Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SETELAH TUJUH TAHUN BERSAMA FLU BURUNG

Penyakit Avian Influenza (AI) atau lebih populer dengan flu burung yang mewabah di Indonesia sejak bulan September tahun 2003 telah menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Penyakit ini menjadi perhatian dunia karena telah menular ke manusia pada tahun 1997 di Hongkong. Setelah itu flu burung ditemukan di sejumlah negara Asia, yaitu Korea Selatan, China, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Penularan dari hewan ke manusia yang menyebabkan kematian, menimbulkan kekhawatiran terjadinya pandemi (wabah penyakit infeksi yang menyebar ke seluruh dunia atau dalam wilayah yang luas) seperti pandemi yang terjadi pada tahun 1918-1919 di kenal sebagai Influenza Spanyol (Spanish Flu), dan dianggap sebagai wabah flu terbesar sepanjang masa.

Penyakit AI yang disebabkan oleh virus Influenza Tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae ini berdasarkan patogenitasnya, dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan High Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Selain menyerang ayam ras komersial, penyakit AI juga menyerang berbagai jenis unggas termasuk unggas eksotik yang dipelihara di kebun binatang.

Banyak pakar melaporkan bahwa unggas air seperti entog, angsa dan itik bertindak sebagai carrier virus AI, sehingga dapat berperan sebagai ’inkubator’ virus sebelum ditularkan ke hewan lainnya. Sementara itu ternak babi dapat bertindak sebagai intermediate host, sedangkan burung-burung liar diduga dapat menyebarkan virus tersebut. Realitas ini memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit lebih luas termasuk penularan pada manusia, karena AI merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling diperhitungkan.

Di Indonesia, virus LPAI sudah diisolasi dari itik dan burung Pelikan pada tahun 1983 dan diidentifikasi sebagai H4N6 dan H4N2. Penyebab wabah peyakit AI yang terjadi di Indonesia pada tahun 2003 telah dapat diisolasi, dan selanjutnya dikarakterisasi sebagai virus AI dengan subtipe H5N1 yang sangat patogen.

Beberapa strain virus LPAI mampu bermutasi pada kondisi lapang menjadi virus HPAI. Virus HPAI bersifat sangat infeksius dan dapat menyebabkan kematian hingga 100% dalam waktu yang cepat pada unggas dengan atau tanpa gejala klinis, dan dapat menyebar dengan cepat antar flock.

Penularan ke unggas lain terjadi melalui kontak langsung dengan sumber penularan sekresi hidung, mata dan feses dari unggas terinfeksi, udara di daerah tercemar, peralatan kandang tercemar atau secara tidak langsung melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut, pakan, dan lain-lain yang berasal dari daerah tercemar. Feses yang terkontaminasi virus AI dapat tahan sampai waktu yang sangat lama terutama dalam keadaan sejuk dan lembab.

Kerugian Terbesar Karena Pemberitaan
Merebaknya kasus penyakit AI di berbagai wilayah Indonesia diduga mempunyai dampak yang cukup serius secara lintas sektoral, mengingat dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya cukup besar. Dampak terbesar menurut Drh Slamet Riyadi pada industri perunggasan dan sarana pendukung lainnya. Sejak merebaknya kasus flu burung ini, industri perunggasan Indonesia bahkan dunia merosot tajam sampai ambang batas kolaps. Data kerugian akibat flu burung diperkirakan mencapai Rp 3.87 trilyun, dengan banyaknya ternak unggas yang mati maupun dimusnahkan akibat terpapar virus ini.

Dampak lain menurut Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Cabang Lampung ini adalah meningkatnya impor produk peternakan, serta kepanikan masyarakat yang berakibat sebagian menghindari konsumsi telur dan daging ayam. Kepanikan terjadi di masyarakat bukan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan media, akan tetapi karena materi dan pelaksanaan sosialisasi itu sendiri yang keliru di lapangan, sehingga kasus pneumonia pada manusia yang seyogianya diarahkan ke Tuberkolosis, dengan adanya gaung flu burung kasus tersebut diarahkan menuju kasus penyakit AI.

Di samping itu, pemberitaan yang berlebihan tentang flu burung ternyata memiliki dampak tersendiri bagi industri perunggasan nasional. Kerugian yang dialami oleh masyarakat perunggasan bukan disebabkan dampak langsung dari wabah flu burung, melainkan akibat pemberitaan yang berlebihan dan tidak proporsional.

Berbagai usaha dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus AI di lapangan. Usaha penanggulangan AI ditempuh dengan jalan pemusnahan massal ayam-ayam yang terpapar AI dengan memberikan dana kompensasi pada peternak. Sulitnya penanggulangan AI di Indonesia terkendala pada sosial budaya masyarakat yang kental. Di samping itu, masalah utama yang menyebabkan sulitnya penanggulangan penyakit tersebut adalah adanya usaha-usaha peternakan unggas dengan skala non komersial pada lokasi yang tersebar, sehingga jumlah dan keberadaannya sulit dikontrol, oleh karena belum adanya perwilayahan (zoning) industri perunggasan itu sendiri.

Penerapan biosekuriti yang ketat pun pada sistem budidaya, pemasaran, distribusi, dan pemotongan unggas pada berbagai sektor usaha perunggasan khususnya pada sektor 3 dan 4 juga masih longgar dan menjadi persoalan yang sulit dipecahkan. Demikian juga halnya dengan program vaksinasi. Sebagian peternak menyatakan bahwa vaksinasi AI khususnya pada ayam pedaging tidak perlu dilakukan mengingat biaya yang dikeluarkan untuk vaksinasi cukup tinggi, namun dalam konteks pencegahan penyakit, vaksinasi dianggap sebagai satu cara jitu yang dapat menghambat masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh ternak. Lantas, bagaimanakah kondisi usaha peternakan terkini setelah 7 tahun bersama penyakit AI?
(sadarman, dari berbagai sumber)

Beragam laporan dari beberapa narasumber Infovet di lapangan mengenai pembahasan ini, seperti dari Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD, drh Dinar Hadi Wahyu Hartawan, dari Padang; Drh Dodi Mulyadi, dari Palembang; Drh Hari dan Ir Hanggon dirangkum dalam sebuah artikel Infovet edisi 187/Februari 2010 ........................................................................................untuk Informasi pemesanan dan berlangganan klik disini

Tahun Baru 2010 Bersama Medion

Kemeriahan tahun baru 2010 semakin terasa tatkala pada Minggu pagi tanggal 3 Januari 2010 di lokasi pabrik Medion Cimareme Bandung, diadakan perayaan tahun baru 2010 bersama seluruh staf Medion. Kegiatan ini sebagai ungkapan berbagi kebahagiaan dengan semua staf yang telah turut serta membangun Medion.

Nuansa kekeluargaan dan persaudaraan sangat terasa dalam acara tersebut dimana satu sama lain saling berbaur bercengkerama dan bercanda tanpa mengindahan pangkat yang dikenakan. Berbagai hiburan selayaknya acara tahun baru juga turut menyemarakkan kegiatan tersebut. Dalam kesempatan itu pula, Medion menganugerahkan penghargaan kepada 40 orang staf atas loyalitas mereka berkarya bersama Medion selama 5, 10, 15 hingga 30 tahun.

Tema yang diangkat kali ini adalah “Medion Go Green” yang turut dimeriahkan dengan pembagian souvenir berupa tanaman buah seperti nangka, belimbing, jeruk dan mangga. Diharapkan tanaman itu akan ditanam oleh tiap peserta di rumahnya masing-masing sebagai bentuk partisipasi menekan efek global warming.

Tema Medion Go Green bertujuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Dengan mengadopsi slogan reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (daur ulang), diharapkan setiap pekerja bisa mengamalkan perilaku ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-harinya. (red)

Quo Vadis Kebijakan Vaksin AI di Indonesia

Oleh: Drh Abadi Sutisna MSi

Alhamdulillah sampai akhir tahun 2009 Avian Influenza alias ”flu ayam” masih eksis di Indonesia, walaupun kasusnya tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya kalau mau diintrospeksi, mau sampai kapan virus ini bisa diberantas? Bahkan apakah mungkin Indonesia bisa memberantasnya?

Barangkali sudah sekian puluh penelitian yang dilakukan oleh lembaga Departemen Pertanian, Universitas dan tak kurang-kurangnya bantuan asing yang mengaitkan expert yang satu dengan yang lainnya untuk meneliti penyakit akibat virus AI yang notebene adalah juga penyakit zoonosis. Belum lagi Depkes yang juga tak kalah rajinnya mengumpulkan data darah peternak ayam di Jawa Barat.

Kalau ditinjau dari segi pemberantasan penyakit seharusnya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengendalian AI dengan kebijakan vaksinasi adalah:
1. jenis virus yang ada di lapangan.
2. jenis vaksin yang ada di pasaran.
3. jumlah vaksin yang tersedia.
4. kualitas vaksin, dan
5. pola penyebaran jenis virus.

Berangkat dari situ sudah barang tentu perlu diperhatikan juga ”Dinamika Virus AI” artinya virus ini sangat cepat berubah. Lihat saja gejala patologi anatomi yang ditimbulkan oleh virus AI pada awal outbreak di tahun 2003 sangat berbeda dengan gejala patologi anatomi pada AI yang sekarang.

Kedua, dinamika ayam dalam hal ini DOC, misalnya DOC yang diproduksi dari wilayah Jawa Barat divaksin dengan vaksin AI strain Legok, maka hanya dalam waktu beberapa jam kemudian ayam sudah sampai di Jawa Timur atau Bali. Dari sini bisa diartikan bahwa jenis vaksin yang di Jawa Barat sama dengan jenis vaksin yang di Jawa Timur atau Bali. Dengan demikian untuk dapat mengikuti dinamika virus AI dilapangan perlu kesinambungan Pemetaan Antigenik (antigene mapping) Virus AI sehingga dapat diikuti terus-menerus perkembangannya.

Sejauh ini belum diketahui pasti apakah kenaikan titer antibodi pada ayam dikarenakan oleh hasil vaksinasi ataukah karena infeksi alam. Hal ini perlu ditelaah supaya kita tidak terlena dengan hasil vaksinasi dari pemantauan tersebut, yang seharusnya perlu diperkuat dengan pelaksanaan program DIVA (Differentiating Infected from Vaccinated Animals).

Atas dasar itulah dirasa perlu dilakukan ”uji tantang” (challenge test) terhadap vaksin yang beredar di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya virus AI yang mana yang akan digunakan sebagai virus tantang? Juga perlu diyakinkan melalui kajian yang seksama bahwa virus yang digunakan untuk uji tantang adalah benar-benar mempresentasikan keadaan di lapangan. Uji tantang ini berlaku untuk semua jenis vaksin yang beredar di Indonesia baik produksi lokal maupun impor, sehingga mohon maaf kepada produsen vaksin lokal bukannya tidak percaya pada kualitasnya, tetapi supaya diketahui ketepatan policy pemberantasan AI.

Beberapa waktu yang lalu produsen vaksin AI dikejutkan dengan adanya ”issue” bahwa pemerintah hanya akan menggunakan vaksin AI H5N1 strain lokal. Pertanyaan berikutnya muncul, bagaimana dengan peternak yang telah terbiasa menggunakan vaksin impor? Kalau ujug-ujug impor vaksin tersebut distop akan timbul kekosongan stok vaksin akibatnya pembibit/peternak dirugikan dan lebih parah lagi virus shedding akan makin besar. Belum lagi hal ini juga dikhawatirkan akan kembali menyuburkan upaya penyelundupan vaksin ilegal dari luar negeri karena permintaan yang melambung tinggi sementara stok tidak ada. Untuk itu perlu dijaga agar impor vaksin tidak terhambat sebelum diberlakukan ketentuan baru.
Tenggang waktu harus diberikan untuk kesiapan bagi pemerintah maupun para importir dan produsen vaksin AI dalam negeri. Hal ini agar dapat memberi kesempatan persiapan yang cukup bagi importir maupun produsen vaksin sebelum membuat vaksin baru atau sebagai stok vaksin lama paling sedikit selama 12 bulan. Karena diketahui sebagian besar perusahaan pembibitan lebih mempercayai (fanatik) menggunakan vaksin AI yang menurut mereka sudah terbukti kehandalannnya.

Kemudian di bulan November 2009 lalu tersiar kabar bahwa pemerintah akan menentukan 4 masterseed virus AI yang bakal dijadikan vaksin AI. Nah keempat virus tersebut adalah :
  1. A/Chicken/West Java/PWT-WIJ/2001
  2. A/Chicken/Pekalongan/BBVW-208/2007
  3. A/Chicken/Garut/BBVW-223/2007
  4. A/Chicken/West Java (Nagrak)/30/2007
Mudah-mudahan masterseed ini sudah diuji purity, potency, proteksi, safety, stability dan quality-nya, sekali lagi mudah-mudahan. Berbagai pertanyaan kemudian muncul dari berbagai pihak mengenai rencana perubahan kebijakan vaksinasi AI ini. Beberapa pertanyaan itu diantaranya adalah, Siapa dan lembaga mana yang telah menguji keempat master seed tersebut? Tetapi peraturan tinggal peraturan. Di Indonesia tetap harus ada petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak). Artinya semua kebijakan tersebut tentu harusnya sudah melalui prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pemerintah pun melalui Surat Edaran yang ditandatangani Dirjen Peternakan No. 30099/PD.620/F/9/2009 tanggal 30 September 2009 memberikan kriteria yang jelas bahwa untuk menghasilkan vaksin yang baik dengan kualitas, efikasi dan keamanan yang tinggi serta potensi yang optimal master seed baru harus :
  1. Berasal dari subtipe H5N1,
  2. Sifat immunogenisitas tinggi,
  3. Sifat antigenisitas dengan cakupan geografis yang luas,
  4. Sifat genetik dan antigenik yang stabil, serta
  5. Tingkat proteksi yang tinggi terhadap uji tantang dengan beberapa isolat virus yang berbeda karakter genetik dan antigeniknya.
Pertanyaan berikutnya adalah kapan peraturan yang ditunggu itu akan keluar dan apakah akan segera berlaku? Dari keempat master seed tersebut, dimana disimpannya? Bagaimana cara produsen vaksin bisa mendapatkan master seed tersebut? Apakah harus “beli” atau hibah atau bagaimana prosedur mendapatkan master seed atau working seed-nya? Paling betul adalah produsen boleh membeli working seed dan wajib lapor kepada pemerintah tentang produknya. Jangan lupa untuk dilakukan pengujian produk akhir vaksin tersebut.

Pertanyaan lain lagi apakah produsen vaksin boleh mengkombinasi keempat working seed tersebut sehingga didapatkan vaksin AI polivalen atau bahkan menggunakan working seed yang mereka miliki sendiri sejauh sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan Pemerintah?
Selanjutnya apakah boleh dibuat vaksin rekayasa genetik dari empat masterseed yang ditetapkan pemerintah ini, misalnya vaksin rekombinan/reverse genetic? Pertanyaan ekstrim berikutnya muncul dari sisi produsen luar negeri adalah bolehkah dilakukan “toll manufacturingworking seed tersebut ke luar negeri?

Masukan ASOHI
Berbagai pertanyaan tersebut senada dengan masukan dari pertemuan dengan para importir dan produsen vaksin yang digelar Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) 4-5 November silam dan telah disampaikan kepada Dirjen Peternakan secara langsung. Diantaranya dalam menentukan master seed, perwakilan perusahaan importir dan produsen vaksin AI sepakat memberikan masukan agar terjaminnya keamanannya dan kestabilannya serta daya proteksinya tinggi perlu pengkajian yang seksama sehingga dapat diperoleh suatu master seed yang unggul serta kemungkinan diperlukannya kombinasi beberapa kandidat master seed.

Lebih lanjut, master seed yang telah terpilih disimpan dan disediakan oleh Pemerintah yang dapat diperoleh bagi semua produsen obat hewan untuk di produksi baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh vaksin AI yang efektif dan aman agar dapat pula diberikan kesempatan bagi produk vaksin AI rekombinan.

Sementara untuk Pelaksanaan Uji Tantang supaya tercapainya daya proteksi yang tinggi agar virus yang digunakan dalam uji tantang benar-benar mempresentasikan strain virus yang ada pada berbagai lokasi di lapangan. Selain itu diharapkan di masa mendatang virus AI yang digunakan untuk uji tantang agar dapat diperoleh para produsen obat hewan untuk uji tantang diperusahaan masing-masing dalam rangka Internal Quality Control.

Perhatikan 4 ...Si
Atas semua paparan tersebut, Pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu memikirkan masak-masak manakala akan membuat kebijakan baru. Dengan kata lain perlu diperhatikan 4 ...Si nya, yaitu:
  1. Apa urgensinya?
  2. Bagaimana argumentasinya?
  3. Bagaimana aplikasinya?
  4. Serta apa konsekuensinya?
Kesimpulannya disini penulis kembali menegaskan agar Pemerintah jangan tergesa-gesa membuat peraturan baru yang akan berdampak besar bagi pelaku industri peternakan. Jawabnya mari kita tanya pada rumput yang bergoyang. (Red*)



Agrinex Expo Kembali Digelar

Pameran agribisnis berskala internasional akan digelar tahun ini pada 12-14 Maret mendatang di Jakarta Convention Center (JCC) Hall A dan Cendrawasih. Demikian pernyataan dari Ir. Rifda Amarina President Director Performax pada saat rapat persiapan panitia Agrinex International Expo 2010 dengan DEPTAN di Ruang Pola Lt. 2 gedung pertanian (7/12).

Performax, setelah tiga tahun berturut-berturut sukses dalam penyelenggaraan pameran agribisnis maka untuk tahun ini Agrinex Expo pun naik kelas menjadi Agribussines Expo International. Hal ini sesuai dengan amanat dari Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sambutannya dalam pembukaan Agrinex 2009 lalu. Beliau juga menyatakan bahwa saat ini Indonesia telah berhasil dalam swasembada beras maka akan semakin banyak pula agribisnis yang harus di perbincangkan untuk diperjuangkan.

Dengan mengusung tema “Agribussines Destination for Lokal & Global Market” sehingga sudah pasti expo kali ini dapat menjadi tempat dimana trend kebutuhan dunia akan produk agribisnis dapat tergambar dengan jelas, sehingga akan tumbuh industri agribisnis yang berorientasi pada pasal global. “Beberapa Negara telah menyatakan akan hadir di Agrinex expo tahun ini diantaranya Perancis, Jepang, Polandia, Cina, Singapura dan yang lain pun akan segera menyusul kesertaannya,” ungkap Rifda kepada Infovet.

Kedepan Agrinex akan terus menjadi expo agribisnis di negeri ini dengan dukungan dari Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri, Departemen Koperasi dan UKM serta dari Departemen Pertanian. Sehingga tentu saja Agrinex dapat menjadi fasilitator untuk para pelaku usaha, Litbang, CSR Program, PEMDA, serta Departemen terkait dalam menampilkan apa yang telah dan akan dilakukan dalam membangun agribisnis untuk kesejahteraan bangsa. Selain itu Agrinex akan menjadi tempat mendapatkan mitra bisnis dan inspirasi bisnis usaha bagi para buyer, trader dan investor.(all)

Temu Ilmiah Mahasiswa Peternakan Indonesia

Ismapeti kembali menyelenggarakan kegiatan Temu Ilmiah Mahasiswa Peternakan Indonesia (TIMPI) sebagai wujud kepedulian mahasiswa peternakan yang berhimpun dalam Ismapeti. Ketua Panitia Pelaksana Gandung Mahasiswa Prodi Ilmu Peternakan Fapertapet UIN Suska Riau menyatakan bahwa pelaksanaan TIMPI kali ini merupakan yang pertama kalinya di Riau, sehingga kegiatan rutin tahunan Ismapeti ini disambut baik oleh semua elemen mahasiswa peternakan se-Sumatera.

Kegiatan akbar ini diusung dengan tema Peranan Swasembada Pangan Dalam Membangun Ketahanan Pangan Nasional, dengan pembicara Ir Fauzi Luthan Direktur Ruminansi Deptan, Ir Tantan Rustandi Wiradarya MSc PhD Dekan Fapertapet UIN Suska Riau, dan Kepala Dinas Peternakan Provinsi Riau drh Askardya R Patrianov. Kegiatan yang dihadiri oleh perwakilan lembaga tertinggi ditingkat mahasiswa peternakan (BEM/ Senat/ HMJ) se-Indonesia ini dilaksanakan pada tanggal 7-10 November di Universitas Islam Negri Sultan Syarif Kasyim (UIN SUSKA) Riau.

Seperti diketahui, kebijakan impor pangan menjadi sebuah program instan untuk mengatasi kekurangan produksi pangan dalam negeri. Namun hal ini membuat petani peternak semakin terpuruk dan tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas tersebut. Akibat over suplai pangan impor tersebut seringkali memaksa harga jual hasil panen petani menjadi rendah dan tidak sebanding dengan biaya produksi, sehingga petani menjadi rugi.

Rangkaian kegiatan TIMPI yang diselenggarakan di Bumi Melayu Riau ini meliputi Lomba Karya Tulis Mahasiswa dan SMA, Leadership Training, Kampanye Gizi Masyarakat, dan Kunjungan Ilmiah ke Peternakan. Tampil sebagai pemenang adalah karya ilmiah milik Siska Aditya Mahasiswa Fapet UGM Yogyakarta. Pemuncak lainnya adalah Fapet Udayana, Fapet IPB, Fapet Undip, dan Fapet Unja. Sementara itu untuk tingkat SLTA, keluar sebagai pemenang adalah Dini Umairoh siswi SMA Negeri 11, SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 8 Pekanbaru. Satu hal yang menjadi bahan masukan dari Ismapeti sebagai lembaga profesi mahasiswa peternakan untuk pemerintah adalah pemerintah harus lebih berani mengurangi ketergantungan pada impor dan lebih memilih sumber daya lokal untuk ketahanan pangan nasional. (Sadarman)


Prospek Agribisnis 2010,Bisa Lebih Baik

Menatap perkembangan agribinis Indonesia ke depan merupakan agenda yang kerap dilakukan setiap jelang akhir tahun. Hal inilah yang melatarbelakangi Agrina menggelar seminar nasional ”Agribusiness Outlook 2010” yang berlangsung di Menara 165, Jl. TB Simatupang, Jakarta Selatan pada Rabu 25 November lalu.

Beberapa nama narasumber dipercayakan untuk menjadi pembicara dan menyumbangkan analisisnya untuk prospek perkembangan sektor pertanian di negeri ini, antara lain yaitu Guru Besar Fakultas Ekonomi Manajemen IPB Dr Ir Hermanto Siregar, MEc yang memaparkan “Tantangan dan Peluang Pertumbuhan dan Perkembangan Agribisnis Indonesia 2010”; Ketua Pusat Studi Inovasi Agribisnis Dr Ir Agus Wahyudi mengangkat makalah berjudul “Prospek Investasi Industri Bahan Bakar Nabati Perkebunan”; serta Program Manager Agribusiness International Finance Corporation (IFC) Ernest E Bethe III yang menyampaikan IFC Overview.

Perkembangan sektor agribisnis di Indonesia tahun 2009 menunjukkan angka positif, yaitu sekitar 5,5 hingga 6%, lalu bagaimana dengan prediksi dan harapan untuk tahun 2010 ini. Menteri Pertanian Suswono dalam sambutan pun berharap dalam Outlook and Evaluation di seminar ini dapat merumuskan hasil yang konkrit untuk pertumbuhan agribisnis di Indonesia.

Prospek agribisnis tahun 2010 bisa lebih baik dari tahun lalu serta produk pertanian dan pangan pun akan lebih bisa bersaing di pasar dunia, namun hal ini sangat bergantung pada kondisi ekonomi global dan makroekonomi Indonesia. Disamping itu juga didukung oleh kebijakan pemerintah yang integrated dan komprehensif yaitu kebijakan dari hulu sampai hilir dalam hal supporting system.

Moderator seminar Dr Ir Rachmat Pambudy MS menyampaikan bahwa perlunya dukungan pemerintah yang meliputi beberapa kebijakan yaitu: kebijakan input yang meliputi pupuk, benih, lahan, air, dan kredit; Kebijakan on farm untuk perlindungan kepada pihak pelaku agribisnis; Kebijakan lahan, transportasi maupun harga yang tidak tumpang tindih; dan kebijakan yang terakhir adalah proteksi dan promosi.

“Kalau memang pemerintah tidak bisa melindungi harga, itu karena memang hanya kadang-kadang saja kita panen serentak, namun paling tidak pemerintah dapat memberikan perlindungan harga terhadap impor yang tidak adil. Sebab, sudah ada tanda-tanda lagi Indonesia mau mengimpor paha ayam dan produk daging, yang dalam prakteknya itu tidak baik. Pelaku usaha ingin melakukan perdagangan yang adil, sehingga perlu perlindungan dari unfair trade (perdagangan tidak adil),” ungkap Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia pada sesi rangkuman seminar.

Seminar pun ditutup dengan penganugerahan Agrina Award 2009 yang meliputi tiga kategori dan pemenang. Kategori Pelaku Agribisnis Muda Inspiratif diberikan kepada David Andi Purnama, (formulator probiotik), kategori Kepala Daerah Kreatif dalam Pengembangan Agribisnis diraih Bupati Merauke Drs Johannes Gluba Gebze. Sedangkan untuk kategori Pelaku Agribisnis Inovatif, pemenangnya adalah PT East West Seed Indonesia.(all)

Kunjungan Tim GMP Inspection dari Pakistan ke Medion

Pada tanggal 22-26 November 2009, Medion kedatangan tamu lagi dari Organisasi Pengkontrolan Obat Departemen Kesehatan Pakistan yaitu Mr. Ghulam Rasool Dutani selaku Deputy Director General (Registration) dan Mr. Akhtar Abbas Khan selaku Deputy Drugs Controller. Keduanya melakukan inspeksi terhadap Good Manufacturing Practice (GMP) produk biologik di PT. Medion.

Selama lima hari di Bandung, kedua tamu mendapat penjelasan detail mengenai profil perusahaan dan melakukan peninjauan langsung terhadap fasilitas produksi vaksin, mulai dari gudang bahan baku, ruang proses produksi, laboratorium Quality Control (QC) dan pengujian hewan hingga Supply and Distribution Medion (S&D) yang berfungsi mendistribusikan produk.

Mr. Ghulam Rasool Dutani dan Mr. Akhtar Abbas Khan mengungkapkan kekagumannya terhadap fasilitas produksi yang dimiliki oleh PT. Medion. Terlebih lagi, aturan GMP yang diterapkan secara ketat mulai dari pengadaan bahan baku hingga distribusi ke tangan customer sehingga kualitas produk tetap terjaga.

Sebelumnya pada bulan Mei 2009, Medion juga telah menerima kunjungan dari tim Departemen Pertanian Pakistan yang juga melakukan GMP Inspection untuk produk farmasetik. Sehingga dalam tahun 2009, sudah dua kali tim dari Pakistan mengunjungi Medion. Ini menunjukkan apresiasi tinggi serta pengakuan produk-produk Medion secara internasional khususnya dari Pakistan. Suatu kebanggaan bagi kita semua karena Medion sebagai perusahaan Indonesia bisa semakin berkibar di pasar internasional. Selamat!.(red)

Anthrax Masih Ancam Wilayah Nusa Tenggara

Kawasan padat populasi ternak sapi di pulau Lombok dan Sumbawa perlu dilindungi dari ancaman penyakit Anthrax.

Pada tanggal 23-25 Nopember 2009 bertempat di Hotel Lombok Garden Mataram, telah dilaksanakan Rakor Penanganan Penyakit Anthrax Regional Bali, NTB dan NTT. Penyakit Anthrax atau sering dikenal dengan nama penyakit radang Limpa adalah suatu penyakit bakterial menular yang dapat menyerang hampir semua hewan berdarah panas dengan tanda-tanda demam tinggi yang diikuti gejala sepsis dengan perdarahan yang hebat dan sangat akut. Penyakit ini selain menyerang hewan dapat bersifat zoonosis menular pada manusia.

Penyakit Anthrax disebabkan oleh kuman bakteri yang disebut Bacillus anthracis merupakan kelompok kuman gram positif berbentuk batang berkapsul dan berantai panjang. Kuman anthrax apabila berada di luar induk semang, akan membentuk spora akan sangat tahan hidup dan sulit diberantas serta spora dapat mencemari lingkungan hingga berpuluh tahun.

Itulah sebabnya wilayah Nusa Tenggara merupakan daerah Endemis Anthrax, sedangkan daerah bebas hanya Pulau Bali dan Lombok, untuk NTB penyakit Anthrax dilaporkan terjadi di Pulau Sumbawa yaitu di Kabupaten Sumbawa tahun 1997, 1998, 2002 dan 2004, kabupaten Bima tahun 2003 dan kabupaten Dompu tahun 1985 dan 1986. Sedangkan Pulau Lombok Bebas Kasus sejak tahun 1988, untuk Propinsi NTT kejadian Anthrax dilaporkan dihampir semua kabupaten seperti Sumba Timur tahun 1980, Pulau Sabu tahun 1987 dan 2006. Sumba Barat tahun 2007, Manggarai Barat tahun 2008 dan Ngada tahun 2008 dan 2009.

Pada Rakor tersebut dievaluasi permasalahan yang terjadi dalam pengendalian penyakit anthrax di Wilayah Nusa Tenggara antara lain :
  1. Masih rendahnya cakupan vaksinasi (<50>
  2. Jumlah dosis vaksin yang tersedia masih kurang (NTB 62%, NTT 65,9%).
  3. Tidak optimalnya pelaksanaan pengendalian karena medan/topografi yang sulit.
  4. Masa proteksi yang pendek sehingga diperlukan ulangan setiap 6 bulan.

Drh Maria Geong Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur menambahkan permasalahan di NTT yang ada antara lain kurangnya SDM Dokter Hewan dan Paramedis Veteriner serta Puskeswan di wilayah endemis anthrax , belum tersedianya kartu identifikasi ternak sebagai alat kontrol vaksinasi, juga minimnya informasi data kejadian penyakit anthrax sehingga menyulitkan pemetaan penyakit hingga tingkat desa/dusun.

Beberapa Rekomendasi yang dihasilkan dalam Rakor tersebut untuk ditindak lanjuti oleh masing-masing propinsi/kabupaten kota antara lain :
  1. Vaksinasi anthrax di wilayah endemis sebagaimana yang tercatat dalam peta penyebaran penyakit anthrax harus dilakukan secara masif (cakupan 100%).
  2. Kajian epidemiologi dalam upaya pemetaan kasus anthrax 30 tahun terakhir harus segera dilakukan guna menunjang kebijakan skala prioritas lokasi vaksinasi.
  3. Pengawasan lalu-lintas ternak harus dilakukan dengan ketat, terutama larangan ternak peka masuk ke daerah tertular dan ternak dari daerah tertular yang keluar harus sudah divaksinasi.
  4. Meningkatkan sarana dan prasarana laboratorium dan Puskeswan dalam pengendalian penyakit anthrax melalui kesepakatan pembiayaan bersama antara pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Dengan memahami permasalahan dan diikuti tindak lanjut rekomendasi yang diimplementasikan dalam kegiatan lapangan, diharapkan kasus anthrax dapat ditekan dan dikendalikan. Selamat bekerja dan semoga berhasil. (Drh Heru Rachmadi/NTB)

Di Akhir Tahun,Telur Ayam Dirundung Kelam

Akhir tahun 2009 ini, dunia perunggasan Indonesia nampaknya layak untuk di dikatakan sebagai sebuah kondisi yang ”sangat-sangat” tidak menggembirakan. Karena, setidaknya ke 3 (tiga) komoditi perunggasan yang potensial menggerakkan perekonomian riil di tengah masyarakat, yaitu daging ayam negeri, daging ayam kampung dan telur negeri, harganya telah jatuh mendekati titik nadir dalam sejarah perunggasan Indonesia selama ini.


Ketika tulisan ini dibuat (mendekati akhir Nopember 2009), harga ketiga komoditi pangan itu telah menyentuh level psikologis di bawah titik impas (BEP) masing-masing selama hampir lebih dari 6 minggu bahkan ada yang telah mencapai lebih dari 20 minggu.
Peternak benar-benar sedang mengalami ujian berat. Dan bagi yang masih bertahan, tanpa mengurangi populasi secara ekstrim ataupun menunda peremajaan, memang mempunyai pengharapan besar untuk meraih keuntungan lebih besar di tahun depan (2010). Istilah lazim di kalangan peternak BALAS DENDAM KERUGIAN akan diraih di hari kemudian. Namun toh jika ada yang terpaksa untuk menunda peremajaan dan atau yang menghentikan produksi alias tidak ada DOC masuk (chick in), sudah pasti sebuah langkah yang paling sangat realistis, jika tidak ingin tergulung usahanya.

Informasi yang dikumpulkan oleh Tim Pemantau Lapangan INFOVET Jawa Tengah - Yogyakarta, bahwa harga telur berada di bawah titik impas sudah berjalan lebih dari 21 minggu. Sebuah kondisi yang benar-benar sangat menyesakkan dada peternak. Berbagai upaya dan usaha bersama dari para peternak yang tergabung dalam organisasi atau asosiasi peternak, terus dilakukan. Namun ternyata tidak juga berdampak nyata untuk kurun waktu yang lama.
Langkah nyata yang telah dilakukan oleh beberapa peternak di Jawa Tengah antara lain menyumbangkan secara gratis ke yayasan atau panti asuhan. Selain itu, juga ditempuh aksi bagi-bagi telur masak sebanyak 19 ton oleh PINSAR Solo dalam rangka memecahkan rekor MURI, adalah bentuk nyata yang lain untuk mendongkrak harga telur di pasar.
Sekali lagi, langkah itu meski sempat menyeret harga telur sedikit naik, namun tidak dapat berlangsung lama, bahkan 2 hari pun, harga itu tidak kuat bertahan. Alias harga kembali ke titik awal sebelum upaya itu dilakukan.

Harga telur saat ini (mendekati akhir Nopember 2009) berkisar di angka Rp 7.600 – Rp 7.800 dan sudah berlangsung lebih dari 2 minggu. Dengan titik impas sekitar Rp 10.000/kg, maka berarti peternak harus menanggung beban kerugian rata-rata sekitar Rp 2.500/kg. Memang pada kisaran bulan Juli – pertengahan Agustus 2009, harga masih mendekati titik impas yaitu berkisar Rp 10.000 – Rp 10.500/kg, kemudian terus melorot sampai Rp 9.400 – Rp 9.600/kg selama hampir 3 minggu hingga akhirnya menembus dibawah harga Rp 9.000/kg untuk waktu yang panjang.

Harga memang sempat bergerak naik agak siginifikan di pertengahan September mendekati Lebaran, yaitu pada level di atas Rp 12.000/kg, namun sayangnya hanya berlangsung kurang dari seminggu saja. Harga kembali ke level di bawah titik impas lagi.

Sedangkan harga komoditi daging ayam potong, memang tidak mengalami fluktuasi yang ekstrim sebagaimana harga telur. Meski demikian, jika akumulasi dari bulan Juli sampai dengan akhir Nopember 2009 ini, maka harga secara umum, masih berada di bawah titik impas.

Proporsi waktu antara harga ekstrim tinggi dengan harga di bawah titik impas sekitar 35:65. Artinya peternak dalam posisi menanggung beban kerugian yang lebih lama dibanding tingkat keuntungannya. Pada bulan Juli 2009 memang relatif stabil dengan harga di kisaran Rp 12.500/kg s/d Rp14.000/kg. meski hanya berlangsung sekitar 2,5 minggu. Namun demikian harga pun pernah menyentuh di angka Rp 10.000/kg.

Atas hasil catatan TPL, bahwa kisaran harga daging ayam potong, ternyata pada level Rp 11,500 adalah harga yang paling lama bertahan. Dengan lain kata, pada level Rp 11.500/kg dimana titik impas secara umum adalah pada angka Rp 11.750- Rp 12.000 berarti beban kerugian peternak memang tidak terlalu banyak, namun dalam rentang waktu yang sangat panjang/lama, akhirnya kumulatif peternak menderita..

Sedangkan komoditi daging ayam kampung, lebih unik dan menarik lagi. Menarik oleh karena setelah wabah Flu Burung yang menghabiskan populasi ayam kampung milik penduduk, mestinya hukum ekonomi akan berlaku. Tetapi ternyata tidak juga hal itu terjadi. Bahkan harga pernah jatuh pada kisaran Rp 14.500/kg dengan titik impas berkisar Rp 18.000 - Rp19.000.
Konsumen utama daging ayam kampung adalah beberapa rumah makan khas tertentu memang relatif banyak membutuhkan, akan tetapi pasokan yang paling besar adalah berasal dari ayam kampung silangan yang dibudidayakan secara semi intensif oleh peternak profesional. Istilah ini untuk membedakan dengan peternakan rakyat yang dipelihara dan dibudidayakan ekstensif tradisional, alias dilepas bebas.

Posisi pemasok sebelum wabah FB memang dari peternakan ekstensif rakyat, namun akhirnya tergantikan oleh ayam kampung silangan yang sebenarnya populasinya juga belum begitu banyak. Menjadi unik oleh karena pada umumnya ketika menjelang lebaran harga terangkat naik, ternyata lebaran 2009 ini justru harga melorot mendekati titik impas. Lebaran 2009 di Jateng-Yogyakarta, harga hanya mampu menapak di kisaran Rp 17.000 – Rp 18.500. Artinya memang secara matematis ada selisih positif antara ongkos produksi dengan harga penjualan. Namun senyatanya peternak umumnya, tidak mendapatkan apapun justru menderita kerugian oleh karena tingkat kematian (mortalitas) yang relatif masih tinggi 9 – 12 %.
Memang masih menjadi pertanyaan para pelaku usaha ayam kampung mengapa hal itu terjadi. Sebab harga daging sapi yang menjadi kompetitor utama dalam menu lebaran justru relatif stabil dengan kecenderungan bergerak naik sedikit. Tetapi kenaikan harga ayam kampung tidak seperti Lebaran 2008 yang justru menembus angka Rp 24.000 padahal dengan ongkos produksi hanya 12.500 saja..

Berkaitan dengan kondisi harga komoditi perunggasan yang sangat memprihatinkan itu, para peternak mencoba meraba-raba penyebabnya, atas dasar aneka informasi yang diperoleh. Dugaan penurunan daya beli masyarakt yang melemah, tidak nyata sekali menjadi penyebab. Terlebih di tahun 2009 ada kegiatan berskala nasional yang bersifat serentak yaitu kampanye Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden, mestinya justru mampu menggenjot tingkat konsumsi komoditi itu.

Kemudian perkiraan peternak, tentang adanya telur dari negeri jiran Malaysia ataupun tepung telur impor juga mestinya tidak akan berpengaruh signifikan. Karena menurut asumsi peternak, pasokan telur impor itu sudah pasti tidak akan mampu dalam volume yang banyak.

Selanjutnya kecurigaan peternak pada saat bulan September sampai Nopember 2009 dimana harga DOC petelur yang relatif sangat murah, dituduh menjadi biang keladinya. Kambing hitamnya adalah perusahaan pembibitan ayam (breeding farm) yang telah melepas dan menggelontor telur tetas ke pasar konsumsi. Kecurigaan ini memang yang paling dapat diterima akal sehat, namun toh, seharusnya juga tidak akan mampu berlangsung lama, jika hal itu menjadi penyebabnya.

Lalu informasi terakhir tentang populasi ayam petelur dan ayam potong di Kalimantan dan Sulawesi yang sudah berkembang pesat, menurut para peternak menjadi faktor penyebab utamanmya. Produksi telur dan populasi ayam di pulau Jawa yang jelas nyata ada kencenderungan meningkat itu, sangat mungkin tidak tersalurkan hasilnya ke kedua pulau itu yang selama ini menjadi pasar utama. Informasi yang diperoleh Tim Pemantau Lapangan Infovet pada saat Rakernas ASOHI memang menguatkan dugaan yang terakhir ini.

Informasi sumber Infovet yang ditemui saat Rakernas ASOHI di Jakarta akhir Oktober 2009 memang menguatkan kecurigaan para peternak di Jawa bahwa kedua pulau besar itu sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Meski demikian, umumnya sangat sulit diperoleh kepastian seberapa besar pertumbuhan populasi dan banyaknya populasi ayam petelur dan ayam pedaging di kedua pulau besar itu.

Umumnya para peternak di Jawa menyikapi kondisi yang menimpa saat ini, masih dengan nada optimistis. Mereka seolah sepakat, bahwa bagaimanapun badai pasti akan berlalu. Namun peternak yang menjadi korban amukan badai harga juga tidak sedikit. Apakah mereka bisa bangkit atau sebaliknya terus terpuruk, tergantung dari keuletan dan kekuatan untuk berkelit .

Tahun 2010 tetap memberikan pengharapan yang luas membentang, bersiaplah menyongsong tetapi dengan selalu penuh kewaspadaan... (iyo)

ulasan artikel selengkapnya baca infovet edisi 185/Desember 2009 atau info pemesanan dan belangganan selengkapnya disini

Keamanan Pangan Asal Hewan

Masalah pangan merupakan masalah yang tidak bisa dilepas begitu saja dari kehidupan manusia. Pangan merupakan kebutuhan yang paling dasar bagi kehidupan manusia. Ironis sekali, Indonesia sebagai negara agraris belum dapat memanfaatkan keunggulan komparatif yang dipunyai untuk membangun ketersediaan pangan bagi penduduknya.

Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang masih melakukan impor terhadap sejumlah kebutuhan pangan dasar seperti susu, daging sapi dan kedelai. Satu pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin membangun sumber daya manusia yang unggul di tengah kesulitan mendapatkan pangan?

Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah perihal keamanan pangan itu sendiri. Pangan yang dibutuhkan konsumen bukan saja sehat dan bergizi namun lebih dari itu, segi keamanannya lebih utama dan penting bagi konsumen untuk menghilangkan kekhawatiran dalam mengkonsumsi pangan dimaksud.

Hal itu mencuat dalam Seminar Nasional Pangan bertema Keamanan Pangan Dalam Rangka Menyangga Kecukupan Pangan yang Berasal dari Hewan. Seminar ini diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Ternak di gedung LPPU Undip Tembalang (29/10). Seminar digelar dalam rangka memberikan informasi jujur kepada konsumen perihal maraknya produk pangan yang tidak layak makan beredar dipasaran.

Ketua panitia penyelenggara Muhammad Iqbal Lintang Dalu menyatakan, pangan dengan kuantitas dan kualitas yang baik sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Informasi tentang pangan bermutu tersebut jarang yang menyentuh langsung ke kehidupan nyata di lapangan. Maka dari itu, pelaksanaan seminar ini setidaknya mampu memberikan informasi kepada konsumen perihal pangan bermutu tersebut. Pada kesempatan tersebut hadir sebagai pembicara Dra Rustyawati MKes Apt Kepala Bidang Pemeriksanaan dan Penyidikan Balai Besar Pemeriksaan Obat dan Makanan Semarang dan Ir Tri Wibowo S MBA Anggota Majelis BPSK DKI sebagai narasumber, dengan keynote speaker Bibit Waluyo Gubernur Provinsi Jawa Tengah.

Dalam sambutannya yang dibacakan oleh Ir Witono MSi Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah, penanganan pangan sehat, aman dan halal bagi konsumen bukan merupakan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Berbicara masalah pertanian dalam arti luas, sektor peternakan merupakan salah satu sektor penyangga dalam penyediaan pangan. Sejauh ini menurut Bibit, perihal keamanan pangan masih saja menjadi dilema bangsa ini.

Sementara itu, Ir Tri Wibowo S MBA mengatakan, sangat sulit bagi konsumen produk hewan memonitor secara langsung peredaran makanan yang tidak sehat. Padahal sejauh ini peredaran makanan yang tidak sehat tersebut tetap marak di negeri ini. Sebut saja, peredaran daging sapi glonggongan, ayam mati kemaren (tiren), pemalsuan telur dan berbagai praktek-praktek yang tidak terpuji lainnya yang dilakukan oleh sejumlah penyedia kebutuhan pangan negeri ini.

“Kita patut gelisah, ketika kita ingin mendapatkan protein yang mempunyai nilai gizi tinggi dari produk ternak yang kita konsumsi, ternyata produk ternak tersebut tidak memberikan manfaat seperti yang kita harapkan dan sebaliknya malah mempunyai efek negatif baik itu jangka pendek maupun jangka panjang, karena kandungan gizi yang ada di dalamnya telah rusak,” papar Tri.

Sehubungan dengan hal tersebut, sebenarnya pemerintah telah mempunyai sejumlah regulasi yang mengatur tentang kemanan produk pangan tersebut khususnya yang berasal dari hewan, di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 pasal 21 tentang masalah pangan.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintah melarang baik itu bagi produsen atau pengedar bahan pangan yang kiranya dapat membahayakan kesehatan konsumen. Hal yang sama juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1996 tentang perlindungan konsumen.

“Meskipun telah ada regulasi yang jelas mengatur perihal pangan, produksi dan distribusinya serta aman atau tidaknya bagi konsumen, namun tetap saja peredaran makanan tidak sehat marak terjadi di negeri ini,” ujar Tri Wibowo.

Permasalahan pangan bukanlah tugas pemerintah semata, namun perihal keamanan pangan merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk masyarakat yang juga sebagai konsumen. Menurut Dra Rustyawati MKes Apt, ada tiga pilar sistem pengawasan obat dan makanan yang menjadi prioritas utama pemerintah yaitu yang pertama; Produsen, sistem pengawasan yang dilakukan oleh internal produsen pangan dengan berpegang pada cara produksi yang baik atau good manufacturing practices (GMP) agar setiap penyimpanan dari standar mutu dapat segera diketahui. Kedua; Pemerintah, pemerintah bertanggung terhadap pengaturan, pembinaan, regulasi, standar mutu pangan, evaluasi produk sebelum diedarkan, pengawasan, pengambilan sampel untuk uji laboratorium, penetapan bahan-bahan yang dilarang digunakan pada proses produksi pangan. Ketiga; Konsumen, masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasnya dalam mewujudkan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi pangan.

Terkait sektor pangan untuk konsumen, Rustyawati mengatakan bahwa lembaga yang dipimpinnya mempunyai tupoksi dalam pengawasan mulai dari hulu sampai hilir. “Disini badan POM bekerjasama dengan dinas-dinas terkait,” ujarnya.

Lalu, apakah program tersebut sudah menyentuh konsumen level bawah? Menurutnya pengawasan untuk produsen makanan level bawah, tetap diperhatikan. BPOM telah berkerjasama dengan dinas kesehatan. Badan POM hanya memberikan Standar Operasional Prosedur (SOP) nya seperti prosedur GMP dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Indikasi keberhasilannya tergantung pada sejauh mana di tingkat konsumen tidak ditemukan lagi kasus-kasus keracunan makanan. Pengawasan yang terlalu ketatpun akan berdampak pada kondisi sosial para pedagang makanan tersebut. Dampak sosial tersebut berupa terjadinya penurunan omzet.

Pada kesempatan terpisah, Ir Witono MSi Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah mengemukakan pendapatnya perihal Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta yang melarang masuknya unggas hidup ke pasar-pasar di seluruh wilayah Ibu Kota ini.

Menurutnya, Perda tersebut sama sekali tidak memberikan pengaruh pada pengusaha peternakan ayam potong di Wilayah Jawa Tengah. “Perda tersebut pada dasarnya terobosan baru dalam rangka membatasi masyarakat kontak dengan unggas hidup yang disinyalir sebagai penular beberapa jenis penyakit,” papar Witono. Dampak yang akan terlihat menurutnya adalah terjadinya pergeseran model perdagangan ayam potong. (yudi, sadarman).

IRONI HARI PANGAN SEDUNIA

Milis disebuah komunitas pertanian mengungkapkan bahwa peringatan akbar ”Hari Pangan Sedunia Nasional ke-29, berlangsung melempem (baca: kurang bergairah)” demikian cuplikan dari forum diskusi ranah maya itu. Peserta diskusi menduga ada beberapa penyebabnya. Antara lain karena nyaris bersamaan dengan pergantian kabinet, anggaran untuk pelaksaan cekak alias mepet, atau mungkin petani sedang berduka karena panen raya jagung dan kedelai ”anjlog jlog” jauh lebih dari separo harga sebelumnya.

Liputan Tim Pemantau Infovet (LTPI), yang ikut pembukaan di hari pertama dan dilanjutkan pameran tidak bisa dibantah bahwa peserta pameran cukup banyak, karena hampir semua ruang penuh, namun sepi pengunjung. Ketika LTPI kembali mengunjungi ke lokasi pameran ternyata masih juga belum mampu menarik minat masyarakat untuk sekadar melihat-lihat.

Ada beberapa hal menarik yang perlu dicatat pada kegiatan nasional ini. Pertama, mungkin pilihan momen atau waktu pameran yang kurang tepat karena hampir bersamaan dengan terjadinya pergantian menteri. Kedua, lokasi pameran yang sangat jauh dari pemukiman penduduk, sehingga tentu saja mengurangi minat pengunjung. Ketiga, lokasi pameran yaitu Kawasan Wisata Candi Prambanan-CandiBoko adalah lokasi yang secara pariwisata, memang menarik, tetapi sayang berada di tengah-tengah dua kota Klaten dan Jogja yang relatif sama jauhnya. Dan keempat, mungkin publikasi dari panitia penyelenggara sangat minim, atau mungkin tidak ada sama sekali penyebaran informasi melalui radio atau koran-koran dan juga televisi. Dan yang terakhir atau kelima adalah petani sebagai pelaku budidaya tanaman pangan sedang berduka.

Slot ruang pamer yang berada di tengah lapangan memang relatif luas dan nyaman karena berpengatur udara/AC, namun hampir 95% diisi oleh instansi pemerintah pusat dan propinsi se Indonesia.. Peran serta swasta kebanyakan memilih di luar ruang pameran dan umumnya mendirikan warung makan untuk pengunjung dan peserta pameran, itupun sepi pembeli.
Seorang peserta pameran dari Dinas Pertanian Sumatera Selatan kepada Infovet menyatakan perasaan senangnya tetapi sekaligus prihatin. Senang dan beruntungnya, karena dapat berwisata gratis, namun juga kecewa karena apa yang dipersiapkan instansinya seolah tidak ada artinya sama sekali. ”Yah beruntunglah bisa wisata gratis ke Jawa, meski capek karena menempuh perjalanan darat. Namun saya juga sangat kecewa, karena pengujung tidak seperti yang kami bayangkan...sepi dan sangat sepi sekali,” ujar Muh Nurdin.

Seorang pengunjung yang ditemui Infovet, merasa prihatin dengan minat pengunjung yang demikian sepi. Padahal sangat banyak sekali manfaat yang dapat dipetik jika melihat pameran. Bahkan jika kalangan swasta diundang akan banyak sekali minat para pengusaha untuk berinvestasi baik langsung maupun tidak langsung.

Seperti diketahui Pameran yang digelar di lapangan sisi utara Kompleks candi Prambanan ini, dalam rangka peringatan Hari Pangan Sedunia Tingkat Nasional yang ke-29 menurut rencana dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, dengan alasan sedang mengurusi bencana alam Gempa di Sumbar, kegiatan itu di buka oleh Menteri Pertanian Anton Apriantono yang didampingi oleh Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Jawa Tengah.

Dalam sambutannya Anton menyatakan bahwa Indonesia pada tahun 2008 telah mampu mencapai prestasi besar setelah lebih dari 24 tahun prestasi itu dicapai. Tahun 1984 Indonesia pernah meraih negara yang mampu berswasembada beras, kemudian baru 24 tahun berikutnya (2008) prestasi kembali diraih. Langkah berikut adalah untuk menciptakan ketahanan pangan, sehingga jika saja terjadi gejolak harga komoditi pangan, Indonesia tidak mengalami masalah. Untuk itu menjadi perlu penganekaragaman bahan pangan pokok penduduk di Indonesia sesuai dengan ciri spesifik budaya masyarakat masing-masing.

Menurut Badan Pangan Dunia (FAO) sendiri, lebih dari 1,01 milyar penduduk di dunia pada tahun 2009 mengalami kekurangan pangan. Oleh karena itu menjadi penting jika Indonesia mampu melanjutkan swasembada pangan ke tingkat ketahanan pangan untuk kemudian berkontribusi membantu kawasn lain yang kekurangan bahan pangan.

Sangat disayangkan sekali, ketika pameran itu berlangsung, para petani jagung dan kedelai sedang dirundung masalah. Panen raya yang seharusnya membawa kegembiraan, ternyataberbuah duka nestapa, karena harga jual panen kedua komoditi tersebut anjlog hampir 200%. Jagung yang sebelumnya pernah mencapai Rp 3500/kg menjadi hanya Rp 1500/kg, sedangkan kedelai dari semula Rp 8000/kg anjlog hingga mencapai Rp 3500/kg.

Apes dan memprihatinkan sekali kondisi itu. Tidak ada pihak yang bersimpati dan mencarikan jalan keluar. Bahkan dalam acara itu sama sekali tidak disinggung nestapa petani jagung dan kedelai dalam sambutan para pejabat saat pembukaan. Mungkin perlu ditiru upaya positp yang dilakukan Gubernur Gorantolo dan Bupati Bantul. Kedua pejabat itu pasang badan mencari solusi ketika ada masalah dengan rakyat/ petaninya. Fadel Muhammad mengambil pilihan membeli kopi dan coklat panen petani ketika harga jatuh, tetapi membiarkan petani menjual langsung ketika harga sedang baik. Begitu juga Idham Samawi, yang membeli beras dan bawang merah panen petani ketika harga di pasar anjlog. Bahkan Idham menghimbausama sekali tanpa tekanan kepada para pegawainya di kabupaten Bantul untuk membeli beras dan bawang merah dari petani.

Ironis memang negara Indonesia ini, sebuah negara agraris tetapi petaninya terlalu sering dirundung sengsara. Semoga kabinet mendatang mampu mensejahteraan petani pada khususnya dan rakyat besar pada umumnya (iyo)

Usaha Ternak Sapi di Tasikmalaya Belum Optimal

Potensi usaha ternak sapi di Kabupaten Tasikmalaya belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat daerah itu. Hingga kini kebutuhan konsumsi daging sapi masyarakat di Tasikmalaya, baru dipasok oleh peternak lokal pada kisaran 18% saja.

“Padahal kebutuhan daging sapi warga Kabupaten Tasikmalaya mencapai 4.873 ekor setiap tahunnya. Peternak lokal baru bisa memasok sekitar 18% saja. Adapun sisanya, masih mengandalkan daging sapi dari luar daerah,” ungkap Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan (DPPK), Maman Dali.

Kepala DDPPK menambahkan, sampai sekarang aktifitas produksi daging sapi asal Kab. Tasikmalaya, dihasilkan dari pola usaha peternaknya secara rumahan bahkan tak sedikit yang hanya dijadikan sebagai usaha sambilan. Sementara, dari usaha mereka juga, produksinya masih terserap masyarakat di wil. Kota Tasikmalaya, dengan kebutuhan hingga 12 ribuan ekor setahunnya.

Menurut Maman, dari data angka potong sapi setahunnya, konsumsi warga Kab. Tasikmalaya sekarang sebanyak 4.873 ekor. Namun baru sekitar 18 % terpenuhi produksi sapi lokal, sedangkan sekitar 88% didatangkan dari daerah-daerah di |awa Tengah, Jawa Timur hingga NTB. Kecilnya angka produksi sapi potong, jelas dia, lantaran sampai sekarang belum ada pola usaha ternak besar.

Padahal areal untuk petemakan.di wilayahnya sangat berpeluang. Wilayah Kab. Tasikmalaya memiliki hamparan areal cukup luas mulai tanah pengangonan, areal berstatus tidak produktif atau lahan-lahan milik warga yang belum dimanfaatkan.Maman sempat mencontohkan, untuk lahan pengangongan saja dengan status milik desa itu sedikitnya tercatat ada 8.434 hektar, produksi rumputnya 164.733 ton bahan kering/-tahun. Kapasitas tampung untuk satuan ternaknya bisa mencapai 176.482 ekor.

Terus Dipacu

Adapun usaha mempertahankan angka produksi lokal terus dipacu pemda ini halnya dengan membangun unit pelayanan inseminasi buatan (IB) berikut bangunannya di tiap kecamatan sentra, melakukan tambahan quota ternak lewat kegiatan-kegiatan proyek tiap tahun, serta melatih petugas teknik IB di sejumlah kecamatan.

Daerah penghasil sapi potong dengan sekala rumahan di kabupaten ini masing-masing Kec. Salopa, Cikatomas, Pancatengah, Cibalong, Karangnunggal, Bantarkalong serta Kec. Cikalong. Jumlah kelompok peternaknya sebanyak 100 kelompok, tiap kelompok beranggotakan 20-30 orang. Jumlah pemeliharaan peternak dalam tiap kelompok, berkisar 2 - 3 ekor sapi saja Sementara, dari luas areal lahan yang cukup potensial dijadikan beternak sapi potong, hingga kini baru termanfaatkan sekitar 23,02 %. (sumber: neraca)

Mentan Suswono Audiensi dengan PB ISPI

Bertempat di ruang kerja Menteri Pertanian, Ir H Suswono MMA menerima kehadiran Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI), Senin 28 Desember 2009. Rombongan PB ISPI dipimpin langsung oleh Ketua Umum Yudi Guntara Noor, beserta jajaran pengurus diantaranya Rochadi Tawaf, A Purwanto, Robi Agustiar, Bambang Suharno, Tjeppy D Soedjana, dll.

Pada kesempatan tersebut Yudi menyampaikan bahwa ISPI selama telah berupaya terlibat setiap sisi pembangunan peternakan. Diantaranya ikut memberi masukan dalam penyusunan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang sudah diresmikan. Saat ini juga tengah memberi masukan dalam penyusunan peraturan pemerintah pendukung UU PKH. Serta ikut mensukseskan program swasembada daging jilid 3 yang dicanangkan Pemerintah.

Menyimak pencanangan program yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya yaitu (Ditjen Peternakan Departemen Pertanian) pada 2000-2005, yaitu ”Swasembada Daging on trend” dan pada 2005-2009 tentang P2SDS (Program Percepatan Swasembada Daging Sapi), kedua program tersebut telah dinyatakan ”gagal” yang diakui sendiri oleh pemerintah.

Padahal, sebelumnya berbagai organisasi profesi dan masyarakat peternakan telah banyak memberikan masukan termasuk ISPI. Namun, kini pemerintah masih juga menetapkan program ”swasembada daging jilid III yang bercita-cita swasembada daging sapi akan tercapai pada 2014. Belajar dari dua kali kegagalan program berswasembada daging sapi 2000-2009, kali ini yang dipertaruhkan adalah ”kredibilitas” seorang menteri pertanian yang juga merupakan sarjana peternakan. Untuk itu kini jajaran pengurus ISPI beserta semua sarjana peternakan diseluruh Indonesia menyatakan komitmen kembali untuk mensukseskan program Swasembada Daging Sapi 2014.

Tak lupa pada kesempatan tersebut jajaran pengurus juga meminta kesediaan Mentan Suswono untuk dicalonkan sebagai ketua ISPI periode mendatang. Kongres ISPI dijadwalkan akan digelar di Makassar tahun 2010 ini.

”Karena jabatan tertinggi seorang sarjana peternakan itu menjadi Ketua Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia, bukan sebagai Menteri Pertanian,” gurau Yudi yang disambut senyum Suswono. (wan)

Kisah Siput Tolol

Syahdan, di awal musim semi, seekor siput memulai perjalanannya memanjat pohon ceri. Beberapa ekor burung di sekitar situ memandangnya dengan perasaan geli. ”Dasar siput bego!” kata seekor burung tertawa mengejek.

”Hai siput tolol! Mau ngapain kau memanjat pohon itu?” kata burung lain. Burung yang satu ini bermaksud baik, mengingatkan agar siput tidak usah menghabiskan energi memanjat pohon. ”Di atas sana tidak ada buah ceri!” teriaknya.

Siput tetap memanjat pohon dengan penuh semangat. ”Pada saat saya tiba di atas, pohon ceri ini telah berbuah,”

Cerita ini saya kutip dari buku Recharge Your Life karya Haryo Ardito yang dikenal dengan julukan Die Hard Motivator. Moral dari cerita ini, kata Haryo Ardito adalah bahwa orang yang berpandangan jauh ke depan dapat melihat harapan di balik kekosongan. Sedang mereka yang hanya berpikir ”hari ini” melihat kekosongan sebagai kesia-siaan.

Cerita ini mendapat beberapa tanggapan bagus ketika saya tulis di internet. Seorang pembaca berujar,” jangan sepelekan orang yang kelihatan seperti siput tolol, siapa tahu kelak kita melihat dia sebagai seorang bintang”.

Ya, membaca cerita siput tolol ini, pemahanan saya mengenai ”pandangan jauh ke depan” terasa menjadi lebih dalam. Pada awalnya saya berpendapat, melihat jauh ke depan adalah sekedar menetapkan target berdasarkan trend keadaan saat ini. Ternyata tidak. Pekerjaan membuat trend, ahli statistik pintar sekali, tapi bukan berarti semua ahli statistik memiliki jangkauan padangan jauh ke depan sebagaimana layaknya para pemimpin hebat.

Begitupun para eksekutif yang mendapatkan informasi dan data yang disajikan di media cetak maupun melalui seminar-seminar. Tidak berarti semua peserta seminar langsung mampu melakukan pandangan jauh ke depan dari sebuah seminar mengenai prospek bisnis masa depan. Kejelian menggabungkan beberapa informasi itulah yang membuat seseorang dapat berbeda menyikapi data. Kita boleh sama-sama mengikuti seminar prospek bisnis, tapi cara kita merespon data dan informasi itulah yang membedakan siapa diri kita.

Memandang jauh ke depan juga bukan sekedar mengira-ira. Bukan pula sekedar mengucapkan cita-cita. Anak kecil juga bisa berpikir masa depan ketika ditanya tentang cita-cita. Dengan lancar mereka berkata, “saya kelak mau jadi polisi, mau jadi dokter, mau jadi insinyur, mau jadi pilot dan sabagainya”. Pasti bukan itu yang dimaksud cerita si ”siput tolol” ini.

Pandangan jauh ke depan di sini adalah melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh logika umum dan mulai melakukan action untuk meraih masa depan tersebut meskipun banyak orang mengabaikannya atau bahkan mengejeknya. Dalam logika normal, orang yang memandang jauh ke depan bisa terlihat tolol, tapi kelak orang akan melihat dia adalah pemimpin yang cerdas.

Bagi seorang yang berkarir, berpikir jauh ke depan dapat diartikan sebagai orang yang mau bekerja di suatu tempat yang sangat tidak diminati orang lain, dan di kemudian hari orang lain mengakui, karyawan ini layak disebut hebat karena pilihan karirnya sangat tepat. Dr. Drh. Soehadji dapat dijadikan sebagai salah satu contoh. Pada saat baru menyandang gelar dokter hewan, ia mau ditempatkan di daerah terpencil yakni di Kecamatan Sendawar, nun jauh di pedalaman Kalimantan Timur. Di kemudian hari, dengan pengalamannya yang sangat kaya di daerah, ia sukses meniti karirnya hingga di puncak, sebagai Dirjen Peternakan.

Seorang pengusaha atau calon pengusaha yang memiliki pandangan jauh ke depan bukan tipe orang yang berpikir instan. Ia mau membangun pabrik yang hasilnya 5 atau 10 tahun lagi. Orang berpandangan jauh kedepan adalah orang yang tekun dan konsisten dengan tujuannya. Ibarat pelari, mereka adalah pelari maraton.

Tirto Utomo adalah pengusaha yang awalnya diejek banyak orang karena membuat pabrik air putih dalam kemasan botol. Logika yang ada waktu itu adalah, air putih harus gratis, yang pantas dibotolkan adalah air minum yang manis, rasa coklat atau aneka rasa lainnya. ”Mana mau orang Indonesia membeli air putih dalam botol yang harganya (waktu itu-red) lebih mahal dari bensin,” demikian logika yang umum saat itu.

Pastilah banyak orang yang menilai Tirto Utomo seperti si siput tolol.

Tapi Tirto punya pandangan yang berbeda. ”kelak dimanapun anda berada, semua orang akan mencari air minum yang sehat dan higienis,” ujar Tirto menanggapi ejekan para pengamat.

Keyakinan ini bermula pada saat Tirto Utomo yang pernah bekerja di Pertamina. Tugasnya sering mengantar tamu orang asing, dan para tamu sering sakit perut karena minum air yang kurang bersih di warung makan. Ia melihat hal tersebut sebagai sebuah peluang meskipun ia memendam gagasan itu sekian lama. Dan saat peluang itu datang ia segera mewujudkan gagasan terpendamnya.

Tirto Utomo melihat ke depan, bahwa bukan hanya orang asing yang membutuhkan air putih dalam kemasan, tapi juga orang kita yang ada di angkutan umum, mobil pribadi dan dimana saja yang sulit mendapatkan air minum yang higienis.

Kini usaha yang ia rintis yang bermerek Aqua telah menjadi sebuah industri AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) terbesar di tanah air.

Mungkin saja, di sekitar saya ada siput tolol. Saya tak boleh lagi mengejek tindakan atau keputusan orang yang kelihatan aneh.

Selamat Tahun Baru 2010.

Email: bambangsuharno@telkom.net


Di Akhir Tahun,Telur Ayam Dirundung Kelam

Akhir tahun 2009 ini, dunia perunggasan Indonesia nampaknya layak untuk di dikatakan sebagai sebuah kondisi yang ”sangat-sangat” tidak menggembirakan. Karena, setidaknya ke 3 (tiga) komoditi perunggasan yang potensial menggerakkan perekonomian riil di tengah masyarakat, yaitu daging ayam negeri, daging ayam kampung dan telur negeri, harganya telah jatuh mendekati titik nadir dalam sejarah perunggasan Indonesia selama ini.


Ketika tulisan ini dibuat (mendekati akhir Nopember 2009), harga ketiga komoditi pangan itu telah menyentuh level psikologis di bawah titik impas (BEP) masing-masing selama hampir lebih dari 6 minggu bahkan ada yang telah mencapai lebih dari 20 minggu. Peternak benar-benar sedang mengalami ujian berat. Dan bagi yang masih bertahan, tanpa mengurangi populasi secara ekstrim ataupun menunda peremajaan, memang mempunyai pengharapan besar untuk meraih keuntungan lebih besar di tahun depan (2010). Istilah lazim di kalangan peternak BALAS DENDAM KERUGIAN akan diraih di hari kemudian. Namun toh jika ada yang terpaksa untuk menunda peremajaan dan atau yang menghentikan produksi alias tidak ada DOC masuk (chick in), sudah pasti sebuah langkah yang paling sangat realistis, jika tidak ingin tergulung usahanya.

Informasi yang dikumpulkan oleh Tim Pemantau Lapangan INFOVET Jawa Tengah - Yogyakarta, bahwa harga telur berada di bawah titik impas sudah berjalan lebih dari 21 minggu. Sebuah kondisi yang benar-benar sangat menyesakkan dada peternak. Berbagai upaya dan usaha bersama dari para peternak yang tergabung dalam organisasi atau asosiasi peternak, terus dilakukan. Namun ternyata tidak juga berdampak nyata untuk kurun waktu yang lama.


Langkah nyata yang telah dilakukan oleh beberapa peternak di Jawa Tengah antara lain menyumbangkan secara gratis ke yayasan atau panti asuhan. Selain itu, juga ditempuh aksi bagi-bagi telur masak sebanyak 19 ton oleh PINSAR Solo dalam rangka memecahkan rekor MURI, adalah bentuk nyata yang lain untuk mendongkrak harga telur di pasar.


Sekali lagi, langkah itu meski sempat menyeret harga telur sedikit naik, namun tidak dapat berlangsung lama, bahkan 2 hari pun, harga itu tidak kuat bertahan. Alias harga kembali ke titik awal sebelum upaya itu dilakukan.


Harga telur saat ini (mendekati akhir Nopember 2009) berkisar di angka Rp 7.600 – Rp 7.800 dan sudah berlangsung lebih dari 2 minggu. Dengan titik impas sekitar Rp 10.000/kg, maka berarti peternak harus menanggung beban kerugian rata-rata sekitar Rp 2.500/kg. Memang pada kisaran bulan Juli – pertengahan Agustus 2009, harga masih mendekati titik impas yaitu berkisar Rp 10.000 – Rp 10.500/kg, kemudian terus melorot sampai Rp 9.400 – Rp 9.600/kg selama hampir 3 minggu hingga akhirnya menembus dibawah harga Rp 9.000/kg untuk waktu yang panjang.


Harga memang sempat bergerak naik agak siginifikan di pertengahan September mendekati Lebaran, yaitu pada level di atas Rp 12.000/kg, namun sayangnya hanya berlangsung kurang dari seminggu saja. Harga kembali ke level di bawah titik impas lagi.


Sedangkan harga komoditi daging ayam potong, memang tidak mengalami fluktuasi yang ekstrim sebagaimana harga telur. Meski demikian, jika akumulasi dari bulan Juli sampai dengan akhir Nopember 2009 ini, maka harga secara umum, masih berada di bawah titik impas.


Proporsi waktu antara harga ekstrim tinggi dengan harga di bawah titik impas sekitar 35:65. Artinya peternak dalam posisi menanggung beban kerugian yang lebih lama dibanding tingkat keuntungannya. Pada bulan Juli 2009 memang relatif stabil dengan harga di kisaran Rp 12.500/kg s/d Rp14.000/kg. meski hanya berlangsung sekitar 2,5 minggu. Namun demikian harga pun pernah menyentuh di angka Rp 10.000/kg.


Atas hasil catatan TPL, bahwa kisaran harga daging ayam potong, ternyata pada level Rp 11,500 adalah harga yang paling lama bertahan. Dengan lain kata, pada level Rp 11.500/kg dimana titik impas secara umum adalah pada angka Rp 11.750- Rp 12.000 berarti beban kerugian peternak memang tidak terlalu banyak, namun dalam rentang waktu yang sangat panjang/lama, akhirnya kumulatif peternak menderita..


Sedangkan komoditi daging ayam kampung, lebih unik dan menarik lagi. Menarik oleh karena setelah wabah Flu Burung yang menghabiskan populasi ayam kampung milik penduduk, mestinya hukum ekonomi akan berlaku. Tetapi ternyata tidak juga hal itu terjadi. Bahkan harga pernah jatuh pada kisaran Rp 14.500/kg dengan titik impas berkisar Rp 18.000 - Rp19.000.


Konsumen utama daging ayam kampung adalah beberapa rumah makan khas tertentu memang relatif banyak membutuhkan, akan tetapi pasokan yang paling besar adalah berasal dari ayam kampung silangan yang dibudidayakan secara semi intensif oleh peternak profesional. Istilah ini untuk membedakan dengan peternakan rakyat yang dipelihara dan dibudidayakan ekstensif tradisional, alias dilepas bebas.


Posisi pemasok sebelum wabah FB memang dari peternakan ekstensif rakyat, namun akhirnya tergantikan oleh ayam kampung silangan yang sebenarnya populasinya juga belum begitu banyak. Menjadi unik oleh karena pada umumnya ketika menjelang lebaran harga terangkat naik, ternyata lebaran 2009 ini justru harga melorot mendekati titik impas. Lebaran 2009 di Jateng-Yogyakarta, harga hanya mampu menapak di kisaran Rp 17.000 – Rp 18.500. Artinya memang secara matematis ada selisih positif antara ongkos produksi dengan harga penjualan. Namun senyatanya peternak umumnya, tidak mendapatkan apapun justru menderita kerugian oleh karena tingkat kematian (mortalitas) yang relatif masih tinggi 9 – 12 %.


Memang masih menjadi pertanyaan para pelaku usaha ayam kampung mengapa hal itu terjadi. Sebab harga daging sapi yang menjadi kompetitor utama dalam menu lebaran justru relatif stabil dengan kecenderungan bergerak naik sedikit. Tetapi kenaikan harga ayam kampung tidak seperti Lebaran 2008 yang justru menembus angka Rp 24.000 padahal dengan ongkos produksi hanya 12.500 saja..


Berkaitan dengan kondisi harga komoditi perunggasan yang sangat memprihatinkan itu, para peternak mencoba meraba-raba penyebabnya, atas dasar aneka informasi yang diperoleh. Dugaan penurunan daya beli masyarakt yang melemah, tidak nyata sekali menjadi penyebab. Terlebih di tahun 2009 ada kegiatan berskala nasional yang bersifat serentak yaitu kampanye
Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden, mestinya justru mampu menggenjot tingkat konsumsi komoditi itu.


Kemudian perkiraan peternak, tentang adanya telur dari negeri jiran Malaysia ataupun tepung telur impor juga mestinya tidak akan berpengaruh signifikan. Karena menurut asumsi peternak, pasokan telur impor itu sudah pasti tidak akan mampu dalam volume yang banyak.


Selanjutnya kecurigaan peternak pada saat bulan September sampai Nopember 2009 dimana harga DOC petelur yang relatif sangat murah, dituduh menjadi biang keladinya. Kambing hitamnya adalah perusahaan pembibitan ayam (breeding farm) yang telah melepas dan menggelontor telur tetas ke pasar konsumsi. Kecurigaan ini memang yang paling dapat diterima akal sehat, namun toh, seharusnya juga tidak akan mampu berlangsung lama, jika hal itu menjadi penyebabnya.

Lalu informasi terakhir tentang populasi ayam petelur dan ayam potong di Kalimantan dan Sulawesi yang sudah berkembang pesat, menurut para peternak menjadi faktor penyebab utamanmya. Produksi telur dan populasi ayam di pulau Jawa yang jelas nyata ada kencenderungan meningkat itu, sangat mungkin tidak tersalurkan hasilnya ke kedua pulau itu yang selama ini menjadi pasar utama. Informasi yang diperoleh Tim Pemantau Lapangan Infovet pada saat Rakernas ASOHI memang menguatkan dugaan yang terakhir ini.

Informasi sumber Infovet yang ditemui saat Rakernas ASOHI di Jakarta akhir Oktober 2009 memang menguatkan kecurigaan para peternak di Jawa bahwa kedua pulau besar itu sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Meski demikian, umumnya sangat sulit diperoleh kepastian seberapa besar pertumbuhan populasi dan banyaknya populasi ayam petelur dan ayam pedaging di kedua pulau besar itu.


Umumnya para peternak di Jawa menyikapi kondisi yang menimpa saat ini, masih dengan nada optimistis. Mereka seolah sepakat, bahwa bagaimanapun badai pasti akan berlalu. Namun peternak yang menjadi korban amukan badai harga juga tidak sedikit. Apakah mereka bisa bangkit atau sebaliknya terus terpuruk, tergantung dari keuletan dan kekuatan untuk berkelit .


Tahun 2010 tetap memberikan pengharapan yang luas membentang, bersiaplah menyongsong tetapi dengan selalu penuh kewaspadaan. (iyo)


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer