Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

FORMAT BAHAS REFLEKSI PETERNAKAN 2011

Menghadirkan pembicara kunci Prof Dr Ir Muladno MSA, Forum Media Peternakan (FORMAT) menggelar diskusi Refleksi Peternakan Akhir Tahun 2011 pada Rabu 14 Desember 2011. Dalam diskusi ini hadir pula beberapa tamu undangan diantaranya perwakilan dari Imakahi (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia), Ismapeti (Ikatan Mahasiswa Peternakan Indonesia), buletin Info Medion, harian Sinar Harapan dan tentunya anggota FORMAT yang terdiri dari media bidang peternakan yaitu Agrina, Infovet, Info Pinsar, Poultry Indonesia, Sinar Tani, dan Trobos.

Acara yang bertempat di gedung ASOHI Lt. 3 tersebut berlangsung dinamis, khususnya saat Prof Muladno yang juga dikenal sebagai Ketua Himpunan Ilmuwan Peternakan Indonesia (HILPI) dan guru besar Fakultas Peternakan IPB memaparkan sejumlah catatan perkembangan peternakan di Indonesia sepanjang tahun 2011.

Prof Muladno memaparkan bahwa dengan disahkannya Undang Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, beberapa peraturan pemerintah harus diterbitkan dalam waktu dua tahun dihitung sejak tanggal 14 Juni 2009 dan beberapa Peraturan Menteri harus diterbitkan dalam waktu satu tahun.

“Namun kenyataannya hal ini belum bisa terwujud. Ternyata tidak mudah menghimpun pemikiran banyak orang untuk menghasilkan peraturan, sehingga sampai saat ini baru satu Peraturan Pemerintah yang disahkan yaitu PP Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumberdaya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak,” urai Muladno.

Prof Muladno melanjutkan, PP lainnya yang sudah mendekati untuk disahkan adalah (a) PP tentang Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan; (b) PP tentang Pemberdayaan Peternak; (c) Peraturan Presiden tentang Kawasan Budidaya Ternak; (d) Peraturan Menteri tentang Ekspor dan Impor Ternak dan Produk Hewan; (e) Peraturan Menteri tentang Pewilayahan Sumber Bibit; (f) Peraturan Menteri tentang Penyelamatan Betina Produktif; dan (g) Peraturan Menteri tentang Lembaga Sertifikat Produk bidang Pertanian.

“Sementara untuk bidang Kesehatan Hewan, saya tidak terlibat sehingga kurang mengetahui perkembangan akhirnya,” imbuhnya.

Dengan UU No.18 Tahun 2009 dan PP tentang SDG Hewan dan Perbibitan Ternak, upaya membenahi dan mengoptimalkan usaha pembibitan ternak oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dilakukan. Untuk usaha pembibitan yang dimiliki pemerintah, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya Direktorat Perbibitan berkomitmen memaksimalkan peran dan fungsi Unit Pelaksana Teknis Perbibitan yang tersebar di beberapa provinsi untuk menghasilkan bibit ternak unggul.

Ini sebagai respons positif terhadap hasil peninjauan para pakar pemuliaan ternak ke semua Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) belum lama ini yang mayoritas menyatakan bahwa program pembibitan ternak unggul belum dibuat secara konsisten dan berkelanjutan. Selain itu, sumberdaya genetik lokal tampak semakin terlantar karena tidak memberikan nilai ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat.


Masivnya IB Menggerus Eksistensi Sapi Lokal Murni
Soal penggunaan teknologi inseminasi buatan juga belum tertata baik. Selama ini terkesan bahwa eksploitasi semen asal bangsa sapi eksotik dilakukan hanya untuk mencapai produktifitas ternak dalam rangka menghasilkan daging berkualitas dalam jumlah semakin besar. Dalam konteks budidaya ternak sapi, upaya meningkatkan produktifitas ternak sapi melalui IB sangat benar dan harus dilanjutkan. Namun demikian, dalam konteks Perbibitan, penggunaan IB harus lebih diarahkan meningkatkan kemurnian bangsa ternak lokal dan meningkatkan mutu genetiknya.
“Saya rasa, 5-10 persen dari total sapi lokal murni (khususnya yang jumlah populasinya semakin menurun akibat di-IB dengan semen sapi eksotik) perlu dilestarikan secara berkelanjutan sebagai ‘penghasil stok lokal’ dalam rangka menghasilkan sapi persilangan berproduktifitas tinggi,” ujar prof Muladno berpendapat.

Kebijakan Ekspor-Impor Semen Beku
Dominasi pemerintah dalam perbenihan (sebagai aktor dan fasilitator) sedikit banyak menghambat peningkatan mutu genetik sapi perah khususnya milik peternak berskala kecil. Produksi susu sapi milik peternak rata-rata hanya sekitar 10-12 liter per hari. Jika semen yang digunakan untuk meng-IB tidak dipilih dari pejantan bermutu genetik tinggi, maka sulit untuk memproduksi susu secara lebih tinggi. Pihak Industri Pengolahan Susu (IPS) sampai sekarang (info di awal tahun 2011) belum diijinkan mengimpor semen sapi perah dari pejantan unggul dari luar negeri.
Kebijakan melarang ekspor semen beku sapi Bali ke luar negeri juga kurang tepat. Kekhawatiran bahwa nantinya sapi Bali lebih berkembang di luar negeri daripada di Indonesia menunjukkan bahwa kita hanya bisa mempertahankan kepemilikan SDG sapi Bali (yang unik ini) saja tetapi pesimis untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu genetiknya secara lebih maksimal.

Catatan Bidang Perunggasan
Check off system yang digagas oleh kalangan perunggasan diusulkan agar menjadi cikal bakal dalam penyusunan RPP pemberdayaan usaha di bidang Peternakan dan kesehatan hewan. Check off system adalah sistem penggalangan dana/pungutan dari anggota gabungan perusahaan perunggasan Indonesia yang kemudian digunakan untuk membiayai segala kegiatan promosi dan R&D untuk meningkatkan permintaan pasar, produktivitas dan daya saing komoditas. Dimana promosinya harus bersifat generik dan bermanfaat bagi seluruh pelaku bisnis perunggasan.

Selain itu, menanggapi pertanyaan Samhadi dari Pinsar soal saat ini jumlah peternak semakin sedikit, dan kalaupun tetap hanya berganti pemilik dan tidak bertambah jumlahnya. Prof Muladno berpendapat memang jumlah peternak semakin berkurang, namun skala usaha dari peternak semakin lama semakin besar. Artinya setiap peternak terus berkompetisi untuk mendapatkan efisiensi yang paling baik, dan kita tahu bahwa efisiensi baru bisa dicapai disaat skala produksi semakin besar.

Sehingga tidak tepat kalau keberadaan peternak rakyat/mandiri semakin terpinggirkan. Faktanya mereka juga mampu survive dengan bermitra atau membentuk kemitraan. Dengan berkelompok tentu posisi tawar peternak menjadi semakin besar terhadap integrator atau penyedia sapronak.

Atau bisa juga peternak lebih mengembangkan usaha budidaya ayam lokal/kampung. Karena selain sebagai upaya pelestarian plasma nutfah asli Indonesia. Ayam kampung memiliki segmen pasar sendiri yang tidak tergoyahkan. Permintaan pasar dalam negeri tinggi, pasokan terbatas, harga jual juga jauh lebih tinggi dibanding ayam broiler. Kelemahannya memang diwaktu produksi yang lebih lama, namun ini bisa diatasi dengan program seleksi dan pola sistem pemeliharaan bertingkat. (wan)

..........Selengkapnya baca majalah Infovet Januari 2012

Dirjen Nakkeswan Resmikan Unit Pelayanan Perizinan/Rekomendasi

Dalam rangka meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjenak &Keswan) pada tanggal 2 Januari mengawali tahun 2012 dengan melakukan peresmian layanan satu loket yang disebut “Unit Pelayanan Perizinan/Rekomendasi”. Layanan ini bertugas untuk menerima dan mengeluarkan surat-surat terkait perizinan ekspor impor yang menyangkut komoditi peternakan.

“Hal ini dilakukan sebagai langkah awal ditahun yang baru untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Langkah untuk melakukan pelayanan terbaik yang semakin efektif, efisisen dan transparan sebagai praktek-praktek budaya kerja yang akan diterapkan oleh Ditjenak & Keswan,” ungkap Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Ir Syukur Iwantoro MS MBA kepada Infovet.

Unit Pelayanan ini bertempat di Wing A Lantai 7 Gedung C Kantor Pusat Kementerian Pertanian. Saat ini para pelaku usaha dapat memanfaatkan layanan tersebut dalam pengurusan perizinan terkait peternakan dan kesehatan hewan. Layanan perizinan yang selama dalam pengurusannya membutuhkan waktu lebih kurang 14 hari, dengan adanya Unit Pelayanan ini dipersingkat menjadi 12 hari dan akan terus diusahakan menjadi lebih singkat lagi agar pelayanan lebih efektif, efisien dan transparan.

Syukur Iwantoro menegaskan, cepat lambatnya perizinan juga tergantung dari pengguna jasa layanan dalam mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan, bukan saja hanya surat masuk akan tetapi dokumen-dokumen pendukung perizinan yang dibutuhkan. Dalam tekadnya tersebut Ditjenak Keswan Berjanji memberikan pelayanan yang efektif, tanpa suap, pungli dan gratifikasi.

Ia juga menjelaskan bahwa selama ini lambatnya proses perijinan yang dikeluhkan pelaku usaha tidak melulu disebabkan oleh lambatnya birokrasi di Ditjennak Keswan. Namun karena kendala teknis di pelaku usaha sendiri seperti misalnya tidak lengkapnya dokumen pendukung yang menjadi prasyarat ekspor atau impor. Sementara untuk melengkapi dokumen tersebut pelaku usaha butuh waktu lagi dan mereka menghitung mulainya proses perijinan dari saat memasukkan surat. Padahal kami menghitung dari saat lengkapnya dokumen sehingga bisa diproses dalam waktu paling lama 14 hari.

“Oleh karenanya dengan adanya layanan satu loket ini diharapkan dapat memberi kejelasan bagi pelaku usaha mengenai kelengkapan dokumen apa saja yang dibutuhkan dalam pengajuan ijin ekspor/impornya. Dengan begitu staf kami dapat lebih fokus bekerja karena tidak bersinggungan langsung dengan pelaku usaha,” pungkasnya. (wan)

“ND TIPE 7” SANGAT TERKAIT PENYAKIT IMUNOSUPRESIF

Berbagai kenyataan lapangan yang dibicarakan peneliti sebagai ND tipe 7 terkait dengan banyak faktor penyakit imunosupresif. Praktisi perunggasan sangat perlu untuk meneliti kenyataan lapangan dengan jeli dan intensif sehingga dapat tahu secara pasti apa yang sesungguhnya terjadi.

Kasus penurunan ketahanan tubuh atau imunosupresif sangat berarti dalam memunculkan berbagai jenis penyakit, seperti yang dijumpai pada peternakan di Jawa Tengah berpopulasi 500.000 ekor ayam. Kasus imunosupresif ini dapat diakibatkan oleh keberadaan jamur dalam pakan jagung penyebab munculnya mikotoksin atau racun jamur. Maka ketika menyoal prediksi kasus penyakit pada ayam pada 2012 seorang pengamat hanya berkutat terutana pada AI, ND dan IB, praktisi ahli perunggasan Drh Prabadasanta Hudyana langsung mengontak Infovet untuk memberikan masukan komentar dan yang kiranya berguna bagi pembaca.

Tipikal serangan IB saat ini menurut Manager Technical Support and Laboratory Service (TSLS) PT Multibreeder Adirama Indonesia ini, pada ayam petelur ayam rentan dan mudah sakit akan tetapi tidak mati. Manifestasi serangannya ayam mudah ngorok dan bila diobati ngorok bakal hilang. Dengan kondisi ini, tipikal IB asli yang menyerang respirasi sudah bergeser ke manifestasi serangan ke sistem reproduksi di mana telur menjadi benjol-benjol, ginjal bengkak dan terdapat kista pada organ reproduksi.

Jangan Lupakan Mikotoksikosis
Penyakit imunosupresif ini bukan hanya berkutat pada penyakit IB (Infectious Bronchitis), AI (Avian Influenza) dan berbagai penyakit lain yang diprediksi bakal menyerang pada 2012 seperti yang diungkap Drh Hewan Wayan Wiryawan dalam Infovet edisi Desember 2011, sebagai penyakit yang tidak boleh dilupakan bakal menjadi ancaman di tahun 2012, adalah mikotoksikosis. Demikian Drh Yohanes Prabadasanta Hudyana mengungkap kepada Infovet Jawa Timur begitu menerima kiriman Infovet edisi Desember 2011, dan ternyata dalam prediksi itu tidak disebutkan penting (mikotoksikosis) tersebut.

Menurut dokter hewan grup PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk ini, ayam makan tiap hari, membutuhkan jagung begitu banyak, sementara jagung sangat rentan dengan serangan jamur yang mengandung mikotoksin. Bahkan saat ini keberadaan mikotoksin pada jamur sudah di luar ambang batas. “Oleh karena resiko mikotoksin tinggi, penggunaan mikotoksin binder saat ini sangat populer di kalangan peternak, baik pada peternakan ayam pedaging maupun ayam petelur. “Baik pada broiler maupun layer,” katanya.

Bahkan menurut Drh Praba, ancaman terbesar dari keberadaan mikotoksis itu berasal dari jagung impor. Secara ayam makan jagung setiap hari, maka dari pakan jagung yang dikonsumsi itu sangat mungkin ada mikotoksin yang nyantol baik itu di hati, ginjal, misalnya. Hal inilantaran kandungan mikotoksin lebih dari standar toksin/ mikotoksin yang diperbolehkan.... (yonathan)

Artikel selengkapnya baca majalah Infovet edisi Januari 2012.

ND-Genotipe 7, SIAPA TAKUT?

Oleh: Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI - Jakarta)

Di Indonesia, peristiwa ledakan kasus AI (Avian Influenza) yang dimulai pada paruh akhir tahun 2003 ternyata membawa hembusan “angin” perubahan yang signifikan pada industri perunggasan di tanah air. Cobalah cermati dengan seksama, para peternak yang tadinya tidak mengenal uji-uji laboratoris di tingkat kimiawi molekuler patogen (bibit penyebab penyakit), sekarang seolah sudah akrab dengan terminologi “gene sequencing atau gene mapping”, pohon filogenetik (phylogenetic tree) ataupun diagram kartografi (cartography chart). Lalu, seberapa besar euforia hasil uji-uji laboratoris di tingkat molekuler memberikan sumbangan atau “makna” bagi seorang praktisi lapangan untuk menyikapi ledakan kasus penyakit infeksius, khususnya tetelo alias ND (Newcastle Disease) yang terus berkecamuk? Lewat kacamata seorang praktisi lapangan, tulisan singkat ini mencoba “numpang lewat” untuk menyapa dan menebar “kelegaan” ditengah ranah kebingungan serta frustasi para pelaku industri perunggasan Indonesia dimanapun berada.

Sekilas tentang Virus ND

Karena dapat memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan secara ekonomis, maka Badan Kesehatan Hewan se-Dunia (OIE = Office Internationale des Epizooties) menggolongkan penyakit tetelo (ND) kedalam daftar A (OIE, 2009), yaitu penyakit hewan yang berbahaya bagi manusia dan atau yang sangat merugikan secara ekonomis.

Agen penyebabnya adalah virus Newcastle Disease yang ganas (vvNDV) yang tergolong dalam Avian Paramyxovirus serotipe-1 (PMV-1), anggota dari familia Paramyxoviridae (Mayo, 2002). Dengan demikian, walaupun mempunyai banyak genotipe dan patotipe, namun secara ilmiah DAN sampai saat ini, virus ND pada unggas tetap saja hanya mempunyai SATU buah serotipe (PMV-1), baik itu yang berasal dari strain lentogenik, mesogenik ataupun velogenik (Gu dkk, 2011).

Seiring dengan perkembangan pengetahuan biologi molekuler, para peneliti dalam bidang virologi selanjutnya dapat mendeteksi struktur material genetik (genom) vvNDV tersebut, memetakan genotipenya kedalam pohon filogenetik atau diagram kartografi serta mempelajari hubungannya dengan manifestasi karakteristik biologisnya.

Selanjutnya, menurut Miller dkk (2009), material genetik alias rantai genom NDV mempunyai panjang kira-kira 15,2 kb yang menyimpan kode-kode genetik (codon) 6 buah protein penting dari partikel virus ND yaitu Nucleocapsid protein (NP), Phosphoprotein (P), Matrix protein (M), Fusion protein (F), Hemagglutinin-neuraminidase (HN) dan Large RNA-directed RNA polymerase (L).

Pada penelitian karakteristik biologis virus ND, ternyata protein F0 (yang merupakan prekursor F glycoprotein) dapat terpecah menjadi “trypsin-like enzymes” yang dapat memediasi fusi antara virus dengan membran sel induk semang target dan membantu virus masuk kedalam sel induk semang tersebut (Rott, 1979). Itulah sebabnya mengapa protein F mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan keganasan atau patogenisitas vvNDV saat proses infeksi terjadi.

Dengan demikian, ketika mencermati data penelitian yang membandingkan susunan asam amino protein F dan atau mencermati hasil data perbandingan material genetik via “DNA-sequencing” ANTARA virus La-Sota (strain lentogenik) dari vaksin ND yang selama ini dipakai DENGAN virus ND isolat lapangan (strain velogenik) yang notabene ganas, JELAS ada perbedaan yang signifikan, karena sudah sejak lama diketahui berbeda dalam hal keganasannya. Virus ND La-Sota yang tergolong dalam genotipe 2 sudah lama diketahui berbeda dengan vvNDV yang termasuk dalam genotipe 7.

Data ini jelas tidak perlu diperdebatkan lagi, tidak ada hal yang baru, namun yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungan antara tingginya ledakan kasus ND yang ada belakangan ini (kalau memang virusnya sudah lebih ganas) dengan efektifitas penggunaan vaksin ND yang beredar di lapangan? Tegasnya, apakah memang ada korelasi yang sangat positif antara pergeseran susunan protein F dengan ketidakberdayaan antibodi yang terbentuk dari vaksin ND yang beredar dilapangan sekarang? Atau ada hal lain yang lebih penting dalam menyikapi situasi seperti ini?

Paparan dari para peneliti secara lengkap disajikan oleh drh Tony Unandar dalam artikel ini, begitu juga Prevalensi Kasus ND, faktor-faktor status umum di lapangan, serta Rekomendasi Praktis Lapangan yang dapat dibaca secara lengkap di majalah Infovet edisi Januari 2012.

2012, RABIES HARUS CHECK OUT DARI BALI


Ada tiga faktor jika ingin membebaskan Bali dari rabies yaitu harus menciptakan GEMPAR dengan metoda PITERSELI yang disertai dengan DOA

Bali, sebagai daerah tujuan wisata mancanegara (wisman) dan wisata nusantara (wisnu) selalu menghendaki agar para wisatawan mau berlama-lama tinggal di Pulau Dewata ini untuk pemasukan devisa daerah. Tetapi, kalau yang berwisata ke Bali adalah virus rabies tentunya sesegera mungkin harus meninggalkan Bali, jangan sampai nantinya akan berperan sebagai bioterorisme. Sama dengan kasus rabies di Flores, ternyata virus rabies yang berwisata ke Bali ada dugaan kuat masuk bersama-sama anjing geladak dibawa nelayan Sulawesi Selatan berperan sebagai ‘alarm dog’, yang dapat membaca tanda-tanda alam selama pelayaran di lautan. Buktinya, DNA virus rabies berasal dari Bali sama dengan yang ada di Flores dan Sulawesi Selatan. Ironisnya, anjing tersebut, untuk pertamakalinya sempat menggigit Putu Linda gadis cilik berumur empat tahun pada tanggal 6 September 2008 di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung yang akhirnya 17 September 2008 Dinas Kesehatan Badung, melaporkan kalau Putu meninggal dengan ditemukannya luka tepat di bawah mata kanan dan pipi kiri akibat digigit anjing kampung milik Putu Suana.

Untuk mengetahui betapa pentingnya rabies ada di Bali, maka WHO, FAO, USAID, AusAID, WSPA dan jajaran Ditjenak keswan dan Kemenkes, menyelenggarakan World Rabies Day pada 28 September 2011 di Gedung Ksirarnawa Art Center. World Rabies Day (WRD) diperingati setiap tanggal 28 September di seluruh dunia. Perayaan ini pertama kali dicanangkan pada 28 September 2006 oleh Global Alliance for Rabies Control (GARC). Di Indonesia, peringatan WRD pertama kali tahun 2009 di Bali.
Kali ini, difokuskan kegiatan untuk sosialisasi model pencegahan dan pengendalian rabies secara terpadu (One Health) di Indonesia, serta apresiasi hasil pelaksanaan pencegahan dan pengendalian rabies khususnya untuk provinsi yang dapat mempertahankan status bebas rabies dan provinsi Bali dengan program vaksinasi masal rabiesnya.

Di Indonesia, terdapat 24 provinsi yang merupakan wilayah endemis rabies, ungkap drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, MM, Ph.D- Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Empat provinsi dibebaskan dari rabies, yaitu Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur (bebas rabies 1997) dan DKI Jakarta (2004). Ada lima provinsi yang tetap dapat dipertahankan bebas rabies, yaitu NTB, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat. Dalam rangka mencegah, mengendalikan dan memberantas rabies, Pemerintah Pusat telah mengalokasikan vaksin untuk manusia dan hewan bagi provinsi yang masih endemis. Adanya alokasi vaksin baik dari pusat maupun daerah akan mendorong keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan rabies menuju Indonesia bebas rabies 2020.

Bahkan, sejak wabah rabies tahun 2008, Pemerintah Australia telah membantu memberikan kontribusi 1,1 juta dolar Australia untuk memerangi penyakit yang sangat mematikan ini di Pulau Bali. Kematian manusia akibat rabies telah menurun 68 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, namun kita ingin melihat angka tersebut menurun sampai angka nol, ungkap Brett Farmer-Consule General Australia pada acara ini. Tanpa ada program vaksinasi masal seperti ini, masih ada kemungkinan epidemi tersebut akan terus berlanjut dan menjadi lebih sulit untuk ditanggulangi, ungkapnya lagi.

Eric Brum DVM-Chief Technical Advisor Control Implementation and System Development, FAO menambahkan, kontribusi ini tidak mengikat, bukan pinjaman atau hutang, tetapi bantuan cuma-cuma dari Pemerintah Australia kepada Indonesia. Pemerintah Australia akan terus mendukung Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan pengurangan dampak penyakit menular bermunculan, pada kesehatan manusia dan pembangunan ekonomi Indonesia, termasuk penyakit rabies.

Khusus Provinsi Bali, otoritas kesehatan hewan telah berkonsentrasi pada kegiatan vaksinasi anjing sebagai satu-satunya metode yang efektif untuk membebaskan Bali dari rabies, papar Ir. I Putu Sumantra, M.App.Sc-Kadisnak Provinsi Bali. Cakupan vaksinasi minimal 70 persen dari total populasi anjing harus dapat dicapai dan dipertahankan. Pelaksanaan vaksinasi masal ini mendapat dukungan dari dunia internasional melalui FAO, WHO, AusAID, USAID dan WSPA. Program vaksinasi masal rabies telah dilaksanakan dua kali, tahap pertama Nopember 2010 s/d Maret 2011 dan tahap kedua Mei s/d September 2011. Untuk tahap kedua berhasil memvaksinasi lebih dari 70 persen di tiap kabupaten dan menyisakan beberapa wilayah desa yang masih memerlukan penyisiran guna mencapai cakupan vaksinasi lebih dari 70 persen.

Vaksinasi masal tahap I dan II dinilai berhasil dan menjadi salah satu komponen penting dalam menurunkan kasus kematian pada manusia. Keberhasilan pemerintah provinsi Bali dalam program pengendalian dan pemberantasan rabies merupakan contoh yang baik dalam pelaksanaan kerjasama antar instansi dan merupakan bentuk pelaksanaan konsep one health. Keberhasilan ini akan dijadikan model dalam pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan rabies di provinsi lain di Indonesia. Provinsi Bali telah menjalankan KIAT VETINDO berupa sosialisasi, vaksinasi di sekitar lokasi dan eliminasi anjing dicurigai terinfeksi. Di samping itu juga dilakukan penandatanganan kesepakatan kerjasama (MoU) antara Gubernur Bali bersama-sama Walikota dan Bupati se Provinsi Bali dengan Yayasan BAWA (dukungan dana dari WSPA) di ruang rapat Gubernur Bali 20 September 2010.

Selengkapnya mengenai data total wilayah yang pernah tertular, sumber permasalahan serta program yang telah dilakukan sampai saat ini oleh pemerintah, selengkapnya dapat dibaca di Infovet edisi 207 Oktober 2011. info pemesanan dan berlangganan klik disini

Animal Welfare Jangan Hanya Sapi Impor ( Oleh: Robi Agustiar )

Kasus penyetopan impor sapi secara sepihak dari Australia beberapa waktu yang lalu cukup membuat kaget semua pihak di Indonesia. Hampir seluruh masyarakat, Peternak dan pejabat pemerintah membicarakan mengenai animal welfare.

Kasus tersebut bermula ketika penayangan sebuah acara di ABC Four Corners mengenai penyiksaan ternak sapi asal Australia di beberapa Rumah potong Hewan di Indonesia. Kasus itu segera membukakan mata semua pihak akan apa yang di sebut animal welfare atau kesejahteraan hewan.

Harian Pikiran Rakyat 21 Juli 2011 mengulas status rumah potong hewan (RPH) di beberapa daerah yang belum memilki akreditasi dan berakibat kepada pasokan daging sapi ke Jawa Barat semakin berkurang , hal ini semakin menambah orang awam bertanya mengenai animal welfare. Mengapa animal welfare bisa menyebabkan pasokan daging sapi menjadi terhambat ? dan apakah hanya sapi impor yang harus di perlakukan secara animal welfare ?

Animal welfare
Di Indonesia sendiri undang-undang yang mengatur mengenai animal welfare atau kesejahteraan hewan baru di buat pada tahun 2009, yaitu UU no 18 Tahun 2009 yang berbunyi “Segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang di manfaatkan manusia”.

Sedangkan menurut Dr. Tri Satya Putri Naipospos (2011) menyatakan bahwa Indonesia belum mengenal dan mengapresiasi prinsip-prinsip kesejahteraan hewan dalam sistem produksi ternak dan kesehatan hewannya. Dan faktanya sampai hari ini peternak ataupun stakeholder peternakan masih yang banyak belum memahami pelaksanaan dari kesejahteraan hewan, contohnya masih bisa di lihat pada proses tarnsportasi ternak antar daerah.

Belum lagi di beberapa daerah yang merupakan sentra konsumen seperti provinsi Jawa Barat dimana sapi impor memasok hampir 70 – 80 % kebutuhan daging. Tentu saja pembenahan infrastruktur di rumah potong hewan menjadi sesuatu hal yang harus segera di lakukan karena Indonesia telah melakukan nota kesepahaman dengan Australia mengenai penerapan kesejahteraan hewan dari ternak sapi yang di impor.

Bisa di bayangkan dengan stok sapi menghadapi bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri sejumlah 35.000 ekor yang berada di beberapa perusahaan penggemukan sapi, hanya terdapat 2 (dua) rumah potong hewan yang sedang melakukan proses akreditasi animal welfare yaitu di Kabupaten Subang dan Kabupaten Bogor. Bukan tidak mungkin harga daging di Jawa Barat akan melambung akibat jalur distribusi yang terhambat karena infrastruktur di rumah potong hewan.

Pelaksanaan Animal Welfare
Sebenarnya pelaksanaan animal welfare harus bisa memberikan keleluasaan hewan untuk mengekspresikan perilakuknya secara alami selama dalam proses produksi, dan sejak tahun 1979 dunia internasional sudah mengatur mengenai aspek pengaturan kesejahteraan hewan yang mengacu pada lima prinsip (five freedoms) di antaranya adalah; bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan/rasa menderita, bebas dari rasa sakit, cedera dan penyakit, bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas berperilaku alamiah .

Kebutuhan mengenai pembenahan terhadap animal welfare memang seperti berkejaran dengan waktu, tetapi pemerintah lupa bahwa sesungguhnya pelaksanaan kesejahteraan hewan ini harus di lakukan kepada seluruh ternak, bukan terhadap ternak impor semata. Perlakuan kesejahteraan hewan harus di lakukan kepada semua ternak produksi (unggas, ternak ruminansia, dan ternak monogastrik) , hewan kesayangan bahkan hewan konservasi sekalipun. Jadi hendaknya pemerintah, cq Kementerian Pertanian tidak hanya berupaya memperbaiki sistem, teknologi, infrastuktur dan sumber daya manusia (SDM) agar sapi impor bisa kembali di potong di Indonesia tetapi dilakukan pada seluruh rantai perdagangan ternak seperti alat angkut/transportasi dan pelabuhan pengiriman ternak.

Perlu segera menghidupkan kembali alat angkut ataupun transportasi ternak seperti kereta api pengangkut ternak sapi dan Kapal Laut yang khusus mengangkut ternak antar pulau. Membangun tempat istirahat yang yaman bagi ternak di setiap pelabuhan dan stasiun pengiriman ternak sapi sebelum pengangkutan. Sehingga Indonesia adalah negara yang mampu menerapkan prinsip kesejahteraan hewan secara benar dan utuh. Sungguh jangan biarkan Potensi ternak sapi dan kerbau Indonesia yang mencapai 15 juta ekor lebih (Hasil sensus ternak BPS 2011) menjadi mahal akibat transportasi dan infrastruktur serta belum mampu menganut kesejahteraan hewan.

Penulis adalah Sekjend PB ISPI,
Sekretaris 2 DPD PPSKI Jawa Barat dan Eksekutif Sekretaris Lembaga Studi
Pembangunan Peternakan Indonesia.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer