup lama dan menhabiskan waktu makan siang di Lucky Plaza. Setelah usai makan siang kami menikmati cemilan Uncle es krim potong seharga 1 Sin dollar. Kemudian bagi rombongan muslim menyempatkan sholat di Mesjid Al Fallah yang terletak di Cairnhill Place tepat di ujung jalan Orchard Road. 
 
Destinasi selanjutnya adalah Bugis Street yang juga merupakan pasar beragam pernak-pernik oleh-oleh seperti kaos, gantungan kunci, hiasan berlambang Merlion, dan semacamnya. Puas berbelanja kami kembali ke hotel untuk mengambil tas yang sebelumnya kami titipkan waktu sekalian check out pagi tadi. Dari sini kami kembali dijemput untuk diantar ke Changi Airport.
 
Meskipun lelah berkeliling kota selama 2 hari, tetapi ada senyum tersimpul dari setiap wajah-wajah karyawan Gallus yang seakan berharap momen-momen ini akan selalu terkenang sepanjang hidup dan bahkan bisa berulang ditahun-tahun berikutnya. Sampai bertemu di Annual Meeting tahun depan. (wan)

Seminar Kesehatan Unggas Ke-3, ASOHI Bahas AI Pada Itik

Mengawali tahun 2013, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan de­ngan wabah AI pada itik yang menyebar dengan cepat ke berbagai daerah di Indonesia. Data dari Unit Penanggulangan dan Pengendalian AI (UPPAI) Ditjen PKH Kementan me­nyebut AI pada itik telah menyebar ke-11 Propinsi di Indonesia dengan angka kematian itik mencapai lebih dari 510 ribu ekor. Dalam waktu yang sama dikabarkan kasus AI pada ayam ras juga mengalami peningkatan.
 
Menurut beberapa peneliti dari Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian RI, sebagaimana diberitakan Infovet edisi Januari lalu, virus penyebab AI pada itik ini berbeda dengan AI yang selama ini dikenal di unggas, dan dipastikan virus ini merupakan introduksi dari luar bukan merupakan hasil mutasi virus yang telah ada sebelum­nya. 
 
Bagaimana sebenarnya perkemba­ngan penyakit AI di Indonesia? Bagaimana sebaiknya mengatasi wabah AI versi baru ini? Bagaimana kaitan AI pada itik dan unggas lainnya? Untuk menjawab hal itu semua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) menggelar seminar dengan menghadirkan pembicara yang kompeten dan berpengalaman. Diantaranya adalah Drh Muhammad Azhar, Koordinator UPPAI Pusat Kementerian Pertanian RI, Prof Drh Widya Asmara SU PhD, pakar penyakit AI dari FKH Universitas Gadjah Mada dan Prof Dr I Gusti Ngurah Mahardika, Kepala Lab. Biomedik dan Biologi Molekuler Hewan FKH Universitas Udayana. 
 
Menurut Ketua Panitia Drh Andi Wijanarko, Seminar Nasional Kesehatan Unggas ke-3 ASOHI ini dihadiri lebih dari 100 peserta stake holder perunggasan baik dari kalangan pelaku budidaya, breeding, perusahaan obat hewan dan juga pemerintah. Selain itu hasil rujukan seminar yang diselenggarakan di Hotel Santika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada Kamis, 31 Januari 2013 diharapkan dapat menjadi rujukan penting oleh pemerintah maupun dunia usaha dalam mengendalikan penyakit AI.
 
Prof Widya Asmara dalam paparannya menjelaskan bahwa wabah AI yang dimulai tahun 2003 oleh virus AI H5N1 clade 2.1.3. Korban utamanya adalah peternakan ayam komersial baik layer maupun broiler, dan unggas lain  seperti burung puyuh dan itik. Di awal wabah VAI juga dapat diisolasi dari itik dengan gejala tortikolis dan diikuti kematian. Termasuk dalam HPAIV H5N1 clade 2.1.3 dan s/d 2002 jarang ada kematian pada itik, tetapi periode 2003-2005 mulai ada kematian itik di Asia oleh virus HPAI. Kemudian periode berikutnya kembali jarang ditemui kematian itik akibat VAI H5N1 clade2.1.3. Namun bagaimana perilaku virus ini pada unggas liar belum teramati.
 
Prof Widya melanjutkan, pada wabah AI 2012/2013 kali ini banyak kematian pada ternak itik. “Dimulai dari Jawa Tengah yang kemudian menyebar kesepuluh propinsi di Indonesia. Sebagian besar itik mati terkonfirmasi akibat VAI H5N1. Dan dari hasil analisis molekuler termasuk HPAIV clade 2.3.2. Artinya virus ini bukan hasil mutasi dari VAI penyebab wabah 2003,” jelas Prof Widya
 
Hal ini juga ditegaskan oleh Drh M Azhar yang berdasarkan hasil investigasi lapangan dan uji laboratoris dari Tim Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta sejak Oktober-November 2012 bahwa telah ditemukan meningkatnya kasus kematian itik yang disebabkan oleh virus AI subtype H5N1.
 
“Selain itu hasil karakterisasi genetik oleh BBPMSOH, PUSVETMA, BPPV Bukittinggi, BBALITVET, BBV Wates, 3 Desember 2012 ditemukan virus AI subtype H5N1 yang memiliki kelompok gen (clade) baru yakni 2.3.2 pada itik yang berbeda dengan clade lama 2.1.3 yang selama ini menyerang unggas di Indonesia,” kata Drh Azhar.
 
Yang jadi pertanyaan apakah virus ini hanya menyerang itik? Karena diketahui, virus baru ini juga dapat diisolasi dari ternak ayam. Bahkan data dari FoBI (Forum Biodiversitas Indonesia), lanjut Prof Widya Asmara, melaporkan banyak kematian pada unggas liar di daerah pesisir Selatan Jawa, sehingga perlu analisis lebih detil apakah disebabkan oleh VAI H5N1 atau bukan. Namun terlepas dari itu semua kita semua mengharapkan kasus AI ini segera mereda dengan mulai terjadinya kekebalan populasi pada ternak itik.

Kebijakan Vaksinasi
Penggunaan vaksin yang tidak 100% homolog sangat dimungkinkan karena adanya kemampuan proteksi silang (cross protection) dari vaksin AI yang digunakan sebagaimana diung­kapkan Swayne et al., Vaccine (18): 1088-1095, 2000. Nguyen HH. Dept. Microbiology & Immunology Vaccine Centre. Univ. Alabama : “Heterosub­type Immunity to Influenza A, mediated by B cell” dan Fazekas et al., Clinical & Vaccine Immunology (16): 437-443, 2009. 
 
Namun hal ini juga sangat tergantung kepada derajat homologi dengan virus lapang dan dosis infeksi virus atau banyaknya virus tantang. Sementara untuk pengembangan vaksin baru yang homolog membutuhkan pendekatan pencegahan seperti misalnya strain seed vaksin yang bagus, kemurnian yang tinggi (contoh, cloned strain), sifat genotip dan fenotipnya stabil, aman, potensi dan efikasi yang tinggi serta ekonomis.
 
Lebih lanjut Prof Widya juga me­ngungkap hasil Rapat KOH Khusus tanggal 10 Januari  2013 yang diantaranya memutuskan bahwa vaksin AI H5N1 clade 2.3.2 diizinkan diproduk­si. Hal diperlukan dalam rangka me­ngantisipasi kemungkinan kegagalan vaksin H5N1 clade 2.1.3 dalam menahan infeksi virus H5N1 clade 2.3.2.
 
Sementara ini vaksin AI H5N1 clade 2.3.2 hanya direkomendasikan penggunaannya pada unggas air dengan cara aplikasi vaksinasi yang baik dan benar meliputi cakupan melebihi 80% dan dilakukan vaksinasi minimum 2 kali (priming dan booster).
 
Apabila hasil kajian vaksin AI H5N1 clade 2.1.3 dinyatakan masih protektif terhadap virus AI H5N1 clade 2.1.3 dan clade 2.3.2 maka vaksin AI H5N1 clade 2.3.2 tidak perlu diproduksi lebih lanjut. Sementara apabila hasil kajian vaksin AI H5N1 clade 2.1.3 dinyatakan tidak protektif terhadap virus AI H5N1 clade 2.3.2 maka vaksin H5N1 clade 2.3.2 diizinkan diproduksi lebih lanjut setelah lulus uji tantang dan vak­sin AI H5N1 clade 2.1.3 masih tetap dapat digunakan untuk vaksinasi.

Tak Harus Satu Jenis Vaksin
Prof Widya Asmara yang saat ini juga menjabat sebagai Ketua Komisi Obat Hewan, Kementerian Pertanian juga menegaskan bahwa saat ini, berkaitan dengan jabatannya di KOH, ia menjamin tidak akan ada masalah yang tidak ada ujung pangkalnya. Seperti­nya misalnya untuk pendaftaran vaksin yang termasuk kedalam golongan PRG (produk rekayasa genetik) yang selama ini dikeluhkan sangat sulit.
 
Menurut Prof Widya vaksin PRG tidak harus dilakukan pengujian terhadap produk PRG di dalam negeri sejauh data yang dibutuhkan sudah lengkap dan mampu memuaskan Tim Penguji. Karena kalau harus diuji lagi di dalam negeri akan muncul masalah baru me­ngenai laboratorium mana yang berkompeten untuk melakukan pengujian dan siapa pengujinya.
 
Hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 19 ayat 1 PP No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang berbunyi “Pe­ngujian di laboratorium, fasilitas uji terbatas dan/atau lapangan uji terbatas dilakukan apabila informasi dalam dokumen yang disertakan oleh pemohon belum dapat meyakinkan KKH untuk mengambil kesimpulan bagi pemberian rekomendasi keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG.”
 
Sementara itu terkait kebijakan Pemerintah yang saat ini mengharus­kan upaya vaksinasi dilapangan hanya menggunakan strain vaksin AI dari isolat lokal. Prof Widya menilai kebijakan tersebut kurang tepat. Karena untuk Indonesia yang upaya stamping out jika terjadi wabah tidak bisa dilakukan dengan cepat, ditambah lagi tingkat mutasi virus yang cukup tinggi. Ia menyarankan Indonesia tidak harus menggunakan hanya satu jenis vaksin AI saja yang digunakan.
 
“Karena tidak ada negara di dunia yang hanya menggunakan satu jenis vaksin saja untuk AI di perunggasannya. Apalagi di Indonesia ini semuanya ada. Ya mutasinya, ya strainnya, ya subtipenya, ya tingkat biosekuritinya yang sangat beragam. Semakin banyak jenis vaksin yang beredar akan semakin baik karena dari sisi proteksi akan tetap memberikan perlindungan,” ujar prof Widya.
 
Namun ia juga menegaskan bahwa vaksin produksi lokal dari masterseed lokal yang saat ini beredar juga mempunyai kualitas hasil yang berbeda. “Dengan satu masterseed saja bila diproduksi di pabrik yang berbeda hasil­nya akan berbeda karena berkaitan de­ngan preparasi dan pemilihan adjuvant yang digunakan,” jelas Prof Widya.
 
Prof Widya melanjutkan, upaya vaksinasi AI dengan vaksin konvensional ini masih dinilai sebagai langkah terbaik karena mampu menginduksi kekebalan seluler. Namun kedepan juga perlu dipertimbangkan untuk penggunaan vaksin baru yang jauh lebih aman dalam proses produksinya, misalnya vaksin reverse genetik (PRG) dengan mengedepankan kehati-hatian.
 
Sementara itu Prof Mahardika dari paparannya yang merupakan hasil kerjasama riset antara Universitas Udayana dan PT Medion menyimpulkan bahwa saat ini  telah terjadi pemasukan baru virus AI clade 2.3.2. Sementara clade 2.1.3 masih bersirkulasi dan dominan pada peternakan ayam di Indonesia.
 
Prof Mahardika menjelaskan bahwa clade 2.3.2 mempunyai ciri molekuler virus unggas. Oleh karenanya AI pada ayam dan itik bisa disebabkan oleh clade 2.1.3 dan/atau clade 2.3.2. Dimana clade 2.3.2 mempunyai struktur antigenik yang agak berbeda dengan clade 2.1.3. Sementara vaksin clade 2.3.2 belum tersedia peternak disarankan menggunakan vaksin clade 2.1.3.
 
Prof Widya Asmara juga menambahkan untuk bisa memberikan perlindungan terhadap 2 clade virus yang ada ini, ada baiknya dibuat vaksin cocktail yang terdiri dari campuran vaksin clade 2.1.3 dan 2.3.2. “Karena secara protektifitas bisa dibilang cukup baik dan tidak ada masalah,” ujar Prof Widya.
 
Diakhir presentasinya Prof Widya menyimpulkan bahwa vaksinasi yang baik seyogianya memakai vaksin dengan seed virus prevalens di lapangan, atau yang imunogenik protektif terhadap strain prevalens.
 
“Selain itu, sebelum tersedianya vaksin baru, vaksin yang lama masih bisa dipakai, meskipun perlindungan tidak 100%, (lihat prinsip-prinsip vaksinologi). Upaya vaksinasi harus diperkuat dengan langkah Biosekuritas, Surveilens dan perbaikan sistem peternakan,” jelas Prof Widya Asmara.

Upaya Pemerintah
Menurut Drh Azhar upaya Pemerintah yang terus dilakukan saat ini adalah segera mengendalikan penyakit AI yang menyerang itik/unggas air, yakni menurunkan kasusnya mencegah penyebarannya, memulihkan populasi dan produksinya. Selanjutnya mencegah agar tidak menyerang ke peternakan ayam komersial, guna meminimalisir risiko timbulnya dampak kerugian ekonomis yang sangat tinggi bagi industri perunggasan nasional.
 
Drh Azhar melanjutkan gejala klinis pada itik tertular AI yang dilaporkan antara lain tortikolis (leher terputar), kejang-kejang, inkoordinasi, kesulitan berdiri, nafsu makan turun, mata keputihan. Pada itik dewasa terjadi penurunan produksi telur. Sementara pada itik anakan/muda terjadi kematian cukup tinggi : rata-rata 39,3% dari populasi farm atau sekitar 0,5 % dari populasi wilayah. Virus ini diketahui juga me­nyerang Itik manila (entog) dan ayam kampung, yang dipelihara sekandang dengan itik tertular di lokasi kasus AI.
 
Sebelumnya diketahui virus AI clade 2.3.2 ini telah beredar di Butan, Nepal, India, Bangladesh, Myanmar, Laos, Jepang, Hongkong, Mongolia, Korea, Cina, Vietnam dan baru pada tahun 2012 kemarin mulai diketahui muncul di Indonesia, sehingga bisa dipastikan virus ini muncul akibat introduksi dari luar bukan merupakan hasil mutasi seperti yang selama ini diduga.
 
Ia juga melanjutkan bahwa prioritas strategi pengendalian AI pada itik/unggas yang kasusnya tinggi saat ini untuk Jangka Pendek (Januari-April 2013) adalah Depopulasi dan Kompensasi, Pengawasan lalu-lintas, Biosekuriti, dan Vaksinasi. Untuk upaya vaksinasi sesuai dengan SE. Dirkeswan Tgl. 8 Januari 2013 tentang distribusi vaksin AI menggunakan stock APBN sebanyak 360.000 dosis. Sementara untuk jangka menengah (April-Desember 2013) adalah Restrukturisasi Perunggasan, Public Awareness dan regulasi Peraturan Perundangan. 
 
Seminar ini disponsori oleh PT Charoen Pokphand Indonesia, PT Biotek Indonesia, PT Pfizer Animal Health Indonesia, PT Trouw Nutrition Indonesia, PT Sanbe Farma, PT IPB Shigeta, PT Medion, dll. (wan)

Gangguan Metabolik Dominasi Masalah Kesehatan pada Sapi

Semakin bersemangatnya para peternak sapi skala rakyat de­ngan menambah populasi, tidak terlepas dari membaiknya kondisi harga jual sapi potong di pasar pada awal tahun 2013 ini. Hal itu secara langsung telah semakin menggairahkan dunia peternakan Indonesia. Dinamika pembanguan peternakan  rakyat, memang begitu terasa sekali tergambar di masyarakat akar rumput.

Ketika pasokan daging impor berlebih dan masuknya sapi bakalan dari luar negeri, maka secara langsung telah membuat peternak skala rakyat frustasi. Begitu keluar kebijakan untuk menutup atau mengurangi kran impor daging serta sapi bakalan, maka bagi peternak skala rakyat, seolah dunia semakin ceria dan cerah.  Seperti yang terjadi saat ini

Kali ini, seolah angin, memang sedang bertiup me­ngarah ke rakyat. Gairah dan animo peternak untuk memelihara dalam jumlah yang lebih dari biasanya. Meskipun sebenarnya, pada saat ini harga bibit sapi bakalan sudah termasuk sangat tinggi, namun justru pasar ternak sapi begitu bergairah dan ramai. Semoga saja, dalam waktu dekat atau setidaknya kurun waktu 5 tahun ke depan, pemerintah tetap konsisten untuk mengontrol de­ngan ketat volume impor daging sapi  dan sapi bakalan. Sebab jika ada perubahana kebijakan dan kemudian impor daging dibuka secara berlebih maka tentu saja akan membuat peternak sapi skala rakyat akan kembali terlukai dan mungkin patah arang untuk beternak lagi.
 
Konsekuensi dari semangat besar para peternak skala rakyat, maka nampak jelas dengan kebutuhan akan konsentrat dan bekatul di warung sapronak. Permintaan yang meningkat dari pakan jenis itu erat terkait dengan asumsi para peternak, bahwa untuk menggenjot pertumbuhan sapi  dan cepat panen, konsentrat dan bekatul adalah kuncinya.
 
Itulah hasil pengamatan Drh Yusuf Arrofik seorang praktisi Kesehatan Hewan Ternak dan Suradi seorang peternak sapi.
 
Meskipun asumsi itu tidak benar secara keseluruhan, namun juga tidak salah. Hanya kurang tepat memaknai­nya. Menurut Yusuf, akibat dari asumsi itu telah membawa dampak yang kurang baik di dalam aplikasi di lapangan. Orientasi peternak yang menggebu untuk menghasilkan sapi cepat gede dan kurang mendapatkan informasi yang benar secara keilmuan, akhirnya kemudian banyak dijumpai muncul gangguan kesehatan yang justru bukan dengan penyebab agen infeksius (virus, bakteri, jamur dan parasit) akan tetapi justru karena malnutrisi.
 
Malnutrisi alias salah ransum sehingga berakibat buruk terhadap ternaknya, bukan saja oleh karena aspek kekurangan pakan saja, namun  kini justru pengertian malnutris bergeser kearah salah memberikan ransum yang benar. Dalam konteks ini volume pakan justru tersedia berlebih hanya salah dalam memberikan proporsinya.
 
Suradi pun mengakui, bahwa akibat salah menerima informasi, para peternak kemudian lebih mengutamakan pemberian konsentrat dan menihilkan pemberian jerami apalagi hijauan. Namun dirinya sudah melalui fase itu, dan sudah tidak lagi bernafsu dengan jalan yang keliru. Beberapa tahun yang lalu, memang ia juga melakukan hal yang sama yaitu memberikan secara berlebih konsentrat ataupun bekatul. Namun terbukti justru telah membuatnya menanggung kerugian besar. Sapinya bukan menjadi cepat gede, namun sapi ambruk oleh karena susah defekasi bahkan ada sapinya yang kolik sehingga berujung dengan kematian.
 
Aplikasi informasi yang salah itu, kini kembali terjadi ketika para peternak begitu bergairah sekali untuk segera secara cepat mendapatkan keuntungan. Terutama dari selisih harga beli dan harga jual dalam tempo yang semakin singkat.
 
Menurut Yusuf pola pikir itu sudah benar. Bahwa sebaiknya waktu memelihara sesingkat mungkin, dengan hasil sapi cepat gede. Dan menurut  pemahaman  peternak cara tempuh agar sapi cepat gede adalah diberikan ransum konsentrat saja. Sebab metoda itu dianggap  yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.
 
Pola pikir peternak yang sudah benar itu dan hanya caranya yang keliru, akhrinya justru berbuah sapinya mengalami gangguan kesehatan yang berupa gangguan metabolis yang bersifat akut. Untuk mengatasi masalah itu bukanlah perkara yang mudah, oleh karena wajar jika kemudian selalu berakhir dengan kematian yang didahului dengan sapi ambruk.
 
Suradi juga mengakui kasus kematian pada sapi miliknya saat mengaplikasikan pemberian pakan yang keliru, kala itu. umumnya selalu didahului dengan kesulitan defekasi, sapi gelisah yang sangat tanpa mau makan, hanya minum terus menerus, sampai akhirnya perutnya membuncit, kembung dan ambruk . Dan akhirnya mati secara cepat.
 
Setelah mendapatkan informasi akan penyebab kematian dari seorang Dokter Hewan akhirnya Suradi tidak lagi melakukan langkah keliru ransum. Menurutnya, sapi itu menu dasarnya rumput, maka tidak bisa dihilangkan begitu saja, menu rumputnya. Sedang­kan menurut Yusuf, bisa saja sapi tidak diberikan menu rumput, namun harus dengan latihan yang lama dan pakan penggantinya haruslah juga berupa daun daunan. “Hijauan rumput atau jerami dapat ditiadakan namun harus ada pakan substitusi, dan selain itu sebaiknya memang konsentrat untuk penguat dan pemacu pertumbuhan.”
 
Problema gangguan metabolis pada sapi, ternyata menurut Yusuf juga mendominasi gangguan kesehatan pada sapi perah. Hal ini terkait dengan menu pakan sapi perah yang mana peternak juga cenderung memberikan porsi berlebih pada konsentrat dan mengurangi hijauan rumputnya.
 
Selanjutnya menurut Yusuf, dalam mengatasi masalah gangguan metabolis yang selalu bersifat  akut itu, ada beberapa upaya dan langkah. Pertama yang paling utama adalah merombak ransum menu yang keliru. Kedua, mengatur jadwal pemberian konsentrat secara benar dengan pemberian hijauan rumput atau jeraminya. Terutama proporsi antar hijauan rumput dan jerami dengan konsentrat. Ketiga, adalah melakukan tindakan injeksi preparat yang membantu memacu secara cepat proses metabolis di dalam lambung/rumen sapi. Keempat, membantu proses defekasi melalui pemberian suppositoria di dalam rectum dan anus. Kelima, oleh karena gangguannya bersifat akut, maak injeksi preparat penguat tubuh menajdi suatu keharusan agar sapi tidak lemas dan berakhir dengan kematian. (iyo)

Potensi Sapi di Kebun Sawit Mempawah Provinsi Kalimantan Barat

Gebrakan Dahlan Iskan Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentang perlunya memanfaatkan potensi kawasaan perkebunan milik Negara (PTP) Sawit, Tehh, Kopi Karet dan Coklat untuk budidaya ternak Sapi, memang diacungi jempol oleh banyak fihak. Terkait dengan ide yang begitu cemerlang itu, bukan saja kemudian telah terjadi effek domino yaitu berbagai fihak baik itu instansi pemerintah maupun swasta seolah saling bersahut merespon dengan langkah nyata.
 
Bukan lagi wacana atau hanya sekedar gagasan mulia, namun  kini nyaris banyak yang langsung mengimplementasikan ide itu. Sebut saja PTP di Beng­kulu yang menjadi pionir awal dan kemudian bahkan pada awal Desember 2012 sudah melakukan panen hasil budidaya sapi di dalam kawasan Perusahaan Perkebunan milik Negara itu. tidak tanggung-tanggung, tidak tanggung-tanggung Meneg BUMN , Dahlan Iskan kala itu justru memilih mengikuti panen dan proses penjualan sapi hasil PTP itu, dari pada memenuhi Undangan dari Komisi VII DPR untuk Acara Rapat De­ngar Pendapat (RDP).
 
Akhirnya beberapa PTP Provinsi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat pun langsung tancap gas mengikuti langkah yang telah diambil oleh PTP di Bengkulu itu. Bahkan beberapa perusahaan perkebunan sawit milik swasta juga tergiur dengan kegiatan usaha sampingan itu.
 
Efek domino nyata dari gagasan itu adalah terjadinya permintaan pasar akan ternak sapi dari sentra sentra ternak sapi di Jawa, NTB dan NTT. Jika saja Provinsi Bali juga merupakan sentra ternak sapi itu, memberikan izin untuk dapat dikeluarkan ternak sapi dari pula Bali, maka sudah pasti juga akan terjadi lonjakan harga yang tinggi di pulau dewata itu. Sehingga wajar, jika pada periode pertengahan tahun 2012 sampai memasuki awal tahun 2013 ini harga ternak sapi di 3(tiga) sentra pemasok ternak sapi, masih saja cukup tinggi.
 
Di satu sisi membuat para peternak sapi mendapatkan keuntungan, oleh karena adanya kenaikan harga yang fantatstis. Namun di lain fihak banyak pemerintah daerah di 3 (tiga) provinsi itu khawatir sekali dengan laju pengiriman ternak yang begitu banyak dari waktu ke waktu. Kecemasan aparat teknis di daerah sentra ternak sapi potong itu, oleh karena akan semakin menggerus populasi, terutama jika tidak dapat lagi dikendalikan laju pengiriman keluar daerah.
 
Salah satu pejabat teknis bidang peternakan di Kabupaten Mempawah Provinsi Kalimantan Barat, Drh Buntaran kepada Infovet mengungkapkan bahwa proses berdatangannya ternak sapi dari jawa , NTT dan NTB, telah membuat populasi ternak sapi melonjak drastiss. Di satu sisi telah membuat gairah para pedagang sapi antar pulau, namun disi yang lain juga menyebabkan membuat kecemasan baru para peternak yang lebih dahulu berbudidaya, jika akhirnya berujung harga ternak sapi potong akan melorot jatuh.
 
Untuk mengantisipasi hal itu, maka sebagai salah satu daerah yang sedang giat mendorong pemanfaatan lahan perkebunan untuk dioptimalkan menjadi kawasan usaha budidaya peternakan, maka pemerintah kabupaten Mempawah memberikan dukungan dan support penuh kepada fihak fihak yang berniat menginvestasikan dalam bidang peternakan pada umumnya. Dukungan itu antara lain berupa kemudahan perizinan, dan bahkan bantuan teknis dari aparatnya untuk memberikan  bimbi­ngan teknis.
 
Dengan dukungan itu, maka akan semakin mendorong para pemilik modal untuk terstimuli membenamkan modalnya di daerah ini. Selain itu juga dalam rangka mencegah keresahan social dan kemungkinan potensi friksi antara peternak lama dengan para pelaku usaha budidaya ternak sapi yang baru, direkomendasikan pola kemitraan yang setara. Ini penting agar jaminan harga jual dan potensi memburuknya harga akibat kelebihan pasokan dapat dicegah atau ditekan sekecil mungkin.
 
Potensi yang demikian besar dari adanya perkebunan Sawit di Kabupaten Mempawah dan juga luas wilayah lahan bekas kawasan hutan industry yang terbengkelai, merupakan jaminan prospek usaha budidaya ternak sapi. Tersedianya lahan yang luas, dengan hijauan tanaman rumput liar, merupakan asset yang sangat besar namun belum termanfaatkan.
 
“Luas satu Kecamatan Di Mempawah mungkin dapat jauh lebih luas daripada sebuah kabupaten di Pulau Jawa. Maka dapat dibayangkan jika begitu masih luasnya lahan bekas  kawasan hutan industri itu, dimana saat ini tidak ada yang memanfatkannya. Karena tingkat kesuburan tanah yang rendah, maka jika dilepas sapi, akan melahirkan simbiose mutualisme” ujar Buntaran, yang juga Kepala Bidang Urusan Kesehatan Hewan .
 
Sedangkan potensi di kawasan perkebunan sawit milik perusahaan swasta maupun perseorangan, selama ini juga tidak dan belum dimanfatkan untuk menghasilkan yang produktif. Dengan hasil nyata dari PTP di Bengkulu, tutur Buntaran, maka seolah semakin menguatkan niat para pemilik perkebunan Sawit untuk juga beternak sapi potong di dalam kawasan lahan miliknya.
 
Menurut Buntaran, sampai saat ini data tentang jumlah ternak sapi yang masuk ke dalam wilayah kabupaten Mempawah masih dalam proses verifikasi ulang. Sebab begitu bersemangatnya para pelaku usaha perkebunan sawit untuk melakukan budidaya ternak sapi potong, sehingga agar validitas data akurat, terus dilakukan verifikasi dan update secara terus menerus tiap hari. Namun yang jelas nyata, kini di daerah itu kawasan perkebunan sawit sudah banyak ditemukan sapi. Sangat berbeda jika dibandingkan tahun tahun yang lalu, sama sekali tidak dijumpai ternak sapi berada di dalam kawasan perkebunan.
 
Bahkan Buntaran, memperkirakan Kabupaten Mempawah dalam waktu tidak terlalu lama akan menjadi salah satu lumbung atau sentra penghasil sapi potong untuk Propinsi Kalimantan Barfat, bahkan mampu memenuhi untuk pulau Kalimantan.
 
“Jika saja dukungan banyak fihak, lintas sektoral  dalam cakupan Kabupaten ataupun Provinsi dan juga dipermudah urusan pengangkutan ternak sapi antar pulau, maka Kabupaten Mempawah akan mampu menjadi Gudang Ternak Sapi bagi provinsi Kalimantan Barat, bahkan untuk seluruh Pulau Kalimantan” ujar Buntaran yang pernah mengenyam pendidikan bidang peternakan di Philiphina ini.
 
Keyakinan Buntaran itu, memang tidak berlebihan mengingat begitu besar potensi sumber daya alam dan manusia untuk menunjang peternakan sapi potong. Sebagaimana dia ungkapkan bahwa luas lahan di daerahnya yang sama sekali belum termanfaatkan, dan aspek kultural yang berupa adanya jiwa dan semangat bekerja keras para petani di kabupaten ini. Jika saja ternak sapi dilepas begitu saja, lanjut Buntaran, bahkan tanpa diberi makan tambahan lagi, maka sapi akan tumbuh jauh lebih cepat dan jauh lebih besar daripada sapi yang saat ini berada di Jawa.
 
Oleh karena itu optimisme untuk mendukung lahirnya sentra ternak sapi potong, memang sudah layak mendapatkan dukungan dari manapun. Namun yang jauh lebih penting nampaknya adalah tetap harus memperhatikan aspek kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya.
 (iyo)

Bisnis Kelinci Amat Menjanjikan

RABBIT CORNER - Meroketnya harga daging sapi di penghujung akhir 2012, pemerintah memberikan alternatif kepada masyarakat untuk mengonsumsi daging kelinci. Harga daging kelinci segar saat ini dijual berkisar Rp 55.000 - Rp. 75.000/kg. Apa yang sesungguhnya mampu mengalihkan perhatian masyarakat untuk melirik daging kelinci?
 
Rasanya sayang sekali jika melewatkan daging kelinci meng­ingat dagingnya lebih sehat, rendah lemak serta kolesterol, protein yang tinggi dan teksturnya yang lembut. Bulunya pun bermanfaat untuk bahan pembuatan pakaian, tas, sendal maupun aksesoris lainnya. Feses dan urine kelincipun sangat baik sebagai pupuk organik.
 
Kita mengenal dua jenis kelinci yaitu kelinci hias dan kelinci pedaging. Masing-masing mempunyai karakteristik berbeda dalam pena­nganan peternakan dan bisnis­nya. Menurut Ketua Himpunan Ma­syarakat Perkelincian Indonesia (Himakindo), Yono C Rahardjo permintaan akan daging kelinci dari tahun ke tahun semakin tinggi namun minim pasokan. “Peluang bisnis kelinci seungguhnya masih terbuka lebar dan menjanjikan,” tutur Yono.
 
“Seperti hotel-hotel di Bali, saat ini sudah menghidang­kan sajian daging kelinci, cuma supply terbatas. bahkan banyak rumah sakit mulai menyediakan menu daging kelinci karena lebih menyehatkan dibanding daging lainnya.” ungkap Yono yang juga seorang ahli kelinci di Balai Penelitian Ternak (Balitnak), Bogor.
 
Saat ini China merupakan penghasil daging kelinci terbesar di dunia dengan populasi potong 700 juta ekor/tahun dan diestimasi tahun 2020 akan mencapai 24 milyar/tahun. Sementara di Vietnam sekitar 5-7 juta ekor/tahun dan di estimasikan pada 2016 mencapai 16 juta ekor/tahun.
 
Pemeliharaan kelinci pedaging tidak jauh berbeda de­ngan kelinci pada umumnya. Bisa dengan dilepas pada area tertentu atau dikandang­kan. Jika bertujuan untuk usaha ternak sebaik­nya menggunakan sistem kandang. Kandang yang digunakan ada beberapa macam. Kandang baterai untuk indukan dan kandang koloni untuk anakan yang lepas sapih.
 
Yono menjelaskan pengembang­biakan dan pertumbuhan kelinci sangat cepat. “Dalam setahun misalnya, seekor induk kelinci mampu menghasilkan 12 - 88 ekor anakan setara dengan 40 kg bobot hidup pada pola tradisional dan 120 kg dengan pola intensif,” terang Yono.
 
Sedikit berbeda dengan kelinci hias yang pemberian pakannya bertujuan untuk kualitas pertumbuhan bulu yang bagus, maka pakan untuk kelinci pedaging bertujuan untuk menghasilkan daging yang berkualitas bagus. Pakan utama kelinci adalah rerumputan, bisa ditambah dengan pakan buatan pabrik atau pellet kelinci,  ampas tahu, dan sayur-sayuran.
 
Daging kelinci bisa diolah menjadi berbagai jenis produk olahan, sama seperti produk yang terbuat dari daging ayam maupun sapi yang dijual di supermarket. “Sosis, bakso, nugget, abon, dendeng juga bisa dibuat dari daging kelinci,” kata Yono.
 
Sekitar pertengahan 2012 lalu, pemerintah telah mengembang­kan konsep peternakan kelinci di 5 lokasi Indonesia yakni Kerinci (Jambi), Tondano (Manado), Bedugul (Bali), Batu (Malang) dan Malino (Sulsel). 

Disampaikan Yono, kampung industri kelinci usaha berbasis kelompok ini memang berorientasi komersial. Ia berharap, masyakarat pedesaan yang bersedia beternak kelinci bisa memper­oleh asupan gizi yang baik dan pendapatan tambahan.
 
Drh Syahroni Djaidi GM Pet Food Business CP Prima berharap de­ngan digalakkannya promosi mengenai potensi kelinci sebagai sumber protein hewani dan pet, dapat meningkatkan pe­ngetahuan masyarakat tentang kelinci. “Untuk rencana ke depan, kami me­ngajak Prof Yono untuk berkolaborasi lebih jauh guna menghasilkan produk pakan kelinci dengan formulasi yang sesuai dan harga yang terjangkau,” tutur Roni. (*)

Untuk konsultasi dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Drh Syahroni Djaidi, Pet Food Business CP Prima
Hp: +62 816 835 849 atau email : Syahroni.Djaidi@cpp.co.id

Kualitas Dokter Hewan Indonesia Bagus

Profil Prof Dr Drh Retno D Soejoedono MS

Prof Dr Drh Retno Damajanti Soejoedono Ms yang pada 22 Desember 2012 lalu dikukuhkan sebagai guru besar tetap Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, siap dengan program pelayanan pada masyarakat. Kepada Infovet, istri dari drh R Roso Seojoedono S MPH ini mengaku dulunya seusai lulus SMA, dirinya berminat untuk menjadi dokter gigi.
 
“Pilihan pertama saya adalah fakultas kedokteran gigi. Karena saya tumbuh dan besar di Bogor, pilihan kedua adalah kuliah di IPB dan saya memilih FKH,” ungkapnya. Apabila diminta memilih, Prof Retno lebih senang menimba ilmu di Bogor dibandingkan dengan bersekolah di Kota Jakarta yang super sibuk dan macet. “Walaupun pada kenyataannya sekarang, perjalanan menuju kawasan Dramaga saja juga macet,” ujarnya diselingi tawa.
 
Pada orasi pengukuhan guru besar yang lalu, Prof Retno menitikberatkan pada pemanfaatan telur sebagai pabrik biologis yang dapat digunakan untuk memproduksi imunoglobulin Y (Ig-Y) di dalam kuning telur. Penelitian yang dilakukan oleh Prof Retno bersama rekan sesama tim peneliti FKH IPB membuahkan hasil berupa telur ayam anti AI subtipe H5N1. “Telur anti flu burung ini sedang dalam proses pendaftaran hak patennya,” tutur Prof Retno.
 
Terkait dengan ramainya kasus flu burung yang menyerang itik di kawasan Brebes, pada tahun 2007 Prof Retno pernah mengeluarkan jurnal berjudul “Potensi Unggas Air Sebagai Reservoir Virus HPAI Subtipe H5N1. “Waktu itu kami tim peneliti menemukan adanya virus H5N1 pada unggas air , yang tidak semua itik terserang flu burung,” katanya. “Virus tersebut hanya bersifat reservoir yang artinya ada dalam tubuh unggas air, namun tidak memperlihatkan gejala klinis, sehingga saat itu tim peneliti lebih mencurahkan keberadaan virus H5N1 pada ayam baik komersial maupun ayam kampung,” jelas Prof Retno.
 
Dalam perjalanannya sebagai dosen pengajar sekaligus peneliti, Prof Retno pun aktif menjadi narasumber dalam berbagai seminar maupun pelatihan. Salah satunya pernah diundang sebagai narasumber dalam pelatihan pengurus ASOHI di Palembang pada 2007 silam.
 
Prestasi yang Prof Retno pernah raih diantaranya penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Satya Lencana Karya Satya 10,20 th., di tahun 2005. Lalu prestasi yang dicapai Prof Retno baru-baru ini adalah “104 Inovasi Indonesia 2012 Prospek Inovasi” dengan penemuan antigen AI H5N1 standar sebagai rujukan untuk monitoring titer antibodi hasil vaksinasi AI di industri peternakan ayam. Penghargaan tersebut diraih Prof Retno bersama rekannya seperti Murtini, K Zarkasie, dan I Wayan T Wibawan.
 
“Saya tidak menemui kendala apapun selama menjalankan tugas di FKH-IPB. Semua sarana dan prasarana baik untuk proses pengajar maupun penelitian sudah tersedia dan tinggal melaksanakan serta mengatur jadwal yang berhubungan dengan waktu,” terang Prof Retno.
 
Kini sebagai seorang guru besar maupun sebagai dosen dan peneliti, Pof Retno akan terus melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu mengajar pada tingkat S1, S2 dan S3. Kemudian melakukan penelitian-penelitian yang tidak hanya terpaku pada virus AI saja, tetapi juga pada penyakit virus yang menyerang pada unggas, unggas air, serta burung liar (wild bird, migratory birds). Selain itu, melaksanakan pelayanan pada masyarakat terutama pada para peternak berupa konsultasi di bidang kesehatan unggas yang berhubungan dengan hasil vaksinasi unggas.
 
Kesibukannya yang luar biasa padat, tidak menghalangi Prof Retno untuk berkumpul bersama keluarga tercinta. “Keluarga mendukung aktivitas saya baik sebagai dosen maupun peneliti ataupun melaksanakan kegiatan pelayanan pada masyarakat. Karena suami juga sebagai dosen di Bagian Kesmavet di FKH IPB dan anak saya juga sudah berkeluarga dan dia juga bekerja sebagai  salah satu staf di Bank Indonesia di Jakarta,” urai Prof Retno yang telah menjadi nenek dari dua cucu ini.
 
Ketika senggang, Prof Retno gemar sekali membaca novel dan berenang. “Saya juga suka mengisi teka-teki silang serta memelihara ikan dan tanaman di rumah,” katanya.
 
Menurut Prof Retno, kualitas lulusan dokter hewan di Indonesia sudah sangat bagus dan tidak kalah dengan lulusan luar Indonesia. “Saat ini di negara kita juga sudah ada ujian kesetaraan di antara FKH,” tukasnya. 

“Harapan saya lebih banyak mahasiswa FKH agar di Indonesia lebih sejahtera, karena sektor peternakan semakin meningkat,” imbuhnya.
 
Keberhasilan yang telah Prof Retno capai hingga sekarang, semua  dapat dilaksanakan dengan baik, ditekuni secara maksimal, dan dilakukan di jalan yang diridhohi Allah SWT. “Pekerjaan harus dilakukan secara seimbang, antara keluarga dan sebagai tenaga pendidik PNS,” tegasnya mengakhiri perbincangan dengan Infovet. (nunung)

Sudahkah Anda Bahagia?

BULAN Januari 2013 lalu saya mendapat kesempatan annual meeting dan jalan-jalan bersama seluruh karyawan PT Gallus Indonesia Utama ke Singapura. Ini adalah peristiwa penting bagi kami, karena inilah yang pertama kali sebuah perusahaan me­ngajak seluruh karyawan mulai dari office boy hingga direksi bahkan komisaris berkumpul di negara tetangga yang terkenal maju, bersih, disiplin serta penduduknya berpendapatan tinggi.
 
Singapura adalah Negara dengan pendapatan perkapita tertinggi no 8 di dunia dengan pendapatan per kapita sebesar $ 49,700. Data yang saya peroleh menunjukkan 10 besar Negara dengan pendapatan tertinggi diduduki oleh Qatar di urutan teratas dengan pendapatan per kapita $ 80,900, disusul dengan Luxembourg $ 80,500, Bermuda $ 69,900 , Jersey $ 57,000 , Malta $ 53,400 , Norway $ 53,000 , Brunei $ 51,000, Singapore $ 49,700, Cyprus $ 46,900 dan Amerika Serikat $ 45,800. Negara termiskin adalah Zimbabwe berada di urutan 229 dengan pendapatan per kapita hanya $ 200. Sedangkan Indonesia berada di urutan 158  dengan pendapatan per kapita $ 3,700.
 
Anda boleh membayangkan betapa bahagianya hidup di Qatar dengan pendapatan per orang 80.900 dollar atau sekitar Rp 730 juta per orang per tahun (per orang, bukan per keluarga lho) atau hidup sebagai warga Singapura dengan pendapatan sekitar Rp. 400 juta per orang per tahun (kalau satu keluarga 4 orang, silakan dikalikan 4).
 
Namun faktanya pendapatan per kapita tidak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan masyarakat.
Desember 2012 lalu Gallup, lembaga riset internasional, merilis hasil survey mengenai persepsi kebahagiaan dari rakyat di 148 negara. Hasilnya cukup mencengangkan. Negara yang selama ini dianggap sebagai negara makmur, ternyata rakyatnya belum tentu bahagia. Malah negara-negara berkembang di Amerika Latin dan Karibia seperti Panama, Paraguay, El Salvador, Venezuela berada di peringkat atas sebagai negara yang 
rakyatnya bahagia.
 
Tingkat kebahagiaan rakyat Indonesia berada di pering­kat 19 dari  148 negara yang disurvey. Meskipun dari segi pendapatan, Indonesia menduduki peringkat 158, namun dari segi tingkat kebahagiaan masyarakat posisinya termasuk sangat baik, yaitu urutan 19. Hasil survey Gallup menyebut­kan 79% warga Indonesia merasa gembira hidup di negeri tercinta. Jerman dan Perancis di urutan 47. Dan yang me­ngejutkan adalah Singapura berada di peringkat 148, urutan paling bawah alias paling tidak bahagia .
 
Survei tersebut menunjuk­kan, hanya 46% warga Singapura yang menjawab merasa gembira dengan hidupnya. Survei dari Gallup ini juga mengatakan warga Singapura adalah warga yang memiliki emosi paling datar di dunia.
 
Pertanyaan survei sendiri mencakup apakah memiliki tidur yang cukup dan nye­nyak, apakah sering tersenyum atau tertawa, apakah memiliki banyak kegembiraan dalam hidup, apakah ada waktu untuk berekreasi bersama keluarga dan sebagainya. Dan sepertinya warga Singapura yang termasuk berpendapatan tertinggi di dunia, dalam hidupnya terlalu banyak hal yang dipikirkan dan dikeluhkan sehingga merasa tidak banyak waktu untuk tidur, tidak bisa tertawa, bergembira dan berekreasi bersama keluarga.
 
Hasil survey ini mengatakan kepada kita bahwa uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Oleh karenanya warga Irak dan Afghanistan yang dilanda perang dan konflik berkepanjangan dalam urusan kebahagiaan dalam menjalani kehidupan bisa mengalahkan singapura. Sebanyak 50% warga Irak dan 55% warga Afganistan menyatakan hidup mereka bahagia.
 
Bahkan berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Ipsos, perusahaan riset global, warga Indonesia merasakan kebahagiaan paling besar dibandingkan warga negara lain di dunia. Sebanyak 92% rakyat Indonesia menyatakan bahwa mereka “cukup bahagia” dan “sangat bahagia” hidup di Indonesia.
 
Melihat hasil survey ini, saya ingat dua hal penting. Pertama, bahagia adalah pertanda kita bersyukur. Jika anda berpenghasilan miliaran rupiah per tahun atau per bulan namun belum merasa bahagia, sangat mungkin anda belum mensyukuri apa yang anda peroleh. Anda boleh jadi sedang dikejar oleh ketakutan masa depan. 

Anda perlu pertanyakan lagi pada diri anda sendiri, sejatinya apa yang dicari selama ini. Apakah hanya sekadar mencapai target? Mampukah anda menikmati proses pencapaian target yang mungkin berliku-liku?
 
Kedua, terkadang kita begitu kecewa dengan situasi Indonesia. Namun begitu di luar negeri kita merasa begitu rindu suasana Indonesia, negara yang luas, indah dan beranekaragam karya budaya. Pantaslah jika saya disurvey mengenai kebahagiaan, akan menjawab “saya bahagia hidup di Indonesia”. Bagaimana dengan Anda?***

ASOHI GELAR PPJTOH Angkatan XI

PELATIHAN Penanggung Jawab Teknis Perusahaan Obat Hewan (PPJTOH) angkatan ke XI diadakan selama 2 hari, pada Rabu dan Kamis tanggal 19-20 Desember 2012 di BBPMSOH Gunung Sindur Bogor. Kegiatan ini terselenggara berkat kerjasama ASOHI dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Yang istimewa pada PPJTOH kali ini ada tambahan materi tentang Sosialisasi Pengisian Dokumen Pendaftaran Obat Hewan dari Tim POH. Peserta pelatihan adalah dokter hewan dan apoteker yang bertugas sebagai penanggung jawab teknis pada perusahaan produsen, importir, eksportir, distributor obat hewan dan pabrik pakan yang mencampur obat hewan.

Setiap peserta mendapatkan Sertifikat Pelatihan PJTOH yang diakui pemerintah. Sertifikat ini juga menjadi salah satu syarat yang selalu ditanyakan oleh Tim Penilai apabila produsen ingin mendapatkan CPOHB.

Pada hari pertama, Drh H Pudjiatmoko PhD hadir mengisi pelatihan dengan membawa tema “Sistem Kesehatan Hewan Nasional”. PPJTOH hari itu juga dihadiri Kasubdit POH Drh Bahruddin Syahroni MSi, Kepala Pusat Karantina Hewan Drh. Sujarwanto, MM, serta Drh Abadi Soetisna MSi.

Hari kedua pelatihan dibuka dengan presentasi dari Kepala BBPMSOH, Drh Enuh Rahardjo Djusa PhD. Dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Drh. Lies Parede, MSc., PhD mengenai jenis-jenis sediaan biologik dalam upaya pencegahan sekaligus pemberantasan penyakit hewan ternak.

Disusul oleh pemateri lain yaitu Drs Soeryadi Hardjopangarso APT MM, Kepala Subdit POH 2001-2006. Ia menjelaskan seputar tugas tanggung jawab penanggung jawab teknis perusahaan obat hewan.

Selanjutnya materi dari Kepala Biro Hukum & Informasi Publik Suharyanto SH, Ketua Umum PB PDHI Drh Wiwiek Bagdja, dan pihak BBPMSOH Drh Sumadi M.Si. Rangkaian acara PPJTOH ditutup oleh pengurus ASOHI serta foto bersama seluruh peserta. (nung) 

Yuk Wisata..ke Kampoeng Kelinci!

Pemerintah Kabupaten Bogor sedang mengembang­kan ternak kelinci dalam upaya mendukung ketahanan pangan. Melalui program pengembangan berbasis kawasan dan kelompok peternak, telah dibangun pusat Kampoeng Kelinci di Desa Gunung Mulya, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.

Perkembangan populasi kelinci di Bogor mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah tersebut karena adanya permintaan dari masyarakat. Terpilihnya pengembangbiakkan kelinci di wilayah Desa Gunung Mulya, didukung dengan alasan kuat.
 
“Sejak puluhan tahun lalu, warga Desa Gunung Mulya sudah memelihara kelinci. Beternak kelinci di sini sudah turun-temurun dalam anggota keluarga,” tutur Drh Prihatini Mulyawati MM, Kepala Bidang Produksi Ternak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor ketika dijumpai dalam acara Temu Koordinasi Kehumasan Dirjen Peternakan dan Keswan, Rabu (28/11).
 
Ia menambahkan, lokasi geografis Gunung Mulya dengan sumber bahan pakan hijauan melimpah juga menjadi faktor dibangunnya Kampoeng Kelinci. Terdapat 300 ekor kelinci dari bermacam jenis yang akan kita jumpai ketika berkunjung ke Kampoeng Kelinci Desa Gunung Mulya. Seperti kelinci Rex, Lop, New Zealand, English, Netherland Dwarf (ND), dan lainnya.
 
Kelompok peternak kelinci Desa Gunung Mulya merupakan anggota aktif Koperasi Peternak Kelinci (Kopnakci). Kopnakci terbentuk pada 17 Mei 2011. Pembentukan Kopnakci diharapkan akan menjadi wadah dalam menjalankan usaha ternak kelinci, sebagai pusat informasi, akses pemasaran, serta berorientasi pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
 
Ketua Kopnakci, Ir Wahyu Darsono mengatakan pencanangan Kampoeng Kelinci ini bertujuan mempromosikan potensi serta peluang usaha ternak kelinci sebagai penyedia daging guna memenuhi sumber protein hewani bagi keluarga.
 
Apa saja produk yang dihasilkan dari integrasi usaha ternak kelinci dalam wadah Kopnakci ini? Selain bibit unggul dan ternak siap potong, tersedia olahan daging kelinci seperti nugget, bakso, sosis, dan burger. Telah dioperasikan juga pabrik pakan konsentrat dalam bentuk mess dan pellet, terdapat pula pupuk organik cair dan kompos. Jika Anda berkunjung ke Kampoeng Kelinci, dapat menjumpai aksesoris seperti tas maupun sandal. 
 
menjumpai peternak yang mundur dari Kampoeng Kelinci, namun ketika ada yang pergi banyak juga yang datang kepadanya. Ia menyebutnya sebagai seleksi alam.Saat ini terdapat 4 kelompok peternak yang tergabung dalam Kopnakci. Antara lain Watak (Pembibitan), Budi Asih (Pabrik Pakan), Cimanggu (Pengolahan Limbah), dan Bina Lestari (Pembudidaya).
 
Lebih lanjut, Wahyu menyampaikan untuk mengubah paradigma masyarakat mengenai jual beli (anakan) menjadi budidaya ternak daging kelinci masih membutuhkan waktu. Memang selama ini peternak setempat masih menerapkan metode-metode tradisional yaitu menjual anakan kelinci.
 
Memelihara kelinci sebenarnya tidak sulit, diperlukan kecermatan. Contohnya dalam soal memberikan pakan untuk kelinci. “Sebaiknya jangan memberikan pakan hijauan jika dalam keadaan basah,” terang Wahyu.
 
Di masa mendatang, Wahyu berharap semoga ada peningkatan akses jalan dan transportasi yang lebih memadai agar para wisatawan dapat menjangkau Kampoeng Kelinci dengan nyaman.

Daging Kelinci, Mau Coba?

Jakarta kota ku indah dan megah…Di situlah aku di lahirkan…Rumahku di salah satu gang…Namanya gang kelinci…

Lagu populer di era 1960-an itu seolah sudah menjadi lagu wajib untuk dinyanyikan dalam setiap acara tembang kenangan. Membawa kita pada si binatang yang dikenal imut-imut, yakni kelinci.

Memelihara kelinci memang menyenangkan. Selain imut, binatang ini terlihat jinak dan bersahabat. Sebagian besar masyarakat merasa tidak tega jika harus memotong sekaligus menyantap daging kelinci. Sesungguhnya, nilai gizi yang dimiliki si imut ini juga tidak kalah dengan daging ayam maupun sapi.

Menurut Ir Wignyo Sadwoko MM Kasubdit Ternak Potong Direktorat Budidaya Dirjen Peternakan dan Keswan kelinci berkembang biak dengan cepat. Kelinci beranak 6-8 kali per tahun, lalu 2-11 anak per kelahiran. Selain itu, kelinci mampu memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian atau limbah pangan.               
                   
Ir Wignyo menyebutkan permasalahan yang dihadapi dari aspek budidaya kelinci satu diantaranya adalah belum tersedianya pusat pembibitan. “Setelah pasca panen, masalah yang kami hadapi diantaranya produk tidak tersedia dalam jumlah dan mutu yang memadai, sementara di masa produksi berlimpah, dikhawatirkan pasar tidak menyerap,” ungkap Ir Wignyo. “Kurangnya promosi dan kondisi psikis terhadap daging kelinci juga menjadi hambatan,” imbuhnya. (nung)


Potensi Pemanfaatan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia

Diasuh oleh : Drh. Abadi Soetisna MSi.

Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 400 spesies dimanfaatkan sebagai obat tradisional.

Data WHO tahun 2005 menyebutkan, sebanyak 75-80 persen penduduk dunia pernah menggunakan herbal. Di Indonesia, penggunaan herbal untuk pengobatan dan obat tradisional sudah dilakukan sejak lama. Ini diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi dan juga tertulis pada daun lontar dan kepustakaan keraton.

Minat masyarakat dalam menggunakan herbal terus meningkat berdasarkan konsep back to nature (kembali ke alam). Ini dibuktikan dengan meningkatnya pasar obat alami Indonesia. Pada 2003 pasar obat herbal sekitar Rp 2,5 triliun, pada 2005 sebesar Rp 4 triliun, dan pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 8 triliun.

Dari pengertiannya obat herbal adalah obat yang zat aktifnya dari tanaman (daun, batang, akar, kayu, buah, ataupun kulit kayu). Obat herbal terkadang juga sering disebut sebagai jamu. Bagaimana dengan pemanfaatan obat herbal di industri kesehatan hewan Indonesia.

Peluang ini sangat terbuka lebar karena diketahui 60% bahan baku obat hewan Indonesia semua dipenuhi dari impor. Pertanyaannya kenapa tidak diambil dari alam Indonesia saja yang melimpah? Karena asumsi pemanfaatan obat herbal dari sektor perunggasan Indonesia tahun 2013 saja sudah sangat besar. Contohnya populasi ayam breeder yang diperkirakan mencapai 20,8 juta ekor, broiler 2,2 milyar ekor, layer 114,7 juta ekor, dan layer jantan yang mencapai 80,3 juta ekor.

Dari Tabel diatas diketahui jika penggunaan obat herbal sudah mencapai ± 5% saja, maka sedikitinya terdapat potensi pasar penggunaan herbal sebesar (5% x Rp. 3.293.395.250.000) = Rp. 164.669.762.500.
Kemudian untuk pemanfaatan bahan herbal ini kita juga harus tahu faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk penggunaan dan pemasaran obat herbal untuk hewan. Seperti misalnya Penggelompokan Obat Hewan golongan Farmasetika, Biologik, Premix, atau Obat Alami. Serta tujuan penggunaan obat apakah untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemacu pertumbuhan, atau kosmetika.

Dari sisi regulasi Kementerian Pertanian telah mengatur pembuatan – penyediaan – peredaran obat untuk hewan? Dan tentu saja ini juga berlaku untuk obat herbal yang diperuntukkan untuk hewan yaitu harus aman bagi hewan, manusia dan lingkungan. Kemudian obat tersebut harus memiliki khasiat/efikasi sesuai tujuan pengobatan dan berkualitas dengan standar mutu yang sesuai dengan persyaratan Pemerintah     lolos uji di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH).

Peraturan lain juga harus mengatur bahwa berapa jenis herbal/tanaman yang boleh digunakan dalam satu sediaan obat herbal. Misalnya, paling banyak 10 jenis tanaman. Alasannya, dikarenakan proses pengujiannya susah, lama, tidak mudah, dan tidak murah.

Perlu ditelaah pula bagaimana kemungkinan terjadinya “Drug Interaction” dari setiap jenis tanaman obat. Apakah sinergis, adisi, potensiasi, atau antagonis. Kemudian standarisasi ukuran/dosis yang digunakan. Misalnya, ukuran “segenggam” harus distandarkan dengan disebutkan satuan-satuannya, misal (berat = gram, volume = ml). Dan terakhir standarisasi dosis untuk berapa banyak, berapa lama, berapa kali penggunaan dalam sehari.

Sehingga muncul pertanyaan apakah obat herbal (alami) boleh dicampur dengan obat kimia (farmasetik)? Jawabannya tidak boleh, jangan sampai “membingungkan” khasiat penggunaannya, apakah obat hewan itu yang berkhasiat obat herbalnya atau obat kimianya.

Karena regulasi belum ada dari PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indoensia) tentang penggunaan obat herbal untuk diresepkan oleh Drh? Jangan sampai Drh. yang membuat resep herbal dituduh melakukan malpraktik. Oleh karenanya diperlukan pendidikan dan pelatihan yang menyeluruh tentang penggunaan obat herbal bagi Drh.

Sehingga tak salah jika masih ada pihak-pihak yang meragukan khasiat penggunaan obat herbal. Sebagai contoh adalah proses pengumpulan ekstrak, yakni tanaman segar dijemur di bawah matahari, pengolahan, dan penyimpanan yang menyebabkan potensi dan keamanan berbeda. Atau, karena tidak ada standar khusus untuk peresepan obat herbal, serta sulit untuk memastikan dosis yang sesuai.

Selain itu belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada dokter hewan, kurangnya perlindungan masyarakat terhadap efek plasebo iklan obat hewan berbahan alam, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antarinstitusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia, serta belum ada organisasi profesi kedokteran hewan yang khusus mendalami herbal Indonesia.

Selama ini penggunaan obat herbal untuk hewan hanya berdasarkan pengalaman empiris. Seharusnya sudah dapat diketahui dengan pasti, misalnya setelah penelitian secara menyeluruh mengenai suatu jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai antidiare. Contoh : Daun Jambu – karena mengandung tanin, Kunyit – karena mengandung curcumin, Cengkeh – karena mengandung eugenol. Kedepan diperlukan proses standarisasi dari obat herbal tersebut.   

Faktor sosialisasi, selain faktor ilmiah yang sudah disebutkan tadi, perlu juga disosialisasikan ke masyarakat mengenai “kehebatan” dari obat herbal tersebut. Namun juga patut ditelaah secara berimbang betulkah obat herbal lebih aman daripada obat kimia? Yang penting jangan memberi informasi yang berlebihan kepada konsumen.

Faktor pemerintah, sejauh mana dukungan pemerintah terhadap obat herbal. Sampai saat ini obat herbal yang sudah didaftarkan di Kementerian Pertanian – lebih banyak daripada produksi obat herbal di Indonesia. Pemerintah perlu menyiasati agar obat herbal di Indonesia tidak terkalahkan oleh obat hewan impor.

Yang tidak kalah penting adalah “berapa banyak” keuntungan yang didapat bila kita unggul obat herbal untuk obat hewan. Misalnya seberapa besar keuntungan bagi para pengusaha pabrik obat; seberapa besar keuntungan bagi para peternak; seberapa besar pendapatan devisa negara; seberapa besar keuntungan bagi para tenaga kerja. Jangan lupa faktor harga, obat alami harus lebih murah dari obat kimia.

Setelah semua faktor disebutkan, dan secara signifikan obat herbal itu lebih baik dan lebih aman daripada obat kimia (farmasetik), maka kegiatan ini harus di sosialisasikan kepada masyarakat. “Jangan sampai ada dusta diantara kita” dan “Jangan Galau, karena masa depan obat herbal Kemilau”.  ***

Seberapa Pentingkah Vaksinasi Pada Ikan?

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus adalah penyebab penyakit yang paling merugikan bagi para petani ikan. Oleh sebab itu, pengendalian penyakit bakterial dan virus merupakan usaha yang harus dilakukan. Vaksinasi merupakan satu langkah penting untuk diambil.
 
Menurut Dr Ir Murwantoko, MSi, staf pengajar Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan UGM, dalam prakteknya vaksinasi ikan memang masih dianggap hal yang baru. “Penyebaran informasi mengenai vaksinasi belum merata,” ungkapnya. “Pada beberapa kelompok petani, mereka aktif menggali pengetahuan tentang vaksin dan di mana bisa memperolehnya. Selain itu, terdapat kelompok pembenih ikan yang siap menghasilkan benih ikan tervaksin,” urai pria kelahiran Sleman ini.
 
Keuntungan yang dirasakan dengan memanfaatkan vaksinasi diantaranya aman, ramah lingkungan, dan memberi perlindungan lama. Aman, karena bahan vaksin merupakan racun yang membahayakan ikan. “Jika terjadi kesalahan dalam pemberian dosis misalnya terlalu banyak, juga tidak menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan,” katanya.
 
Bahan vaksin juga ramah terhadap lingkungan dan manusia serta tidak meninggalkan residu berbahaya. Vaksinasi juga menjanjikan waktu perlindungan yang lebih lama, sekitar 2 hingga 3 bulan.
 
Metode pemberian vaksin yang umum dilakukan yaitu melalui suntikan, rendaman, lewat oral, maupun pakan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan jka ditinjau dari efektivitas vaksin serta teknik pemberiannya. Cara suntikan memberikan efektifitas vaksinasi yang paling baik, tetapi untuk melakukan cara ini diperlukan keterampilan dan jumlah tenaga kerja yang banyak. Sedangkan, metode secara oral mudah dilakukan, namun tingkat efektifitasnya kecil.
 
“Vaksin itu ada yang berupa sel utuh, komponen sel, atau protein. Seberapa jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk tiap ekor ikannya sangat tergantung dari jenis vaksin, cara pemberian, dan ukuran ikan.” Dr Murwantoko juga menjelaskan penentuan banyaknya vaksin yang diperlukan ini didasarkan pada hasil penelitian. Umumnya untuk dilakukan secara suntikan sebanyak 107 sel per ikan. Sementara untuk rendaman dilakukan pada konsentrasi 108 sel/ml. Untuk protein sub unit dilakukan pada dosis 25 μg per ikan.
 
Sosialisasi vaksinasi pada ikan harus menjadi sebuah kebijakan, bukan hanya di pemerintah pusat tapi juga dinas yang ada di daerah. Dinas-dinas di daerah perlu menyampaikan informasi pentingnya vaksinasi kepada para penyuluh atau kelompok petani.
 
Sementara secara teknis, bisa meminta kepada para pakar penyakit ikan baik yang ada di perguruan tinggi maupun di UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya yang harus dipersiapakan adalah infrastruktur berupa vaksinator. Keberhasilan vaksinasi sangat ditentukan oleh tenaga yang melakukan vaksinasi. Para tenaga vaksinator ini nantinya diharapkan bisa melayani serta mendampingi petani ikan saat melakukan vaksinasi.
 
Hasil pengujian yang dilakukan Dr Murwantoko bersama rekannya menunjukkan vaksinasi mmberikan perlindungan yang nyata. Ikan yang telah divaksin kemudian diinfeksi dengan penyakit memberikan tingkat kehidupan ikan yang lebih tinggi. Uji di lapangan juga memperlihatkan ikan yang divaksin sanggup bertahan terhadap infeksi alami yang terjadi di lingkungan budidaya. Secara umum pemberian vaksinasi dapat memberi kelulushidupan sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin.
 
Vaksin-vaksin yang sudah ada selama ini baru sebatas produk uji coba yang sebagian besar diproduksi oleh laboratorium. Idealnya, ke depan vaksin akan diproduksi secara industri dan ada ketentuan harga yang pasti. Jadi, harga produk vaksin saat ini belum bisa dijadikan dasar perhitungan riil biaya yang dibutuhkan petani.
 
Masalah teknis vaksinasi juga berpengaruh pada komponen harga. “Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa cara vaksinasi berpengaruh kepada efektivitas vaksin. Semakin efektif teknisnya, semakin sedikit jumlah vaksin yang diperlukan dan otomatis semakin kecil biaya komponen vaksin,” ujar doktor lulusan Nara Institute of Science and Technology, Jepang itu kepada Infovet dalam wawancara tertulisanya.
 
Produsen vaksin masih menemui kendala dalam mengembangkan vaksin di Indonesia. Pertama, terkait dengan pengembangan dan desain vaksin. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah penelitian-peneltian untuk mencari sumber vaksin baru, peningkatan efektivitas vaksin, dan lain-lain. Untuk segmen ini bisa dilakukan oleh perguruan tinggi maupun institusi penelitian.
 
Produksi vaksin dalam hal ini  lebih banyak untuk uji coba dan prototype produksi. Setelah dari segmen tersebut idealnya vaksin diproduksi secara industri untuk produksi dalam skala missal. Supaya bisa diproduksi dan dipasarkan, perlu memperoleh ijin sebagai obat. Pengajuan ijin produksi obat harus dilakukan oleh produsen. Hal tersebut adalah prosedur yang lazim di manapun. Sehingga bukan hambatan, yang lebih tepat adalah bagaimana kerjasama dan sinergisitas antara para kelompok peneliti dengan industri harus lebih ditingkatkan. (nung)

SUKSES DI BISNIS LAYER DENGAN PERBAIKAN MANAJEMEN

Agus Susanto - Krida Permai Farm

Jangan gampang kendor dan tetap memelihara semangat. Itu cara sederhana Agus Susanto dalam menjalankan bisnis layernya yang ia tekuni sejak tahun 1982. Kini pendiri dan pemilik Krida Permai Farm, Cianjur ini sedang terus melakukan ekspansi ke beberapa kawasan di Bandung Barat seperti Saguling dan Rajamandala.
 
“Awalnya, saya ikut paman bekerja di Semarang. Waktu itu dia buka toko emas,” kenang Agus mengawali wawancara saat ditemui Infovet di Cianjur, Jumat 28 Desember 2012.
 
“Saya tidak begitu bisa mengelola toko emas,” sambungnya sambil tertawa. Hingga akhirnya tahun 1982, Agus pun memantapkan hatinya untuk beternak ayam petelur di Semarang dengan populasi 3.000 ekor sebagai permulaan.
 
Tahun 1990, peternakan Agus semakin maju pesat dengan populasi 60.000 ekor. Setelah menikah, ia menetap di Bandung dan saham yang ada di Semarang ia lepas. Ia pun membuka Krida Permai Farm di Cianjur, Jawa Barat.
 
“Saat ini populasi ayam yang ada di Krida Permai sebanyak 400.000 ekor. Sementara yang tersebar di 10 lokasi Krida Permai Grup, lebih kurang populasinya mencapai 1,8 juta ekor,” terang Agus.

Dibantu Tim Sanbe Grup
Untuk mencapai keberhasilan seperti saat ini, tentu banyak cobaan dan problem yang menghalangi. Salah satunya pada sisi produksi layernya yang masih belum sesuai standar dari pembibit. 
 
Sebelumnya ia sudah mencoba mencari solusi ke berbagai tempat. Semua ahli dan pakar sudah ditemui untuk dimintai saran dan diikuti. Namun hasilnya tetap sama saja, tiap mau mencapai puncak, produksi telurnya malah drop.
 
Hingga pada suatu kesempatan ia curhat ke Drh Sugeng Pujiono, General Manager Sanbe Grup. Ia sampaikan problem dipeternakan layernya secara detil dan Sugeng pun menjanjikan segera akan mengirim Tim Sanbe Grup untuk mengevaluasi dan me­ngoreksi dimana titik lemah dalam fase produk­si layernya.
 
Tak disangka janji itu dipenuhi Sugeng, Agus pun dengan tangan terbuka menyambut Tim Sanbe Grup. Semua program baik untuk manajemen tata laksana, kesehatan hingga pengaturan karyawan diikuti. Hasilnya sungguh tak diduga, layer farmnya berhasil mencapai produksi seperti yang didambakan. Bahkan saat ini hampir semua kandangnya telah mencapai puncak produksi sesuai standar pembibit diatas 90%.
 
Hikmah kerjasama dengan Sanbe Grup ini berdampak pada cara pandang Agus terhadap vaksin buatan lokal. Kalau yang selama ini dia selalu fanatik dengan vaksin impor untuk mengamankan investasi layernya. Kini dengan mata kepala sendiri ia membuktikan bahwa vaksin lokal mempunyai kualitas yang tidak kalah, bahkan dengan harga yang jauh lebih kompetitif.
 
“Selain itu, layanan dari Tim Teknis Sanbe Grup sangatlah profesional sesuai dengan kebutuhan. Mereka tidak semata mengejar omzet dengan memaksakan peternak mengambil obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan ayamnya. Diagnosa mereka jelas, rasional dan tepat, sehingga saat ini saya sudah menggunakan program kesehatan Sanbe Grup secara full,” terang Agus.

Perbaikan Manajemen dan Pendampingan
Agus menguraikan pendapatnya mengenai kondisi perunggasan di Tanah Air. Menurutnya, terkadang kita sebagai peternak masih sering menyalahkan penyakit, mutu DOC, pakan jelek, serta lingkungan yang kurang baik atas jeleknya performa produksi ayam kita.
 
“Sebenarnya semua itu tergantung pada manajemen kandang yang diterapkan,” tegas Agus. “Manajemen kandang harus tertata lebih baik sesuai kebutuhan, sehingga tidak sepenuhnya dirombak secara total,” imbuhnya.
 
“Sebagaimana yang dilakukan Tim Sanbe Grup pada farm saya. Mereka tidak merombak secara total melainkan hanya memperbaiki tata kelola yang sudah berjalan supaya hasil­nya sempurna. Selain itu, pendampi­ngan yang rutin diberikan Tim Sanbe Grup membuat kami selaku pemilik, hingga level anak kandang dibawah merasa selalu mendapat perhatian,” kata Agus menjelaskan.
 
Sehingga lanjut Agus, “Dengan pelayanan yang excellent ini, kita jadi selalu merasa dekat dan akrab dengan Tim Sanbe Grup, baik dari atasan hingga ke bawah. Kami sudah seperti teman akrab saja,” katanya sembari tersenyum.
 
Kembali ke soal manajemen, menurut Agus manajemen yang tertata rapi contohnya adalah penempatan 2 orang pegawai untuk 1 kandang, baik siang maupun malam. Agus juga tak sungkan menyediakan bonus yang setimpal untuk karyawannya yang rajin dan mampu menembus target yang ditetapkan. Semua itu dilakukan agar karyawannya betah dan bekerja penuh semangat.
 
Karena sekarang ini cukup sulit mencari sumber daya manusia terlatih yang mau bekerja dikandang 24 jam. Tuntutan penghasilan tenaga kerja di Indonesia juga semakin naik. “Di China, buat ngurusi ayam saja, pegawai digaji 5 juta,” ungkap ayah dari 3 anak ini.
 
Agus menambahkan, untuk mereka yang bekerja di pabrik dibayar 3 juta. “Kenyataannya adalah sekarang siapa yang mau berkotor-kotor ria berada di kandang ayam, kalau kerja di pabrik gajinya sudah 3 juta di China,” kata Agus.
 
Oleh sebab itu dalam mempekerjakan karyawannya, Agus juga sering menjumpai pegawainya yang keluar masuk tanpa ada pemberitahuan. “Sudah maklum melihat ada pegawai yang keluar masuk. Mereka yang sudah keluar terus kembali kerja lagi di Krida Farm, kita terima aja dengan tangan terbuka,” ujarnya.
 
Menurut Agus, jika berniat menjadi peternak harus mau menjadi karyawan atau jangan karena menganggap kita bos lalu tidak membaur dengan yang lain. Bagi Agus, kita tidak dapat menerima kesuksesan tatkala me­nyombongkan diri. “Siap-siap saja tinggal di perkampungan kalau mau jadi peternak ayam,” katanya.

Mulai Beralih ke Closed House
Selain ekspansi usaha ke berbagai wilayah melalui grupnya, saat ini Krida Permai sedang bersiap menuju usaha pembuatan kandang semi closed house. Untuk investasi kandang­nya, Agus sudah memperbandingkan perhitungannya.
 
Ia menyebutkan, investasi closed house sudah termasuk peralatan isi kandang di Eropa mencapai Rp 75.000/ekor. Apabila memakai hitungan Malaysia berkisar Rp 50.000/ekor, sedangkan China hanya Rp 25.000/ekor. Bahkan dengan ba-ngunan beton yang sudah dicor, Agus mematok bisa dengan investasi Rp 20.000/ekor.
 
Perbincangan Infovet dengan Agus terasa mengasyikkan ketika ia bercerita mengenai pengamatannya tentang perunggasan di negara yang ia datangi. Kunjungan Agus ke kawasan peternakan di beberapa negara menginspirasi dia untuk semakin giat memajukan usahanya.
 
“Metode perkandangan yang lama kita ubah sesuai perkembangan dan tuntutan zaman. Untuk memberikan perlindungan, kenyamanan dan agar ayam berproduksi lebih optimal tiada lain adalah kandang closed house solusinya,” tukasnya.
 
“Tak perlu langsung menerapkan full closed house, tapi bisa dengan semi closed house. Kalau yang sebelumnya open house 1 pegawai hanya sanggup pegang 2.000 ekor. Maka dengan sis­tem semi closed house 1 pegawai bisa pegang hingga 10 ribu ekor,” lanjut Agus.
 
Dengan menerapkan closed house, Agus yakin akan lebih banyak meng­hemat pengeluaran semisal pakan, listrik, biaya pengobatan, dll. Karena semua terbayar dengan performa produksi yang meningkat jauh lebih baik dibanding kandang open house.
 
Diakhir wawancara, tanpa bermak­sud berpromosi, Agus kembali menekankan pengalamannya menggunakan obat dan vaksin lokal khususnya produk-produk dari Sanbe Farma dan Caprifarmindo. Bahkan tanpa malu ia sudah menyebarkan pengalamannya ini ke teman-temannya sesama peternak ayam.
 
“Saya sarankan ke teman-teman untuk pakai vaksin maupun obat dari lokal saja, seperti obat dari Caprifarmindo,” pungkasnya sambil tersenyum. (nunung/wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer