Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Wabah Rabies Mengilhami Ogoh-Ogoh

Bali sebagai daerah tujuan wisata sangat sarat akan budayanya. Tiada hari tanpa upacara, bahkan Bali itu sendiri diakronimkan sebagai propinsi banyak libur. Ini tidak bisa dipungkiri lagi, karena di dalam penanggalan yang khusus diterbitkan di Bali banyak ditemukan hari libur yang dikaitkan dengan keagamaan dan budaya, misal Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Tumpek kandang, Tumpek landep, Tumpek uduh, Pagerwesi, Sugihan Jawa, Sugihan Bali, dan lain-lain. Walaupun banyak libur masyarakat Bali tidak pernah kekurangan materi dan rejeki senantiasa ada, disukai wisatawan asing dan domestik, hidup rukun dan guyub sesama umat beragama.

Salah satu hari penting di Bali dan tidak ada duanya di dunia adalah peringatan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Çaka 1932. Umat Hindu diharapkan tidak makan dan minum (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan) dan tidak melakukan kegiatan bekerja (amati karya) selama 24 jam.

Pada saat Hari Raya Nyepi tersebut, Bali bagaikan kota mati, gelap-gulita tanpa penerangan, tidak boleh ada orang bepergian, tanpa listrik bahkan siaran TV dimatikan. Walaupun begitu, saat malam menjelang Nyepi, jalanan di Bali sangat ramai dipadati orang, karena ada pawai ogoh-ogoh atau sering disebut sebagai malam pengrupukan.

Makna ogoh-ogoh bagi masyarakat Hindu merupakan simbolis dari peperangan antara nafsu baik (dharma) melawan nafsu buruk (adharma) yang akhirnya dimenangkan oleh nafsu baik dengan diakhiri pembakaran ogoh-ogoh pasca diarak keliling kota atau kampung.

Pembuatan ogoh-ogoh butuh kocek cukup banyak bahkan sampai puluhan juta rupiah. Salah satu ogoh-ogoh yang disajikan masyarakat Hindu mengambil tema rabies yang penampilannya sangat menggelitik. Sungguh ironis Bali-ku, masuknya wabah rabies akibat ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Belum ada kepastian dari mana sumber rabies tersebut, apakah dibawa dari anjing ras pengidap yang berasal dari daerah rabies (NTT dan Jawa Barat) atau anjing yang dibawa oleh para nelayan Sulawesi berfungsi sebagai alarm dog. (mas djoko)

Meeting Nasional 2010 PT Medion

Pada tanggal 25 – 27 Februari 2010, PT Medion mengadakan Meeting Nasional 2010 yang bertempat di Hotel Amalia dan Hotel Grande, Bandar Lampung.
Meeting Nasional rutin diadakan tiap tahun dan diikuti oleh seluruh team marketing dari seluruh cabang di Indonesia. Presiden Direktur PT Medion, Jonas Jahja beserta istri, Amalia Jonas, juga hadir dalam pelaksanaan Meeting Nasional.

Meeting yang bertemakan Perusahaan Indonesia yang Inovatif dan Berkualitas ini, memiliki tujuan utama yaitu evaluasi pencapaian target penjualan tahun 2009 dan penetapan target penjualan di tahun 2010.

Dalam acara meeting tersebut perusahaan juga meningkatkan kompetensi team marketing dengan berbagai pelatihan. Drh. I Wayan Teguh Wibawan – dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menjadi salah satu pembicara dalam acara pelatihan tersebut. Beliau menyampaikan topik differential diagnosa ND, IB dan AI.

Dalam kelas yang berbeda Bpk. Tony Unandar – Konsultan Teknis Peternakan menyampaikan topik yang sama dilengkapi dengan training management farm layer. Pelatihan lainnya yang tak kalah menariknya adalah pelatihan uji serologis dan biosekuriti yang disampaikan oleh Ibu Melina Jonas dan Drh. Budi Purwanto, Team Management PT Medion.

Pada malam kedua, Acara Penghargaan Prestasi dan Anugerah Bakti turut mewarnai rangkaian acara Meeting Nasional ini. Dimeriahkan oleh penampilan para peserta meeting dengan berbagai kesenian membuat suasana malam itu bertambah meriah. Sebelum kembali ke wilayah kerja masing-masing, panitia mengajak peserta berwisata ke Pantai Mutun untuk relaksasi bersama.

Setelah mengikuti acara ini, diharapkan team marketing akan lebih kompeten dan bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Sukses Medion!. (Inf)

Unjuk Rasa Pedagang Ayam Menolak Berlakunya Perda No. Tahun 2007

Siang itu sekitar 2.000 pedagang ayam dan mahasiswa memblokir Jalan Kebon Sirih dan Jalan Medan Merdeka Selatan. Mereka menuntut pembatalan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 mengenai peredaran unggas di Jakarta serta melempari Kantor DPRD dengan bangkai ayam.

Para pedagang ayam dari berbagai wilayah berkumpul di depan Kantor DPRD di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (23/3), untuk menuntut DPRD agar serius dalam meminta penundaan relokasi tempat pemotongan ayam yang tersebar di berbagai lokasi. Sebelumnya, DPRD mengirimkan surat penundaan relokasi, tetapi diabaikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Karena tak ada anggota DPRD yang menemui para pengunjuk rasa, massa mulai marah dan memblokir jalan. Mereka juga memotong ayam dan melemparkan beberapa bangkai ayam ke dalam halaman kantor itu. Alhasil kemacetan parah terjadi di Jalan Kebon Sirih karena pemblokiran jalan. Lalu lintas dialihkan melalui Jalan Sabang.

Massa akhirnya pindah ke depan Balaikota DKI dan memblokir Jalan Medan Merdeka Selatan. Mereka kembali menuntut pembatalan revisi atau pembatalan Perda No 4/2007. Perda itu mewajibkan semua penampung dan pemotong ayam masuk ke lima rumah potong ayam (RPA) yang disiapkan pemerintah.

Wuryono, salah satu pedagang ayam, mengatakan, relokasi itu akan mematikan banyak usaha pemotongan ayam tradisional. Pedagang ayam Kalideres khawatir pemusatan RPA akan meningkatkan biaya dan berdampak pada mahalnya harga jual.

“Perlu tambahan biaya untuk membayar angkutan ayam dari RPA ke pasar tempat saya berjualan. Modal yang keluar juga lebih besar karena saya harus beli es batu dan tempat khusus untuk mewadahi ayam. Tambahan biaya itu akan membuat harga jual ayam lebih mahal sampai Rp 2.000 per ekor,” kata Wuryono.

Di Balaikota DKI Jakarta, perwakilan pengunjuk rasa diterima Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian Mara Oloan Siregar serta Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta Edy Setiarto.

Kepada kedua pejabat itu, Ketua Perhimpunan Pedagang Unggas Jakarta Siti Maryam meminta perda peredaran unggas direvisi dan jaminan tidak ada razia penampungan dan pemotongan ayam tradisional. Para pedagang juga akan mogok berjualan pada 23-25 Maret.

Mara Oloan mengatakan, selain mencegah penyebaran virus flu burung, pemusatan RPA juga dapat untuk mengatasi isu penggunaan formalin dan penjualan ayam bangkai atau mati kemarin (tiren). Semua penampung dan pemotong ayam juga akan diberi tempat di RPA. Dengan demikian, tidak ada pedagang ayam yang kehilangan pekerjaan.

Kepada massa pengunjuk rasa, Edy Setiarto mengatakan, pemerintah menjamin tidak akan ada razia besar-besaran terhadap pemotongan ayam tradisional pada 24 April. Pihaknya akan memperluas dan memperbaiki sosialisasi mengenai relokasi tempat pemotongan ayam tradisional.

“Kita datang ke sini untuk menolak Perda Nomor 4 tahun 2007 dan rencana relokasi rumah pemotongan ayam oleh Pemprov DKI,” kata perwakilan Asosiasi Pedagang Unggas asal Jakarta Barat Yadianto saat berorasi di depan gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu.

Salah seorang pedagang ayam dari Cempaka Putih Sofyan Sofwan mengatakan bahwa aturan relokasi RPA ke lima tempat resmi yang ditunjuk Pemprov DKI itu akan mematikan banyak pedagang ayam kecil yang ada di Jakarta. Salah satu alasannya adalah bahwa untuk melakukan pemotongan di RPA resmi misalnya di Rawakepiting, dibutuhkan jumlah ayam minimal 500 ekor untuk bisa “booking” (memesan tempat) pemotongan.

“Setiap potong dipungut 75 perak. Kalau jumlahnya kurang harus berkelompok, padahal kami adalah pedagang kecil,” ujarnya.

Selain itu, para pedagang disebutnya hidup dari pesanan ayam potong yang unik atau khusus dari para pelanggannya. Sofyan mencontohkan ada perbedaan dari pemesanan ayam potong, sesuai dengan kebutuhan.

“Kalau orang Medan, mereka minta darahnya juga. Setelah dipotong kemudian dikasih jeruk untuk melihat kualitas ayam. Sedangkan pelanggan dari etnis China minta darah untuk sesaji,” ujarnya.

Dengan pemesanan yang unik itu maka jika pemotongan dilakukan di RPA resmi dikhawatirkan para pedagang itu akan kehilangan pelanggan mereka. Selain itu, penerapan Perda itu juga dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang lebih luas kepada pemasok ayam dari daerah-daerah luas Jakarta seperti Cilacap, Yogyakarta, Indramayu dan daerah pinggiran Jakarta.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan antisipasi terhadap ancaman virus H5NI (flu burung) di wilayahnya dengan menerapkan Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas di Ibukota Jakarta.

Dalam Perda tersebut, pada April 2010 mendatang seluruh pemotongan ayam yang ada di Jakarta akan direlokasi ke lima RPA resmi di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat. Hal itu dimaksudkan agar tidak ada lagi tempat pemotongan dan penampungan ayam di pemukiman penduduk.

Kelima RPA resmi itu masing-masing adalah RPA Rawakepiting di Kawasan Industri Pulogadung, RPA Pulogadung di Jl Palad, RPA Cakung di Jl Penggilingan (Jakarta Timur), RPA Kebun Bibit, di Petukanganutara, Jakarta Selatan dan RPA Ekadharma di Jl Ekadharma, Srengseng, Jakarta Barat.

Relokasi Pedagang Ayam Ditunda
Sebelumnya perjuangan para pedagang dan pengusaha ayam yang beberapa kali menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menuntut penolakan relokasi sempat mendapat angin segar. Ya, setidaknya hal tersebut tercermin dari sikap DPRD DKI Jakarta yang merekomendasikan untuk menunda pelaksanaan relokasi hingga September mendatang.

Padahal, pelaksanaan relokasi pedagang ayam di pasar-pasar tradisional dan pemukiman seyogyanya akan dilakukan pada April. Penundaan relokasi bertujuan memberikan waktu kepada DPRD bersama eksekutif dan perhimpunan pedagang ayam serta pakar perunggasan untuk bertemu menelaah dan mengkaji pasal-pasal dalam Perda No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas serta Pergub No 1909 Tahun 2009 tentang Lokasi Penampungan dan Pemotongan Unggas.

Rekomendasi tersebut muncul saat pertemuan antara Komisi B DPRD DKI Jakarta dengan Himpunan Pedagang Unggas Jakarta bersama Kepala Dinas kelautan Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Edy Setiarso, di ruang rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (15/3).

Hampir terjadi kericuhan saat pertemuan tersebut berlangsung lantaran pedagang ayam merasa tidak puas dengan keputusan Komisi B untuk memberikan surat jaminan keamanan bagi para pedagang agar tidak mengalami intimidasi dari berbagai pihak. Beberapa pedagang berebutan menginterupsi Ketua Komisi B, Selamat Nurdin, yang akan menutup jalannya pertemuan. Namun, suasana tegang mencair setelah Selamat Nurdin memberikan kesempatan lima pedagang berbicara menyampaikan aspirasinya.

Selamat Nurdin menegaskan, Komisi B telah melayangkan surat rekomendasi tentang penundaan pelaksanaan relokasi pedagang ayam pada April mendatang serta akan melakukan telaah dan kajian terhadap isi Perda No 4/2007 dan Pergub No 1909 tahun 2009 kepada Ketua DPRD DKI Jakarta Ferial Sofyan. Alasan penundaan relokasi dikarenakan aspirasi dari pedagang. Selain itu dari hasil pantauan persiapan di lapangan, lima rumah pemotongan ayam resmi belum maksimal atau belum siap seratus persen.

“Jadi kita surati Ketua DPRD agar segera menyurati Gubernur untuk menunda enam bulan sampai menunggu analisa konten Perda dan Pergub bersama denga para pakar perunggasan dan perwakilan pedagang ayam,” ujar Selamat Nurdin, di ruang rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta, Senin (15/3).

Analisa konten Perda dan Pergub ini dilakukan karena kedua peraturan tersebut tidak bisa dibatalkan dengan tiba-tiba, melainkan harus ada mekanisme yang harus dilalui terlebih dahulu. Misalnya melalui penelahaan dan pengkajian secara objektif dari sisi sosial dan ekonomi. Jika ternyata tidak signifikan pelaksanaan relokasi, maka Perda harus diubah dan Pergub No 1909 tahun 2009 bisa batal.

Selamat menegaskan Perda No 4 tahun 2007 merupakan produk hasil kerja sama antara dewan dan pemprov, sehingga penyelesaian permasalahan ini tidak hanya dapat diselesaikan ditangan Pemprov DKI saja.

Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta, Edy Setiarto mengajak kepada seluruh pedagang ayam untuk bertemu dan membahas pelaksanaan Perda dan Pergub tersebut. Menurutnya, relokasi menguntungkan baik dari faktor unggas, pengusaha atau pemotong ayam, konsumen, dan lingkugan sekitarnya.

“Rencana ini sudah dipertimbangkan dengan matang supaya tidak saling membunuh. Makanya pedagang ayam akan disatukan dan dibina. Relokasi justru mengangkat pengusaha dan lingkungan sekitar begitu juga dengan kualitas ayam,” kata Edy.

Sedangkan Ketua Himpunan Pedagang Unggas Jakarta, Siti Maryam, mengatakan, relokasi pedagang ayam akan menambah biaya usaha, karena harus membeli tambahan alat pendingin, tenaga ekspedisi, dan tenaga packing (kemas). Dikhawatirkan dengan adanya relokasi, puluhan ribu pedagang ayam beserta dengan karyawannya akan mengalami penutupan usaha, akibatnya menambah jumlah pengangguran di Jakarta.

Karena itu, dia mengajukan pasal-pasal yang harus direvisi dalam Perda No 4 Tahun 2007 yakni pasal 2 tentang kondisi kandang harus berjarak 25 meter dari pemukiman. “Peraturan itu hanya berfungsi kepada peternakan ayam bukan untuk pedagang ayam. Karena biasanya ayam di pasar akan habis dalam dua hari,” ungkap Siti. Selain itu, pasal 3 tentang tindakan penutupan dan penyitaan unggas pangan, kemudian pasal 6 dan 7 serta pasal 13 dan 14 tentang sanksi berupa denda dan kurungan juga dinilai terlalu berat oleh para pedagang dan perlu dilakukan revisi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri kembali menegaskan rencana penundaan penertiban tempat penampungan dan pemotongan unggas di luar ketentuan pemerintah. Razia ini tadinya akan dilaksanakan pada 24 April 2010 sebagai aplikasi Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas dan Keputusan Gubernur Nomor 1909 Tahun 2009 tentang lokasi penampungan dan pemotongan unggas.

“Sebelum tercipta win-win solution (dengan pedagang), pada 24 April tidak akan dipaksa dan dijamin tidak ada eksekusi pedagang ayam,” kata Asisten Perekonomian dan Administrasi DKI Jakarta Mara Oloan Siregar.

Edy Setiarto menambahkan pada 24 April para pedagang diminta tetap melakukan aktivitas seperti biasa sambil menunggu tuntasnya diskusi mengenai perunggasan antara DPRD, Pemprov, dan perwakilan pedagang.

Sebelumnya, Komisi B DPRD DKI Jakarta merekomendasikan kepada Pemprov DKI untuk menunda pemberlakuan Perda Nomor 4 Tahun 2007 dan Keputusan Gubernur Nomor 1909.

Selama penundaan, pemerintah diminta menelaah kembali semua dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh perda terhadap para pedagang dan pemotong unggas. “Kami minta waktu enam bulan, dari April hingga September untuk mengkaji perda, yang salah satunya mendatangkan ahli untuk melakukan analisis obyektif,” kata Ketua Komisi B Selamat Nurdin.

Mogok berjualan
Aksi mogok berjualan yang diterapkan pedagang ayam juga terlihat dampaknya. Puluhan los pedagang ayam di Pasar Grogol dan Cengkareng, Jakarta Barat, serta Pasar Palmerah, Jakarta Pusat, kosong. Di Pasar Grogol, dari 50 pedagang ayam, hanya satu pedagang yang tetap berjualan. Di Pasar Cengkareng, semua los pedagang ayam dan pedagang ayam goreng tutup.

Mamun, pedagang ayam di Pasar Cengkareng, mengatakan, mereka mogok berjualan sebagai bentuk protes dengan rencana pemusatan RPA. Pemogokan itu membuat para konsumen ayam kebingungan mencari daging ayam. Eko (36), pedagang kaki lima di Grogol, mengaku mendatangi Pasar Grogol dan Cengkareng, tetapi sama sekali tidak mendapatkan ayam.

Di Pasar Jatinegara, para pedagang ayam meminta pemerintah mengajari mereka untuk menciptakan RPA kecil yang sesuai standar kesehatan. Fahrur Rozi, pedagang ayam, mengatakan, mereka akan patuh jika pemerintah membina dan memberi standar RPA yang steril. Mereka juga mau membayar retribusi yang masuk akal asalkan diizinkan mempunyai RPA yang dekat dengan pasar tempat mereka berjualan.

Menurut Ihsan, pedagang ayam di Petak Sembilan, Jakarta Barat, jarak RPA yang dekat dengan pasar dibutuhkan untuk mengurangi biaya angkut. Selain itu, kedekatan RPA dan pasar juga dibutuhkan agar tidak banyak waktu terbuang untuk pengangkutan sehingga daging ayam tetap segar saat dijual. (wan)

Swasembada Daging: Obsesi Atau Kebutuhan?

Ada 15 komoditi yang menjadi katalis bagi pengembangan dunia agribisnis di Indonesia diantaranya beras, kedelai, jagung, gula, kopi, kakao, sapi, ayam, tuna, udang, mangga.

“Perlu harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan. Roadmap perlu terintegrasi dari hulu hingga hilir hingga produk-produk pertanian kita memiliki nilai tambah. Terkait sapi dan daging, Indonesia pernah mencapai prestasi mengekspor daging ke Hongkong. Strategi ke depan bagaimana swasembada daging dengan peningkatan populasi sapi potong dan sapi perah. Penting pula bagi kita bagaimana cara meningkatkan kemampuan meningkatkan populasi. Untuk itu butuh kebijakan yang efektif agar kendala-kendala seperti industri pembibitan, industri pemotongan dan industri pengolahan daging serta berbagai industri sampingannya,” demikian dikatakan Juan Permata Adoe (KIBIF) saat talkshow Swasembada Daging: Obsesi atau Kebutuhan? yang digelar dalam rangkaian Agrinex 2010 di Jakarta Convention Center.

irjen Peternakan, Tjepy D Sudjana yang berkesempatan hadir pada saat itu menegaskan sebenarnya kita optimis swasembada daging. Potensi kita cukup besar untuk itu. Dicontohkannya, lahan-lahan kita untuk mendukung budidaya sapi sangat besar. Pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk menciptakan situasi kondusif bagi peternak sapi di Indonesia untuk maju dan berkembang.

Yudi Guntoro Noor (Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia/ISPI) mengatakan dibanding ternak ruminansianya lainnya, sapi merupakan ternak yang siklusnya panjang. “Jika hari ini kita makan sop buntut, maka tiga tahun setelahnya baru bisa dihasilkan sapi penggantinya,” tandasnya. Menurutnya, selain peternak, bibit ternak dan teknologi pakan merupakan hal-hal penting dalam pewujudan swasembada sapi.

Seorang peserta talkshow asal Banyumas, Sukirno menyoroti tentang limbah/kotoran sapi yang selama ini belum banyak dimanfaatkan untuk pupuk. Ia mengisahkan pengalamannya dalam mengolah limbah sapi dengan menggunakan mikroba menghasilkan produk yang dibranded-nya sebagai “Pusaka Alam” sebagai cairan nutrisi untuk tanaman.

Forum Peternak Sapi Indonesia pun turut memberikan masukan-masukan berharga dalam pengembangan sapi di Indonesia, serta mengharapkan dukungan pemerintah bagi peternak-peternak sapi di Tanah Air.

Dipandu oleh Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Dr. Luki Abdullah, talkshow ini berjalan sangat menarik. Hal ini dibuktikan dengan antusiasme peserta untuk berdiskusi tentang topik peternakan ini. (wan/ipb)

PERLUKAH KOMISI NASIONAL ZOONOSIS ?







oleh:
Drh Abadi Soetisna MSi,
Ketua Dewan Kode Etik ASOHI

Terdengar kabar bahwa Komisi Nasional (Komnas) Flu Burung akan berakhir masa kerjanya pada 13 Maret 2010 atau dengan kata lain akan di-stamping out. Salah satu alasan dibentuknya Komnas Flu Burung adalah untuk mengatasi segala permasalahan flu burung dan alhamdulillah sampai sekarang flu burung masih ada di Indonesia.

Flu burung adalah salah satu penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat menyerang hewan dan manusia. Artinya penyakit tersebut dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya dari manusia ke hewan.

Penyakit zoonosis ini dapat disebabkan oleh virus misalnya Rabies, Avian Influenza (AI); dan bakteri misalnya Anthrax, Tuberculosis (TBC). Hewan yang diserang Rabies diantaranya anjing, kucing, kelelawar, dll. Hewan yang diserang AI diantaranya adalah unggas. Hewan yang diserang Anthrax diantaranya adalah mamalia seperti kuda, sapi, kambing, dll. Sementara hewan yang terserang TBC contohnya adalah sapi.

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa jika Komnas Flu Burung diakhiri padahal A I masih banyak di Indonesia maka bagaimana kalau Komnas Flu Burung ini dilanjutkan atau ditingkatkan kapasitasnya menjadi Komisi Nasional Zoonosis yang aspeknya lebih luas dan penting bagi nasional dan internasional.

Sudah barang tentu dalam Komnas Zoonosis yang akan dibuat ini perlu mengkaji dengan baik agar “kegagalan/kesalahan” yang dibuat pada Komnas Flu Burung tidak terulang lagi. Jadi diperlukan penyempurnaan organisasi kelembagaan. Untuk itu persiapannya harus mantap, antara lain:

  1. Perlu jejaring (networking) yang baik antar lembaga terkait, misalnya antar lembaga pemerintah seperti Kementrian Kesehatan sebagai public health, Kementrian Pertanian sebagai aspek kesehatan hewan dan Kementerian Perhubungan sebagai aspek transportasi. Dukungan networking juga harus kuat diantara stakeholder seperti pemerintah, RS Umum, perusahaan swasta, asosiasi peternak, asosiasi obat hewan, organisasi profesi seperti IDI, PDHI, dll.
  2. Bagaimana birokrasinya? Hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus baik, jangan sampai akibat otonomi daerah peraturan pemerintah pusat tidak berlaku di daerah
  3. Masalah sumber daya manusia (manpower), harus dipilih “the right man on the right place” . Jadi pejabat atau petugas yang memegang wewenang haruslah dipilih orang yang sesuai dengan kepakarannya, akuntabilitas, dan dedikasinya bukan atas dasar pertemanan atau politik.
  4. Kemudian diperlukan “bridging” atau penjembatani antara Pemerintah-Rakyat-Swasta. Orang ini haruslah yang mumpuni bukan sekadar mankus – ‘manusia rakus’.
  5. Kebijakan (Policy) yang digariskan oleh Pemerintah harus jelas dan tegas! Tujuannya apa, TORnya bagaimana, kemudian institusi yang dibuat sampai sejauh mana independensinya tapi jangan kebablasan terlalu merdeka. Buat alur kerja, hak dan kewajiban setiap kompartemen. Siapa bertanggung jawab terhadap apa.
  6. Pendanaan (Finance), memang uang bukan segalanya, tapi tanpa uang sulit untuk berbuat. Diperlukan kajian strategis berapa banyak anggaran yang diperlukan. Kemudian berapa banyak anggaran yang dapat disediakan, siapa yang mendanai. Bagaimana cara penggunaannya supaya tidak terjadi kebocoran pendanaan. Bagaimana carapertanggungjawaban penggunaan keuangan.
  7. Pencatatan (Recording), yang perlu ditata yaitu database yang meliputi data populasi hewan (sensus hewan), data populasi manusia, peta penyakit, daerah endemik, sistem transportasi, dll. Database ini pula sebagai landasan pijakan sebelum bertindak untuk mencapai tujuan. Upaya penanggulangan mau dimulai dari mana dari aspek manusianya atau hewannya.
  8. Sistem informasi, sangat penting karena kesenjangan informasi antara Pemerintah, Swasta dan Rakyat dapat menimbulkan penafsiran yang salah, kecurigaan dan sebagainya. Jangan menyepelekan penyakit, tetapi jangan menakut-nakuti. Perlu ditanamkan kewaspadaan rakyat terhadap penyakit, penyebabnya, cara mencegahnya, dll. Kepentingan informasi berkaitan dengan database misalnya penyakit apa saja. Yang sudah ada di Indonesia, didaerah mana, SOP pemberantasan, institusi yang berhak men-declare menyatakan bahwa ada/tidaknya penyakit zoonosis.
  9. Perlu dilakukan dH-akukan pelatihan dan penyuluhan (continuing sustainable education) sehingga rakyat tidak lengah terhadap penyakit.
  10. Tim evaluasi dan pengawasan supaya segala tindakan dapat ditelusuri dan dapat diantisipasi kesalahannya.

Menurut saya Komisi Nasional Zoonosis ini akan lebih baik bila dikoordinasikan oleh Menkokesra yang notebene membawahi Menkes, Mentan, dll. Tetapi perlu diingatkan bahwa posisi Ketua, Wakil Ketua dan Sekjen haruslah dari kalangan Dokter Hewan yang berlatar belakang keahlian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Sedangkan dari pihak Depkes harus ada dokter manusia yang berlatarbelakang publichealth.

Dan jangan lupa diperlukan ahli farmakologi veteriner dan ahli farmakologi manusia untuk menentukan obat dan vaksin yang diperlukan untuk menghilangkan atau membebaskan Indonesia dari penyakit zoonosis.

Saya rasa perlu juga disana ahli ilmu epidemiologi baik epidemiologi penyakit hewan maupun penyakit manusia dan dokter praktisi baik hewan maupun manusia. Diharapkan sekali Komisi ini jauh dari hiruk pikuk politik, sehingga kinerjanya benar-benar profesional, berdedikasi untuk membebaskan Indonesia tercinta dari penyakit zoonosis yang mengerikan.

Mudah-mudahan Komnas Zoonosis ini banyak berguna bagi rakyat dan bangsa Indonesia bukan sekadar lembaga pemborosan uang negara.(red)

Kunjungan Para Tokoh Senior


Dalam beberapa hari berturut-turut di bulan Maret ini Infovet kedatangan tamu-tamu terhormat, antara lain Dr. drh Soehadji, Dr. Drh Sofjan Sudardjat, Pramu Suroprawiro, serta Drh Abadi Sutisna Msi.

Kami sebut tamu terhormat karena keempat tokoh ini bisa kita katakan sebagai simbol manusia sukses sekaligus manusia langka. Soehadji adalah manusia langka karena karirnya dimulai dari pedalaman Kaltim di tahun 1960an kemudian menanjak terus dengan cemerlang hingga mencapai posisi nomor satu di Ditjen Peternakan selama 8 tahun.

Dr drh Sofjan Sudarjat, MS adalah yuniornya yang sekaligus penerusnya. Dia dijuluki sebagai Dirjen Peternakan satu abad, yaitu menjadi Dirjen di abad 20 dan berakhir di abad 21. Ia menjadi Dirjen di masa Presiden Habibie, kemudian Gusdur, hingga Megawati. Pada saat yang sama ia menjadi Dirjen sejak Menteri Pertanian Prakosa, Soleh Solahudin, hingga Bungaran Saragih. Biasanya satu Menteri gonta-ganti Dirjen, Sofjan justru sebaliknya, satu Dirjen gonta ganti Menteri, bahkan gonta ganti presiden. Begitulah kami sering berkelakar penuh kebanggaan. Soehadji dan Sofjan Sudardjat adalah dua di antara lima pendiri ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia)

Bagaimana dengan Pramu Suroprawiro? Ia manusia langka bukan saja karena otodidak, melainkan karena kegigihannya menjadi pengusaha di daerah. Di usianya yang sudah 78 tahun, ia masih mampu menyetir mobil sendiri dan senang bersilaturahmi ke sahabat-sahabatnya, termasuk di Infovet. Dia mengaku pengusaha kuni alias jadul. Justru ini yang menarik. Ia adalah perintis pembibitan ayam ras, pendiri GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas), juga pernah menjadi pegawai pemda DKI dan merintis perusahaan pembibitan ayam milik Pemda jaman Gubernur DKI Ali sadikin. Saat ini Pramu memiliki perusahaan pembibitan unggas milik sendiri di Sulawesi Utara. Hampir Setiap kali pulang ke Jakarta menyempatkan silaturahmi ke Infovet.

Sementara itu, Abadi Sutisna yang juga sering menulis di Infovet, bukan sekedar ahli farmakologi veteriner, melainkan juga seorang yang dijuluki jembatan komunikasi ASOHI-Pemerintah. Ia paham berbicara sebagai ASOHI sekaligus memahami pola pikir birokrasi. Tulisannya di Infovet selalu menjadi rujukan kalangan peternak dan pengusaha.

Ada apa mereka di Infovet bulan Maret ini? Tidak ada apa-apa. Justru inilah kebanggaan kami, mereka hadir semata sebagai silaturahmi, sesuatu yang patut dicontoh generasi muda. Uniknya, mereka hadir di hari yang hampir bersamaan. Di usianya yang tidak lagi muda, tak tampak tanda-tanda semangatnya menua. Mereka teladan bagi kita kadang lupa semangat mengabdi dan semangat silaturahmi.

Kami tentu bangga memiliki tamu istimewa. Mereka datang tanpa membuat janji, dan mereka juga tidak kecewa jikalau di kantor hanya ada staf.

Terima kasih Bapak-Bapak, engkau telah memotivasi kami akan arti dedikasi.(red)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer