Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Adhpi Punya Pengurus Baru 2010-2015

Selaku Ketua Umum ADHPI (Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia) periode 2005-2010, Prof Charles Ranggatabbu MSc PhD mengungkap tentang peran ADHPI dalam konstelasi peternakan dan kesehatan hewan unggas. Dalam berbagai kesempatan berkomunikasi dengan dokter hewan luar negeri, Prof Charles mengungkap keberadaan ADHPI dan setidaknya ada 800 dokter hewan yang ahli perunggasan di Indonesia.

Begitu banyak peluang kerjasama guna memajukan peternakan perunggasan, contoh terkini adalah kepedulian PBB dengan Badan Dunia bidang pertanian FAO yang membiayai ADHPI mengumpulkan lebih dari 100 dokter hewan perunggasan dari seluruh wilayah Indonesia untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) guna reorganisasi dan pemilihan kepengurusan ADHPI periode 2010-2015.

Dalam pertanggungjawaban pada Munaslub ini, Prof Charles selaku Ketua Umum ADHPI periode 2005-2010 memaparkan berbagai kiprah ADHPI dalam berbagai peristiwa penting di tanah air Indonesia. Sebagai contoh, dipaparkannya, dalam wabah flu burung 2003 ADHPI sudah dihargai oleh pemerintah sebagai pendukung pengendalian AI. Anggota yang tergabung dalam Korwil daerah pun menyelenggarakan sosialiasi ke masyarakat luas.

Para pengurus ADHPI dengan integritasnya tak segan turut mengibarkan ‘bendera’ ADHPI meski mungkin acara itu tidak diselenggarakan secara langsung oleh ADHPI. Kegiatan yang dilakukan anggota dengan membawa nama ADHPI di dalam dan luar negeri itu seperti seminar dan workshop di berbagai tempat. Hal ini menjadi tanda betapa keberadaan ADHPI telah menyatu dalam diri pengurus mengingat peran penting yang dapat diemban.

Munaslub yang diselenggarakan pada Selasa 6 Juli 2010 di Jakarta sebelum acara Lokakarya Menuju Industri Perunggasan yang Berdayasaing Tinggi dan Sehat oleh FAO dan USDA itu berhasil memilih 7 (tujuh) orang formatur pengurus ADHPI periode 2010-2015. Mereka adalah Drh Taufik Junaedi, Drh Wahyu Suhadji, Drh Dedy Kusmanagandi MBA MM, Drh Joko Suseno, Drh Heru Achwan, Drh Iswandari serta Ketua Umum dan Sekjen ADHPI periode 2005-2010 Prof Charles Ranggatabbu MSc PhD dan Drh Hari Wibowo.

Ketujuh formatur ini akan memilih ketua dan sekjen baru yang akan menentukan pengurus baru dan menyusun program ADHPI selanjutnya setelah laporan pertanggungjawaban Ketua Umum ADHPI periode 2005-2010 tadi diterima secara aklamasi oleh forum. Para dokter hewan dari berbagai daerah baik yang menjadi pengurus atau bukan pengurus ADHPI 2005-2010 pun mengutarakan pendapat masing-masing terkait organisasi ADHPI.

Memang banyak peserta Munaslub yang pada periode 2005-2010 tidak terdaftar sebagai anggota namun dilibatkan dalam acara ini. Hal ini merupakan wujud kepedulian dokter hewan Indonesia terhadap perkembangan dunia perunggasan. Wujud kepedulian tersebut setidaknya dapat difasilitasi dalam organisasi ADHPI. Secara kelembagaan sendiri, ADHPI merupakan Organisasi Non Teritorial dalam organisasi induk PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia).

Dengan posisi ini maka dalam kegiatannya ADHPI tidak terlepas dari aturan main yang berlaku di PDHI. Untuk Anggaran Dasar, ADHPI menggunakan Anggaran Dasar PDHI, meski sesungguhnya AD ADHPI pernah dibuat sendiri pada Munas pertama saat pendiriannya di Yogyakarta pada 2005. Sedangkan untuk Anggaran Rumah Tangga, ADHPI menggunakan ART sendiri yang membedakannya dengan ONT lain.

Anggota Majelis Pendidikan dan Profesi Kedokteran Hewan (MP2KH) PDHI yang juga salah seorang pengurus ADHPI 2005-2010 Dr Drh Desianto Budi Utomo dalam sosialiasi hasil Mukernas PDHI tentang ONT memaparkan tentang ONT PDHI tersebut. Dengan aturan yang dimaktub dalam Hasil Mukernas ADHPI, ONT ADHPI ini mempunyai persimpangan jalan yang dirasakan oleh sebagian besar anggota.

Persimpangan jalan ini adalah apakah ADHPI akan dibawa ke arah sains atau ke arah kepentingan bisnis. Salah satu pendapat misalnya datang dari Drh Wahyu Suhadji Pengurus ADHPI dan juga Pengurus PDHI dari Makassar. Menurutnya yang juga Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan (FKMP) Sulsel, ADHPI tidak serta merta hanya bicara sains. Kalau menekankan kegiatan pada bidang sains, menurut Wahyu, sudah ada yang mengerjakan.
Menurutnya peran yang diharapkan untuk ADHPI adalah peran edukasi, peran advokasi, dan peran mengkritisi. “ADHPI harus menjadi garda terdepan untuk advokasi,” katanya.
Contoh pendapat lain datang dari Pakar Patologi FKH IPB Bogor Drh Hernomoadi Huminto MS yang menjadi peserta Munaslub. Ia berpendapat bahwa dari Munaslub itu terasa ada perbedaan dalam pengambilan kebijakan di ADHPI. Bila pendekatan pengambilan kebijakannya berangkat dari sisi ekonomi bisnis, menurutnya tidak mudah. Namun bila pengambilan kebijakan berangkat dari sisi dokter hewan, menurutnya cocok.

Organisasi yang mengurus dunia perunggasan memang begitu banyak baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebutlah sudah ada GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas) PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia), PPUN (Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara), ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia), GPMT (Gabungan Perusahaan Makanan Ternak), Pinsar UN (Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional), Forum Komunikasi Masyarakat Perunggasan (FKMP) Sulsel, dsb.

Peran keilmuan dokter hewan perunggasan pada organisasi-organisasi ini tampak sudah menyatu dengan bidang keilmuan yang bukan semata kedokteran hewan, namun juga bisnis. Menurut Drh Hernomoadi, apa yang dituangkan Dr Desianto sebagai wakil dari PDHI sudah mengisyaratkan tentang landasan keilmuan kedokteran hewan yang perlu diperkuat di ADHPI.

Penguatan landasan keilmuan kedokteran hewan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai perangkat organisasi yang dapat mengerucut pada peningkatan kualitas dan kompetensi dokter hewan spesialis perunggasan, sebagaimana dokter hewan spesialis lain sesuai dengan pemaparan hasil Munas PDHI.

Yang pasti, sesuai dengan yang diungkap dalam pertanggungjawaban Ketua Periode 2005-2010, ke depannya ADHPI mendapat tantangan program nasional kualitas perunggasan dan produk perunggasan. Mau ke mana ADHPI? Tentu semua optimis akan keberadaannya. (YR)

Fenomena Meningkatnya Kasus Necrotic Enteritis

Necrotic Enteritis (NE) merupakan jenis penyakit yang belakangan ini fenomenanya cenderung mengalami peningkatan kasus cukup signifikan dilapangan. Kasus NE tercatat banyak menimbulkan permasalahan pada peternakan ayam broiler modern, namun demikian cukup banyak juga dilaporkan terjadi pada peternakan ayam petelur komersial serta breeder (peternakan ayam pembibitan).

Kasus NE secara langsung menyebabkan gangguan fungsi sistem pencernaan, sehingga dinilai sangat merugikan secara ekonomis berkenaan dengan gangguan efesiensi pakan (FCR yang meningkat cukup signifikan) dan gangguan pertumbuhan serta sejumlah kematian. Dari sisi biaya yang harus dikeluarkan oleh peternak ayam broiler untuk pengobatan terhadap NE, untuk setiap ekor ayamnya dapat mencapai antara Rp 400 – 500 tergantung derajat keparahan penyakit, lama waktu pengobatan serta umur ayam saat dilakukan pengobatan.

Necrotic Enteritis merupakan salah satu penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri jenis Clostridium perfringens, dimana tergolong bakteri gram-positif, bersifat anaerobic, umum dapat ditemukan di tanah, litter, debu dan pada level yang rendah ditemukan dalam usus ayam sehat. Clostridium perfringens hanya akan menyebabkan NE bila karena kondisi yang mendukung dalam saluran pencernaan ayam, bakteri tersebut berubah sifat dari type yang tidak memproduksi toksin menjadi type yang mampu memproduksi toksin.

Beberapa type Clostridium perfringens

Terdapat lima type dari Clostridium perfringens (A, B, C, D and E) dimana mampu memproduksi sejumlah toksin seperti toksin: alpha, beta, epsilon, iota and toksin CPE. Alpha toksin dan enzim phospholipase C diyakini sebagai kunci penyebab terjadinya NE. Namun demikian dari studi yang dilakukan oleh pada ahli belakangan ini, isolat dari Clostridium perfringens yang tidak memproduksi alpha toksin tetap dapat menimbulkan terjadinya NE.

Sebagai tambahan, toksin yang disebut NetB belakangan ini diidentifikasi dapat menyebabkan terjadinya NE yang disebabkan oleh salah satu isolat Clostridium perfringens (Anthony Keyburn, CSIRO Livestock Industries Researchers).

Usus dari ayam yang terinfeksi Clostridium perferingens menjadi rapuh dan menggelembung disertai adanya timbunan gas dan lesi-lesi bersifat nekrosis yang menyebar cukup luas disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Clostridium perfringens tersebut. Pada kejadian yang bersifat akut, sering kali adanya kematian pada ayam yang terinfeksi tidak disertai adanya gejala klinis. Namun demikian pada bentuk yang subklinis, lebih banyak menimbulkan kerugian secara ekonomis berupa gangguan pertumbuhan dan problem efesiensi pakan.

Gejala klinis dan lesi

Gejala awal dari ayam yang mengalami infeksi Clostridium perfringens penyebab NE serikali nampak ayam mengalami diare dengan kotoran agak encer warna merah kecoklatan (seperti warna buah pepaya) disertai dengan cairan asam urat yang keluar bersama feces dan terkadang fecesnya bercampur dengan sejumlah material pakan yang tidak tercerna secara sempurna. Akibat terjadinya diare, litter nampak cepat basah dan cemaran ammonia jadi meningkat cukup tajam ada dalam kandang, sehingga dapat memperparah kondisi sakit dari ayam dan meningkatnya jumlah kematian. Pada ayam broiler, seringkali kasus NE dapat diamati cukup jelas saat memasuki umur 3 (tiga) minggu keatas.

Gangguan pertumbuhan (pertumbuhan melambat) dan problem efisiensi pakan (FCR jadi membengkak) disebabkan karena rusaknya dinding usus oleh toksin yang dihasilkan oleh infeksi Clostridium perfringens, dimana terjadi gangguan penyerapan nutrisi pakan oleh dinding usus. Contoh gambar dibawah menunjukkan tingkatan derajat lesi disebabkan oleh paparan Alpha toksin yang dihasilkan oleh infeksi Clostridium perfringens (derajat lesi dari tingkat 1 – 4), dimana semakin berat derajat lesinya, maka semakin berkurang nutrisi yang mampu diserap oleh dinding usus, sehingga sangat berdampak pada gangguan pertumbuhan dan membengkaknya FCR.

Secara khusus kasus NE yang bersifat sporadik seringkali dapat terjadi pada peternakan ayam, baik pada peternakan ayam broiler (pedaging), petelur komersial maupun breeder, dapat terjadi bila mana tidak digunakannya antibiotika yang berfungsi sebagai growth promoters atau problem infeksi oleh Emeria spp. penyebab Koksidiosis tidak terkontrol dengan maksimal, praktik manajemen pemeliharaan ayam dibawah standar (tidak sesuai dengan keinginan ayam modern), serta pakan dengan kandungan NSP (Non Starch Polisacharida = Karbohidrat bukan Pati) yang cukup tinggi dan sumber protein asal hewani yang cukup tinggi kandungannya dalam sediaan pakan.


Faktor Predisposisi teradinya Necrotic Enteritis serta Manajemen penanggulangan terhadap Necrotic Enteritis Disajikan secara khusus dan lengkap oleh Drh. Wayan Wiryawan Technical Advisor, Malindo Group pada majalah infovet edisi 193/Agustus 2010, info pemesanan dan berlangganan klik disini

CLOSED HOUSE, CARA MODERN TINGKATKAN PRODUKSI BROILER

Ayam pedaging atau broiler lebih bagus hasil produksinya pada kandang sistem closed house daripada ayam petelur dengan sistem sama. Peningkatan teknologi secara menyeluruh berdampak besar bagi peningkatan produksi. Tidak ada kata tidak untuk penggunaan sistem closed house buat pemeliharaan ayam pedaging dengan hasil terbaik.

Inilah suatu cara modern untuk meningkatkan produksi ayam pedaging secara signifikan. Degan cara ini tidak ada gangguan pemeliharaan ayam pedaging karena lingkungan lebih baik, tempat pemeliharaan lebih hemat, kualitas ayam lebih baik, angka kematian rendah, kondisi pertumbuhan ayam merata, dan penampilan ayam yang dihasilkan baik secara maksimal.

Cara ini adalah cara yang sudah dikenal masyarakat perunggasan Indonesia dalam dekade ini, dan kali ini ditegaskan oleh Sales Area Manager PT Sierad Industry Dhanang Purwantoro ST. Tak lain tak bukan, cara ini adalah sistem kandang tertutup atau lebih dikenal dengan closed house yang ternyata lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan ayam pedaging dibanding untuk pemeliharaan ayam petelur.

Bagaimana dan mengapa penerapan kandang tertutup lebih banyak khusus pada pemeliharaan ayam pedaging? Menurut Dhanang, secara penelitian, efek kandang tertutup untuk ayam pedaging menghasilkan perbedaan mencolok dibanding kandang postal dan kandang terbuka.
“Keberadaan, fungsi dan manfaat closed house pada prinsipnya tidak peduli kondisi daerah. Pada keadaan lingkungan daerah apapun, secara fleksibel kondisinya dapat diadaptasi oleh kandang tertutup,” tuturnya.

Akan tetapi, untuk pemeliharaan ayam petelur penggunaan kandang tertutup masih diteliti efektivitasnya. Secara keseluruhan, sedikit atau kurang dilakukan penelitian oleh berbagai pihak tentang dampak penggunaan kandang tertutup terhadap pemeliharaan ayam petelur.

Efektivitas pemeliharaan ayam petelur pada dasarnya tergantung produksi telur. Berdasar penelitian di Bali, Malang dan Tuban, penggunaan kandang tertutup untuk ayam petelur tetap berdampak pada pertumbuhan tubuh ayam, kurang berpengaruh untuk peningkatan produksi telur. Dari sedikit penelitian yang ada itu, hasilnya memang, “Ada perbedaan tapi belum signifikan, berbeda dengan untuk ayam pedaging yang hasilnya sangat signifikan atau berbeda nyata,” tegas Dhanang.

Menurut Dhanang Purwantoro, dengan kandang tertutup peternak bisa mengantisipasi segala musim. “Perbedaan musim panas dan musim penghujan dapat diatasi dengan penggunaan kandang closed house,” katanya. Dengan kandang tertutup, kondisi lingkungan bisa diantisipasi dengan baik. Bilamana suhu tidak panas, kondisi ayam tidak bermasalah, open house baik, closed house pun baik.

Hal ini berbeda dengan pemakaian kandang terbuka atau open house. Pada daerah panas seperti di Tuban Jawa Timur yang kondisi suhunya cenderung tinggi pada musim panas, pengaruh suhu panas sangat terasa. Kecenderungan suhu pada saat ini sebesar 32, 34, 37 derajat Celsius. Pada suhu lingkungan setinggi ini, ayam susah untuk berproduksi maksimal.

Sebaliknya pada musim banyak hujan, kelembaban sangat tinggi. Kondisi lingkungan memang antara lain mempengaruhi keberadaan lalat dan lain-lain. Pada peternakan open house kondisi berpengaruh buruk seperti ini sangat terasakan. Sebaliknya, dapat dikurangi dengan pemakaian kandang tertutup.

“Penggunaan closed house tetap efisien untuk menghadapi kondisi lingkungan ini,” ujar Dhanang. Memang pengaruh musim masih ada namun dapat dikata sedikit. Adapun kelembaban udara susah dikendalikan, namun demikian lebih banyak keunggulan kandang tertutup.

Kondisi kandang tertutup yang paling susah mengendalikan kelembaban ini lantaran pengaruh udara luar yang basah, di mana hujan terjadi secara terus-menerus baik siang maupun malam. Untuk menetralisir hal ini bagi kondisi dalam ruang, dibutuhkan heater atau pemanas ruangan untuk kandang tertutup.....................(YR)

Selengkapnya mengenai materi pembahasan diatas silahkan baca majalah infovet edisi 193/Agustus 2010, info pemesanan dan berlangganan klik disini

Broiler kian BERUBAH, bagaimana Manajemennya???

Secara nyata sifat ayam pedaging menurun atau berubah. Kondisi ideal atau keadaan yang tanpa kendala merupakan hal yang tidak mudah ditemui. Maka banyak faktor yang harus diperhatikan agar pertumbuhan ayam pedaging optimal. Tidak bisa dengan memakai manajemen peternak masa sebelumnya, manajemen di kandang menuntut peternak selalu menemukan hal yang baru dan lebih baik.

Technical Support di Tim Marketing PT Sierad Produce Tbk Sidoarjo Drh Mulyanto menyatakan penampilan ayam pedaging sudah berubah seiring dengan kemajuan rekayasa genetika yang diterapkan untuk mencipta bibit ayam pedaging unggul. Pendeknya, ayam pedaging modern telah menjadi hasil rekayasa genetika dengan tingkat pertumbuhan tubuh yang cepat.

Dari tahun ke tahun sifat ayam pedaging terus menyesuaikan perubahan ini. Guna mengoptimalkan kemampuan produksi ayam pedaging ini, sayangnya telah mengorbankan bagian lain, seperti sistem kekebalan tubuh. “Sistem imunologi akan dikorbankan,” kata Drh Mulyanto yang alumnus FKH Unair ini.

PETERNAK HARUS ‘IMPROVE’

“Peternak harus selalu ‘improve’, menyesuaikan dan sampai mendapatkan kecocokan dengan kondisi terbaru,” ujar Drh Mulyanto. Kalau perusahaan pembibitan menetapkan standar-standar tertentu dalam pemeliharaan ayam sesuai dengan masa-masa hidupnya seperti awal pemeliharaan, masa pertumbuhan dan masa panen, penerapan di lapangan, “Lebih membutuhkan kemampuan manajerial dari peternak,” tegasnya.

Lebih baik pada aplikasi di lapangan ini berarti peternak lebih disiplin. Di sisi lain hal ini butuh biaya yang berarti segala penyesuaian di lapangan butuh dana tambahan. Soal penyesuaian di lapangan ini, di antaranya adalah kondisi kandang dan lingkungan kandang yang berpengaruh sebesar 70 persen bagi keseluruhan pemeliharaan hingga produksi atau panen.

Hanya dengan cara ‘improve’ yang berarti memperbaiki, memajukan, mengembangkan, memanfaatkan semua hal yang baik guna perbaikan dan pengembangan seperti yang demikian, peternak dapat mengimbangi upaya-upaya perbaikan genetik ayam pedaging yang telah dilakukan para ahli guna menghasilkan produksi terbaik. (selengkapnya baca majalah infovet edisi 193/Agustus 2010)

MANAJEMEN PEMELIHARAAN AYAM PEDAGING DARI A-Z

Karena sekarang genetik ayam pedaging dipaksa harus tumbuh sesuai dengan keinginan peternak, mau tak mau kita jangan memberi fasilitas yang tidak memadai. Fasilitas harus memadai, antara lain, bibit sudah bagus, pakan harus bagus, dan manajemen juga harus bagus. Semua merupakan benang merah tebal, yang patut dipegang keteguhannya dalam manajemen pemeliharaan ayam pedaging dari A-Z.

Adalah Drh A Syaiful Hadi Research & Development PT Sierad Produce Tbk Sidoarjo yang menegaskan kembali tentang kondisi terkini ayam pedaging. Menurutnya, ayam pedaging modern mengalami perkembangan yang sangat signifikan dibanding masa sebelumnya.

Ambillah salah satu tolok ukurnya adalah angka konversi pakan (FCR, Feed Conversion Rate) alias angka daya kecernaan pakan. Diungkap oleh Drh Syaiful Hadi, FCR ayam pedaging yang dulu 2,2 kemudian menjadi 2,1, selanjutnya menjadi 1,9 bahkan saat ini mencapai 1,7. Perkembangan yang sangat drastis di bidang angka kecernakan pakan.

Pertumbuhan ayam pedaging yang berkembang dengan cepat sendiri memang selalu membutuhkan kecukupan zat gizi. Namun sebaliknya, bila zat gizi untuk pembentukan otot dan tulang tidak terpenuhi niscaya akan muncul gejala-gejala kelumpuhan. Maka, perubahan angka kecukupan beberapa mineral dan vitamin selalu mesti diperhatikan. Tak mengherankan, perusahaan pembibitan selalu membuat pencatatan pemberian pakan dan hasilnya pada penampilan ayam, untuk perbandingan penampilan ayam dengan standar penampilan ayam pedaging yang ada.

Manajemen pemeliharaan ayam pedaging dari A-Z berarti manajemen pemeliharaan dari masa DOC dalam pemanasan atau pengindukan buatan sampai masa panen. “Sebaik-baiknya kualitas DOC maupun pakan jika tidak disertai dengan manajemen pemeliharaan yang baik maka penampilan yang dicapai akan tidak optimal dan maksimal,” tegas Drh A Syaiful Hadi.(selengkapnya baca majalah infovet edisi 193/Agustus 2010)


BERHASIL DI PEMELIHARAAN AYAM PEDAGING DENGAN STRATEGI 4-4-3

Empat kunci sukses yang dimaksud adalah indikator bagi indeks prestasi pemeliharaan ayam pedaging yang baik yaitu bila angka konversi pakan (FCR) rendah, berat badan bagus, umur panen pendek, dan kematian kecil. Sementara 4 elemen strategis itu adalah bibit DOC (Day Old Chicken) yang baik, pola manajemen yang terukur dan teratur, pola pakan yang baik, dan program medikasi yang produktif. Ditambah lagi perhatian ekstra untuk 3 fase kritis kehidupan broiler yaitu fase saat ayam umur 0-12 hari, 12-21 hari dan 21 hari sampai panen.

Demikian diungkapkan Aria Bimateja SPt Sales Supervisor PT Sierad Produce Area Pare Kediri Jawa Timur saat ditemui Infovet disela customer gathering Sierad di Blitar.
Menurut Bima, demikian ia akrab disapa, kunci utama kesuksesan peternakan ayam pedaging ditunjukkan oleh kesuksesan di Indeks Prestasi atau Indeks Penampilan (Index Performance, IP). IP yang baik ini ditunjukkan oleh 4 indikator sebagai tolok ukur kesuksesan. 4 indikator bagi IP yang baik adalah bila angka konversi pakan (Feed Conversion Ratio, FCR) rendah, berat badan bagus, umur panen pendek, dan kematian kecil.

“Bagaimana mencapai 4 hal indikator itu semua secara baik? Dibutuhkan 4 elemen strategis,” ujar pria kelahiran 15 Desember 1980 ini. Menurutnya 4 elemen yang strategis itu adalah bibit DOC yang baik, pola manajemen yang terukur dan teratur, pola pakan yang baik, dan program medikasi yang produktif.

Aria Bimateja SPt memberi jaminan bila 4 elemen strategis tersebut dipenuhi secara disiplin, niscaya masalah penyakit ini dapat dieliminir, tertanggulangi dan dicegah. Dan lebih dari itu, 4 kunci sukses pemeliharaan ayam pedaging dapat dipenuhi guna produksi terbaik.


Selengkapnya mengenai materi pembahasan diatas silahkan baca majalah infovet edisi 193/Agustus 2010, info pemesanan dan berlangganan klik disini

Ajang Silaturahmi di INDOLIVESTOCK 2010

Indolivestock Expo & Forum bisa dikatakan telah menjadi ajang silaturahmi masyarakat peternakan terbesar di Indonesia. Hal ini sangat terasa dari perbincangan antar pengunjung baik di stand pameran, di area seminar maupun area lainnya. Banyak pengunjung yang sudah lama tidak bertemu dengan koleganya, dapat menjalin kembali silaturahmi dalam momen akbar ini.

Demikian halnya dengan Infovet. Sebagaimana Indolivestock Expo yang lalu dalam Indolivestock kali ini kami mengundang wartawan Infovet daerah yaitu Drh Untung Satriyo (Yogya), Drh Yonathan Rahardjo (Surabaya), Drh Masdjoko Rudiyanto MS (Bali), Sadarman, Spt, MSi. (Pekanbaru).

Dengan mengundang mereka ke arena Indolivestock, para wartawan daerah berkesempatan untuk melihat perkembangan dunia peternakan dan kesehatan hewan, sekaligus dapat bersilaturahmi dengan tim Infovet di Pusat. Kesempatan ini juga dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan peliputan khusus dari stand ke stand.

Kami pun berbagi tugas kegiatan. Ada yang melakukan liputan ke stand, liputan seminar, dan menjadi pemandu stand. Tak lupa setiap malam melakukan koordinasi sejauh mana rencana kegiatan yang telah disusun terealisasi. Hasil dari semua itu adalah artikel liputan khusus yang dapat anda simak dalam edisi ini.

Dalam pameran kali ini stand Infovet dan ASOHI digabung dalam satu unit stand. Dengan penggabungan ini stand menjadi lebih luas dan relatif lebih megah dibanding pameran sebelumnya. Selain itu para pengunjung juga dapat menikmati ”sajian” stand yang antara lain menampilkan tampilan data bisnis peternakan dan obat hewan, buku-buku terbitan Gita Pustaka, informasi kegiatan seminar dan training, serta informasi berlangganan majalah Infovet.

Informasi data bisnis peternakan dan obat hewan tampak sangat diminati para pengunjung dari kalangan pemerintah dan pebisnis. Beberapa pengunjung dari luar negeri sengaja memotret tampilan data tersebut untuk oleh-oleh ke negaranya. Bahkan Menteri Pertanian Ir Suswono seusai membuka acara Indolivestock Expo berkunjung cukup lama di stand kami ketika ditunjukkan data ekspor obat hewan yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam kunjungan ke stand tersebut Menteri Pertanian memberikan apresiasi khusus kepada ASOHI khususnya ke eksportir obat hewan melalui Ketua Umum ASOHI Drh Rakhmat Nuriyanto yang menyambut hangat kehadiran Mentan di stand kami.

Tampaknya, Indolivestock Expo bukan saja meningkatkan silaturahmi di antara kami, melainkan juga silaturahmi antara kami dengan Menteri Pertanian serta tokoh-tokoh peternakan dan kesehatan hewan lainnya. (*)

Mahasiswa FKH UGM Ingatkan Bahaya Global Warming

Masalah lingkungan sudah selayaknya menjadi sorotan berbagai macam pihak, bukan hanya beberapa kalangan atau lembaga yang bergerak dalam konservasi tetapi juga untuk semua lapisan masyarakat termasuk calon dokter hewan, hal itu mencuat dalam Seminar Nasional Global Warming yang diselenggarakan oleh BEM FKH UGM Yogyakarta pada Minggu 18 April 2010. Tema yang diangkat adalah dampak perubahan iklim terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Seperti yang diketahui bersama perubahan iklim merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi pada saat ini dan perubahan lingkungan ini tentunya juga berimbas pada kesehatan masyarakat baik dalam segi kedokteran maupun kedokteran hewan.

Kita bisa ambil beberapa kasus yang telah terjadi pada masyarakat pada saat ini, di DKI Jakarta hampir setiap tahun mengalami banjir, dan dikarenakan adanya perubahan iklim hal ini berdampak signifikan terhadap frekuensi volume air bah yang semakin lama terus meningkat. Selain itu dampak kesehatan yang lain juga timbul akibat bencana banjir, misalnya munculnya kasus leptospirosis yang merupakan salah satu penyakit zoonosis (dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya) dan berakibat buruk pada kesehatan masyarakat.

Ketua panitia seminar Muhamad Atma Setyadi mengatakan, “Kami mengadakan acara ini untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan mahasiswa tentang masalah lingkungan yang juga berefek pada masalah kesehatan masyarakat dan juga berpengaruh pada kesehatan hewan dan patut menjadi perhatian bersama.”

Pada sesi awal acara ditayangkan video dari Green Peace Indonesia tentang dampak global warming terhadap lingkungan yang dilanjutkan dengan pemberian materi dari Kementrian Lingkungan Hidup Ir. Sri Hudyastuti.
Sementara dr.Abidinsyah Siregar mewakili Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan materi tentang aspek kesehatan masyarakat dan disambung penyampaian oleh DR.Drh. Widagdo SN, M.P yang merupakan dosen dari Bagian kesmavet tanteng aspek kesehatan masyarakat veteriner.

Seminar juga diramaikan dengan aksi teatrikal yang persembahkan oleh VENA FKH UGM. Aksi ini membawa pesan bahwa semua lapisan masyarakat selayaknya juga turut menjaga lingkungan dengan baik dan dilanjutkan dengan diskusi interaktif. Acara diakhiri dengan penanaman pohon di lingkungan FKH UGM secara simbolis oleh Ir. Sri Hudyastuti dan pembagian bibit pohon kepada peserta. Acara ini juga dihadiri oleh berbagai elemen mahasiswa dari beberapa universitas diantaranya adalah UII, UPN dan UNY.

Menurut beberapa peserta, seminar ini merupakan acara yang baik untuk mahasiswa dan secara keseluruhan esensi yang ditampilkan dapat diterima dengan baik. Eka Yanuarti dan Annisa Ullyanni perwakilan peserta mengatakan, “Menurut kami seminar global warming merupakan ajang yang bagus untuk mahasiswa, karena dengan adanya kegiatan semacam ini kita lebih bisa mengerti tentang masalah peubahan iklim dan dampaknya terhadap masyarakat, secara global acara ini sangat bagus karena banyak dihadiri oleh peserta yang berasal dari luar FKH UGM.”

Harapannya kegiatan ini dapat berlanjut pada tahun-tahun berikutnya dan dapat lebih banyak menggugah kesadaran masyarakat untuk menjaga bumi ini dari pemanasan global. (red)

ALAT PEMANAS,BERMACAM-MACAM TAPI SATU TUJUAN

Kondisi ayam pun selalu segar. Tentu saja mesti dilengkapi dengan semua kebutuhan yang lain, tak terkecuali dan teristimewa dalam konteks ini: pemanas yang meski berbeda-beda wujudnya tetap bertujuan sama dalam sistem brooding alias sistem pengindukan.

Pemakaian minyak tanah sebagai bahan bakar pemanas untuk sistem pengindukan alias brooding pernah mendominasi kurang lebih 75 persen peternak di Indonesia. Sangat masuk akal, lantaran harga minyak saat disubsidi sangat murah dan mudah didapat. Investasi peralatannya pun relatif murah, oleh sebab pemakaiannya cukup banyak.

Pada saat itu pun banyak usaha skala industri rumah tangga yang memproduksi alat pemanas berbahan bakar minyak tanah sebagai sarana penunjang produksi peternakan. Namun saat ini, keberadaan minyak tanah susah didapat oleh para peternak yang sangat membutuhkan bahan bakar untuk pemanas dan pengindukan anak ayamnya.

Maka untuk lebih praktisnya, saat ini, “Banyak peternak menggunakan gas elpiji (LPG),” kata Drh Setyono Al Yoyok pemilik Pakarvet Citra Agrindo Malang perusahaan yang bergerak di bidang peternakan, obat-obatan dan bisnis alat-alat umum untuk peternakan.

Selain lebih praktis, papar Drh Yoyok (nama akrabnya), “Elpiji juga mempunyai keunggulan-keunggulan umum. Keunggulan itu antara lain dengan elpiji suhu lebih terkontrol, selain itu elpiji juga mudah diperoleh. Dibanding minyak tanah, elpiji lebih bagus, lantaran elpiji tidak banyak menyebabkan polusi udara dibanding minyak tanah.”

Saat ini, hampir semua breeding farm menggunakan bahan bakar gas sebagai pemanas untuk brooding. Paling mudah digunakan, sebagian besar peternak ayam petelur skala menengah dan besar meyakini bahwa gas paling aman digunakan sebagai pemanas brooding. Pemakaian gas untuk brooding memudahkan pengoperasian, pengaturan suhu, penyalaan dan pematiannya.

Itulah sumber bahan bakar untuk brooding. Sementara untuk alat pemanasnya sendiri, dari bermacam-macam brooder, yang paling disukai dan dianggap terbaik oleh peternak adalah Gasolec yang di antaranya dipasarkan oleh Medion, Agrinusa Jaya Sentosa, dan Mensana Aneka Satwa, selain dari yang terbanyak selama ini didatangkan secara impor.

Beredar secara umum di kalangan peternak, bahwa gasolec adalah alat penghangat DOC dengan bahan bakar gas elpiji. Ada yang bisa menghangatkan 800- 1000 ekor DOC.

Menurut banyak peternak, gasolec merupakan brooder yang paling mudah digunakan. Menjadi rahasia umum, hampir semua breeding farm menggunakan gasolec yang berbahan bakar gas sebagai pemanas untuk brooding. Adapun, gasolec juga diyakini oleh peternak skala menengah dan besar sebagai pemanas gas paling aman dibanding dengan pemanas dengan bahan bakar lainnya.

“Pemakaian gasolec memudahkan dalam pengoperasian, pengaturan suhu, penyalaan dan mematikannya,” kata peternak. Selain itu juga dikenal adanya kanopi yang terbuat dari seng dengan diameter 120 cm digunakan untuk lebih mengoptimalkan kerja dari gasolec.

Ada pula taktik peternak di lapangan peternakan untuk menghasilkan pemanasan yang terbaik dengan modifikasi. Yang ini, “Untuk efisiensi dan lebih irit,” kata Drh Setyono Al Yoyok. Modifikasi ini wujudnya adalah kombinasi menggunakan elpiji dan juga memakai kanopi sebagai alat pemanasnya. Bagusnya alat semacam ini, menurut Drh Yoyok adalah ada regulatornya.

Penghangat DOC berbahan bakar gas elpiji ini, di antaranya sudah dilengkapi kanopi berdiameter 100 cm, 2 meter slang, 1 buah regulator dan 2 buah klem slang yang bisa dipakai.

Selain itu ada pula penghangat DOC dengan bahan bakar batu bara, dilengkapi dengan kanopi salah satunya berberdiameter 100 cm. Penghangat DOC ini di antaranya bisa menghangatkan 500 ekor DOC.

Briket batubara sendiri merupakan bahan bakar padat berbentuk dan berukuran tertentu yang tersusun dari partikel batubara yang kokas maupun semikokas halus yang telah diproses dan diolah dengan daya tekan tertentu agar lebih mudah dimanfaatkan. Banyak pula peternak skala menengah dan besar menggunakan briket batubara sebagai pengganti minyak tanah dan gas.

Penghangat DOC dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah tak ketinggalan. Yang unik, penghangat ini di antaranya sudah dilengkapi dengan kanopi berdiameter 100 cm dan bisa dipakai untuk 500 DOC.

Diakui oleh alumnus FKH Unair ini, alat pemanas untuk brooder memang bervariasi. Begitulah variasinya, ada yang berupa kompor biasa, ada yang berbahan bakar gas elpiji, ada yang memakai bahan bakar arang, batubara, dan lain-lain. Semua ini lantaran, “Tingkatan peternak juga bermacam-macam,” kata Drh Yoyok.

Menurutnya, bagi peternak besar dan peternak sedang, brooding yang digunakan biasanya adalah gasolec. Adapun, peternak kecil yang kebanyakan merupakan peternak ayam pedaging, biasanya memanfaatkan sumber panas apapun yang ada termasuk kompor, arang, maupun kayu bakar.

Selain Alat Pemanas Juga
Harus Bagus

Selanjutnya dengan terpenuhinya sumber bahan bakar pemanas itu maka faktor-faktor yang lain di dalam masa brooding alias pemanasan pengindukan itu juga harus bagus. Faktor-faktor itu antara lain masalah layar, litter, dan air minum.

Adapun masalah-masalah dalam brooding menurut Setyono Al Yoyok juga dapat terjadi. Menurutnya, kegagalan brooding dapat menyebabkan timbulnya penyakit Kolibasilosis yang biasanya muncul pada, “Ayam usia mau panen,” katanya.

Kegagalan sistem pengindukan dan pemanasan ini jelas merugikan secara ekonomi. Bahkan akibat serangan kuman itu dapat pula memunculkan penyakit dengan gejala utama ayam ngorok. Penyakit itu, apalagi kalau bukan CRD (Chronic Respiratory Disease).

Dari banyak kasus penyakit yang muncul akibat kegagalan brooding itu, Drh Yoyok mengungkap bahwa yang paling dominan adalah Kolibasilosis. Secara berurut sebab akibatnya, ayam yang terserang penyakit ini dimulai dengan serangan-serangan fisik ayam kembung lantaran suhu dan tubuh terlalu dingin, temperatur brooding tidak sesuai dengan kebutuhan DOC.

Kondisi ayam yang demikian dapat berlanjut ayam mengalami asites. Kondisi buruk ini diperparah lagi dengan penyebaran kuman Koli di dalam air minum. Bilamana Escherechia coli ini masuk dan terus berkembang biak, sedangkan kondisi ayam buruk, tingginya kasus serangan Kolibasilosis pun tak terbendung.

Sebaliknya, kata Drh Setyono Al Yoyok, “Kalau brooding bagus, kasus Kolibasilosis minim.” Dan, lanjutnya, “Supaya pemanas pengindukan ini bagus, maka ada kondisi yang harus kita persiapkan.”

Dokter hewan yang berpengalaman di banyak tempat peternakan baik di sektor produksi maupun sarana produksi ini pun mengungkap persiapan yang diperlukan itu antara lain manajemen pemilihan waktu DOC. “Layar kandang harus diperhatikan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan di daerah Malang, sistem brooding yang diterapkan ada yang memakai sistem brooding termos. Dengan sistem ini tempat brooding bisa di bawah juga bisa di atas. Kandang dengan sistem ini, layar tertutup atau terbuka bisa separuhnya. Sementara yang separuh lagi juga bisa dibuka atau ditutup. Jadi, “Ada dobel layar,” ucap Yoyok.

Setelah pengaturan layar itu, brooding bisa disekat sesuai dengan kebutuhan. Adapun jumlah tempat makan atau tempat minum pun mesti diatur, supaya, “Saat DOC makan dan minum, tidak berebut,” kata Drh Yoyok. Ia pun menambahkan untuk pakan pemberiannya sedikit demi sedikit, dengan tujuan pakan tidak tumpah.

Dengan tidak tumpahnya pakan, dan ayam memakan secara bertahap akan memberi rangsangan nafsu makan, sehingga konversi pakan (FCR) pun akan menjadi yang terbaik. Kondisi ayam pun selalu segar. Tentu saja mesti dilengkapi dengan semua kebutuhan yang lain tersebut, tak terkecuali dan teristimewa dalam konteks ini: pemanas yang meski berbeda-beda wujudnya tetap bertujuan sama dalam sistem brooding alias sistem pengindukan. (red)

Wabah Rabies Mengilhami Ogoh-Ogoh

Bali sebagai daerah tujuan wisata sangat sarat akan budayanya. Tiada hari tanpa upacara, bahkan Bali itu sendiri diakronimkan sebagai propinsi banyak libur. Ini tidak bisa dipungkiri lagi, karena di dalam penanggalan yang khusus diterbitkan di Bali banyak ditemukan hari libur yang dikaitkan dengan keagamaan dan budaya, misal Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Tumpek kandang, Tumpek landep, Tumpek uduh, Pagerwesi, Sugihan Jawa, Sugihan Bali, dan lain-lain. Walaupun banyak libur masyarakat Bali tidak pernah kekurangan materi dan rejeki senantiasa ada, disukai wisatawan asing dan domestik, hidup rukun dan guyub sesama umat beragama.

Salah satu hari penting di Bali dan tidak ada duanya di dunia adalah peringatan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Çaka 1932. Umat Hindu diharapkan tidak makan dan minum (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) dan tidak melakukan kegiatan bekerja (amati karya) selama 24 jam.

Pada saat Hari Raya Nyepi tersebut, Bali bagaikan kota mati, gelap-gulita tanpa penerangan, tidak boleh ada orang bepergian, tanpa listrik bahkan siaran TV dimatikan. Walaupun begitu, saat malam menjelang Nyepi, jalanan di Bali sangat ramai dipadati orang, karena ada pawai ogoh-ogoh atau sering disebut sebagai malam pengrupukan.

Makna ogoh-ogoh bagi masyarakat Hindu merupakan simbolis dari peperangan antara nafsu baik (dharma) melawan nafsu buruk (adharma) yang akhirnya dimenangkan oleh nafsu baik dengan diakhiri pembakaran ogoh-ogoh pasca diarak keliling kota atau kampung.

Pembuatan ogoh-ogoh butuh kocek cukup banyak bahkan sampai puluhan juta rupiah. Salah satu ogoh-ogoh yang disajikan masyarakat Hindu mengambil tema rabies yang penampilannya sangat menggelitik. Sungguh ironis Bali-ku, masuknya wabah rabies akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Belum ada kepastian dari mana sumber rabies tersebut, apakah dibawa dari anjing ras pengidap yang berasal dari daerah rabies (NTT dan Jawa Barat) atau anjing yang dibawa oleh para nelayan Sulawesi berfungsi sebagai alarm dog. (mas djoko)

Meeting Nasional 2010 PT Medion

Pada tanggal 25 – 27 Februari 2010, PT Medion mengadakan Meeting Nasional 2010 yang bertempat di Hotel Amalia dan Hotel Grande, Bandar Lampung.
Meeting Nasional rutin diadakan tiap tahun dan diikuti oleh seluruh team marketing dari seluruh cabang di Indonesia. Presiden Direktur PT Medion, Jonas Jahja beserta istri, Amalia Jonas, juga hadir dalam pelaksanaan Meeting Nasional.

Meeting yang bertemakan Perusahaan Indonesia yang Inovatif dan Berkualitas ini, memiliki tujuan utama yaitu evaluasi pencapaian target penjualan tahun 2009 dan penetapan target penjualan di tahun 2010.

Dalam acara meeting tersebut perusahaan juga meningkatkan kompetensi team marketing dengan berbagai pelatihan. Drh. I Wayan Teguh Wibawan – dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjadi salah satu pembicara dalam acara pelatihan tersebut. Beliau menyampaikan topik differential diagnosa ND, IB dan AI.

Dalam kelas yang berbeda Bpk. Tony Unandar – Konsultan Teknis Peternakan menyampaikan topik yang sama dilengkapi dengan training management farm layer. Pelatihan lainnya yang tak kalah menariknya adalah pelatihan uji serologis dan biosekuriti yang disampaikan oleh Ibu Melina Jonas dan Drh. Budi Purwanto, Team Management PT Medion.

Pada malam kedua, Acara Penghargaan Prestasi dan Anugerah Bakti turut mewarnai rangkaian acara Meeting Nasional ini. Dimeriahkan oleh penampilan para peserta meeting dengan berbagai kesenian membuat suasana malam itu bertambah meriah. Sebelum kembali ke wilayah kerja masing-masing, panitia mengajak peserta berwisata ke Pantai Mutun untuk relaksasi bersama.

Setelah mengikuti acara ini, diharapkan team marketing akan lebih kompeten dan bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Sukses Medion!. (Inf)

Unjuk Rasa Pedagang Ayam Menolak Berlakunya Perda No. Tahun 2007

Siang itu sekitar 2.000 pedagang ayam dan mahasiswa memblokir Jalan Kebon Sirih dan Jalan Medan Merdeka Selatan. Mereka menuntut pembatalan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 mengenai peredaran unggas di Jakarta serta melempari Kantor DPRD dengan bangkai ayam.

Para pedagang ayam dari berbagai wilayah berkumpul di depan Kantor DPRD di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (23/3), untuk menuntut DPRD agar serius dalam meminta penundaan relokasi tempat pemotongan ayam yang tersebar di berbagai lokasi. Sebelumnya, DPRD mengirimkan surat penundaan relokasi, tetapi diabaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Karena tak ada anggota DPRD yang menemui para pengunjuk rasa, massa mulai marah dan memblokir jalan. Mereka juga memotong ayam dan melemparkan beberapa bangkai ayam ke dalam halaman kantor itu. Alhasil kemacetan parah terjadi di Jalan Kebon Sirih karena pemblokiran jalan. Lalu lintas dialihkan melalui Jalan Sabang.

Massa akhirnya pindah ke depan Balaikota DKI dan memblokir Jalan Medan Merdeka Selatan. Mereka kembali menuntut pembatalan revisi atau pembatalan Perda No 4/2007. Perda itu mewajibkan semua penampung dan pemotong ayam masuk ke lima rumah potong ayam (RPA) yang disiapkan pemerintah.

Wuryono, salah satu pedagang ayam, mengatakan, relokasi itu akan mematikan banyak usaha pemotongan ayam tradisional. Pedagang ayam Kalideres khawatir pemusatan RPA akan meningkatkan biaya dan berdampak pada mahalnya harga jual.

“Perlu tambahan biaya untuk membayar angkutan ayam dari RPA ke pasar tempat saya berjualan. Modal yang keluar juga lebih besar karena saya harus beli es batu dan tempat khusus untuk mewadahi ayam. Tambahan biaya itu akan membuat harga jual ayam lebih mahal sampai Rp 2.000 per ekor,” kata Wuryono.

Di Balaikota DKI Jakarta, perwakilan pengunjuk rasa diterima Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian Mara Oloan Siregar serta Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Edy Setiarto.

Kepada kedua pejabat itu, Ketua Perhimpunan Pedagang Unggas Jakarta Siti Maryam meminta perda peredaran unggas direvisi dan jaminan tidak ada razia penampungan dan pemotongan ayam tradisional. Para pedagang juga akan mogok berjualan pada 23-25 Maret.

Mara Oloan mengatakan, selain mencegah penyebaran virus flu burung, pemusatan RPA juga dapat untuk mengatasi isu penggunaan formalin dan penjualan ayam bangkai atau mati kemarin (tiren). Semua penampung dan pemotong ayam juga akan diberi tempat di RPA. Dengan demikian, tidak ada pedagang ayam yang kehilangan pekerjaan.

Kepada massa pengunjuk rasa, Edy Setiarto mengatakan, pemerintah menjamin tidak akan ada razia besar-besaran terhadap pemotongan ayam tradisional pada 24 April. Pihaknya akan memperluas dan memperbaiki sosialisasi mengenai relokasi tempat pemotongan ayam tradisional.

“Kita datang ke sini untuk menolak Perda Nomor 4 tahun 2007 dan rencana relokasi rumah pemotongan ayam oleh Pemprov DKI,” kata perwakilan Asosiasi Pedagang Unggas asal Jakarta Barat Yadianto saat berorasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu.

Salah seorang pedagang ayam dari Cempaka Putih Sofyan Sofwan mengatakan bahwa aturan relokasi RPA ke lima tempat resmi yang ditunjuk Pemprov DKI itu akan mematikan banyak pedagang ayam kecil yang ada di Jakarta. Salah satu alasannya adalah bahwa untuk melakukan pemotongan di RPA resmi misalnya di Rawakepiting, dibutuhkan jumlah ayam minimal 500 ekor untuk bisa “booking” (memesan tempat) pemotongan.

“Setiap potong dipungut 75 perak. Kalau jumlahnya kurang harus berkelompok, padahal kami adalah pedagang kecil,” ujarnya.

Selain itu, para pedagang disebutnya hidup dari pesanan ayam potong yang unik atau khusus dari para pelanggannya. Sofyan mencontohkan ada perbedaan dari pemesanan ayam potong, sesuai dengan kebutuhan.

“Kalau orang Medan, mereka minta darahnya juga. Setelah dipotong kemudian dikasih jeruk untuk melihat kualitas ayam. Sedangkan pelanggan dari etnis China minta darah untuk sesaji,” ujarnya.

Dengan pemesanan yang unik itu maka jika pemotongan dilakukan di RPA resmi dikhawatirkan para pedagang itu akan kehilangan pelanggan mereka. Selain itu, penerapan Perda itu juga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih luas kepada pemasok ayam dari daerah-daerah luas Jakarta seperti Cilacap, Yogyakarta, Indramayu dan daerah pinggiran Jakarta.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan antisipasi terhadap ancaman virus H5NI (flu burung) di wilayahnya dengan menerapkan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas di Ibukota Jakarta.

Dalam Perda tersebut, pada April 2010 mendatang seluruh pemotongan ayam yang ada di Jakarta akan direlokasi ke lima RPA resmi di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada lagi tempat pemotongan dan penampungan ayam di pemukiman penduduk.

Kelima RPA resmi itu masing-masing adalah RPA Rawakepiting di Kawasan Industri Pulogadung, RPA Pulogadung di Jl Palad, RPA Cakung di Jl Penggilingan (Jakarta Timur), RPA Kebun Bibit, di Petukanganutara, Jakarta Selatan dan RPA Ekadharma di Jl Ekadharma, Srengseng, Jakarta Barat.

Relokasi Pedagang Ayam Ditunda
Sebelumnya perjuangan para pedagang dan pengusaha ayam yang beberapa kali menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menuntut penolakan relokasi sempat mendapat angin segar. Ya, setidaknya hal tersebut tercermin dari sikap DPRD DKI Jakarta yang merekomendasikan untuk menunda pelaksanaan relokasi hingga September mendatang.

Padahal, pelaksanaan relokasi pedagang ayam di pasar-pasar tradisional dan pemukiman seyogyanya akan dilakukan pada April. Penundaan relokasi bertujuan memberikan waktu kepada DPRD bersama eksekutif dan perhimpunan pedagang ayam serta pakar perunggasan untuk bertemu menelaah dan mengkaji pasal-pasal dalam Perda No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas serta Pergub No 1909 Tahun 2009 tentang Lokasi Penampungan dan Pemotongan Unggas.

Rekomendasi tersebut muncul saat pertemuan antara Komisi B DPRD DKI Jakarta dengan Himpunan Pedagang Unggas Jakarta bersama Kepala Dinas kelautan Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Edy Setiarso, di ruang rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (15/3).

Hampir terjadi kericuhan saat pertemuan tersebut berlangsung lantaran pedagang ayam merasa tidak puas dengan keputusan Komisi B untuk memberikan surat jaminan keamanan bagi para pedagang agar tidak mengalami intimidasi dari berbagai pihak. Beberapa pedagang berebutan menginterupsi Ketua Komisi B, Selamat Nurdin, yang akan menutup jalannya pertemuan. Namun, suasana tegang mencair setelah Selamat Nurdin memberikan kesempatan lima pedagang berbicara menyampaikan aspirasinya.

Selamat Nurdin menegaskan, Komisi B telah melayangkan surat rekomendasi tentang penundaan pelaksanaan relokasi pedagang ayam pada April mendatang serta akan melakukan telaah dan kajian terhadap isi Perda No 4/2007 dan Pergub No 1909 tahun 2009 kepada Ketua DPRD DKI Jakarta Ferial Sofyan. Alasan penundaan relokasi dikarenakan aspirasi dari pedagang. Selain itu dari hasil pantauan persiapan di lapangan, lima rumah pemotongan ayam resmi belum maksimal atau belum siap seratus persen.

“Jadi kita surati Ketua DPRD agar segera menyurati Gubernur untuk menunda enam bulan sampai menunggu analisa konten Perda dan Pergub bersama denga para pakar perunggasan dan perwakilan pedagang ayam,” ujar Selamat Nurdin, di ruang rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (15/3).

Analisa konten Perda dan Pergub ini dilakukan karena kedua peraturan tersebut tidak bisa dibatalkan dengan tiba-tiba, melainkan harus ada mekanisme yang harus dilalui terlebih dahulu. Misalnya melalui penelahaan dan pengkajian secara objektif dari sisi sosial dan ekonomi. Jika ternyata tidak signifikan pelaksanaan relokasi, maka Perda harus diubah dan Pergub No 1909 tahun 2009 bisa batal.

Selamat menegaskan Perda No 4 tahun 2007 merupakan produk hasil kerja sama antara dewan dan pemprov, sehingga penyelesaian permasalahan ini tidak hanya dapat diselesaikan ditangan Pemprov DKI saja.

Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Edy Setiarto mengajak kepada seluruh pedagang ayam untuk bertemu dan membahas pelaksanaan Perda dan Pergub tersebut. Menurutnya, relokasi menguntungkan baik dari faktor unggas, pengusaha atau pemotong ayam, konsumen, dan lingkugan sekitarnya.

“Rencana ini sudah dipertimbangkan dengan matang supaya tidak saling membunuh. Makanya pedagang ayam akan disatukan dan dibina. Relokasi justru mengangkat pengusaha dan lingkungan sekitar begitu juga dengan kualitas ayam,” kata Edy.

Sedangkan Ketua Himpunan Pedagang Unggas Jakarta, Siti Maryam, mengatakan, relokasi pedagang ayam akan menambah biaya usaha, karena harus membeli tambahan alat pendingin, tenaga ekspedisi, dan tenaga packing (kemas). Dikhawatirkan dengan adanya relokasi, puluhan ribu pedagang ayam beserta dengan karyawannya akan mengalami penutupan usaha, akibatnya menambah jumlah pengangguran di Jakarta.

Karena itu, dia mengajukan pasal-pasal yang harus direvisi dalam Perda No 4 Tahun 2007 yakni pasal 2 tentang kondisi kandang harus berjarak 25 meter dari pemukiman. “Peraturan itu hanya berfungsi kepada peternakan ayam bukan untuk pedagang ayam. Karena biasanya ayam di pasar akan habis dalam dua hari,” ungkap Siti. Selain itu, pasal 3 tentang tindakan penutupan dan penyitaan unggas pangan, kemudian pasal 6 dan 7 serta pasal 13 dan 14 tentang sanksi berupa denda dan kurungan juga dinilai terlalu berat oleh para pedagang dan perlu dilakukan revisi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri kembali menegaskan rencana penundaan penertiban tempat penampungan dan pemotongan unggas di luar ketentuan pemerintah. Razia ini tadinya akan dilaksanakan pada 24 April 2010 sebagai aplikasi Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas dan Keputusan Gubernur Nomor 1909 Tahun 2009 tentang lokasi penampungan dan pemotongan unggas.

“Sebelum tercipta win-win solution (dengan pedagang), pada 24 April tidak akan dipaksa dan dijamin tidak ada eksekusi pedagang ayam,” kata Asisten Perekonomian dan Administrasi DKI Jakarta Mara Oloan Siregar.

Edy Setiarto menambahkan pada 24 April para pedagang diminta tetap melakukan aktivitas seperti biasa sambil menunggu tuntasnya diskusi mengenai perunggasan antara DPRD, Pemprov, dan perwakilan pedagang.

Sebelumnya, Komisi B DPRD DKI Jakarta merekomendasikan kepada Pemprov DKI untuk menunda pemberlakuan Perda Nomor 4 Tahun 2007 dan Keputusan Gubernur Nomor 1909.

Selama penundaan, pemerintah diminta menelaah kembali semua dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh perda terhadap para pedagang dan pemotong unggas. “Kami minta waktu enam bulan, dari April hingga September untuk mengkaji perda, yang salah satunya mendatangkan ahli untuk melakukan analisis obyektif,” kata Ketua Komisi B Selamat Nurdin.

Mogok berjualan
Aksi mogok berjualan yang diterapkan pedagang ayam juga terlihat dampaknya. Puluhan los pedagang ayam di Pasar Grogol dan Cengkareng, Jakarta Barat, serta Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, kosong. Di Pasar Grogol, dari 50 pedagang ayam, hanya satu pedagang yang tetap berjualan. Di Pasar Cengkareng, semua los pedagang ayam dan pedagang ayam goreng tutup.

Mamun, pedagang ayam di Pasar Cengkareng, mengatakan, mereka mogok berjualan sebagai bentuk protes dengan rencana pemusatan RPA. Pemogokan itu membuat para konsumen ayam kebingungan mencari daging ayam. Eko (36), pedagang kaki lima di Grogol, mengaku mendatangi Pasar Grogol dan Cengkareng, tetapi sama sekali tidak mendapatkan ayam.

Di Pasar Jatinegara, para pedagang ayam meminta pemerintah mengajari mereka untuk menciptakan RPA kecil yang sesuai standar kesehatan. Fahrur Rozi, pedagang ayam, mengatakan, mereka akan patuh jika pemerintah membina dan memberi standar RPA yang steril. Mereka juga mau membayar retribusi yang masuk akal asalkan diizinkan mempunyai RPA yang dekat dengan pasar tempat mereka berjualan.

Menurut Ihsan, pedagang ayam di Petak Sembilan, Jakarta Barat, jarak RPA yang dekat dengan pasar dibutuhkan untuk mengurangi biaya angkut. Selain itu, kedekatan RPA dan pasar juga dibutuhkan agar tidak banyak waktu terbuang untuk pengangkutan sehingga daging ayam tetap segar saat dijual. (wan)

Swasembada Daging: Obsesi Atau Kebutuhan?

Ada 15 komoditi yang menjadi katalis bagi pengembangan dunia agribisnis di Indonesia diantaranya beras, kedelai, jagung, gula, kopi, kakao, sapi, ayam, tuna, udang, mangga.

“Perlu harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan. Roadmap perlu terintegrasi dari hulu hingga hilir hingga produk-produk pertanian kita memiliki nilai tambah. Terkait sapi dan daging, Indonesia pernah mencapai prestasi mengekspor daging ke Hongkong. Strategi ke depan bagaimana swasembada daging dengan peningkatan populasi sapi potong dan sapi perah. Penting pula bagi kita bagaimana cara meningkatkan kemampuan meningkatkan populasi. Untuk itu butuh kebijakan yang efektif agar kendala-kendala seperti industri pembibitan, industri pemotongan dan industri pengolahan daging serta berbagai industri sampingannya,” demikian dikatakan Juan Permata Adoe (KIBIF) saat talkshow Swasembada Daging: Obsesi atau Kebutuhan? yang digelar dalam rangkaian Agrinex 2010 di Jakarta Convention Center.

irjen Peternakan, Tjepy D Sudjana yang berkesempatan hadir pada saat itu menegaskan sebenarnya kita optimis swasembada daging. Potensi kita cukup besar untuk itu. Dicontohkannya, lahan-lahan kita untuk mendukung budidaya sapi sangat besar. Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menciptakan situasi kondusif bagi peternak sapi di Indonesia untuk maju dan berkembang.

Yudi Guntoro Noor (Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia/ISPI) mengatakan dibanding ternak ruminansianya lainnya, sapi merupakan ternak yang siklusnya panjang. “Jika hari ini kita makan sop buntut, maka tiga tahun setelahnya baru bisa dihasilkan sapi penggantinya,” tandasnya. Menurutnya, selain peternak, bibit ternak dan teknologi pakan merupakan hal-hal penting dalam pewujudan swasembada sapi.

Seorang peserta talkshow asal Banyumas, Sukirno menyoroti tentang limbah/kotoran sapi yang selama ini belum banyak dimanfaatkan untuk pupuk. Ia mengisahkan pengalamannya dalam mengolah limbah sapi dengan menggunakan mikroba menghasilkan produk yang dibranded-nya sebagai “Pusaka Alam” sebagai cairan nutrisi untuk tanaman.

Forum Peternak Sapi Indonesia pun turut memberikan masukan-masukan berharga dalam pengembangan sapi di Indonesia, serta mengharapkan dukungan pemerintah bagi peternak-peternak sapi di Tanah Air.

Dipandu oleh Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Dr. Luki Abdullah, talkshow ini berjalan sangat menarik. Hal ini dibuktikan dengan antusiasme peserta untuk berdiskusi tentang topik peternakan ini. (wan/ipb)

PERLUKAH KOMISI NASIONAL ZOONOSIS ?







oleh:
Drh Abadi Soetisna MSi,
Ketua Dewan Kode Etik ASOHI

Terdengar kabar bahwa Komisi Nasional (Komnas) Flu Burung akan berakhir masa kerjanya pada 13 Maret 2010 atau dengan kata lain akan di-stamping out. Salah satu alasan dibentuknya Komnas Flu Burung adalah untuk mengatasi segala permasalahan flu burung dan alhamdulillah sampai sekarang flu burung masih ada di Indonesia.

Flu burung adalah salah satu penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menyerang hewan dan manusia. Artinya penyakit tersebut dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya dari manusia ke hewan.

Penyakit zoonosis ini dapat disebabkan oleh virus misalnya Rabies, Avian Influenza (AI); dan bakteri misalnya Anthrax, Tuberculosis (TBC). Hewan yang diserang Rabies diantaranya anjing, kucing, kelelawar, dll. Hewan yang diserang AI diantaranya adalah unggas. Hewan yang diserang Anthrax diantaranya adalah mamalia seperti kuda, sapi, kambing, dll. Sementara hewan yang terserang TBC contohnya adalah sapi.

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa jika Komnas Flu Burung diakhiri padahal A I masih banyak di Indonesia maka bagaimana kalau Komnas Flu Burung ini dilanjutkan atau ditingkatkan kapasitasnya menjadi Komisi Nasional Zoonosis yang aspeknya lebih luas dan penting bagi nasional dan internasional.

Sudah barang tentu dalam Komnas Zoonosis yang akan dibuat ini perlu mengkaji dengan baik agar “kegagalan/kesalahan” yang dibuat pada Komnas Flu Burung tidak terulang lagi. Jadi diperlukan penyempurnaan organisasi kelembagaan. Untuk itu persiapannya harus mantap, antara lain:

  1. Perlu jejaring (networking) yang baik antar lembaga terkait, misalnya antar lembaga pemerintah seperti Kementrian Kesehatan sebagai public health, Kementrian Pertanian sebagai aspek kesehatan hewan dan Kementerian Perhubungan sebagai aspek transportasi. Dukungan networking juga harus kuat diantara stakeholder seperti pemerintah, RS Umum, perusahaan swasta, asosiasi peternak, asosiasi obat hewan, organisasi profesi seperti IDI, PDHI, dll.
  2. Bagaimana birokrasinya? Hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus baik, jangan sampai akibat otonomi daerah peraturan pemerintah pusat tidak berlaku di daerah
  3. Masalah sumber daya manusia (manpower), harus dipilih “the right man on the right place” . Jadi pejabat atau petugas yang memegang wewenang haruslah dipilih orang yang sesuai dengan kepakarannya, akuntabilitas, dan dedikasinya bukan atas dasar pertemanan atau politik.
  4. Kemudian diperlukan “bridging” atau penjembatani antara Pemerintah-Rakyat-Swasta. Orang ini haruslah yang mumpuni bukan sekadar mankus – ‘manusia rakus’.
  5. Kebijakan (Policy) yang digariskan oleh Pemerintah harus jelas dan tegas! Tujuannya apa, TORnya bagaimana, kemudian institusi yang dibuat sampai sejauh mana independensinya tapi jangan kebablasan terlalu merdeka. Buat alur kerja, hak dan kewajiban setiap kompartemen. Siapa bertanggung jawab terhadap apa.
  6. Pendanaan (Finance), memang uang bukan segalanya, tapi tanpa uang sulit untuk berbuat. Diperlukan kajian strategis berapa banyak anggaran yang diperlukan. Kemudian berapa banyak anggaran yang dapat disediakan, siapa yang mendanai. Bagaimana cara penggunaannya supaya tidak terjadi kebocoran pendanaan. Bagaimana carapertanggungjawaban penggunaan keuangan.
  7. Pencatatan (Recording), yang perlu ditata yaitu database yang meliputi data populasi hewan (sensus hewan), data populasi manusia, peta penyakit, daerah endemik, sistem transportasi, dll. Database ini pula sebagai landasan pijakan sebelum bertindak untuk mencapai tujuan. Upaya penanggulangan mau dimulai dari mana dari aspek manusianya atau hewannya.
  8. Sistem informasi, sangat penting karena kesenjangan informasi antara Pemerintah, Swasta dan Rakyat dapat menimbulkan penafsiran yang salah, kecurigaan dan sebagainya. Jangan menyepelekan penyakit, tetapi jangan menakut-nakuti. Perlu ditanamkan kewaspadaan rakyat terhadap penyakit, penyebabnya, cara mencegahnya, dll. Kepentingan informasi berkaitan dengan database misalnya penyakit apa saja. Yang sudah ada di Indonesia, didaerah mana, SOP pemberantasan, institusi yang berhak men-declare menyatakan bahwa ada/tidaknya penyakit zoonosis.
  9. Perlu dilakukan dH-akukan pelatihan dan penyuluhan (continuing sustainable education) sehingga rakyat tidak lengah terhadap penyakit.
  10. Tim evaluasi dan pengawasan supaya segala tindakan dapat ditelusuri dan dapat diantisipasi kesalahannya.

Menurut saya Komisi Nasional Zoonosis ini akan lebih baik bila dikoordinasikan oleh Menkokesra yang notebene membawahi Menkes, Mentan, dll. Tetapi perlu diingatkan bahwa posisi Ketua, Wakil Ketua dan Sekjen haruslah dari kalangan Dokter Hewan yang berlatar belakang keahlian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Sedangkan dari pihak Depkes harus ada dokter manusia yang berlatarbelakang publichealth.

Dan jangan lupa diperlukan ahli farmakologi veteriner dan ahli farmakologi manusia untuk menentukan obat dan vaksin yang diperlukan untuk menghilangkan atau membebaskan Indonesia dari penyakit zoonosis.

Saya rasa perlu juga disana ahli ilmu epidemiologi baik epidemiologi penyakit hewan maupun penyakit manusia dan dokter praktisi baik hewan maupun manusia. Diharapkan sekali Komisi ini jauh dari hiruk pikuk politik, sehingga kinerjanya benar-benar profesional, berdedikasi untuk membebaskan Indonesia tercinta dari penyakit zoonosis yang mengerikan.

Mudah-mudahan Komnas Zoonosis ini banyak berguna bagi rakyat dan bangsa Indonesia bukan sekadar lembaga pemborosan uang negara.(red)

Kunjungan Para Tokoh Senior


Dalam beberapa hari berturut-turut di bulan Maret ini Infovet kedatangan tamu-tamu terhormat, antara lain Dr. drh Soehadji, Dr. Drh Sofjan Sudardjat, Pramu Suroprawiro, serta Drh Abadi Sutisna Msi.

Kami sebut tamu terhormat karena keempat tokoh ini bisa kita katakan sebagai simbol manusia sukses sekaligus manusia langka. Soehadji adalah manusia langka karena karirnya dimulai dari pedalaman Kaltim di tahun 1960an kemudian menanjak terus dengan cemerlang hingga mencapai posisi nomor satu di Ditjen Peternakan selama 8 tahun.

Dr drh Sofjan Sudarjat, MS adalah yuniornya yang sekaligus penerusnya. Dia dijuluki sebagai Dirjen Peternakan satu abad, yaitu menjadi Dirjen di abad 20 dan berakhir di abad 21. Ia menjadi Dirjen di masa Presiden Habibie, kemudian Gusdur, hingga Megawati. Pada saat yang sama ia menjadi Dirjen sejak Menteri Pertanian Prakosa, Soleh Solahudin, hingga Bungaran Saragih. Biasanya satu Menteri gonta-ganti Dirjen, Sofjan justru sebaliknya, satu Dirjen gonta ganti Menteri, bahkan gonta ganti presiden. Begitulah kami sering berkelakar penuh kebanggaan. Soehadji dan Sofjan Sudardjat adalah dua di antara lima pendiri ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia)

Bagaimana dengan Pramu Suroprawiro? Ia manusia langka bukan saja karena otodidak, melainkan karena kegigihannya menjadi pengusaha di daerah. Di usianya yang sudah 78 tahun, ia masih mampu menyetir mobil sendiri dan senang bersilaturahmi ke sahabat-sahabatnya, termasuk di Infovet. Dia mengaku pengusaha kuni alias jadul. Justru ini yang menarik. Ia adalah perintis pembibitan ayam ras, pendiri GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), juga pernah menjadi pegawai pemda DKI dan merintis perusahaan pembibitan ayam milik Pemda jaman Gubernur DKI Ali sadikin. Saat ini Pramu memiliki perusahaan pembibitan unggas milik sendiri di Sulawesi Utara. Hampir Setiap kali pulang ke Jakarta menyempatkan silaturahmi ke Infovet.

Sementara itu, Abadi Sutisna yang juga sering menulis di Infovet, bukan sekedar ahli farmakologi veteriner, melainkan juga seorang yang dijuluki jembatan komunikasi ASOHI-Pemerintah. Ia paham berbicara sebagai ASOHI sekaligus memahami pola pikir birokrasi. Tulisannya di Infovet selalu menjadi rujukan kalangan peternak dan pengusaha.

Ada apa mereka di Infovet bulan Maret ini? Tidak ada apa-apa. Justru inilah kebanggaan kami, mereka hadir semata sebagai silaturahmi, sesuatu yang patut dicontoh generasi muda. Uniknya, mereka hadir di hari yang hampir bersamaan. Di usianya yang tidak lagi muda, tak tampak tanda-tanda semangatnya menua. Mereka teladan bagi kita kadang lupa semangat mengabdi dan semangat silaturahmi.

Kami tentu bangga memiliki tamu istimewa. Mereka datang tanpa membuat janji, dan mereka juga tidak kecewa jikalau di kantor hanya ada staf.

Terima kasih Bapak-Bapak, engkau telah memotivasi kami akan arti dedikasi.(red)

Aksi Dukung Swasembada Daging Sapi 2014 Lewat Radio dan Facebook

Drh Untung Satriyo saat on air dialog interaktif di RRI Yogyakarta
dengan tema peran dokter hewan dalam mendukung target swasembada daging sapi 2014.

Tepat satu jam penuh acara on air di RRI Yogyakarta dengan Tema ”Peran Dokter Hewan Mendukung Target Swasembada Daging Sapi 2014” disiarkan. Siaran langsung yang digelar Minggu, 7 Februrari 2010 dari jam 4-5 sore hari itu berjalan atas kerjasama antara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan RRI Stasiun Yogayakarta. Menghadirkan pembicara dokter hewan pengamat dan praktisi yang sangat berpengalaman yaitu Drh Untung Satriyo. Acara rutin yang sudah berlangsung hampir 4 tahun itu, ternyata memang sudah banyak penggemarnya dan mengena di hati pendengar setianya yaitu para petani, akademisi dan praktisi.

Bukti nyatanya, yaitu adanya dialog interaktif di studio maupun melalui saluran telepon. Dari catatan Infovet setidaknya ada lebih 10 penanya via telepon berkaitan dengan pembangunan industri peternakan dan hal lain yang terkait. Bahkan salah seorang penanya yang merupakan pensiunan Dokter dari sebuah rumah sakit, nampak sudah sangat akrab sekali dengan sang penyiar. Artinya ada penggemar fanatik terhadap acara itu.

Lepas dari kontribusi acara itu signifikan atau tidak terhadap pembangunan industri peternakan domestik, namun setidaknya mampu menggelorakan semangat nasionalisme untuk kembali mencintai aneka produk dalam negeri. Hal ini terbukti dari pertanyaan dan opini pendengar akan pentingnya menggiatkan peternakan di Indonesia. Semangat itu jelas sekali terpapar dari inti dan esensi para pendengar untuk tidak menolak produk luar namun tetap mengedepankan untuk lebih mengkonsumsi hasil dan produk dari negeri sendiri.

Bahkan ada seorang penanya yang ingin tahu apakah ada program kawin suntik/inseminasi buatan dengan hasil kembar? Juga ada penanya lain yang berharap banyak adanya bantuan teknis atas usaha yang sudah dilakukan. Jadi tidak sekadar mengudara akan tetapi ditindaklanjuti dengan pembinaan di lapangan.

”Saya Sugiyanto peternak dari desa Gamping Sleman dengan jumlah sapi sekitar 50 ekor, bagaimana agar usaha saya tersebut mampu meningkat baik populasi maupun produktiftasnya? Bagaimana dan apa yang harus saya lakukan dalam memilih bibit sapi yang baik agar usaha saya memberi keuntungan yang berlipat,” tanya salah seorang pendengar.

Usai acara itu kemudian pengisi acara yang juga Wartawan Infovet itu, memposting kegiatannya di akun facebook-nya. Banyak tanggapan dari situs jejaring sosial yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia itu tentang langkah dan cara yang harus dilakukan pemerintah dan stake holder di Indonesia untuk mencapai target swasembada daging.

Tidak sedikit yang memberikan dukungan pada program pemerintah itu, dalam rangka untuk mensejahterakan rakyatnya itu. Namun demikian ada juga yang merasa pesimistis atas keinginan besar pemegang kebijakan peternakan. Untuk yang berada di kubu ini, para facebooker merasa bahwa target itu terlalu muluk dan sulit untuk dicapai dalam kurun waktu seperti yang ditargetkan.

Salah satunya, Antony Wong dari Kroya Jawa Tengah Mahasiswa Fakultas Peternakan UGM yang mengungkapkan pendapatnya ”Saya punya prediksi bakalan mundur, kan kita republik undur-undur seperti guyonan almarhum Kiai Maksum”. Hampir senada diatas sejawat Drh Yonathan Raharjo dari Surabaya menulis ”Jadi tahun inikah....? Kalau diundur akan tetap sesuai jadwal pengunduran...?”. Hal yang nyaris sama juga diungkapkan oleh Drh Marjuan Ismail praktisi peternakan dari Tangerang Banten ”Swasembada.....? Hati-hati dengan istilah ini, swasembada beras katanya tetapi kenyataannya.... laporan ABS (Asal Bapak Senang) diam-diam impor beras... kalau tidak kita bisa mati kelaparan. Kalau di tanya alasannya sih untuk jaga-jaga”

Sedangkan para facebooker yang berada pada kubu optimistis, umumnya berpendapat bahwa target untuk mandiri mencukupi kebutuhan daging di dalam negeri harus diupayakan secara bersama sama. Ini bukan semata sebuah target mimpi dan hanya menjadi beban pemerintah, namun juga menjadi beban bersama, ujar beberapa facebooker terutama sekali pada era perdagangan bebas China ASEAN (CAFTA) saat ini.

Yoga Nugroho S.Pt seorang alumnus Fakultas Peternakan Undip Semarang, berpendapat bahwa hal itu harus diupayakan secara bersama sama. ”Yang jelas, butuh kerja keras dari semua pihak, biar gak mundur lagi pemerintah pusat harus alokasi dana lebih untuk mewujudkan swasembada daging.”

Demikian juga Ir Chystianto Purnomo, asisten Produser Liputan 6 SCTV mengungkapkan secara panjang akan pendapatnya. ”Soal swasembada, apapun komoditinya, sebenarnya bisa dilakukan....tergantung ada tidaknya goodwill dari pemerintah....Negeri ini subur kok...ketersediaan pakan hijau melimpah...masalahnya, bagaimana kita mengolah dan menggarapnya....NTT, menanti untuk digarap serius....juga Papua....Indonesia tak hanya Jawa lho...banyak daerah yg berpontensi unttuk mengembangkan sapi...domba...kambing...atau unggas...untuk mensukseskan program swasembada daging sapi 2014...Bisa? Ya bisa lah....di mulai dari sekarang....

Demikian juga Fuji KD S.Pt dan Drh Teguh Budi Wibowo bahwa hal itu pasti akan tercapai, jika ada kemauan dan langkah nyata. Fuji menulis ”Jika ada kemauan keras dari semua pihak. Mudah-mudahan Indonesia bisa sukses swasembada daging...” sedangkan Praktisi usaha perdagangan ternak Sapi dari Bandung Drh Teguh BW menulis,”Salut!!! Ayo kita pikirkan dan lakukan dengan memberi dukungan secara bersama sama”

Sedangkan pemikiran lain datang Ketua ASOHI Kalimantan Timur Drh Sumarsongko “Ambil hikmah semangatnya aja, semoga betina produktif tidak banyak dipotong, Kualitas pakan bagus (ditingkatkan) sehingga lebih produktif, di daerah yang mudah terjangkau (sebaiknya) memakai IB (Inseminasi Buatan) agar kualitas genetik naik, tetapi sebaiknya dengan rekayasa genetik yang halal. Selain itu perlu diversifikasi produk pangan hewan lainnya, misal digalakkan makan biawak, dll hahaha......,” selorohnya bercanda

Agus Solikhin dari UD Lisan Mulia Solo ”Swasembada daging sangat diperlukan guna meningkatkan konsumsi protein hewani hingga tercukupi, sehingga taraf kesehatan masyarakat meningkat. kecerdasan anak juga meningkat”. F. Adi Purnama menulis bahwa “Indonesia pasti sukses berswasembada kambing eh daging he...he..he..”

Dari Makassar Sulawesi Selatan Drh Hj Tjitjik Suleman istri almarhum Drh Isep Suleman (Kepala BBV Maros) dan Drh Maryono juga dari Makassar mengungkapkan pendapatnya melalui situs jejaring sosial facebook, ”Ndase memang makin keras aja ya pak.....nangkene memang akeh istilah muluk-muluk...tapi kurang dalam realisasi...embuh ra’ weruh (Makin keras kepala saja. Disini memang banyak istilah tinggi tetapi kurang direalisasikan..entah lah...)”

Lain lagi dengan Drh Zulmanery Manir MM Dosen Manajemen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan perlunya kewaspadaan semua pihak. ”Waspadai impor hewan ternak dari daerah PMK, Sapi Gila, dan penyakit menular yg belum ada di Indonesia. Jangan asal dapat tender dan untung besar, mengorbankan anak cucu sapi yang akan datang dan anak cucu kita juga toh,...termasuk dokter hewannya bisa gila kalau disuruh bunuhin sapi-sapi yang berpenyakit zoonosis,.....kalau hewan nya pada sehat, drh nya bisa bisnis peternakan dari hulu sampai hilir toh wkwkwkwk....,” demikian urai Ibu dosen kelahiran Solok Sumatera Barat 43 tahun lalu
Ir Busron Arief Sudjono peternak sapi potong dari Bantul mengungkapkan pendapatnya bahwa ”Untuk menambah populasi sapi, BET (Balai Embrio Transfer) Cipelang dimaksimalkan fungsinya. Perbanyak program twin/bunting kembar dan sapi eks impor harus digemukkan dahulu jangan langsung dipotong.”

Karyawan Pemda Provinsi Lampung Banggaka Roslamet SH menulis “Rasa-rasanya aku di Lampung tidak pernah menjumpai daging impor..Jadi Lampung artinya secara geografis sudah swasembada ya dibanding Jawa. Lagian harga daging ayam murah sekali lho..kita substitusi aja dengan daging ayam kalau daging sapi mahal. Jika gizinya sama dengan daging sapi lho….”

Kemudian Drh Nanang Purus Sebendro menuliskan opininya bahwa ”Swasembada daging....?? Sepertinya belum bisa dicapai dalam waktu dekat..Bahkan 2014 juga belum bisa..Bukan pesimis, tetapi realistis saja. Maka saran saya kita benahi data populasi, dan asumsi yg digunakan tentang produktifitas ternak kita, perlu direvisi juga. Dan masih banyak lagi pekerjaan rumah kita.”

Sedangkan Wawan Kurniawan, SPt yang juga Redaktur Infovet berpendapat dengan adanya dialog interaktif di radio nasional dan diskusi via facebook ini, ”Semoga memotivasi semua pihak yang kompeten untuk mensukseskan program swasembada daging 2014. Khususnya dengan semakin memperbanyak angka kelahiran sapi yang bisa lewat kawin alam atau IB.
Seorang birokrat dari Kabupaten Magelang Jawa Tengah yaitu Drh Hariyanto (Dinas Peternakan)menyatakan ”Kalau rakyat dilarang makan daging, nanti akan juga tercapai swasembada daging”. Dan pendapat yang rada mirip dari Ir B Suharno Jakarta ”Kalau ayam melimpah dan murah, sementara daging sapi makin mahal, kebutuhan daging sapi menurun, alias swasembada segera tercapai dengan sendirinya. Mungkin begitu ya strateginya? Hehehe...”

Drh Mohamad Mamnun dari Yogyakarta berpendapat lebih frontal, “Swasembada selama 6 bulan sangat bisa...!!!Caranya: potong semua populasi sapi dan kambing....Sehingga tidak akan ada impor daging…Tetapi akibatnya populasi akan habis …lalu...bulan-bulan berikut buat kebijakan impor lagi yang lebih banyak”

Lain lagi suara dari Merauke tanah Papua yaitu Drh Pujiono Slamet, “Indonesia masuk efektif ACFTA akan babak belur jika gagal swasembada! Komoditas halal dan haram memang penting tetapi fakta daging India, USA dan Australia juga bisa masuk legal....Artinya legalitas halal bukan masalah dan kendala bagi produsen daging China maupun Negara-negara ASEAN lainnya.”

Ternyata kemajuan teknologi informasi dapat pula menyerap aspirasi opini dan gagasan penting untuk suatu tujuan yang mulia. Facebook seperti pisau bermata dua. Jika dimanfaatkan untuk keperluan baik, sudah pasti hasilnya baik. Sebaliknya jika disalahgunakan bisa untuk bisnis narkoba ataupun penculikan dan pelacuran ABG, seperti kasus di Surabaya dan beberapa kota besar di Indonesia belum lama ini. (iyo)

DKI Jakarta Waspada Rabies, Perketat Pengawasan Lalu Lintas Hewan Penular

Oleh:
Drh Rudewi
Medik Veteriner Madya
Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta

Berjangkitnya wabah rabies di beberapa Kabupaten di Propinsi Banten baru-baru ini telah memberikan kekhawatiran penularan kepada propinsi di sekitarnya. Rabies dinyatakan telah berjangkit di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Kota Sukabumi Propinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak Propinsi Banten sesuai Kepmentan No.3600/Kpts/PD.640/10/2009.

Sementara itu Propinsi DKI Jakarta yang dinyatakan bebas Rabies sejak tanggal 6 Oktober 2004 berdasarkan Kepmentan No.566/Kpts /PD.640/10/2004 semakin menguatkan kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit yang dapat menular ke manusia ini. Sebelumnya status nol kasus rabies ini terus dipertahankan selama kurang lebih 9 tahun.

Peningkatan kewaspadaan dilakukan melalui pengetatan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies, pasalnya DKI Jakarta saat ini telah dikepung oleh daerah penyangga (immune belt) yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah tertular. Pengawasan terhadap hewan rentan rabies, serta pencegahan dan penanggulangannya ini pun telah diatur dalam Perda DKI No. 11 Tahun 1995.

Rabies atau penyakit Anjing Gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus, bersifat akut karena menyerang susunan syaraf pusat pada hewan berdarah panas maupun manusia yang menderita.

Rabies sangat ditakuti karena bersifat zoonosis dan merupakan penyakit yang sangat berbahaya apabila gejala klinis yang timbul selalu diikuti dengan kematian baik pada hewan maupun manusia dan sampai saat ini belum ada obatnya.

Semua hewan berdarah panas dapat menularkan rabies. Anjing, kucing dan kera termasuk hewan yang sangat berpotensi dalam menularkan rabies dan lebih dari 90 % kasus rabies di Indonesia ditularkan oleh anjing, sehingga anjing menjadi obyek utama dalam pemberantasan rabies. Virus rabies masuk kedalam tubuh manusia atau hewan melalui luka akibat gigitan hewan penderita rabies maupun luka yang terkena air liur hewan atau manusia penderita rabies.

Ada 2 macam gejala rabies yaitu Rabies ganas dan Rabies tenang. Rabies ganas ditandai dengan hewan menjadi ganas menyerang atau menggigit apa saja, ekor dilengkungkan di bawah perut diantara dua kaki, tidak menurut lagi pada perintah pemilik, air liur keluar berlebihan, kejang-kejang kemudian lumpuh dan biasanya hewan mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

Sedangkan untuk rabies tenang ditandai dengan hewan menjadi suka bersembunyi ditempat gelap dan sejuk, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan, kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tak terlihat, kelumpuhan serta kematian dapat terjadi dalam waktu singkat.

Pencegahan dan Kewaspadaan
Pemilik atau pemelihara hewan penular rabies wajib untuk memelihara hewan yang sudah tertular rabies di dalam rumah atau pekarangan rumah. Bila rumah tidak dipagar maka anjing harus dirantai kurang lebih 2 meter. Apabila dibawa keluar rumah, anjing harus dilengkapi dengan pengaman (dibrongsong). Pemberian vaksinasi anti rabies pada anjing, kucing dan kera peliharaan juga merupakan suatu kewajiban, vaksinasi pun dilakukan secara teratur setiap tahun.

Selain itu masyarakat juga harus aktif dalam melaporkan setiap kasus penggigitan hewan penular rabies kepada manusia. Hewan penular rabies yang menggigit dilaporkan dan dibawa ke Rumah Observasi Rabies, Balai Kesehatan Hewan & Ikan di Ragunan. Sementara manusia yang digigit dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan.

Tindakan observasi akan dilakukan terhadap hewan penular rabies yang telah menggigit manusia di Rumah Observasi Rabies Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta selama 14 hari. Jika mengalami kematian pada saat masa observasi maka kepala anjing tersebut dikirim ke laboratorium untuk kepastian diagnosa penyebab kematian. Namun apabila dalam masa observasi hewan tetap hidup maka hewan segera divaksin anti rabies dan dikembalikan kepada pemilik atau dieliminasi bila tidak ada pemilik.

Petugas maupun masyarakat juga secara rutin melakukan penangkapan hewan penular rabies yang berkeliaran ditempat umum yang selanjutnya dilakukan eliminasi. Sementara itu setiap pemilik atau pemelihara hewan penular rabies dilarang untuk menelantarkan hewan penular rabies serta membiarkan hewan penular rabies berkeliaran di luar pekarangan rumah.

Pengawasan lalu lintas terhadap setiap pemasukan dan pengeluaran hewan penular rabies dari dan ke DKI Jakarta, harus mendapatkan rekomendasi atau izin dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dan disertai dengan surat Kesehatan Hewan dan Surat Keterangan Vaksinasi Rabies serta syarat lain yang ditetapkan oleh Gubernur.

Syarat-syarat pemasukan meliputi beberapa hal yaitu harus melalui tempat pemasukan, mempunyai surat Keterangan Kesehatan atau Health Certificate yang berisi antara lain keterangan tidak menunjukkan gejala klinis rabies dalam waktu kurang dari 48 jam sebelum diberangkatkan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan berwenang atau Dokter Hewan Prakahtek.

Selain itu juga harus mempunyai Surat Keterangan Identitas (Paspor) yang berisi antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 bulan di negara atau wilayah/daerah asal sebelum diberangkatkan dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 bulan serta tidak dalam keadaan bunting 6 minggu atau lebih dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui saat diberangkatkan.

Apabila diberangkatkan melalui darat tidak boleh melalui wilayah atau daerah tertular. Dan apabila dalam perjalanan harus transit maka harus memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang Karantina Hewan.

Bagaimana Menangani Kasus Gigitan
Pertolongan pertama pada penderita gigitan adalah dengan mencuci luka gigitan secepatnya dengan sabun detergen selama 5-10 menit di bawah air yang mengalir, dikeringkan dan diberi yodium tinctura atau alkohol 70% setelah itu segera pergi ke “RABIES CENTER” yaitu:
RSUD TARAKAN
Jl. Kyai Caringin No. 7 Jakarta Pusat.
Telp. 021-3503150
RUMAH SAKIT PUSAT INFEKSI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
Jl. Sunter Baru Permai, Jakarta Utara .
Telp. 021-6506559

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta, Bidang Peternakan yang beralamat di Jl. Gunung Sahari Raya No. 11, Jakarta Pusat Telp (021)6285484.

Tantangan Dokter Hewan dan Ruang Bagi Tegaknya Otoritas Veteriner

Bertempat di Ruang Kutilang Wisma Kagama UGM Yogyakarta, Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia mengadakan pertemuan dan konsolidasi organisasi. Ketua PB PDHI Drh Wiwik Bagja menjelaskan tentang situasi terkini organisasi dan mengkritisi UU No 18 tahun 2009. Acara tunggal yang diikuti oleh seluruh pengurus PDHI se-Propinsi Daerah Istimewa Yogyakara dan utusan dari berbagai Instansi kompeten daerah maupun pusat yang ada di daerah itu, berlangsung 11 Februari 2010.

Menurut Wiwik, dengan secara efektifnya ditandatangani AFAS yaitu suatu pakta persetujuan bersama negara ASEAN untuk layanan kesehatan hewan pada Mei 2009, maka profesi Dokter Hewan di negara ASEAN dapat secara bebas melakukan pelayanannya. Sebuah harapan besar sekaligus tantangan yang tidak ringan bagi praktisi di tanah air. Problema klasik dan paling krusial/mendasar di tanah air saja masih sangat banyak yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi itu, maka tentu saja akan semakin menambah beban berat bagi organisasi sekaligus para praktisi.

Lebih lanjut, Wiwik memaparkan problema tentang Otoritas Veteriner di Indonesia yang belum juga mendapatkan solusi dan bentuk organisasi fungsional oleh karena salah satunya warisan penjajah/kolonialisme Belanda. Menurutnya, di negara-negara bekas jajahan Ingris, umumnya otoritas veteriner sudah ada dan fungsional. Contoh terdekat adalah Malaysia dan Singapura. Sedangkan Indonesia yang merupakan bekas kolonial Belanda perangkat perundangan sama sekali tidak ada.

”Jika kita berbicara tentang realita lulusan Fakultas Ekonomi ada Kementerian Keuangan, Pertanian ada Kementerian Pertanian, Kehutanan (Kemenhut), Kedokteran (Kemenkes), Hukum (Kemenhukham), Tehnik (PU), Perikanan (Kemenperiklut), dlll masih banyak lagi,” ujarnya. Lalu dimana profesi Dokter Hewan ada lembaga yang menaunginya?

Selama ini memang ada asumsi yang salah di benak sebagian besar ahli tata negara dan pakar politik. Menempatkan profesi kedokteran hewan itu hanya sebagai bagian dari pertanian. Oleh karena itu struktur organisasi negara yang dibentuk sama sekali tidak mengakomodasi secara maksimal peran dan fungsi kedokteran hewan. Padahal, profesi itu tidak hanya yang terkait dengan kesehatan hewan semata, namun erat sekali berhubungan kesejahteraan masyarakatnya.

Sekadar mengambil contoh tentang kasus Penyakit Flu Burung dan Flu Babi juga Rabies, sudah pasti mengancam keselamatan, kesehatan dan kenyamanan masyarakat. Juga tidak kalah pentingya dengan ketersedian bahan pangan hewani yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu jika eksistensi profesi terus termarginalkan, maka peran dan fungsinya juga tidak akan optimal. Desakan dan urgensi Otoritas Veteriner bukanlah hanya terkait dengan kekuasan dan jabatan namun lebih lebih luas lagi jangkauan pemikirannya.

Kemudian ketika dimintai pendapatnya oleh Infovet tentang problema klasik para tenaga kesehatan hewan lapangan yang illegal, Wiwik menjelaskan singkat namun proporsional. Jika mengacu pada pasal 47 UU No 18 Th 2009 bahwa tenaga kesehatan hewan adalah dokter hewan dan paramedik. Wewenang dan Hak untuk melakukan diagnosa penyakit serta pengobatan atas hewan/ternak yang sakit hanya dimiliki oleh Dokter Hewan.

”Namun demikian, tenaga paramedik dapat melakukan bantuan jika diminta dan dibawah pengawasan dokter hewan. Hak mutlak untuk melakukan pengobatan dengan obat hewan keras dan injeksi/parenteral juga hanya dimiliki oleh dokter hewan dan tidak ada profesi lainnya yang bisa menggantikan,” jelas Wiwik.

Sedangkan sekretaris PDHI Cabang Yogyakarta, Dr Drh Dody Yudhabuntara usai acara tersebut menitipkan pesan ke Infovet untuk disampaikan ke publik akan adanya rencana kegiatan Bakti Sosial Masyarakat dan Peternak. Lokasi ada di daerah pegunungan tandus tepatnya desa Wukirharjo di sisi kiri lokasi Candi Prambanan Sleman Yogyakarta.

Kegiatan itu diselenggrakan oleh PDHI Cabang Yogyakarta dan Perhimpunan Istri Dokter Hewan Indonesia (PIDHI). Menurut Dody bahwa bakti sosial masyarakat ditangani oleh PIDHI sedangkan terhadap sasaran peternak oleh PDHI.. Selamat dan sukses ....(iyo)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer