Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

DAHLAN ISKAN BICARA SOAL TERNAK SAPI INDONESIA

Gebrakan Dahlan Iskan tidak hanya berhenti di sektor energi Listrik, polemik Impor Gula dan Jalan Tol, tetapi ternyata merangsek masuk juga di sektor peternakan. Ketika berkunjung di Yogyakarta menjadi pembicara pada sebuah seminar “Pemimpin Muda Belajar Merawat Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 29 Maret 2012, sedikit menyinggung masalah pembangunan sektor pertanian termasuk subsektor peternakan.
Meski hanya sekilas namun nampaknya menteri yang penuh dengan kejutan dan gebrakan ini, begitu memahami benar akan basis kuat Negara Indonesia adalah harus bertumpu pada bidang agraris. Ia mencontohkan di negeri Cina yang dikenal dengan pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia, bahwa petani begitu diperhatikan kesejahteraannya. Meskipun lahan pertanian yang digarap oleh petani di Cina hanya merupakan pinjaman dari Negara, dan petani hanya sebagai penggarap, namun toh jauh dari sejahtera di banding dengan petani Indonesia.
 
Indonesia memang tidak menganut paham sosialisme yang menguasai tanah dan hasil tambang oleh Negara, namun jika menilik dan merujuk kepada pasal 33 UUD 1945 (Amandemen) bahwa semang­at untuk mensejahterakan warga Negara juga nyaris mirip sekali. Pada pokok substansinya amanat Konstitusi Indonesia, bahwa tanah dan hasil bumi yang berada di dalamnya di kelola oleh Negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
 
Berbicara tentang basis kuat dan tumpuan pembangunan Indonesia, yang seharusnya dipilih menurut mantan pimpinan perusahaan raksasa media Jawapos Grup ini, tiada lain memang bidang pertanian. Untuk itu, Dahlan merasa sangat heran sekali kenapa Indonesia harus impor daging dan ternak sapi, jika potensi dan sumber daya alam yang ada sebenarnya mampu dioptimalkan.
 
Ia pertama menggebrak perusahaan bibit padi PT Sang Hyang Sri untuk meningkatkan produksi bibit dan kualitasnya. Kemudian dilanjutkan dengan merevitalisasi PT Berdikari. Seperti kita ketahui, bahwa perusahaan itu didirikan sebenarnya untuk mengembangkan peternakan sapi di Indonesia. Namun justru kini lebih banyak bergerak di usaha me­bel dan pariwisata. Akhirnya ujar Dahlan di depan peserta seminar, ia perintahkan menutup usaha yang tidak terkait dengan misi dan tujuan didirikannya Perusahaan itu, dan kini kembali beralih ke sektor peternakan sapi.
 
Menurut Dahlan, sangat tidak masuk akal jika keluhan ketersediaan pakan untuk ternak sapi di Indonesia tidak mencukupi. Sebab perusahaan perkebunan Negara yaitu PTP misalnya, banyak tersedia lahan kosong yang infrastrukturnya sudah tersedia dengan baik. Akan tetapi lahan sela yang kosong itu tidak dimanfaatkan, bahkan limbah perkebunan sawit, kopi, teh dan nanas, serta cengkeh belum dimanfaatkan  secara optimal.
 
Maka PT Berdikari kini menurut Dahlan, harus fokus dan serius menggarap usaha peternakan sapi. Untuk tahun 2012 ini Dahlan menugaskan kepada PT Berdikari agar mampu memasok 100.000 ekor sapi bagi kepentingan domestik. Impor daging dan ternak sapi harus segera di akhiri, jelas Dahlan. Kemudian tahun 2013 mendatang menurutnya target nya 250.000 ekor sapi.
Menurut Dahlan, keluhan tiadanya infrastruktur bagi pengembangan ternak sapi di kawasan PTP pada saat ini sudah tidak pantas dikeluhkan oleh para investor plat merah maupun swasta, khususnya BUMN yang bertugas di sektor pertanian.
 
Dahlan menjelaskan bahwa kawasan perkebunan yang dikelola oleh Negara (misalnya PTP) umumnya adalah peninggalan kolonial Belanda dan sebagian kecil hasil pembangunan bangsa Indonesia pasca merdeka, merupakan kawasan yang sudah sangat mapan kesediaan infrastrukturnya. Mulai dari jalan raya yang relatif panjang dan memadai menuju kota pelabuhan, jaringan irigasi yang tersedia sudah tertata representatif serta tersedianya pasokan energi listrik yang mandiri. Selain itu sebagai kota satelit, kawasan perkebunan selalu melimpah tersedia tenaga kerja yang handal dan juga tersedianya lahan maupun limbah perkebunan untuk ternak sapi.
 
Hanya sayangnya memang paparan sepintas namun cukup mendalam itu, tidak mendapat tanggapan dari peserta yang sebagian besar adalah civitas akademika fakultas hukum. Maka menjadi menarik jika ASOHI, GOPAN atau ISPI maupun PDHI mengagendakan sebuah pertemuan khusus yang membahas masalah pembangunan peternakan dengan menteri yang memang konsern terhadap potensi domestik. Alangkah kecewanya jika kemauan mulia dan ide Dahlan ini tidak mendapat sambutan dari para pelaku usaha peternakan dalam negeri.
 
Momentum menarik ini memang harus segera direspon oleh organisasi profesi peternakan dan para pelaku usahanya. Kita patut menunggu siapa yang lebih dahulu memulai ! Apakah ASOHI memulai lebih dahulu? Atau malah ISPI dan PPSKI? (iyo)

JIMPITAN UNTUK MEMBESARKAN INDUSTRI PERUNGGASAN

Jika masyarakat perunggasan Indonesia mau dan mampu bersatu, maka bukan mustahil omzet industri perunggasan yang mencapai Rp 120 triliun/tahun bakal terus melambung. Caranya pun tidak tergolong sulit. Mereka cukup mengumpulkan ‘jimpitan’ untuk menggelorakan kampanye ayam dan telur.


Memang sekilas terdengar tradisional seperti yang berlaku di kampung-kampung masyarakat khususnya di daerah Jawa dengan menaruh jimpitan dalam kaleng di pojok rumah demi mendukung keamanan lingkungan. Padahal, mekanisme serupa dilakukan masyarakat di negara maju seperti di Amerika Serikat dengan istilah keren Commodity Checkoff Programs.
Menurut Dr Ir Arief Daryanto, MEC, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB (MB-IPB), yang memaparkan upaya bersama tersebut dalam diskusi Round Table FMPI-US  Grains Council di Jakarta belum lama ini. Arief menjelaskan, Commodity Checkoff Programs atau pemasaran bersama lewat program promosi dan R&D untuk meningkatkan permintaan pasar dan meningkatkan penerimaan produsen suatu komoditas. 

Mengingat ini membawa kepentingan bersama, maka advertising bersifat generik namun tetap terukur. Parameter keberhasilan generic advertising dapat dilihat dari peningkatan permintaan pasar, harga yang diterima produsen meningkat, benefit > cost, dan porsi pembelian pemerintah menurun. Arief menyebutkan, B/C ratio untuk generic advertising program di kisaran antara 4 : 1 dan 6 : 1. Sebagai catatan, B/C ratio daging sapi 5.6:1, babi 4.8 : 1, susu 4.6 : 1, bunga 6.6 : 1, dan telur 4.7 : 1.

Arief mengatakan, di AS terdapat sekitar 17 program checkoff di tingkat federal dan banyak program sejenis di tingkat “state”. Program pungutan wajib (mandatory) ini berhasil mengumpulkan sekitar US $ 1 milyar. Tujuh besar Commodity Checkoff Programs di Amerika Serikat seperti American Egg Board, American Lamb Board, Dairy Checkoff Works, Cattlemen’s Beef Promotion and Research Board, National Pork Board, United Soybean Board, National Corn Growers Association.

Dr. Desianto Budi Utomo di tempat yang sama mendukung program pemasaran bersama tersebut karena secara obyektif dapat meningkatkan ‘pie’ market size perunggasan nasional melalui peningkatan konsumsi dan proaktif kampanye gizi. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa dan terus bertumbuh 1,4%/tahun tentunya akan mendorong permintaan produk unggas seperti daging dan telur.
Sistim Check-off, lanjut Desianto, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi daging per kapita per tahun yang masih rendah. Selain itu, sistem ini juga dinanti dapat menekan jumlah ‘free riders’, berkurang beban pajak dan kompetisi yang berlangsung fair. Karenanya, Desianto berharap ada insentif yang berperan sebagai ‘attractant’ yakni pengurangan pajak, termasuk bagian dari CSR, ‘free advertising’ dan mitra pemerintah.

Meski secara tradisional sudah dilakukan masyarakat terutama di Jawa, jika diterapkan dalam industri perunggasan Indonesia perlu memperhatikan beberapa hal. Permasalahan yang perlu dicari solusinya antara lain aspek legalitas, aspek perpajakan, badan/lembaga yang auditable, sistem enforcement. Demikian pula asosiasi apa yang akan berperan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan.
Desianto menekankan, melihat asosiasi bidang perunggasan di Tanah Air yang belum terintegrasi, implementasi sistem check-off dibutuhkan syarat komitmen panjang semua pihak terkait. keberadannya harus dapat diterima dan direstui oleh KPPU. Perlu kesadaran kebersamaan dalam hal koordinasi dan komunikasi, dan diperlukan pula keahlian dalam “manajemen implementasi”.

Karena di Kolombia butuh waktu untuk merealisasikan poultry check-off hingga sekarang membudaya. Seperti disampaikan Prof. Budi Tangendjaja, konsultan untuk U.S. Grains Council, Kolombia berhasil mewujudkan sistem check-off setelah beberapa asosiasi yang ada berintegrasi tahun 1990 – 1994. Asosiasi Propollo yang telah berkibar sejak 1972, Asohuevo (1970) dan Incubar (1967) bersatu menjadi FENAVI. Selanjutnya, asosiasi industri perunggasan tersebut bersama legislatif dan eksekutif membahas undang-undang hingga tepatnya tanggal 9 Februari 1994 Presiden menandatangani regulasi National Poultry Check-off Fund. Dana dikumpulkan dari produsen broiler dengan memungut 1% dari harga DOC. Sedangkan produsen layer dikenakan 5% dari harga DOC.

Dana terkumpul tersebut, lanjut Budi, digunakan untuk kegiatan kampanye dalam rangka menstimulus dan meningkatkan konsumsi daging ayam. Demikian pula kampanye untuk mendongkrak konsumsi telur dan menghapus mitos yang keliru dalam konsumsi telur.

Budaya maju bersama menjadi kunci penting dalam implementasi sistim jimpitan perunggasan tersebut. Pemerintah selaku regulator dan fasilitator juga dituntut menjalankan perannya dalam menjembatani terbentuknya wadah yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh pelaku bisnis. (sugeng)

CRD BANYAK DITEMUI DI KANDANG TERTUTUP

Pantas dan perlu untuk diungkapkan tentang sinyalemen sebagian pengamat dan praktisi yang selalu berasumsi bahwa penyakit pernafasan terutama Chronic Respiratory Disease (CRD) banyak dijumpai di kandang model tertutup. Sistem perkandangan yang lebih dikenal dengan istilah Closed Housed (CH) memang di Indonesia meskipun sudah dikenal cukup lama, namun aplikasi di lapangan tidak begitu cepat diadopsi oleh peternak.

Hal itu oleh karena memang iklim untuk diterapkannya system itu kurang kondusif, terutama kala itu ada regulasi yang mengatur jumlah kepemilikan ayam/populasi setiap peternak atau perusahaan. Regulasi yang dibuat saat rezim Orde Baru itu memang seolah ada niat baik pemerintah untuk mengkapling usaha budidaya ayam negeri (ayam potong dan petelur) sebagai wilayah peternak dan pemodal skala menengah. Sedangkan para pemodal kuat dan perusahaan besar untuk diarahkan menggarap segmen usaha di hulu dan hilir.
 
Toh pada kenyataannya, aturan yang kala itu dikenal dengan Keppres No 50 tahun 1981 dan kemudian diperbaharui menjadi Keppres No 22 tahun 1990 tentang pembatasan skala usaha budidaya ayam potong dan petelur itu, tidak mampu efektif berlaku. Skala usaha kala itu tetap saja menggiurkan bagi investor besar untuk menggarap, namun secara kamuflase alias tersembunyi. Muncul kiat para pemodal besar untuk menyikapi aturan itu dengan membagi skala usaha dengan berbagai cara dan modus. Argumentasi para pemodal besar, yang mengakali aturan itu adalah aspek efisiensi dan target capaian keuntungan. 
 
Akhirnya ketika rezim Soeharto jatuh dan beralih ke Orde Reformasi, saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkuasa, aturan Skala Usaha Budidaya Ayam potong dan petelur itu dicabut dan diganti dengan Keppres No 85 tahun 2000. Keppres baru yang ditanda tangani oleh Gus Dur itu pada intinya kembali menegakkan Undang-undang (UU) No 6 tahun 1967 (kini No UU No 19 tahun 2009) dan UU No 9 tahun 2000 tentang Usaha Kecil dan UU No 9  tahun 2000 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
 
Uraian sekilas itu merupakan gambaran latar belakang mengapa perkemba­ngan aplikasi CH di perunggasan Indonesia terkendala. Hal itu diungkapkan oleh para praktisi perunggasan Drh  Drh Boris Budiarto dan  Drh Harry Wibowo yang ditemui secara terpisah.
 
Menurut Boris, lambannya aplikasi CH di Indonesia memang dapat memunculkan penafsiran yang beraneka macam. Salah satunya memang, terkait erat de­ngan aspek kepercayaan peternak tentang titik impas usaha dan nilai/besarnya investasi untuk pembuatan CH. Padahal kendala terbesar aplikasi itu justru pada aturan/regulasi dari pemerintah. Dan setelah hampir satu dekade (10 tahun) pasca dicabutnya regulasi pembatasan skala usaha peternakan ayam, kini semakin nampak respon positip para pelaku usaha untuk menerapkan system kandang CH,
 
Berkaitan dengan sinyalemen bebe­rapa praktisi tentang potensi kasus penyakit CRD di  kandang CH, menurut Boris adalah sah-sah saja. Karena bagaimanapun pendapat itu tentu atas dasar pe­ngalaman dan pengamatan lapangan dari mereka selama ini. Namun demikian, jika saja hal itu kemudian menjadi ke­simpulan dan harga mati, maka justru hal itu menjadi yang tidak benar. “Mengapa demikian? Potensi penyakit apapun dapat terjadi dimana dan kapan saja. Namun jika tatakelola dengan benar dan baik, sudah barang pasti tidak akan dijumpai hal yang merugikan itu,” ujar Boris yang menjabat sebagai Direktur Operasinal PT Biotek Indonesia.
 
Boris menduga bahwa disamping kurang baik dalam tatakelola CH oleh para operator, maka kemungkinan terbesar justru oleh karena konstruksi dan cara pengoperasian sistem kandang CH yang salah. Seperti diketahui, bahwa para peternak ayam banyak sekali mendapatkan penawaran untuk pembangunan kandang CH dari para pemasar dan kontraktor CH. Namun hanya sedikit sekali, kontraktor/pelaksana pembuatan CH yang benar-benar memahami konstruksinya yang baik dan benar. Maka benar saja, seandainya saat ini banyak keluhan dari para peternak CH yang mengeluhkan optimalisasi produktifitas ayamnya. Termasuk dalam hal ini potensi yang tinggi kasus penyakit CRD. Namun, jika konstruksi CH nya benar dan baik serta tatakelolanya juga benar dan baik, maka dengan sendirinya produktifitas akan optmal sebagaimana yang selama ini di iklankan.
 
Menurut Boris, sebenarnya tidak hanya CRD saja yang berpotensi tinggi menyerang ayam di kandang CH. Artinya penyakit lainpun juga mempunyai probabilitas tinggi untuk menyebabkan wabah besar di dalam kandang CH. Hanya memang selama ini penyakit pernafasan dan pencernaan lah yang sering menjadi masalah. Hal itu oleh karena umumnya fungsi peralatan pengatur sirkulasi udara dalam CH yang tidak berfungsi secara baik.
 
Aplikasi kandang CH pada usaha budidaya ayam komersial pada saat ini memang sedang menjadi trend. Maka menjadi wajar, jika persoalan yang bersifat mendasar masih sering dijumpai dan butuh pendampingan ekstra intensif dari para praktisi CH. Maka tidak tepat jika kemudian muncul kesimpulan bahwa penyakit CRD banyak dijumpai pada kandang sistem CH.
 
Sedangkan menurut Drh Harry Wibowo, sebenarnya kasus penyakit konvensional akan jauh berkurang pada kandang CH. Sebab ayam di dalam kandang CH akan mencapai tingkat kenyamaan dan terpenuhinya kebutuhan sesuai prasyarat pertumbuhan ayam. Hal itu terutama jika dibandingkan dengan system kandang terbuka yang selama ini masih banyak dipakai oleh para peternak di Indonesia. Aspek produktifitas sudah pasti akan mencapai tingkat tertinggi, yang de­ngan kata lain faktor gangguan penyakit akan berada pada titik terendah. Namun demikian jika operasionalisasi kandang CH yang tidak tepat akan berakibat yang sebaliknya. Yaitu produktifitas yang tidak baik dan bahkan aneka gangguan ke­sehatan termasuk CRD yang sangat mungkin sangat sering terjadi.
 
Baik Boris maupun Harry berpendapat bahwa peluang kasus penyakit CRD memang  akan sangat tinggi terjadi di kandang terbuka dan konvensional da­ripada kandang sistem CH. Namun bukan berarti kasus penyakit itu tidak dijumpai pada kandang sistem CH, bahkan akan bissa terjadi sangat tinggi munculnya kasus penyakit itu, jika tatakelola dan operasionalisasi CH kurang baik.
 
Oleh karena itu menurut kedua praktisi itu, bahwa penyakit CRD akan mampu muncul dan menyerang ayam-ayam dimana saja ayam itu berada. Persoalan tingkat besar dan kecilnya kasus penyakit CRD sangat tergantung dari aspek pengelolaan saja. (iyo)

MENGATASI CRD di Broiler Dan Layer

Kondisi cuaca yang tidak menentu seringkali dijadikan sebagai indikator awal akan munculnya berbagai jenis penyakit. Betapa tidak, cuaca yang awalnya panas dalam hitungan menit bisa berubah mendung dan berakhir dengan turunnya hujan. Sejalan dengan itu, suhu yang terlalu panas akan menimbulkan kelembaban yang tinggi dan sebaliknya. Hal ini akan berefek pada memburuknya kondisi lingkungan. Sejatinya, lingkungan merupakan interaksi hidup dari semua makhluk hidup, mulai dari makroorganisme maupun mikroorganisme. Terkait dengan mikroorganisme tersebut, para pakar zoologi menyebut bahwa tidak semua mikroorganisme dapat bersahabat dengan makhluk lainnya. Artinya, kejadian penyakit pada unggas pun dapat berawal dari interaksi yang tak sehat antara mikroorganisme penyebab penyakit/patogen dengan unggas itu sendiri.

Penyakit yang sering kali muncul namun sering diabaikan peternak adalah Chronic Respiratory Disease (CRD). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum ini merupakan penyakit menular menahun yang sebenarnya harus diwaspadai. Hal ini diungkapkan secara tegas oleh pakar kesehatan unggas Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dalam bukunya dengan judul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Jilid 1. Hal yang sama disampaikan Hanggono SPt di depan para peserta seminar sehari dengan topik Manajemen Pemeliharaan Ayam Pedaging Modern dan Seni Mengobati yang dibesut oleh PT Riau Feed Centre bulan lalu.

Menurut Hanggono, kejadian CRD di lapangan sering dijumpai, baik pada ayam pedaging ataupun pada ayam petelur. “Penyakit yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus adalah penyakit pernafasan menahun atau CRD karena bagaimanapun, penyakit ini tetap dapat merugikan secara ekonomis,” ujar alumni Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ini. Kerugian secara ekonomis dapat saja berupa memburuknya nilai konversi ransum akibat menurunnya konsumsi ransum, sehingga capaian berat badan panen pun tidak akan optimal.

Hal senada juga disampaikan Syafrinaldi SPt melalui pesan singkatnya, “Kejadian CRD bisa dikatakan terus ada disetiap periode produksi ayam pedaging.” Alumni Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang ini menyebutkan bahwa penyakit CRD sama halnya dengan api, kecil dibiarkan aman namun jika membesar akan menjadi lawan yang akan mendatangkan kerugian.

Terkait dengan kondisi tersebut, Prof Dr HM Partadiredja MSc (Almarhum) dalam bukunya dengan judul Manual Penyakit Unggas, menyebutkan bahwa penyakit CRD disebut juga dengan penyakit ngorok ayam. Penyakit ini ditandai dengan ingus katar yang keluar dari lubang hidung, kebengkakan muka, batuk dan terdengarnya suara sewaktu ayam bernafas. Selanjutnya, pada kondisi tertentu menurut Prof Partadiredja, kemungkinan besar penyakit ini dapat menyebabkan gangguan pernafasan akut terutama pada ayam muda/pullet, sedangkan pada bentuk kronis efek nyata yang dapat diamati adalah terjadinya penurunan pada produksi telur. Menariknya, meskipun angka kesakitan/morbiditas dari penyakit bakterial ini sangat tinggi, namun angka kematian/mortalitasnya cukup rendah jika dibandingkan dengan penyakit bakterial lainnya.
Hal ini ditanggapi Drh Jalaluddin MSc sebagai faktor kewajaran jika di tingkat peternak kurang perhatian terhadap penyakit ini. “Kemungkinan fenomena inilah yang menyebabkan sebagian peternak kurang intens menghadapi penyakit CRD ini,” ujar Jalaluddin.

Jika boleh dikata jujur, sebagai akademisi, drh Jalal sedikit miris dengan kondisi tersebut, betapa tidak, meskipun tingkat mortalitas penyakit tersebut cukup rendah namun yang perlu diwaspadai menurutnya adalah ikutan mikroorganisme sekunder yang akan memperburuk kondisi tubuh ayam itu sendiri.

“Penyakit apapun yang mendera ayam, ujung-ujungnya tetap ada kaitannya dengan melemahnya sistem pertahanan tubuh. Ayam yang terpapar bibit penyakit CRD, secara alami jelas telah melakukan pengurasan terhadap sediaan produk pertahanan tubuh atau imunitas, lalu jika tidak ditangani cepat, kondisi tubuh yang lemah tersebut, jelas akan memudahkan terpaparnya ayam dengan berbagai mikroorganisme penyebab penyakit lainnya, sebut saja, apakah itu virus ND, IB dan atau virus dan bakteri patogen lainnya,” tutur alumni Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Jalal menegaskan, peternak harus fokus, jika dijumpai kasus mengarah pada gejala spesifik dari penyakit tersebut, harus cepat tanggap memberikan tindakan awal, yang dapat berupa pemisahan atau isolasi individu yang sakit dengan yang sehat, lalu individu yang sehat tersebut diberi antibiotika yang sesuai dengan target pencetus penyakit itu sendiri, dan untuk ayam yang sakit, lakukan tindakan pengobatan. Dengan demikian, kekuatiran akan munculnya infeksi sekunder dapat dilenyapkan dari ranah pikir peternak.

Terus Berulang

Penyakit CRD sering disamaartikan dengan lagu wajib, hal ini dimaknai sebagai penyakit yang kemunculannya terus berulang di lokasi peternakan/farm, baik di ayam pedaging maupun di ayam petelur. Melenyapkan penyakit CRD dari satu farm bukanlah suatu usaha yang mudah dilakukan peternak, hal ini mengingat bahwa penyakit tersebut dapat ditularkan secara vertikal dari induk ke anak melalui telur yang terinfeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum.

Merujuk pada data lapangan hasil kerja keras para Technical Service (TS) PT Medion, penyakit CRD termasuk “Top Ten Diseases in 2007” di Indonesia. Data tersebut mendudukkan penyakit CRD pada urutan keempat. Walaupun menduduki posisi keempat, penyakit CRD bukanlah suatu penyakit yang dapat dianggap enteng oleh peternak, karena bagaimanapun dampak yang ditimbulkan cukup besar jika dihitung secara ekonomis.

Kejadian berulang pada CRD dapat saja berawal dari sistem pengelolaan usaha peternakan yang salah. Hal ini dibenarkan Syafrinaldi SPt, “Penerapan manajemen yang salah sering disebut sebagai pemicu munculnya kasus ini. Hal dimaksud misalnya peternak yang kebagian anak ayam (DOC) jelek, lalu dipelihara dan hasilnya tetap jelek,” urai Syafrinaldi yang juga technical services PT Sanbe Cabang Pekanbaru.

Senada dengan Syafrinaldi, Drh Jalalluddin MSc mengingatkan bahwa DOC dengan berat badan di bawah standar (<42 g) lebih rentan terserang penyakit pernapasan. Munculnya penyakit pernafasan tersebut menurut dosen FKH USK Nanggroe Aceh Darussalam ini dipicu oleh pemaksaan kerja paru-paru dalam menyuplai oksigen untuk proses metabolisme tubuh. Tindakan ini jelas salah karena dapat berdampak pada gangguan organ dan sistem organ pernapasan. Pemaksaan kerja keras pada paru-paru juga akan merusak organ pernapasan lainnya, seperti hidung (sinus hidung), trakea dan kantung udara. Akibat dari itu semua Kondisi tubuh akan melemah. Disamping itu, DOC yang berukuran tubuh lebih kecil tetap lebih mudah terinfeksi bakteri M. gallisepticum ataupun jenis mikroorganisme lainnya.

Sehubungan dengan itu, Salman peternak ayam pedaging yang tinggal di Desa Alam Panjang Kecamatan Rumbio Kabupaten Kampar menyebutkan bahwa kasus CRD dapat saja muncul disetiap periode pemeliharaan. Namun sejauh upaya peternak dalam menerapkan prinsip beternak aman dengan CRD, kasus tersebut setidaknya dapat diminimalisir kehadirannya.

Hal yang dimaksud Salman adalah memperhatikan semua hal terkait dengan manajemen pemeliharaan, mulai dari pemilihan DOC yang berkualitas tinggi sampai pada proses pemanenan. “Informasi yang saya dapatkan dari Majalah Infovet disebutkan kalau CRD merupakan penyakit yang muncul akibat kesalahan manajemen, jelaslah jika ingin penyakit tersebut tidak uncul di lokasi peternakan, maka perbaiki sistem manajemen yang ada di lokasi peternakan tersebut,” tutur Salman.

Salman melanjutkan, hal yang paling mudah dilakukan peternak sebenarnya adalah hanya menerima bibit atau DOC dengan kualitas prima saja, dan katakan tidak untuk sebaliknya. “Sulit memang dilakukan mengingat sebagian besar peternak beternak dengan pola kemitraan kan, artinya DOC dengan kualitas apa saja pastilah diterima, tak tau untung atau rugi, inilah risiko yang sebenarnya yang harus ditanggung peternak,” ujar peternak mandiri ini.

Hal lain yang dapat diterapkan disamping terkait dengan kualitas DOC adalah perbaiki sistem pemanas/brooding karena bagaimanapun, indikator keberhasilan dimulai dari fase tersebut. Lalu, menekan lajunya kadar amoniak yang ada di dalam kandang. Hal ini dilakukan Salman dengan jalan memperbaiki sistem turun naiknya tirai kandang yang digunakan, termasuk mengurangi tumpukan feses di bawah lantai kandang (jika kandang panggung).

Hal ini senada dengan apa yang dituliskan Prof Charles dalam bukunya  dengan judul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Jilid 1 bahwa tumpukan feses dapat memperburuk kondisi udara di dalam kandang akibat terjadinya peningkatan kadar amoniak yang bersumber dari tumpukan feses. Batas kadar amoniak yang aman sekitar 15-20 ppm. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Melengkapi apa yang dikatakan Salman, yang tidak kala pentingnya menurut Drh Jalaluddin MSc adalah penerapan aspek biosekuriti menyeluruh di lokasi peternakan. Hal ini dapat saja berupa membatasi lalu lalang angkutan umum, masyarakat atau apa saja yang terkait dengan kegiatan mobilitas di sekitar lokasi peternakan. Lalu, memisahkan ayam yang terpapar bibit penyakit dan atau ayam-ayam sakit dengan ayam yang tidak sakit, dan penerapan aspek sanitasi diseluruh areal kandang termasuk kandang itu sendiri, ayam dan anak kandangnya.

Hal ini diamini Fajar Datif Antariksawan, sejauh ini penyakit-penyakit yang berarti secara ekonomis belum sempat mampir (baca; tidak dijumpai) di lokasinya, kuncinya kata alumni Fapertapet UIN Suska Riau ini hanya satu, tetap menjaga kebersihan di seluruh lini area kandang. Dengan demikian, ternak tenang peternak pun senang, dan fulus pun datang (sadarman/riau).

NGOROK TIDAK SELALU CRD NAMUN CRD SUDAH PASTI NGOROK

Sebagai penyakit konvensional yang terlalu sering dijumpai oleh para peternak, maka hampir pasti mereka paham sekali gejala klinis dan tanda-tanda ayamnya yang terserang penyakit Chronic Respiratory Diseases (CRD) dan CRD Kompleks. Maka tidak salah jika peternak meyakini dengan kuat bahwa jika ayamnya menunjukkan tanda ngorok, mereka sudah berani “memastikan” itu terserang CRD atau jenis penyakit pernafasan yang lain.

Mereka umumnya memegang pedoman bahwa jika terserang penyakit CRD akan selalu ditandai dengan ngorok atau terdengar keras suara pernafasan yang seolah ada gangguan dalam saluran pernafasannya. Selain itu dijumpai adanya leleran dari hidung yang kental dan sesekali ayam menujukkan refleks batuk-batuk.

Untuk membedakan apakah Ngorok itu akibat dari penyakit lain, menurut pengalaman beberapa peternak jika bukan oleh karena CRD maka kalaupun ada leleran hidung, namun umumnya bersifat encer dan sama sekali tiada dijumpai batuk-batuk. Misal karena serangan ND, Coryza dan IB.

Menurut Drh Arief M Dimyatie, praktisi perunggasan yang telah lama malang melintang sebagai konsultan kesehatan ayam, bahwa CRD adalah salah satu penyakit yang sangat sering menyerang pada peternakan komersial. Umumnya terjadi oleh karena diawali oleh stres dan juga disebabkan oleh daya tahan tubuh ayam yang melemah. Melemahnya daya tahan tubuh itu umumnya oleh karena pergantian musim ataupun pergantian kualitas pakan serta oleh karena perlakuan pemeliharaan yang salah.

Sangat sering terjadi, peternak mengganti merk pakan oleh karena hanya alasan dan pertimbangan harga. Akibatnya ayam mengalami cekaman dan kemudian daya tahan menurun sehingga akhirnya muncul penyakit itu. Menjadi lebih parah jika kemudian penyakit lain ikut menginfeksi, baik itu penyakit yang memang special menyerang pernafasan maupun penyakit pada sistema organ yang lain.

Dari manakah organisme itu berasal? Memang menjadi pertanyaan umum yang sering disampaikan peternak. Penjelasannya lanjut Arief, bahwa agen penyebab CRD dan agen penyakit lainnya, bahwa pada dasarnya sudah banyak berada di sekitar kandang. Oleh karena itu, seolah agen penyakit itu selalu siap selalu masuk untuk menyerang ketika status kesehatan ayam menurun. Hal ini yang tidak sedikit para peternak tidak memahaminya. Oleh karena itu begitu pentingnya program desinfeksi kandang dan lingkungan yang teratur untuk menekan populasi agen penyakit yang berada disekitar kandang.

Sedangkan Ir Alex Puspoyojati, seorang petugas lapangan pendamping peternak,   mengungkapkan bahwa memang CRD tidak memandang tingkat kebersihan kandang. Artinya meskipun kandang itu seolah nampak bersih, namun program biosecurity termasuk program desinfeksi tidak berjalan dengan baik, maka potensi untuk munculnya penyakit itu sangat besar. Terlebih jika kandang yang sama sekali melalaikan program rutin desinfeksi, maka kemungkinannya jauh lebih besar dan diperparah dengan adanya infeksi penyakit lain yang ikut masuk.

Senada dengan Arief, Alex melihat bahwa pengalaman para peternak dalam menghadapi penyakit CRD memang menjadi penting untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Peternak yang menjalankan program biosecurity dengan ketat dan terprogram, umumnya dapat memperkecil potensi terserang penyakit itu. Namun tidak bisa menjadi jaminan mutlak untuk bisa membebaskan dari potensi terserang penyakit itu. Faktor cuaca yang berubah-ubah secara ekstrim, sangat sering sekali menjadi pemicu munculnya CRD.
Umumnya peternak yang menjalankan program biosecurity secara baik mempunyai kemampuan dan kepekaan mendeteksi secara dini akan munculnya infeksi CRD pada kandangnya. Sehingga langkah cepat antisipatif dapat menekan menyebarnya penyakit itu. Berbeda dengan peternak yang belum berpengalaman dan yang tidak mau belajar dari pengalaman, umumnya akan mengalami kerugian besar, oleh karena terlambat mengambil penanganan. Akibatnya populasi ayam akan banyak yang terserang sakit, dan meskipun mampu menyelamatkan dari kefatalan, namun tetap merugi, oleh karena pertumbuhannya yang terganggu (broiler) atau produksinya menurun (layer).

Kasus CRD, menurut Alex lebih sering dan banyak terjadi oleh karena cuaca yang ekstrims. Namun terkadang oleh karena dampak lain dari program vaksinasi yag tidak tepat, akan memicu munculnya penyakit itu. Pergantian musim, menurut Arief sering membuat suhu dan kelembaban berubah secara cepat dan intensitasnya tinggi. Malam hari misalnya, dengan suhu yang rendah dan tiupan angin yang kencang, akan membuat status kesehatan ayam terkoreksi secara cepat.

Bisa juga terjadi siang hari dengan suhu lingkungan yang tinggi, dan kelembaban rendah, akan membuat ayam tercekam. Mengingat ayam tidak mempunyai mekanisme berkeringat, akhirnya akan membuat ayam terganggu keseimbangan tekanan osmose pada cairan tubuhnya yang kemudian berakhir dengan stres.
Baik Arief maupun Alex, sering mengamati bahwa aspek lingkungan yang tidak kondusif menjadi pemicu paling banyak munculnya kasus penyakit CRD, maka membuat situasi lingkungan kandang yang kondusif mutlak. Selain itu langkah antisipatif dengan selalu menyiapkan suplemen vitamin dalam air minum, untuk menekan potensi melemahnya kesehatan ayam. (iyo)

Mikoplasma: Sang Perampok

Oleh: Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)

Di Indonesia, frekuensi kasus Mikoplasmosis pada peternakan ayam moderen, baik itu yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum (Mg) ataupun Mycoplasma synoviae (Ms), dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir tampaknya terus meningkat.  Lalu, benarkah ayam moderen memang ditakdirkan lebih sensitif terhadap infeksi mikroba yang tergolong mikroorganisme prokariotik ini?  Atau, apakah progres efisiensi pemeliharaan ayam moderen yang notabene “kebablasan” yang menjadi faktor pencetus utama kasus ini dilapangan?  Artikel singkat ini mencoba mengulasnya dari “kaca mata” seorang praktisi lapang yang tengah mencermati alternatif-alternatif tindakan yang jitu untuk mengurangi kerugian peternak akibat kinerja “sang perampok” yang berdarah dingin ini.

Latar Belakang
Perbaikan genetika ayam ras moderen ternyata menuntut kondisi tatalaksana dan lingkungan pemeliharaan yang prima, agar ayam moderen tersebut dapat menunjukkan potensi genetiknya secara optimal.  Namun di sisi lain, tingkat keuntungan peternak yang semakin marginal jelas menuntut pelaku perunggasan harus melakukan efisiensi proses pemeliharaan secara terus menerus.  Secara tidak sadar, kondisi ini pasti mengakibatkan suatu keadaan kontra-produktif yang ujung-ujungnya dapat menciptakan suatu gangguan signifikan pada dinamika interaksi antara ayam dengan mikroorganisme disekitarnya yang notabene berada dalam mileu yang sama.

Pada industri perunggasan moderen, aspek efisiensi yang telah diterapkan secara luas dengan mudah dapat diamati pada:
  1. Adanya kepadatan ayam yang sangat tinggi per-satuan luas kandang, sehingga produktifitas per-satuan luas ruang­an meningkat.  Hal ini tampak dengan jelas pada sistem perkandangan baik yang terbuka (konvensional) maupun yang tertutup (closed house system). 
  2. Adanya penerapan sistem operasional yang bertingkat alias “multi-age system”, sehingga produk akhir akan dihasilkan secara kontinyu, sesuai dengan tuntutan pasar produk pertanian yang sangat sensitif terhadap “supply – demand” yang berkesinambungan.
  3. Adanya waktu istirahat kandang yang semakin singkat (pada peternakan rakyat bahkan sering diabaikan), sehingga produktifitas kandang dan tenaga kerja dalam satu tahun dipercaya akan meningkat. 
Kepadatan ayam yang tinggi per-satuan luas kandang jelas mengakibatkan beberapa efek “domino” lanjut, salah satunya adalah meningkatnya prevalensi kasus-kasus “man-made disease” seperti Mikoplasmosis, karena dalam kepadatan ayam yang tinggi, suasana anaerob dengan mudah akan tercapai dan replikasi (perkembangbiakan) Mikoplasma pada permukaan sistem pernafasan akan berlangsung lebih cepat. Kepadatan yang tinggi juga mempermudah penularan agen penyebab penyakit (Mikoplasma) secara horizontal lebih efektif, dari ayam yang satu ke ayam yang lain.  Manifestasinya adalah morbiditas yang seolah-olah lebih cepat. Kondisi tersebut juga jelas akan mengakibatkan konsentrasi bibit penyakit per-satuan volume udara atau bahan litter akan meningkat.

Kepadatan ayam yang tinggi juga akan mengakibatkan ayam mengalami stres sosial (social stress). Kondisi stres yang berkesinambungan jelas akan mengakibatkan gangguan pada mekanisme pertahanan tubuh ayam.  Dalam situasi seperti ini, maka jelaslah bahwa tatalaksana pemeliharaan ayam dengan mengandalkan kekuatan reaksi imunitas dari vaksin jelas kurang bijaksana, apalagi reaksi imunitas yang terbentuk adalah marginal.

Sekilas tentang Mikoplasma
Secara umum, mikroba Mikoplasma pada ayam Mg maupun Ms dikategorikan sebagai mikroorganisme yang sangat rapuh, karena tidak dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama diluar tubuh induk semang (ayam).  Namun manusia, burung atau hewan liar lainnya yang ada disekitar peternakan ayam (ferret animals) serta peralatan peternakan dapat bertindak sebagai sumber kontaminan dan atau vektor mekanis penyebaran Mikoplasma dalam suatu populasi ayam dari satu kandang ke kandang lainnya, atau bahkan dari suatu flok ke flok ayam lainnya (Kleven, 1990).

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah data penelitian yang dilaporkan oleh Yamamoto (1989) yang mengindikasikan bahwa baik Mg atau Ms dapat bertahan hidup pada komponen bulu ayam ataupun bahan organik yang berasal dari ayam sampai dengan 2 hari.  Itulah sebabnya, dalam kondisi lapangan yang kurang ideal (misalnya tanpa istirahat kandang, kepadatan ayam yang tinggi, pengaturan ventilasi dan sanitasi peternakan yang buruk) serta sistem pemeliharaan ayam yang “multi age” (banyak umur dalam satu lokasi farm), maka kasus Mikoplasmosis yang disebabkan oleh Mg atau Ms seolah-olah selalu berulang dengan derajat keparahan yang semakin lama semakin hebat.

Salah satu keunikan partikel sel Mikoplasma adalah tidak mempunyai dinding sel.  Itulah sebabnya preparat antibiotika kelompok Beta-laktam (Penisilin dan derivatnya) serta kelompok Sefalosporin tidak efektif digunakan untuk mengatasi kasus-kasus yang disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.

Keunikan lainnya dari Mikoplasma, baik itu Mg atau Ms, adalah mempunyai variasi yang sangat besar antar strain-strain yang ada (Yoder, 1989), terutama dari karakter virulensi (keganasan), antigenisitas, maupun jaringan target infeksi (tissue tropism).  Variasi yang besar dalam beberapa aspek tersebut diatas mengakibatkan bervariasinya derajat keparahan kasus dan atau bervariasinya manifestasi gejala klinis yang tampil dilapangan. Ujung-ujungnya adalah kesulitan yang besar dalam menegakkan diagnosa yang akurat dan cepat bagi praktisi lapangan.   

Pola Penularan Mikoplasma, Gambaran Sekilas Kasus Mikoplasmosis Lapangan, Bagaimana Uji Serologis Mikoplasmosis, Bagaimana Kasus Mikoplasma Pada Breeder serta Rekomendasi Praktis Lapangan yang dapat dijadikan panduan bagi peternak dalam menghadapi kasus Mikoplasmosis disajikan secara khusus dan lengkap oleh Drs Tony Unandar, Baca selengkapnya  di majalah Infovet edisi 213/April 2012.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer